Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging

LABEL INDIKATOR BESI (II) SULFAT (FeSO4)
PENDETEKSI KEBUSUKAN DAGING

ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Label Indikator Besi
(II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini
saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014

Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar
NIM F34090143

ABSTRAK
ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR. Label Indikator Besi (II) Sulfat
(FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI.
Kemasan cerdas adalah kemasan yang dapat mengawasi dan memberikan
informasi tentang kualitas produk terkemas. Penelitian ini bertujuan untuk
membuat label indikator berbahan FeSO4 sebagai indikator keberadaan gas H2S
yang dihasilkan oleh daging busuk dan mempelajari respon perubahan warna label
terhadap paparan gas H2S. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa label
dibuat dengan menggunakan teknik oles dan formula terbaik adalah campuran
kitosan 3 gram, asam asetat glasial 1% 70 ml, akuades 30 ml dan FeSO4 sebanyak
2,5 gram. Adapun konsentrasi gas H2S semakin meningkat seiring dengan lama
penyimpanan daging pada suhu ruang, yakni dari 0 ppm pada jam ke-0 menjadi
18,3 ppm pada jam ke-120. Respon perubahan warna label yakni nilai L, a dan b
dan ºhue dipengaruhi secara signifikan oleh konsentrasi H2S. Tingkat kecerahan
warna label bergerak ke arah lebih gelap dari 34,265 di jam ke-0 menjadi 7,44 di
jam ke-120. Nilai a bergerak secara positif ke warna merah dari 17,17 pada jam
ke-0 hingga 32,45 di jam ke-120. Adapun nilai b juga bergerak ke arah negatif

menuju warna biru dari 51,67 pada jam ke-0 menjadi 10,26 pada jam ke-120.
Nilai ºhue pada jam ke-0 hingga jam ke-24 menunjukkan kategori warna kromatis
kuning-merah, pada jam selanjutnya hingga jam ke-96 indikator menunjukkan
kategori warna kromatis merah dan pada jam ke-120 menunjukkan kategori
merah-ungu. Penelitian utama menunjukkan bahwa daging yang disimpan selama
24 jam pada suhu ruang sudah mengalami penurunan kualitas. Selain itu daging
juga mengalami peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan. Mikroba
terdapat pada daging di jam ke-0 sebanyak 7 × 105 cfu/g meningkat menjadi 71,5
× 105 cfu/g. Sementara itu batas jumlah mikroba pada SNI sebesar 10 × 105 cfu/g.
Besi (II) sulfat dapat digunakan sebagai pendeteksi kebusukan daging dengan
merubah warna label dari kuning kemerahan menjadi coklat gelap.
Kata kunci: label cerdas, indikator, H2S, FeSO4

ABSTRACT
ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR. Ferrous (II) Sulphate (FeSO4)
Indicator Label As Spoiled Meat Detector. Supervised by ENDANG WARSIKI.
Smart packaging is the packaging that can monitor and provide the
information about quality of the packed product. This study was aimed to produce
a label with indicator ferri sulphate (FeSO4) to detect H2S produced by poultry
and to study the color change of the label response to H2S exposure. Preliminary

study showed that the best label was obtained with the formula of 3 grams
chitosan, 70 ml acetic acid 1%, 30 ml aquadest and 2,5 gram FeSO4. It was also
known that H2S concentration increased during storage at room temperature, from
0 ppm at the first hour to 18.3 ppm at 120th hour. There were significant
differences in the value of L, a, b and °hue at α = 5%. Lightness value decreased

from 34.26 to 7.44 in the end of storage. Value of a changed positively to red
color, from 17.17 to 32.45 and value of b turned negative from 51.67 to 10.26.
Therefore, °hue showed that at 0-24 hours indicator was in yellow-red zone, at 2496 hours in red zone and at 120 hours in red-purple zone. Further, the study
showed that meat stored in room temperature for 24 hours already spoiled.
Microorganism was also detected to grow more during storage. The growth in the
beginning was 7 × 105 cfu/gram and became 71.5 × 105 cfu/gram. Based on SNI
the limit for microorganisms is 10 × 105 cfu/gram. Ferri sulphate could be used as
spoilage detector by changing the indicator color from yellow-red to dark brown.
Keywords: smart label, indicator, H2S, FeSO4

LABEL INDIKATOR BESI (II) SULFAT (FeSO4)
PENDETEKSI KEBUSUKAN DAGING

ALDYANZA YUSUF SHYNA ISKANDAR

F34090143
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan
Daging
Nama
: Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar
NIM
: F34090143


Disetujui oleh

Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini yaitu “Label Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4)
Pendeteksi Kebusukan Daging”. Penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan teristimewa kepada:
1. Orang tua tersayang beserta keluarga tercinta atas doa dan dukungan selama
proses pengerjaan skripsi.

2. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si selaku pembimbing akademik atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
3. Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si dan Ir. Sugiarto, M.Si atas kritik dan
sarannya dalam menyempurnakan skripsi.
4. Komunitas Fotografi Bogor serta Sahabat Macro Bogor atas canda tawa dan
semangat di kala susah.
5. Sarah Soraya, Intan Ayu Lestari dan Muhamad Haris atas semangat dan
dukungannya.
6. Keluarga besar TIN 46, pondok pesantren Al-Jaddah dan Roommate 207 atas
kenangan indah tak terlupakan
7. Mutiaraku Ardissa Utami untuk motivasi, dukungan serta doanya.
8. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Aldyanza Yusuf Shyna Iskandar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2

Alat


2

Metodologi

2

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Label Indikator dengan Metode Casting

6

Label Indikator dengan Teknik Oles

7

Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam


9

Potensi Aplikasi Label Indikator
SIMPULAN DAN SARAN

17
18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18


LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Kode formula berdasarkan komposisi bahan
Kode formula pada pembuatan label indikator dengan teknik oles
Penampakan film dari berbagai formula
Hasil formulasi indikator dengan teknik oles
Hasil pengamatan perubahan warna label indikator
Nilai warna label indikator terhadap lama penyimpanan daging ayam

3
4
7
8
11
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Diagram alir pembuatan label indikator
Kitosan (a) 100 mesh, (b) 80 mesh
Pembuatan label indikator dengan teknik oles
Aplikasi label indikator pada pengemasan daging ayam
Pengemasan daging ayam
Aplikasi indikator pada penyimpanan daging ayam
Konsentrasi H2S terhadap lama penyimpanan
Nilai L label indikator
Nilai a label indikator
Nilai b label indikator
Nilai ºhue label indikator
Nilai kekerasan daging ayam terhadap lama penyimpanan
Hasil uji total plate count (TPC) terhadap lama penyimpanan daging
Degradasi perubahan warna indikator terhadap konsentrasi gas H2S

3
4
4
5
5
10
10
12
13
13
14
15
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pengujian

