Cekaman Suhu Untuk Induksi Pembelahan Sporofitik Pada Kultur Antera Kedelai Dalam Sistem Media Dua Lapis

CEKAMAN SUHU UNTUK INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK
PADA KULTUR ANTERA KEDELAI
DALAM SISTEM MEDIA DUA LAPIS

EVY AMMAY REZANY

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRAK
EVY AMMAY REZANY. Cekaman Suhu Untuk Induksi Pembelahan Sporofitik Pada Kultur
Antera Kedelai Dalam Sistem Media Dua Lapis. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA
SUPENA dan SUHARSONO.
Teknik androgenesis sangat berpotensi untuk mempercepat proses penelitian dan pemuliaan
pada tanaman kedelai. Pengembangan teknik androgenesis pada kedelai melalui kultur antera pada
media padat dan kultur isolasi mikrospora pada media cair belum dapat mengembangkan metode
yang efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tahap awal induksi androgenesis kultur
antera kedelai varietas Sindoro dan Slamet dalam sistem media dua lapis. Penanda morfologi

kuncup bunga kedelai untuk sebagian besar mikrosporanya berinti tunggal akhir sampai berinti
dua awal adalah ketika rasio braktea terhadap panjang kuncup 2:3. Perlakuan cekaman suhu
rendah (4-9 °C) selama tiga hari dan suhu tinggi (31-33 °C) selama tujuh hari pada awal periode
inkubasi dapat menginduksi pembelahan sporofitik sampai menjadi struktur multiselular pada
varietas Slamet umur kultur empat minggu. Induksi pembelahan sporofitik dapat terjadi dari
mikrospora berinti tunggal akhir sampai berinti dua awal. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa tahap awal androgenesis telah dapat diinduksi melalui kultur antera kedelai dalam sistem
media dua lapis.

ABSTRACT
EVY AMMAY REZANY. Temperature Shock for Induction of Sporophytic Division in Soybean
Anther Culture with Double-Layer Medium System. Supervised by ENCE DARMO JAYA
SUPENA and SUHARSONO
Androgenesis technique is very potential method for the plant research and breeding of
soybean. Androgenesis through anther culture in solid medium and microspores isolation culture
in liquid medium was not able to develop an efficient methode. The aim of this research was to
study the early stage of androgenetic induction in soybean anther culture of Sindoro and Slamet
cultivar with double-layer medium system. Morphological marker for soybean flower buds when
microspores at the late uninucleate and early binucleate stage were found in bract/bud ratio of 2:3.
Stress treatment of cold (4-9 °C) shock in three days and heat (31-33 °C) shock in seven days at

the early period of incubation was able to form multicelullar structure of microspores Slamet
cultivars by sporophytic division in four weeks of culture. This process could be formed by
sporophytic division of late uninucleate and early binucleate microspores. This study indicates that
soybean anther culture in double-layer medium system was able to induce the early stage of
androgenesis.

CEKAMAN SUHU UNTUK INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK
PADA KULTUR ANTERA KEDELAI
DALAM SISTEM MEDIA DUA LAPIS

EVY AMMAY REZANY

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2008

Judul : Cekaman Suhu Untuk Induksi Pembelahan Sporofitik
Pada Kultur Antera Kedelai Dalam Sistem Media Dua Lapis
Nama : Evy Ammay Rezany
NIM : G34102019

Menyetujui:
Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
NIP 131851278

Dr. Ir. Suharsono, DEA
NIP 131664393

Mengetahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA
NIP 131578806

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya Ilmiah ini didasarkan pada hasil penelitian yang
dilaksanakan mulai Maret 2006 sampai dengan Juni 2007 di laboratorium BIORIN dan
Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan
Bioteknologi IPB kampus IPB Darmaga, Bogor dan Laboratorium Riset di Fakultas Teknobiologi
Unika Atmajaya, Jakarta. Karya Ilmiah yang diberi judul Cekaman Suhu Untuk Induksi
Pembelahan Sporofitik Pada Kultur Antera Dalam Sistem Media Dua Lapis, adalah merupakan
tahap awal dalam upaya mengembangkan teknik haploid pada kedelai.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini, terutama kepada
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. dan Dr. Ir. Suharsono, DEA. atas bimbingan, saran, ilmu,
waktu dan perhatiannya selama penelitian, serta Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si. selaku penguji

yang telah memberikan saran dan dalam perbaikan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi serta para staf
atas sarana dan prasarana selama penulis melaksanakan penelitian. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Koordinator dan staf Laboratorium Riset Fakultas Teknobiologi Unika
Atmajaya atas bantuan dan kerjasamanya.
Ungkapan terima kasih terbesar penulis sampaikan kepada Mama, Bapak, Adikku Fitri dan
Faisal atas cinta, doa, perhatian dan dukungannya. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk
rekan-rekan di laboratorium Budi, Hakiim, Mbak Ulfa, Mas Firdaus, Bahrelfi, Bu Srilis, Pak
Muzuni, Pak Hadi, Bu Hanum, Mas Yassier, Mbak Niken, Pak Ulung, Mbak Kiki, Mbak Muti,
Mbak Rida, Usy, Jaya, Mbak Rina, Nindya, Zahroh, Donna, Mbak Ratna, Mbak Pepi dan Pak
Mulya atas bantuannya. Terima kasih kepada rekan-rekan Biologi 39, 40 dan 41 serta sahabat yang
selalu memberikan perhatian dan dukungan, Popi, Ninda, Bu Guru, Gema, Rina, Ayu, Apri, Ina,
Rama, Bian dan Harowi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Januari 2008

Evy Ammay Rezany

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 4 Mei 1984 dari ayah Amanu dan ibu
Chunaeni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri I Curug Tangerang dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah
Fisiologi Tumbuhan Dasar tahun 2004-2005 dan 2005-2006 dan Genetika Dasar tahun 2005-2006.
Penulis melaksanakan kegiatan praktik lapangan pada tahun 2005 di PT Perkebunan Nusantara
VIII Gunung Mas Cisarua, Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .........................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

vii


PENDAHULUAN .........................................................................................

1

METODE
Bahan Tanaman dan Sumber Antera .........................................................................
Penentuan Tahap Perkembangan Mikrospora ...........................................................
Isolasi, Kultur Antera dan Inkubasi............................................................................
Komposisi media kultur ..................................................................................
Isolasi antera dan inkubasi ..............................................................................
Perlakuan Cekaman Suhu dan Pengamatan ...............................................................
Perlakuan cekaman suhu .................................................................................
Pengamatan .....................................................................................................

1
2
2
2
2
2

2
2

HASIL
Hubungan Ciri Morfologi Kuncup Bunga dan Tahap Perkembangan Mikrospora ...
Respon Mikrospora Terhadap Perlakuan Cekaman Suhu .........................................

2
4

PEMBAHASAN ...................................................................................................

6

SIMPULAN ..........................................................................................................

6

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


7

LAMPIRAN ....................................................................................................................

8

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hubungan morfologi kuncup bunga dengan tahapan perkembangan mikrospora
pada kedelai ..................................................................................................................
2 Pengaruh perlakuan cekaman suhu dan periode inkubasi terhadap tahap perkembangan
mikrospora pada kultur antera kedelai dalam sistem media dua lapis ..........................

