Responsivitas dan Kapasitas Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dan Terong dalam Kultur Antera pada Media Dua-Lapis

RESPONSIVITAS DAN KAPASITAS ANDROGENESIS
BEBERAPA GENOTIPE CABAI DAN TERONG DALAM
KULTUR ANTERA PADA MEDIA DUA-LAPIS

SANDI YUDA PRATAMA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Responsivitas dan
Kapasitas Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dan Terong dalam Kultur
Antera pada Media Dua-Lapis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor dan PT BISI Internasional, Tbk.
Bogor, Desember 2014

Sandi Yuda Pratama
NIM G34100092

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
SANDI YUDA PRATAMA. Responsivitas dan Kapasitas
Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dan Terong dalam Kultur Antera
pada Media Dua-Lapis. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA
dan DIAN CATUR PRAYANTINI.
Produktivitas cabai (Capsicum annuum L) dan terong (Solanum
melongena L) dapat ditingkatkan melalui penggunaan benih berkualitas,
seperti benih hibrida. Pengembangan benih hibrida memerlukan tetua-tetua
berupa galur murni yang pembetukannya dapat dilakukan dengan cepat
menggunakan kultur antera. Tujuan penelitian adalah menguji penerapan

teknik kultur antera dengan sistem media dua-lapis yang sudah
dikembangkan untuk cabai (metode cabai) dan tembakau (metode
tembakau) untuk beberapa genotipe cabai dan terong. Sistem media dualapis adalah mengkulturkan antera pada media cair di atas media padat dan
diinkubasi pada kondisi tertentu. Hasil pengujian adalah bahwa metode
cabai berhasil menginduksi androgenesis ketiga jenis tanaman yang diuji
yaitu semua genotipe cabai, terong var Antaboga, dan tembakau SR1,
sedangkan metode tembakau hanya berhasil untuk tanaman tembakau SR1.
Responsivitas androgenesis untuk genotipe yang dicoba adalah cabai besar
var Tombak (77 %), cabai besar China (67 %), cabai keriting-1 (21 %),
cabai keriting-2 (10 %), dan terong var Antaboga (7 %). Jumlah embrio total
yang dihasilkan per kuncup untuk masing-masing genotipe cabai tersebut
secara berurutan adalah 5.7, 1.7, 0.3, dan 0.5, serta 0.2 embrio per kuncup
untuk terong var Antaboga. Hasil analisis ploidi salah satu tanaman hasil
kultur antera untuk cabai keriting adalah haploid dan terong adalah
mixoploid yang keduanya membuktikan hasil proses androgenesis. Kultur
antera pada media dua-lapis metode cabai ini berpotensi untuk diujikan pada
anggota genus Solanum lainnya, seperti tomat yang masih tergolong sulit
untuk induksi androgenesisnya.
Kata kunci: kultur antera, media dua-lapis, cabai, tembakau, terong.


ABSTRACT
SANDI YUDA PRATAMA. Androgenic Responsiveness and
Capacity on Several Genotypes of Pepper and Eggplant in Anther Culture at
Double-Layered Medium. Under supervision of ENCE DARMO JAYA
SUPENA and DIAN CATUR PRAYANTINI.
Productivity of hot pepper (Capsicum annuum L) and eggplant
(Solanum melongena L) can be improved through the use of good quality
seeds, such as hybrid seeds. Development of hybrid seed requires parental in
the form of a pure lines, which is can be produced quickly using anther
culture. The purpose of the study was to test the application of anther
culture technique with a double-layered medium system that has been
developed in hot pepper (pepper method) and tobacco (tobacco method) for
several genotypes of hot pepper and eggplant. A double-layered medium
system was culturing anther in liquid medium above the solid medium and
incubated under certain condition. The result was that the pepper method
successfully induced androgenesis for three types of plant that were all
genotypes of pepper, eggplant var Antaboga, and tobacco SR1, while
tobacco method was only successful for tobacco SR1. Androgenic
responsiveness for genotypes tested was big hot pepper var Tombak (77 %),
China big hot pepper (67 %), curly type-1 hot pepper (21 %), curly type-2

hot pepper (10 %), and eggplant var Antaboga (7 %). The result of total
embryos per bud for each genotype of pepper was 5.7, 1.7, 0.3, and 0.5,
respectively. Total embryos for eggplant var Antaboga was 0.2 embryos per
bud. The result of ploidy analysis at one anther culture derived plant for
curly hot pepper was haploid and eggplant was mixoploid that both proved
the androgenesis process. This method of anther culture with pepper method
has the potential to be tested on other members of genus Solanum, such as
tomato which still quite difficult to induce its androgenesis.
Key words: anther culture, double-layered medium, pepper, tobacco,
eggplant.

RESPONSIVITAS DAN KAPASITAS ANDROGENESIS
BEBERAPA GENOTIPE CABAI DAN TERONG DALAM
KULTUR ANTERA PADA MEDIA DUA-LAPIS

SANDI YUDA PRATAMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang karena-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan mudah. Keselamatan, semoga
terlimpahkan bagi manusia yang terbaik di Dunia, Nabi terakhir,
Muhammad bin ‘Abdullah. Berkat hidayah dari Allah kemudian petunjuk
dari Nabi Muhammad, hidup ini menjadi teratur dan bahagia. Semoga Allah
memberikan kelapangan urusan bagi setiap orang yang berpegang teguh
pada agama-Nya.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terkaya di Dunia. Akan tetapi
potensi kekayaannya itu belum seluruhnya dimanfaatkan. Salah satu potensi
tersebut adalah melimpah-ruahnya tanaman hortikultura, terutama kelompok
Solanacea. Skripsi ini yang berjudul, ”Responsivitas dan Kapasitas

Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dan Terong dalam Kultur Antera
pada Media Dua-Lapis”, merupakan sebuah pendekatan teknologi dalam
usaha meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman hortikultura yang
berbasis pada pengembangan kultivar lokal.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Ence Darmo Jaya
Supena, MSi atas perhatian dan bimbingannya, dan juga kepada Ibu Dian
Catur Prayantini, MSc. Terima kasih juga kepada dosen penguji karya
ilmiah yaitu Ir Tri Heru Widarto, MSc. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada teman diskusi, Mas Bambang Sujatmiko, MSc, atas
ilmunya, Mba Tari atas pengalamannya, Mas Nurdin, Mba Ida, dan Mas
Dhike. Ucapan terima kasih takkan terlewatkan kepada guru, teman
sekaligus lawan yaitu kepada Doni, Fauzi, dan Lutfi atas semuanya, kalian
adalah peneliti terbaik dan berpengalaman.
Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada Dr Rudi, Dr Sigit,
Mas Nana, Deni, Pak Ririt, Mba Kiki, Ririn, Lili, Ridwan, Margo, Rofiq,
Pak Salam, Mas Chandra, dan seluruh warga BISI. Kepada Ibu Lasmi yang
rajin, terima kasih ibu. Kepada para satpam BISI Tulungrejo, Pak Adi, Mas
Yanto dan lainnya, terima kasih atas pintu gerbangnya yang selalu terbuka.
Terakhir kepada Pak Jan, yang selalu setia menemani setiap perjalanan.
Kepada teman-teman Biologi angkatan 47, dan seluruh sivitas akademika

IPB, baik dalam maupun lingkar luar kampus.
Rasa terima kasih ini tidak akan hilang selamanya untuk disematkan
yakni kepada Ayahku dan Ibuku yang tercinta, semoga Allah mencintai
kalian. Kepada para keluarga besarku, Adik-adikku, terima kasih atas doa
yang kalian panjatkan selama ini. Tidak ada senjata yang paling ampuh,
tidak ada metode yang paling responsif selain Do’a. Semua hal yang
terdapat pada penelitian ini adalah atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla.
Sandi Yuda Pratama
Desember 2014

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat

Metode Penelitian
Pengamatan Stadia Mikrospora atau Polen
Pembuatan Media Dua-Lapis
Praperlakuan Kuncup Bunga dan Isolasi Antera
Kultur Antera dalam Sistem Media Dua-Lapis
Perkecambahan dan Pertumbuhan Tanaman
Analisis Ploidi
Pengamatan dan Pengolahan Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dan Antera dengan
Perkembangan Mikrospora
Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dengan Metode
Cabai
Responsivitas dan Kapasitas Androgenesis Beberapa
Genotipe Terong
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x
x
x
1
1
2
2
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4

5
5
5
6
8
10
12
12
12
12
14

DAFTAR TABEL
1 Tahap perkembangan mikrospora pada beberapa fase
perkembangan kuncup bunga
2 Responsivitas dan kapasitas androgenesis beberapa genotipe cabai
(Capsicum annuum) pada metode cabai
3 Responsivitas dan kapasitas androgenesis beberapa genotipe terong
dalam metode cabai dan tembakau


5
6
8

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan embrio beberapa genotipe cabai setelah tujuh
sampai delapan minggu kultur pada sistem media dua-lapis
(metode cabai)
2 Perkecambahan dan beberapa tanaman hasil kultur antera cabai
3 Analisis ploidi tanaman cabai keriting hasil kultur antera dengan
flow cytometry
4 Perkembangan embrio pada tanaman terong hasil kultur antera
5 Analisis ploidi tanaman terong hasil kultur antera dengan flow
cytometry

6
7
7
9
9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media untuk metode cabai dan tembakau
2 Deskripsi beberapa genotipe tanaman yang digunakan pada
percobaan