21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jaminan keamanan pangan adalah mutlak untuk produk pangan. Namun
demikian jaminan ini belum seluruhnya didapatkan oleh konsumen karena masih
adanya kerusakan produk yang sulit dilihat oleh para konsumen secara kasat mata.
Produk dapat rusak selama masa penyimpanan, distribusi serta penjualannya
walaupun masa kedaluarsa belum terlampaui. Kesulitan mengindentikasi
kerusakan produk pangan tersebut disebabkan karena produk tersebut tidak
memberikan perubahan nyata pada bentuk visual, melainkan terjadi reaksi yang
menghasilkan gas maupun senyawa kimia lain. Berbagai bentuk kerusakan yang
tidak kasat mata ini dapat disiasati dengan penggunaan kemasan cerdas bersensor
atau berindikator.
Kemasan cerdas adalah kemasan yang mampu memantau kondisi makanan
dalam kemasan dan memberikan informasi kualitas makanan kemasan tersebut
selama transportasi dan penyimpanan (Ahvenainen et al. 2013). Label indikator
merupakan sensor yang terdapat pada kemasan cerdas. Penelitian Warsiki et al.
(2012) telah membuat label indikator warna dengan pewarna alami dan sintetis.
Label tersebut sangat prospektif untuk mendeteksi penurunan mutu produk
pangan yang ditunjukan dengan perubahan pH produk. Selain itu, Nofrida et al.
(2013) juga membuat label indikator warna daun erpa yang dapat mendeteksi
penurunan mutu karena paparan suhu tinggi.
Salah satu produk makanan sehari-hari yang dapat dikemas dengan
menggunakan kemasan cerdas adalah daging ayam. Seperti yang sudah diketahui
daging dan olahan daging sangat mudah rusak dan busuk. Frazier and Westhoff
(1981) menyatakan bahwa pembusukan adalah dekomposisi protein oleh bakteri
yang menghasilkan senyawa yang berbau busuk, seperti indol, skatol, merkaptan
aminamin dan H2S serta NH3. Kemasan cerdas dapat dibuat untuk mendeteksi
senyawa hasil pembusukan daging tersebut. Lestari (2013) telah membuat label
indikator pendeteksi Escherichia coli pada daging. Label tersebut dapat
mendeteksi mutu daging selama penyimpanan.
Pada penelitian sebelumnya Kato et al. (2011) telah membuat indikator
yang dapat mendeteksi gas H2S dengan menggunakan FeSO4. Indikator tersebut
dapat mendeteksi gas H2S sebesar 100 ppm atau lebih dengan menunjukkan
perubahan warna FeSO4 menjadi kehitaman. Namun, pada proses pembusukan
daging belum diketahui berapa banyak gas H2S yang terbentuk. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengujian jumlah H2S yang terbentuk selama penyimpanan
daging ayam serta pengaruhnya terhadap indikator gas H2S yang dibuat.
Perumusan Masalah
Mutu pada produk daging ayam harus dideteksi dan diinformasikan kepada
konsumen dengan menggunakan indikator kemasan cerdas. Salah satunya adalah
dengan mendeteksi gas H2S yang terbentuk akibat dekomposisi protein oleh
bakteri. Jumlah bakteri tentunya berpengaruh terhadap banyaknya gas H2S yang
dihasilkan. Hal tersebut juga turut mempengaruhi tingkat kesegaran pada daging.
Indikator gas H2S merupakan suatu label yang direkatkan di dalam kemasan

2
daging ayam yang mampu mendeteksi keberadaan gas H2S dengan memberikan
respon perubahan warna. Konsumen dapat melihat warna dari indikator secara
visual untuk mengetahui mutu dari produk tersebut. Oleh karena itu pembuatan
indikator kemasan cerdas H2S merupakan upaya penting untuk mengetahui tingkat
keamanan pangan pada daging ayam segar.
Tujuan Penelitian





Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Membuat label indikator H2S
Mengetahui konsentrasi gas H2S yang diproduksi oleh daging ayam selama
penyimpanan
Mempelajari respon perubahan warna indikator kemasan cerdas terhadap
konsentrasi gas H2S
Mengetahui perubahan mutu daging ayam selama penyimpanan
Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah pembuatan label indikator dengan
menggunakan FeSO4 yang dapat berubah warna karena paparan gas H2S. Respon
perubahan warna label indikator ini diamati seiring dengan peningkatan
konsentrasi gas H2S yang terbentuk pada daging selama penyimpanan di suhu
ruang. Mutu daging juga dianalisis selama penyimpanan.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kitosan, asam asetat glasial 1%, plate count
agar (PCA), NaCl 0,85%, akuades, alkohol 70%, FeSO4, styrofoam, plastic
wrap, kertas glossy. Sementara itu daging ayam segar disiapkan untuk aplikasi
label indikator.
Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu gelas piala, coloni counter Quebec, magnetic
stirer, hot stirer, termometer, kuas, neraca analitik, mikro pipet, cawan petri.
Selain itu juga dibutuhkan sudip alumunium, autoklaf, colorimeter, penetrometer,
gas analyzer, syringe dan oven.
Metodologi
Pembuatan Label Indikator dengan Metode Casting
Pada tahap ini dilakukan pembuatan label indikator dengan cara
memvariasikan jumlah asam asetat pada larutan formulasi. Metode casting
digunakan untuk memproduksi film dengan melakukan pencetakan larutan
formulasi pada sebuah plat kaca. Film dikeringkan dengan dua macam perlakuan

3
suhu yaitu suhu ruang dan 50ºC. Tabel 1 menunjukan kode formula berdasarkan
perlakuan. Pemilihan formulasi terbaik didasarkan pada sifat fisik label yang
meliputi tingkat elastisitas, warna dan tekstur yang diamati secara visual. Adapun
pembuatan label indikator didasarkan pada penelitian Kato et al. (2011) yang
dimodifikasi (Gambar 1).
Tabel 1 Kode formula berdasarkan komposisi bahan

Kode
A1
B1
B2
C1
C2

Asam
asetat 1%
(ml)
100
70
70
70
70

Akuades
(ml)
30
30
30
30

Formula
Kitosan
FeSO4
(g)
(g)
3
3
3
3
3

2
2
2
2
2

Gliserol
(ml)
1
1

Suhu
Pengeringan
(ºC)
25
25
50
25
50

Asam asetat

Kitosan

Homogenasi
t= 27ºC, ϴ = 60 menit

FeSO4

Homogenasi
t= 27ºC, ϴ = 45 menit

Penuangan sebanyak
9 ml ke cawan petri

Pengeringan
ϴ = 24 jam
Keterangan : Penggunaan gliserol ditambahkan dari awal

Gambar 1 Diagram alir pembuatan label indikator
Pembuatan Label Indikator dengan Teknik Oles
Pada tahap ini dilakukan pembuatan label indikator dengan cara
mengoleskan larutan formulasi pada kertas glossy. Larutan yang digunakan adalah
larutan yang dibuat sesuai dengan Gambar 1. Kitosan yang digunakan pada tahap
ini terdiri dari dua jenis, yaitu kitosan halus 100 mesh (Gambar 2a) dan kitosan
kasar 80 mesh (Gambar 2b).

