Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis

(1)

PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS

BUDIANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis” merupakan gagasan dan karya saya beserta pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun kepada perguruan manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010 Budiana


(3)

BUDIANA. Induction of Microspore Sporophytic Division of Soybean Anther Culture in Double Layer Medium System. Under the direction of SUHARSONO, ENCE DARMO JAYA SUPENA, and IKA MARISKA.

Induction of androgenesis to embryogenesis is the most rapid approach to produce haploid and double haploid plants, so the development of this technique will speed up soybean breeding program. The initial process in order to induce androgenesis to embryogenesis of soybean via anther culture on double layer medium was determined and investigated in this research. The correlation between morphology of the bud and the phase of microspore development was determined. A series of experiments to induce sporophytic divisions from different phase of microspore development were investigated. The culture condition composed of the basal medium, the temperature incubation in the first week of culture, and the carbon sources were determined. In this research, the ratio of bractea and bud lenght between 2/2,5 and 2/3,5 could be used as morphological indicator for the phase of late uninucleat development of almost microspore population. The phase of microspore in late uninucleat and early binucleat were responsive to induce sporophytic divisions. The best medium and culture condition for anther culture of soybean in the double layer medium system to induce sporophytic divisions were NN basal medium, maltose 40 g/l, and cold (4-9oC) temperature treatment in the first week of culture. The microspores development of all three soybean varieties (Sindoro, Slamet, Wilis) could be switched from gametophytic to sporophytic divisions. In Wilis variety, the most responsive for sporophytic division, the microspores can be induced to develop into multicellular structure composed of 12 cells in the best combination of medium and culture condition. The sporophytic induction is the first stage of embryogenesis of soybean anther culture in the double layer medium system.


(4)

BUDIANA. Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis. Dibimbing oleh SUHARSONO, ENCE DARMO JAYA SUPENA, dan IKA MARISKA.

Pemuliaan kedelai masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan cara menyilangkan antar varietas yang dilanjutkan dengan proses seleksi untuk menghasilkan varietas baru. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, khususnya dalam proses seleksi untuk memperoleh galur-galur yang stabil secara genetik, yaitu 7-8 generasi. Untuk itu diperlukan introduksi teknik untuk mempercepat stabilitas genetik dari suatu hasil persilangan. Salah satu alternatif untuk mempercepat stabilitas genetik adalah teknologi haploid melalui induksi androgenesis untuk embriogenesis.

Teknik androgenesis adalah cara untuk menghasilkan tanaman haploid maupun haploid ganda melalui kultur antera dalam media padat, kultur mikrospora yang terisolasi pada media cair, dan kultur antera pada media dua lapis (media cair di atas media padat). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik mikrospora dalam kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis.

Penelitian diawali dengan determinasi hubungan penanda morfologi kuncup bunga kedelai berdasarkan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup dengan fase perkembangan mikrospora untuk tiga varietas kedelai yang digunakan (Sindoro, Slamet, dan Wilis). Pengujian fase perkembangan mikrospora melalui kultur antera pada media dua lapis untuk induksi pembelahan sporofitik dengan menggunakan media dasar NN digunakan untuk mendapatkan fase mikrospora paling baik untuk percobaan berikutnya. Fase mikrospora terbaik digunakan pada uji pengaruh empat media dasar NN, MS, SL2, dan B5 terhadap pembelahan sporofitik mikrospora. Media dasar terbaik digunakan pada uji pengaruh suhu inkubasi minggu pertama kultur, yaitu suhu ruang (25-28oC), suhu dingin (4-9oC), dan suhu panas (30-33oC) terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora. Perlakuan suhu terbaik digunakan untuk uji pengaruh perlakuan sumber karbon sukrosa 40 g/l dan maltosa 40 g/l terhadap induksi pembelahan sporofitik. Penelitian diakhiri dengan uji perlakuan kombinasi hasil terbaik dari fase perkembangan mikrospora, media dasar, suhu inkubasi kultur, dan uji sumber karbon terbaik, untuk mendapatkan kondisi terbaik dalam menumbuhkan mikrospora. Kultur selalu diinkubasi pada kondisi gelap sejak awal inkubasi kultur sampai minggu keempat kultur. Pengamatan dilakukan pada minggu ke 0, 1, 2, 3, dan 4 kultur dengan cara mengisolasi antera dan dibuat preparat dengan pewarnaan DAPI dan diamati dengan mikroskop flouresens. Pengamatan dilakukan terhadap persentase dari masing-masing fase perkembangan mikrospora.

Parameter morfologi kuncup bunga kedelai yaitu rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup antara 2/2,5 sampai 2/3,5 dapat dijadikan kriteria untuk mendapatkan sebagian besar populasi mikrospora pada fase berinti tunggal akhir. Antera dari rasio kuncup 2/2,5 masih mengandung mikrospora pada fase berinti tunggal awal-tengah, sedangkan pada rasio kuncup 2/3-2/3,5 sudah ada mikrospora pada fase berinti dua awal di dalam antera. Fase mikrospora yang


(5)

Media dan kondisi yang lebih baik untuk induksi pembelahan sporofitik dalam kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis adalah menggunakan media dasar NN, sumber karbon maltosa 40 g/l, dan perlakuan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama kultur. Mikrospora dari ketiga varietas kedelai yang diuji yaitu Sindoro, Slamet, dan Wilis, dapat diinduksi ke pembelahan sporofitik. Mikrospora dari varietas Wilis dalam kombinasi media dan kondisi kultur terbaik, dapat diinduksi untuk membentuk struktur multiseluler sampai 12 sel. Dapat diinduksinya pembelahan sporofitik ini merupakan tahapan awal untuk induksi embriogenesis pada kultur antera kedelai dalam sistem media dua lapis.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkam atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(7)

PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS

BUDIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(8)

(9)

Nama : Budiana NIM : G353070191

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suharsono, DEA. Ketua

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. Dr. Ir. Ika Mariska, APU. Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor

Biologi Tumbuhan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih adalah Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis. Penelitian ini didanai oleh KKP3T (Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi) Tahun Anggaran 2008 yang didanai dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan judul: Induksi Androgenesis Kedelai Melalui Kultur Antera pada Media Dua-Lapis untuk Pengembangan Teknologi Haploid dalam Percepatan Proses Pemuliaan atas nama Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan tesis ini banyak kekurangan, dan banyak dibantu oleh berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Suharsono, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan masukan dan arahan dalam penelitian ini.

2. Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. selaku Pembimbing Anggota yang selalu memberikan arahan serta menyediakan berbagai bahan penelitian yang penulis butuhkan.

3. Dr. Ir. Ika Mariska, APU selaku Pembimbing Anggota yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penelitian ini.

4. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi pengayaan dalam tesis ini.

5. Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meningkatkan mutu keilmuan pada Program Studi Biologi, dengan memberikan biaya pendidikan dan penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister Sains di IPB Bogor. 6. Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian

Sumberdaya Hayati & Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB Bogor atas fasilitas penelitian yang telah disediakan.

7. Mbak Nia, Sarah, Pak Asep, Pak Adi, dan Pak Mulya atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.

8. Istri dan anak-anakku tersayang, atas doa dan pergorbanannya.

9. Keluarga besar Bapak Slamet Ahmadi atas segala doa dan kasih sayangnya. 10. Teman-teman Mayor Biologi Tumbuhan angkatan 2007, atas kebersamaan

dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dan semoga tesis ini dapat bermanfaat, Amiin.

Bogor, Maret 2010


(11)

Penulis dilahirkan di Kendal pada tanggal 22 Maret 1969 dari ayah Slamet Ahmadi dan ibu Musiati. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara.

Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah Weleri, dan pada tahun 1989 masuk perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan MIPA program Biologi, dan lulus pada tahun 1994. Penulis masuk ke Program Pascasarjana IPB tahun 2007 pada Departemen Biologi dengan beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama.

Penulis sekarang bekerja di lingkungan Departemen Agama sebagai guru biologi di Madrasah Aliyah Negeri Kendal.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan dan Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai ... 4

Induksi Androgenesis... 4

Kultur Jaringan Tanaman Kedelai ... 6

Perkembangan Mikrospora ... 7

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 9

Bahan Tanaman ... 9

Kultur Sebar Mikrospora ... 9

Metode ... 10

1. Determinasi Fase Perkembangan Mikrospora ... 11

2. Uji Fase Perkembangan Mikrospora ... 12

3. Uji Media Dasar ... 12

4. Perlakuan Suhu Inkubasi Kultur ... 12

5. Uji Sumber Karbon ... 12

6. Uji Perlakuan Kombinasi ... 13

Pengamatan dan Analisa Statistika ... 13

HASIL Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dengan Perkembangan Mikrospora ... 14

Pengaruh Fase Perkembangan Mikrospora ... 15

Pengaruh Media Dasar ... 17

Perlakuan Suhu Inkubasi Kultur ... 19

Pengaruh Sumber Karbon ... 20

Pengaruh Perlakuan Kombinasi ... 22

PEMBAHASAN ... 24

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 29


(13)

(14)

Halaman

1 Hubungan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup


(15)

Halaman 1 Tahapan penelitian kultur antera kedelai pada sistem media

dua lapis ... 10 2 Penentuan rasio panjang braktea (B) terhadap panjang

kuncup (K) pada kuncup bunga kedelai ... 11 3 Fase perkembangan mikrospora kedelai ... 15 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora terhadap

pembelahan sporofitik di dalam media NN pada

varietas Wilis (A), Sindoro (B), Slamet (C) ... 16 5 Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik

mikrospora pada varietas Slamet (A), Sindoro (B), Wilis (C)

selama 4 minggu... ... 18 6 Pengaruh suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap

pembelahan sporofitik mikrospora di media dasar NN

pada varietas Wilis ... 19 7 Pengaruh sumber karbon terhadap pembelahan sporofitik

mikrospora kedelai pada varietas Sindoro (A), Slamet (B),

Wilis (C) ... 21 8 Pengaruh perlakuan kombinasi terhadap pembelahan

sporofitik mikrospora pada varietas Wilis ... 23 9 Mikrospora varietas Wilis yang telah mencapai multiseluler

dengan 12 inti (atas) dan baru 3 inti (bawah) pada


(16)