14
15

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Solanaceae memiliki 85 genus yang terdiri lebih dari 2200 spesies. Lima
spesies diantaranya populer ditanam oleh petani di Indonesia dan memiliki nilai
ekonomis yang tinggi yaitu: cabai (Capsicum annuum L), tomat (Solanum
esculentum), terong (Solanum melongena L), kentang (Solanum tuberosum L),
dan tembakau (Nicotiana tabacum L) (Bhattacharyya dan Johri 1998).
Produktivitas cabai dan terong pada tahun 2012 masing-masing sebesar 6.84
ton/ha dan 10.29 ton/ha. Produktivitas cabai ini masih lebih rendah dibandingkan
produktivitas negara lain di Asia seperti China (22.59 ton/ha), India (8.5 ton/ha),
dan Thailand (13.33 ton/ha). Begitu juga yang terjadi pada terong,
produktivitasnya masih tertinggal dari China (35.97 ton/ha), India (17.43 ton/ha),
dan Thailand (15.65 ton/ha) (FAOSTAT 2014). Oleh karena itu, diperlukan
adanya usaha untuk meningkatkan produktivitas cabai dan terong di Indonesia.
Produktivitas tanaman, termasuk untuk Solanaceae dapat ditingkatkan
melalui beberapa cara, diantaranya dengan menggunakan benih berkualitas yang
berdaya hasil tinggi, contohnya benih hibrida. Pengembangan dan pembentukan
benih hibrida memerlukan galur murni sebagai tetua. Proses pembentukan galur
murni secara konvensional melalui penyerbukan sendiri terkendali memerlukan 6
sampai 10 generasi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik yang lebih cepat
untuk menghasilkan galur murni. Teknik kultur antera merupakan cara yang tepat
karena hanya membutuhkan 1 sampai 2 generasi untuk menghasilkan galur murni,
yaitu dengan jalan memproduksi tanaman haploid atau haploid ganda (Evans et al.
2003).
Produksi tanaman haploid dan haploid ganda melalui induksi androgenesis
(embriogenesis dari mikrospora) dapat dilakukan dengan teknik kultur antera pada
media padat ataupun kultur isolasi mikrospora pada media cair (Evans et al. 2003).
Supena et al. (2006) telah berhasil mengembangkan teknik kultur antera dengan
sistem media dua-lapis untuk tanaman cabai besar dan cabai keriting Indonesia.
Johansson et al. (1982) juga telah berhasil mengembangkan teknik tersebut untuk
tanaman tembakau. Metode Supena et al. (2006) juga telah berhasil diterapkan
untuk tanaman cabai paprika (Parra-Vega et al. 2012).
Supena et al. (2006) telah membandingkan ketiga metode induksi
androgenesis yaitu kultur antera pada media padat, kultur isolasi mikrospora pada
media cair, dan kultur antera pada media dua-lapis yang hasilnya adalah bahwa
kultur antera pada media dua-lapis lebih efisien pada cabai lokal Indonesia.
Metode kultur antera pada media dua-lapis ini belum pernah dicobakan dan
dikembangkan untuk tanaman terong.
Induksi androgenesis pada tanaman terong telah berhasil dilakukan melalui
kultur antera pada media padat meskipun belum efisien (Salas et al. 2011). Terong
termasuk tanaman yang sulit (rekalsitran) dalam induksi androgenesis, lebih sulit
dari cabai, namun lebih mudah dari tomat (Segui-Simarro et al. 2011). Salas et al.
(2011) menyatakan bahwa induksi androgenesis pada terong sangat dipengaruhi
oleh genotipenya.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji teknik kultur antera dengan sistem media
dua-lapis yang sudah dikembangkan untuk tanaman cabai (Supena et al. 2006)
dan tembakau (Johansson et al. 1982) pada beberapa genotipe tanaman cabai dan
terong untuk mengetahui responsivitas dan kapasitas androgenesisnya.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilakukan mulai awal bulan Februari 2014 sampai
dengan awal bulan Juli 2014. Pertanaman tanaman sumber kuncup bunga
dilaksanakan di rumah kaca (green house) PT BISI Internasional, Tbk mulai bulan
November 2013, sedangkan kultur in vitro dilakukan di Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman, PT BISI Internasional, Tbk di Pare, Kab Kediri.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah genotipe cabai besar var Tombak
(penyerbukan terbuka (OP)) (kontrol), cabai besar Galaxy (OP), cabai besar China,
cabai keriting dataran tinggi (Hibrida) var Keriting-1 dan Keriting-2 (ukuran buah
lebih kecil daripada keriting-1) yang semuanya termasuk spesies Capsicum
annuum L; terong (Solanum melongena L) var Antaboga, Ratih Ungu, dan F1 10702 yang masing-masing varietas hibrida milik PT BISI Internasional, Tbk; serta
tembakau SR1 (Nicotiana tabacum L) (kontrol). Bahan kimia yang digunakan
antara lain media dasar Nitsch (Nitsch dan Nitsch 1969), media dasar MS
(Murashige dan Skoog 1962), maltosa, sukrosa, arang aktif, agar gelrite, Plant
Agar dan pewarna 4’,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Alat-alat yang
digunakan diantaranya mikroskop epifluoresens (Olympus BX 53) dengan UV
filter, mikroskop cahaya, laminar air flow cabinet, flow cytometry, dan peralatan
standar laboratorium kultur jaringan.
Metode Penelitian
Pengamatan Stadia Mikrospora atau Polen
Penentuan stadium perkembangan kuncup bunga, antera, dan mikrospora
untuk sumber eksplan tanaman cabai mengacu pada hasil Supena et al. (2006),
untuk tanaman tembakau mengacu pada stadia perkembangan panjang kuncup
yang diukur dari bagian dasar bunga hingga ujung kelopak, dan untuk terong dari
bagian tangkai bunga hingga ujung mahkota. Pengamatan untuk menentukan
tahapan perkembangan mikrospora pada cabai menggunakan genotipe Galaxy,
terong menggunakan genotipe Ratih Ungu, dan tembakau menggunakan genotipe
SR1. Ketiga tanaman ini selanjutnya menjadi standar penentuan mikrospora untuk
kultur antera pada masing-masing jenis tanaman lainnya. Antera dari kuncup

3

bunga diisolasi dan digerus di dalam larutan B-medium atau Arumuganathan yang
ditambah Triton X-100 dan gliserin. Selanjutnya, mikrospora disaring
menggunakan saringan (40 µm) dan dilarutkan kembali di dalam larutan yang
sama. Mikrospora yang terlarut diendapkan dengan sentrifuse pada kecepatan
4000 rpm selama 4 menit pada suhu ruang. Pelet yang terbentuk diwarnai dengan
1 µg/ml DAPI yang ditambahkan pada larutan Arumuganathan yang ditambah
gliserin. Fase perkembangan mikrospora diamati di bawah mikroskop
epifluoresens dengan filter UV. Fase perkembangan mikrospora yang
diidentifikasi, yaitu tetrad, uninukleat awal, uninukleat tengah, uninukleat akhir,
binukleat awal, binukleat tengah, binukleat akhir, dan polen matang. Stadia
kuncup yang mengandung mikrospora fase uninukleat akhir di atas 50 %
digunakan dalam percobaan ini.
Pembuatan Media Dua-Lapis
Komposisi media padat dan media cair akan dijelaskan lebih lanjut pada
sub-bab berikutnya. Komposisi media yang digunakan pada penelitian ini
disajikan pada tabel lampiran 1. Pembuatan media dua-lapis diawali dengan
pembuatan media padat sebanyak 3 ml pada bagian bawah cawan petri (60x15
mm), kemudian media padat ditambahkan media cair sebanyak 3 ml. Untuk
mencegah kontaminasi digunakan kombinasi antibiotik rifampisin (20 mg/l) dan
timentin (100 mg/l).
Praperlakuan kuncup bunga dan isolasi antera
Kuncup bunga diberi pra-perlakuan suhu dingin (suhu 4 oC selama satu hari
atau 9 oC selama tujuh hari). Kuncup bunga didesinfeksi selama 1-2 menit dalam
etanol 70 %, kemudian dibilas 1 kali dalam akuades steril. Desinfeksi dilanjutkan
dalam NaOCl 1.3 % dengan penambahan Tween-20 0.05 % (v/v) selama ± 10
menit, kemudian dibilas 3 kali dalam akuades steril secara bertahap masingmasing ± 3 menit. Proses isolasi antera dari kuncup bunga yang sudah disterilisasi
dilakukan dengan cara mengelupas kelopak dan mahkota terlebih dahulu. Antera
dikulturkan pada media sesuai perlakuan atau kebutuhan dengan sistem dua-lapis.
Di setiap cawan petri dikulturkan seluruh antera yang berasal dari satu buah
kuncup bunga.
Kultur Antera dalam Sistem Media Dua-Lapis
Kultur antera sistem media dua-lapis yang digunakan dan menjadi perlakuan
adalah dua jenis metode, yaitu Metode Cabai dan Metode Tembakau:
1 Metode Cabai. Metode Cabai yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil
penelitian kultur antera cabai yang dikembangkan oleh Supena et al. (2006).
Metode ini menggunakan media padat pada lapisan bawah yang mengandung
komponen Nitsch (Nitsch dan Nitsch 1969) dan maltosa 20 g/l dengan
penambahan arang aktif 10 g/l, dan agar gelrite 2 g/l. Lapisan atas berupa
media cair dengan komponen sama seperti pada media padat, kecuali tanpa
arang aktif dan agar. Media diatur pada pH 5.8 sebelum proses sterilisasi.
Kuncup bunga diberi perlakuan suhu 4 oC selama satu hari (dalam kondisi