4

(a)
(b)
Gambar 2 Kitosan (a) 100 mesh, (b) 80 mesh
Setelah cairan formulasi terbentuk, dilakukan pengolesan dan dikeringkan
pada suhu ruang. Teknik pengolesan didasarkan pada penelitian Nofrida (2013)
dan dibedakan menjadi pengolesan tipis, sedang dan tebal. Pengolesan tipis
dilakukan dengan cara mengoles cairan formulasi indikator pada kertas glossy
sebanyak satu kali, sedang sebanyak dua kali dan tebal sebanyak tiga kali. Teknik
pengolesan dapat dilihat pada Gambar 3, sementara kode formula, komposisi
bahan dan teknik oles yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Pemilihan
formulasi terbaik didasarkan pada penampakan visual indikator setelah
pengeringan yang meliputi tekstur dan warna.

Kuas
Kertas glossy
Larutan Formulasi

Gambar 3 Pembuatan label indikator dengan teknik oles
Tabel 2 Kode formula pada pembuatan label indikator dengan teknik oles
Kode
D1
D2
D3
E1
E2
E3
F1
F2
F3

Asam asetat 1% Akuades
(ml)
(ml)
70
30
70
30
70
30
70
30
70
30
70
30
70
30
70
30
70
30

Formula
Kitosan FeSO4
(g)
(g)
3
2,5
3
2,5
3
2,5
3*
2,5
3*
2,5
3*
2,5
3*
2,5
3*
2,5
3*
2,5

Keterangan : * = menggunakan kitosan kasar (80 mesh)

Gliserol
(%)
2
2
2

Teknik
oles
tebal
sedang
tipis
tebal
sedang
tipis
tebal
sedang
tipis

5
Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam
Label terbaik diaplikasikan pada daging dengan cara meletakkan label
indikator berukuran 1 cm × 1 cm disisi dalam styrofoam. Kemudian sebanyak 50
gram daging diletakkan pada styrofoam dan ditutup dengan cling wrap film yang
sebelumnya telah direkatkan label indikator (Gambar 4). Daging disimpan selama
120 jam pada suhu ruang. Uji yang dilakukan meliputi perubahan warna label,
konsentrasi H2S pada kemasan dan penurunan mutu daging yang terdiri dari
kekerasan dan total plate count (TPC). Prosedur analisis disajikan pada Lampiran
1. Pengujian dilakukan setiap 24 jam hingga jam ke-120.
Plastic wrap
Styrofoam
Daging ayam

Label indikator

Gambar 4 Aplikasi label indikator pada pengemasan daging ayam
1.

Uji Perubahan Warna Label Indikator
Respon perubahan warna indikator terhadap H2S diuji setiap 24 jam dengan
colorimeter. Label indikator dianalisis warna (Hunter 1958) sesuai dengan
prosedur pengujian pada Lampiran 1.
2.

Pengukuran Konsentrasi Gas H2S
Uji konsentrasi gas dilakukan dengan menggunakan gas analyzer. Kemasan
hasil aplikasi penyimpanan dibuka sedikit untuk memasukan sensor gas analyzer.
Hasil pengukuran akan tertera pada panel layar dan ditunggu hingga menunjukan
nilai stabil.
3.
3.1

Uji Perubahan Mutu Daging Ayam
Uji Kekerasan
Daging ayam sebanyak 50 gram disimpan didalam wadah styrofoam dan
ditutup dengan plastic wrap (Gambar 5). Sampel dibuat sebanyak enam buah,
kemudian setiap 24 jam diuji dengan penetrometer hingga jam ke-120. Proses
pengujian kekerasan dilakukan dengan tiga titik yakni bagian tengah, sudut atas
dan bawah, nilai kekerasan adalah hasil rata-rata. Prosedur pengujian dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Plastic wrap
Styrofoam
Daging ayam
Gambar 5 Pengemasan daging ayam
3.2 Uji Total Plate Count (TPC)
Daging disimpan seperti Gambar 4 kemudian diuji TPC (Lampiran 1)
setiap 24 jam. Pengujian TPC dilakukan hingga pengenceran 10-5. Jumlah total
mikroba dinyatakan dalam cfu/g.

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Label Indikator dengan Metode Casting
Pembuatan label indikator pada tahap awal dilakukan dengan metode
casting. Berdasarkan literatur sudah banyak dibuat indikator dalam bentuk film
berbahan dasar kitosan, antara lain indikator warna untuk mendeteksi kesegaran
buah nanas potong selama penyimpanan (Putri 2012) dan pembuatan film
indikator warna dengan pewarna alami dan sintetis (Warsiki 2012). Hal ini juga
telah dilakukan oleh Nofrida (2013) dengan menggunakan pewarna dari daun erpa
untuk mendeteksi kerusakan susu.
Adapun bahan utama yang digunakan dan berperan sebagai indikator
utama H2S adalah besi (II) sulfat (FeSO4). Besi (II) sulfat atau ferri sulfat adalah
senyawa kimia dengan rumus FeSO4 dan memiliki bentuk umum heptahidrat biruhijau (USPDI 1989). Besi (II) sulfat dipilih karena dapat bereaksi dengan gas
hidrogen sulfida yang muncul dari proses pembusukan daging. Gas H2S terbentuk
akibat penguraian zat-zat organik oleh bakteri (Salle 1961):
bakteri
Protein daging

Asam-asam amino

deaminasi
NH3 + H2S

Gas ini merupakan gas tidak berwarna, beracun dan sangat mudah terbakar
(USEPA 2003). FeSO4 akan bereaksi dengan H2S menjadi FeS dan H2SO4 (Kato
et al. 2011). FeS memiliki warna hitam sehingga seolah-olah terjadi perubahan
warna FeSO4 dari yang sebelumnya berwarna hijau-biru. Hasil formulasi yang
telah dilakukan ditunjukan pada Tabel 3.
Formula A1 memiliki wujud fisik yang bening dan tidak menjadi padatan.
Hal tersebut menyebabkan formula A1 tidak dapat digunakan. Formula B1 dan B2
merupakan hasil dari modifikasi formula A1 yang dilakukan berdasarkan prosedur
pembuatan film oleh Putri (2012). Pada B1 dan B2 dilakukan proses pengeringan
dengan dua perlakuan suhu. Hasilnya menunjukkan bahwa keduanya membentuk
film yang kurang baik karena pecah. Ketika pencampuran asam asetat dengan
kitosan, larutan berubah menjadi gel sehingga FeSO4 menjadi sulit untuk larut.
Hal tersebut menyebabkan FeSO4 bereaksi dengan udara sehingga film menjadi
mudah pecah ketika proses pengeringan.
Formulasi selanjutnya dilakukan dengan menambahkan gliserol sebagai
pemlastis. Menurut Noureddini et al. (1998) interaksi gliserol sangat kompatibel
dengan film hidrofilik seperti kitosan dan akan menghasilkan film yang lebih
fleksibel, halus, dan tidak rapuh. Hal tersebut terlihat pada formula C1 yang
memiliki tekstur film yang sudah cukup baik, namun tidak dapat digunakan karena
masih basah. Sementara itu, formula C2 menghasilkan film dengan tekstur yang
pecah karena dikeringkan pada suhu 50ºC. Oleh karena itu, penambahan gliserol
pada pembuatan film dengan indikator FeSO4 tidak dapat diaplikasikan lebih
lanjut, khususnya dengan metode casting.

