Prevalensi Buta Warna Pada Siswa/Siswi SMU di Kecamatan Medan Helvetia

(1)

PREVALENSI BUTA WARNA PADA SISWA/SISWI

SMU di KECAMATAN MEDAN HELVETIA

SKRIPSI

Oleh

Abdul Muis Situmorang

NIM : 081121057

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

Judul : Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia

Nama : Abdul Muis Situmorang NIM : 081121057

Jurusan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya seorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini kerusakan mata.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Desain penelitian adalah Deskriptif Cross Sectional. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel sebanyak 330 oranganak terdiri dari 131 orang anak berjenis kelamin laki-laki dan 199 orang anak berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Ishihara test yang berjumlah 14 plate. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian menunjukan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%),

Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%). Dan buta warna total

sebanyak 1 orang anak (0,78%). Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).

Kesimpulan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.


(4)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang atas berkat rahmat dan hidayahNya memberikan saya motivasi terbesar dalam hidup ini, serta shalawat beriring salam saya haturkan kepada junjungan umat sepanjang zaman, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabat yang memberikan tauladan terindah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Prevalensi Buta Warna Pada Siswa/Siswi SMU di Kecamatan Medan Helvetia

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapakan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Evi Karota Bukit, S.kp, M.KEP sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ikhsannuddin A. Harahap,S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes sebagai dosen pemimbing dalam pembuatan skripsi yang senantiasa meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini dan juga


(5)

memberi motivasi, semangat, dan dukungan kepada saya selama proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, MNS, selaku dosen penguji II, dan Bapak Ismayadi, S.Kep, Ns. sebagai dosen penguji III yang telah banyak memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi skripsi ini.

7. Ibu Cholina T Siregar,S.kp,Sp,KMB sebagai penasehat Akademik yang senantiasa meluangkan waktu, masukan dan saran yang berharga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini dan seluruh staf pengajar beserta staf administrasi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara dan staf yang telah memberikan surat izin penelitian ditempat yang saya tuju.

9. Bapak Kepala Sekolah SMU Negri 12 Medan dan beserta staf guru, dan Bapak Kepala Sekolah Swasta Markus Medan dan beserta staf gurunya yang telah memberikan izin penelitian skripsi ini.

10. Teristemewa kepada seluruh keluarga saya, Ayahanda dan Ibunda tercinta yang terus memberikan motivasi dan doa yang tiada henti yang begitu berarti bagi saya, dan kepada seluruh saudara-saudara saya yang tiada henti memotivasi agar segera menyelesaikan skripsi ini.

11. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan berpartisipasi dalam penelitian ini.

12. Rekan-rekan mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2008 Ekstensi yang telah memberikan semangat dan


(6)

13. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat seluruhnya disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak membantu saya baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Keperawatan USU..

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penulisan, pengetikan maupun percetakan. Karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Medan, Juni 2010 Penulis

(Abdul Muis Situmorang)


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

PRAKATA ………... iii

DAFTAR ISI ………... vi

DAFTAR TABEL ………... viii

DAFTAR SKEMA ………... ix

ABSTRAK ………... x

BAB 1. PENDAHULUAN ………... 1

1. Latar Belakang ………... 1

2. Tujuan Penelitian ………... 4

3. Pertanyaan Penelitian ………... 3

4. Manfaat Penelitian ………... 3

4.1. Praktek Keperawatan ………... 3

4.2. Pendidikan Keperawatan ………... 4

4.3. Penelitian ………... 4

BAB 2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ………... 5

1. Definisi ………... 5

2. Klasifikasi Defek Penglihatan Warna ... 6

2.1. Defek Warna Yang di dapat ... 6

2.2. Defek Warna Yang Diturunkan ... 7

2.2.1. Monokromat ... 7

2.2.2. Dikromat ... 8

2.2.3. Anomali Trikromat ... 9


(8)