3
5

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tahap perkembangan mikrospora atau polen kedelai ...................................................
2 Perkembangan mikrospora pada kultur antera kedelai varietas Slamet .......................


3
4

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan kedelai (Glycine max L.)
di Indonesia sangat besar baik untuk
dikonsumsi sebagai bahan makanan olahan
maupun dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Pada tahun 2006 produksi kedelai di Indonesia hanya mencapai 747 611 ton dengan
luas areal produksi 580 534 ha (BPS 2007),
sedangkan kebutuhannya mencapai 2.2 juta
ton per tahun. Untuk mengurangi ketimpangan ini, berbagai cara untuk meningkatkan
produksi telah dan sedang dilaksanakan, salah
satunya dengan pemuliaan kedelai melalui
persilangan antar varietas yang dilanjutkan
seleksi untuk menghasilkan varietas baru.
Varietas baru ini diharapkan mempunyai
kombinasi sifat baik dari tetuanya, misalnya
selain berproduksi tinggi dan berumur genjah,

juga toleran terhadap lahan masam dan
memiliki kadar protein yang tinggi. Dengan
demikian, produktivitas kedelai dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian.
Proses pemuliaan tanaman kedelai melalui
persilangan yang dilanjutkan dengan seleksi
membutuhkan waktu yang lama, yaitu
setidaknya 7-8 generasi. Untuk itu diperlukan
introduksi teknik yang dapat mempersingkat
proses pemuliaan. Salah satu alternatif adalah
mengembangkan dan menerapkan teknik
haploid. Dengan teknik ini, sel gamet jantan
yang belum matang atau mikrospora diinduksi
menjadi embrio dan prosesnya disebut
androgenesis. Pembentukan tanaman haploid
dan haploid ganda dengan tehnik ini dapat
dilakukan hanya dalam 1-2 generasi (Pierik
1987).
Tanaman haploid ganda akan memiliki
keseragaman genetik karena homozigot untuk
setiap lokusnya. Hal ini akan sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses seleksi
hasil persilangan. Bila antera atau mikrospora
dari hibrida F1 hasil persilangan dapat
diinduksi menjadi embrio dan selanjutnya
menjadi tanaman haploid ganda, maka proses
seleksi akan segera dilakukan secara dini pada
genotipe yang sudah tidak besegregasi lagi.
Akhirnya proses seleksi dalam pemuliaan
untuk menghasilkan varietas baru dapat
dipercepat secara signifikan.
Induksi androgenesis dapat dilakukan
melalui kultur antera dalam media padat atau
kultur isolasi mikrospora pada media cair
(Thomas & Davey 1975). Teknik kultur sebar
mikrospora (KSM) seperti yang dilaporkan
oleh Supena et al. (2006) merupakan
kombinasi kedua teknik tersebut. Teknik

KSM adalah mengkulturkan antera pada
media dua lapis, yaitu media cair di atas
media padat.
Faktor-faktor penting yang perlu diketahui
induksi
androgenesis
berhasil
supaya
diantaranya adalah: (1) penentuan fase
perkembangan mikrospora yang responsif, (2)
perlakuan cekaman suhu dan sumber karbon
untuk membelokkan dari jalur perkembangan
gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik, (3) komposisi media
yang sesuai, dan (4) kondisi inkubasi yang
mendukung (Thomas & Davey 1975; Collin
& Edwards 1998; Reed 2000; Ferrie 2003;
Touraev & Heberle-Bors 2003).
Pengembangan kultur jaringan pada
tanaman kedelai umumnya dilakukan dalam
upaya untuk membantu proses penelitian dan
pemuliaan tanaman (Mariska & Lestari 2006).
Teknik androgenesis yang juga sangat
berpotensi untuk mempercepat proses
penelitian dan pemuliaan tanaman telah dan
sedang dikembangkan pada tanaman kedelai
melalui kultur antera pada media padat yang
dilakukan di beberapa negara seperti di Cina
(Hu et al. 1996), Brazil (Kaltcuk-Santos et al.
1997) dan Indonesia (Zulkarnain 2005).
Kultur isolasi mikrospora pada media cair
juga telah dilaporkan oleh Rodrigues et al.
(2006). Namun, sampai saat ini belum dapat
dikembangkan metode yang efisien.
Didasarkan pada metode androgenesis
yang telah dikembangkan pada tanaman lain,
khususnya pada tanaman model seperti pada
Brassica napus (Ferrie 2003) dan Nicotiana
tabacum (Touraev & Heberle-Bors 2003),
serta tanaman cabai (Supena et al. 2006),
penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
tahap awal induksi androgenesis kultur antera
kedelai dalam sistem media dua lapis.
Hubungan antara tahap perkembangan
mikrospora dan ciri morfologis kuncup bunga,
serta pengaruh cekaman suhu terhadap induksi
pembelahan sporofitik merupakan bagian
utama yang dipelajari pada penelitian ini.

METODE
Bahan Tanaman dan Sumber Antera
Bahan tanaman yang digunakan adalah
kedelai varietas Sindoro dan Slamet yang
dilaporkan responsif terhadap embriogenesis
somatik (Husni et al. 2003). Kedelai ditanam
dalam pot dengan media tanam berupa
campuran tanah dan kasting dengan
perbandingan 3:1. Pertanaman dilakukan di
alam terbuka (tidak di dalam rumah kaca).
Waktu tanam dilakukan secara berkala supaya

2

kuncup bunga tersedia dalam waktu yang
relatif kontinu. Kuncup bunga dari tanaman
ini digunakan untuk penentuan tahap
perkembangan mikrospora dan bahan isolasi
dalam kultur antera.
Penentuan Tahap Perkembangan
Mikrospora
Kuncup bunga kedelai dikelompokkan
menjadi
empat
tahap
perkembangan
didasarkan pada rasio panjang daun pelindung
(braktea)
terhadap
panjang
kuncup
keseluruhan (Gambar lampiran 1). Kuncup
bunga dibuka menggunakan pinset untuk
mengisolasi antera dengan cara memisahkannya dari filamen dan mahkota bunga. Antera
didiseksi dan dipotong dengan scalpel
kemudian disuspensikan dalam media cair
mannitol (55 g/l) dan disentrifuse pada
kecepatan 8000 rpm (Jouan BR4i) selama 4
menit. Mikrospora diwarnai menggunakan
pewarna DNA 4,6-diamidino-2-phenylindole
(DAPI) dan tahapan perkembangan mikrospora diamati di bawah mikroskop Fluoresens
tipe Nikon Eclipse E-600 dengan filter UV.
Tahapan perkembangan mikrospora ini
dikorelasikan dengan tahapan perkembangan
kuncup bunga. Mikrospora diisolasi juga
dengan cara yang sama untuk menghitung
densitas mikrospora pada kuncup bunga
kedelai. Mikrospora dihitung menggunakan
alat bantu hemasitometer dengan penghitungan di bawah mikroskop.
Isolasi, Kultur Antera dan Inkubasi
Komposisi media kultur. Media kultur
adalah media dua lapis, media cair di atas
media padat. Media padat yang digunakan
adalah media SL2 (Phillips & Collins 1980)
dengan penambahan sukrosa 25 g/l, arang
aktif 10 g/l dan agar-agar Gelrite 2 g/l.
Komposisi media cair sama dengan media
padat tetapi tanpa arang aktif dan agar-agar
Gelrite. Untuk tiap cawan petri diameter 6 cm
yang digunakan membutuhkan media padat 3
ml dan selanjutnya akan ditambah 3 ml media
cair di atasnya sesaat sebelum kultur.
Isolasi antera dan inkubasi. Kuncup
bunga yang digunakan sebagai bahan eksplan
adalah kuncup dengan antera yang sebagian
besar mengandung mikrospora fase berinti
tunggal akhir sampai berinti dua awal.
Kuncup bunga dipanen pada pagi hari dan
segera didesinfeksi selama 10 menit dalam
2% NaOCl dengan penambahan 0.05 % (v/v)
Tween-20, kemudian dibilas tiga kali dalam
akuades steril masing-masing selama 10, 5
dan 1 menit. Selanjutnya, antera dari setiap