7
Tabel 3 Penampakan film dari berbagai formula
Kode Formula
A1

Hasil Formulasi

Hasil pengamatan
Bening, basah

B1

Kuning, kering

B2

Coklat, kering

C1

Jingga, basah

C2

Coklat, kering

Label Indikator dengan Teknik Oles
Pada penelitian utama, label indikator dibuat dengan teknik oles. Pembuatan
larutan formula dilakukan dengan cara yang sama seperti membuat larutan pada
metode casting. Pada metode casting, label indikator dibuat dengan cara mencetak
larutan sehingga membentuk film, sedangkan pada teknik oles dibuat dengan cara
mengoles larutan formula dengan kuas pada kertas glossy. Kertas glossy
merupakan kertas dengan sifat mengkilap, putih dan mampu menghasil cetakan
sesuai dengan standar (Wijarnoko 2010). Warna putih membuat warna indikator
lebih kontras dan kertas glossy sangat baik untuk digunakan sebagai media
merekatnya warna indikator. Kertas ini juga memiliki ketebalan 2 mm yang cukup
untuk menahan media indikator agar tidak bermigrasi ke produk ketika digunakan
pada aplikasi nyata.
Teknik oles dilakukan dengan berbagai macam formulasi untuk
menghasilkan bentuk yang berbeda. Pembuatan dengan metode ini membuat
larutan formulasi menempel tanpa harus melepaskannya dari kertas. Keuntungan
dari teknik ini adalah indikator yang dibuat tidak rusak. Teknik oles dilakukan

8
karena menurut Sumarto (2008) polimer yang berupa larutan encer memiliki
rantai bebas bergerak sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang
beragam, sementara polimer yang berbentuk padat memiliki rantai tidak teratur
sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas. Hal ini menjelaskan bahwa
formulasi yang dioleskan pada kertas glossy memiliki warna dan bentuk yang
lebih stabil dibandingkan dengan formulasi yang langsung dicetak pada cawan
petri. Hasil formulasi ditunjukan pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil formulasi indikator dengan teknik oles
Kode Formula
D1

Hasil Formulasi

Penampakan Visual
Merah gelap, pecah

D2

Jingga kemerahan,
permukaan kasar

D3

Jingga, permukaan kasar

E1

Merah gelap, permukaan
halus

E2

Jingga kemerahan,
permukaan halus

E3

Jingga, permukaan halus

F1

Merah gelap, permukaan
kasar, berbintik-bintik hitam

F2

Jingga kemerahan,
permukaan kasar, berbintikbintik hitam

F3

Jingga, permukaan kasar,
berbintik-bintik hitam

9
Setelah proses pengeringan dapat dilihat bahwa D1, D2 dan D3 masih
menghasilkan bentuk yang kurang baik. D1 terlihat terlalu gelap dan pecah,
sedangkan D2 dan D3 sudah cukup baik namun masih sangat kasar. Tekstur kasar
tersebut dapat menyulitkan penilaian perubahan warna indikator secara visual.
Formula E1, E2 dan E3 merupakan formula yang menggunakan bahan dan
cara hampir sama seperti D1, D2 dan D3. Perbedaannya terletak pada jenis
kitosan yang digunakan, yaitu kitosan kasar berukuran 80 mesh. Dapat dilihat
setelah proses pengeringan, formula E1 menghasilkan label yang baik dari segi
tekstur dan kejernihan, hanya saja warna yang dihasilkan terlalu gelap. Pada
formula E3 menunjukan hasil yang sama seperti formula E1, perbedaannya
terletak dari warna yang terlalu muda. Selain itu formula E3 memiliki tekstur yang
halus namun tipis sehingga dikhawatirkan mudah rusak. Formula E2
menghasilkan indikator yang diinginkan dilihat dari warna tidak terlalu gelap
ataupun tidak terlalu muda. Selain itu label indikator yang dihasilkan halus, tidak
rapuh serta cukup jernih. Oleh karena itu E2 merupakan label yang dinilai layak
untuk diaplikasikan sebagai label indikator.
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa penyebab hasil formula D1, D2 dan
D3 terletak dari mutu kitosan yang digunakan. Kitosan halus menghasilkan label
yang kasar dan mudah pecah. Sedangkan kitosan yang lebih kasar menghasilkan
indikator yang halus dan lebih jernih. Hal ini disebabkan setiap bahan memiliki
ukuran minimum agar dapat larut dalam suatu pelarut. Dalam penelitian ini
tampaknya kitosan lebih mudah larut pada ukuran 80 mesh. Oleh karena itu bahan
kitosan yang sebaiknya digunakan adalah kitosan yang kasar berukuran 80 mesh.
Selain itu mutu kitosan sangat ditentukan oleh kemurnian produk. Kitosan dengan
bahan pengotor akan menghasilkan film kasar. Hal tersebut tercemin pada film
yang diperoleh dari kitosan berukuran 100 mesh.
Dalam proses formulasi selanjutnya dilakukan penambahan gliserol
sebanyak 1 % pada formulasi E1, E2 dan E3. Diharapkan dengan penambahan
gliserol, label akan lebih elastis dibandingkan formula sebelumnya. Setelah
dilakukan percobaan, ternyata FeSO4 tidak dapat larut sempurna dengan gliserol
sehingga pada formulasi F1, F2 dan F3 menghasilkan bintik-bintik hitam pada
permukaan label dan memiliki tekstur kasar. Bintik-bintik tersebut dirasa cukup
mengganggu. Penilaian secara visual terhadap seluruh formulasi yang dihasilkan
menunjukkan bahwa indikator yang sesuai untuk aplikasi lebih lanjut adalah
formula E2.
Aplikasi Label Indikator Pada Daging Ayam
Label indikator E2 diaplikasikan pada daging ayam seperti yang terlihat
pada Gambar 6. Pengemasan ini dibuat semirip mungkin dengan kemasan daging
ayam ketika dijual di supermarket. Penyimpanan dilakukan pada suhu ruang agar
proses pembusukan lebih cepat sehingga mudah diamati. Selain itu, dengan cara
ini perubahan warna label indikator dapat dilihat secara langsung. Beberapa uji
dilakukan untuk mengetahui kinerja label indikator terhadap perubahan
konsentrasi H2S dan mutu daging.

