Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe

VIABILITAS BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) PADA
BEBERAPA TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN
GENOTIPE

ARIEF RIZA WIJAYA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Viabilitas Benih Cabai
(Capsicum annuum L.) pada Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014

Arief Riza Wijaya
NIM A24090023

ABSTRAK
ARIEF RIZA WIJAYA. Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada
Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe. Dibimbing oleh TATIEK
KARTIKA SUHARSI dan MUHAMAD SYUKUR.
Penelitian ini menggunakan 6 genotipe cabai bersari bebas, yaitu Anies 1,
Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3, dan SSP yang diuji dalam 5 tingkat
kemasakan buah yang berbeda, yaitu 32, 35, 38, 41, dan 44 hari setelah antesis
(HSA). Penelitian ini menggunakan 3 kelompok tingkatan cabang yang berbeda,
yaitu kelompok cabang 1 (cabang 2-5), kelompok cabang 2 (cabang 6-7), dan
kelompok cabang 3 (cabang 8-9). Masak fisiologis benih ditentukan oleh
viabilitas, vigor dan bobot kering benih. Penelitian ini memperlihatkan nilai
viabilitas dan vigor tertinggi terjadi pada tingkat kemasakan 44 HSA. Viabilitas
tertinggi terdapat pada nilai rata-rata daya berkecambah (DB) 84.17% dan vigor
tertinggi terdapat pada nilai rata-rata indeks vigor (IV) 20.83%. Nilai daya

berkecambah sudah cukup tinggi, sedangkan nilai indeks vigor masih tergolong
rendah. Bobot kering benih sudah mulai meningkat pada umur buah 38 HSA
untuk semua genotipe dan cenderung stabil hingga umur buah 44 HSA. Nilai
bobot kering benih maksimal mengindikasikan bahwa benih sudah masak secara
fisiologis. Karakter kuantitatif buah dan benih tidak berkorelasi nyata terhadap
nilai IV dan DB. Nilai IV dan DB pada kelompok cabang 1 tidak berbeda dengan
kelompok cabang 2, tetapi sebagian besar karakter kuantitatif buah dan benih pada
kelompok cabang 1 berbeda dengan kelompok cabang 2.
Kata kunci: Bobot benih, cabang, daya berkecambah, indeks vigor, korelasi

ABSTRACT
ARIEF RIZA WIJAYA. Chilli Seeds (Capsicum annuum L.) Viability on Several
Levels of Fruit Maturity and Genotypes. Supervised by TATIEK KARTIKA
SUHARSI and MUHAMAD SYUKUR.
This research used six open pollinated chilli genotypes, namely Anies 1,
Anies 2, Seloka 1, Seloka 2, Seloka 3, and SSP were tested in 5 different fruit
maturity levels, namely 32, 35, 38, 41, and 44 days after anthesis (DAA). This
research used 3 different group of branches, namely the first branches (branches
2-5), second branches (branches 6-7), and third branches (branches 8-9).
Physiological maturity is determined by seed viability, vigor and dry seed weight.

This study showed the highest values of viability and vigor occured at the level of
maturity 44 DAA. The highest viability had germination (DB) on average 84.17%
and the highest vigor had vigor index value (IV) on average 20.83%. Germination
value was high, and the value of the vigor index was low. Seeds dry weight had
started to increase at 38 DAA for all genotypes and remained stable until 44
DAA. The highest seed dry weight indicated that seeds were physiologically
mature. Quantitative characters of fruits and seeds were not significantly
correlated to the value of IV and DB. The value of IV and DB in first branches
was not different with second branches, but most of the quantitative characters of
fruits and seeds at first branches were different with second branches.
Keywords: Branches, correlation, germination, seeds, vigor index

VIABILITAS BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) PADA
BEBERAPA TINGKAT KEMASAKAN BUAH DAN
GENOTIPE

ARIEF RIZA WIJAYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa
Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe
Nama
: Arief Riza Wijaya
NIM
: A24090023

Disetujui oleh

Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS

Pembimbing I

Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Agus Purwito, MSc.Agr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judui Skripsi : Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada Beberapa
Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe
AriefRiza Wijaya
Nama
NIM
A24090023

Disetujui oieh


Dr Tatiek Kartika Suharsi. MS
Pembimbing I

. , ') Q\4

Tanggal Lulus:

u ,.'"

Prof ,-.p.,wrnamad Syukur, SP, MSi
Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
penelitian ini adalah Viabilitas Benih Cabai (Capsicum annuum L.) pada
Beberapa Tingkat Kemasakan Buah dan Genotipe.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Tatiek Kartika Suharsi, MS selaku
pembimbing skripsi I, Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi selaku pembimbing

skripsi II, dan Juang G Kartika SP, MSi selaku penguji sidang yang telah banyak
memberi saran selama penelitian dan pembuatan skripsi, serta Dr Ir Faiza
Chairani Suwarno, MS selaku pembimbing akademik yang telah memberikan
arahan, semangat selama penulis belajar di IPB. Disamping itu, penulis sampaikan
ucapan terimakasih kepada para dosen-dosen Departemen Agronomi dan
Hortikultura dan teknisi Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman dan
Laboratorium Pengujian Mutu dan Penyimpanan Benih IPB yang telah
memberikan pembelajaran selama penulis kuliah dan penelitian. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga, seluruh teman
atas segala doa dan kasih sayangnya serta Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya
(HIMALAYA), Himpunan Mahasiswa Agronomi, UKM Karate IPB, Karya
Salemba Empat (KSE) dan Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama (KMNU) IPB
atas segala dukungannya.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Arief Riza Wijaya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Cabai
Viabilitas Benih
Pengaruh Kemasakan Buah terhadap Mutu Benih
Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Mutu Benih
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Rancangan Percobaan
Prosedur Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Rekapitulasi Sidik Ragam

Karakter Kuantitatif Pembungaan
Pengaruh Genotipe terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan Benih
Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan
Benih
Pengaruh Genotipe dan Tingkat Kemasakan Buah terhadap Mutu Fisiologis
Benih
Korelasi Karakter Kuantitatif Buah dan Benih dengan Mutu Fisiologis Benih
Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Peubah-Peubah yang Diamati
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
xi
xi
1
1

1
1
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
7
7
7
8
9
9
11
15

17
18
20
20
20
20
24
31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Rekapitulasi hasil uji F pada semua peubah yang diamati
Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap genotipe
Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap genotipe
Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap tingkat
kemasakan buah
Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap tingkat
kemasakan buah
Nilai daya berkecambah pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan
buah
Nilai indeks vigor pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan buah
Nilai korelasi antara karakter kuantitatif buah dan benih dengan mutu
fisiologis benih pada tingkat kemasakan buah 44 HSA
Nilai rata-rata setiap peubah pada kelompok cabang yang berbeda

8
10
10
14
14
16
17
18
19

DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi tanaman yang diserang hama dan penyakit
2 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44
HSA) pada kelompok cabang 1 (Cabang 2-5)
3 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44
HSA) pada kelompok cabang 2 (cabang 6-7)