Halaman 1 Komposisi media dasar NN (Nitsch & Nitsch 1969),

MS (Murashige & Skoog 1962), SL2 (Phillips & Collins 1980),

B5 (Gamborg 1968) ... 35 2 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio

panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Wilis dalam media NN ... 36 3 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio

panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Sindoro dalam media NN ... 37 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio

panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Slamet dalam media NN ... 38 5 Pengaruh media dasar terhadap perkembangan mikrospora

dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Slamet ... 39 6 Pengaruh media dasar terhadap perkembangan mikrospora

dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Sindoro ... 40 7 Pengaruh media dasar terhadap perkembangan mikrospora

dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Wilis ... 41 8 Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur

terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera

pada sistem media dua lapis untuk varietas Wilis ... 42 9 Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur

terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera

pada sistem media dua lapis untuk varietas Sindoro ... 43 10 Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur

terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera


(17)

untuk varietas Sindoro ... 45 12 Pengaruh sumber karbon terhadap perkembangan mikrospora

dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Slamet. ... 46 13 Pengaruh sumber karbon terhadap perkembangan mikrospora

dalam kultur antera pada sistem media dua lapis

untuk varietas Wilis ... 47 14 Pengaruh perlakuan kombinasi fase perkembangan mikrospora,

media dasar NN, suhu inkubasi kultur, dan sumber karbon terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai termasuk komoditas tanaman yang penting di Indonesia, baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku pakan ternak. Pada tahun 2008 produksi kedelai Indonesia hanya 775 710 ton biji kering dengan luas areal produksi 590 956 ha (BPS 2009), sedangkan kebutuhan biji kedelai kering kurang lebih 2 juta ton, sehingga kekurangannya 1,2 juta ton masih harus diimpor. Meskipun prediksi luas pertanaman kedelai pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 728 200 ha, tetapi produktivitasnya masih tetap rendah, yaitu 1,3 ton/ha.

Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai selain melalui perluasan areal pertanaman, diantaranya juga melalui program pemuliaan tanaman untuk mengupayakan tersedianya bibit unggul yang berkualitas. Pemuliaan kedelai di Indonesia masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan cara menyilangkan antar varietas yang dilanjutkan dengan proses seleksi untuk menghasilkan varietas baru. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, khususnya dalam proses seleksi untuk memperoleh galur-galur yang stabil secara genetik, yaitu 7-8 generasi. Untuk mempercepat proses pemuliaan diperlukan introduksi teknik yang dapat meningkatkan efisiensi waktu seleksi. Salah satu alternatif adalah mengembangkan dan menerapkan teknik haploid melalui kultur antera atau kultur mikrospora. Dengan teknik ini, pembentukan tanaman haploid dan haploid ganda dapat dilakukan hanya dalam satu generasi (Pierik 1987).

Tanaman haploid ganda akan memiliki keseragaman genetik karena homozigot untuk setiap lokusnya. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk mempercepat proses seleksi hasil persilangan. Bila mikrospora dari antera tanaman hasil persilangan (F1) dapat diinduksi menjadi embrio dan selanjutnya menjadi tanaman haploid ganda, maka proses seleksi akan segera dilakukan secara dini pada genotipe yang sudah tidak bersegregasi lagi. Pada akhirnya proses pemuliaan untuk menghasilkan varietas baru dapat dipercepat secara signifikan.

Induksi embriogenesis dapat dilakukan melalui kultur antera dalam media padat atau kultur mikrospora pada media cair (Thomas & Davey 1975). Teknik


(19)

kultur sebar mikrospora (KSM) yang dilaporkan oleh Supena et al. (2006) merupakan kombinasi kedua teknik tersebut. Teknik KSM dilakukan dengan cara mengkulturkan antera pada media dua lapis, yaitu media cair di atas media padat.

Faktor-faktor penting yang perlu diketahui supaya induksi embriogenesis dari mikrospora berhasil diantaranya adalah: (1) penentuan fase perkembangan mikrospora responsif, (2) perlakuan cekaman suhu dan atau sumber karbon untuk membelokkan dari jalur perkembangan gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik, (3) komposisi media yang sesuai, dan (4) kondisi inkubasi kultur yang mendukung (Thomas & Davey 1975; Ferrie 2003).

Pengembangan kultur jaringan pada tanaman kedelai umumnya dilakukan dalam upaya membantu proses penelitian dan pemuliaan tanaman (Mariska & Lestari 2006). Teknik androgenesis yang sangat berpotensi untuk mempercepat proses penelitian dan pemuliaan tanaman, juga telah dikembangkan pada tanaman kedelai, melalui kultur antera pada media padat yang dilakukan di beberapa negara seperti di Cina (Hu et al. 1996) dan Brazil (Kaltcuk-Santos et al. 1997). Teknik kultur antera ini masih belum efisien sehingga belum diaplikasikan secara praktis, bahkan di Indonesia belum berhasil karena baru mencapai fase kalus (Zulkarnain 2005). Kultur mikrospora pada media cair juga telah diupayakan oleh Rodrigues et al.(2006) dan belum berhasil mendapatkan embrio. Oleh karena itu teknik embriogenesis dari mikrospora pada kedelai masih perlu terus dikembangkan.

Tujuan dan Hipotesis

Didasarkan pada metode yang telah dikembangkan pada tanaman lain, khususnya pada tanaman model untuk embriogenesis dari mikrospora seperti pada

Brassica napus (Ferrie 2003), Nicotiana tabacum (Touraev & Heberle-Bors 2003), dan tanaman cabai (Supena et al. 2006), penelitian ini bertujuan untuk mempelajari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik mikrospora dalam kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis.

Hipotesis yang diuji pada penelitian ini adalah:

1. Ciri morfologi kuncup bunga berhubungan dengan fase perkembangan mikrospora.


(20)

2. Fase perkembangan mikrospora berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik.

3. Media dasar berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora.

4. Suhu inkubasi pada minggu pertama kultur berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora.

5. Sumber karbon berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora.

6. Kombinasi perlakuan media dasar, suhu inkubasi, dan sumber karbon berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Bunga Kedelai

Bunga tanaman kedelai termasuk bunga sempurna dengan tipe penyerbukan sendiri yang terjadi pada saat mahkota bunga masih menutup, sehingga kemungkinan kawin silang alami sangat kecil. Bunga terletak pada nodus, determinate, dan majemuk tandan. Struktur bunga terdiri dari, kelopak bunga berjumlah lima, mahkota bunga berjumlah lima yang terdiri dari satu mahkota posterior, dua mahkota lateral, dan dua mahkota anterior dengan warna mahkota ungu atau putih. Sepasang braktea terletak didasar dan melingkupi disisi samping kuncup bunga. Benang sari berjumlah sepuluh, sembilan diantaranya saling berlekatan dan hanya satu yang bebas, tetapi semua antera saling bebas satu sama lain. Antera berwarna hijau atau kuning. Putik terdiri dari satu bakal buah, satu tangkai putik, dan satu kepala putik, tetapi dengan 1-5 bakal biji. Pada waktu bunga masih kuncup antera lebih rendah daripada kepala putik, selanjutnya antera menjadi lebih tinggi daripada putik pada saat bunga hampir mekar (Fehr 1980). Induksi Androgenesis

Tanaman haploid dapat diperoleh secara in vitro melalui induksi embriogenesis dari proses androgenesis, ginogenesis, dan eliminasi kromosom. Teknik induksi androgenesis merupakan cara yang banyak dipakai karena lebih efisien dalam menghasilkan tanaman haploid (Ferrie et al. 1994).

Embriogenesis mikrospora secara in vitro dilakukan dengan cara menginduksi sel gamet jantan baik yang belum dewasa dalam bentuk mikrospora ataupun yang telah dewasa dalam bentuk polen menjadi embrio (Touraev et al. 1997). Embrio yang diinduksi dari mikrospora ini pada umumnya akan menjadi individu haploid karena hanya mengandung jumlah kromosom yang sama dengan sel gamet, dan dapat menjadi tanaman haploid ganda secara spontan karena proses endomitosis (de Moraes et al. 2004). Jose et al. (2005) menyatakan bahwa terbentuknya kalus mixoploid pada kultur antera tomat diduga akibat terjadinya penggandaan kromosom secara spontan pada sel haploid awal.

Aplikasi kultur mikrospora dalam skala besar untuk menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda masih terbatas pada beberapa tanaman sayuran. Hal ini


(22)

disebabkan rendahnya frekuensi pembentukan embrio dan masih kurangnya pengetahuan tentang mekanisme dasar induksi embriogenesis mikrospora (Indrianto et al. 1999). Embriogenesis mikrospora dilakukan dengan cara membelokkan proses perkembangan gametofitik ke arah pembelahan dan perkembangan sporofitik untuk menghasilkan embrio. Untuk membelokkan jalur perkembangan ini diperlukan perlakuan cekaman, karena tanpa cekaman mikrospora akan tetap berkembang pada jalur gametofitik menjadi polen dewasa (Heberle-Bors 1999).

Cekaman untuk induksi androgenesis dapat berupa temperatur (rendah atau tinggi), osmotik, starvasi nitrogen, dan starvasi karbohidrat. Cekaman dapat diaplikasikan pada level tanaman utuh atau kuncup bunga in vivo, pada antera atau langsung pada mikrospora in vitro (Touraev et al. 1997). Palmer dan Keller (1997) menyebutkan bahwa temperatur tinggi dapat mempengaruhi embriogenesis mikrospora tembakau, Datura, Brassica, dan cabai. Menurut Touraev et al.

(1996a) starvasi karbohidrat dan nitrogen dapat meningkatkan mikrospora yang embriogenik pada tembakau. Kombinasi cekaman panas dengan starvasi karbohidrat terbukti dapat meningkatkan induksi embriogenesis mikrospora gandum (Touraev et al. 1996b) dan cabai (Indrianto et al. 2004).

