BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan industri di Indonesia sekarang ini berlangsung sangat pesat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses industrialisasi masyarakat
Indonesia makin cepat dengan berdirinya perusahaan dan tempat kerja yang beraneka ragam. Perkembangan industri yang pesat ini diiringi pula oleh adanya risiko bahaya
yang lebih besar dan beraneka ragam karena adanya alih teknologi dimana penggunaan mesin dan peralatan kerja yang semakin kompleks untuk mendukung
berjalannya proses produksi. Hal ini dapat menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan kerja Novianto, 2010.
Mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat baru dan sebagainya yang serba pelik banyak dipakai sekarang ini. Bahan-bahan teknis baru banyak diolah dan
dipergunakan, serta mekanisasi dan elektrifikasi diperluas di mana-mana. Dengan majunya industrialisasi, mekanisasi, elektrifikasi dan modernisasi, maka dalam
kebanyakan hal berlangsung pulalah peningkatan intensitet kerja operasional dan tempo kerja para pekerja Penjelasan atas UU No. 1 Tahun 1970.
Hal tersebut memerlukan pengerahan tenaga secara intensif pula dari para pekerja. Kelelahan, kurang perhatian akan hal lain merupakan akibat dari padanya
dan menjadi sebab terjadinya kecelakaan. Bahan-bahan yang mengandung racun, mesin-mesin, alat-alat, pesawat-pesawat yang serba pelik serta cara-cara kerja yang
buruk, kekurangan keterampilan dan latihan kerja, tidak adanya pengetahuan tentang
Universitas Sumatera Utara
sumber bahaya yang baru, senantiasa menjadi sumber-sumber bahaya dan penyakit akibat kerja Penjelasan atas UU No. 1 Tahun 1970.
Laporan ILO tahun 2008 menyatakan bahwa tiap tahun diperkirakan 1.200.000 jiwa pekerja meninggal karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Sementara kerugian ekonomi akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja mencapai 4 persen dari pendapatan perkapita tiap negara Menakertrans, 2011.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, selama 2010 Jamsostek mencatat terjadi kasus kecelakaan kerja sebanyak 98.711 kasus.
Sebanyak 2.191 tenaga kerja meninggal dunia dari kasus-kasus kecelakaan tersebut dan 6.667 orang mengalami cacat permanen Menakertrans, 2011.
Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Pengamanan Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muji Handoyo, korban meninggal
akibat kecelakaan kerja di Indonesia termasuk tertinggi dibandingkan dengan negara- negara Eropa maupun negara ASEAN lainnya. Kalau dirata-rata dalam satu hari ada
tujuh pekerja Indonesia yang meninggal. Menurut Muji, data ini diperoleh selama 2010 dan di Indonesia ada 98.000 kasus kecelakaan kerja dengan korban meninggal
dunia mencapai 1.200 orang. Angka tersebut sangat mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa seperti Jerman dan Denmark yang
kecelakaan kerja dalam satu tahun bisa lebih dari 100.000 kasus, namun korban meninggal tidak lebih dari 500 orang Wicaksono, 2011.
Tingginya angka kecelakaan kerja baik tingkat kekerapan maupun tingkat keparahannya menjadi salah satu faktor yang meningkatkan biaya produksi dan
menyebabkan kerugian secara ekonomi. Masih tingginya angka kecelakaan kerja di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia antara lain disebabkan karena masih rendahnya tingkat kesadaran pengusaha dan pekerja terhadap pentingnya K3 Menakertrans, 2011.
Terjadinya kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja merupakan dampak dari paparan risiko yang akan selalu ada di setiap tempat dan proses kerja,
bahkan di setiap tempat kegiatan manusia. Banyak sekali jenis risiko dan setiap risiko memiliki dampak yang berlainan. Secara garis besar risiko terdiri dari risiko
keselamatan kerja dan risiko kesehatan kerja. Risiko keselamatan kerja biasanya bersifat akut mendadak dan menyebabkan terjadinya cedera. Sedangkan risiko
kesehaatan kerja biasanya bersifat kronik paparan dalam jangka waktu lama dan menyebabkan gangguan kesehatan pekerja Syaaf, 2008.