4. Mekanisme Melihat tiga warna (Tree Colour Mechanism)... 13

4.1. Proses Pengenalan Cahaya ... 13

4.2. Sensitivitas spektrum warna pada sel kerucut ... 13

4.3. Interpretasi warna oleh sistem saraf ... 13

4.4. Persepsi cahaya putih ... 14

5. Diagnosis Defek Penglihatan Warna ... 14

BAB 3. KERANGKA KONSEP PENELITIAN ……... 16

1. Kerangka Konsep ………... 16

2. Definisi Operasional ………... 17

2.1. Siswa-Siswi SMU ... 17

2.2. Ishihara Test ... 17

2.3. Buta Warna ... 17

2.3.1. Buta Warna Merah ... 17

2.3.2. Buta Warna Hijau ... 17

2.3.3. Buta Warna Merah Hijau ... 18

2.3.4. Buta Warna Total ... 18

BAB 4. METODE PENELITIAN ………... 19

1. Desain Penelitian ………... 19

2. Populasi dan Sampel ………... 19

2.1. Populasi ………... 19

2.2. Sampel ………... 19

3. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ………... 19

4. Pertimbangan Etik ………... 20

5. Instrumen Penelitian ………... 21

6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ………... 22

7. Pengumpulan Data ………... 22


(9)

BAB 5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……... 24

1. Hasil Penelitian ………... 24

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ………... 24

1.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna ... 25

1.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin ... 26

2. Pembahasan ... 27

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……... 30

1. Kesimpulan ………... 30

2. Rekomendasi ………... 30

2.1. Pendidikan Keperawatan ………... 30

2.2. Praktek Keperawatan ………... 31

2.3. Penelitian Keperawatan ………... 31

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Inform Consent

2. Jadwal Tentatif Penelitian 3. Taksasi Dana

4. Instrumen Penelitian 5. Hasil Analisa Data 6. Surat Izin Penelitian 7. Daftar Riwayat Hidup


(10)

DAFTAR SKEMA


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Persamaan nama klasifikasi defek penglihatan warna……. 10 Tabel 2 Karakteristik subjek penelitian ...…... 24

Tabel 3 Distribusi defek penglihatan warna ……….... 26


(12)

Judul : Prevalensi Buta Warna Pada Siswa-Siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia

Nama : Abdul Muis Situmorang NIM : 081121057

Jurusan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya seorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini kerusakan mata.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Desain penelitian adalah Deskriptif Cross Sectional. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Sampel sebanyak 330 oranganak terdiri dari 131 orang anak berjenis kelamin laki-laki dan 199 orang anak berjenis kelamin perempuan. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Ishihara test yang berjumlah 14 plate. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.

Hasil penelitian menunjukan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%),

Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%). Dan buta warna total

sebanyak 1 orang anak (0,78%). Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).

Kesimpulan dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Biasanya seseorang buta warna akan merasa penglihatannya telah betul. Adalah sangat tepat bila seseorang dengan buta warna disebut sebagai cacat atau lemah warna, karena seseorang dengan buta warna masih dapat mengenal warna. Cacat penglihatan yang paling dikenal adalah buta warna bawaan (kongenital). Cacat penglihatan warna dapat juga didapatkan, yang kadang-kadang merupakan gejala dini kerusakan mata. (Ilyas,2004).

Gangguan penglihatan mata herediter, seperti buta warna mempengaruhi sejumlah signifikan orang, proporsi yang pasti jumlahnya bervariasi. Di Australia yang terjadi pada 8% laki-laki dan 0,4% wanita. Komunitas yang terisolasi dengan populasi gen yang terbatas, biasanya memiliki prevalensi yang cukup tinggi, contohnya di pedesaan Finlandia, Hongaria, dan Skotlandia. Di Amerika serikat sekitar 7% dari populasi laki-laki, atau sekitar 10,5 juta laki-laki dan 0,4% populasi wanita tidak bisa membedakan antar warna merah dan hijau. Jarang dilaporkan laki-laki ataupun wanita mengalami buta warna biru.(Richard,1995).