4

gelap). Kuncup bunga selanjutnya disterilisasi, dan antera diisolasi dan
dikulturkan. Kultur diinkubasi pada suhu 9 oC selama satu minggu pertama
(dalam kondisi gelap) dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 oC (dalam
kondisi gelap).
2 Metode Tembakau. Metode Tembakau yang digunakan pada penelitian ini
adalah kultur antera tembakau menurut Johansson et al. (1982) yang
dimodifikasi Custers et al. (1999). Metode ini menggunakan media padat pada
lapisan bawah yang mengandung media ½MS (Murashige dan Skoog 1962)
dengan sukrosa 20 g/l, arang aktif 5 g/l, dan plant agar 6 g/l. Lapisan atas
berupa media cair dengan komponen sama seperti pada media padat, kecuali
tanpa arang aktif dan agar. Media diatur pada pH 6.0 sebelum proses sterilisasi.
Kuncup bunga diberi perlakuan suhu dingin 9 oC selama tujuh hari (dalam
kondisi gelap). Kuncup bunga selanjutnya disterilisasi, dan antera diisolasi
dan dikulturkan. Kultur selanjutnya disimpan pada suhu 25 oC (dalam kondisi
gelap).
Perkecambahan dan Pertumbuhan Tanaman
Embrio yang terbentuk dalam masa inkubasi dipanen pada 7-8 minggu
setelah kultur untuk selanjutnya dikecambahkan. Embrio dikecambahkan di dalam
medium yang mengandung ½MS, sukrosa 20 g/l dan 6-benzylaminopurin (BA)
0.02 g/l, dipadatkan dengan gelrite 2 g/l. Perkecambahan diinkubasi pada suhu
25-28 oC dengan pencahayaan selama 16 jam. Bibit yang telah berdaun 4-5 helai
dan memiliki perakaran yang baik dipindahkan ke dalam botol kaca dengan media
kokopit yang dilembabkan dengan media ½MS. Tanaman pada stadium berdaun
5-6 helai siap diaklimatisasi di dalam pot di rumah kaca.
Analisis Ploidi
Daun dipotong dari planlet atau tanaman hasil kultur antera dan tanaman
kontrol, kemudian daun dicacah dengan silet atau scalpel (di dalam larutan
Arumaganathan sebanyak 500 µl). Hasil cacahan dimasukkan ke dalam tabung
Eppendorf dengan saringan (40 µm) dan ditambahkan 1 µg/l DAPI yang
dicampurkan dalam Arumuganathan (vol 500 µl). Tabung diinkubasi selama ± 30
menit di dalam ice box. Setelah itu, sampel di-running pada flow cytometer
(Attune® Acoustic focusing cytometter). Hasil running sampel dianalisis
menggunakan Attune® Cytometric Software.
Pengamatan dan Pengolahan Data
Perkembangan kultur diamati setiap minggu. Setelah kultur berumur 7-8
minggu, embrio yang terbentuk diamati dan dihitung. Embrio dikelompokkan ke
dalam dua kategori yaitu embrio lengkap dan embrio tidak lengkap. Embrio
lengkap merupakan embrio yang memiliki radikula, hipokotil, dan kotiledon,
sedangkan embrio tidak lengkap adalah embrio yang tidak mempunyai kotiledon.
Data hasil pengamatan kultur antera selanjutnya dihitung responsivitas
androgenesisnya (persentase kuncup bunga yang menghasilkan embrio), dan jumlah
embrio yang dihasilkan untuk menggambarkan kapasitas androgenesisnya, serta
dihitung persentase embrio lengkap yang terbentuk.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dan Antera dengan Perkembangan
Mikrospora
Hasil pengamatan stadia mikrospora tanaman model cabai Galaxy
menunjukkan bahwa persentase mikrospora pada stadia uninukleat akhir di atas
50 % adalah ketika terdapat warna ungu pada antera di ujung sampai dengan
pertengahan antera (Tabel 1). Kriteria antera tersebut dapat diperoleh dari kuncup
bunga ketika ukuran mahkota lebih panjang sedikit daripada kelopaknya.
Penentuan stadia mikrospora pada terong dan tembakau menggunakan
interval panjang kuncup bunga. Kuncup bunga terong dengan panjang 15-16 mm
memiliki persentase mikrospora uninukleat akhir sebesar 50.7-64.8 %. Untuk
tembakau, pada panjang kuncup bunga 12 mm memiliki persentase stadia
uninukleat akhir berkisar 53.3 % (Tabel 1).
Tabel 1 Tahapan perkembangan mikrospora pada beberapa fase perkembangan
kuncup bunga
Fase Perkembangan Mikrospora (%)
Genotipe
Penciri
TE
UA
UT
UK
BA
BT PM
Cabai besar Warna ungu
var Galaxy pada antera :
a. Belum ada
0
0
62.9
37.1
0
0
0
b. Hanya di
0
0
33.3
66.7
0
0
0
ujung
c. Sekitar ¼
0
0
35.7
64.3
0
0
0
panjang
d. Sekitar ½
0
0
0
62.9
37.1
0
0
panjang
e. Seluruh
0
0
0
0
32.5 67.5
0
bagian
Terong var Ukuran kuncup
Ratih Ungu bunga :
a. 12 mm
3.9 96.1
0
0
0
0
0
b. 15 mm
0
0
49.3
50.7
0
0
0
c. 16 mm
0
0
0
64.8 35. 2
0
0
d. 18 mm
0
0
0
0
31. 3 68.7
0
Tembakau Ukuran kuncup
SR1
bunga :
a. 10 mm
0
0
64. 6 35.4
0
0
0
b. 12 mm
0
0
0
53.3
46.7
0
0
c. 15 mm
0
0
0
0
66.3 33.7
0
Keterangan : TE = tetrad, UA = uninukleat akhir, UT = uninukleat tengah, UK = uninukleat akhir,
BA = binukleat awal, BT = binukleat tengah, PM = polen matang.

