Induksi Kalus Dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum Lycopersicum L) Melalui Kultur Antera

(1)

INDUKSI KALUS DAN REGENERASI

TIGA GENOTIPE TOMAT (Solanum lycopersicum L.)

MELALUI KULTUR ANTERA

RATNA NINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Kalus dan

Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum L.) melalui Kultur Antera

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

Ratna Ningsih NIM A253130191


(4)

RATNA NINGSIH. Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum lycopersicum L.) melalui Kultur Antera. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO, MUHAMAD SYUKUR dan ISWARI SARASWATI DEWI.

Tomat merupakan salah satu komoditas unggulan di Indonesia yang masih memiliki produktivitas rendah dibandingkan dengan potensi hasil yang dapat diperoleh. Oleh karena itu, upaya perakitan varietas unggul tomat untuk meningkatkan produktivitas melalui kegiatan pemuliaan tanaman perlu dilakukan. Kegiatan pemuliaan yang umum digunakan adalah persilangan yang diikuti dengan seleksi, sehingga memerlukan waktu yang panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode yang dapat membantu mempercepat proses tersebut. Paduan teknologi haploid dan pemuliaan konvensional dapat mempersingkat waktu seleksi dalam proses pemuliaan tanaman. Kultur antera merupakan salah satu metode dalam teknologi haploid yang paling banyak digunakan, termasuk pada tanaman tomat. Keberhasilan kultur antera tomat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya genotipe, media, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan sebelum kultur, dan kondisi lingkungan kultur. Saat ini, belum ada media dan fase perkembangan mikrospora yang baku dalam kultur antera sehingga upaya untuk mendapatkan media perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fase perkembangan mikrospora berdasarkan panjang antera dan kuncup bunga pada percobaan 1 dan mengetahui tanggap androgenesis tiga genotipe tomat melalui kultur antera pada berbagai media induksi kalus dan regenerasi tanaman pada percobaan 2.

Percobaan 1 menggunakan kuncup bunga dengan ukuran 1 mm hingga 10 mm untuk mendapatkan nilai panjang antera dan 2 hingga 7 mm untuk mendapatkan fase-fase perkembangan mikrospora. Tiap pengamatan panjang kuncup diulang sebanyak 6 kali. Tiap kuncup diambil 3 antera untuk diukur panjangnya dan diamati fase perkembangan mikrosporanya. Fase perkembangan mikrospora diamati sebanyak 2 kali untuk tiap antera per kuncup. Rata-rata panjang antera genotipe Tora, Ratna dan hibrida Permata adalah 2.3±0.2 mm, 2.3±0.3 mm, dan 2.5±0.2 mm. Fase meiosis pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 2 mm hingga 4 mm, 2 mm hingga 5 mm dan 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 5 mm hingga 6 mm, 5 mm dan 4 mm hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 7 mm, 7 mm, dan 6 mm hingga 7 mm.

Percobaan 2 menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan lima ulangan. Perlakuan terdiri dari 3 genotipe dan enam media induksi kalus pada percobaan 2a dan tiga genotipe serta dua media regenerasi pada percobaan 2b. Genotipe yang digunakan adalah Tora, Ratna dan hibrida Permata. Media induksi

kalus yang digunakan adalah M1 (DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA), M2

(DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA), M3 (DBMIII + 0.01 mg L-1 Kinetin

+ 5 mg L-1 NAA), M4 (MS + 1 mg L-1 2ip + 2 mg L-1 IAA), M5 (MS + 0.02


(5)

IAA). Media regenerasi yang digunakan adalah R1 (MS + 1 mg L-1 Zeatin + 0.125

mg L-1 IAA) dan R2 (MS + 0.25 mg L-1 Zeatin).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inisiasi kalus terjadi setelah 25.0 hingga 28.0 hari dan inisiasi tunas terjadi setelah 57.0 hari hingga 68.0 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat varietas hibrida Permata memiliki tanggap androgenesis yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Permata memiliki persentase jumlah kalus paling tinggi (27.3%), kemudian diikuti oleh genotipe Tora (14.0%) dan Ratna (12.0%). Persentase induksi kalus paling tinggi ditunjukkan oleh

media DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA (39.7%) dan DBMII + 1 mg L-1

Kinetin + 2 mg L-1 NAA (33.0%). Baik genotipe maupun media yang digunakan

menghasilkan jumlah tunas yang rendah. Persentase induksi tunas varietas hibrida Permata (4.2%) lebih tinggi dari Tora (2.1%) dan Ratna (0.0%). Persentase induksi

tunas Media MS + 1 mg L-1 Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA sebesar 2.8% sedangkan

MS + 0.25 mg L-1 Zeatin sebesar 1.4%.


(6)

RATNA NINGSIH. Callus Induction and Regeneration of Three Tomato

Genotypes (Solanum lycopersicum L.) through Anther Culture. Under supervision

of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, MUHAMAD SYUKUR and ISWARI SARASWATI DEWI as members of the advisory commitee.

Tomato is the one of horticulture crop in Indonesia which had low productivity. Therefore, breeding need to be conducted. Generally, crossing and selection used in plant breeding need a long time. Bredeers need a simple method to help them to quicken the process. Haploid technology is the best tools to speed time for selection in breeding process. Anther culture is the most promising method in haploid technology. However, the success of tomato anther culture depends on many factors, among others genotype, media, stage of microspore, pre treatment before culture, and environment condition of culture. Culture media and microspore development stage are two factors in anther culture which have not been estabilished. The aim of this research were to evaluate anther and microspore development stage based on anther and bud length in the first experiment and to evaluate androgenesis response of three tomato genotypes in callus induction and regeneration media in the second experiment.

Ten buds length from 1 mm to 10 mm were used to evaluate anther length and 2 mm to 7 mm of buds were used to evaluate microspore development stage in the first experiment with six replications. Three anthers on every bud were used to measure anther length and microspore development stage. The result showed that anther length of Tora, Ratna and Permata were 2.3±0.2 mm, 2.3±0.3 mm, and 2.5±0.2 mm respectively. Meiosis stage of all genotypes showed in 2 mm to 4 mm of bud length, while Ratna in 2 mm to 5 mm. Tetrad stage of Tora, Ratna and Permata showed in 5 to 6 mm, 4 mm, and 4 to 5 mm respectively. Microspore stage of Tora, Ratna and Permata showed in 7 mm, 7 mm, and 6 to 7 mm respectively.

Completely randomized design with factorial arrangement and 5 replications were used in the second experiment. Treatments consisted of three genotypes of tomato, six callus induction media in the 2a experiment and three genotypes and two regeneration media in the 2b experiment. Tora, Ratna and Permata genotypes were used in this experiment. Callus induction media consisted of six media: M1

(DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2

mg L-1 NAA), M3 (DBMIII + 0.01 mg L-1 Kinetin + 5 mg L-1 NAA), M4 (MS + 1

mg L-1 2ip + 2 mg L-1 IAA), M5 (MS + 0.02 mg L-1 2.4-D + 2 mg L-1 Kinetin) and

M6 (MS + 0.25 mg L-1 Zeatin + 0.5 mg L-1 IAA) and two regeneration media: R1

(MS + 1 mg L-1 Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA) and R2 (MS + 0.25 mg L-1 Zeatin).

The result showed that callus initiation started at 25.0 to 28.6 days after planting and bud initiation started at 57.0 to 68.0 days after planting. Hybrid variety Permata had the highest anther culture ability than other genotypes. Permata had the highest percentage of callus induction (27.3%) followed by Tora (14.0%) and Ratna (12.0%). The highest percentage of callus induction was shown in DBMI +

5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA medium (39.7%) followed by DBMII + 1

mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA medium (33.0%). Both genotypes and media gave low percentage of shoot induction. The high percentage of shoot induction in


(7)

hybrid variety Permata was 4.2% while in Tora was 2.1% and Ratna was 0.0%.

The high percentage of shoot induction in MS + 25 mg L-1 Zeatin was 2.8% while

in MS+ 1 mg L-1 Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA was 1.4%.

Keywords: Auxin, cytokinin, media culture, microspore development stage, tomato


(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

INDUKSI KALUS DAN REGENERASI TIGA GENOTIPE

TOMAT (Solanum lycopersicum L.) MELALUI

KULTUR ANTERA

RATNA NINGSIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(10)

(11)

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian yang

berjudul “Induksi Kalus dan Regenerasi Tiga Genotipe Tomat (Solanum

lycopersicum L.) melalui Kultur Antera” dilaksanakan sejak bulan April 2015 hingga April 2016.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc, Prof Dr Muhamad Syukur, SP MSi dan Dr Iswari Saraswati Dewi selaku pembimbing tesis dan Dr Dini Dinarty selaku dosen penguji luar komisi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibunda, Ayahanda, Kakak-kakak (Irma, Rian, Rahma, Nur, Ismail, Yanti, Risal, Faldi, dan Indri) dan Adik-adik (Sarah, Dhana dan Lia), serta ponakan tersayang (Abdul, Sahadia, Ezza, Mirzha, dan Haikal) atas dukungan, perhatian, doa, kasih sayang, nasihat dan bimbingan yang tiada hentinya kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas kesempatan melanjutkan studi melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB BIOGEN) yang telah mengizinkan penelitian di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Laboratorium Mikrobiologi dan Rumah Kaca Cikeumeuh Cimanggu, serta kepada teknisi yang turut serta membantu kelancaran jalannya penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf dan pegawai Pascasarjana khususnya Departemen Agronomi dan Hortikultura atas segala kemudahan bantuan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman angkatan 2013, serta sahabat-sahabat terbaik berbagai daerah (Aqlima, Yudia, Ami, Umi, Eny, Budi, Desi, Arin, dan Arina) atas doa, kerja sama dan kebersamaan selama ini. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHLUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Hipotesis 3

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Biologi dan Manfaat Tanaman Tomat 5

2.2 Pemuliaan Tanaman Tomat 6

2.3 Kultur Antera 6

2.4 Kultur Antera Tomat 7

3 IDENTIFIKASI FASE PERKEMBANGAN MIKROSPORA PADA

ANTERA TOMAT (Solanum lycopersicum L.) 10

Abstract 10

Abstrak 10

3.1 Pendahuluan 10

3.2 Bahan dan Metode 12

3.3 Hasil dan Pembahasan 12

3.4 Kesimpulan 15

3.5 Saran 16

4 INDUKSI PEMBENTUKAN KALUS DAN REGENERASI TUNAS 17

Abstract 17

Abstrak 17

4.1 Pendahuluan 18

4.2 Bahan dan Metode 19

4.3 Hasil dan Pembahasan 21

4.4 Kesimpulan 29

5 PEMBAHASAN UMUM 30

6 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN 34

6.1 Kesimpulan 34

6.2 Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 39


(14)

mm 13

2 Panjang antera dan fase perkembangan mikrospora tiga genotipe

tomat berdasarkan panjang kuncup 13

3 Hasil analisis ragam pengaruh genotipe dan media terhadap jumlah

kalus, diameter kalus, dan jumlah tanaman pada kultur antera tomat 21

4 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen

jumlah kalus tomat pada genotipe yang berbeda 22

5 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen

jumlah kalus pada media tomat yang berbeda 23

6 Pertambahan diameter tunas, lamanya inisiasi tunas, jumlah tunas dan persen jumlah tunas terhadap jumlah kalus pada tiga genotipe tomat dan

dua media regenerasi 26

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3

2 Fase perkembangan mikrospora tomat yang diamati 14

3 Fase perkembangan mikrospora tomat Tora 14

4 Fase perkembangan mikrospora tomat Ratna 15

5 Fase perkembangan mikrospora tomat Permta 15

6 Induksi pembentukan kalus tomat 21

7 Modus data jumlah responding antera berespon per kuncup pada

tiap genotipe tomat 24

8 Penampilan kalus yang berkembang pada media induksi tunas tomat 24

9 Penampilan kalus yang berhadapan dengan media induks tunas tomat 25

10 Pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R1 27

11 pertumbuhan tunas tomat Permata pada media R2 28

12 Pertumbuhan tunas tomat Tora pada media R2 28

13 Penampilan jaringan daun yang abnormal hasil kultur antera tomat

Permta 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Komposisi media MS1, MS2, MS dan B5 41