Menurut Suma’mur, penyebab kecelakaan kerja secara umum adalah karena adanya kondisi yang tidak aman dan tindakan tidak aman dari pekerja. Khusus
mengenai tindakan tidak aman sangat erat kaitannya dengan faktor manusia atau terjadi karena kesalahan manusia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Patrick
Sherry, 80-90 penyebab kecelakaan kerja berkaitan dengan human error atau faktor perilaku pekerja. Pekerja cenderung untuk berperilaku dengan mengabaikan
keselamatan walaupun itu sangat berguna untuk kepentingannya sendiri. Misal saja dalam melaksanakan tugasnya pekerja seringkali tidak mengikuti Standard Operating
Procedure SOP dan hanya bekerja berdasarkan pengalamannya saja. Atau masalah lain adalah pekerja seringkali tidak mau menggunakan Alat Pelindung Diri APD
yang sudah disediakan dengan berbagai alasan Syaaf, 2008. Persepsi menurut Soekidjo merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perilaku. Oleh karena itu, jika persepsi seseorang terhadap risiko sudah buruk, maka
Universitas Sumatera Utara
perilaku yang timbul juga cenderung mengabaikan pajanan risiko tersebut Syaaf, 2008.
Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif Robbins, 2003.
Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan kadang tidak disadari, di mana seseorang dapat mengenali stimulus yang diterimanya.
Persepsi yang dimiliki dapat mempengaruhi tindakan seseorang. Jika dikaitkan dengan risiko, maka persepsi terhadap risiko merupakan proses dimana individu
menginterpretasikan informasi mengenai risiko yang mereka peroleh Notoatmodjo, 2005.
Menurut Glendon Eguene, karakteristik individu dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan khususnya berkaitan dengan terjadinya bahaya. Beberapa orang
akan menerima bahaya sebagai risiko nyata bagi mereka dan berusaha menghindarinya. Beberapa lagi akan mengakui risiko tersebut tetapi
mempersepsikannya sebagai tantangan atas kemampuan yang mereka punya. Persepsi inilah yang dapat mengakibatkan tindakan-tindakan yang tidak aman dalam
menghadapi bahaya dan meningkatkan kemungkinan seseorang mendapat kecelakaan Ferlisa, 2008.
Menurut Geller, yang mempengaruhi persepsi terhadap risiko adalah Experience on the job, Work condition, Using personal protective equipment, dan
Various Characteristic of Hazard. Berbagai macam jenis bahaya tidak relevan
Universitas Sumatera Utara
dengan risiko yang ada sehingga mempengaruhi persepsi pekerja. Risk perception merupakan proses di mana individu menafsirkan informasi mengenai risiko yang
mereka peroleh WHO, 1999. Menurut Kathryn Mearns, Risk Perception dipengaruhi beberapa faktor yaitu pengetahuan; personal pekerja; konteks; kualitas
lingkungan kerja; kepuasan dengan ukuran safety; sikap terhadap risiko dan safety; serta budaya safety Ferlisa, 2008.
Bagian produksi yang disebut juga sebagai pabrik merupakan tempat melakukan proses produksi. Bagian produksi sebagai salah satu tempat diterapkannya
penggunaan alat dan mesin, menjadi tempat dengan potensi bahaya yang besar dan risiko pekerjaan yang tinggi. Hal ini menjadi fokus perusahaan agar dapat dilakukan
pengendalian bahaya dan pengendalian risiko pekerjaan untuk melindungi pekerja dari kecelakaan kerja.
PT. Wilmar Nabati Indonesia Dumai adalah suatu perusahaan yang mengolah CPO Crude Palm Oil menjadi minyak goreng. Perusahaan ini menggunakan
peralatan berteknologi tinggi seperti mesin atau alat berat, serta bahan kimia berbahaya. Secara umum proses produksi yang dilakukan sangat berpotensi besar
atau berisiko tinggi terhadap kejadian kecelakaan kerja. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan, PT. Wilmar Nabati
Indonesia Dumai memiliki beberapa unit stasiun kerja yang saling menunjang berjalannya proses produksi. Diantara beberapa unit yang dimiliki oleh PT. Wilmar
Nabati Indonesia Dumai, unit refineri dan fraksinasi, atau disebut juga departemen produksi, adalah unit kerja yang memiliki potensi risiko yang cukup tinggi terhadap
kejadian kecelakaan kerja karyawannya.
Universitas Sumatera Utara
Di unit ini, proses produksi berlangsung. CPO diolah menjadi minyak goreng dengan melalui tiga proses yaitu, degumming, bleaching, dan deodorizing section.