6

Androgenesis Beberapa Genotipe Cabai dengan Metode Cabai
Hasil kultur antera menggunakan sistem media dua-lapis Metode Cabai
menunjukkan bahwa semua genotipe cabai yang dicobakan, yaitu genotipe model
(kontrol) Tombak, cabai besar China, Keriting-1, dan Keriting-2, mampu
diinduksi proses androgenesisnya (Gambar 1). Tingkat responsivitas androgenesis
terbesar dimiliki oleh Tombak sebesar 77 %, sedangkan yang terendah dimiliki
Keriting-2 sebesar 10 % (Tabel 2).

Gambar 1 Perkembangan embrio beberapa genotipe cabai setelah tujuh sampai
delapan minggu kultur pada sistem media dua-lapis (metode cabai).
a. Tombak; b. cabai besar China; c. Keriting-1; d. Keriting-2.
Karakter-karakter embrio: el (embrio lengkap); et (embrio tidak
lengkap); eb (embrio yang telah berkecambah). Garis skala:
a-d = ± 3 mm.
Tabel 2 Responsivitas dan kapasitas androgenesis beberapa genotipe cabai
(Capsicum annuum) pada metode cabai

Genotipe
Tombak1
Cabai Besar China
Keriting-12
Keriting-23

Jumlah
kultur
(petri)4

Kultur terjadi
respon
androgenesis
(%)

13
3
14
20

77
67
21
10

Jumlah
embrio
total
seluruh
kultur
74
5
4
9

Jumlah
embrio
total per
kuncup

Embrio
lengkap
(%)

5.7
1.7
0.3
0.5

27
20
50
11

Keterangan : Jumlah kultur adalah jumlah kultur yang bebas dari kontaminasi. Jumlah kultur awal
adalah 30 petri dari tiga periode ulangan. 1 = cabai besar (kontrol); 2,3 = cabai keriting hibrida
(F1) tipe dataran tinggi; 4 = 1 kuncup bunga (5-6 antera) per petri.

7

Embrio cabai Tombak, Keriting-1, Keriting-2 yang berhasil dikecambahkan
(Gambar 2a,c-d), sedangkan cabai besar China kotiledonnya saling menempel dan
tanamannya tidak dapat berkembang (Gambar 2b).

Gambar 2 Perkecambahan dan beberapa tanaman hasil kultur antera cabai.
a. Tombak; b. cabai besar China (kotiledon saling menempel);
c. Keriting-1; d. Keriting-2; e. Tombak. Umur kultur (dari awal
kultur) : a,b = ± 10 minggu, c = ± 11 minggu, d = ± 8 minggu,
e = ± 12 minggu. Garis skala : a-e = ± 1 cm
Analisis ploidi dilakukan pada tanaman kontrol (cabai besar yang ditanam
dari biji) dan salah satu tanaman cabai keriting hasil kultur antera. Tanaman
kontrol menunjukkan diploid (2C) dan fase G2 diploid (4C) (Gambar 3a).
Tanaman cabai keriting hasil kultur antera menunjukkan haploid (C) dan fase G2
haploid (2C) (Gambar 3b). Hasil ini menguatkan bahwa tanaman hasil kultur
antera berasal dari mikrospora yang memiliki jumlah kromosom haploid (n).

Gambar 3 Analisis ploidi tanaman cabai keriting hasil kultur antera dengan
Flow cytometery. a. diploid untuk tanaman kontrol; b. haploid untuk
tanaman hasil kultur antera. ket : C = haploid, 2C = diploid atau fase
G2 haploid, 4C = fase G2 diploid.

8

Responsivitas dan Kapasitas Androgenesis Beberapa Genotipe Terong
Penggunaan metode cabai dan metode tembakau telah berhasil menginduksi
androgenesis pada tanaman kontrol tembakau SR1. Metode cabai juga telah
berhasil menginduksi androgenesis pada tanaman kontrol cabai besar var Tombak,
sedangkan metode tembakau tidak berhasil menginduksi androgenesis pada cabai
(Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa metode cabai lebih tepat untuk induksi
androgenesis tanaman cabai daripada metode tembakau.
Pada tanaman terong yang dicobakan, respon androgenesis hanya terjadi
pada genotipe Antaboga yang dikulturkan menggunakan metode cabai. Tingkat
responsivitas androgenesis pada terong Antaboga masih tergolong rendah yaitu
7 % (1 dari 14 kultur), karena masih jauh di bawah persentase androgenesis pada
kontrol (cabai dan tembakau) (Tabel 3). Sedangkan, pada metode tembakau,
ketiga genotipe terong tidak menunjukkan respon androgenesis (Tabel 3).
Tabel 3 Responsivitas dan kapasitas androgenesis beberapa genotipe terong
dalam metode cabai dan tembakau
Jumlah Jumlah
Kultur terjadi
Jumlah
embrio
embrio
respon
Metode
Genotipe
kultur
total
lengkap
androgenesis
seluruh
(petri)
(%)
kultur
a
Tembakau (SR1)
16
88
td
td
Cabai (Tombak)b
14
77
74
13
Terong Antaboga
14
7
3
3
Cabai
Terong Ratih Ungu
13
0
0
0
Terong F1 10-702
16
0
0
0
a
Tembakau (SR1)
24
79
td
td
Cabai (Tombak)b
7
0
0
0
15
0
0
0
Tembakau Terong Antaboga
Terong Ratih Ungu
14
0
0
0
Terong F1 10-702
12
0
0
0
Keterangan : Jumlah kultur adalah jumlah kultur yang bebas dari kontaminasi. Jumlah kultur awal
adalah 30 petri dari tiga periode ulangan. td = tidak dihitung (pada umumnya jumlah embrio
tembakau lebih banyak daripada cabai Tombak dan hampir 100 % embrio lengkap); a,b = tanaman
kontrol untuk metode yang dicobakan.