2 Komposisi media defined basal medium (DBM) I, II dan III 42

3 Deskripsi tomat varietas Tora IPB 43

4 Deskripsi tomat varietas Ratna 45


(15)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tomat merupakan salah satu tanaman dari famili Solanaceae selain cabai dan terung yang memiliki nilai ekonomi penting di dunia (Seguì-Simarro et al. 2011). Tomat menempati peringkat ke-2 dalam produksi komoditas hortikultura dunia setelah kentang dengan produksi mencapai 164 492 970 ton (FAO 2015). Di Indonesia, tomat menempati peringkat ke lima setelah kubis, kentang, cabai besar dan bawang merah. Produksi tomat di Indonesia tahun 2015, yaitu 878 741 ton dengan luas panen 53 696 ha. Angka ini tergolong rendah bila dilihat dari produktivitasnya, yaitu 16.4 ton ha-1 (BPS 2015), sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai 45 hingga 65 ton ha-1 (FAO 2015).

Perlu adanya upaya peningkatan produksi yang efektif dan

berkesinambungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan varietas unggul. Umumnya teknik yang digunakan untuk menghasilkan varietas unggul adalah persilangan yang diikuti dengan seleksi (Carsono 2010). Persilangan yang diikuti dengan seleksi membutuhkan waktu lama

dan biaya besar (Syukur et al. 2012) sehingga dibutuhkan metode yang cepat dan

mudah dalam menghasilkan varietas unggul.

Perakitan suatu varietas dapat dipercepat melalui penerapan kombinasi antara metode pemuliaan konvensional dengan metode pemuliaan modern. Salah satu teknologi pemuliaan modern yang menjanjikan untuk perakitan varietas adalah teknologi tanaman haploid (Purwoko et al. 2007). Teknologi tanaman haploid adalah teknologi in vitro yang memanfaatkan antera, mikrospora dan ovul sebagai eksplan untuk mendapatkan tanaman haploid dan dihaploid melalui androgenesis dan ginogenesis (Poehlman dan Sleeper 1995). Teknologi haploid dapat mengurangi siklus pemuliaan dari 7 hingga 8 generasi menjadi 1 generasi saja sehingga waktu yang diperlukan untuk mendapatkan varietas unggul lebih cepat (Purwoko et al. 2007).

Kultur antera menjadi pilihan yang paling banyak digunakan dalam androgenesis karena aplikasinya mudah dan respon androgenik sering terjadi saat mikrospora masih berada di dalam antera. Tanaman haploid maupun dihaploid hasil kultur antera bersifat homozigot sehingga dapat membentuk populasi galur murni yang sangat bermanfaat dalam pemuliaan tanaman. Tanaman dihaploid yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tetua dalam persilangan atau diuji lebih lanjut untuk mendapatkan varietas baru (Dewi dan Purwoko 2011).

Perakitan varietas dengan memanfaatkan kultur antera di Indonesia telah dimanfaatkan pada tanaman padi (Dewi dan Purwoko 2001; Purwoko 2004; Purwoko et al. 2007; Dewi et al. 2009; Safitri et al. 2010). Pengembangan penelitian kultur antera juga dilakukan pada tanaman lain seperti cabai (Muswita 2013), jeruk (Dorliana 2011), dan anturium (Rachmawati 2005), sedangkan untuk tanaman tomat, kultur antera belum dimanfaatkan. Penelitian kultur antera tomat telah berkembang di berbagai negara seperti Australia (Gresshoff dan Doy 1972), Amerika (Zamir et al.1980), Bulgaria (Zagorska et al. 1998), Spanyol (Seguì-Simarro dan Nuez 2005; 2006; 2007), hingga Rusia (Motallebi-Azar 2010a; 2010b). Penelitian kultur antera tomat telah berlangsung sekitar 43 tahun lalu


(16)

(Gresshoff dan Doy 1972; Sharp et al. 1972) namun hingga saat ini belum ada panduan kultur antera yang tepat untuk semua jenis tomat. Keberhasilan kultur antera tomat ditentukan oleh genotipe yang digunakan, media kultur, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan kuncup, kondisi fisiologi tanaman donor, dan kondisi lingkungan kultur (Summers et al. 1992; Shtereva et al. 1998; Zagorska et al. 2004; Motallebi-Azar 2010a; 2010b).

Kegiatan kultur antera tomat terdiri atas dua tahap yaitu tahap induksi kalus dan regenerasi tanaman. Masalah yang dihadapi dalam kultur antera tomat adalah belum ada media induksi kalus maupun regenerasi yang baku. Hal ini disebabkan karena genotipe tomat bersifat rekalsitran in vitro, sehingga tanggap androgenesis sangat bervariasi tergantung genotipe yang digunakan. Selain media, fase perkembangan mikrospora yang optimal untuk menginduksi kalus dan regenerasi tanaman juga masih belum stabil. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus dan regenerasi optimal bila menggunakan antera pada fase meiosis, tetrad dan uninukleat (Gresshoff dan Doy 1972; Summers et al 1992; Segui-Simarro dan Nuez 2005).

Tantangan yang dihadapi dalam kultur antera tomat, yaitu rendahnya jumlah kalus dan tanaman yang dihasilkan (Gresshoff dan Doy 1972; Zagorska et al. 1998; Asoliman et al. 2007; Motallebi-Azar 2010a, 2010b). Walaupun kendala yang dihadapi cukup besar, namun penelitian kultur antera tomat terus dilakukan hingga saat ini, karena tomat merupakan komoditas yang bernilai ekonomi penting di dunia (FAO 2015). Upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah menemukan media yang sesuai dengan genotipe yang digunakan, kemudian menghasilkan sebanyak-banyaknya individu-individu homozigot hasil kultur antera.

Informasi mengenai tanggap androgenesis genotipe tomat di Indonesia akan menambah pengetahuan dalam program pemuliaan tanaman tomat melalui kultur antera. Genotipe Tora, Ratna dan Permata merupakan genotipe yang memiliki keunggulan berupa potensi produksi yang tinggi dan beradaptasi baik di dataran rendah hingga menengah. Penggunaan ketiga genotipe dalam penelitian kultur antera akan memberikan informasi yang bermanfaat bagi kegiatan pemuliaan untuk perakitan variteas baru yang bersumber dari ketiga genotipe tersebut. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Motallebi-Azar (2010a) bahwa genotipe yang memiliki tanggap androgenesis baik akan memiliki keturunan yang juga memiliki tanggap androgenesis yang baik, sehingga informasi tanggap androgenesis ketiga genotipe dapat memberi rekomendasi bagi pemanfaatan keturunan yang berasal dari selfing maupun hasil persilangan dari ketiga genotipe.

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai tanggap kultur antera tomat yang digunakan melalui percobaan pengamatan fase-fase perkembangan mikrospora dan respon terhadap media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Diagram penelitian disajikan pada Gambar 1.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui fase perkembangan mikrospora berdasarkan panjang antera dan

kuncup bunga.


(17)

3

3. Mendapatkan media yang dapat menginduksi kalus dan meregenerasikan

tanaman.

1.3 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat paling sedikit satu genotipe yang dapat menghasilkan kalus dan meregenerasikan tanaman.

2. Terdapat paling sedikit satu media yang dapat menginduksi pembentukan kalus

dan meregenerasikan tanaman.

\

Gambar 1 Diagram alir penelitian

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam upaya mencapai tujuan dan menjawab hipotesis, penelitian ini dilaksanakan dalam 2 percobaan. Percobaan 1 bertujuan untuk menentukan panjang kuncup dengan antera pada fase perkembangan mikrospora yang sesuai untuk

Penanaman tanaman Tomat

Percobaan 1 Identifikasi fase perkembangan mikrospora

Percobaan 2a Induksi kalus pada enam

media kalus

Percobaan 2b Induksi tunas pada dua

media regenerasi

Fase meiosis, tetrad dan mikrospora

Kalus dari tiga genotipe dan enam media

Induksi tunas dari tiga genotipe dan dua media

1. Mendapatkan panjang kuncup dengan antera yang

mengandung fase meiosis, tetrad dan mikrospora

2. Mendapatkan media induksi kalus dan media regenerasi yang paling baik

3. Mendapatkan genotipe yang paling baik menginduksi


(18)

digunakan sebagai eksplan dalam kultur antera pada percobaan selanjutnya. Percobaan 2 bertujuan mengetahui tanggap androgenesis genotipe yang digunakan pada berbagai media kultur antera tomat dan mendapatkan media terbaik untuk induksi kalus dan regenerasi tanaman. Nilai panjang antera diperoleh dari rata-rata tiga antera per kuncup yang diulang sebanyak 6 kali. Kuncup yang digunakan berukuran 1 hingga 10 mm, sedangkan pengamatan fase perkembangan mikrospora menggunakan panjang kuncup 2 hingga 7 mm. Percobaan 2 terdiri atas dua percobaan yaitu induksi kalus (percobaan 2a) dan regenerasi tanaman (percobaan 2b). Percobaan induksi kalus menggunakan enam media yaitu M1(DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA), M2 (DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA), M3 (DBMIII + 0.01 mg L-1 kinetin + 5 mg L- NAA), M4 (MS + 1 mg L-1 2ip + 2

mg L-1 IAA), M5 (MS + 0.02 mg L-1 2.4-D + 2 mg L-1 Kinetin) dan M6 (MS + 0.25 mg L-1 Zeatin + 0.5 mg L-1 IAA). Kalus yang diperoleh selanjutnya dipindahkan pada media induksi tunas untuk menginduksi pembentukan tunas. Percobaan 2b adalah induksi pembentukan tunas pada 2 media regenerasi yaitu media MS + 1 mg L-1 Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA (R1) dan MS + 0.25 mg L-1 Zeatin (R2).