7
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Deskripsi Genotipe Seloka
Deskripsi Genotipe Anies
Deskripsi Genotipe SSP
Sidik ragam karakter genotipe-genotipe
Ilusterasi ulangan yang digunakan

24
25
26
27
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara produsen cabai tropis terbesar di
dunia. Menurut BPSRI (2012), luas panen cabai besar pada tahun 2011 adalah
239,770 ha dengan produksi total sebesar 1,483,079 ton, sehingga potensi
produktivitas cabai adalah 6.19 ton ha-1.
Cabai masih menempati peringkat utama produk sayuran hortikultura
Indonesia hingga saat ini. Kondisi tersebut harus didukung oleh kuatnya
perbanyakan benih cabai dalam skala industri. Data luas panen pada tahun 2002
menunjukkan dari total 583,800 ha tanaman sayuran yang dalam budidayanya
menggunakan benih, 25% (sekitar 150,000 ha) merupakan tanaman cabai (Anwar
et al. 2005). Kebutuhan cabai yang meningkat diperlukan ketersedian benih secara
kontinyu.
Produksi benih mesti dilakukan secara efektif dan efisien guna memperoleh
mutu benih yang tinggi. Penelitian ini mengkaji mengenai fase perkembangan dan
kemasakan benih berdasarkan tingkat kemasakan buah yang berbeda. Berbagai
penelitian telah banyak dilakukan guna memperoleh informasi yang akurat
mengenai pengaruh tingkat kemasakan buah terhadap viabilitas benih, misalnya
pada benih Pyracantha spp. (Surya 2008), jarak pagar (Napiah 2009), melon
(Kortse and Oladiran 2013), kamandrah (Croton tiglium L.) (Ahmadi et al. 2011),
dan buah terung (Blay et al. 1999).
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemasakan buah adalah
karakter dari masing-masing genotipe cabai tersebut, misalnya umur fase vegetatif
tanaman, umur berbunga, dan karakter kuantitatif lainnya. Kelompok cabang
tanaman pun diduga memiliki pengaruh terhadap tingkat kemasakan buah dan
karakter kuantitatif tanaman tersebut, seperti yang telah diteliti oleh Ibrahim dan
Oladiran (2011) pada tanaman cabai. Pengamatan terhadap tingkat kemasakan
buah pada beberapa genotipe cabai dalam kelompok cabang tanaman perlu
dilakukan untuk menentukan waktu masak fisiologis benih cabai.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari viabilitas benih cabai (Capsicum
annuum L.) pada beberapa tingkat kemasakan buah dan genotipe dalam kelompok
cabang yang berbeda.

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan viabilitas benih pada
tingkat kemasakan buah yang berbeda serta terdapat pengaruh genotipe dan
kelompok cabang tanaman terhadap mutu benih cabai (Capsicum annuum L.).

2

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Cabai
Cabai adalah salah satu komoditas tanaman penting dunia. Cabai berasal
dari Amerika bagian tropik dan subtropik. Tanaman cabai didomestikasi dari
daerah asalnya yaitu diantara Meksiko dan Guatemala. Cabai sudah banyak
ditanam dan dikonsumsi di seluruh penjuru dunia (Valenzuela 2011).
Cabai tidak hanya dipanen 1 kali dalam 1 masa tanam. Cabai dapat dipanen
beberapa kali selama masa generatifnya. Masa generatif cabai ditandai dengan
munculnya bunga. Pembungaan adalah satu dari sekian proses yang menginduksi
penuaan atau senescence (Sharma 2008), sehingga fase pembungaan menandakan
tanaman telah beralih dari fase muda ke fase dewasa. Waktu pemunculan bunga
pertama diukur setelah 50 persen tanaman di lapangan berbunga, yaitu sekitar 3035 hari setelah tanam (HST) (Zahra 2012). Bunga mulai antesis pada pukul 6.009.00 pagi (Rajan dan Markose 2007). Buah mulai muncul dari kaliks 14 hari
setelah antesis (HSA) (Bosland dan Votava 2012). Buah muda umumnya
berwarna hijau, dan buah tua berwarna merah (Sunarjono 2011). Benih cabai
memiliki bentuk agak melingkar, kuning, ringan, dan berukuran 3-5 mm. Bobot
seribu butir benih cabai umumnya sekitar 3.5-5 g, tergantung pada varietas dan
kondisi pertumbuhan. Benih cabai merupakan benih ortodoks, sehingga benih
tersebut dapat bertahan lama dalam penyimpanan (Doijode 2011). Hasil panen
benih cabai rata-rata per hektarnya adalah sekitar 50-80 kg (Agrawal 1980)
Waktu pembentukan dan pemasakan buah penting diketahui untuk
memprediksikan waktu panen yang tepat. Menurut Thang (2007), proses
terbentuknya buah memerlukan waktu 30-44 HSA. Proses pematangan buah
ditandai dengan memerahnya buah. Proses perubahan warna pada pematangan
buah cabai disebabkan oleh terdegradasinya klorofil pada buah.
Waktu awal panen cabai umumnya saat tanaman berumur 90-105 HST,
tergantung pada ketinggian lahan produksi (Wiryanta 2002). Menurut Syukur et al.
(2012), umur panen pertama dapat terjadi pada 75-85 HST di dataran rendah atau
85-95 HST di dataran tinggi. Lama panen dalam satu periode tanaman sekitar 2
bulan, sehingga setelah 2 bulan panen, cabai tidak produktif lagi dan harus
digantikan dengan tanaman baru. Pemanenan dapat dilakukan 3-4 hari sekali,
sehingga cabai dapat dipanen hingga 16-20 kali.

Viabilitas Benih
Viabilitas adalah derajat hidup suatu benih yang aktif secara metabolik, dan
dapat mensintesis enzim untuk merangsang reaksi perkecambahan dan
pertumbuhan benih (Copeland dan Mcdonald 1995). Viabilitas menunjukkan
ukuran persentase benih yang hidup setelah penyimpanan (Bicksler 2011).
Viabilitas dapat diindikasikan dengan nilai daya berkecambah suatu benih
dan vigor benih diindikasikan dengan nilai indeks vigor. Menurut Sadjad (1993),
daya berkecambah adalah tolok ukur kemampuan benih untuk tumbuh menjadi
tanaman normal yang berproduksi normal dalam keadaan yang optimum. Menurut

3
Widajati et al. (2013), tolok ukur kemampuan benih untuk tumbuh normal dan
berproduksi normal pada kondisi sub optimum disebut indeks vigor.
Viabilitas benih dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari kondisi benihnya
sendiri ataupun faktor dari luar. Menurut Widajati et al. (2013), faktor-faktor yang
mempengaruhi viabilitas diantaranya adalah mutu sumber benih, ketersediaan air
dalam benih, ketersediaan hara benih, kesehatan benih, suhu yang optimum dan
cahaya yang cukup. Eskandari (2012) menyatakan bahwa viabilitas benih
dipengaruhi oleh fase perkembangan dan kemasakan benih serta kerusakan
mekanis benih. Menurut Desai (1997), perlakuan ketika panen dan pasacapanen
serta kondisi penyimpanan benih berpengaruh terhadap viabilitas benih.