Cekaman temperatur yang dapat menginduksi terjadinya androgenesis antara lain suhu dingin 6oC selama 4 hari pada kultur mikrospora Brassica juncea (Ali et al. 2008), cekaman suhu panas (35oC) maupun cekaman suhu dingin (4oC) pada Brassica oleracea (Krzyzanowska & Gorecka 2008). Modifikasi komposisi media dengan mengganti sumber karbon sukrosa dengan maltosa dapat menginduksi embriogenesis pada kultur mikrospora barley (Hordeum vulgare) (Kasha et al. 2003). Pada kultur mikrospora Nicotiana tabacum, kombinasi perlakuan suhu 33oC dan starvasi sumber karbon dengan manitol pada minggu pertama kultur terbukti dapat menghasilkan embrio haploid (Touraev & Herberle-Bors 2003).

Teknik embriogenesis dari mikrospora pada umumnya dilakukan melalui kultur antera secara keseluruhan dalam media padat atau kultur mikrospora pada media cair (Thomas & Davey 1975). Kultur sebar mikrospora merupakan salah satu teknik untuk mendapatkan tanaman haploid dengan cara mengkulturkan


(23)

antera secara utuh pada media dua lapis, yaitu media cair di atas media padat (Supena et al. 2006). Antera dalam kultur akan membuka dindingnya sehingga mikrospora tersebar ke media cair yang selanjutnya terinduksi dan berkembang menjadi embrio dan tanaman haploid maupun haploid ganda.

Kultur Jaringan Tanaman Kedelai

Kultur jaringan adalah suatu metode yang digunakan untuk menumbuhkan jaringan pada kondisi steril (Bhojwani & Razdan 1983), sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan 1992; George & Sherrington 1984). Menurut George (1993) kultur jaringan tanaman terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kultur unorganized tissue dan kultur organized tissue. Kultur unorganized tissue terdiri atas beberapa sistem kultur seperti kultur kalus, kultur suspensi, kultur protoplas, dan kultur antera, sedangkan kultur organized tissue terdiri atas kultur maristem, shoot tip culture, node culture, kultur embrio, dan kultur akar.

Kultur antera telah digunakan dalam program pemuliaan tanaman sejak keberhasilan yang dicapai para peneliti Cina pada tahun 1970. Tanaman yang telah dihasilkan melalui kultur antera antara lain, padi, gandum, jagung, rye, triticale, tembakau, kapas, karet, kubis, dan cabai (Hu & Zeng 1984). Pengembangan kultur antera kedelai pada media padat di Indonesia telah dicoba oleh Zulkarnain (2005) namun belum berhasil mendapatkan embrio karena hanya mencapai fase kalus. Penggunaan gelling agent telah mampu mendorong pembelahan sel secara simetri maupun sel multinukleat pada kultur antera kedelai (Cardoso et al. 2007). Kaltchuk-Santos et al. (1997) menggunakan praperlakuan suhu dingin sebagai induksi embriogenesis untuk percepatan pembelahan sel mikrospora, sehingga terbentuk struktur multiseluler. Struktur multiseluler menandakan adanya pembelokan jalur gametofitik menjadi sporofitik dan merupakan tahap awal proses terjadinya embriogenesis mikrospora.

Beberapa media yang telah dipakai untuk induksi embriogenesis dari mikrospora kedelai adalah media B5 (Gamborg et al. 1968) oleh de Moraes et al. (2004), dan B5 long oleh Kaltchuk-Santos et al. (1997). Yin et al. (1982) menguji beberapa media dasar untuk kultur antera kedelai yaitu: MS (Murashige & Skoog


(24)

1962), Nitsch (Nitsch & Nitsch 1969), N6 (Chu 1978), dan B5 (Gamborg et al. 1968), dan media yang terbaik untuk induksi kalus adalah media B5.

Fase perkembangan mikrospora yang tepat juga merupakan tahap awal yang menentukan keberhasilan induksi embriogenesis dari mikrospora pada kedelai. Antera yang memiliki mikrospora pada fase berinti tunggal akhir dan berinti dua awal merupakan fase yang responsif untuk induksi embriogenesis kedelai (Hu et al. 1996). Menurut da Silva Lauxen et al.(2003) kuncup bunga dengan panjang 3-3,5 mm merupakan penciri tahap perkembangan mikrospora pada fase berinti tunggal akhir.

Perkembangan Mikrospora

Tanaman tingkat tinggi seperti kedelai, generasi haploidnya tidak tampak dan bergantung pada bentuk generasi diploidnya. Gametofit sebagai bagian dari tahapan seluruh hidup tanaman akan menghasilkan gamet dengan jumlah kromosom haploid yang digunakan untuk repoduksi seksualnya. Mikrospora merupakan awal dari generasi gametofit jantan dari tanaman.

Pada gametofit jantan, proses terbentuknya mikrospora dalam mikrosporangia pada antera disebut dengan mikrosporosis. Mikrosporosis dimulai dengan sel sporogen mengalami pembelahan secara meiosis menghasilkan mikrosporofit dalam bentuk tetrad. Tetrad akan tumbuh dan berkembang menghasilkan mikrospora yang bersifat haploid. Selanjutnya mikrospora akan berkembang menjadi mikrogametofit atau butir polen yang diawali pembelahan secara mitosis menghasilkan sel vegetatif dan sel generatif (Raven et al. 1992).

Berdasarkan pembelahan awal mulai dari mikrospora, ada empat model lintasan androgenesis yang menghasilkan embrio atau tanaman secara in vitro

yaitu: (1) mikrospora membelah sama besar (simetris) dan menghasilkan dua sel yang identik yang akan berkembang menjadi sporofit, sehingga pada lintasan ini tidak terjadi pembentukan sel generatif maupun sel vegetatif, (2) mikrospora dalam bentuk berinti tunggal membelah tidak sama besar (asimetris) dan sporofit terbentuk karena perkembangan lebih lanjut dari sel vegetatif, sedangkan sel generatifnya tidak mengalami pembelahan atau hanya akan membelah satu kali sampai dua kali sebelum mengalami degenerasi, (3) sporofit dihasilkan hanya oleh sel generatif, dalam hal ini sel vegetatif tidak akan membelah atau hanya


(25)

mengalami pembesaran, dan (4) terbentuk sel vegetatif dan generatif, kedua sel ini akan berkembang lebih lanjut dan ikut berperan dalam perkembangan sporofit (Bhojwani & Razdan 1983).


(26)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2008 sampai dengan Oktober 2009 di Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB Bogor.

Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah kuncup bunga kedelai varietas Sindoro, Slamet, dan Wilis. Varietas Sindoro dan Slamet dilaporkan responsif terhadap embriogenesis somatik (Husni et al. 2003), sedangkan varietas Wilis responsif membentuk kalus dalam kultur antera kedelai pada media padat (Zulkarnain 2005). Penanaman dilakukan di dalam polybag dengan media campuran tanah : kasting (3:1) dengan lima tanaman/polybag dan dipupuk dengan NPK (15-15-15) pada dosis 0,8 gram per-tanaman. Pemupukan dilakukan satu kali pada umur 10 hari setelah tanam. Tanaman diletakkan di tempat terbuka di kebun PPSHB IPB. Penanaman dilakukan secara berkala yang berselang 1-2 minggu untuk memenuhi ketersediaan bahan kuncup bunga selama penelitian.

Kultur Sebar Mikrospora

Prosedur kultur sebar-mikrospora yang telah dikembangkan oleh Supena et al. (2006) digunakan pada penelitian ini. Prosedur ini pada prinsipnya menggunakan sistem media dua-lapis, yaitu media cair di atas media padat. Baik media cair maupun media padat mengandung unsur hara makro, mikro, dan vitamin yang sama sesuai dengan komposisi media perlakuan atau media terpilih dari percobaan dengan pH 5,8. Khusus untuk media padat, agar (8 g/l) dan arang aktif (10 g/l) ditambahkan ke dalam media. Cawan petri yang digunakan untuk kultur berdiameter 6 cm dengan volume media padat maupun media cair masing-masing adalah 3 ml.

Sebelum antera diisolasi dari individual kuncup bunga, kuncup bunga disterilisasi dalam alkhohol 70% selama 30 detik, dibilas 3 kali dengan air steril, direndam dalam NaOCl 2% yang ditambah Tween-20 0,05% (v/v) selama 10 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan aquades steril dingin masing-masing 1, 5,


(27)

10 menit. Selanjutnya antera dari setiap kuncup bunga yang berjumlah 10 buah diisolasi dari bagian-bagian filamen, kelopak bunga, dan dikulturkan pada media dua lapis. Antera dimasukkan ke dalam petri secara acak hingga tiap petri berisi 15 antera. Tahapan isolasi dan kultur antera ini dilakukan pada kondisi aseptik dalam laminar air flow cabinet.

Metode

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yaitu: (1) Determinasi fase perkembangan mikrospora, (2) Uji fase perkembangan mikrospora, (3) Uji media dasar, (4) Perlakuan suhu inkubasi kultur, (5) Uji sumber karbon, dan (6) Uji perlakuan kombinasi. Tahap penelitian disajikan pada Gambar 1.

Penanaman Kedelai Determinasi Morfologi kuncup Uji fase perkembangan

mikrospora Fase terbaik Uji media dasar

Media terbaik

Perlakuan suhu Uji sumber karbon inkubasi kultur

Suhu terbaik Sumber karbon terbaik

Uji kombinasi

Kombinasi terbaik


(28)

1. Determinasi Fase Perkembangan Mikrospora

Kuncup bunga dalam beberapa ukuran dipanen di pagi hari, selanjutnya diukur dan dicatat karakter morfologinya. Kuncup bunga dikelompokkan menjadi enam tahapan perkembangan berdasarkan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup yaitu: 2/2,5; 2/3; 2/3,5; 2/4; 2/5; 2/6. Kisaran panjang kuncup berturut-turut adalah: (2,5-3,0 mm; 3,0-3,5 mm; 3,5-4,0 mm; 4,0-5,0 mm; 5,0-5,5 mm; 5,5-6,0 mm). Penentuan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup disajikan pada Gambar 2. Mikrospora yang terdapat di dalam antera dari masing-masing fase perkembangan kuncup tersebut dibuat preparat untuk pengamatan fase perkembangannya. Fase perkembangan mikrospora yang diamati adalah mulai fase berinti tunggal awal, fase berinti tunggal tengah, fase berinti tunggal akhir, fase berinti dua awal, fase polen dewasa, sampai polen tanpa inti. Pengamatan perkembangan mikrospora menggunakan teknik pengamatan di bawah mikroskop flouresens dengan teknik pewarnaan inti sel menggunakan larutan pewarna 4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) (Supena et al. 2006). Hubungan antara morfologi kuncup bunga dengan fase perkembangan mikrospora merupakan studi awal untuk menentukan penanda morfologi bagi perkembangan mikrospora yang digunakan dalam percobaan selanjutnya.