10

Plastic wrap

Label Indikator

Styrofoam
Daging ayam

Gambar 6 Aplikasi indikator pada penyimpanan daging ayam
Respon Warna Label Indikator Terhadap Konsentrasi Gas H2S
Kebusukan daging dapat menyebabkan gas beraroma tidak sedap. Hal ini
disebabkan bakteri yang mendekomposisi protein menjadi asam amino dan
terdeaminasi menjadi senyawa berbau busuk. Beberapa organisme tersebut adalah
Pseudomonas, Citrobacter, Aeromonas, Salmonella, and Escherichia coli. Gas
H2S yang dihasilkan daging selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Konsentrasi H2S terhadap lama penyimpanan
Gas H2S yang dihasilkan oleh daging akan ditangkap oleh FeSO4 yang
terdapat pada indikator. FeSO4 merupakan indikator yang dapat digunakan untuk
mendeteksi gas H2S (Duncan 2005). Hasil pengamatan respon perubahan warna
ditunjukan oleh Tabel 5. Terjadi perubahan warna indikator dari kuning menjadi
lebih gelap disertai perubahan fisik daging ayam. Warna kuning pada indikator
berubah menjadi gelap karena terpapar oleh gas H2S. Reaksi perubahan FeSO4
akibat paparan H2S adalah (Kato et al 2011):
Fe(SO4)

+

H2S

FeS (s) + H2SO4

(kuning kemerahan)
(hitam)
Warna pada FeSO4 berubah dari kuning menjadi hitam karena bakteri
mampu mendesulfurasi asam amino menghasilkan gas H2S yang bereaksi dengan
Fe2+ sehingga menghasilkan FeS berupa endapan warna hitam (Raihana 2011).
Adapun perubahan nilai dapat dilihat pada Tabel 6.

11
Tabel 5 Hasil pengamatan perubahan warna label indikator
Lama
penyimpanan
(jam)
0

Konsentrasi
gas H2S (ppm)
0

24

2,2

48

8,7

72

14,4

96

16,45

120

18,3

Penampakan
label indikator

Penampakan daging ayam

12
Tabel 6 Nilai warna label indikator terhadap lama penyimpanan daging ayam
Lama penyimpanan
daging ayam (jam)
0
24
48
72
96
120

Nilai L

Nilai a

Nilai b

Nilai ºhue

34,27
21,98
12,91
8,80
7,97
7,44

17,17
17,76
18,37
21,65
27,16
32,45

51,67
35,49
19,85
12,70
10,94
10,26

71,59
63,30
46,16
29,59
21,14
17,81

Dari tabel 6 dapat diketahui respon perubahan warna label indikator selama
penyimpanan daging ayam. Apabila nilai L pada tabel diatas dihubungkan dengan
konsentrasi gas H2S yang terproduksi seiring penyimpanan daging ayam, maka
bisa diperoleh grafik seperti Gambar 8.

Gambar 8 Nilai L label indikator
Nilai L menunjukan tingkat kecerahan suatu sampel dengan interval nilai 0
(hitam) hingga 100 (putih). Semakin tinggi nilai L maka sampel memiliki warna
yang semakin cerah (Nofrida 2013). Sampel indikator pada jam ke-0 memiliki
tingkat kecerahan dengan nilai 34,26. Pada jam ke-24 terjadi penurunan nilai L
menjadi 21,9. Nilai L semakin menurun hingga 7,4 pada penyimpanan terakhir.
Perubahan nilai L ini menunjukan bahwa indikator berubah ke arah yang lebih
gelap.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat pula bahwa seiring dengan penambahan
gas H2S yang terbentuk, nilai L juga semakin menurun. Penurunan nilai L setiap
penambahan gas H2S sebanyak 1 ppm adalah sebesar 1,2989, ditunjukkan dengan
nilai slope dari grafik tersebut. Nilai L mengalami penurunan karena gas H2S yang
terbentuk mengalami reaksi dengan FeSO4 pada label indikator sehingga berubah
warna menjadi gelap.
Selain itu, nilai yang terdeteksi lainnya dari pengujian warna adalah nilai a.
Nilai a merupakan nilai yang menunjukan cahaya pantul sehingga menghasilkan
warna kromatik campuran warna merah dan hijau. Nilai a positif (+a)
menunjukkan sampel memiliki derajat kemerahan, sedangkan nilai a negatif (-a)
menunjukkan sampel memiliki derajat kehijauan (Nofrida 2013). Grafik
perubahan nilai a dapat dilihat pada Gambar 9.

13

Gambar 9 Nilai a label indikator
Pada jam ke-0 indikator menunjukan nilai a positif (+a) sebesar 17,17.
Setiap jamnya nilai (a+) semakin bertambah, menjadi 17,76 pada jam ke-24 dan
menjadi 32,45 pada jam ke-120. Hal ini menunjukan bahwa indikator menjadi
lebih merah dari hari ke hari.
Perubahan nilai a juga dipengaruhi oleh konsentrasi H2S. Ketika konsentrasi
H2S 0 ppm, nilai a yang ditunjukkan sebesar 17,17. Sementara ketika konsentrasi
18,3 ppm, nilai a sebesar 32,45. Semakin meningkat paparan H2S akan semakin
meingkat nilai a. Kecenderungan kenaikan nilai a dapat dilihat dari slope sebesar
0,6999 dari grafik tersebut.
Selain nilai a, pengukuran perubahan warna pada label indikator juga
ditunjukkan dengan nilai b. Nilai b adalah nilai yang menunjukan derajat
kekuningan dan kebiruan suatu sampel. Nilai b positif (+b) menunjukan sampel
memiliki derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukan sampel
memiliki derajat kebiruan (Nofrida 2013). Grafik perubahan nilai b dapat dilihat
pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai b label indikator
Dari hasil uji nilai b mengalami penurunan selama penyimpanan. Pada jam
ke-0 nilai b menunjukan 51,67 dan berubah pada jam ke-24 menjadi 35,49. Pada
jam terakhir pengujian nilai b menunjukan 10,26. Hal ini berarti derajat
kekuningan pada label indikator berubah ke arah negatif.
Perubahan pada nilai b juga disebabkan oleh konsentrasi H2S. Ketika H2S
0 ppm, nilai b ditunjukkan sebesar 51,67. Semakin tinggi konsentrasi H2S yang
terbentuk maka nilai b akan turun. Hal tersebut terlihat ketika konsentrasi H2S