Pengaruh Kemasakan Buah terhadap Mutu Benih
Perubahan fisiologi pada proses pemasakan buah cabai akan berdampak
pada hasil dan mutu benih. Cavero et al. (1994) menjelaskan, persentase
perkecambahan benih dari cabai yang setengah masak lebih rendah dibandingkan
dengan cabai yang telah masak penuh atau lewat masak. Menurut McCormack
(2005), daya berkecambah tertinggi benih diperoleh dari buah yang merah penuh.
Batin (2011) menyatakan dalam penelitiannya tentang benih jarak pagar (Jatropha
curcas), benih yang diambil dari buah muda (hijau) belum masak, sehingga
menghasilkan perkecambahan yang rendah dan lambat. Menurut Blay et al.
(1999), penentuan waktu panen yang tepat sangat berpengaruh terhadap mutu
suatu benih. McCormack (2005) menegaskan, perkecambahan akan rendah jika
buah dipanen terlalu muda, dan apabila buah terlambat dipanen, maka benih tidak
akan dapat digunakan, karena viabilitasnya sudah menurun.

Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Mutu Benih
Kelompok cabang tanaman diduga memiliki pengaruh terhadap mutu benih
serta karakter kuantitatif buah dan benih, seperti yang telah diketahui dalam
penelitian Ritonga (2013) serta Ibrahim dan Oladiran (2011) pada buah cabai.
Ritonga (2013) menjelaskan, bahwa buah yang berada pada cabang yang lebih
atas (cabang 13-17) memiliki ukuran dan bobot buah yang rendah. Ibrahim dan
Oladiran (2011) menyatakan bahwa benih-benih yang diperoleh dari buah yang
berada di posisi cabang lebih tinggi berkualitas rendah. Menurut Ritonga (2013),
hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antar buah dalam memperoleh hasil
fotosintat.

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Cibeurem Bogor, Laboratorium
Pendidikan Pemuliaan Tanaman dan Laboratorium Pengujian Mutu dan
Penyimpanan Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

4
Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu dimulai dari bulan Mei
hingga bulan September 2013.

Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih dari 6 genotipe
cabai, yaitu berasal dari tipe cabai besar (Anies 1, Anies 2, Seloka 1, Seloka 2,
Seloka 3) dan tipe cabai keriting (SSP), pupuk kandang, pupuk NPK Mutiara,
pestisida, pita, kertas label, kertas merang, plastik, dan silica gel. Alat-alat yang
digunakan diantaranya adalah cawan petri, pipet, oven, timbangan digital, pinset,
alat pengecambah benih tipe IPB-72, toples, penggaris, dan jangka sorong.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) split plot dengan genotipe sebagai petak utama dan
tingkat kemasakan sebagai anak petak. Genotipe yang digunakan adalah 6 (G1G6) dan tingkat kemasakan (K1-K5) sebanyak 5 taraf, yaitu diantaranya: G1:
Anies 1, G2: Anies 2, G3: Seloka 1, G4: Seloka 2, G5: Seloka 3, G6: SSP, K1:
kemasakan 32 HSA, K2: kemasakan 35 HSA, K3: kemasakan 38 HSA, K4:
kemasakan 41 HSA, K5: kemasakan 44 HSA. Model aditif linear yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Yijk = μ + αi + δik + βj +ϒk+ (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk
= Nilai pengamatan pada faktor genotipe taraf ke-I faktor tingkat
kemasakan taraf ke-j dan ulangan ke-k
μ
= Komponen aditif dari rataan
αi
= Pengaruh faktor genotipe ke-i; i = 1,2,3,4,5,6
βj
= Pengaruh faktor tingkat kemasakan ke-j; j = 1,2,3,4,5
ϒk
= Pengaruh ulangan ke-k, k=1,2,3
(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor genotipe dan faktor tingkat kemasakan
δik
= Komponen acak dari petak utama yang menyebar normal (0, αδ2)
εijk
= Pengaruh acak dari anak petak yang menyebar normal (0, αδ2)
Prosedur Penelitian
Tanah yang digunakan diolah dan diberi pupuk kandang sebelum bibit
ditanam. Pupuk kandang diberikan sebanyak 0.5 kg untuk setiap lubang tanam
atau 20 ton ha-1. Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem bedeng.
Setiap bedeng memiliki ukuran 1x6 m. Setiap satu bedeng ditanam satu genotipe,
sehingga total lahan yang digunakan seluas 36 m2 untuk 6 genotipe. Jarak tanam
yang digunakan adalah 50-60 cm jarak dalam baris dan 60-70 cm jarak antar baris,
sehingga jumlah populasi tanaman cabai yang dapat ditanam sebanyak 20
tanaman untuk setiap bedengnya.

5
Ulangan dibuat sebanyak 3 kali. Setiap ulangan diambil dari kelompok
cabang. Kelompok cabang 2-5 adalah ulangan 1, kelompok cabang 6-7 adalah
ulangan 2, dan kelompok cabang 8-9 adalah ulangan 3 (lampiran 5). Setiap
ulangan terdiri atas 5 taraf tingkat kemasakan buah, sehingga satuan percobaan
yang diperoleh untuk 6 genotipe sebanyak 90 satuan percobaan.
Bibit dipindahkan ke lubang yang sudah disediakan setelah berumur 1.5
bulan dalam persemaian. Tanaman diberi pupuk NPK Mutiara dengan
perbandingan dosis 16:16:16. Pupuk NPK Mutiara dicampur air dengan
konsenterasi 10 g L-1. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara dikocor atau
fertigasi. Setiap tanaman diberikan sebanyak 250 ml atau dosis 62.5 kg ha-1 setiap
1 minggu. Pemberian pupuk dilakukan selama 8 minggu, sehingga total dosis
pupuk yang diperlukan sebanyak 500 kg Ha-1.
Pemeliharaan mulai dilakukan setelah bibit ditanam di lahan hingga
tanaman tidak produktif lagi. Pemberian air disesuaikan dengan kondisi lahan dan
musim. Penyiangan dilakukan apabila gulma sudah mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Pestisida diberikan apabila tanaman diserang OPT.
Pelabelan dilakukan pada bunga yang tumbuh pada percabangan 2-5
(ulangan 1), percabangan 6-7 (ulangan 2), dan percabangan 8-9 (ulangan 3).
Bunga-bunga dalam 1 tanamannya diberi 15 label warna berbeda sebagai penanda
buah yang akan dipanen, yaitu 5 label warna pada masing-masing ulangan untuk
setiap tingkat kemasakan yang berbeda. Bunga yang diberi label sudah dalam
keadaan mekar (antesis). Pemanenan dilakukan secara bertahap, yaitu sesuai
dengan selang waktu kemasakan buah. Cabai dipanen minimal 15 buah setiap
tanamannya, sehingga jumlah cabai yang terkumpul untuk setiap genotipe
minimal 300 buah.
Buah diekstraksi benihnya pada hari yang sama setelah pemanenan.
Ekstraksi dilakukan secara manual, yaitu cabai dibelah dan benih dikeluarkan
dengan menggunakan pinset. Benih dibersihkan terlebih dahulu dari funikulus
yang menempel pada benih dengan cara diambil dengan pinset. Pembersihan tidak
menggunakan air.
Benih-benih tersebut kemudian diletakkan di wadah berbentuk piringan dan
dikeringanginkan di dalam ruangan ber AC selama 3 hari. Benih yang sudah
kering dimasukan ke dalam plastik yang kedap udara dan disimpan di dalam
toples plastik pada ruangan ber AC selama 1-2 minggu. Menurut McCormack
(2005), hal tersebut dilakukan selama periode after ripening agar menghindari
rendahnya perkecambahan. Benih-benih tersebut kemudian disimpan dalam
refrigerator dengan suhu konstan sekitar 4 oC. Benih-benih yang sudah disimpan
tersebut diuji untuk memperoleh nilai kadar air, daya berkecambah, dan indeks
vigor