Ketika umur kultur memasuki minggu kedelapan, embrio yang muncul pada
antera dapat dilihat dengan jelas (Gambar 4a) dan setelah diisolasi terlihat ketiga
embrio termasuk embrio lengkap (Gambar 4b). Ketiga embrio tersebut setelah
dipindahkan pada media regenerasi dan berhasil berkecambah pada waktu satu
minggu (Gambar 4c). Hasil perkecambahan semakin menguatkan bahwa ketiga
embrio tersebut adalah lengkap. Tanaman dipindahkan pada media praaklimatisasi setelah muncul 6-7 daun dan sistem perakaran baik (Gambar 4d).
Tanaman siap diaklimatisasi di rumah kaca setelah muncul 7-8 daun dan sistem
perakaran semakin membaik (Gambar 4e).

9

Gambar 4 Perkembangan embrio pada tanaman terong hasil kultur antera.
a. embrio berdekatan dan menempel pada antera; b. embrio setelah
diisolasi dan ketiganya lengkap; c. perkecambahan embrio; d. praaklimatisasi; e. aklimatisasi di rumah kaca. Umur kultur (dari awal
kultur) : a,b = ± 8 minggu, c = ± 9 minggu, d = ± 13 minggu,
e = ± 16 minggu. Garis skala : a,b = ± 5 mm, c-e = ± 1 cm
Analisis ploidi dilakukan pada salah satu tanaman terong hasil kultur antera.
Kontrol tanaman terong yang berasal dari biji menunjukkan diploid (2C) dan fase
G2 diploid (4C) (Gambar 5a). Tanaman terong hasil kultur antera menunjukkan
mixoploid (C+2C), yakni terdapat sebagian kecil sel haploid (C) dan sebagian
besar sel diploid (2C) (Gambar 5b). Hal ini menguatkan bahwa tanaman hasil
kultur antera berasal dari mikrospora yang memiliki jumlah kromosom haploid (n).

Gambar 5 Analisis ploidi tanaman terong hasil kultur antera dengan flow
cytometry. a. diploid untuk tanaman donor (kontrol); b. mixoploid
untuk tanaman hasil kultur antera. ket : C = haploid, 2C = diploid atau
fase G2 haploid, 4C = fase G2 diploid.

10

Pembahasan
Hasil pengamatan mikrospora pada tanaman cabai model Galaxy
menunjukkan bahwa stadia mikrospora uninukleat akhir dengan persentase lebih
dari 50 %, yaitu ketika antera berwarna hijau kekuningan dengan terdapat warna
ungu pada ujungnya sampai ½ bagian antera (Tabel 1). Hasil ini sesuai dengan
yang dilaporkan Supena et al. (2006), bahwa antera dengan warna ungu di
ujungnya memiliki stadia mikrospora uninukleat akhir lebih dari 50 %. Hal yang
sama dilaporkan oleh Kim et al. (2004) bahwa antera dengan ½ bagian berwarna
ungu memiliki stadia mikrospora uninukleat akhir lebih dari 50 %. Ciri penentu
morfologi bunga ini selanjutnya digunakan pada genotipe cabai lainnya,
berdasarkan bahwa keempat genotipe cabai yang diuji masih tergolong dalam satu
spesies (C. annuum).
Hasil pengamatan mikrospora terong menggunakan genotipe Ratih Ungu
menunjukkan persentase stadia mikrospora unikleat akhir melebihi 50 % pada
panjang kuncup 15-16 mm. Hasil ini selanjutnya digunakan sebagai penciri
kuncup bunga yang tepat pada genotipe terong lainnya. Dasar pemilihan stadia
mikrospora ini adalah hasil penelitian Salas et al. (2011) yang menunjukkan
bahwa stadia kuncup bunga terong yang mengandung stadia mikrospora
uninukleat akhir dan binukleat awal sekitar 70 % adalah fase yang tepat untuk
induksi androgenesis.
Seluruh genotipe cabai yang dicobakan menunjukkan respon androgensis
pada metode cabai. Secara umum responsivitas androgenesis pada cabai besar
lebih baik daripada cabai Keriting. Responsivitas cabai besar Tombak menurut
Supena et al. (2006) dapat mencapai 90 %, namun responsivitas Tombak pada
penelitian ini hanya mencapai 77 %. Dalam penelitian Supena et al. (2006)
dilaporkan juga bahwa responsivitas cabai keriting lebih rendah dari cabai besar
karena hanya mencapai sekitar 60 % dan tergantung dari genotipe yang
digunakan. Responsivitas androgenesis yang bervariasi pada keempat tipe cabai
yang diujikan ini menunjukkan adanya pengaruh genotipe.
Selain genotipe cabai berpengaruh terhadap responsivitas androgenesis,
hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa genotipe berpengaruh terhadap
kapasitas androgenesis. Kapasitas androgenesis cabai besar Tombak lebih baik
daripada ketiga jenis genotipe lainnya. Begitu pula kapasitas androgenesis cabai
besar China lebih besar dari cabai keriting-1 dan cabai keriting-2. Supena et al.
(2006) melaporkan bahwa jumlah embrio total pada Tombak mencapai 26.2 per
kuncup, sedangkan untuk Tombak pada penelitian ini hanya 5.7 per kuncup.
Berbeda dengan cabai besar, jumlah embrio total pada cabai keriting menurut
laporan Supena et al. (2006) tidak dapat melebihi 4 embrio per kuncup.
Persentase embrio lengkap yang dihasilkan pada keempat genotipe cabai
yang diuji masih di bawah 30 % (Tabel 2). Hal ini juga menjadi masalah serius
pada kultur androgenesis cabai lainnya (Kim et al. 2004; Supena et al. 2006).
Supena dan Custers (2011) telah mengembangkan metode kultur androgenesis
cabai untuk peningkatan persentase embrio lengkap seperti penambahan zat
pengatur tumbuh (ZPT), kombinasi ZPT, penambahan karbon aktif dan
pengurangan suhu inkubasi pada umur kultur tertentu.
Hasil percobaan kultur antera pada media dua-lapis dengan dua metode
yang berbeda menunjukkan bahwa metode cabai dapat menginduksi androgenesis