(19)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi dan Manfaat Tanaman Tomat

Tomat merupakan tanaman setahun yang tumbuh dengan ketinggian mencapai 0.5-2 meter serta memiliki batang yang padat dan besar. Akarnya berupa akar tunggang dengan kedalaman mencapai 3 meter. Tanaman tomat memiliki bulu yang terdapat pada batang, daun dan tangkai bunga dengan aroma yang khas. Sifat pertumbuhan tanaman berkisar dari tak terbatas (indeterminate) hingga sangat terbatas (determinate). Bunga tumbuh berlawanan di antara daun. Jumlah bunga per tandan adalah 4-12 bunga dan beberapa kultivar dapat mencapai 30 bunga per tandan. Bunga tomat adalah bunga sempurna, berdiameter sekitar 2 cm dan menggantung dengan mahkota bunga berbentuk bintang berwarna kuning. Kepala sari menyatu membentuk tabung. Benang sari berjumlah 6 dengan warna kuning cerah. Bunga membuka pada siang hari dan putik reseptif selama 4 hari sampai 7 hari. Organ kelamin jantan (stamen) terletak di bagian dalam kelopak, tersusun melingkar mengitari organ kelamin betina (pistil). Setiap satu stamen memiliki dua tabung mikrospora (antera) yang panjang. Organ betina (carpel) berwarna hijau, memiliki ruang atau lokus dengan jumlah bervariasi tergantung varietasnya (Rost 1996).

Tomat Tora memiliki tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman

mencapai 60.9 hingga 91.9 cm. Bunga berwarna kuning dengan bentuk seperti bintang. Putik dan benang sari berwarna kuning. Buah berbentuk agak lonjong dengan bentuk ujung buah datar menuju lancip. Warna buah saat muda adalah hijau muda dan jingga kemerahan saat buah matang. Umur mulai berbunga yaitu 23 hingga 21 hari setelah tanam. Umur mulai panen yaitu 46 hingga 61 hari setelah tanam. Tomat Tora memiliki keunggulan dalam produksi yaitu potensi produksi dapat mencapai 28 ton ha-1, serta tumbuh baik pada dataran rendah. Tomat Ratna

memiliki tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman mencapai 80 cm. Bunga

berwarna kuning dengan bentuk seperti bintang. Warna buah muda putih polos dan warna buah saat matang jingga sampai merah. Bobot per buah mencapi 45 g. Jumlah buah per tanaman 45 buah. Umur berbuah 70 hingga 80 hari setelah semai. Umur panen seluruhnya 130 hingga 140 hari setelah semai. Tomat Ratna memiliki keunggulan produksi dengan potensi hasil mencapai 20 ton ha-1 buah segar serta tumbuh baik pada dataran rendah dan dataran tinggi. Tomat Permata F1 memiliki

tipe pertumbuhan determinate. Tinggi tanaman mencapai 150 cm. Bunga berwarna

kuning dengan bentuk seperti bintang. Bobot per buah mencapai 50 g. Bobot buah per tanaman mencapai 4 kg. Tomat Permata memiliki keunggulan produksi dengan potensi hasil mencapai 50 hingga 70 ton ha-1, serta tumbuh baik pada dataran rendah (Direktorat Perbenihan Hortikultura 2012).

Buah tomat dikonsumsi dalam bentuk segar, campuran sayur, bumbu masak, juga dalam bentuk olahan seperti saos tomat, pasta tomat, pure tomat, sari tomat dan jus tomat (Kailaku et al. 2007). Buah tomatmengandung vitamin C, A dan E, juga mengandung senyawa kimia lain seperti polifenol, asam folat dan likopen (Mataram dan Wahyuniari 2013). Kandungan likopen yang terdapat pada buah

tomat dapat menurunkan tekanan darah pada wanita post-menopause (Lestari dan


(20)

dan Agarwal 2000, Levi dan Sharoni 2004), serta menjaga kesehatan tulang (Rao et al. 2003).

2.2 Pemuliaan Tanaman Tomat

Kegiatan pemuliaan tomat diarahkan untuk mendapatkan varietas unggul dengan produksi tinggi, resisten terhadap hama penyakit dan memiliki kualitas unggul (Ardisela 2012). Tomat merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan jumlah kromosom 24 (2n= 2x= 24). Bentuk populasi tanaman yang dituju adalah homogen homozigot untuk galur murni dan heterogen homozigot untuk varietas multilini. Kegiatan pemuliaan tomat meliputi kegiatan pemuliaan konvensional dan pemuliaan non-konvensional atau pemuliaan modern. Secara konvensional untuk menghasilkan galur murni dapat diperoleh setelah 7 sampai 8 generasi selfing dengan tingkat homozigotitas 98.4% sampai 99.2%. Untuk mencapai generasi F8 diperlukan waktu 2 sampai 3 tahun. Lebih dari satu pasang gen heterozigot, akan meningkatkan persentase homozigotitas sehingga memerlukan waktu yang lebih lama karena fiksasi gen-gennya memerlukan lebih banyak generasi selfing. Galur murni yang dihasilkan dapat dilepas sebagai varietas baru atau dijadikan tetua dalam persilangan (Syukur et al. 2012).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kultur jaringan dan biologi molekuler sangat mendukung program pemuliaan tanaman untuk merakit varietas baru. Pemuliaan non-konvensional memanfaatkan bioteknologi dan rekayasa genetika dalam kultur jaringan untuk mengatasi masalah-masalah yang dijumpai dalam kultur jaringan. Masalah yang dapat diatasi antara lain, melalui teknologi fusi protoplas pada jenis tanaman yang berbeda. transformasi gen antar spesies maupun genus, penyelamatan embrio pada persilangan interspesifik, kultur sel dan kultur protoplas pada tanaman yang steril, serta androgenesis melalui kultur antera untuk mendapatkan tanaman homozigot dalam waktu singkat (Syukur et al. 2012). Kegiatan pemuliaan tomat non konvensional meliputi kegiatan evaluasi pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap morfogenesis in vitro (Devi et al. 2008), seleksi in vitro sifat toleran kekeringan (Abdel-Raheem et al. 2007), evaluasi in vitro karakter toleran salinitas (Liza et al. 2013), dan transformasi genetik (Purnamaningsih 2010).

2.3 Kultur Antera

Kultur antera adalah salah satu metode dalam teknologi haploid untuk menghasilkan individu haploid maupun dihaploid. Antera yang dikulturkan secara in vitro akan menunjukkan respon androgenesis terhadap kondisi kultur yang diberikan. Androgenesis merupakan suatu proses pembentukan tanaman dari sel mikrospora menjadi tanaman lengkap. Prinsip dari androgenesis adalah menghentikan perkembangan dari mikrospora dalam lintasan gametofitik dan mengubahnya ke arah lintasan sporofitik sehingga tidak akan menjadi sel-sel gamet melainkan membentuk sel-sel somatik. Ketika antera atau mikrospora dikulturkan secara in vitro, mikrospora diinduksi untuk menghasilkan agregat-agregat kecil yang akan menjadi kalus atau embrio (Dewi dan Purwoko 2011).

Tanaman yang dihasilkan dari kultur antera bersifat haploid yaitu tanaman yang mengandung jumlah kromosom sama dengan kromosom gametnya atau tanaman dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom somatiknya.


(21)

7

Tanaman haploid menunjukkan pertumbuhan yang tidak lebih baik dari tanaman diploidnya. Tanaman dihaploid mempunyai dua set kromosom yang identik dengan bentuk haploidnya serta dapat membentuk alat kelamin jantan dan betina seperti tanaman diploid, sedangkan tanaman haploid jarang dapat menghasilkan sel kelamin jantan yang digunakan dalam fertilisasi. Tanaman dihaploid bersifat

homozigot penuh dan breed true. Tanaman haploid dan dihaploid dapat dibedakan

pada generasi awal melalui pengamatan bentuk tanaman, warna daun, bentuk daun, serta jumlah dan ukuran stomata (Dewi dan Purwoko 2011).

Kultur antera memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mendukung program pemuliaan tanaman. Kelebihan kultur antera adalah lebih mempersingkat siklus pemuliaan untuk mendapatkan varietas baru dan mendapatkan galur murni dalam waktu singkat dibandingkan secara konvensional (Syukur et al. 2012).

Tanaman dihaploid yang dihasilkan dari kultur antera adalah homozigot dan breed

true karena tidak ada sifat yang tersembunyi akibat dominansi maka penggunaan

dihaploid pada pemuliaan tanaman meningkatkan efisiensi identifikasi genotipe superior (Croughan 1995). Melalui tanaman haploid sejumlah sifat unggul yang merupakan karakter resesif dapat dideteksi secara dini. Karakter tersebut antara lain toleransi terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan seperti, kekeringan, suhu rendah, kandungan logam berat, hara rendah didalam tanah ataupun serangan penyakit. Teknologi tanaman haploid dapat menghasilkan tanaman-tanaman homozigot hanya dalam waktu satu generasi, sedangkan secara konvensional tanaman homozigot dapat diperoleh setelah 7 sampai 8 generasi. Kekurangan kultur antera adalah rendahnya jumlah tanaman yang dihasilkan, serta tingkat keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut antara lain genotipe yang digunakan, status fisiologi tanaman donor, tahap perkembangan mikrospora, perlakuan terhadap eksplan (pra perlakuan), media yang digunakan, kondisi kultur, lingkungan kultur, serta umur dan ukuran kalus (Dewi dan Purwoko 2011).

2.4 Kultur Antera Tomat

Sejak awal pengembangan kultur antera tomat, banyak pendapat berbeda mengenai fase perkembangan mikrospora yang optimal dalam menginduksi kalus

(Summers et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972; Sharp dan Raskin 1972). Summers

et al. (1992) melaporkan bahwa fase yang optimal adalah fase profase I, walaupun menurutnya semua fase dapat menginduksi kalus. Menurut Gresshoff dan Doy (1972) fase yang optimal adalah fase awal meiosis yaitu metafase I, sedangkan fase uninukleat tidak terbentuk kalus atau pun planlet. Walaupun demikian, banyak peneliti yang menggunakan fase profase sampai metafase sebagai eksplan dalm kultur antera (Zagorska et al. 1998; Motallebi-Azar 2010a. 2010b; Motallebi-Azar dan Panahandeh 2010). Keberhasilan kultur antera tomat dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah genotipe yang digunakan, media kultur, fase perkembangan mikrospora, pra perlakuan antera, kondisi lingkungan kultur, dan kondisi fisiologis tanaman donor (Jaramillo dan Summers 1991; Zagorska et al. 1998; Asoliman et al.2007; Seguì-Simarro dan Nuez 2007).

Genotipe merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan kultur antera tomat (Zagorska et al. 1998; Motallebi-Azar 2010a). Setiap spesies tanaman bahkan individu dari spesies yang sama dapat memberikan respon yang berbeda


(22)

satu sama lain terhadap kondisi kultur yang diberikan. Pengaruh genotipe pada proliferasi sel dapat dilihat pada kemampuan regenerasinya (Zulkarnain. 2009). Genotipe berperan penting dalam menginduksi dan meregenerasikan kalus pada kultur antera tomat (Summers et al. 1992; Zagorska et al. 1998; Motallebi-Azar 2010a). Zagorska et al. (1998) melaporkan bahwa dari 80 genotipe tomat yang digunakan dalam kultur antera hanya 53 yang berhasil menginduksi kalus dan hanya 15 genotipe yang berhasil diregenerasikan. Asoliman et al. (2007) juga melaporkan bahwa dari 4 kultivar tomat yang digunakan hanya 1 kultivar yang memberi respon yang baik. Motallebi-Azar (2010a) menunjukkan bahwa tetua yang potensial dalam menginduksi kalus dan regenerasi tunas akan menghasilkan keturunan yang juga potensial dalam menginduksi dan meregenerasikan kalus. Genotipe dengan konstitusi gen heterozigos lebih responsif terhadap androgenesis dibandingkan dengan genotipe yang homozigot. Menurutnya individu dengan heterosis tinggi memiliki kemampuan androgenesis yang baik. Asoliman et al. (2007) melalui penelitiannya turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Zagorska et al. (1998) dan Shtereva et al. (1988)bahwa kemampuan induksi kalus dan organogenesis pada kultur antera tomat dikendalikan oleh gen resesif yaitu gen yang mengendalikan mandul jantan pada tanaman tomat. Antera dari genotipe yang steril atau mandul jantan lebih responsif dalam morfogenesis dibandingkan anter dari genotipe yang fertil.