Pengamatan
Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian ini diantaranya adalah
karakter kuantitatif pembungaan, kuantitatif buah, kuantitatif benih, dan mutu
fisiologis benih.
Karakter kuantitatif pembungaan terdiri atas lama waktu dari muncul bunga
(ukuran kuncup mahkota 2 mm) hingga antesis, yaitu ketika bunga sudah mekar

6
dan antera sudah pecah serta lama waktu dari antesis hingga ukuran buah
maksimal yang ditandai dengan masuknya warna buah ke dalam fase warna
intermediet (cokelat).
Karakter kuantitatif buah yang diamati terdiri atas panjang buah, diameter
buah, dan bobot per buah. Karakter kuantitatif buah diukur pada hari yang sama
setelah panen. Panjang buah diukur dari pangkal buah hingga ujung buah.
Diameter buah diukur pada bagian terlebar pada buah. Panjang dan diameter buah
diukur dengan menggunakan jangka sorong. Bobot buah diukur dengan
menggunakan timbangan digital. Bobot buah diperoleh dari bobot 1 buah.
Karakter kuantitatif benih yang diamati diantaranya jumlah benih, bobot
kering benih, kadar air benih, dan rendemen benih kering. Jumlah benih, bobot
kering benih, dan kadar air benih dihitung ketika benih sudah dikeringanginkan
selama 3 hari di ruangan ber-AC. Jumlah benih dihitung satu per satu secara
manual. Bobot kering benih diukur dengan timbangan digital. Bobot kering benih
diperoleh dari benih-benih dalam 1 buah. Kadar air diukur dengan metode oven.
Kadar air diuji pada benih yang sudah disimpan pada refrigerator selama 1.5-2
bulan pada suhu 4 oC. Rendemen benih kering dihitung dengan cara
membandingkan antara bobot kering benih dengan bobot buah.
Pengamatan utama dalam penelitian ini adalah mutu fisiologis benih.
Peubah yang diamati terdiri atas daya berkecambah (DB) untuk mengetahui
tingkat viabilitas benih dan indeks vigor benih (IV) untuk menentukan vigor
benihnya. Metode uji daya berkecambah (DB) yang digunakan adalah uji diatas
kertas (UDK). Benih yang dibutuhkan sebanyak 50 butir. Benih-benih tersebut
ditanam pada media yang sudah dilembabkan. Media dibuat dari tiga lapis kertas
merang yang sudah disesuaikan dengan bentuk cawan petri. Benih ditanam secara
melingkar. Benih yang sudah ditanam kemudian ditutup dengan penutup cawan
dan disimpan pada alat pengecambah benih tipe IPB-72 selama 14 hari.
Pengamatan dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Kelembaban media harus
terjaga hingga proses pengamatan selesai. Pengujian indeks vigor dilakukan pada
satu lot benih yang sama dengan pengujian daya berkecambah. Indeks vigor
diperoleh dari jumlah kecambah normal yang tumbuh pada hari ke-7. Berikut
adalah beberapa rumus perhitungan yang digunakan dalam penelitian :
a) Rendemen benih
Rendemen benih per buah= bobot benih per buah x 100%
bobot 1 buah
b) Kadar air benih
Kadar air benih =

W2-W3 x100%
W2-W1

Keterangan :
W1
W2
W3

= berat wadah
= berat wadah dengan sampel sebelum dikeringkan
= berat wadah dengan sampel yang sudah dikeringkan

7
c) Daya berkecambah (DB)
DB = jumlah kecambah normal x 100%
jumlah benih yang ditanam
d) Indeks vigor (IV)
IV= kecambah normal pada hari ke-7
jumlah benih yang ditanam

x 100%

Analisis Data
Hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf
5% dan 1% kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncant Multiple Range
Test) pada taraf 5%. Analisis data menggunakan fasilitas SAS portable.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Kondisi tanaman di lapang secara keseluruhan kurang baik, terutama pada
genotipe Seloka 3. Penerapan rancangan ulangan berdasarkan kelompok cabang
yang berbeda tidak optimal, dikarenakan tanaman sudah berumur tua dan kurang
tahan terhadap kondisi lingkungan, terutama pada ulangan 3 atau kelompok
cabang 3 (cabang 8 dan 9). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tanaman
tersebut diantaranya adalah serangan dari hama seperti ulat jengkal, belalang, dan
trips serta penyakit seperti layu batang dan antraknosa (Gambar 1). Kelembaban
tanah yang tinggi akibat curah hujan yang tinggi dan fluktuatif juga sangat
berpengaruh. Abdulmalik et al. (2012) di dalam penelitiannya pada tanaman cabai
menunjukkan bahwa cekaman kelembaban sangat berpengaruh terhadap
pembungaan, pembentukan buah, dan hasil panen buah pada tanaman cabai.

Gambar 1 Kondisi tanaman yang diserang hama dan penyakit
(A) serangan ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites), (B) serangan ulat grayak (Spodoptera litura),
(C) buah yang terserang hama ulat (D) buah yang terserang penyakit anthraknosa (E) tanaman
yang terserang layu batang

8
Kondisi tanaman tersebut menyebabkan banyak sampel buah yang tidak
dapat diamati, karena populasi tanaman menjadi sedikit. Ulangan yang dapat
diambil secara optimal adalah ulangan 1 atau kelompok cabang 1 (cabang 2-5)
dan ulangan 2 atau kelompok cabang 2 (cabang 6-7).