kuncup bunga yang berjumlah 10 buah
diisolasi pada kondisi steril dan dikulturkan
dalam sebuah petri dish dengan media SL2
dua lapis sehingga mengapung pada
permukaan cair. Perkembangan mikrospora
dalam antera, khususnya jumlah dan jenis inti
atau sel dari mikrospora, diamati secara
sitologis dengan menggunakan pewarna DAPI
mulai dari awal kultur, 1, 2, 3 dan 4 minggu
setelah kultur.
Perlakuan Cekaman Suhu dan
Pengamatan
Perlakuan cekaman suhu. Setiap kuncup
bunga diisolasi secara acak tujuh buah antera
dan dikulturkan kedalam tujuh cawan petri
untuk tujuh taraf perlakuan cekaman. Kultur
antera dari kuncup bunga ini diulang hingga
tiap petri berjumlah 15 antera yang berasal
dari 15 kuncup bunga. Setiap taraf perlakuan
diulang tiga kali atau terdiri dari 21 petri.
Kultur dari masing-masing varietas Sindoro
dan Slamet diberi perlakuan suhu pada awal
inkubasi, yaitu suhu rendah (4-9 ºC) dan suhu
tinggi (31-33 ºC) dengan periode inkubasi 1,
3, dan 7 hari pada kondisi gelap, serta suhu
25-28 ºC sebagai kontrol sehingga kombinasi
perlakuan cekaman suhu dan periode cekaman
terdiri dari tujuh taraf perlakuan untuk
masing-masing varietas. Setelah periode
cekaman suhu, kultur selanjutnya diinkubasi
pada suhu 25-28 °C dan selalu dalam keadaan
gelap.
Pengamatan. Perkembangan mikrospora
dari setiap taraf perlakuan cekaman suhu dan
periode cekaman untuk masing-masing jenis
varietas diamati secara periodik setiap
minggunya, yaitu minggu ke 0, 1, 2, 3 dan 4.
Satu buah antera diambil dari masing-masing
cawan petri dalam kondisi steril setiap
minggunya, kemudian didiseksi dan diwarnai
dengan pewarna DAPI. Perkembangan
mikrospora dan penghitungan jumlah inti atau
sel setiap individu mikrospora diamati di
bawah
mikroskop
fluoresens
dengan
menggunakan filter UV.

HASIL
Hubungan Ciri Morfologi Kuncup Bunga
dan Tahap Perkembangan Mikrospora
Hubungan
antara
perkembangan
mikrospora dan morfologi kuncup bunga
kedelai yang berdasarkan rasio braktea
terhadap panjang kuncup disajikan pada tabel
1 dan gambar 1. Fase tetrad yang terdiri dari
empat sel anak (Gambar 1A) merupakan hasil
pembelahan meiosis sel induk mikrospora

3

terjadi pada saat kuncup bunga mempunyai
rasio braktea terhadap panjang kuncup 1:1.
Setelah fase tetrad, masing-masing sel akan
menjadi individu mikrospora fase berinti
tunggal awal (Gambar 1B), yang selanjutnya
berkembang menjadi mikrospora fase berinti
tunggal akhir (Gambar 1C). Kedua fase
mikrospora ini dijumpai pada kuncup bunga
dengan rasio braktea terhadap panjang kuncup
2:3 baik pada varietas Sindoro maupun
varietas Slamet. Inti sel mikrospora akan
mengalami pembelahan mitosis menjadi dua
inti yang akan berkembang menjadi inti
vegetatif dan inti generatif (Gambar 1D dan
1E). Fase tersebut sebagian besar dijumpai
pada kuncup bunga Sindoro (55.5 %) dan
Slamet (87.5 %) pada rasio braktea terhadap

panjang kuncup 1:2. Mikrospora berinti dua
akhirnya akan berkembang menjadi sel gamet
jantan atau polen matang dengan satu inti
vegetatif yang besar dan tampak sirkuler dan
satu inti generatif yang terkondensasi dan
terlihat memanjang (Gambar 1F). Fase polen
ini mulai dijumpai pada kuncup bunga dengan
rasio braktea terhadap panjang kuncup 1:2 dan
menjadi dominan pada rasio 1:3. Pada kuncup
bunga dengan rasio 1:3 terdapat juga polen
yang sudah tidak berinti (Gambar 1G)
masing-masing 36.4 % dan 42.5 % untuk
varietas Sindoro dan Slamet. Rata-rata
densitas mikrospora kedelai adalah 19 467 sel
per kuncup bunga dengan kisaran 19 200 sel
sampai 22 400 sel per kuncup.

Tabel 1 Hubungan morfologi kuncup bunga dengan tahapan perkembangan mikrospora pada
kedelai

Varietas

Rasio
braktea:
panjang
kuncup

Tahap perkembangan mikrospora (%)
Panjang
kuncup (mm)

Tetrad

Berinti tunggal
awal

Sindoro

Slamet

A

akhir

Berinti dua
awal

Polen

akhir

Polen
tidak
berinti

1:1

2.0-2.5 mm

100

0

0

0

0

0

2:3

2.5-4.5 mm

0

34.2

34.2

21.8

9.8

0

0
0

1:2

4.5-5.5 mm

0

0

3.3

16.7

38.8

32.4

8.8

1:3

5.5-6.0 mm

0

0

0

0

0

63.6

36.4

1:1

2.5-3.0 mm

100

0

0

0

0

0

0

2:3

3.0-4.0 mm

0

34.7

53.6

8.8

2.9

0

0

1:2

4.0-5.0 mm

0

0

0

20.8

66.7

12.5

0

1:3

5.0-6.0 mm

0

0

0

0

0

57.5

42.5

B

C

D

E

F

G

B

Gambar 1 Tahap perkembangan mikrospora atau polen kedelai: (A) fase tetrad; (B) fase berinti
tunggal awal; (C) fase berinti tunggal akhir; (D) fase berinti dua awal; (E) fase berinti
dua akhir; (F) polen matang; (G) polen yang tidak memiliki atau sudah kehilangan inti.
Bar A-G= 10 µm.