11

pada ketiga spesies Solanaceae, yaitu cabai, terong, dan tembakau, sedangkan
metode tembakau hanya menunjukkan respon positif pada tembakau. Metode
tembakau sebelumnya telah dicobakan pada cabai dan memiliki respon
androgenesis, walaupun tidak sebaik metode cabai (Supena et al. 2006). Hasil
percobaan ini lebih memperluas prospek penerapan metode kultur antera pada
media dua-lapis yang awalnya dikembangkan untuk cabai lokal Indonesia (Supena
et al. 2006), ternyata kemudian dapat diaplikasikan untuk cabai paprika (ParraVega et al. 2012), serta pada penelitian ini dapat diaplikasikan untuk tembakau
dan terong. Fenomena ini memperlihatkan adanya potensi untuk mengujikan
metode cabai pada famili Solanaceae anggota genus Solanum lainnya, seperti
tomat yang masih tergolong sulit untuk induksi androgenesisnya.
Metode cabai lebih responsif dari metode tembakau dapat disebabkan
karena perbedaan perlakuan dan atau kondisi kultur, diantaranya perlakuan suhu
rendah pada kuncup sumber antera maupun pada awal tahapan kultur, sumber
karbon, dan konsentrasi arang aktif. Pada metode cabai, dilakukan perlakuan suhu
4 oC selama 1 hari pada kuncup bunga sebelum antera dikulturkan pada suhu 9 oC
selama 1 minggu, sedangkan untuk metode tembakau hanya perlakuan kuncup
bunga pada suhu 9 oC selama 1 minggu (Supena et al. 2006). Peningkatan
konsentrasi karbon aktif dari 5 g/l pada metode tembakau menjadi 10 g/l pada
metode cabai, juga memberikan efek pada peningkatan kapasitas embriogenesis
pada cabai (Supena et al 2006). Selain itu penggunaan maltosa sebagai pengganti
sukrosa juga dapat meningkatkan kapasitas androgenesis pada kultur antera cabai,
karena maltosa lebih lambat dirubah menjadi glukosa dibandingkan sukrosa
(Dolcet-Sanjuan 1997). Finnie et al. (1989) berasumsi bahwa mikrospora sensitif
terhadap glukosa dan fruktosa, sehingga memberikan efek menghambat pada
androgenesis.
Kultur antera pada media dua-lapis untuk pertama kalinya dicobakan pada
tanaman terong. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman terong var
Antaboga responsif untuk induksi androgenesis dengan menggunakan metode
cabai sehingga menghasilkan embrio dan tanaman haploid (haploid ganda) yang
berasal dari mikrospora. Androgenesis pada terong var Antaboga selain pertama
kali dilaporkan berhasil menggunakan kultur antera pada media dua-lapis, juga
merupakan pertama kalinya dilaporkan dapat menghasilkan tanaman haploid
(haploid ganda). Hasil penelitian ini telah menambah jumlah protokol dan
genotipe yang responsif untuk memproduksi tanaman haploid (haploid ganda)
pada terong.

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kultur antera pada media dua-lapis untuk metode cabai selain responsif
untuk semua genotipe cabai yang dicoba (Cabai besar var Tombak, cabai besar
China, cabai var Keriting-1, dan cabai var Keriting-2) dan genotipe tembakau SR1,
juga responsif untuk genotipe terong var Antaboga, sedangkan metode tembakau
hanya berhasil untuk tanaman tembakau SR1. Responsivitas androgenesis untuk
genotipe yang dicoba adalah cabai besar var Tombak (77 %), cabai besar China
(67 %), cabai var keriting-1 (21 %), cabai var keriting-2 (10 %), dan terong var
Antaboga (7 %). Jumlah embrio total yang dihasilkan per kuncup untuk masingmasing genotipe cabai tersebut secara berurutan adalah rata-rata 5.7, 1.7, 0.3, dan
0.5 serta 0.2 embrio per kuncup untuk terong var Antaboga. Hasil analisis ploidi
salah satu tanaman hasil kultur antera untuk cabai keriting adalah haploid dan
terong adalah mixoploid yang keduanya membuktikan hasil proses androgenesis.
Saran
Penggunaan tanaman donor sumber antera disarankan tidak menggunakan
tanaman yang telah melebihi periode pembungaan optimal atau tanaman yang
sudah tua, karena selain mempengaruhi dan menurunkan kapasitas embriogenesis,
juga dapat meningkatkan kontaminasi kultur.