Rekapitulasi Sidik Ragam
Rekapitulasi sidik ragam memperlihatkan pengaruh dari faktor genotipe,
tingkat kemasakan, dan kelompok cabang pada setiap peubah yang diamati (Tabel
1). Lama waktu dari muncul bunga hingga antesis dan lama waktu dari antesis
hingga ukuran buah maksimal hanya diuji F dengan 1 faktor, yaitu faktor genotipe.
Peubah-peubah lainnya, yaitu panjang buah, diameter buah, bobot per 1 buah,
jumlah benih per buah, bobot kering benih per buah, kadar air benih per buah,
rendemen benih kering per buah, indeks vigor, dan daya berkecambah diuji F
dengan 2 faktor, yaitu faktor genotipe dan tingkat kemasakan buah. Hasil uji F
pengaruh genotipe dan tingkat kemasakan terhadap peubah-peubah yang diamati
dapat dilihat pada lampiran 4.
Tabel 1 Rekapitulasi hasil uji F pada semua peubah yang diamati
Peubah

Genotipe

Tingkat
kemasakan

Perlakuana
Genotipe*tingkat Kelompok
kemasakan
tn

Kelompok*
genotipe

KK (%)

Lama waktu muncul
bunga hingga antesis

tn

Lama waktu antesis
hingga pembentukan
buah maksimal

tn

Panjang buah

**

tn

tn

**

tn

6.42

Diameter buah

**

*

tn

**

tn

5.03

Bobot per buah

**

tn

tn

**

tn

12.88

Jumlah benih per buah

**

tn

tn

**

*

9.43

Bobot kering benih
per buah

**

**

tn

**

tn

18.36

Rendemen benih
kering per buah

*

**

tn

tn

tn

13.12

Kadar air benih
Daya berkecambah

tn
*

*
**

tn
*

*
*

tn
tn

7.59
9.46T

Indeks vigor benih

tn

**

tn

tn

tn

12.51T

a tn

9.10

**

2.88

= tidak berpengaruh nyata; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1% berdasarkan uji F; * = berpengaruh nyata
pada taraf 5% berdasarkan uji F; T = data diolah dengan menggunakan transformasi akar-kuadrat

9
Hasil uji F menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap
sebagian besar peubah, tetapi tidak berpengaruh nyata pada lama waktu dari
muncul bunga hingga antesis, lama waktu dari antesis hingga pembentukan buah
maksimal, indeks vigor (IV), dan kadar air benih (KA). Tingkat kemasakan buah
berpengaruh nyata pada diameter buah, bobot kering benih, rendemen benih
kering, daya berkecambah (DB), IV, dan KA. Kelompok cabang memiliki
pengaruh yang nyata pada sebagian besar peubah yang diamati. Interaksi antara
genotipe dan tingkat kemasakan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata kecuali
pada nilai DB. Interaksi antara kelompok cabang dan genotipe tidak berpengaruh
nyata, kecuali pada jumlah benih.
Koefisien keragaman (KK) merupakan tingkat keakuratan pada perlakuan
yang dibandingkan. Koefisien keragaman terbesar terdapat pada peubah bobot
kering benih (18.36%), sedangkan peubah lama waktu antesis hingga ukuran buah
maksimal memiliki koefisien keragaman terendah yaitu 2.88%. Gomez dan
Gomez (1995) menyatakan, nilai KK menggambarkan keadaan percobaan, yaitu
semakin rendah nilai KK akurasinya semakin tinggi. Khasanah (2013)
menjelaskan, beragamnya nilai KK menunjukkan bahwa lingkungan memberikan
pengaruh bervariasi terhadap peubah yang diamati.

Karakter Kuantitatif Pembungaan
Hasil pengamatan pada karakter pembungaan menunjukkan bahwa lama
waktu dari muncul bunga (kuncup mahkota sepanjang 2 mm) hingga antesis tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata untuk setiap genotipe, yaitu memiliki ratarata waktu 4-5 hari. Lama waktu dari antesis hingga ukuran buah maksimal
dibutuhkan waktu sekitar 35-38 hari untuk setiap genotipe.
Proses pembentukan buah yang diawali dari munculnya bunga dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu berasal dari individu tanaman itu sendiri (internal) dan
kondisi lingkungan tumbuh (eksternal). Faktor internal lebih dominan dipengaruhi
oleh karakter gen masing-masing genotipe, yaitu genotipe tersebut bersifat genjah
atau tidak genjah. Faktor eksternal banyak dipengaruhi oleh lingkungan seperti
hama dan penyakit, dan kondisi cuaca seperti suhu dan curah hujan. Thanopoulos
et al. (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan dan pemasakan buah sangat
dipengaruhi oleh musim tanam.

Pengaruh Genotipe terhadap Karakter Kuantitatif Buah dan Benih
Peubah-peubah dari karakter buah dan benih sebagian besar dipengaruhi
oleh faktor genotipe. Pembahasan ini menjelaskan mengenai perbedaan dan
perbandingan dari setiap genotipe yang diuji terhadap karakter buah dan benih.
Karakter kuantitatif buah
Karakter kuantitatif buah yang diamati meliputi panjang, diameter, dan
bobot buah. Karakter kuantitatif tersebut diamati pada setiap genotipe yang

10
berbeda. Nilai rata-rata karakter kuantitatif buah untuk setiap genotipe terdapat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap genotipe
Genotipex
Anies 1
Anies 2
Seloka 1
Seloka 2
Seloka 3
SSP
Panjang buah (mm)
89.56b
87.82bc
73.65e
79.79d
82.95cd
95.68a
Diameter buah (mm)
14.52bc
15.74a
15.19ab
13.16d
13.94c
9.13e
Bobot buah (g)
8.58a
8.54a
6.96b
6.06c
5.78c
4.44d
x
Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf nyata 5%; Karakter buah yang diamati diambil dari buah yang berumur 32, 35,
38, 41, 44 HSA
Peubah (per buah)

Panjang buah pada Seloka 2 dan Seloka 3 tidak berbeda nyata, tetapi
berbeda nyata dengan Seloka 1, Anies 1, dan SSP. Anies 1 memiliki panjang buah
yang hampir sama dengan Anies 2. SSP (95.68 mm) memiliki ukuran rata-rata
buah terpanjang dari semua genotipe karena merupakan cabai tipe keriting,
sedangkan diantara tipe cabai besar, Anies 1 (89.56 mm) memiliki ukuran ratarata buah terpanjang dan Seloka 1 (73.65 mm) memiliki ukuran rata-rata buah
terpendek (Tabel 2).
Diameter rata-rata buah pada Seloka 3 dengan Anies 1 dan Anies 2 dengan
Seloka 1 tidak berbeda nyata, sedangkan genotipe yang saling berbeda nyata
adalah Anies 2, Seloka 2, Seloka 3 dan SSP. Diameter rata-rata terkecil dari
semua genotipe adalah SSP (9.13 mm) karena merupakan cabai tipe keriting,
sedangkan diantara tipe cabai besar, diameter rata-rata terbesar dimiliki oleh
Anies 2 (15.74 mm) dan terkecil dimiliki oleh Seloka 2 (13.16 mm) (Tabel 2).
Bobot buah rata-rata per buah, yaitu Anies 1 dengan Anies 2 dan Seloka 2
dengan Seloka 3 tidak berbeda nyata, sedangkan dengan genotipe-genotipe
lainnya berbeda nyata satu sama lain. Bobot rata-rata buah terbesar pada tipe cabai
besar dimiliki oleh Anies 1 (8.68 g) dan terkecil oleh Seloka 3 (5.78 g), sedangkan
SSP (4.44 g) memiliki bobot terendah dari semua genotipe karena merupakan
cabai tipe keriting (Tabel 2).
Karakter kuantitatif benih
Karakter kuantitatif benih yang diamati pada setiap genotipe terdiri atas
jumlah, bobot kering, rendemen benih kering, dan nilai KA benih per buah (Tabel
3). Data karakter kuantitatif benih tersebut membandingkan antara genotipe yang
satu dengan yang lainnnya.
Tabel 3 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap genotipe
Genotipex
Anies 1
Anies 2
Seloka 1
Seloka 2
Seloka 3
SSP
Jumlah benih (biji)
92.29b
95.09b
107.33a
87.15b
93.67b
70.17c
Bobot kering benih (g)
0.37a
0.35a
0.33a
0.24b
0.25b
0.22b
bc
bc
b
c
bc
Rendemen benih (%)
4.28
4.09
4.59
3.92
4.29
5.21a
Kadar air benih (%)
8.52a
8.06ab
8.15ab
8.34a
7.61b
8.74a
x
Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf nyata 5%; Karakter buah yang diamati diambil dari buah yang berumur 32, 35,
38, 41, 44 HSA
Peubah (per buah)