4

Respon Mikrospora Terhadap Perlakuan
Cekaman Suhu
Sel mikrospora fase berinti tunggal akhir
dan fase berinti dua awal (Gambar 2A)
memperlihatkan respon yang berbeda-beda
terhadap perlakuan cekaman suhu dengan
periode inkubasi berbeda (Tabel 2). Pada
kondisi kontrol (25-28 ºC) mikrospora berinti
tunggal akan mengalami gametogenesis. Inti
sel mikrospora membelah secara asimetri
menghasilkan dua inti yang berbeda yaitu
berkembang menjadi inti generatif dan inti
vegetatif (Gambar 2B). Perkembangan
selanjutnya tidak tampak menjadi polen
dewasa tetapi inti dan sitoplasma keluar
sehingga mikrospora menjadi tidak berinti
(Gambar 2C). Proses ini terjadi mulai pada
minggu pertama sampai minggu keempat
setelah kultur dengan jumlah sel yang
kehilangan inti tersebut terus bertambah di
minggu kedua, ketiga dan keempat (Tabel 2).
Perlakuan cekaman suhu 4-9 °C dengan
periode inkubasi satu dan tiga hari untuk

E

masing-masing varietas Slamet dan Sindoro
telah mampu menginduksi inti sel mikrospora
untuk membelah simetri menjadi dua inti yang
sama (Gambar 2D) masing-masing 2.9 % dan
6.2 % untuk varietas Slamet dan Sindoro
(Tabel 2). Sel dengan dua inti yang sama
ditemukan juga di perlakuan cekaman suhu
31-33 °C dalam periode tujuh hari hanya pada
varietas Slamet (1.0 %). Pada pengamatan
minggu keempat, mikrospora varietas Slamet
mampu menghasilkan mikrospora multiselular
dengan lebih dari enam sel (Gambar 2F), yaitu
masing-masing 2.3 % pada suhu rendah selama tiga hari dan 5.1 % pada suhu tinggi
selama tujuh hari. Perlakuan cekaman suhu
pada varietas Slamet mampu menghasilkan
mikrospora multiselular sedangkan pada
varietas Sindoro, meskipun pembelahan
sporofitik (simetri) terjadi pada pengamatan
minggu pertama, tetapi perkembangan sel
mikrospora tidak sampai pada struktur
multiselular.

A

B

C

D

E

F

Gambar 2 Perkembangan mikrospora pada kultur antera kedelai varietas Slamet: (A) mikrospora
fase berinti tunggal akhir (kiri) dan fase berinti dua awal (kanan) pada awal kultur; (B)
inti mikrospora yang membelah secara asimetri menjadi mikrospora pada fase berinti
dua hingga polen matang; (C) inti dan sitoplasma mikrospora keluar dari dalam sel; (D)
inti sel mikrospora yang membelah secara simetri; (E) mikrospora dengan satu inti
generatif dan dua inti vegetatif; (F) mikrospora dengan lebih dari enam inti sel. B dan
C umur satu minggu setelah kultur pada kondisi tanpa cekaman suhu atau 25-28 °C
(kontrol); D dan E umur satu minggu serta F umur empat minggu pada kondisi
cekaman suhu 4-9 °C. Bar=10 µm.

PEMBAHASAN
Karakter morfologi kuncup bunga kedelai,
yaitu rasio braktea terhadap panjang kuncup
bunga merupakan salah satu parameter yang
dapat digunakan untuk menduga tahap
perkembangan mikrospora dalam kuncup
bunga varietas Slamet maupun Sindoro yang
digunakan pada penelitian ini. Fase berinti
tunggal akhir sampai fase berinti dua awal
adalah ketika rasio braktea terhadap panjang
kuncup 2:3. Hasil ini sesuai dengan yang telah
dilaporkan oleh da Silva Lauxen et al. (2003).
Dengan menggunakan penciri morfologi ini
diharapkan antera yang akan dikulturkan
adalah antera yang mengandung tahap
perkembangan mikrospora yang diinginkan.
Menurut Hu et al. (1996) antera yang
memiliki mikrospora fase berinti tunggal akhir
dan berinti dua awal merupakan tahap yang
responsif untuk induksi androgenesis pada
kedelai.
Tahapan
perkembangan
mikrospora
berdasarkan panjang kuncup bunga kedelai
berbeda pada masing-masing varietas. Fase
tetrad dimiliki oleh kuncup bunga dengan
panjang 2.0-2.5 mm pada varietas Sindoro dan
2.5-3.0 mm pada varietas Slamet. Kuncup
bunga Sindoro dengan panjang 2.5-4.5 mm
mengandung 34.2 % mikrospora fase berinti
tunggal awal. Jumlah ini hampir sama dengan
kuncup bunga Slamet ketika panjang kuncup
3.0-4.0 mm, yaitu 34.7 %. Namun, Slamet
mengandung mikrospora fase berinti tunggal
akhir yang lebih besar dibandingkan Sindoro,
yaitu 53.6 %. Sehingga karakter morfologi
panjang kuncup tidak dapat digunakan sebagai
penanda perkembangan mikrospora karena
tidak konsisten pada kedua varietas yang
diamati, Sindoro dan Slamet.
Perlakuan cekaman suhu rendah (4-9 °C)
dan suhu tinggi (31-33 °C) telah mampu
menghasilkan struktur multiselular dari
mikrospora
varietas
Slamet.
Struktur
multiselular tersebut menandakan bahwa telah
terjadi pembelokkan perkembangan mikrospora dari jalur gametofitik menjadi terinduksi
untuk pembelahan sporofitik. Terjadinya
pembelahan sporofitik ini merupakan tahap
awal untuk terjadinya proses embriogenesis
dari mikrospora atau induksi androgenesis.
Struktur multiselular mikrospora ini dapat
berasal dari mikrospora berinti tunggal akhir
yang ditandai adanya pembelahan simetri
menghasilkan dua inti yang sama (Gambar
2D), dan dapat juga berasal dari mikrospora
berinti dua awal dengan menghasilkan dua inti

vegetatif yang disertai satu inti generatif
(Gambar 2E). Fenomena ini sesuai dengan
yang dilaporkan oleh Hu et al. (1996) dan de
Moraes et al. (2004) yang menyatakan bahwa
pembelahan simetri mikrospora berasal dari
mikrospora fase berinti tunggal akhir dan
pembelahan simetri inti vegetatif dari fase
berinti dua awal akan menghasilkan struktur
multiselular.
Individu mikrospora dapat melanjutkan
perkembangan gametofitiknya pada kondisi
tanpa cekaman suhu (25-28 °C) karena
mikrospora berinti tunggal akhir dapat
berkembang sampai pada tahap berinti dua
akhir. Namun, mikrospora berinti dua akhir
ini tidak berkembang lebih lanjut karena sel
mikrospora mengalami plasmolisis sehingga
tidak tampak menjadi polen matang dan
berkecambah, akan tetapi inti dan seluruh
sitoplasma keluar dari dinding mikrospora
sehingga mikrospora menjadi tidak memiliki
inti. Kehilangan inti atau kematian mikrospora
ini bertambah setiap minggu pengamatan.
Penggunaan sumber karbon sukrosa
diduga merupakan faktor penyebab sel
mikrospora mengalami plasmolisis, karena
sukrosa dapat meningkatkan tekanan osmotik
larutan media. Sukrosa merupakan sumber
karbon yang sangat cepat dihidrolisis dan
lebih cepat dimanfaatkan, sehingga sukrosa
pada kultur mikrospora kedelai dilaporkan
tidak dapat digunakan untuk perkembangan
mikrospora multiselular ke perkembangan
selanjutnya menjadi embrio (Hu et al. 1996).
Maltosa merupakan alternatif yang dapat
dipilih sebagai sumber karbon tanpa meracuni
sel karena dapat dimanfaatkan secara bertahap
pada kultur isolasi mikrospora Barley (Kasha
et al. 2003). Oleh karenanya kombinasi
perlakuan cekaman suhu dengan sumber
karbon maltosa dalam media kultur mungkin
akan
dapat
memaksimalkan
induksi
androgenesis pada kultur antera kedelai.