14
sebesar 18,3 ppm nilai b turun menjadi 10,26. Dari grafik dapat dilihat nilai slope
yang sebesar -2,0828. Hal ini dikarenakan pergerakan nilai b merupakan
perubahan warna dasar dari indikator, yakni kuning, dan warna tersebut umumnya
terlihat lebih jelas perubahannya.
Setelah mengetahui nilai a dan b, dapat ditentukan nilai °hue. Nilai hue
merupakan bagian dari pengujian yang menunjukan derajat warna yang dilihat
indra penglihatan. Dalam sebuah skala warna yang seragam, perbedaan antara
titik-titik plot dalam ruang warna dapat disamakan untuk melihat perbedaan warna
yang direncanakan (Hunter 1958). Nilai hue dihitung dari invers tangen
perbandingan nilai b dan nilai a (Lampiran 1). Nilai °hue merupakan gambaran
dari sumbu 360º di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan,
daerah kuadran 2 menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3
menunjukkan warna hijau biru, dan kuadran 4 menunjukkan warna ungu
(MacDougall 2002).
Dari nilai ºhue yang telah didapatkan terhadap lama penyimpanan, maka
dapat diketahui warna kromatik visual yang terlihat apabila dihubungkan dengan
jumlah gas H2S yang terbentuk selama penyimpanan daging ayam. Grafik
perubahan nilai ºhue dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai ºhue label indikator
Pada jam ke-0, ºhue menunjukan 71,59º dan jam ke-24 menunjukan
63,30º. Berdasarkan hubungan nilai ºhue dan daerah warna kromatik visual, nilai
tersebut berada dalam kategori warna kuning-merah. Namun terjadi perubahan
kategori warna pada jam ke-48 dengan nilai ºhue sebesar 46,16º dan semakin
menurun hingga jam ke-96 dengan nilai 21,14º. Indikator dengan penyimpanan
selama 48 jam hingga 96 jam memiliki kategori warna merah. Sementara itu pada
penyimpanan jam ke-120 diperoleh nilai ºhue sebesar 17,81º, yakni sedikit
berubah menuju kategori merah-ungu.
Nilai ºhue juga dipengaruhi oleh konsentrasi H2S. Pada saat konsentrasi
H2S 0 ppm nilai ºhue sebesar 71,59. Hal ini menunjukkan bahwa warna kromatis
indikator label pada mulanya adalah kuning-merah. Semakin tinggi konsentrasi
gas H2S maka ºhue semakin menurun. Hal ini dapat dilihat ketika konsentrasi H2S
18,3 ppm, nilai ºhue turun menjadi 17,81º. Dari data tersebut dapat diperoleh nilai
slope sebesar -2,9323, dimana terjadi penurunan pada grafik.

15
Kekerasan Daging Ayam Selama Penyimpanan
Uji kekerasan daging ditujukan untuk mengetahui kualitas dan kesegaran
daging. Kekerasan daging banyak ditentukan oleh struktur miofibrial, status
kontraksi, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, water holding
capacity, dan jus daging. Selain itu, kekerasan daging juga bervariasi pada spesies
dan otot yang sama (Soeparno 1992). Sehubungan dengan variasi tersebut, nilai
kekerasan tidak tercantum sebagai salah satu parameter pada SNI daging ayam
(BSN 2009). Hasil uji kekerasan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai kekerasan daging ayam terhadap lama penyimpanan
Hasil pengujian tersebut menunjukan pada jam ke-0 nilai kekerasan adalah
31,6 mm/10s dan semakin menurun hingga jam ke-120 menunjukan nilai 13,4
mm/10s. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama proses penyimpanan
maka kekerasan daging semakin berkurang.
Nilai kekerasan merupakan nilai yang menunjukkan kedalaman jarum
penetrometer dapat masuk ke dalam sampel selama 10 detik. Oleh karena itu,
semakin dalam jarum, maka semakin tinggi nilai kekerasan yang dihasilkan.
Sementara semakin dalam jarum dapat masuk, maka tekstur sampel semakin
empuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai kekerasan berbanding terbalik
dengan tingkat keempukan sampel.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai kekerasan tertinggi diperoleh
saat awal penyimpanan. Menurut Palupi (1986) sesaat setelah hewan dipotong,
perubahan biokimia dalam jaringan masih terjadi. Setelah itu terjadi kerusakan
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang menempel pada daging.
Mikroorganisme mendegradasi protein dan lemak menjadi gas, air dan senyawa
kecil. Perubahan struktur tersebut mengakibatkan terurainya komponen daging
dan perubahan tekstur menjadi lebih lunak. Hal ini sejalan dengan hasil
pengamatan nilai TPC yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Namun air
yang dihasilkan dari proses degradasi protein dan lemak akan menguap apabila
daging tidak disimpan dalam suhu rendah. Hal tersebut membuat tekstur daging
menjadi keras kembali.
Menurut Nareswari (2006), daging ayam yang baik akan memiliki tingkat
kelunakan yang tinggi. Daging ayam yang mempunyai tingkat kelunakan rendah,
apalagi diikuti dengan perubahan warna yang tidak normal menjadi tidak layak
untuk dikonsumsi. Hal ini ditunjukkan oleh daging ayam yang disimpan selama

16
24 jam. Penurunan kelunakan secara signifikan mengakibatkan daging sudah tidak
layak untuk dikonsumsi.
Total Plate Count (TPC) Daging Ayam Selama Penyimpanan
Proses pembusukan pada daging salah satunya disebabkan oleh mikroba.
Menurut Sunarlim (1983) proses enzimatik yang berlangsung terus menerus pada
daging (post mortem) akan mengundang mikroorganisme yang mengakibatkan
pembusukan pada daging. Daging ayam mudah mengalami penurunan kualitas,
salah satunya, sebagai akibat dari pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme
dalam jumlah banyak selama penyimpanan (Sams 2001). Analisis mikrobiologis
dapat dilakukan dengan analisis Total Plate Count (TPC). Hasil pengujian TPC
pada daging ayam dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Hasil uji total plate count (TPC) terhadap lama penyimpanan daging
Hasil pengujian menunjukan bahwa peningkatan nilai TPC terjadi dari jam
ke-0 hingga jam ke-120. Pada awal penyimpanan, jumlah mikroba yang terdeteksi
sebesar 7 × 105 cfu/g. Sementara itu peningkatan mikroba terus terdeteksi hingga
pada penyimpanan daging ayam jam ke-120 diperoleh 71 × 105 cfu/g.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan
daging, maka semakin banyak mikroba yang tumbuh. Hal tersebut disebabkan
karkas ayam merupakan media yang baik untuk perkembangan bakteri (Frazier
dan Westhoff 1981). Brown (1982) juga menjelaskan bahwa aktivitas dan
pertumbuhan bakteri menjadi salah satu faktor terjadinya pembusukan pada
daging.
Anggraeni (2012) menyebutkan bahwa pengukuran seberapa jauh tingkat
kerusakan daging dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang tumbuh dan
berkembang pada daging. Dalam penelitian ini, pengujian TPC daging ayam telah
melewati ambang batas SNI untuk daging yang layak dikonsumsi pada lama
penyimpanan 24 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian Sukarya (2009) bahwa
daging ayam mengalami kebusukan setelah penyimpanan 12 jam pada temperatur
ruang.
Penelitian Jay (1978) menjelaskan bahwa genus yang mendominasi
pembusukan daging adalah Pseudomonas, Flavobacterium, Micrococcus,
Bacillus, Streptococcus, Lactobacillus. Ditambahkan oleh Jensen (1987) bahwa