Gambar 2 Penentuan rasio panjang braktea (B) terhadap panjang kuncup (K) pada kuncup bunga kedelai.

B K


(29)

2. Uji Fase Perkembangan Mikrospora

Antera yang diuji adalah dari kuncup bunga dengan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2,5; 2/3; 2/3,5; 2/4; 2/5; 2/6 yang diharapkan mengandung mikrospora pada fase berinti tunggal awal, fase berinti tunggal tengah, fase berinti tunggal akhir, fase berinti dua awal, dan fase polen dewasa. Antera tersebut dikulturkan pada media dasar Nitsch & Nitsch (1969) yang mengandung 20 g/l maltosa (Supena et al. 2006). Kultur diinkubasi pada suhu dingin (4-9oC) selama seminggu, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (25-28oC) sampai minggu keempat kultur dalam kondisi gelap. Fase perkembangan mikrospora yang responsif yang menghasilkan mikrospora dengan dua inti vegetatif atau lebih dijadikan dasar untuk percobaan berikutnya.

3. Uji Media Dasar

Empat media dasar yang diuji untuk kultur antera adalah (1) media NN (Nitsch & Nitsch 1969), (2) media MS (Murashige & Skoog 1962), (3) media SL2 (Philips & Collins 1980), (4) media B5 (Gamborg et al. 1968) (Lampiran 1). Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu dingin (4-9oC) selama seminggu. Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu (25-28oC) sampai minggu keempat pada kondisi gelap. Media dasar terbaik dari percobaan ini digunakan untuk percobaan berikutnya.

4. Perlakuan Suhu Inkubasi Kultur

Perlakuan suhu inkubasi kultur yang diuji adalah (1) suhu dingin (4-9oC), (2) suhu panas (30-33oC), dan (3) suhu kontrol (25-28oC), selama satu minggu pertama kultur yang selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (25-28oC) pada media terbaik yang mengandung 20 g/l maltosa sebagai sumber karbon. Kedua tahapan kultur tersebut selalu diinkubasi pada kondisi gelap sejak awal inkubasi sampai minggu keempat kultur.

5. Uji Sumber Karbon

Sumber karbon yang diuji adalah (1) sukrosa 40 g/l sebagai kontrol, (2) maltosa 40 g/l pada media NN sebagai media terbaik pada uji media dasar. Kultur diinkubasi dalam kondisi gelap pada suhu dingin (4-9oC) selama seminggu.


(30)

Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu ruang (25-28oC) sampai minggu keempat dalam kondisi gelap.

6. Uji Perlakuan Kombinasi

Kombinasi perlakuan terbaik dilakukan dengan mengkombinasikan, fase perkembangan mikrospora, media dasar, suhu inkubasi, dan sumber karbon terbaik untuk perkembangan mikrospora membentuk mikrospora berinti dua atau lebih.

Pengamatan dan Analisa Statistika

Setiap minggu mulai saat kultur (0 minggu), minggu 1, 2, 3, dan 4 setelah kultur, perkembangan mikrospora dalam antera diamati dengan cara mengambil antera secara acak, kemudian dibuat preparat dengan pewarnaan DAPI dan diamati di bawah mikroskop flouresens dengan filter-uv. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase masing-masing fase perkembangan mikrospora dengan jumlah 100-150 sel mikrospora setiap pengamatan, yang mencakup: mikrospora berinti tunggal awal-tengah, berinti tunggal akhir, berinti dua awal, berinti (1vegetatif+1-2generatif), berinti (2vegetatif+0-2generatif), berinti ≥ 3 vegetatif, dan polen tanpa inti.

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analisis Sidik Ragam). Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap hasil, maka analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan, dengan taraf kepercayaan 95%.


(31)

Rasio Panjang Panjang

Braktea/Kuncup Kuncup (mm) ITT ITR IDL Polen PTI

Sindoro 2/2,5 2,5-3,0 19,3 80,7 0,0 0,0 0,0

2/3,0 3,0-3,5 0,0 72,5 27,5 0,0 0,0

2/3,5 3,5-4,0 0,0 59,0 32,8 8,2 0,0

2/4,0 4,0-5,0 0,0 8,0 60,8 31,2 0,0

2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 32,9 67,1 0,0

2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 49,2 50,8

Slamet 2/2,5 2,5-3,0 31,7 68,3 0,0 0,0 0,0

2/3,0 3,0-3,5 0,0 88,1 11,9 0,0 0,0

2/3,5 3,5-4,0 0,0 75,4 24,6 0,0 0,0

2/4,0 4,0-5,0 0,0 32,6 67,4 0,0 0,0

2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,3 8,8 90,8 0,0

2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 46,4 53,6

Wilis 2/2,5 2,5-3,0 23,0 77,0 0,0 0,0 0,0

2/3,0 3,0-3,5 0,0 82,3 17,7 0,0 0,0

2/3,5 3,5-4,0 0,0 60,0 40,0 0,0 0,0

2/4,0 4,0-5,0 0,0 6,6 42,5 50,9 0,0

2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 24,1 75,9 0,0

2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 36,3 63,7

Varietas Fase Perkembangan Mikrospora (%)

HASIL

Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dengan Perkembangan Mikrospora Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan perubahan morfologi bagian bunga. Pada bunga kedelai, perkembangan kuncup bunga dapat berdasarkan kepada rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga. Hubungan antara rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup dengan fase perkembangan mikrosporanya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hubungan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai dengan fase perkembangan mikrospora

ITT: fase berinti tunggal awal-tengah, ITR: fase berinti tunggal akhir, IDL: fase berinti dua awal, PTI: polen tanpa inti.

Kuncup bunga dengan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2,5 (panjang kuncup 2,5-3,0 mm) mengandung mikrospora yang sebagian besar pada fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil pada fase berinti tunggal awal-tengah. Sedangkan pada rasio kuncup 2/3-2/3,5 (panjang kuncup 3,0-4,0 mm), sebagian besar mikrospora mempunyai fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil sudah pada fase berinti dua awal. Untuk kuncup dengan rasio 2/4 (panjang kuncup 4,0-5,0 mm), sebagian besar mikrospora pada fase berinti dua awal dan sebagian kecil masih pada fase berinti tunggal akhir. Sedangkan untuk kuncup rasio 2/5 (panjang kuncup 5,0-5,5 mm) umumnya fase mikrospora telah


(32)

berkembang menjadi polen dewasa dengan inti vegetatif lebih besar berbentuk bulat atau sirkuler dan inti generatif yang nampak memanjang. Pada kuncup rasio 2/6 (panjang kuncup 5,5-6,0 mm) untuk ketiga varietas fase mikrosporanya sudah menjadi polen dewasa dan polen tanpa inti. Tahapan dan fase perkembangan mikrospora disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Fase perkembangan mikrospora kedelai. (A) fase berinti tunggal awal-tengah, (B) fase berinti tunggal akhir, (C) fase berinti dua awal (D) fase berinti dua akhir (E) polen dewasa, (F) fase polen tanpa inti. Garis skala = 25µm untuk A-F.

Pengaruh Fase Perkembangan Mikrospora

Fase perkembangan mikrospora berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora di dalam kultur antera pada media dua lapis NN. Fase perkembangan mikrospora terbaik untuk pembelahan sporofitik pada varietas Wilis dan Sindoro berasal dari kuncup rasio 2/2,5 (Gambar 4A, 4B), sedangkan untuk varietas Slamet fase perkembangan mikrospora terbaik berasal dari rasio kuncup 2/3,5 (Gambar 4C). Pembelahan sporofitik ditandai oleh terbentuknya mikrospora yang mempunyai inti vegetatif dua atau lebih. Mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/2,5-2/3,5 dapat berkembang menjadi sel berinti tiga vegetatif atau lebih pada umur kultur dua minggu, walaupun sebagian besar dari sel mikrospora tetap mengalami perkembangan gametofitik yaitu mengalami pembelahan secara asimetri dengan dua inti berbeda yang berkembang

A B

F E

D


(33)

menjadi inti vegetatif dan inti generatif. Perkembangan mikrospora ini tidak berlanjut ke arah polen dewasa dan berkecambah (Lampiran 2, 3, dan 4).

(A1) (A2)

(B1) (B2)

(C1) (C2)

Gambar 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora terhadap pembelahan sporofitik di dalam media NN pada varietas Wilis (A), Sindoro (B), Slamet (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : 2/2,5; : 2/3; : 2/3,5; x : 2/4; * : 2/5; : 2/6). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 2, 3, 4.


(34)

Pada varietas Wilis sebagian besar sel mikrospora yang berasal dari kuncup bunga dengan rasio 2/3 membelah secara simetri yang menghasilkan dua inti vegetatif pada minggu pertama setelah kultur maupun minggu berikutnya. Namun, persentase sel mikrospora yang berkembang menjadi sel multinukleat dari kuncup dengan rasio 2/3 lebih kecil daripada kuncup dengan rasio 2/2,5. Sel mikrospora yang memiliki dua inti yang berukuran sama juga masih terjadi pada mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/4, yang terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Namun, sel ini tidak mengalami perkembangan lebih lanjut menuju perkembangan sel multinukleat, tetapi mengalami kematian sel yang jumlahnya meningkat pada minggu berikutnya. Untuk kuncup dengan rasio 2/5, sel mikrosporanya berkembang menjadi polen dewasa.