SIMPULAN
Penanda morfologi kuncup bunga kedelai
yang mengandung mikrospora berinti tunggal
akhir sampai berinti dua awal yaitu ketika
rasio braktea terhadap panjang kuncup adalah
2:3. Perlakuan cekaman suhu rendah (4-9 °C)
selama tiga hari dan suhu tinggi (31-33 °C)
selama tujuh hari pada awal periode inkubasi
dapat menginduksi pembelahan sporofitik
sampai menjadi struktur multiselular pada
minggu keempat kultur antera varietas Slamet.

7

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
tahap awal androgenesis telah dapat diinduksi
melalui kultur antera kedelai dalam sistem
media dua lapis.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Harvested
Area, Yield Rate and Production of
Soybean by Province. http://www.bps.
go.id/sector/agri/pangan/table5.shtml
[07 Agt 06].
Collin HA, Edwards S. 1998. Plant Cell
Culture. United Kingdom: Bios
Scientific Publisher.
da Silva Lauxen M, Kalthcuk-Santos E, Hu
CY, Callegari-Jacques SM, BonadeseZanettini MH. 2003. Association
between
floral
bud
size
and
developmental stage in soybean
microspores. Braz Arch Biol Technol.
46: 515-520.
de Moraes AP, Bonadese-Zanettini MH,
Callegari-Jacques SM, Kalthcuk-Santos
E. 2004. Effect of temperature shock on
soybean microspore embryogenesis.
Braz Arch Biol Technol. 47: 537-544.
Ferrie A. 2003. Microspore culture of
Brassica species. Di Dalam: Maluszynki
M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I,
editor. Double Haploid Production in
Crop Plant, A Manual. Dordrecht:
Kluwer Academic Publisher. hlm. 205215.
Hu CY, Yin GC, Bonadese-Zanettini MH.
1996. Haploid of soybean. Di Dalam:
Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE,
editor. In Vitro Production in Higher
Plants. Dordrecht: Kluwer Academic
Publisher. hlm 377-395.
Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I.
2003. Regenerasi massa sel embriogenik
kedelai
yang
diseleksi
dengan
Polyethylen Glicol 6000 (PEG). Di
dalam: Hasil Penelitian Rintisan
Bioteknologi
Tanaman.
Prosiding
Seminar; Bogor, 23-24 Sep 2003.
Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian. hlm
272-280.
Kalthcuk-Santos E, Mariath JE, Mundstock E,
Hu CY, Bodanese-Zanettini MH. 1997.
Cytological analysis of early microspore
divisions and embryo formation in
cultured soybean anther. Plant Cell Tiss
Org Cult. 49: 107-115.

Kasha KJ, Simion E, Oro R, Shim YS. 2003.
Barley isolated and microspore culture
protocol. Di Dalam: Maluszynki M,
Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor.
Double Haploid Production in Crop
Plant. Dordrecht: Kluwer Academic
Publisher. hlm 43-47.
Mariska I, Lestari EG. 2006. Seleksi in vitro
untuk toleransi terhadap faktor abiotik
pada tanaman padi dan kedelai. Di
dalam: Pemanfaatan Bioteknologi
untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada
Tanaman. Prosiding Seminar Nasional.
Bogor: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan
Bioteknologi
dan
Sumberdaya Genetik Pertanian. hlm 2841.
Phillips GC, Collins GB. 1980. Somatic
embryogenesis from cell suspension
cultures of red clover. Crop Sci. 20:
323-326.
Pierik RLM.1987. In Vitro Culture of Higher
Plants. Dordrecht : Kluwer Academic
Publisher.
Reed SM. 2000. Haploid Cultures. Di dalam:
Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant
Tissue
Culture
Concepts
and
Laboratory Exercises. USA: Boca
Raton. hlm 285-295.
Rodrigues LR, de Camargo Forte B,
MH.
2006.
Bodanese-Zanettini
Isolation and culture of soybean
(Glycine max L. Merrill) microspores
and pollen grains. Braz Arch Biol
Technol. 49: 537-545.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E,
2006.
Succesfull
Custers
JBM.
development of a shed-microspore
culture protocol for double haploid
production in Indonesian hot pepper
(Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep.
25:1-10.
Thomas E, Davey MR. 1975. From Single
Cells to Plants. London: Wykeham
publications.
Touraev A, Heberle-Bors E. 2003. Anther and
microspore culture in tobacco. Di
Dalam: Maluszynki M, Kasha KJ,
Foster BP, Szarejko I, editor. Double
Haploid Production in Crop Plant.
Dordrecht
:
Kluwer
Academic
Publisher. hlm 223-228.
Zulkarnain. 2005. Pengaruh pra-perlakuan
stres pada kultur antera empat kultivar
kedelai. Jurnal Akta Agrosia. 8: 56-61.

LAMPIRAN

9

A

Gambar lampiran 1 Pengukuran rasio braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai: (A1-A2)
kuncup bunga dengan rasio braktea terhadap panjang kuncup 2/3; (B1-B2)
kuncup bunga dengan rasio braktea terhadap panjang kuncup 1/2. Bar = 0.5
mm. Tanda panah= braktea.

A1

B1

A2

B2

CEKAMAN SUHU UNTUK INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK
PADA KULTUR ANTERA KEDELAI
DALAM SISTEM MEDIA DUA LAPIS

EVY AMMAY REZANY

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRAK
EVY AMMAY REZANY. Cekaman Suhu Untuk Induksi Pembelahan Sporofitik Pada Kultur
Antera Kedelai Dalam Sistem Media Dua Lapis. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA
SUPENA dan SUHARSONO.
Teknik androgenesis sangat berpotensi untuk mempercepat proses penelitian dan pemuliaan
pada tanaman kedelai. Pengembangan teknik androgenesis pada kedelai melalui kultur antera pada
media padat dan kultur isolasi mikrospora pada media cair belum dapat mengembangkan metode
yang efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tahap awal induksi androgenesis kultur
antera kedelai varietas Sindoro dan Slamet dalam sistem media dua lapis. Penanda morfologi
kuncup bunga kedelai untuk sebagian besar mikrosporanya berinti tunggal akhir sampai berinti
dua awal adalah ketika rasio braktea terhadap panjang kuncup 2:3. Perlakuan cekaman suhu
rendah (4-9 °C) selama tiga hari dan suhu tinggi (31-33 °C) selama tujuh hari pada awal periode
inkubasi dapat menginduksi pembelahan sporofitik sampai menjadi struktur multiselular pada
varietas Slamet umur kultur empat minggu. Induksi pembelahan sporofitik dapat terjadi dari
mikrospora berinti tunggal akhir sampai berinti dua awal. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa tahap awal androgenesis telah dapat diinduksi melalui kultur antera kedelai dalam sistem
media dua lapis.