11
Jumlah benih terbanyak terdapat pada Seloka 1 dan terendah pada SSP.
Jumlah benih rata-rata pada tipe cabai besar lebih banyak dibandingkan tipe cabai
keriting (SSP). Seloka 1 memiliki jumlah benih yang berbeda nyata dengan SSP
dan keempat genotipe lainnya, yaitu Anies 1, Anies 2, Seloka 2, dan Seloka 3.
Anies 1, anies 2, Seloka 2, dan Seloka 3 memiliki jumlah benih yang tidak
berbeda (Tabel 3).
Anies 1, Anies 2, dan Seloka 1 memiliki bobot kering benih rata-rata yang
tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan Seloka 2, Seloka
3, dan SSP. Perbedaan tidak nyata pun terdapat pada Seloka 2, Seloka 3, dan SSP.
Pengamatan pada rendemen benih memperlihatkan SSP memiliki rendemen
benih kering terbesar diikuti oleh Seloka 1, Anies 1, Anies 2, Seloka 3, dan Seloka
2. Rendemen benih pada Anies 1, Anies 2, dan Seloka 3 tidak berbeda nyata, akan
tetapi berbeda nyata dengan SSP. Cabai tipe keriting (SSP) cenderung memiliki
rendemen lebih besar daripada tipe cabai besar.
Pengamatan kadar air benih yang sudah dikeringanginkan menunjukkan
bahwa hampir seluruh genotipe memiliki nilai KA diantara 7%-9%. Direktorat
Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) menyatakan bahwa kadar air benih cabai
maksimal untuk penyimpanan adalah sekitar 8%. Menurut Widajati et al. (2013),
kadar air benih menentukan tingkat kerusakan mekanis saat pengolahan dan
kemampuan benih dalam mempertahankan viabilitasnya selama di penyimpanan.

Pengaruh Tingkat Kemasakan Buah terhadap Karakter Kuantitatif Buah
dan Benih
Tingkat kemasakan buah berdasarkan indikator warna buah sering
digunakan sebagai penentu waktu panen. Kemasakan buah umumnya bersinergis
dengan kemasakan fisiologis benih. Mutu benih maksimal sebenarnya didasarkan
pada masak fisiologis suatu benih, meskipun warna buah belum merah
sepenuhnya, sehingga perlu diketahui waktu pemanenan buah yang tepat untuk
memperoleh benih yang sudah masak secara fisiologis.
Tingkat kemasakan buah
Tingkat kemasakan buah pada penelitian ini ditentukan berdasarkan waktu
panen, yaitu 32, 35, 38, 41, 44 HSA. Hasil pengamatan menunjukkan perbedaan
waktu pemasakan buah antara kelompok cabang 1 dan 2. Buah pada kelompok
cabang 1 (cabang 2-5) cenderung lebih cepat mengalami pemasakan dibandingkan
kelompok cabang 2 (cabang 6-7).
Pemasakan buah pada kelompok cabang 1 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa buah berumur 32 dan 35 HSA masih
berwarna hijau. Buah-buah yang sudah berumur 38 HSA mulai memasuki warna
intermediet, yaitu terdapat sedikit warna cokelat pada bagian buah. Buah mulai
memasuki fase merah saat umur 41 HSA, akan tetapi warna buah belum merah
penuh pada seluruh bagian buah. Buah pada umur 44 HSA sudah mencapai merah
penuh pada semua genotipe kecuali Seloka 3.

12

Gambar 2 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada
kelompok cabang 1 (Cabang 2-5)

Pemasakan buah pada kelompok cabang 2 dapat dilihat pada Gambar 3.
Terdapat perbedaan diantara Gambar 2 dengan Gambar 3. Gambar 3
menunjukkan bahwa buah pada umur 41 HSA masih dominan berwarna hijau dan
buah pada umur 44 HSA belum mencapai merah penuh pada beberapa genotipe
(Anies 1, Seloka 1, Seloka 3).

13

Gambar 3 Warna buah pada setiap tingkat kemasakan buah (32, 35, 38, 41 dan 44 HSA) pada
kelompok cabang 2 (cabang 6-7)

Perbedaan waktu pemasakan buah tersebut menunjukkan suatu indikasi
awal, bahwa semakin atas cabang tanaman, maka akan semakin lama masa
pemasakan buahnya. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi tanaman yang
semakin tua, sehingga berpengaruh terhadap proses-proses fisiologis pada
tanaman tersebut.

14
Kondisi cuaca seperti intensitas cahaya dan suhu juga berpengaruh terhadap
lamanya pemasakan buah. Fox et al. (2005) menjelaskan, perombakan senyawa
klorofil akan berdampak pada perubahan warna buah. Perombakan senyawa
tersebut akan lebih cepat apabila periode panjang hari lebih lama, serta intensitas
cahaya dan temperatur lebih tinggi.
Karakter Kuantitatif Buah
Karakter kuantitatif buah, yaitu panjang dan bobot buah tidak berbeda nyata
berdasarkan tingkat kemasakan, sedangkan diameter buah berbeda nyata pada
tingkat kemasakan (Tabel 4). Namun secara keseluruhan, buah berumur 32 HSA
masih memperlihatkan perkembangan dan pertumbuhannya, meskipun tidak
signifikan.
Tabel 4 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif buah pada setiap tingkat
kemasakan buah
Tingkat kemasakan buahx
32
35
38
41
44
Panjang buah (mm)
81.94
85.73
84.08
86.07
86.66
Diameter buah (mm)
13.05b
13.45ab
13.81a
13.93a
13.74a
Bobot buah (g)
6.26
6.58
6.67
7.01
7.16
x
Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf nyata 5%
Peubah (per buah)