Media kultur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur antera tomat. Media kultur meliputi media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Komponen penyusun media kultur adalah garam-garam anorganik, zat pengatur tumbuh, vitamin, asam amino, sumber karbon, osmotika, dan air (Gamborg dan Phillips 1995). Media dengan komposisi dan pH yang sesuai bukan saja menyediakan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrospora, namun juga mengarahkan lintasan perkembangan eksplan terutama saat awal perkembangannya menjadi embrio. Kebutuhan nutrisi antara jaringan yang berasal dari bagian yang berbeda akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun media dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Media yang paling luas penggunaannya adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962) (Zulkarnain 2009). Selain media MS, media lain yang juga digunakan dalam kultur antera adalah media N6 pada kultur antera padi (Dewi et al. 2004), modifikasi media MMS yang merupakan media modifikasi MS pada kultur antera anturium (Rachmawati 2005), dan DBM serta B5 pada kultur antera tomat (Gresshoff dan Doy 1972).

Fase perkembangan mikrospora merupakan salah satu faktor yang juga menentukan keberhasilan kultur antera (Summers et al. 1992; Dewi et al. 2001). Mikrospora adalah alat kelamin (gamet) jantan yang bersifat haploid yaitu hanya mempunyai ½ set kromosom dari kromosom somatiknya (Dewi dan Purwoko 2011). Menurut Summers et al. (1992) semua fase perkembangan mikrospora tanaman tomat mampu menginduksi kalus, namun fase yang optimal adalah pada fase profase I. Gresshoff dan Doy (1972) mengemukakan bahwa tahap awal meiosis adalah tahap terbaik untuk menginduksi kalus, sedangkan fase uninukleat dan binukleat menghasilkan induksi kalus yang rendah.

Perkembangan mikrospora sejalan dengan pertambahan panjang kuncup dan antera, namun demikian antara satu genotipe dengan genotipe tomat yang lain memiliki panjang antera dan kuncup yang berbeda pada fase perkembangan


(23)

9

mikrospora yang sama. Motallebi-Azar (2010b) menunjukkan bahwa fase profase I sampai metafase II berada saat kuncup bunga berukuran 4 sampai 5 mm dengan

panjang antera 1.7 sampai 2 mm. Zagorska et al. (1998) menunjukkan bahwa fase

profase sampai metafase II berada saat ukuran kuncup bunga berukuran 2 sampai 3 mm (Jaramillo dan Summers 1990; Asoliman et al. 2007; Motallebi-Azar et al.

2010). Zagorska et al. (1998). mengemukakan bahwa kuncup bunga dengan ukuran

2 sampai 3 mm mengandung mikrospora pada fase profase sampai metafase II mampu menginduksi kalus 2.5 hingga 100%, tergantung varietasnya. Ukuran 4 sampai 6.5 mm mengandung antera dengan panjang 1-3 mm (Seguì-Simarro dan Nuez 2006), 4 sampai 5 mm mengandung antera dengan panjang 1.7 hingga 2.5 mm dengan tahap perkembangan mikrospora pada tahap profase I hingga metafase (Motallebi-Azar 2010a). Induksi dan pertumbuhan kalus maksimum terjadi pada tahap perkembangan profase I yaitu saat ukuran antera kurang dari 1.6 mm (Summers et al. 1992). Asoliman et al. (2007) mengemukakan bahwa ukuran kuncup 4 mm menghasilkan induksi kalus terbaik, kemudian diikuti oleh kuncup dengan ukuran 6 mm. Kuncup dengan ukuran 2 mm tidak memberikan respon induksi kalus.

Pra perlakuan sebelum kultur merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur antera tomat (Motallebi-Azar dan Panahandeh 2010). Cekaman suhu dingin merupakan salah satu pra perlakuan dalam kultur antera tomat yang paling banyak digunakan. Cekaman suhu dingin dimaksudkan untuk membuat degradasi dinding sel dan tapetum melambat, serta mendorong terbukanya lokul antera sehingga butir tepung sari dapat keluar lebih cepat (Dewi dan Purwoko 2011). Motallebi-Azar dan Panahandeh (2010) menunjukkan bahwa lama inkubasi

pada suhu 4 0C selama 36 dan 72 jam tidak bepengaruh pada induksi kalus dan

induksi tunas, namun berpengaruh terhadap jumlah tanaman yang diregenerasikan dan jumlah tanaman dihaploid. Persentase induksi kalus berkisar dari 28% sampai 53%. Sebaliknya inkubasi kultur pada 4 0C selama 48 jam tanpa kolkisin dapat menghasilkan persentase kalus sebesar 85%.

Kondisi kultur berupa keadaan gelap dan terang signifikan terhadap keberhasilan kultur antera (Summers et al. 1992). Zagorska et al. (1998) menginkubasi kultur antera tomat dalam kondisi gelap selama 2 minggu menghasilkan kalus berwarna kuning kehijauan. Ukuran kalus meningkat 3 sampai 4 kali setelah 30 sampai 40 hari dalam kondisi terang. Beberapa kalus berwarna hijau, tumbuh lambat dan tidak beregenerasi. Motallebi-Azar (2010a) menggunakan 4 minggu periode gelap dan 4 sampai 7 minggu periode terang. Jaramillo dan Summers (1991) khusus mengamati pengaruh gelap dan terang terhadap induksi dan pertumbuhan kalus pada 3 kulitvar tomat. Kultur yang diinkubasi pada kondisi gelap selama 2 hingga 10 minggu menunjukkan bahwa jumlah dan diameter kalus meningkat seiring dengan meningkatnya periode gelap dan kualitas kalus menurun setelah 8 minggu. Jaramillo (1988) melaporkan bahwa perlakuan gelap dapat menginduksi pembentukan kalus lebih banyak dibanding kondisi terang. Tiga kultivar yang diuji menunjukkan pertumbuhan maksimal baik jumlah maupun diameter kalus setelah diberi perlakuan gelap.


(24)

3

IDENTIFIKASI FASE PERKEMBANGAN MIKROSPORA

PADA ANTERA TOMAT (Solanum lycopersicum L.)

Abstract

The aims of this research were to evaluate anther and microspore development stage based on anther and bud length. Anther length was measured from 3 anthers on every bud and 6 replications were used. The results showed that Tora, Ratna and Permata have the same anther length but not for stage of micropsore development. Tora and Permata had meiosis stage in 2 mm until 4 mm in bud size with 0.5 mm till 1.5 mm in anther size, whereas Ratna genotype had meiosis stage in 2 mm till 5 mm in bud length or 0.5 mm till 2.0 mm in anther length. Tetrad stage of Tora, Ratna and Permata was in 5 till 6 mm, 5 mm and 4 till 5 mm respectively. Microspore stage of Tora, Ratna and Permata was in 7, 7 and 6 till 7 mm respectively.

Keywords: Anther and bud length, anther culture, microspore, tomato

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fase perkembangan antera dan mikrospora berdasarkan panjang antera dan kuncup. Nilai panjang antera diperoleh dengan mengukur 3 antera per kuncup bunga yang diulang sebanyak 6 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera yang hampir sama namun berbeda pada fase perkembangan mikrosporanya. Fase meiosis pada genotipe Tora dan Permata berada pada saat panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm dengan panjang antera 0.5 mm hingga 1.5 mm, sedangkan fase meiosis pada genotipe Ratna berada pada panjang kuncup 2 mm hingga 5 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 5 hingga 6 mm, 5 mm dan 4 hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 7, 7, dan 6 hingga 7 mm.

Kata kunci: Mikrospora tomat, kultur antera, panjang antera, panjang kuncup

3.1 Pendahuluan

Kultur antera merupakan salah satu teknik dalam kultur jaringan tanaman yang dimanfaatkan dalam bidang pemuliaan tanaman untuk mempercepat proses pembentukan galur murni. Proses seleksi yang panjang pada pemuliaan konvensional dapat disingkat menjadi 1 hingga 2 generasi saja, sehingga lebih menghemat waktu dan biaya. Pemanfaatan kultur antera oleh pemulia tanaman digunakan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya galur murni yang akan dilepas sebagai varietas baru atau dijadikan tetua dalam persilangan untuk perbaikan karakter tanaman (Dewi dan Purwoko 2011).

Pemanfaatan teknik kultur antera untuk menghasilkan tanaman haploid maupun dihaploid telah digunakan pada banyak tanaman, namun teknik ini belum digunakan secara luas pada tanaman tomat. Kultur antera tomat mengalami


(25)

11

keterbatasan dalam pengembangannya karena efisiensi produksi kalus yang dinyatakan sebagai persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera pada tanaman tomat hanya < 0.7% (Zamir et al. 1980), sedangkan pada tanaman padi efisiensi produksi kalus dapat mencapai 76.6% (Purwoko et al. 2010) hingga 96.4% dan produksi tanaman mencapai 5.0% (Safitri et al. 2010).

Rendahnya produksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera tomat dipengaruhi oleh genotipe (Zagorska et al. 1998; Motallebi-Azar 2010), media kultur (Gresshoff dan Doy 1972; Jaramillo dan Summers 1990), kondisi lingkungan tumbuh tanaman donor (Shtereva et al. 1998), pra perlakuan (Motallebi-Azar

2010), dan fase perkembangan mikrospora (Summers et al. 1992; Seguì-Simarro

dan Nuez 2005). Penggunaan fase mikropsora yang tepat dalam kultur antera tomat dapat meningkatkan jumlah kalus dan jumlah tanaman yang dihasilkan (Summers et al. 1992; Shtereva et al. 1998; Asoliman et al. 2007).

Menurut Summers et al. (1992) semua fase dapat menginduksi kalus, namun

fase yang optimal adalah fase profase I, sedangkan menurut Gresshoff dan Doy (1972) fase yang optimal adalah fase metafase I. Menurut Seguì-Simarro dan Nuez (2005) fase yang optimal adalah fase metafase I sampai telofase II. Oleh karena itu, dalam melakukan kultur antera pada genotipe tomat yang berbeda para peneliti umumnya melakukan pengamatan fase perkembangan mikrospora sebelum menentukan ukuran kuncup dan antera yang akan digunakan sebagai eksplan

(Summers et al. 1992; Zagorska 1998; Asoliman 2007; Motallebi-Azar 2010a).