ABSTRACT
EVY AMMAY REZANY. Temperature Shock for Induction of Sporophytic Division in Soybean
Anther Culture with Double-Layer Medium System. Supervised by ENCE DARMO JAYA
SUPENA and SUHARSONO
Androgenesis technique is very potential method for the plant research and breeding of
soybean. Androgenesis through anther culture in solid medium and microspores isolation culture
in liquid medium was not able to develop an efficient methode. The aim of this research was to
study the early stage of androgenetic induction in soybean anther culture of Sindoro and Slamet
cultivar with double-layer medium system. Morphological marker for soybean flower buds when
microspores at the late uninucleate and early binucleate stage were found in bract/bud ratio of 2:3.
Stress treatment of cold (4-9 °C) shock in three days and heat (31-33 °C) shock in seven days at
the early period of incubation was able to form multicelullar structure of microspores Slamet
cultivars by sporophytic division in four weeks of culture. This process could be formed by
sporophytic division of late uninucleate and early binucleate microspores. This study indicates that
soybean anther culture in double-layer medium system was able to induce the early stage of
androgenesis.

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan kedelai (Glycine max L.)
di Indonesia sangat besar baik untuk
dikonsumsi sebagai bahan makanan olahan
maupun dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Pada tahun 2006 produksi kedelai di Indonesia hanya mencapai 747 611 ton dengan
luas areal produksi 580 534 ha (BPS 2007),
sedangkan kebutuhannya mencapai 2.2 juta
ton per tahun. Untuk mengurangi ketimpangan ini, berbagai cara untuk meningkatkan
produksi telah dan sedang dilaksanakan, salah
satunya dengan pemuliaan kedelai melalui
persilangan antar varietas yang dilanjutkan
seleksi untuk menghasilkan varietas baru.
Varietas baru ini diharapkan mempunyai
kombinasi sifat baik dari tetuanya, misalnya
selain berproduksi tinggi dan berumur genjah,
juga toleran terhadap lahan masam dan
memiliki kadar protein yang tinggi. Dengan
demikian, produktivitas kedelai dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian.
Proses pemuliaan tanaman kedelai melalui
persilangan yang dilanjutkan dengan seleksi
membutuhkan waktu yang lama, yaitu
setidaknya 7-8 generasi. Untuk itu diperlukan
introduksi teknik yang dapat mempersingkat
proses pemuliaan. Salah satu alternatif adalah
mengembangkan dan menerapkan teknik
haploid. Dengan teknik ini, sel gamet jantan
yang belum matang atau mikrospora diinduksi
menjadi embrio dan prosesnya disebut
androgenesis. Pembentukan tanaman haploid
dan haploid ganda dengan tehnik ini dapat
dilakukan hanya dalam 1-2 generasi (Pierik
1987).
Tanaman haploid ganda akan memiliki
keseragaman genetik karena homozigot untuk
setiap lokusnya. Hal ini akan sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses seleksi
hasil persilangan. Bila antera atau mikrospora
dari hibrida F1 hasil persilangan dapat
diinduksi menjadi embrio dan selanjutnya
menjadi tanaman haploid ganda, maka proses
seleksi akan segera dilakukan secara dini pada
genotipe yang sudah tidak besegregasi lagi.
Akhirnya proses seleksi dalam pemuliaan
untuk menghasilkan varietas baru dapat
dipercepat secara signifikan.
Induksi androgenesis dapat dilakukan
melalui kultur antera dalam media padat atau
kultur isolasi mikrospora pada media cair
(Thomas & Davey 1975). Teknik kultur sebar
mikrospora (KSM) seperti yang dilaporkan
oleh Supena et al. (2006) merupakan
kombinasi kedua teknik tersebut. Teknik

KSM adalah mengkulturkan antera pada
media dua lapis, yaitu media cair di atas
media padat.
Faktor-faktor penting yang perlu diketahui
induksi
androgenesis
berhasil
supaya
diantaranya adalah: (1) penentuan fase
perkembangan mikrospora yang responsif, (2)
perlakuan cekaman suhu dan sumber karbon
untuk membelokkan dari jalur perkembangan
gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik, (3) komposisi media
yang sesuai, dan (4) kondisi inkubasi yang
mendukung (Thomas & Davey 1975; Collin
& Edwards 1998; Reed 2000; Ferrie 2003;
Touraev & Heberle-Bors 2003).
Pengembangan kultur jaringan pada
tanaman kedelai umumnya dilakukan dalam
upaya untuk membantu proses penelitian dan
pemuliaan tanaman (Mariska & Lestari 2006).
Teknik androgenesis yang juga sangat
berpotensi untuk mempercepat proses
penelitian dan pemuliaan tanaman telah dan
sedang dikembangkan pada tanaman kedelai
melalui kultur antera pada media padat yang
dilakukan di beberapa negara seperti di Cina
(Hu et al. 1996), Brazil (Kaltcuk-Santos et al.
1997) dan Indonesia (Zulkarnain 2005).
Kultur isolasi mikrospora pada media cair
juga telah dilaporkan oleh Rodrigues et al.
(2006). Namun, sampai saat ini belum dapat
dikembangkan metode yang efisien.
Didasarkan pada metode androgenesis
yang telah dikembangkan pada tanaman lain,
khususnya pada tanaman model seperti pada
Brassica napus (Ferrie 2003) dan Nicotiana
tabacum (Touraev & Heberle-Bors 2003),
serta tanaman cabai (Supena et al. 2006),
penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
tahap awal induksi androgenesis kultur antera
kedelai dalam sistem media dua lapis.
Hubungan antara tahap perkembangan
mikrospora dan ciri morfologis kuncup bunga,
serta pengaruh cekaman suhu terhadap induksi
pembelahan sporofitik merupakan bagian
utama yang dipelajari pada penelitian ini.