17
daging ayam normal disimpan pada suhu kamar dengan penanganan kurang baik
ditemukan mikroorganisme kelompok psikotrofik dan mesofilik. Mikroorganisme
kelompok tersebutlah yang diduga mendominasi pada pengujian TPC ini.
Dari hasil pengujian kekerasan dan TPC diketahui bahwa daging sudah
tidak layak dikonsumsi setelah disimpan selama 24 jam. Sementara itu, perubahan
tingkatan mutu daging selama penyimpanan dapat dilihat dari perubahan warna
yang tampak secara visual. Pada tabel 5 diketahui bahwa daging ayam di awal
penyimpanan bebas dari memar sehingga masuk pada tingkatan mutu I. Pada
daging yang disimpan antara 24-120 jam daging sudah masuk dalam kategori
rusak. Hal ini disebabkan muncul lendir serta terjadi perubahan warna menjadi
lebih gelap pada daging yang disimpan lebih dari 24 jam. Munculnya lendir
disebabkan oleh pertumbuhan mikroba yang melebihi batas SNI. Selain itu bau
busuk juga muncul pada daging tersebut. Menurut Frazier dan Westhoff (1978),
munculnya lendir, bau busuk dan perubahan warna pada daging ayam merupakan
tanda-tanda pembusukan pada keadaan aerobik.
Potensi Aplikasi Label Indikator
Label indikator dapat digunakan sebagai pendeteksi gas H2S pada
kebusukan daging. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada label
indikator. Dari penampakan indikator secara visual terlihat degradasi warna
seiring dengan peningkatan konsentrasi gas H2S (Gambar 14).
0

24

48

72

96

0

2,2

8,7

14,4

16,5

120

(jam)

18,3 (ppm)

Gambar 14 Degradasi perubahan warna indikator terhadap konsentrasi gas H2S
Dari gradasi warna dapat dilihat terjadi perubahan warna yang dapat
dilihat secara visual. Perubahan warna terjadi dari jingga menjadi lebih gelap. Hal
ini berarti gas H2S yang terdapat pada daging dapat bereaksi dengan indikator
sehingga terjadi perubahan warna. Namun perubahan warna ini masih belum
sensitif untuk mendeteksi kebusukan daging. Pada jam ke-24 daging sudah tidak
layak untuk dikonsumsi dilihat dari nilai kekerasan yang turun drastis dan
pertumbuhan mikroba yang tinggi, sedangkan label indikator baru memberikan
perubahan yang signifikan pada jam ke-72. Oleh karena itu label indikator ini
belum dapat digunakan sebagai penentu mutu daging.

18

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Label indikator gas H2S dibuat dengan menggunakan kitosan dan FeSO4.
Teknik pembuatan indikator menggunakan cara oles sedang. Formula terbaik
yang digunakan adalah campuran kitosan sebanyak 3 gram, asam asetat glasial
1% 70 ml, akuades 30 ml dan FeSO4 sebanyak 2,5 gram.
Warna indikator berupa nilai L, a dan b dan ºhue dipengaruhi secara
signifikan oleh perbedaan lama penyimpanan daging ayam. Tingkat kecerahan
warna indikator bergerak ke arah lebih gelap dari 34,265 di jam ke-0 menjadi 7,44
di jam ke-120. Nilai a bergerak secara positif ke warna merah dari 17,17 pada jam
ke-0 hingga 32,45 di jam ke-120. Adapun nilai b juga bergerak ke arah negatif
menuju warna biru dari 51,67 pada jam ke-0 menjadi 10,26 pada jam ke-120.
Nilai ºhue pada jam ke-0 hingga jam ke-24 menunjukkan kategori warna kromatis
kuning-merah, pada jam selanjutnya hingga jam ke-96 indikator menunjukkan
kategori warna kromatis merah dan pada jam ke-120 menunjukkan kategori
merah-ungu.
Daging yang disimpan selama 120 jam mengalami peningkatan kekerasan
dari 31,6 mm/10s di jam ke-0 menjadi 13,4 mm/10s di jam ke-120. Selain itu
daging juga mengalami peningkatan jumlah mikroba selama penyimpanan.
Mikroba terdapat pada daging di jam ke-0 sebanyak 7 × 105 cfu/g meningkat
menjadi 71,5 × 105 cfu/g pada jam ke-120. Mikroba yang terdapat pada daging
menjadi salah satu penyebab munculnya gas H2S. Jumlah gas H2S semakin
meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan, yakni dari 0 ppm menjadi 18,3
ppm.
Berdasarkan hasil penelitian, warna label indikator dapat berubah sesuai
konsentrasi gas H2S pada kemasan. Namun perubahan warna label indikator tidak
secepat perubahan mutu daging sehingga label indikator H2S ini belum dapat
digunakan untuk mendeteksi kebusukan daging ayam.
Saran
Disarankan untuk formulasi label indikator agar dapat menunjukkan
perubahan warna lebih sensitif terhadap tingkat kebusukan daging. Diperlukan
agen pendeteksi lain seperti myoglobin.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni E. 2012. Penggunaan Kitosan Sebagai Pengawet Alami Terhadap
Mutu Daging Ayam Segar Selama Penyimpanan Suhu Ruang [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ahvenainen R. 2003. Active and intelligent packaging. Di Dalam : Ahvenainen, R
(ed). Novel Food Packaging Techniques. Abington: Woodhead Publishing,
hlm 5-21