Pada kuncup dengan rasio 2/6 untuk ketiga varietas, mikrospora telah berkembang menjadi polen dewasa bahkan sebagian selnya telah kehilangan inti dan sitoplasma sejak awal kultur. Sejak minggu pertama setelah kultur kematian selnya sudah sangat besar dan terus meningkat pada minggu berikutnya. Selain itu pada kuncup rasio 2/6 ternyata tidak ada sel yang mampu berkembang ke arah pembelahan sporofitik.

Pengaruh Media Dasar

Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora dapat dilihat dari sel yang mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (multinukleat). Pada varietas Slamet media NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, maupun B5 (Gambar 5A). Pembelahan sporofitik tersebut terjadi sejak minggu pertama setelah kultur sampai minggu keempat setelah kultur. Sedangkan untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, keempat media mempunyai pengaruh yang relatif sama (Lampiran 5).

Pada varietas Sindoro media SL2 mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada media lainnya terhadap pembentukkan sel multinukleat dan sel berinti dua vegetatif pada minggu kedua setelah kultur, tetapi pada minggu ketiga, media NN mempunyai pengaruh lebih baik (Gambar 5B). Media dasar MS lebih mendukung perkembangan sel mikrospora yang membelah secara asimetri dibandingkan media NN, B5, dan SL2 (Lampiran 6). Namun, mikrospora tersebut


(35)

tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah, tetapi mengalami kematian.

(A1) (A2)

(B1) (B2)

(C1) (C2)

Gambar 5 Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Slamet (A), Sindoro (B), Wilis (C) selama 4 minggu. (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : NN; : MS; : SL2; : B5. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 5, 6, 7.


(36)

Pada varietas Wilis, keempat media dasar memiliki pengaruh yang sama terhadap perkembangan mikrospora hingga mencapai tiga inti vegetatif atau lebih. Sedangkan untuk mikrospora yang memiliki dua inti vegetatif media B5 memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, dan NN (Gambar 5C, Lampiran 7).

Pengaruh Suhu Inkubasi Kultur

Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora untuk varietas Wilis disajikan pada Gambar 6. Perlakuan suhu dingin (4-9oC) menunjukkan pengaruh lebih baik dibandingkan suhu ruang (25-28oC) maupun suhu panas (30-33oC) terhadap persentase pembentukan mikrospora yang mengandung dua inti vegetatif atau lebih dari tiga inti vegetatif. Pengaruh suhu dingin terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Sedangkan pengaruh perlakuan suhu inkubasi terhadap berbagai perkembangan mikrospora untuk ketiga varietas yang diuji (Wilis, Sindoro, dan Slamet) berturut-turut disajikan pada Lampiran 8, 9, 10.

(A1) (A2)

Gambar 6 Pengaruh suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora di media dasar NN pada varietas Wilis. (A1) sel multinukleat; (A2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada : suhu ruang (25-28oC); : suhu dingin (4-9oC); : suhu panas (30-33oC). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 8, 9, 10.

Pada perlakuan suhu ruang (25-28oC), perkembangan mikrospora varietas Wilis yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mikrospora dengan tiga inti vegetatif atau lebih hanya terlihat pada minggu pertama kultur dan segera menurun dengan cepat pada minggu berikutnya.


(37)

Pada varietas Sindoro dan Slamet perlakuan suhu inkubasi yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mikrospora yang membelah secara simetri maupun pembentukan sel multinukleat. Sel mikrospora hanya dapat berkembang sampai dua inti vegetatif dengan frekuensi yang kecil dan tidak ada yang berkembang lebih lanjut menjadi sel multinukleat pada semua suhu inkubasi. Perkembangan mikrospora menjadi dua inti vegetatif dijumpai pada perlakuan suhu dingin baik pada varietas Sindoro maupun varietas Slamet (Lampiran 9 dan 10).

Pengaruh Sumber Karbon

Pada varietas Sindoro, sumber karbon berpengaruh terhadap perkembangan mikrospora terutama terhadap jumlah mikrospora yang membelah simetri dan yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (sel multinukleat) (Gambar 7A). Perkembangan ke arah pembelahan sporofitik lebih baik ditunjukkan pada perlakuan sumber karbon maltosa 40 g/l dibanding sukrosa 40 g/l. Perkembangan sel yang mencapai sel multinukleat terjadi pada minggu kedua setelah kultur dan menurun pada minggu berikutnya. Sedangkan mikrospora yang membelah secara simetri terjadi sejak minggu pertama kultur dan mulai menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, maltosa juga mempunyai pengaruh lebih baik daripada sukrosa (Lampiran 11). Namun sel mikrospora tersebut tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah.

Pada varietas Slamet, sukrosa memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan maltosa terhadap jumlah mikrospora yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih. Perkembangan tersebut terjadi pada minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua kultur dan segera menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Pada perlakuan sumber karbon maltosa, perkembangan mikrospora yang mencapai tiga inti vegetatif atau lebih masih terjadi pada minggu ketiga setelah kultur (Gambar 7B, Lampiran 12). Pengaruh maltosa lebih baik dibandingkan sukrosa juga dijumpai pada varietas Wilis baik untuk pembelahan mikrospora secara simetri yang mengandung dua inti vegetatif maupun pembentukan mikrospora multinukleat (Gambar 7C, Lampiran 13).


(38)

(A1) (A2)

(B1) (B2)

(C1) (C2)

Gambar 7 Pengaruh sumber karbon terhadap pembelahan sporofitik mikrospora kedelai pada varietas Sindoro (A), Slamet (B), Wilis (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa 40 g/l ; : sumber karbon maltosa 40 g/l. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 11, 12, 13.


(39)

Sumber karbon tidak berpengaruh terhadap pembelahan asimetri mikrospora yang menghasilkan inti vegetatif dan generatif (Lampiran 11, 12, 13). Mikrospora yang membelah asimetri tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dan berkecambah, tetapi mengalami kematian yang ditandai dengan keluarnya inti dan sitoplasma.

Pengaruh Perlakuan Kombinasi

Dilihat dari persentase mikrospora multinukleat yang terbentuk, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa 40 g/l dengan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama inkubasi kultur dengan menggunakan media dasar NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan kombinasi lainnya (Gambar 8). Pengaruh yang baik ini terlihat sejak minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua setelah kultur. Demikian juga pada mikrospora yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa dengan suhu dingin memiliki pengaruh lebih baik dibanding dengan perlakuan kombinasi yang lain. Pada umur dua minggu beberapa mikrospora telah berkembang menjadi sel multinukleat yang mempunyai 12 inti vegetatif (Gambar 9). Perkembangan mikrospora yang mencapai sel multinukleat ini mengindikasikan telah terjadi pembelokkan proses pembelahan dari jalur gametofitik ke jalur sporofitik.

Dilihat dari sel yang membelah secara asimetri kombinasi perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan mikrospora. Perkembangan mikrospora tersebut mengalami peningkatan pada minggu pertama kultur dan sebagian berkembang menjadi polen, tetapi sebagian besar sel mikrospora mengalami kematian.


(40)

(A) (B)

Gambar 8 Pengaruh perlakuan kombinasi terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Wilis. (A) sel multinukleat; (B) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa dengan suhu ruang; : sumber karbon sukrosa dengan suhu dingin; : sumber karbon maltosa dengan suhu ruang; : sumber karbon maltosa dengan suhu dingin. V: inti vegetatif. Media dasar yang digunakan adalah NN, populasi awal mikrospora 12% fase berinti tunggal awal-tengah, 77% berinti tunggal akhir, 21% berinti dua awal.

Gambar 9 Mikrospora varietas Wilis yang telah mencapai multiseluler dengan 12 inti (atas) dan baru 3 inti (bawah) pada umur 2 minggu setelah kultur. Garis skala = 25µm.


(41)

PEMBAHASAN

Morfologi kuncup bunga kedelai dengan kriteria rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga 2/2,5-2/3,5 dengan panjang kuncup 2,5-4,0 mm (Tabel 1) dapat menjadi penciri perkembangan mikrospora yang didominasi oleh mikrospora pada fase berinti tunggal akhir untuk varietas Sindoro, Slamet, dan Wilis. Hasil ini hampir sama dengan yang dinyatakan oleh Yin et al. (1982), bahwa kuncup bunga kedelai dengan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 3/4-2/3 dengan panjang kuncup 2,5-3,5 mm mengandung mikrospora pada fase berinti tunggal akhir. Hal yang sama juga dilaporkan oleh da Silva Lauxen et al. (2003) bahwa kuncup bunga kedelai dengan panjang 3,0-3,5 mm mempunyai populasi mikrospora pada fase berinti tunggal akhir. Hasil ini menunjukkan bahwa morfologi kuncup bunga kedelai dapat dijadikan penciri fase perkembangan mikrospora. Penggunaan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup sebagai penciri perkembangan mikrospora akan lebih akurat daripada hanya menggunakan panjang kuncup, karena panjang kuncup akan dipengaruhi oleh kondisi tanaman dan lingkungan, seperti varietas, umur tanaman, dan lingkungan tempat tumbuh. Dapat digunakannya ciri kuncup bunga ini akan memudahkan teknis pelaksanaan kultur antera kedelai, karena ketepatan fase perkembangan mikrospora merupakan salah satu parameter yang penting untuk keberhasilan mikrospora (Chuong et al.1988).

Fase perkembangan mikrospora terbaik untuk induksi pembelahan dan perkembangan sporofitik terdapat pada kuncup yang mempunyai rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2,5-2/3,5 (Gambar 4). Hasil ini menunjukkan bahwa fase perkembangan populasi mikrospora yang sebagian besar berinti tunggal akhir ini merupakan fase yang paling responsif terhadap induksi pembelahan sporofitik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kung dan Yang (1998), bahwa mikrospora dalam fase berinti tunggal akhir merupakan mikrospora yang paling responsif untuk induksi embriogenesis. Mikrospora yang berada dalam fase berinti tunggal akhir merupakan fase transisi dalam siklus sel, sehingga peka terhadap cekaman. Kepekaan ini menyebabkan dapat dibelokkannya jalur perkembangan gametofitik ke arah perkembangan sporofitik. Hu et al. (1996) menambahkan selain fase berinti tunggal akhir, fase berinti dua


(42)

awal juga merupakan fase yang responsif terhadap induksi embriogenesis pada kedelai.