METODE
Bahan Tanaman dan Sumber Antera
Bahan tanaman yang digunakan adalah
kedelai varietas Sindoro dan Slamet yang
dilaporkan responsif terhadap embriogenesis
somatik (Husni et al. 2003). Kedelai ditanam
dalam pot dengan media tanam berupa
campuran tanah dan kasting dengan
perbandingan 3:1. Pertanaman dilakukan di
alam terbuka (tidak di dalam rumah kaca).
Waktu tanam dilakukan secara berkala supaya

PENDAHULUAN
Kebutuhan akan kedelai (Glycine max L.)
di Indonesia sangat besar baik untuk
dikonsumsi sebagai bahan makanan olahan
maupun dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Pada tahun 2006 produksi kedelai di Indonesia hanya mencapai 747 611 ton dengan
luas areal produksi 580 534 ha (BPS 2007),
sedangkan kebutuhannya mencapai 2.2 juta
ton per tahun. Untuk mengurangi ketimpangan ini, berbagai cara untuk meningkatkan
produksi telah dan sedang dilaksanakan, salah
satunya dengan pemuliaan kedelai melalui
persilangan antar varietas yang dilanjutkan
seleksi untuk menghasilkan varietas baru.
Varietas baru ini diharapkan mempunyai
kombinasi sifat baik dari tetuanya, misalnya
selain berproduksi tinggi dan berumur genjah,
juga toleran terhadap lahan masam dan
memiliki kadar protein yang tinggi. Dengan
demikian, produktivitas kedelai dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian.
Proses pemuliaan tanaman kedelai melalui
persilangan yang dilanjutkan dengan seleksi
membutuhkan waktu yang lama, yaitu
setidaknya 7-8 generasi. Untuk itu diperlukan
introduksi teknik yang dapat mempersingkat
proses pemuliaan. Salah satu alternatif adalah
mengembangkan dan menerapkan teknik
haploid. Dengan teknik ini, sel gamet jantan
yang belum matang atau mikrospora diinduksi
menjadi embrio dan prosesnya disebut
androgenesis. Pembentukan tanaman haploid
dan haploid ganda dengan tehnik ini dapat
dilakukan hanya dalam 1-2 generasi (Pierik
1987).
Tanaman haploid ganda akan memiliki
keseragaman genetik karena homozigot untuk
setiap lokusnya. Hal ini akan sangat
bermanfaat untuk mempercepat proses seleksi
hasil persilangan. Bila antera atau mikrospora
dari hibrida F1 hasil persilangan dapat
diinduksi menjadi embrio dan selanjutnya
menjadi tanaman haploid ganda, maka proses
seleksi akan segera dilakukan secara dini pada
genotipe yang sudah tidak besegregasi lagi.
Akhirnya proses seleksi dalam pemuliaan
untuk menghasilkan varietas baru dapat
dipercepat secara signifikan.
Induksi androgenesis dapat dilakukan
melalui kultur antera dalam media padat atau
kultur isolasi mikrospora pada media cair
(Thomas & Davey 1975). Teknik kultur sebar
mikrospora (KSM) seperti yang dilaporkan
oleh Supena et al. (2006) merupakan
kombinasi kedua teknik tersebut. Teknik

KSM adalah mengkulturkan antera pada
media dua lapis, yaitu media cair di atas
media padat.
Faktor-faktor penting yang perlu diketahui
induksi
androgenesis
berhasil
supaya
diantaranya adalah: (1) penentuan fase
perkembangan mikrospora yang responsif, (2)
perlakuan cekaman suhu dan sumber karbon
untuk membelokkan dari jalur perkembangan
gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik, (3) komposisi media
yang sesuai, dan (4) kondisi inkubasi yang
mendukung (Thomas & Davey 1975; Collin
& Edwards 1998; Reed 2000; Ferrie 2003;
Touraev & Heberle-Bors 2003).
Pengembangan kultur jaringan pada
tanaman kedelai umumnya dilakukan dalam
upaya untuk membantu proses penelitian dan
pemuliaan tanaman (Mariska & Lestari 2006).
Teknik androgenesis yang juga sangat
berpotensi untuk mempercepat proses
penelitian dan pemuliaan tanaman telah dan
sedang dikembangkan pada tanaman kedelai
melalui kultur antera pada media padat yang
dilakukan di beberapa negara seperti di Cina
(Hu et al. 1996), Brazil (Kaltcuk-Santos et al.
1997) dan Indonesia (Zulkarnain 2005).
Kultur isolasi mikrospora pada media cair
juga telah dilaporkan oleh Rodrigues et al.
(2006). Namun, sampai saat ini belum dapat
dikembangkan metode yang efisien.
Didasarkan pada metode androgenesis
yang telah dikembangkan pada tanaman lain,
khususnya pada tanaman model seperti pada
Brassica napus (Ferrie 2003) dan Nicotiana
tabacum (Touraev & Heberle-Bors 2003),
serta tanaman cabai (Supena et al. 2006),
penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
tahap awal induksi androgenesis kultur antera
kedelai dalam sistem media dua lapis.
Hubungan antara tahap perkembangan
mikrospora dan ciri morfologis kuncup bunga,
serta pengaruh cekaman suhu terhadap induksi
pembelahan sporofitik merupakan bagian
utama yang dipelajari pada penelitian ini.

METODE
Bahan Tanaman dan Sumber Antera
Bahan tanaman yang digunakan adalah
kedelai varietas Sindoro dan Slamet yang
dilaporkan responsif terhadap embriogenesis
somatik (Husni et al. 2003). Kedelai ditanam
dalam pot dengan media tanam berupa
campuran tanah dan kasting dengan
perbandingan 3:1. Pertanaman dilakukan di
alam terbuka (tidak di dalam rumah kaca).
Waktu tanam dilakukan secara berkala supaya

2

kuncup bunga tersedia dalam waktu yang
relatif kontinu. Kuncup bunga dari tanaman
ini digunakan untuk penentuan tahap
perkembangan mikrospora dan bahan isolasi
dalam kultur antera.
Penentuan Tahap Perkembangan
Mikrospora
Kuncup bunga kedelai dikelompokkan
menjadi
empat
tahap
perkembangan
didasarkan pada rasio panjang daun pelindung
(braktea)
terhadap
panjang
kuncup
keseluruhan (Gambar lampiran 1). Kuncup
bunga dibuka menggunakan pinset untuk
mengisolasi antera dengan cara memisahkannya dari filamen dan mahkota bunga. Antera
didiseksi dan dipotong dengan scalpel
kemudian disuspensikan dalam media cair
mannitol (55 g/l) dan disentrifuse pada
kecepatan 8000 rpm (Jouan BR4i) selama 4
menit. Mikrospora diwarnai menggunakan
pewarna DNA 4,6-diamidino-2-phenylindole
(DAPI) dan tahapan perkembangan mikrospora diamati di bawah mikroskop Fluoresens
tipe Nikon Eclipse E-600 dengan filter UV.
Tahapan perkembangan mikrospora ini
dikorelasikan dengan tahapan perkembangan
kuncup bunga. Mikrospora diisolasi juga
dengan cara yang sama untuk menghitung
densitas mikrospora pada kuncup bunga
kedelai. Mikrospora dihitung menggunakan
alat bantu hemasitometer dengan penghitungan di bawah mikroskop.
Isolasi, Kultur Antera dan Inkubasi
Komposisi media kultur. Media kultur
adalah media dua lapis, media cair di atas
media padat. Media padat yang digunakan
adalah media SL2 (Phillips & Collins 1980)
dengan penambahan sukrosa 25 g/l, arang
aktif 10 g/l dan agar-agar Gelrite 2 g/l.
Komposisi media cair sama dengan media
padat tetapi tanpa arang aktif dan agar-agar
Gelrite. Untuk tiap cawan petri diameter 6 cm
yang digunakan membutuhkan media padat 3
ml dan selanjutnya akan ditambah 3 ml media
cair di atasnya sesaat sebelum kultur.
Isolasi antera dan inkubasi. Kuncup
bunga yang digunakan sebagai bahan eksplan
adalah kuncup dengan antera yang sebagian
besar mengandung mikrospora fase berinti
tunggal akhir sampai berinti dua awal.
Kuncup bunga dipanen pada pagi hari dan
segera didesinfeksi selama 10 menit dalam
2% NaOCl dengan penambahan 0.05 % (v/v)
Tween-20, kemudian dibilas tiga kali dalam
akuades steril masing-masing selama 10, 5
dan 1 menit. Selanjutnya, antera dari setiap