Fase perkembangan mikrospora yang optimal untuk mengindukai kalus dan regenerasi tanaman berbeda antar tiap genotipe. Kultur antera padi dan jeruk menggunakan antera yang berada pada fase uninukleat (Dewi et al. 2001; Dorliana 2011). Kultur antera terung menggunakan antera pada fase akhir uninukelat (Basay dan Ellialtioglu, 2013), sedangkan pada kultur antera tomat menggunakan antera yang mengandung fase berbeda-beda. Perkembangan mikrospora dari satu fase ke fase ke fase berikutnya sejalan dengan pertambahan panjang antera dan panjang kuncup bunga. Hal ini berarti bahwa semakin panjang ukuran kuncup bunga maka ukuran antera juga semakin bertambah panjang, begitu pula fase perkembangan mikrosporanya.

Korelasi panjang kuncup dan panjang antera serta fase perkembangan mikrospora memberi kemudahan dalam pemilihan eksplan karena untuk memilih antera sebagai eksplan dapat menggunakan panjang kuncup sebagai indikator, namun hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa fase meiosis diwakili oleh panjang kuncup yang berbeda-beda (Summers et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972; Sharp et al. 1972). Summers et al. (1992) menunjukkan bahwa fase meiosis pada kultivar A. Craig adalah < 3 mm hingga 4.5 mm, sedangkan pada kultivar Licato < 3.5 mm hingga 7 mm.

Penelitian ini menggunakan 3 genotipe tomat, yaitu Tora, Ratna, dan Permata. Genotipe ini memiliki keunggulan dalam produksi dan adaptasi di dataran rendah, sehingga pengembangannya dalam program pemuliaan tanaman perlu mendapatkan prioritas. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan panjang kuncup dan antera yang akan digunakan sebagai eksplan dalam kultur antera melalui identifikasi fase perkembangan mikrospora.


(26)

3.2 Bahan dan Metode

Penilitian dilaksananakan di Laboratorium Mikrobiologi, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB Biogen) dan Rumah Kaca Cikeumeuh, Cimanggu, Bogor dari bulan Januari hingga Juni 2015. Bahan tanam yang digunakan adalah tomat Tora, Ratna dan varietas hibrida Permata.

Benih tomat disemai pada tray persemaian selama 3 minggu kemudian dipindahkan pada polibag yang berisi 8 kg media campuran tanah dan sekam dengan perbandingan 2 banding 1. Tiap polibag berisi satu bibit, dimana setiap genotipe ditanam sebanyak 5 tanaman, sehingga terdapat 15 tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan berupa penyiraman, pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan sesuai teknik budidaya tomat di rumah kaca. Kuncup bunga dipetik secara berangkai menggunakan gunting, kemudian

dimasukkan ke dalam Coolbox. Kuncup diukur menggunakan milimeter blok dan

dipisahkan berdasarkan ukuran dari 1, 2, 3, 4, 5, 6,7 8, 9, dan 10 mm.

Variabel yang diamati adalah panjang antera dan fase perkembangan mikrospora. Nilai panjang antera diperoleh dari rata-rata tiga antera per kuncup yang diulang sebanyak enam kali. Identifikasi fase perkembangan mikrospora dilakukan pada panjang kuncup 2 hingga 7 mm dengan alasan bahwa kuncup 1 mm memiliki ukuran antera yang sangat kecil yaitu kurang dari 0.5 mm, sehingga sulit untuk melakukan isolasi anteranya, sedangkan ukuran 8 hingga 10 mm tidak digunakan karena fase mikrospora pada ketiga genotipe yang digunakan telah terdapat pada panjang kuncup 7 mm, maka setelah ukuran tersebut fase yang teramati adalah fase mikrospora dewasa. Pengamatan fase perkembangan

mikrospora menggunakan metode squash dengan perwarna Orcein 2% (Syukur et

al. 2012). Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop pada tiga bidang

pandang dengan dua perbesaran, yaitu 40x dan 100x. Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk Gambar dan Tabel.

3.3 Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa panjang kuncup, panjang antera dan fase perkembangan mikrospora pada genotipe yang digunakan tidak banyak berbeda (Tabel 1). Saat panjang kuncup 1 mm hingga 5 mm panjang antera ketiga genotipe hampir tidak berbeda, begitu pula saat panjang kuncup 5 mm hingga 7 mm. Saat panjang kuncup 5 mm ketiga genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera berturut-turut 1.8±0.3 mm, 2.0±0.3 mm dan 2.0±0.0 mm. Saat panjang kuncup 7 mm ketiga genotipe memiliki panjang antera berturut-turut 3.0±0.0 mm, 2.9±0.1 mm dan 3.2±0.2 mm. Perbedaan panjang antera terlihat sedikit lebih tinggi pada ketiga genotipe saat panjang kuncup 9 mm (Tabel 1). Adanya perbedaan panjang antera pada panjang kuncup yang sama pada genotipe Tora, Ratna dan Permata disebabkan karena faktor genetik dan lingkungan tumbuh tanaman.

Genotipe Tora, Ratna dan permata menunjukkan fase perkembangan mikrospora yang tidak banyak berbeda di antara ketiganya. Genotipe Tora memiliki fase meiosis pada saat panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad berada pada panjang kuncup 5 hingga 6 mm dan fase mikrospora muda berada panjang kuncup 7 mm. Genotipe Ratna memiliki fase meiosis pada saat panjang


(27)

13

kuncup 2 mm hingga 5 mm, fase tetrad berada pada panjang kuncup 6 mm dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm. Genotipe Permata menunjukkan fase meiosis pada panjang kuncup 2 mm hingga 4 mm, fase tetrad pada panjang kuncup 5 mm dan fase mikrospora pada panjang kuncup 6 mm hingga 7 mm (Tabel 2). Segui-Simarro dan Nuez (2005) menunjukkan bahwa fase meiosis pada genotipe yang digunakan berada pada panjang kuncup 3.8 hingga 7.0 mm.

Tabel 1 Panjang antera tiga genotipe tomat saat panjang kuncup 1 hingga 10 mm Panjang

Kuncup (mm)

Standar deviasi (Stdev) Panjang Antera (mm)

Tora Ratna Permata

1 0.3±0.0 0.3±0.0 0.3±0.0

2 0.5±0.0 0.5±0.0 0.5±0.0

3 1.0±0.0 1.1±0.1 1.0±0.0

4 1.5±0.0 1.5±0.3 1.5±0.0

5 1.8±0.3 2.0±0.3 2.0±0.0

6 2.8±0.3 2.4±0.2 2.5±0.0

7 3.0±0.0 2.9±0.1 3.2±0.2

8 3.3±0.3 3.3±0.4 3.7±0.3

9 3.8±0.3 4.1±0.4 5.0±0.0

10 5.4±0.5 5.1±0.8 5.2±0.4

Rata-rata 2.3±0.2 2.3±0.3 2.5±0.2

Fase meiosis ditandai dengan penampilan kromosom yang memendek dan menebal, serta terlihat adanya dinding antar sel (Gambar 2a). Fase awal tetrad ditandai dengan proses berpisahnya kromosom sel anak sebelum pembelahan sitoplasma (Gambar 2b), kemudian diikuti dengan pemisahan sitoplasma sehingga terlihat jelas pemisahan antara sel (Gambar 2c). Fase selanjutnya dari fase tetrad adalah fase akhir tetrad yaitu fase dimana telah terbentuk empat sel anak yang saling terpisah (Gambar 2d) dan menjauhi poros tengah sel. Terlihat empat sel dengan kromosom dan sitoplasma yang jelas, memiliki bentuk dan ukuran yang hampir sama serta dinding sel mulai menghilang (Gambar 2e-f). Mikrospora muda yang Tabel 2 Panjang antera dan fase perkembangan mikrospora tiga genotipe tomat

berdasarkan panjang kuncup Panjang

Kuncup (mm)

Genotipe

Tora Ratna Permata

PA

(mm) FM

PA

(mm) FM

PA

(mm) FM

2 0.5±0.0 Meiosis 0.50 Meiosis 0.50 Meiosis

3 1.0±0.0 Meiosis 1.07 Meiosis 1.00 Meiosis

4 1.5±0.1 Meiosis 1.53 Meiosis 1.50 Meiosis

5 1.9±0.2 Awal tetrad 1.97 Meiosis 2.00 Awal tetrad

6 2.6±0.2 Akhir tetrad 2.44 Tetrad 2.50 Mikrospora

7 3.0±0.1 Mikrospora 2.94 Mikrospora 3.23 Mikrospora


(28)

baru terbentuk (Gambar 2g) memiliki bentuk yang sedikit berbeda dengan mikrospora dewasa (Gambar 2h-i).

Gambar 2 Fase perkembangan mikrospora tomat yang diamati. Fase meiosis (a), fase awal tetrad hingga akhir tetrad (b-f), fase mikrospora muda (g), fase mikrospora (h, i)

Fase perkembangan mikrospora tomat Tora ditunjukkan pada Gambar 3. Fase meiosis terdapat pada saat panjang kuncup 2 hingga 4 mm (Gambar 3a-c). Fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 5 mm hingga 6 mm (Gambar 3d-e). Fase mikrospora terdapat pada panjang kuncup 7 mm (Gambar 3f). Fase meiosis pada genotipe Ratna terdapat pada panjang kuncup 2 mm hingga 5 mm (Gambar 4a-d). Fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 6 mm (Gambar 4e) dan fase mikrospora terdapat pada panjang kuncup 7 mm (Gambar 4f). Fase meiosis pada genotipe Permata terdapat pada panjang kuncup 2 mm hingga 3 mm (Gambar 5a-b) dan fase tetrad terdapat pada panjang kuncup 4 mm hingga 5 mm (Gambar 5c-d). Fase mikrospora berada pada panjang kuncup 6 mm hingga 7 mm.

Gambar 3 Fase perkembangan mikrospora tomat Tora. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3, 4 dan 5 mm (a, b, dan c). Fase tetrad pada panjang kuncup 5 dan 6 mm (d dan e) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm (f)

a

f e

d

c b

e d

c a b

a

i h

g a


(29)

15

Gambar 4 Fase perkembangan mikrospora tomat Ratna. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3, 4 dan 5 mm (a, b, c dan d). Fase tetrad pada panjang kuncup 6 mm(e) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 7 mm (f)

Gambar 5 Fase perkembangan mikrospora tomat Permata. Fase meiosis pada panjang kuncup 2, 3 dan 4 mm (a, b dan c). Fase tetrad pada panjang kuncup 5 mm (d) dan fase mikrospora berada pada panjang kuncup 6 dan 7 mm (f)

Fase uninukleat pada pengamatan ini tidak ditemukan, namun diyakini bahwa fase tersebut berada setelah fase tetrad. Hal ini karena dalam pengamatan pembelahan sel sering ditemukan dua atau tiga fase sekaligus dalam sebuah jaringan sel. Tidak mudah untuk mengamati fase uninukleat disebabkan karena dinding mikrospora telah lebih tebal sehingga penetrasi Orcein tidak dapat menembus dinding antera. Walaupun semua fase perkembangan mikrospora dapat digunakan untuk kultur antera tomat, namun fase yang optimal untuk menginduksi

kalus dan meregenerasikan tanaman diusulkan berbeda-beda. Menurut Summers et

al. (1992) fase yang optimal adalah fase profase 1, sedangkan menurut Segui-Simarro dan Nuez (2005) fase yang optimal adalah fase metafase I hingga telofase II. Di sisi lain, Zamir et al. (1980) menunjukkan bahwa fase yang optimal adalah fase tetrad.