Perbedaan tidak nyata pada peubah panjang buah dimungkinkan fase
pemanjangan buah sudah mulai berhenti pada umur 32 HSA. Bobot buah tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap tingkat kemasakan, meskipun
terjadi peningkatan bobot buah pada tingkat kemasakan yang lebih tinggi. Ratarata diameter buah pada umur 32 HSA cenderung meningkat hingga umur 38
HSA, sedangkan dari umur 38 HSA hingga 44 HSA diameter buah sudah tidak
menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Karakter Kuantitatif Benih
Tingkat kemasakan buah lebih berpengaruh dalam pembentukan dan
perkembangan benih dibandingkan dengan pengaruh dari faktor genotipe yang
digunakan (Tabel 5). Tingkat kemasakan buah yang tepat dapat menghasilkan
benih yang sudah masak fisiologis.
Tabel 5 Nilai rata-rata peubah karakter kuantitatif benih pada setiap tingkat
kemasakan buah
Tingkat kemasakan buahx
32
35
38
41
44
Jumlah benih (biji)
88.40
90.49
93.20
94.05
88.18
Bobot kering benih (g)
0.23b
0.25b
0.29a
0.33a
0.34a
b
b
a
a
Rendemen benih (%)
3.59
3.88
4.62
4.86
4.98a
ab
b
ab
a
Kadar air benih (%)
8.28
7.80
8.06
8.55
8.62a
x
Angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji
DMRT pada taraf nyata 5%
Peubah (per buah)

15
Jumlah benih pada umur buah 32 hingga 44 HSA tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan, artinya kemasakan buah tidak berpengaruh terhadap
jumlah biji. Menurut Marcelis dan Eijer (1997), jumlah benih per buah meningkat
bersamaan dengan meningkatnya jumlah ovul yang terbuahi oleh polen, sehingga
mengindikasikan bahwa jumlah benih cabai dibatasi oleh seberapa banyak jumlah
ovul yang dapat terserbuki oleh polen. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa
buah berumur 38, 41, dan 44 HSA memiliki bobot kering benih rata-rata lebih
tinggi dibandingkan dengan buah yang berumur 32 dan 35 HSA (Tabel 5). Bobot
kering benih tersebut sangat berkaitan dengan masak fisiologis suatu benih. Bobot
kering benih semakin besar, berarti benih tersebut semakin masak secara fisiologis.
Data yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa masak fisiologis benih sudah
dimulai pada umur 38 HSA. Blay et al. (1999) menyatakan bahwa bobot kering
benih akan meningkat seiring dengan kemasakan buah. Pengamatan pada
rendemen benih kering memperlihatkan bahwa pada umur buah 32 dan 35 HSA
berbeda nyata dengan rendemen benih kering pada umur 38, 41, dan 44 HSA.
Penambahan bobot kering benih dan rendemen benih pada setiap tingkat
kemasakan tidak lepas pengaruhnya dari faktor pengisian benih. Amali et al.
(2013) menjelaskan bahwa jumlah benih dengan cadangan makanan yang sudah
terisi pada buah meningkat bersamaan dengan jumlah hari setelah antesis (HSA).
Perbedaan nilai kadar air (KA) benih terjadi pada tingkat kemasakan yang
berbeda, yaitu umur buah 32, 35, 38 HSA lebih rendah dibandingkan dengan
umur buah 41 dan 44 HSA. Hasil kadar air benih tersebut berbeda dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Ahmed (2007). Ahmed (2007) menyatakan
bahwa kadar air benih setelah dikeringkan memiliki perbedaan yang nyata pada
setiap fase pemanenan. Kadar air benih maksimum terjadi pada fase buah
berwarna hijau gelap dan minimum pada fase masak merah. Ketidaksamaan hasil
pengamatan tersebut dimungkinkan benih yang diuji dalam penelitian ini tidak
sama, yaitu benih dari buah yang hijau tidak memiliki kondisi yang sama dengan
benih dari buah yang merah.

Pengaruh Genotipe dan Tingkat Kemasakan Buah terhadap Mutu Fisiologis
Benih
Terbentuknya mutu fisiologis benih maksimum selama fase
perkembangannya pada karakter buah dan benih merupakan faktor yang penting
untuk mengetahui waktu panen yang tepat (Vidigal et al. 2011). Indikator kualitas
benih maksimum atau sudah mencapai masak fisiologis adalah nilai viabilitas dan
vigor benih. Viabilitas benih diindikasikan dengan nilai daya berkecambah dan
vigor benih diindikasikan dengan nilai indeks vigor. Pengujian ini dilakukan pada
benih yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 1.5-2 bulan dalam suhu
konstan 4 oC.
Viabilitas benih
Daya berkecambah merupakan standar yang umum digunakan untuk
menentukan viabilitas benih. Nilai DB suatu benih semakin tinggi, nilai
viabilitasnya pun akan semakin tinggi. Nilai daya berkecambah pada setiap
genotipe dan tingkat kemasakan tertera pada Tabel 6.

16
Table 6 Nilai daya berkecambah pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan
buah

Anies 1
Anies 2
Seloka 1
Seloka 2
Seloka 3
SSP

Tingkat kemasakan buahx
32
35
38
41
44
-----------------------------%------------------------------0.00
0.00
20.00
57.00
88.00
0.00
0.00
0.00
34.00
83.00
0.00
0.00
0.00
59.00
91.00
0.00
0.00
4.00
13.00
85.00
0.00
0.00
9.00
42.00
74.00
0.00
1.00
70.00
75.00
84.00

Rataan

0.00d

Genotipex

0.18d

17.17c

46.67b

Rataan
33.00B
23.40B
33.33B
20.40B
27.78B
46.00A

84.17a

x

Angka yang diikuti huruf kapital yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%; Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%.

Sebagian benih mulai berkecambah pada benih dari buah berumur 38 HSA,
meskipun ada yang sudah mulai tumbuh pada umur buah 35 HSA (SSP). Nilai DB
pada genotipe SSP terlihat lebih unggul dibandingkan dengan genotipe lainnya.
Daya berkecambah pada SSP sudah menunjukkan nilai cukup tinggi meskipun
pada umur buah 38 HSA (Tabel 6).
Benih dari buah berumur 32-35 HSA masih memiliki daya berkecambah
yang rendah berdasarkan tingkat kemasakan buah. Menurut Pudjogunarto (2002),
hal tersebut disebabkan oleh cadangan makanan yang belum penuh dan
dimungkinkan adanya penghambat dalam proses perkecambahan.
Nilai DB tertinggi terjadi pada umur buah 44 HSA. Nilai DB tertinggi
dimiliki oleh Seloka 1 (91%) kemudian Anies 1 (88%), Seloka 2 (85%), SSP
(84%), Anies 2 (83%), dan Seloka 3 (74%). Nilai rata-rata DB dari semua
genotipe pada buah berumur 44 HSA adalah 84.17%. Nilai DB tersebut
menunjukkan bahwa benih pada umur 44 HSA sudah memiliki mutu yang baik.
Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) menyatakan bahwa daya
berkecambah minimum untuk benih cabai adalah sekitar 80%. Menurut Agrawal
(1980), proses perkecambahan tersebut penting untuk mengindikasikan
kemampuan benih berkembang menjadi tanaman normal di bawah kondisi yang
sesuai di dalam tanah, sehingga daya berkecambah tersebut merupakan indikator
bagus atau tidaknya benih yang akan ditanam di lahan. Yisa et al. (2013)
menyatakan bahwa benih yang diperoleh dari buah cabai berwarna merah penuh
memiliki perkecambahan tertinggi.
Vigor benih
Vigor benih menjadi acuan utama untuk menentukan mutu suatu benih.
Benih yang memiliki vigor tinggi dapat menghasilkan tanaman yang tegar meski
kondisi lapang atau lingkungan tumbuhnya tidak optimum (Sadjad et al. 1999).
Indeks vigor biasanya digunakan untuk mengetahui kemampuan tumbuh
benih dalam periode 7 hari setelah tanam (HST) pada media tanam. Nilai indeks
vigor pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan tertera pada Tabel 7.