Mikrospora yang telah berkembang menjadi polen dewasa tidak memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah sporofitik (Gambar 4, Lampiran 2, 3, 4). Sel mikrospora yang telah berkembang menjadi polen tidak memungkinkan untuk melakukan penataan ulang untuk mengubah arah perkembangan inti, karena inti sel tersebut telah mengalami diferensiasi. Untuk memungkinkan dapat berkembang ke arah embriogenesis, perkembangan mikrospora yang lebih lanjut atau polen perlu mendapat cekaman ekstra, misalnya dengan suhu yang lebih tinggi yaitu 41oC seperti pada kasus Brassica napus (Binarova et al. 1997).

Perkembangan mikrospora pada empat media dasar yang diuji sudah mampu memicu terjadinya pembelahan sel mikrospora secara simetri maupun struktur multinukleat (Gambar 5, Lampiran 5, 6, 7). Hal ini menunjukkan adanya pembelokan perkembangan sel mikrospora dari jalur gametofitik menuju ke jalur sporofitik (Kaltchuk-Santos et al. 1997). Apabila proses ini dapat berlanjut maka akan menuju ke proses embriogenesis untuk membentuk tanaman.

Pada percobaan media dasar, secara umum media dasar NN mempunyai pengaruh lebih baik dibanding media dasar MS, SL2, dan B5. Hasil ini mengindikasikan bahwa kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis lebih membutuhkan komposisi unsur hara makro dan mikro yang lebih sederhana, tetapi mempunyai kandungan vitamin yang lebih lengkap (Lampiran 1).

Sel mikrospora yang responsif terhadap media mengalami perubahan secara morfologi yang dapat diamati dengan membesarnya ukuran mikrospora, adanya fragmentasi vakuola sentral, sitoplasma menjadi tampak jernih yang diduga akibat terjadinya degradasi amilum (Indrianto et al. 2004). Kyo dan Harada (1986) mengamati terjadinya degradasi butir-butir amilum pada mikrospora tembakau yang dikulturkan pada medium starvasi (medium B) yang menyebabkan mikrospora dapat tetap bertahan hidup selama starvasi berlangsung. Fragmentasi vakuola terjadi karena adanya perubahan distribusi mikrotubul sebagai awal pembelahan simetris mikrospora (Hause et al. 1993). Menurut Touraev et al. (1997) mikrospora demikian bersifat embriogenik, dengan ciri sitoplasmanya telah mengalami reorganisasi struktural, nukleus bergerak ke tengah, dan adanya


(43)

jembatan sitoplasma yang menghubungkan sitoplasma perinuklear dengan sitoplasma subkortikal. Peristiwa tersebut menyebabkan adanya struktur seperti bintang. Penelitian Hause et al. (1993) pada mikrospora embriogenik Brassica napus menunjukkan adanya preprophase band (ppb) dari mikrotubul yang berperan pada pembelahan simetrik mikrospora, sedangkan mikrospora yang membelah asimetrik tidak ditemukan adanya ppb.

Pada uji media dasar, perkembangan sporofitik mikrospora baru sampai tahapan sel multinukleat. Ketidakmampuan sel mikrospora berkembang lebih lanjut tersebut, mengindikasikan perlunya perlakukan tambahan atau kombinasi perlakuan agar mikrospora dapat berkembang lebih lanjut menjadi embrio. Kemungkinan lain adalah bahwa media tersebut tidak dapat mendukung kondisi untuk mendorong dinding antera untuk membuka secara cepat. Apabila dinding antera pada kultur antera kedelai lebih cepat membuka seperti kultur antera cabai pada media dua lapis (Supena et al. 2006), maka sel mikrospora akan lebih cepat keluar dan kontak langsung dengan media kultur. Sehingga sel mikrospora yang telah membelah intinya memiliki ruang gerak yang cukup untuk terus berkembang.

Disamping fase perkembangan mikrospora dan media yang sesuai, suhu inkubasi juga mempengaruhi keberhasilan kultur antera. Perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur, yaitu suhu dingin (4-9oC) telah mampu mendorong perkembangan mikrospora mencapai sel multinukleat dan lebih baik daripada suhu ruang (25-28oC) (Gambar 6, Lampiran 8). Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh de Moraes et al. (2004), bahwa perlakuan suhu dingin (4oC) telah mampu mendorong pembelahan mikrospora secara simetri dan membentuk struktur multinukleat pada kultur antera kedelai, meskipun tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan suhu panas (33oC) maupun perlakuan suhu ruang (25oC). Perlakuan cekaman suhu panas (30-33oC) selama satu minggu pertama inkubasi pada penelitian ini tidak mampu menginduksi perkembangan mikrospora ke arah multiseluler. Perlakuan suhu panas bahkan lebih menginduksi perkembangan secara gametofitik, meskipun sel mikrospora tidak berkembang lebih lanjut, karena sel mengalami plasmolisis yang ditandai keluarnya inti dan sitoplasma dari dalam sel sehingga sel tidak berinti lagi.


(44)

Penggunaan sumber karbon yang tepat juga diperlukan untuk menyediakan sumber energi maupun mengatur osmotik pada kultur in vitro. Perlakuan sumber karbon maltosa telah mampu mendorong mikrospora berkembang menjadi sel multinukleat. Sumber karbon maltosa pengaruhnya lebih baik dibanding sukrosa. Hal ini terjadi pada embriogenesis kultur antera barley (Finnie et al. 1989) dan gandum (Last & Brettel 1990). Sukrosa merupakan sumber karbon yang cepat dihidrolisis dan cepat dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh sel. Hidrolisis sukrosa yang cepat ini dapat meningkatkan kandungan etanol yang bersifat racun bagi sel. Maltosa lebih memberikan efek positif terhadap induksi pembelahan sporofitik karena maltosa merupakan sumber karbon yang lebih lambat dihidrolisis sehingga mampu menyediakan oksigen yang cukup untuk ketahanan pada kultur mikrospora barley (Scott et al.1995). Demikian juga pada kultur mikrospora Lily, viabilitas mikrospora pada medium yang mengandung maltosa lebih baik dibanding sukrosa (Dong-Sheng et al. 2000). Ball et al. (2009) menyatakan bahwa konsentrasi maltosa 0,25M dapat menginduksi pembelahan simetri dan struktur multinukleat pada kultur mikrospora terong.

Kombinasi perlakuan sumber karbon maltosa dengan suhu dingin pada media NN untuk varietas Wilis telah mampu membelokkan perkembangan mikrospora dari gametofit ke pembelahan dan perkembangan sporofit sampai mencapai multiseluler dengan 12 inti (Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi tersebut telah mampu menyediakan sumber nutrisi dan energi maupun kondisi bagi sel mikrospora untuk melakukan induksi pembelahan dan perkembangan awal sporofitik. Apabila proses ini dapat berlanjut maka akan memungkinkan sampai pada proses embriogenesis.

Varietas Wilis mempunyai mikrospora yang lebih baik daripada varietas Sindoro dan Slamet untuk berkembang ke arah pembelahan sporofitik pada media dua lapis. Hal ini menunjukkan bahwa mikrospora dari varietas Wilis mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi kultur, sehingga mikrospora lebih memungkinkan dibelokkan dari perkembangan gametofitik ke sporofitik sehingga cepat melakukan pembelahan inti secara simetri dan membentuk sel multinukleat.


(45)

Pada kultur antera dalam media padat, varietas Wilis juga lebih baik dibanding varietas Anjasmoro, Baluran, dan Merubetiri dalam pembentukan kalus (Zulkarnain 2005).


(46)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai antara 2/2,5 sampai 2/3,5 dapat dijadikan kriteria untuk mendapatkan sebagian besar mikrospora pada fase berinti tunggal akhir, walaupun pada rasio kuncup 2/2,5 masih terdapat mikrospora pada fase berinti tunggal awal-tengah, dan pada rasio kuncup 2/3-2/3,5 sudah ada mikrospora pada fase berinti dua awal. Fase mikrospora yang dapat diinduksi ke arah pembelahan sporofitik adalah pada fase berinti tunggal akhir dan berinti dua awal.

Media dan kondisi yang lebih baik untuk induksi pembelahan sporofitik dalam kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis adalah menggunakan media dasar NN, sumber karbon maltosa 40 g/l, dan perlakuan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama kultur. Mikrospora dari ketiga varietas kedelai yang diuji yaitu Sindoro, Slamet, dan Wilis, dapat diinduksi ke pembelahan sporofitik. Pada kombinasi media dan kondisi kultur terbaik mikrospora dari varietas Wilis dapat diinduksi untuk membentuk struktur multiseluler sampai 12 sel. Pembelahan sporofitik ini merupakan tahapan awal untuk induksi embriogenesis pada kultur antera kedelai dalam sistem media dua lapis.

Saran

Pada penelitian ini perkembangan mikrospora baru sampai terbentuk sel multinukleat. Untuk menghasilkan embrio atau tanaman haploid masih perlu penelitian lanjutan. Kombinasi perlakuan fase mikrospora berinti tunggal akhir dan berinti dua awal dari rasio kuncup 2/2,5-2/3,5 dengan media dasar NN, sumber karbon maltosa 40 g/l, dan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama kultur disarankan sebagai tahap awal untuk induksi embriogenesis kedelai melalui kultur antera pada sistem media dua lapis.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Ali MM, Mian K, Custers JBM, Khurram MMH. 2008. Microspore culture and the performance of microspore derived doubled haploid in Brassica juncea

(L.). J Agril Res 33:571-578.

Ball U, Ellialttioglu S, Abak K. 2009. Induction of symmetrical nucleus division and multi-nucleate structures in microspores of eggplant (Solanum melongena

L.) cultured in vitro.Sci Agric 66:535-539.

Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Cell Tissue Culture. Tokyo: Elsevier. Binarova P, Hause G, Cenklova V, Cordewener JHG, van Lookeren Campagne

MM. 1997. A short severe heat shock is required to induce embryogenesis in late bicellular pollen of Brassica napus L. Sex Plant Rep 10:200-208.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Kedelai Seluruh Propinsi. www.bps.go.id. hlm 1. (10 Desember 2009).

Cardoso MB, Bodanese-Zanettini MH, de Mundstock EC, Kaltchuk-Santos E. 2007. Evaluation of gelling agents on anther culture: Response of two soybean cultivars. Braz Arch of Biol and Technol 6:933-939.

Chu CC. 1978. The N6 medium and its application to anther culture of cerial crops. Di dalam: Proceedings of Symposium on Plant Tissue Culture. Science Press Peking. hlm 43-50.

Chuong PV, Deslauriers C, Kott LS, Beversdorf WD. 1988. Effect of donor genotype and bud sumpling on microspore culture of Brassica napus. C J Bot

66:1653-1657.

da Silva Lauxen M, Kalthcuk-Santos E, Yeh-Hu C, Callegari-Jacques SM, Bodanese-Zanettini MH. 2003. Association between floral bud size and developmental stage in soybean microspores. Braz Arch of Biol and Technol

46:515-520.

de Moraes AP, Bonadese-Zanettini MH, Callegari-Jacques SM, Kaltchuk-Santos E. 2004. Effect temperature shock on soybean microspore embryogenesis. Braz Arch of Biol and Technol 47:537-544.

Dong-Sheng H, Niimi Y, Nakano M. 2000. Formation of calli from isolated microspore cultures of asiatic hybrid lily “Connecticut King”. J Japan Soc Hort Sci 69:52-56.

Fehr WR. 1980. Soybean. Di dalam: Fehr WR, Hadly HH, editor. Hybridization of Crop Plant. American Society of Agronomy and Crop Science of America. Wisconsin Publisher. hlm 589-599.

Ferrie AMR, Palmer CE, Keller WA. 1994. Biotechnological application of haploids. Di dalam: Shargool PD, Ngo TT, editor. Biotechnological Applications of Plant Cultures. CRC. Baca Raton. hlm 77-110.


(48)

Ferrie A. 2003. Microspore culture of Brassica species. Di dalam: Maluszynki M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor. Double Haploid Production in Crop Plant, A Manual. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 205-215. Finnie SJ, Powell W, Dyer AF. 1989. The effect carbohydrate composition and

concentration on anther culture response in barley (Hordeum vulgare L.) Plant Breeding 103:110-118.

Gamborg OL, Miller RA, Ojima K. 1968. Nutrient requirements of suspension culture of soybean root cells. Exp Cell Res 50:151-158.

George EF. 1993. Plant Tissue Culture Techniques in Plant Propagation by Tissue Culture Part 1. England: Exegetics Ltd.

George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England: Exegetics Ltd.

Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. IPB.

Hause BG, Hause P, Pechan, Lammeren AAMV. 1993. Cytoskeletal changes and induction of embryogenesis in microspore and pollen culture of Brassica napus

L. Cell Biol Internat 17:153-168.

Heberle-Bors E. 1999. Stress treatments for turning immature pollen into plants. NRC’s PBI Bull. hlm 9-10.

Hu CY, Yin GC, Bodanese-Zanettini MH. 1996. Haploid of soybean. Di dalam: Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE, editor. In Vitro Production in Higher Plant.

Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 377-395.

Hu H, Zeng JZ. 1984. Development of new varieties via anther culture, pp 65-90. Di dalam: Evans DA, Sharp WR, Ammirat, Yamada Y, editor. Handbook of Plant Cell Culture Vol. 3. New York: Macmillan Co.

Husni A, Hutami S, Kosmiatin M, Mariska I. 2003. Regenerasi massa sel embriogenik kedelai yang diseleksi dengan Polyethylen Glicol 6000 (PEG). Di dalam: Hasil Penelitian Rintisan Bioteknologi Tanaman. Prosiding Seminar; Bogor, 23-24 sep 2003. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian. hlm 272-280.

Indrianto A, Heberle-Bors E, Touraev A. 1999. Assessment of various stresses and carbohydrates for their effect on the induction of embryogenesis in isolated wheat microspore. Plant Sci 143:71-79.

Indrianto A, Semiarti E, Surifah. 2004. Produksi galur murni melalui induksi embriogenik mikrospora cabai merah besar dengan stres. Zuriat 15:133-139. Jose M, Segui-Simarro, Nuez F. 2005. Meiotic metaphase I to telophase II as the

most responsive stage during microspore development for callus induction in tomato (Solanum lycopersicum) anther cultures. Act Physiol Plant 27:675-685. Kalthcuk-Santos E, Mariath JE, Mundstock E, Yeh-Hu C, Bodanese-Zanettini

MH. 1997. Cytological analysis of early microspore divisions and embryo formation in cultured soybean anther. Plant Cell 49:107-115.


(49)

Kasha KJ, Simion E, Oro R, Shim YS. 2003. Barley isolated and microspore culture protocol. Di dalam: Maluszynki M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor. Double Haploid Production in Crop Plant. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 43-47.

Krzyzaowska D, Gorecka K. 2008. Effect of various stress factors on the induction of androgenesis in anther cultures of brussels sprouts (Brassica oleracea L. var. Gemmifera). Veget Crops Res Bul 69:5-13.

Kung SD, Yang SF. 1998. Discoveries in Plant biology. Vol. 2. World Scientific. Publ. Co. Pte. Ltd. Singapore, New Jersey, London, HongKong, hlm 301. Kyo M, Harada H. 1986. Control of the development pathway of tobacco in

vitro. Planta 168:427-432.

Last DI, Bretell RIS. 1990. Embryo yield in wheat anther cultures is influenced by the choice of sugar in the culture medium. Plant Cell Report 9:14-16.

Mariska I, Lestari EG. 2006. Seleksi in vitro untuk toleransi terhadap faktor abiotik pada tanaman padi dan kedelai. Di dalam: Pemanfaatan Bioteknologi untuk Mengatasi Cekaman Abiotik pada Tanaman. Prosiding Seminar Nasional. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. hlm 28-41.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15:473-497.

Nitsch JP, Nitsch C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Science 169:85-87. Palmer CE, Keller WA. 1997. Pollen embryos. Di dalam: Sowhney VK,

Shivanna KR, editor. Pollen Biotechnology For Crop Production and Improvement. USA: Cambridge Univ Press. hlm 396-403.

Phillips GC, Collins GB. 1980. In vitro culture of selected legumes and plant regeration from callus cultures of red clover. Crop Sci 19:59-64.

Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Dordrecht: Kluwer Academic Publihers.

Raven PH, Evert RF, Eichorn SE. 1992. Biology of Plants. New York: Wonth Publisher Inc.

Rodrigues LR, Forte BDC, Bodanese-Zanettini MH. 2006. Isolation and culture of soybean (Glycine max L. Merrill) microspores and pollen grains. Braz Arch of Biol and Technol 49:537-545.

Scott P, Lyne RL, Rees T. 1995. Metabolism of maltose and sucrase by microspores isolated from barley (Hordeum vulgare L.) Planta 197:435-441. Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Succesful

development of a shed-microspore culture protocol for double haploid production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep

25:1-10.

Thomas E, Davey MR. 1975. From Single Cell to Plants. London: Wykeham publications.


(50)

Touraev A, Ilham A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1996a. Stress induced microspore embryogenesis in tobacco: an optimized system for molecular studies. Plant Cell Rep 15:561-565.

Touraev A, Indrianto A, Wratschko I, Vicente O, Heberle-Bors E. 1996b. Efficient microspore embryogenesis in wheat (Triticum aestivum. L) induced by starvation at high temperature. Sex Plant Rep 9:209-215

Touraev A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1997. Initiation of microspore embryogenesis by stress. Trends in Plant Sci 2:298-300.

Touraev A, Heberle-Bors E. 2003. Anther and microspore culture in tobacco. Di dalam: Maluzyki M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor. Double Haploid Production in Crop Plant. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 223-228.

Yin GC, Zhu ZY, Xu Z, Chen L, Li XZ, Bi FY. 1982. Studies on induction of pollen plant and their androgenesis in Glycine max (L.) Merr. Soyb Sci 1:69-76.

Zulkarnain. 2005. Pengaruh pra-perlakuan stres pada kultur antera empat kultivar kedelai. Akta Agrosia 8:56-61.


(51)

(52)

Lampiran 1 Komposisi media NN (Nitsch & Nitsch 1969), MS (Murashige & Skoog 1962), SL2 (Phillips & Collins 1980), B5 (Gamborg 1968)

Jenis Bahan Kimia NN (mg/l) MS (mg/l) SL2 (mg/l) B5 (mg/l) Hara

Makro

KNO3 NH4 NO3 CaCl2.2H2O MgSO4 .7H2O KCl

KH2 PO4 NaH2PO4.H2O (NH4)2SO4

950 720 166 90,27 - 68 - 1900 1650 332,02 180,54 - 170 - - 2100 600 550 400 - 250 - - 2500 - 150 250 - - 150 134 Hara Mikro

MnSO4.4H2O MnSO4.H2O ZnSO4.7H2O H3BO3 KI

CuSO4.5H2O Na2MoO4.2H2O CoCl2.6H2O FeSO4.7H2O NaFeEDTA Na2EDTA.2H2O

- 18,94 10 10 - - 0,025 - 36,7 - - 22,3 - 8,6 6,2 0,83 0,025 0,25 0,025 - 36,7 - - 13,5 4,5 4,5 0,9 0,09 0,36 0,09 25 - 33,6 - 10 2 3 0,75 0,025 0,25 0,025 - 28 - Vitamin Thiamine-HCl

Nicotinic acid Pyridoxine-HCl Biotin Folic acid Glycine Myo-inositol 0,5 5 0,5 0,05 0,5 2 100 0,1 0,5 0,5 - - 2 100 2 - 0,5 - - - 250 10 1 1 - - - 100


(53)