3.4 Kesimpulan

Genotipe Tora, Ratna dan Permata memiliki panjang antera yang hampir sama saat panjang kuncup 1 mm hingga 10 mm. Fase meiosis pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 2 mm hingga 4 mm, 2 mm hingga 5 mm dan 2 mm hingga 4 mm. Fase tetrad pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 5 mm hingga 6 mm, 5 mm

a b

f e

d

c b

a

f e

d


(30)

dan 4 mm hingga 5 mm. Fase mikrospora pada genotipe Tora, Ratna dan Permata berada pada panjang kuncup berturut-turut 7 mm, 7 mm, dan 6 mm hingga 7 mm.

3.5 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disarankan penggunaan ukuran kuncup untuk penelitian selanjutnya yaitu menggunakan ukuran kuncup 2 mm hingga 6 mm untuk genotipe Tora, dan 2 mm hingga 5 mm untuk genotipe Ratna dan Permata.


(31)

17

4

INDUKSI PEMBENTUKAN KALUS DAN

REGENERASI TUNAS

Abstract

The aims of this research were to evaluate culture ability of three tomato genotypes through their androgenesis response in callus induction and regeneration media. Completely randomized design with factorial arrangement and 5 replications were used. Treatments consisted of three genotypes of tomato (Tora, Ratna and hybrid variety Permata), six callus induction media in the first experiment and three genotypes and two regeneration media in the second experiment. The result showed that hybrid variety Permata had the highest anther culture ability then other genotypes. Permata had the highest percentage of callus induction (27.3%) followed by Tora (14.0%) and Ratna (12.0%). The highest percentage of callus induction was shown in DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1

NAA medium (39.7%) followed by DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA

medium (33.0%). Both genotype and media gave low percentage of shoot induction. The high percentage of shoot induction in hybrid variety Permata was 4.2% while in Tora was 2.1% and Ratna was 0.0%. The high percentage of shoot

induction in MS + 25 mg L-1 Zeatin was 2.8% while in MS+ 1 mg L-1 Zeatin +

0.125 mg L-1 IAA was 1.4%.

Keywords: Callus, culture media, plant growth regulator, tomato anther culture

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan kultur antera tiga genotipe tomat melalui respon androgenesis pada percobaan induksi pembentukan kalus dan regenerasi tunas. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan lima ulangan. Perlakuan terdiri dari tiga genotipe (Tora, Ratn a dan Permata), enam media induksi kalus pada percobaan pertama dan dua media regenerasi pada percobaan ke dua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat varietas hibrida Permata memiliki kemampuan kultur antera yang lebih baik dibandingkan genotipe lainnya. Permata memiliki persentase jumlah kalus paling tinggi (27.3%), kemudian diikuti oleh genotipe Tora (14.0%) dan Ratna (12.0%).

Persentase induksi kalus paling tinggi ditunjukkan oleh media DBMI + 5 mg L-1

Kinetin + 2 mg L-1 NAA (39.7%) dan DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA (33.0%). Baik genotipe maupun media yang digunakan menghasilkan jumlah tunas yang rendah. Persentase induksi tunas varietas hibrida Permata 4.2% lebih tinggi

dari Tora (2.1%) dan Ratna (0.0%). Persentase induksi tunas media MS + 1 mg L-1

Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA sebesar 2.8% sedangkan MS + 0.25 mg L-1 Zeatin sebesar 1.4%.


(32)

4.1 Pendahuluan

Penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan tomat saat ini belum mendapat perhatian karena terbatasnya informasi mengenai daya kultur antera tomat di Indonesia. Berbagai hasil penelitian kultur antera tomat yang dilaporkan dari tahun 1972 (Sharp et al. 1972) hingga 2010 (Motallebi-Azar) masih terkait respon genotipe terhadap kondisi kultur dan kajian mengenai faktor-faktor pembatas keberhasilannya. Belum ada metode yang baku hingga saat ini disebabkan karena besarnya pengaruh genotipe yang digunakan. Keberhasilan kultur antera tomat juga dipengaruhi oleh komposisi media kultur, fase perkembangan mikrospora (Seguì-Simarro dan Nuez 2005), kondisi fisiologi tanaman donor, pra perlakuan sebelum kultur (Motallebi-Azar dan Panahandeh 2010), dan kondisi lingkungan kultur.

Media kultur merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur antera tomat. Komponen penyusun media kultur adalah garam-garam anorganik, zat pengatur tumbuh, vitamin, asam amino, sumber karbon, osmotika, dan air (Gamborg dan Phillips 1995). Komposisi media dan pH selain menentukan keberhasilan tanaman juga menentukan arah perkembangan eksplan pada awal perkembangannya. Kebutuhan nutrisi antara jaringan yang berasal dari bagian yang berbeda akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun media dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Media yang paling luas penggunaannya adalah media MS (Murashige dan Skoog 1962) (Zulkarnain 2009). Selain media MS, media lain yang juga digunakan dalam kultur

antera adalah media B5 pada kultur antera padi (Dewi et al. 2004), media Dumas

De Vaulx et al. (1981) pada kultur cabai (Irikova et al. 2011) dan modifikasi media

MMS yang merupakan media modifikasi MS pada kultur antera anturium (Rachmawati 2005).

Media kultur antera tomat meliputi media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Media induksi kalus maupun regenerasi pada kultur antera tomat belum baku sehingga belum ada media yang dapat digunakan secara universal. Media yang telah berhasil menginduksi kalus dan regenerasi tunas bervariasi sesuai dengan genotipe yang digunakan. Media dasar yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog 1962) dan MS1 (Gamborg dan Eveleigh 1968; Gresshoff dan Doy 1972) dan MS2 (Gresshoff dan Doy 1972; Blaydes 1996;). Media MS1 dan MS2 digunakan oleh Gresshoff dan Doy (1972) dalam penelitian kultur antera tomat dan menemukan bahwa media MS1 dengan tambahan ZPT kinetin dan NAA yang kemudian diberi nama DBM1 menginduksi kalus secara optimal. Media ini juga berhasil menginduksi kalus pada penelitian Summers et al. (1992) dan Motallebi-Azar (2010a). Selain media DBM1, terdapat juga media DBM2 dan DBM3 yang merupakan media buatan Gresshoff dan Doy dengan tambahan zat pengatur tumbuh Kinetin dan NAA. Media DBM memiliki beberapa perbedaan konsentrasi dan komposisi dengan media MS (Murashige dan Skoog 1962). Media MS (Murashige dan Skoog 1962) juga digunakan oleh Motallebi-Azar (2010a) dan berhasil menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman. Kombinasi ZPT yang digunakan pada media MS untuk kultur antera tomat antara lain Zeatin dan IAA, 2.4 D dan Kinetin, serta 2ip dan IAA.

Penggunaan genotipe yang responsif akan meningkatkan efisiensi produksi kalus dan tanaman masing-masing 85% dan 46% (Motallebi-Azar 2010a),


(33)

19

sedangkan seleksi media yang tepat dapat meningkatkan efisiensi pembentukan

kalus dan tanaman masing-masing 13% dan 18% (Jaramilllo dan Summers 1990).

Antera yang dikulturkan pada media akan menyerap zat-zat dari dalam media sehingga akan menghentikan lintasan gametofitik pada mikrospora dan memaksanya ke arah lintasan sporofitik agar menghasilkan sel-sel kalus (Dewi dan Purwoko 2011).

Keberhasilan induksi kalus dan regenerasi tanaman selain dipengaruhi oleh media juga dipengaruhi oleh fase perkembangan mikrospora (Shtereva et al. 1998). Hal ini karena pembentukan kalus atau embrio pada tahap awal kultur antera sangat bergantung pada fase perkembangan mikrospora. Upaya yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan media kultur antera tomat yang telah berhasil menginduksi kalus dan meregenerasikan tanaman, serta menggunakan fase perkembangan mikrospora yang diketahui dari berbagai hasil penelitian dapat menginduksi kalus dan meregenerasikan tunas. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tanggap androgenesis genotipe Tora, Ratna dan Permata dan memperoleh media induksi kalus dan regenerasi yang paling baik untuk kultur antera tomat yang digunakan.

4.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BB Biogen), dan Rumah Kaca Cikeumeh, Cimanggu, Bogor pada bulan Juni 2015 hingga April 2016.

Bahan tanaman yang digunakan terdiri atas tiga genotipe yaitu, Tora, Ratna dan hibrida Permata. Tora dan Ratna diperoleh dari koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Hibrida Permata, milik PT Panah Merah diperoleh dari toko pertanian Tani Jaya, Dramaga. Media tanam yang digunakan terdiri atas 6 media induksi kalus (M1, M2, M3, M4, M5, M6) dan 2 media induksi tunas (R1 dan R2). Semua kalus yang diperoleh terlebih dahulu dipindahkan ke media proliferasi kalus, tanpa memperhatikan asal media. Kalus yang telah berproliferasi selanjutnya dipindahkan pada media regenerasi. Media induksi kalus M1, M2, dan M3 berasal dari penelitian Gresshoff dan Doy (1972). Media M4 dan M5 berasal dari penelitian Motallebi-Azar (2010a)

dan media M6 berasal dari penelitian Zagorska et al. (2005). Komposisi ke enam

media tersebut adalah sebagai berikut: M1 (DBMI + 5 mg L-1 kinetin + 2 mg L-1

NAA), M2 (DBMII + 1 mg L-1 kinetin + 2 mg L-1 NAA), M3 (DBMIII + 0.01 mg

L-1 kinetin + 5 mg L-1 NAA, M4 (MS + 1 mg L-1 2ip + 2 mg L-1 IAA), M5 (MS + 0.02 mg L-1 2.4-D + 2 mg L-1 kinetin), dan M6 (MS + 0.25 mg L-1 Zeatin + 0.5 mg L-1 IAA). Media induksi tunas R1 (MS + 1 mg L-1 Zeatin + 0.125 mg L-1 IAA)

berasal dari penelitian Motallebi-Azar (2010a), dan media R2 (MS + 0.25 mg L-1

Zeatin) berasal dari penelitian Seguì-Simarro dan Nuez (2005).

4.2.1 Induksi Pembentukan Kalus pada Enam Media Kultur

Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor. Faktor pertama yaitu genotipe yang terdiri dari 3 genotipe (Tora, Ratna, dan Permata). Faktor kedua yaitu media yang terdiri atas 6 media (M1, M2, M3, M4, M5, dan M6), sehingga terdapat 18 kombinasi perlakuan. Tiap kombinasi perlakuan


(34)

diulang sebanyak 5 kali, sehingga terdapat 90 satuan percobaan. Satu satuan percobaan adalah satu petri yang berisi 20 antera.