Dalam proses degumming, CPO dipanaskan hingga temperatur 90 - 120 °C, serta ditambahkan bahan kimia H
3
PO
4
untuk menghilangkan gum mengikat getah CPO pada minyak yang dapat merusak kualitas minyak. Kemudian pada proses bleaching,
terjadi pemutihan CPO agar warnanya menjadi bersih. Pada proses deodorizing, terjadi destilasipenguapan pada temperatur tinggi yaitu 260 – 270 °C. Kemudian
pada proses fraksinasipemisahan, minyak RBDPO Refined Bleach Deodorize Palm Oil masuk ke crystalizer tangki pendingin untuk pembentukan cristal hingga
temperatur 25 °C, sehingga minyak terpisah menjadi stearin dan olein. Setiap tahap proses produksi yang bekerja tidak hanya manusia saja, tetapi
juga dibantu oleh alat atau mesin produksi yang senantiasa berputar sehingga menimbulkan kebisingan dan getaran. Risiko di departemen produksi antara lain
terpelesettergelincir karena lantai yang licin akibat tumpahan minyak, terpapar suhu panas, terpapar pendengarankebisingan, terkena bahan kimia serta iritasi kulit dari
pemakaian bahan kimia H
3
PO
4
dalam proses degumming. Selain unit produksi, PT. Wilmar Nabati Indonesia Dumai juga memiliki unit-
unit yang menunjang berjalannya proses produksi, atau disebut juga departemen utility salah satunya adalah unit cogent plant boiler. Cogent plant merupakan unit
yang menciptakan uap steam yang dihasilkan dari pembakaran cangkang sawit. Uap tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai bahan bakar dalam proses produksi. Risiko
kecelakaan kerja di unit ini adalah terjadinya peledakan kebakaran apabila terjadi over heating dan over press, terkena serpihan uap dan air panas, melepuh terkena
Universitas Sumatera Utara
panas, sesak napas karena debu dari pembakaran cangkang sawit, tersengat anggota tubuh, terbakar anggota badan, terpapar suhu panas, jatuh, tergelincir, terpeleset, dan
lain sebagainya. Berdasarkan wawancara dengan personil departemen EHS Environment,
Health, and Safety, perusahaan tidak menerapkan SMK3 secara keseluruhan, namun perusahaan sudah menerapkan WSS Wilmar Sustainable System yaitu kebijakan
manajemen Wilmar Group Indonesia dan khusus untuk PT. Wilmar Nabati Indonesia Dumai, WSS tersebut launching sejak tahun 2007. WSS tersebut sudah mengadopsi
seluruh sistem ISO 14001, ISO 18001, ISO 22000, dan lain sebagainya. Rambu- rambu peraturan tertulis sudah ditemukan di setiap area kerja. APD juga sudah
disediakan perusahaan bagi setiap karyawan sesuai dengan pekerjaan masing-masing. Menurut keterangan yang didapat dari personil EHS, PT. Wilmar Nabati
Indonesia sudah memperoleh sertifikat zero accident selama tiga tahun terakhir. Namun dalam kenyataannya, terdapat pengakuan dari pekerja bahwa kasus
kecelakaan kerja masih terjadi yaitu pekerja mengalami kecelakaan berupa terpeleset jatuh dari tangga sehingga menyebabkan luka sobek serta kecelakaan kerja sepele
lainnya tetapi dalam frekuensi yang kecil. Maka, timbullah dugaan pada peneliti bahwa kecelakaan yang terjadi di lapangan bukan merupakan kesalahan dari sisi
manajemen, melainkan kesalahan dari faktor manusia yang bekerja. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa pekerjaan di
departemen produksi dan utility memiliki risiko yang cukup tinggi terhadap kejadian kecelakaan kerja bagi karyawannya. Kebijakan manajemen K3, peraturan tertulis,
serta APD yang telah disediakan tidak akan berguna apabila tidak dilaksanakan dan
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh pekerjanya. K3 hendaknya menjadi bagian yang diutamakan di sebuah perusahaan khususnya di unit-unit kerja yang memiliki risiko tinggi terhadap kejadian
kecelakaan kerja pada pekerjanya. Persepsi pekerja tentang risiko kecelakaan kerja di departemen produksi dan utility penting untuk diidentifikasi sehingga dapat menjadi
data dasar bagi perusahaan dalam rangka menciptakan budaya K3. Selain itu, belum adanya penelitian mengenai persepsi pekerja di PT. Wilmar Nabati Indonesia Dumai,
mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai gambaran persepsi pekerja tentang risiko kecelakaan kerja di departemen produksi dan utility PT. Wilmar Nabati
Indonesia Dumai Tahun 2012.
1.2. Rumusan Masalah