Rasio Panjang

Braktea /Kuncup 0 1 2 3 4

2/2,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 22,8 49,5 88,0

Inti Tunggal Tengah 23,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 77,0 55,0 42,6 23,1 0,0

Inti Dua Awal 0,0 34,4 20,2 15,7 12,0

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 10,0 2,4 7,6 0,0

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0c 0,3c 2,8b 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,6a 11,7a 1,3a 0,0b

2/3,0 Polen Tanpa Inti 0,0 8,3 34,5 55,9 82,4

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 82,3 38,9 34,1 24,1 17,6

Inti Dua Awal 17,7 33,9 13,2 16,6 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 1,9 0,0 0,0 0,0

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 16,9a 10,4a 3,4a 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0a 7,7b 0,0a 0,0b

2/3,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 38,0 48,1 68,1

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 60,0 29,7 8,3 5,4 3,2

Inti Dua Awal 40,0 53,5 14,2 25,2 6,7

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 15,4 38,7 19,6 16,7

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 1,4bc 0,0c 1,6bc 2,2a

≥3Vegetatif 0,0 0,0a 0,8c 0,2a 3,1a

2/4,0 Polen Tanpa Inti 0,0 10,9 40,5 64,8 78,5

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 6,6 0,0 0,4 0,0 0,0

Inti Dua Awal 42,5 27,8 21,4 8,4 0,4

1Vegetatif+1-2Generatif 50,9 59,0 35,5 25,8 21,1

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 2,1bc 2,3b 1,1bc 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,2a 0,0c 0,0a 0,0b

2/5,0 Polen Tanpa Inti 0,0 6,2 5,1 13,9 24,5

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 24,1 8,1 6,3 5,5 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 75,9 85,0 88,2 80,6 75,5

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,6c 0,4c 0,0c 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0a 0,0c 0,0a 0,0b

2/6,0 Polen Tanpa Inti 63,7 80,5 88,4 89,2 96,3

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 36,3 19,5 11,6 10,8 3,7

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0c 0,0c 0,0c 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0a 0,0c 0,0a 0,0b

Persentase fase mikrospora pada minggu ke Fase Perkembangan

Lampiran 2 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis untuk varietas Wilis dalam media NN

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada parameter fase perkembangan yang sama (2v+0-2g atau ≥ 3v) adalah berbeda nyata (p<0,05).


(54)

Rasio Panjang

Braktea /Kuncup 0 1 2 3 4

2/2,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 15,3 68,6 88,7

Inti Tunggal Tengah 19,3 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 80,7 54,5 53,5 15,2 5,4

Inti Dua Awal 0,0 34,8 23,6 16,2 5,9

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 8,9 1,9 0,0 0,0

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,3b 1,1b 0,0b 0,0

≥3Vegetatif 0,0 1,5a 4,7a 0,0 0,0

2/3,0 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 9,4 53,6 91,4

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 72,5 57,6 13,4 1,7 0,0

Inti Dua Awal 27,5 38,4 59,5 30,4 6,5

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 4,0 14,0 14,3 2,1

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 3,6a 0,0b 0,0

≥3Vegetatif 0,0 0,0b 0,0b 0,0 0,0

2/3,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 40,5 53,9 90,4

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 59,0 3,8 2,9 1,5 0,0

Inti Dua Awal 32,8 76,3 34,0 11,9 1,3

1Vegetatif+1-2Generatif 8,2 18,4 22,3 32,7 8,0

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 1,6a 0,2c 0,0b 0,0

≥3Vegetatif 0,0 0,0b 0,0b 0,0 0,0

2/4,0 Polen Tanpa Inti 0,0 43,7 47,0 61,5 76,6

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,8 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 68,1 39,2 18,7 9,3 9,3

1Vegetatif+1-2Generatif 31,2 15,8 34,3 27,4 13,8

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 1,3a 0,0c 1,7a 0,0

≥3Vegetatif 0,0 0,0b 0,0b 0,0 0,0

2/5,0 Polen Tanpa Inti 0,0 20,0 37,7 50,0 80,7

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 32,9 8,0 7,3 5,5 2,8

1Vegetatif+1-2Generatif 67,1 70,5 55,0 44,5 16,6

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 0,0c 0,0b 0,0

≥3Vegetatif 0,0 0,0b 0,0b 0,0 0,0

2/6,0 Polen Tanpa Inti 50,8 72,8 79,9 89,1 93,6

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 49,2 27,2 20,1 10,9 6,4

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 0,0c 0,0b 0,0

≥3Vegetatif 0,0 0,0b 0,0b 0,0 0,0

Persentase fase mikrospora pada minggu ke Fase Perkembangan

Lampiran 3 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis untuk varietas Sindoro dalam media NN

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada parameter fase perkembangan yang sama (2v+0-2g atau ≥ 3v) adalah berbeda nyata (p<0,05).


(55)

Rasio Panjang

Braktea /Kuncup 0 1 2 3 4

2/2,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 0,0 0,0 20,7

Inti Tunggal Tengah 31,7 16,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 68,3 76,8 83,1 67,3 60,7

Inti Dua Awal 0,0 6,6 16,9 32,7 18,6

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,6b 0,0c 0,0b 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,0a 0,0b 0,0b

2/3,0 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 0,0 0,0 39,8

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 88,1 59,7 55,7 50,9 38,0

Inti Dua Awal 11,9 25,4 28,4 33,5 15,5

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 7,2 14,2 13,7 6,7

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 7,8a 1,7ab 2,0a 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,0a 0,0b 0,0b

2/3,5 Polen Tanpa Inti 0,0 0,0 32,6 74,8 88,9

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 75,4 50,7 32,0 2,6 2,3

Inti Dua Awal 24,6 43,9 21,8 15,0 3,9

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 4,7 11,4 4,9 2,3

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,7b 1,9ab 1,5ab 1,3a

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,4a 1,3a 1,6a

2/4,0 Polen Tanpa Inti 0,0 4,8 37,4 43,5 91,1

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 32,6 15,4 11,4 3,6 0,0

Inti Dua Awal 67,4 27,2 24,2 25,2 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 0,0 52,7 23,3 27,2 8,9

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 3,7a 0,4b 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,0a 0,0b 0,0b

2/5,0 Polen Tanpa Inti 0,0 53,5 58,4 70,1 88,4

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,3 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 8,8 1,9 1,4 1,0 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 90,8 44,6 40,0 28,5 11,6

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 0,3c 0,0b 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,0a 0,0b 0,0b

2/6,0 Polen Tanpa Inti 53,6 63,3 66,1 79,6 94,8

Inti Tunggal Tengah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Tunggal Akhir 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Inti Dua Awal 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

1Vegetatif+1-2Generatif 46,4 36,7 33,9 20,4 5,2

2Vegetatif+0-2Generatif 0,0 0,0b 0,0c 0,0b 0,0b

≥3Vegetatif 0,0 0,0 0,0a 0,0b 0,0b

Persentase fase mikrospora pada minggu ke Fase Perkembangan

Lampiran 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora berdasarkan rasio panjang braktera terhadap panjang kuncup terhadap perkembangan mikrospora dalam kultur antera pada sistem media dua lapis untuk varietas Slamet dalam media NN

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada parameter fase perkembangan yang sama (2v+0-2g atau ≥ 3v) adalah berbeda nyata (p<0,05).


(1)

responsif terhadap induksi pembelahan sporofitik adalah pada fase berinti tunggal akhir dan berinti dua awal.

Media dan kondisi yang lebih baik untuk induksi pembelahan sporofitik dalam kultur antera kedelai pada sistem media dua lapis adalah menggunakan media dasar NN, sumber karbon maltosa 40 g/l, dan perlakuan suhu dingin (4-9oC) pada minggu pertama kultur. Mikrospora dari ketiga varietas kedelai yang diuji yaitu Sindoro, Slamet, dan Wilis, dapat diinduksi ke pembelahan sporofitik. Mikrospora dari varietas Wilis dalam kombinasi media dan kondisi kultur terbaik, dapat diinduksi untuk membentuk struktur multiseluler sampai 12 sel. Dapat diinduksinya pembelahan sporofitik ini merupakan tahapan awal untuk induksi embriogenesis pada kultur antera kedelai dalam sistem media dua lapis.


(2)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkam atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya


(3)

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA

KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA

PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS

BUDIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010


(4)

(5)

Judul : Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis Nama : Budiana

NIM : G353070191

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suharsono, DEA. Ketua

Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. Dr. Ir. Ika Mariska, APU. Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor

Biologi Tumbuhan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih adalah Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Kedelai Melalui Kultur Antera Pada Sistem Media Dua Lapis. Penelitian ini didanai oleh KKP3T (Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi) Tahun Anggaran 2008 yang didanai dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan judul: Induksi Androgenesis Kedelai Melalui Kultur Antera pada Media Dua-Lapis untuk Pengembangan Teknologi Haploid dalam Percepatan Proses Pemuliaan atas nama Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si.

Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan tesis ini banyak kekurangan, dan banyak dibantu oleh berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Suharsono, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan masukan dan arahan dalam penelitian ini.

2. Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. selaku Pembimbing Anggota yang selalu memberikan arahan serta menyediakan berbagai bahan penelitian yang penulis butuhkan.

3. Dr. Ir. Ika Mariska, APU selaku Pembimbing Anggota yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penelitian ini.

4. Dr. Ir. Miftahudin, M.Si. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi pengayaan dalam tesis ini.

5. Departemen Agama Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meningkatkan mutu keilmuan pada Program Studi Biologi, dengan memberikan biaya pendidikan dan penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister Sains di IPB Bogor. 6. Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian

Sumberdaya Hayati & Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB Bogor atas fasilitas penelitian yang telah disediakan.

7. Mbak Nia, Sarah, Pak Asep, Pak Adi, dan Pak Mulya atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian.

8. Istri dan anak-anakku tersayang, atas doa dan pergorbanannya.

9. Keluarga besar Bapak Slamet Ahmadi atas segala doa dan kasih sayangnya. 10. Teman-teman Mayor Biologi Tumbuhan angkatan 2007, atas kebersamaan

dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dan semoga tesis ini dapat bermanfaat, Amiin.

Bogor, Maret 2010