19
Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3924:2009 Daging Ayam. Jakarta (ID):
Bada Standardisasi Nasional.
Beauchamp RO, Bus JS, Popp JA, Boreiko CJ, Andjelkovich DA, and Leber P.
1984. “A critical review of the literature on hydrogen sulfide toxicity.”
Critical Reviews in Toxicology 13 (1): 25-97.
Brown MH. 1982. Meat Microbiology. London: Applied Science Publishers.
Duncan F. 2005. MCB 1000L Applied Microbiology Laboratory Manual 4th Ed.
New York (US): The McGraw-Hill Companies.
Frazier WC and Westhoff DC. 1981. Food Microbiology, 3 Ed. New Delhi: Mc.
Graw Hill Pub. Co. Ltd.
Hunter RS. 1958. Photoelectric colour difference meter. J. of the optical Society
of America 48 : 985-995 Di dalam : MacDouggall DB. 2002. Colour in
Food : Improving Quality. Washington (US): CRC Press.
Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Maruland (US):
Chapman Hall Food Sci.
Jay JM. 1978. Modern Food Microbiology. Second Edition. New York (US): Van
Nostrand Reinhold Company.
Jensen L. 1987. Microbiology of Meats. Third Edition. Illnois (US): The Garrard
Press Publishers.
Kato ET, Yoshida CMP, Reis AB, Melo IS and Franco TT. 2011. Fast Detection
of Hydrogen Sulfide Using A Biodegradable Colorimetric Indicator System.
Polymer International Journal 60: 951-956.
Lestari IA. 2013. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Escherichia Coli [Skripsi].
Bogor (ID): Insstitut Pertanian Bogor.
MacDougall. 2002. Colour in Food: Improving quality. Washington (US): CRC
Press.
Nofrida R. 2013. Film Indikator Warna Daun Erpa (Aerva sanguinolenta) sebagai
Kemasan Cerdas untuk Produk Rentan Suhu dan Cahaya [Tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Nofrida R, Warsiki E dan Yuliasih I. 2013. Pengaruh Suhu Penyimpanan
Terhadap Perubahan warna Label Indikator Daun Erpa (Aerva
sanguinolenta). Jurnal Teknologi Industri Petanian 23 (3): 232-241.
Noureddini HS, Dailey WR, and Hunt BA. 1998. Production of glycerol ether
from crude glycerol – the by-product of biodiesel production. Papers.
Chemical and Biomolecular Engineering Research and Publication
Nareswari AR. 2006. Identifikasi dan Karakterisasi Ayam Tiren [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Palupi WOE. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Jakarta (ID): Pusat
Dokumentasi Ilmiah Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Putri CDW. 2012. Kemasan Cerdas Indikator Warna Untuk Mendeteksi
Kesegaran Buah Nanas Potong Selama Penyimpanan [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Raihana N. 2011. Profil Kultur dan Uji Sensitivitas Bakteri Aerob dari Infeksi
Luka Operasi Laparatomi di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang
[Artikel]. Padang (ID): Universitas Andalas Padang.
Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Ed ke-5. New York:
McGraw-Hill.
Sams AR. 2001. Poultry Meat Processing. Washington DC: CRC Press.

20
Sukarya R. 2009. Aplikasi Bakteriosin dari Lactobacillis sp. Galur SCG 1223
Sebagai Pengawet Daging Ayam Segar [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Sumarto. 2008. Mempelajari Pengaruh Penambahan Asam Lemak dan Natrium
Benzoat Terhadap Sifat Fisik, Mekanik, dan Aktivitas Antimikroba Film
Edibel Kitosan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sunarlim R. 1983. Penggunaan Chlor Untuk Memperpanjang Daya Simpan
Karkas [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
USEPA. 2003. Integrated Risk Information System Toxicity Summary for
Hydrogen Sulfide. USA: USEPA.
USPDI. 1989. Drug Information for the Health Care Professional. Edisi 9. Vol.
IA. USA: United States Pharmacopeial Convention, Inc.
Warsiki E dan Putri CDW. 2012. Pembuatan Label/Film Indikator Warna Dengan
Pewarna Alami dan Sintetis. E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012
1(2): 82 – 87.
Wijarnoko L. Macam-Macam Jenis Kertas Digital Photo Printing [Internet].[di
unduh 2013 10 Okt] Tersedia pada http://www.ahlidesain.com/macammacam-jenis-kertas-digital-photo-printing.html.
Winarno FG.1980. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia.

21
Lampiran 1. Prosedur pengujian
1. Uji Kekerasan dengan Penetrometer
Penetrometer dihubungkan pada arus listrik dan diubah posisi switch ke ON
Atur posisi jarum dengan menekan tombol CLUTCH.
Daging yang akan diuji diletakkan pada tempat yang disediakan
Ujung jarum diatur hingga menyentuh batas permukaan sampel dengan
memutar knop
5. Tekan tombol RUN dan biarkan alat menghitung hingga 10 detik.
6. Atur pengukur hingga menyentuh batas jarum
7. Nilai kekerasan tertera pada layar dengan satuan mm/10 detik.

1.
2.
3.
4.

2. Uji Total Plate Count (TPC)
1. Sampel sebanyak 1 gram ditumbuk hingga halus
2. Larutan NaCl 0,85% sebanyak 9 ml dimasukkan ke dalam 5 buah tabung
ulir dan disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121ºC
3. Sampel daging dimasukkan ke dalam tabung ulir dan diaduk hingga
tercampur
4. Pengenceran dilakukan dengan memindahkan 1 ml larutan sebelumnya ke
dalam tabung ulir selanjutnya hingga diperoleh pengenceran 10-5
5. Sebanyak 1 ml larutan dari tabung ulir pengenceran 10-5 dipipet ke dalam
cawan petri
6. Plate count agar yang sudah dilarutkan dalam air dimasukkan ke dalam
cawan petri secukupnya
7. Cawan petri ditutup dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 50ºC
8. Koloni yang terbentuk pada cawan petri dihitung dengan menggunakan
Quebec coloni counter
9. Jumlah koloni sebenarnya dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut,

3. Uji Warna Label Indikator
1.
2.
3.
4.
5.

Sampel diletakkan di bawah sensor warna
Tekan tombol power untuk menyalakan colorimeter
Tekan tombol SCAN warna hijau untuk memulai perhitungan
Pada layar akan muncul nilai L, a dan b
Nilai ºhue kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut,

6. Penentuan daerah kisaran warna kromatis visual dilakukan dengan
menghubungkan nilai ºhue pada tabel berikut.

22
Tabel nilai ºhue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999)
Nilai ºhue
342º-18º
18º-54º
54º-90º
90º-126º
126º-162º
162º-198º
198º-234º
234º-270º
270º-306º
306º-342º

Daerah kisaran warna
Merah-Ungu
Merah
Kuning-Merah
Kuning
Kuning-Hijau
Hijau
Biru-Hijau
Biru
Biru-Ungu
Ungu

23

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bogor tanggal 14 September 1991 dari pasangan Ade
Iskandar dan Erlin Yulianti. Penulis adalah putra pertama dari empat bersaudara.
Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun itu
penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan diterima di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan
perkuliahan. Penulis aktif dalam berbagai kegiatan seperti koordinator asisten
praktikum Peralatan Industri Pertanian pada tahun 2011. Penulis juga aktif dalam
organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai
bagian dalam divisi Human Resource Development (HRD) tahun 2010-2011.
Selain itu penulis juga pernah bekerja sebagai penyiar radio di Agri FM pada
tahun 2010 dan menjadi fotografer lepas di Harian Radar Bogor pada tahun 2011.
Penulis melakukan Praktik Lapangan di PT Sinar Mas Agro Resources
Technology, Surabaya pada bulan Juni-Agustus 2012. Selama Praktik Lapangan
penulis mempelajari penerapan ISO 22000 pada proses pembuatan kemasan di PT
Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk. Pada bulan April
hingga Desember 2013 penulis melakukan penelitian dengan judul Label
Indikator Besi (II) Sulfat (FeSO4) Pendeteksi Kebusukan Daging dibawah
bimbingan Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.Si.