kuncup bunga yang berjumlah 10 buah
diisolasi pada kondisi steril dan dikulturkan
dalam sebuah petri dish dengan media SL2
dua lapis sehingga mengapung pada
permukaan cair. Perkembangan mikrospora
dalam antera, khususnya jumlah dan jenis inti
atau sel dari mikrospora, diamati secara
sitologis dengan menggunakan pewarna DAPI
mulai dari awal kultur, 1, 2, 3 dan 4 minggu
setelah kultur.
Perlakuan Cekaman Suhu dan
Pengamatan
Perlakuan cekaman suhu. Setiap kuncup
bunga diisolasi secara acak tujuh buah antera
dan dikulturkan kedalam tujuh cawan petri
untuk tujuh taraf perlakuan cekaman. Kultur
antera dari kuncup bunga ini diulang hingga
tiap petri berjumlah 15 antera yang berasal
dari 15 kuncup bunga. Setiap taraf perlakuan
diulang tiga kali atau terdiri dari 21 petri.
Kultur dari masing-masing varietas Sindoro
dan Slamet diberi perlakuan suhu pada awal
inkubasi, yaitu suhu rendah (4-9 ºC) dan suhu
tinggi (31-33 ºC) dengan periode inkubasi 1,
3, dan 7 hari pada kondisi gelap, serta suhu
25-28 ºC sebagai kontrol sehingga kombinasi
perlakuan cekaman suhu dan periode cekaman
terdiri dari tujuh taraf perlakuan untuk
masing-masing varietas. Setelah periode
cekaman suhu, kultur selanjutnya diinkubasi
pada suhu 25-28 °C dan selalu dalam keadaan
gelap.
Pengamatan. Perkembangan mikrospora
dari setiap taraf perlakuan cekaman suhu dan
periode cekaman untuk masing-masing jenis
varietas diamati secara periodik setiap
minggunya, yaitu minggu ke 0, 1, 2, 3 dan 4.
Satu buah antera diambil dari masing-masing
cawan petri dalam kondisi steril setiap
minggunya, kemudian didiseksi dan diwarnai
dengan pewarna DAPI. Perkembangan
mikrospora dan penghitungan jumlah inti atau
sel setiap individu mikrospora diamati di
bawah
mikroskop
fluoresens
dengan
menggunakan filter UV.

HASIL
Hubungan Ciri Morfologi Kuncup Bunga
dan Tahap Perkembangan Mikrospora
Hubungan
antara
perkembangan
mikrospora dan morfologi kuncup bunga
kedelai yang berdasarkan rasio braktea
terhadap panjang kuncup disajikan pada tabel
1 dan gambar 1. Fase tetrad yang terdiri dari
empat sel anak (Gambar 1A) merupakan hasil
pembelahan meiosis sel induk mikrospora

2

kuncup bunga tersedia dalam waktu yang
relatif kontinu. Kuncup bunga dari tanaman
ini digunakan untuk penentuan tahap
perkembangan mikrospora dan bahan isolasi
dalam kultur antera.
Penentuan Tahap Perkembangan
Mikrospora
Kuncup bunga kedelai dikelompokkan
menjadi
empat
tahap
perkembangan
didasarkan pada rasio panjang daun pelindung
(braktea)
terhadap
panjang
kuncup
keseluruhan (Gambar lampiran 1). Kuncup
bunga dibuka menggunakan pinset untuk
mengisolasi antera dengan cara memisahkannya dari filamen dan mahkota bunga. Antera
didiseksi dan dipotong dengan scalpel
kemudian disuspensikan dalam media cair
mannitol (55 g/l) dan disentrifuse pada
kecepatan 8000 rpm (Jouan BR4i) selama 4
menit. Mikrospora diwarnai menggunakan
pewarna DNA 4,6-diamidino-2-phenylindole
(DAPI) dan tahapan perkembangan mikrospora diamati di bawah mikroskop Fluoresens
tipe Nikon Eclipse E-600 dengan filter UV.
Tahapan perkembangan mikrospora ini
dikorelasikan dengan tahapan perkembangan
kuncup bunga. Mikrospora diisolasi juga
dengan cara yang sama untuk menghitung
densitas mikrospora pada kuncup bunga
kedelai. Mikrospora dihitung menggunakan
alat bantu hemasitometer dengan penghitungan di bawah mikroskop.
Isolasi, Kultur Antera dan Inkubasi
Komposisi media kultur. Media kultur
adalah media dua lapis, media cair di atas
media padat. Media padat yang digunakan
adalah media SL2 (Phillips & Collins 1980)
dengan penambahan sukrosa 25 g/l, arang
aktif 10 g/l dan agar-agar Gelrite 2 g/l.
Komposisi media cair sama dengan media
padat tetapi tanpa arang aktif dan agar-agar
Gelrite. Untuk tiap cawan petri diameter 6 cm
yang digunakan membutuhkan media padat 3
ml dan selanjutnya akan ditambah 3 ml media
cair di atasnya sesaat sebelum kultur.
Isolasi antera dan inkubasi. Kuncup
bunga yang digunakan sebagai bahan eksplan
adalah kuncup dengan antera yang sebagian
besar mengandung mikrospora fase berinti
tunggal akhir sampai berinti dua awal.
Kuncup bunga dipanen pada pagi hari dan
segera didesinfeksi selama 10 menit dalam
2% NaOCl dengan penambahan 0.05 % (v/v)
Tween-20, kemudian dibilas tiga kali dalam
akuades steril masing-masing selama 10, 5
dan 1 menit. Selanjutnya, antera dari setiap

kuncup bunga yang berjumlah 10 buah
diisolasi pada kondisi steril dan dikulturkan
dalam sebuah petri dish dengan media SL2
dua lapis sehingga mengapung pada
permukaan cair. Perkembangan mikrospora
dalam antera, khususnya jumlah dan jenis inti
atau sel dari mikrospora, diamati secara
sitologis dengan menggunakan pewarna DAPI
mulai dari awal kultur, 1, 2, 3 dan 4 minggu
setelah kultur.
Perlakuan Cekaman Suhu dan
Pengamatan
Perlakuan cekaman suhu. Setiap kuncup
bunga diisolasi secara acak tujuh buah antera
dan dikulturkan kedalam tujuh cawan petri
untuk tujuh taraf perlakuan cekaman. Kultur
antera dari kuncup bunga ini diulang hingga
tiap petri berjumlah 15 antera yang berasal
dari 15 kuncup bunga. Setia