Kuncup yang digunakan untuk semua genotipe pada percobaan dua berukuran 3 hingga 7 mm yang mengandung antera pada fase meiosis, tetrad hingga mikrospora. Hal ini didasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa induksi kalus pada kultur antera tomat dapat dihasilkan pada semua fase mikrospora, yaitu fase meiosis (Zagorska et al. 1998; Summer et al. 1992; Gresshoff dan Doy 1972), tetrad (Zamir et al. 1980), uninukleat (Gulshan et al. 1981) hingga mikrospora (Sharp et

al. 1972). Hasil percobaan 1 digunakan sebagai indikator untuk mengetahui letak

ke tiga fase tersebut berdasarkan panjang kuncup. Kuncup diambil pada pagi hari selama 25 hingga 30 hari masa berbunga (Motallebi-Azar 2010). Kuncup yang telah

diambil, selanjutnya disimpan pada suhu 5 0C selama 48 jam. Kuncup yang telah

diberi pra perlakuan selanjutnya disterilisasi di dalam Laminar Air Flow Cabinet.

Kuncup direndam dalam larutan Clorox 20% selama 10 menit, kemudian dibilas

dengan air steril sebanyak 3 kali dan ditiriskan pada kertas saring steril. Antera kemudian dipisahkan dari kuncup bunga menggunakan pinset lalu diinokulasi pada petri yang berisi 25 ml media induksi kalus. Tiap petri berisi 20 antera yang berasal dari 4 kuncup bunga. Petri yang telah berisi antera diinkubasi gelap selama 6

minggu pada suhu 26 ± 2 0C kemudian dipindahkan pada kondisi penyinaran 16/8

jam dengan suhu yang sama (Motallebi-Azar 2010a). Pengamatan dilakukan terhadap lamanya inisiasi kalus dalam hari setelah tanam (HST), jumlah kalus yang terbentuk dan jumlah antera berespon per kuncup. Data primer yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase kalus terhadap jumlah antera. Antera berespon dihitung dengan membuat modus data jumlah antera yang menghasilkan kalus yang diperoleh dari lima kuncup pada tiap genotipe. Data dianalisis menggunakan analisis ragam dan akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf

α= 5% bila terdapat pengaruh pada perlakuan.

Persentase % kalus terhadap jumlah antera =Jumlah total antera Jumlah kalus x 100%

4.2.2 Induksi Pembentukan Tunas pada Dua Media Regenerasi

Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor. Faktor pertama adalah kalus dari 3 genotipe (Tora, Ratna dan Permata) yang berasal dari percobaan 1. Faktor kedua adalah media induksi tunas yang terdiri atas 2 media (R1 dan R2), sehingga terdapat 6 kombinasi perlakuan. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 8 kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Satu satuan percobaan adalah satu botol yang berisi 3 kalus.

Kalus dari tiap genotipe yang telah berukuran sekitar 2 mm dipindahkan pada

media proliferasi kalus yaitu MS + 2.5 mg L-1 NAA + 3 BAP mg L-1. Kalus yang

telah memiliki ukuran sekitar 5 hingga 10 mm dipindahkan pada media regenerasi. Kalus yang sudah dipindahkan ke media regenerasi, selanjutnya diinkubasi pada suhu 26 ± 2 0C dengan penyinaran 16/8 jam. Pengamatan dilakukan terhadap diameter kalus pada minggu ke empat dan ke enam, lamanya inisiasi tunas dalam hari setelah tanam (HST) dan jumlah tunas. Data primer jumlah tunas digunakan untuk menghitung persentase jumlah tunas terhadap jumlah kalus dan data primer diameter kalus digunakan untuk menghitung pertambahan diameter kalus. Efisiensi pembentukan tunas dari setiap genotipe yang dikulturkan pada dua media induksi tunas dinyatakan dengan persentase jumlah tunas terhadap jumlah kalus. Data


(35)

21

dianalisis menggunakan analisis ragam dan akan dilanjutkan dengan uji DMRT

pada taraf α= 5% bila terdapat pengaruh pada perlakuan.

Persentase % jumlah tunas terhadap jumlah kalus=Jumlah total kalusjumlah tunas x 100%

Pertambahan diameter kalus= diameter kalus minggu ke enam – diameter kalus minggu ke empat.

4.3 Hasil dan Pembahasan

4.3.1 Induksi Pembentukan Kalus pada Enam Media Kalus

Pembentukan kalus merupakan salah satu tahapan dalam pembentukan tanaman pada kultur antera tomat (Gresshoff dan Doy 1972; Zagorska et al. 1998; Segui-Simarro dan Nuez 2005; Motallebi-Azar 2010) yang juga ditemukan pada berbagai kultur antera tanaman seperti cabai (Muswita 2003), terung (Khatun et al. 2006) dan padi (Dewi et al. 2001; Dewi et al. 2007, 2009; Safitri et al. 2010). Antera ditanam pada petri yang berisi 25 ml media, kemudian diinkubasi gelap selama 6 minggu untuk menginduksi pembentukan kalus (Gambar 6a). Kalus yang terbentuk memiliki morfologi yang sama. Kalus berwarna putih kekuningan, transparan dengan struktur remah, kompak (Gambar 6b) dan lunak (Gambar 6c).

Gambar 6 Induksi pembentukan kalus tomat. Inokulasi antera pada media induksi kalus (a), struktur kalus kompak, berwarna putih (b), struktur kalus lunak, transparan dan berwarna putih kekuningan (c).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa media yang digunakan mempengaruhi lamanya inisiasi kalus, sedangkan genotipe maupun interaksi keduanya tidak mempengaruhi lamanya inisiasi kalus. Genotipe dan media secara tunggal mempengaruhi jumlah kalus yang dihasilkan, sedangkan interaksi keduanya tidak mempengaruhi jumlah kalus. Genotipe, media, maupun interaksi keduanya tidak mempengaruhi pertambahan diameter kalus dan jumlah tunas yang dihasilkan (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil analisis ragam pengaruh genotipe dan media terhadap jumlah kalus, diameter kalus, dan jumlah tanaman pada kultur antera tomat

Sumber Keragaman

Percobaan 1 Percobaan 2

Kuadrat Tengah Lamanya

Inisiasi Kalus (HST)

Jumlah Kalus per

petri

Diameter Kalus (mm)

Jumlah Tunas

Genotipe 0.1 4.0** 0.5 0.0020

Media 0.2 6.7** 0.0 0.0008

Genotipe x Media 0.2 0.6 0.1 0.0008

KK 16.5 17.9 23.6 7.1000

**= berbeda nyata pada taraf α 1%

c b


(36)

Perbedaan respon genotipe terhadap lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persentase jumlah kalus pada genotipe yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kalus pertama terbentuk setelah kultur diinkubasi selama 26.4 hari (Tora) dan 27.7 hari (Ratna dan Permata). Jumlah kalus paling tinggi dihasilkan oleh genotipe Permata sebesar 5.5 berbeda dengan genotipe Tora dan Ratna yaitu 2.8 dan 2.4, sedangkan jumlah kalus genotipe Tora dan Ratna tidak berbeda diantara keduanya. Efisiensi pembentukan kalus dari setiap genotipe yang dikulturkan pada enam media induksi kalus dinyatakan dengan persentase jumlah kalus terhadap jumlah antera. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa genotipe Permata memiliki efisiensi pembentukan kalus paling tinggi yaitu sebesar 27.3%, kemudian genotipe Tora 14.0% dan Ratna 12.0%. Perbedaan jumlah kalus antara genotipe tomat hasil kultur antera juga dilaporkan oleh Zamir et al. (1980), Zagorska et al. (1998),Asoliman et al. (2007), dan Motallebi-Azar et al. (2010). Tabel 4 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persentase

jumlah kalus pada genotipe tomat yang berbeda

Genotipe Lamanya inisiasi

kalus (HST)

Jumlah kalus per petri

Persentase jumlah kalus (%)×

Tora 26.4 2.8 b 14.0

Ratna 27.7 2.4 b 12.0

Permata 27.7 5.5 a 27.3

×= Data tidak dianalisis. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%.

Berdasarkan perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus pada media yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Tidak ada perbedaan yang nyata dalam inisiasi kalus antara media M1, M2, M3, M4 dan M5, kecuali media M6, dimana media M6 tidak menginduksi kalus sama sekali. Kalus pertama terbentuk setelah kultur diinkubasi selama 25.0 hari, yaitu terjadi pada media DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA (M1), dan kalus paling lama terbentuk setelah 28.6 hari, yaitu pada media DBMI + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1

NAA (M2), sedangkan pada media M6 kalus tidak terbentuk sama sekali.

Pembentukan kalus pada kultur antera tomat yang dilaporkan oleh Asoliman et al.

(2007) dan Motallebi-Azar (2010) terjadi setelah 4 minggu atau 28 hari kultur.

Jumlah kalus yang dihasilkan oleh media DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg

L-1 NAA (M1) tidak berbeda dengan DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA (M2) yaitu berturut-turut 7.9 dan 6.6, namun keduanya berbeda dengan media lainnya. Respon beragam yang ditunjukkan oleh media terhadap jumlah kalus menunjukkan bahwa media menentukan keberhasilan induksi kalus. Hal ini seperti

yang dikemukakan oleh Zagorska et al. (1998), bahwa komposisi media merupakan


(37)

23

Tabel 5 Perbedaan respon lamanya inisiasi kalus, jumlah kalus dan persen jumlah kalus tomat pada media yang berbeda

Media induksi kalus (M)

Lamanya inisiasi

kalus (HST) Jumlah kalus

Persentase jumlah kalus

(%)×

M1 25.0 7.9 a 39.7

M2 28.6 6.6 a 33.0

M3 27.4 3.2 b 16.0

M4 26.4 1.8 bc 9.0

M5 27.6 1.8 bc 9.0

×= Data tidak dianalisis. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α 5%.

Media M6 tidak menginduksi kalus dapat disebabkan karena kombinasi dan konsentrasi ZPT yang digunakan belum sesuai dengan genotipe yang digunakan.

Shtereva et al. (1998) menyatakan bahwa bahwa kombinasi 2ip dan IAA lebih baik

dibanding kombinasi Zeatin dan IAA dalam induksi kalus maupun organogenesis dalam kultur antera tomat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa Media M4 dengan kombinasi 2ip dan IAA menghasilkan kalus 1.8 sedangkan M6 dengan kombinasi Zeatin dan IAA tidak menghasilkan kalus sama sekali.

Efisiensi pembentukan kalus paling tinggi dihasilkan oleh media DBMI + 5 mg L-1 kinetin + 2 mg L-1 NAA (M1) dan DBMII + 1 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1

NAA (M2) berturut-turut sebesar 39.7% dan 33.0%. Media DBMI + 5 mg L-1

Kinetin + 2 mg L-1 NAA juga dilaporkan menginduksi kalus secara optimal pada

berbagai genotipe yang digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya (Gresshoff dan Doy 1972; Summers et al. 1992; Motallebi-Azar 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media DBMI + 5 mg L-1 Kinetin + 2 mg L-1 NAA dapat digunakan untuk berbagai genotipe tomat. Beragamnya jumlah kalus dan efisiensi pembentukan kalus ketiga genotipe pada media yang digunakan menunjukkan bahwa genotipe yang berbeda membutuhkan media yang berbeda. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya memperoleh media yang universal untuk kultur antera tomat.