17
Table 7 Nilai indeks vigor pada setiap genotipe dan tingkat kemasakan buah
Genotipe
Anies 1
Anies 2
Seloka 1
Seloka 2
Seloka 3
SSP
Rataan

Tingkat kemasakan buahx
32
35
38
41
44
------------------------------%----------------------------0.00
0.00
0.00
19.00
16.00
0.00
0.00
0.00
1.00
15.00
0.00
0.00
0.00
7.00
14.00
0.00
0.00
0.00
1.00
52.00
0.00
0.00
3.00
5.00
9.00
0.00
0.00
2.00
3.00
19.00
0.00c

0.00c

0.83bc

6.00b

Rataan
7.00
3.20
4.67
10.60
3.78
4.80

20.83a

x

Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata pada hasil uji DMRT taraf 5%.

Hasil pengamatan indeks vigor (Tabel 7) menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada tingkat kemasakan. Seloka 3 dan SSP sudah mulai berkecambah
pada umur buah 38 HSA, sedangkan genotipe yang lainnya mulai berkecambah
pada umur 41 HSA. Data tersebut memperlihatkan nilai indeks vigor tertinggi
terdapat pada umur buah 44 HSA, yaitu Seloka 2 (52%), SSP (19%), Anies 1
(16%), Anies 2 (15%), Seloka 1 (14%), dan Seloka 3 (9%). Nilai IV pada tingkat
kemasakan tersebut masih tergolong rendah. Rendahnya vigor benih tersebut
dimungkinkan kondisi benih tidak sehat atau kondisi saat di lapangan kurang
mendukung terhadap perkembangan benih. Menurut Setyowati (2013) dalam
penelitiannya pada benih cabai, nilai indeks vigor benih cabai dapat mencapai
91%. Menurut Copeland dan McDonald (1995), faktor yang mempengaruhi
menurunnya vigor benih adalah faktor genetik, lingkungan tumbuh selama fase
perkembangan benih, dan lingkungan ketika penyimpanan.

Korelasi Karakter Kuantitatif Buah dan Benih dengan Mutu Fisiologis Benih
Analisis korelasi diperlukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
suatu peubah dengan peubah lainnya (Tabel 8). Peubah-peubah yang dianalisis
pada penelitian ini adalah beberapa peubah dari karakter kuantitatif buah dan
benih dengan peubah dari mutu fisiologis benih.
Karakter kuantitatif buah dan benih, yaitu panjang buah, diameter buah,
bobot buah, jumlah benih dan bobot kering benih tidak memiliki pengaruh yang
nyata terhadap nilai IV dan DB (Tabel 8). Venudevan et al. (2013) menunjukkan
dalam penelitiannnya pada tanaman obat buah maja (Aegle marmelos), ukuran
buah memiliki pengaruh terhadap viabilitas benih. Ukuran buah yang lebih besar
(10-12 cm) memiliki nilai DB, IV, panjang akar dan tunas, dan bobot kecambah
kering lebih besar daripada buah yang berukuran sedang (8-10 cm) dan kecil (6-8
cm).
Ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh perbedaan ukuran buah baik
panjang maupun diameter buah cabai pada setiap tingkat kemasakan yang diamati
tidak signifikan, sehingga ukuran buah tidak berpengaruh terhadap nilai IV dan
DB. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap
nilai IV dan DB adalah kemasakan fisiologis pada buah dan benih tersebut yang
diindikasikan dengan warna buah.

18
Table 8 Nilai korelasi antara karakter kuantitatif buah dan benih dengan mutu fisiologis
benih pada tingkat kemasakan buah 44 HSA
Jumlah
benih

Bobot
buah

Bobot
kering
benih
0.69*
0.97**

Panjang
buah

Diameter
buah

Indeks
vigor

Daya
berkecambah

Kadar
air

Jumlah benih
0.57tn
-0.29tn
0.76*
0.14tn
0.37tn
0.09tn
tn
tn
tn
Bobot buah
0.46
0.80*
-0.09
0.21
0.83*
Bobot kering
benih
0.29tn
0.85*
0.06tn
0.22tn
0.74*
tn
tn
Panjang buah
-0.08
-0.09
-0.02tn
0.65*
Diameter buah
-0.16tn
0.03tn
0.52tn
tn
Indeks vigor
0.29
-0.08tn
Daya
berkecambah
-0.09tn
Kadar air
tn
= tidak berpengaruh nyata; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1% berdasarkan uji F; * = berpengaruh nyata pada
taraf 5% berdasarkan uji F; Tanda negatif (-) pada angka menandakan pengaruh tidak berbanding lurus dan
tanda positif (+) pada angka menandakan pengaruh yang berbanding lurus

Beberapa peubah pada karakter kuantitatif buah dan benih memiliki korelasi
satu sama lain, meskipun tidak terdapat korelasi dengan mutu fisiologis benih.
Bobot buah, bobot kering benih dan panjang buah berkorelasi positif dengan nilai
KA. Diameter buah berkorelasi positif terhadap jumlah benih, bobot buah dan
bobot kering benih. Bobot kering benih berkorelasi positif dengan jumlah benih
dan bobot buah. Korelasi tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Marcelis dan Eijer (1997) yang menyatakan bahwa ukuran buah cabai
menunjukkan korelasi yang positif dengan jumlah biji. Selain penelitian pada
cabai, bobot buah pada tanaman dari famili Genisteae (Lopez et al. 2000) dan
pada buah semangka merah (Citrullus lanatus) (Kortse et al. 2012) memiliki
korelasi positif terhadap jumlah benih dan bobot kering benih.

Pengaruh Kelompok Cabang Tanaman terhadap Peubah-Peubah yang
Diamati
Jumlah cabang yang terbentuk pada tanaman sangat berhubungan dengan
umur suatu tanaman. Cabang pada tanaman cabai terus bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Percabangan cabai merupakan kelipatan dua dari
cabang di bawahnya. Pertambahan cabang ini diduga memiliki pengaruh terhadap
karakter kuantitatif pembungaan, kuantitatif buah, kuantitatif benih, dan mutu
fisiologis benih (Tabel 9).
Ibrahim dan Oladiran (2011) meny