DAFTAR PUSTAKA
Bhattacharyya B, Johri BM. 1998. Flowering Plants Taxonomy and
Phylogeny. New Delhi (IN): Narosa Publishing House.
Custers JBM, Snepvangers SCHJ, Jansen HJ, Zhang L, van Lookeren Campagne
MM. 1999. The 35S-CaMV promoter is silent during early embryogenesis
but activated during nonembryonic sphorophytic development in microspore
culture. Protoplasma 208: 257-264.
Dolcet-Sanjuan R, Claveria E, Huerta A. 1997. Androgenesis in Capsicum
annuum L effects of carbohydrate and carbon dioxide enrichment. J Amer
Soc Hort Sci 122: 468-475.
Evans DE, Coleman JOD, Kearns A. 2003. Plant Cell Culture. New York
(US): BIOS Scientific Publishers.
FAOSTAT. 2014. Production: crops. [Internet]. (diakses 2014 Jun 19). Tersedia
pada: http://faostat. fao. org.
Finnie SJ, Powell W, Dyer AF. 1989. The effect of carbohydrate composition and
concentration on anther culture response in barley (Hordeum vulgare L).
Plant Breeding 103: 110-118.
Johansson L, Andersson B, Eriksson T. 1982. Improvement of anther culture
technique: activated charcoal bound in agar medium in combination
with liquid medium and elevated CO2 concentration. Physiol Plant 54:
24-30.

13

Kim M, Kim J, Yoon M, Choi DI, Lee KM. 2004. Origin of multicellular pollen
and pollen embryos in cultured anthers of pepper (Capsicum annuum L).
Plant Cell Tiss Org Cult 77: 63-72.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473-497.
Nitsch JP, Nitsch C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Science 163: 85-87.
Parra-Vega V, Ranau-Morata B, Sifres A, Segui-Simarro JM. 2012. Stress
treatments and in vitro culture conditions influence microspore
embryogenesis and growth of callus from anther walls of sweet pepper
(Capsicum annuum L. ). Plant Cell Tiss Org Cult 112: 353-360.
Salas P, Prohens J, Segui-Simarro JM. 2011. Evaluation of androgenic
competence through anther culture in common eggplant and related species.
Euphytica 182: 261-274.
Segui-Simarro JM, Corral-Martinez P, Parra-Vega V, Gonzalez-Garcia B. 2011.
Androgenesis in recalcitrant solanaceous crops. Plant Cell Rep 30: 765778.
Supena EDJ,
Suharsono S,
Jacobsen E, Custers
JBM.
2006.
Successful development of a shed-microspore culture protocol for
double haploid production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum
L). Plant Cell Rep 25: 1-10.
Supena EDJ, Custers JBM. 2011. Refinement of shed-microspore culture protocol
to increase normal embryos production in hot pepper (Capsicum annuum
L. ). Sci Hort130: 769-774.

14

LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1 Komposisi media untuk metode cabai dan tembakau
Metode Cabai
Metode Tembakau
Media Dasar
NN (Nitsch & Nitsch
½MS (Murashige
1969)
& Skoog 1962)
Komposisi (mg/l)
Komposisi (mg/l)
Makronutrisi :
NH4NO3
720
825
KNO3
950
950
CaCl2. 2H2O
166
220
MgSO4. 7H2O
185
185
KH2PO4
68
85
Mikronutrisi :
KI
0.83
H3BO3
10
6.2
MnSO4. 4H2O
25
22.3
MnSO4. H2O
ZnSO4. 7H2O
10
8.6
Na2MoO4. 2H2O
0.25
0.25
CuSO4. 5H2O
0.025
0.025
CoCl2. 6H2O
0.025
Na2EDTA
37. 3
37.3
FeSO4. 7H2O
27. 8
27.8
Vitamin dan lain-lain :
Inositol
100
100
Glycine
2
2
Thiamine HCl
0.5
0.1
Pyridoxine HCl
0.5
0.5
Nicotinic acid
5
0.5
Biotin
0.05
Folic acid
0.5
Maltosa
20000
Gula
Sukrosa
20000
Gelrite
2000
Agar
Plant Agar
6000
Arang Aktif
10000
5000
pH Media
5.8
6.0
Keterangan: Komposisi medium pada tabel adalah untuk media padat, sedangkan untuk
media cair adalah seperti untuk media padat hanya tidak menggunakan arang aktif dan
agar.

15

Tabel Lampiran 2 Deskripsi beberapa genotipe tanaman yang digunakan pada
percobaan
Genotipe Cabai var
Terong var
Terong var Ratih
Tombak
Antaboga
Ungu
Deskripsi
Agronomis
Daya adaptasi
Cocok ditanam Cocok ditanam di
Umum
luas, tanaman
di dataran
dataran rendah
tegap dan kuat
rendah sampai
sampai menengah,
pertumbuhannya menengah,
pertumbuhan
pertumbuhan
tanaman kuat,
tanaman kuat,
percabangan
percabangan
banyak
banyak
Buah
Buah besar,
Buah mudah
Buah mudah
terbentuk dan
lebat, berwarna
terbentuk dan
merah ketika
lebat. Warna
lebat. Warna buah
masak, kulit
buah ungu
ungu dengan
buah halus dan
dengan kelopak kelopak buah
rasanya pedas
buah berwarna berwarna hijau.
saat masak
hijau. Buah
Buah berbentuk
berbentuk
silindris
silindris
Panjang Buah ± 12 cm
± 27 cm
± 28 cm
Diameter
± 1.5 cm
± 5 cm
± 5 cm
Buah
Umur Panen ± 85 hari setelah ± 60 HSPT
± 60 HSPT
pindah tanam
(HSPT)
Potensi Hasil ± 20 ton/ha
± 4 kg/tanaman ± 3.5 kg/tanaman
Kebutuhan
± 200 g/ha
200 g/ha
200 g/ha
Benih
Resistan
Terhadap
Terhadap
penyakit layu
penyakit layu

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasar Minggu, Jakarta, pada tanggal 3 Juli 1992.
Penulis merupakan buah hati dari pasangan setia Alex Rachman dan Susanti, dan
merupakan anak pertama, sebagai tauladan, dari dua adik tercinta, Tiara dan
Syahrul.
Di tahun 2010, Penulis pertama kali merasakan indahnya belajar di Institut
Pertanian Bogor, setelah berjuang melalui Ujian Mandiri IPB pada pilihan utama
yaitu Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan
Alhamdullilah, cita-cita tersebut tersampaikan. Sebelum sampai pada tingkat
perguruan tinggi, penulis telah menghabiskan masa-masa indah SD, SMP, dan
SMA di kota bersih, Tangerang.