Gambar 7 menunjukkan modus data jumlah antera berespon yang berkalus per kuncup pada masing-masing genotipe. Modus data menunjukkan bahwa dalam satu kuncup bunga yang terdiri atas lima antera, paling banyak hanya 1 hingga 2 antera yang berespon menghasilkan kalus. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jumlah kalus tidak hanya terjadi pada tingkat genotipe, namun terjadi pada tingkat yang lebih rendah yaitu antar antera dalam satu kuncup yang sama.


(38)

Gambar 7 Modus data jumlah antera bersepon per kuncup pada tiap genotipe tomat

4.3.2 Induksi Pembentukan Tunas pada Dua Media Regenerasi

Kalus yang berkembang pada media induksi tunas memiliki morfologi yang bervariasi. Kalus lunak, mengandung banyak air, berkembang lambat, kemudian mencokelat dan akhirnya mati (Gambar 8a). Kalus remah, berwarna hijau, berkembang lebih cepat dengan tipe perkembangan kalus ke arah vertikal. Kalus seperti ini memiliki bagian yang mudah dipisahkan dan bagian yang sulit dipisahkan. Kalus yang berada paling atas dari permukaan kalus lebih mudah terpisah dibandingkan kalus yang mendekati permukaan media (Gambar 8b-c). Kalus seperti ini terus berkembang hingga menembus dasar media, kemudian mencokelat dan mati. Kalus kompak, dengan arah perkembangan lebih dominan melebar kesamping memiliki struktur yang kompak dan sulit dipisahkan. Terdapat struktur halus berwarna putih yang menutupi permukaan kalus (Gambar 8d). Kalus seperti ini lebih lama mengalami pencokelatan. Struktur halus berwarna putih yang terbentuk bila diamati menyerupai serabut atau bulu yang mengandung banyak air.

Gambar 8 Penampilan kalus yang berkembang pada media induksi tunas tomat. Kalus lunak, mengandung banyak air (a), kalus kompak, remah (b dan c), dan kalus kompak, memiliki sturktur bulu halus berwarna putih (d) Kalus yang tidak menginduksi tunas, namun terus berproliferasi dapat disebabkan karena faktor genetik dari tanaman tomat maupun faktor eksternal berupa zat pengatur tumbuh. Menurut Davies (2004), zat pengatur tumbuh dalam mempengaruhi perkembangan jaringan tanaman dipengaruhi oleh hormon endogen yang tersedia, letak zat pengatur tumbuh dari jaringan target, serta sensitivitas dan responsivitas dari jaringan tanaman. Tomat merupakan spesis rekalsitran in vitro, yang diduga menjadi penyebab rendahnya respon jaringan tanaman terhadap media kultur khususnya zat pengatur tumbuh. Rekalsitran in vitro adalah keadaan dimana eksplan yang dikultur memberi respon yang sangat rendah terhadap lingkungan kultur yang diberikan atau sulit merespon. Hal ini dipengaruhi oleh faktor utama yaitu genotipe. Rekalsitran in vitro pada tomat dapat disebabkan karena rendahnya

0 10 20 30 40 50 60

1;2 2;3 3;4 4;5

MO DU S DA T A

RANGE JUMLAH ANTERA BERESPON PER KUNCUP

Tora Ratna Permata d c b a Mo d u s Data

1-2 2-3 3-4 4-5


(1)

Lampiran 2 Komposisi media defined basal medium (DBM) I, II dan III Nama

media Komponen penyusun media

DBMI DBMII DBMIII

: : :

200 mg L-1 MS2 + 10 mg L-1 vitamin + 5 mg L-1 FeEDTA + 1 mg L-1 hara mikro + 2.5 mg L-1 phytagel + 20 g Sukrosa, pH 5.8

200 mg L-1 MS2 + 10 mg L-1 vitamin + 5 mg L-1 FeEDTA + 1 mg L-1 hara mikro + 2.5 mg L-1 phytagel + 20 g Sukrosa, pH 5.8

200 mg L-1 MS1 + 2 µg/ml biiotin + 10 mg L-1 vitamin (tanpa glisin) + 5 mg L-1 FeEDTA + 1 mg L-1 hara mikro + 2.5 mg L-1 phytagel + 20 g Sukrosa, pH 5.8

DBM: defined basal medium. Media kultur antera tomat hasil modifikasi oleh Gresshoff dan Doy (1972)

Sumber: Gresshoff PM dan Doy CH (1972). Development and differentiation of haploid Lycopersicon esculentum (tomato). Planta (Berl.). 107: 161-170.


(2)

Lampiran 3 Deskripsi tomat varietas Tora IPB Asal Silsilah Golongan Tipe tanaman Tinggi tanaman

Bentuk penampang batang Diameter batang Warna batang Warna daun Bentuk daun Ukuran daun Bentuk bunga Warna bunga

Warna mahkota bunga Warna kelopak bunga Warna kepala putik Warna benang sari Umur mulai berbunga Umur mulai panen Bentuk buah

Depresi ujung tangkai buah Bentuk ujung buah

Ukuran buah Warna buah muda Warna buah intermediat Warna buah tua

Jumlah rongga buah Kekerasan buah Tebal daging buah Rasa daging buah Bentuk biji Warna biji Berat 1.000 biji Berat per buah

Jumlah buah per tanaman Daya simpan buah pada suhu 27-28 0C

Hasil buah per hektar Populasi per hektar

Kebutuhan benih per hektar Penciri utama : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Dalam Negeri

Seleksi Populasi Bersegregasi (78-13-23-1) Bersari Bebas

Determinate 60.90-91.87 Cm Segiempat 10.60-12.98 Mm

Hijau Muda (5 GY 7/10) Hijau Gelap (2.5 GY 7/10) Tipe 3 UPOV

Panjang 23.76-36.59 Cm; Lebar 18.51-32.86 Cm Seperti Bintang

Kuning (5Y 8.5/12) Hijau Muda (5 GY 7/10) Kuning (5Y 8.5/12) Kuning (2.5 Y 7.5/15) 23-31 Hari Setelah Tanam 46-61 Hari Setelah Tanam Agak Lonjong

Sangat Kuat

Datar Menuju Lancip Panjang 47.44-58.67 Mm Diameter 36.00-44.71 Mm Hijau Muda (2.5 Gy 7.5/10) Orange (2.5 YR 7/12

Orange Kemerahan (5 YR 7/12) 2-3 Rongga

0.58-0.65 Kg/Cm2 3.92-5.52 Cm Tidak Asam Pipih

Cokelat Muda (10 YR 6/6.5) 3.2-3.5 Gram

36.58-62.52 Gram 24-36 Buah

7-11 Hari Setelah Panen 14.14-28.01 Ton Ha-1

20.000-25.000 Tanaman 64-70 Gram

Bentuk Buah Agak Lonjong, Warna Buah Muda Hijau Muda, Warna Buah Matang Orange Agak Kemerahan, Tidak Ada Lekukan Pada Punggung Buah


(3)

Keunggulan varietas Wilayah adaptasi Pemohon

Pemulia Peneliti

: Bobot Buah Sedang, Potensi Produksi Tinggi Dataran Rendah

Pusat Kajian Tropika Hortikultura IPB Dan Departemen Hortikultura, IPB

M Syukur, Sobir, Awang Maharijaya, Arya Widura Ritonga, Abdul Hakim

Yudilastari, Sri Wahyuni, Helfi Eka Saputra, Marlina Mustafa, Supryanti Martia Dewi, Oktaviana Shinta Risty

Sumber: Direktorat Perbenihan Hortikultura (2016). Lampiran 3 (Sambungan)


(4)

Lampiran 4 Deskripsi tomat varietas Ratna Asal

Nomor asal

Umur mulai berbunga Umur mulai berbuah Umur panen seluruhnya Tinggi tanaman Bentuk tanaman Bentuk percabangan Bentuk penampang Bentuk daun Permukaan buah Warna batang Warna daun

Permukaan bawah daun Warna utama urat daun Warna helai bunga Warna benang sari Warna putik Warna buah muda Warna buah tua Jumlah tandan bunga Jumlah bunga per tandan Jumlah rongga buah Jumlah buah per pohon Bobot per buah

Potensi hasil Kualitas buah

Ketahanan terhadap penyakit Kepekaan terhadap penyakit Sesuai untuk : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Persilangan antara Nagcarlan/Anahu (introduksi dari BPI Philipina)

VC 11-1

55-65 hari setelah semai 70-80 hari setelah semai 130-140 hari setelah semai 60-80 cm

Determinate Horizontal Bulat

Berbentuk apel

Halus atau sedikit bergelombang Hijau tua Hijau tua Berbulu Hijau Kuning Kuning Putih Putih polos

Jingga sampai merah 10-22 buah

4-9 buah 2-5 buah 54 buah 35-45 g

12 (5-20) ton ha-1 buah segar Cukup baik

Tahan terhadap layu bakteri (Pseudomona solanacearum)

Peka terhadap busuk daun (Phytoptora infenstant)

Dataran rendah dan dataran tinggi Sumber: Direktorat Perbenihan Hortikultura (2016).


(5)

Lampiran 5 Deskripsi tomat varietas Permata F1 Asal tanaman

Golongan

Tipe pertumbuhan Umur berbunga Umur awal panen Umur akhir panen

Tinggi tanaman awal panen Diameter batang

Bentuk daun Kedudukan daun Panjang tangkai daun Ukuran daun (P x D) Warna daun

Warna mahkota bunga Jumlah bunga per tandan Jumlah bunga per tanaman Jumlah buah per tandan Frekuensi panen

Berat buah per buah Berat buah per tanaman Ukuran buah (P x D) Tebal daging buah Jumlah rongga buah Bentuk buah

Warna buah muda Warna pundak buah Warna buah masak Rasa buah

Tekstur daging buah Jumlah biji per buah Potensi hasil

Ketahanan terhadap penyakit Daerah adaptasi Peneliti/pengusul : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Persilangan antara TO 5186/TO 4142 Hibrida F1

Determinate

25 hari setelah tanam 70-80 hari setelah tanam 100 hari setelah tanam 125-150 cm

2-3 cm Immun Datar 7.0-9.0 cm 40 x 25 cm Hijau sedang Kuning 6-10 10-16 6-10

2-3 hari sekali 50 g

3-4 kg 4.5 x 5.6 cm

0.7-0.9 cm, kekerasan buah keras (skor 7.5 uji manual)

2

Obovoid

Hijau keputihan

Hijau keputihan (Seragam) Merah

Manis (4.5% brix) Renyah

100

50-70 ton ha-1

Tahan Fusarium oxiporum ras 0, Fusarium oxiporum ras 1, Tmv dan Pseudomonas solanacearum dan toleran Altenaria soloni Dataran rendah

PT. East West Seed Indonesia Sumber : Dierktorat Perbenihan Hortikultura (2016).


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan pada tanggal 19 Januari 1988 dari Ayahanda Ibrahim Muhamad Saleh dan Ibunda Khadija Mansa. Penulis merupakan anak ke sepuluh dari tiga belas bersaudara. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 02 Manokwari dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Papua, dan lulus pada tahun 2011. Tahun 2013 Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan magister melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.