Hasil studi populasi terhadap defek penglihatan warna atau buta warna pada anak umur 12-14 di Teheran melaporkan, dari total 2058 siswa yang terdiri dari 1136 laki-laki dan 922 perempuan mendapatkan 97 anak yang mengalami defek penglihatan warna yang terdiri dari 93 laki-laki dan 4 anak perempuan. Siswa


(14)

yang mengalami defek penglihatan warna di periksa menggunakan Ishihara

pseudoisochromatic color plates, tidak terdapat riwayat penyakit sistemik,

penyakit mata, dan riwayat penggunaan obat yang kronis, pada pemeriksaan mata didapatkan visus 20/20 (emmetropia) dan tidak tampak kelainan fundus. (.Modarres,1996).

Abnormalitas penglihatan warna tidak banyak mempengaruhi kehidupan awal manusia seperti pada masa kanak-kanak, karena tidak disertai oleh kelainan tajam penglihatan , abnormalitas penglihatan warna mulai mempengaruhi ketika anak dihadapkan pada persyaratan untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna menjadi salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis,dan lain-lain. Oleh karena hal tersebut, identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan untuk membimbing anak dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak. (Ilyas,2004).

Dengan mengetahui genetik sebagai salah satu penyebabnya, kita dapat mencegah peningkatan kasus buta warna seperti misalnya dengan melakukan konseling pranikah. Tidak terbukti bahwa penderita defek penglihatan warna dapat melihat pada keadaan gelap karena tidak terbukti sel batang akan menggantikan posisi sel kerucut yang hilang. Kejadian Buta Warna meningkat pada pool genetik dengan perkawinan diantara satu komunitas terisolir. Hal ini berpeluang untuk terjadinya peningkatan prevalensi penderita buta warna yang memiliki kecenderungan herediter. Prevalensi Buta Warna menunjukkan jumlah penderita buta warna dalam satu populasi dalam satu periode tertentu. (Daniel,2002).


(15)

Sebab buta warna atau dikenal cacat penglihatan warna kongenital bersifat tetap, terdapat sejak lahir, dan biasanya mengenai sama pada kedua mata .Sedangkan sebab buta warna yang didapat yaitu tidak terlihat waktu lahir,biasanya berjalan progresif, dan mengenai satu mata lebih dari mata sebelahnya.(Ilyas,2004).

Dari data latar belakang masalah diatas tersebut,maka peneliti tertarik meneliti prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia.

2. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah berapakah prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia

4. Manfaat Penelitian 4.1. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi Sekolah Menengah Atas agar siswa dapat mengetahui apakah terdapat beberapa aspek buta warna yang akan mengakibatkan gangguan pada kegiatan tertentu di tempat


(16)

tertentu dan untuk mengetahui adanya kelainan cacat penglihatan warna bawaan atau didapat.

4.2. Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar penelitian berikutnya terutama yang menyangkut prevalensi defek penglihatan warna pada siswa-siswi SMA.

4.3. Pendidikan Keperawatan

Dengan diketahuinya prevalensi atau tingkat perkembangan defek penglihatan warna pada siswa-siswi SMA, dapat digunakan sebagai masukan evaluasi bagi pendidikan keperawatan, selain itu dapat juga di gunakan sebagai data dasar bagi institusi pendidikan dan pelayanan yang telah berkerja sama untuk berbagai pengalaman pada mahasiswa dan perawat pendidikan.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Defek penglihatan warna atau yang lebih dikenal dengan buta warna adalah gangguan penglihatan warna, ketidakmampuan untuk membedakan warna yang orang normal mampu untuk membedakannya. Seseorang dapat melihat normal apabila fungsi organ mata (makula dan saraf optik) normal, terdapat cukup cahaya yang dipantulkan ke mata dan sistem penghantaran impuls melalui saraf normal (Guyton & Hall,1997).

Retina sebagai salah satu bagian dari mata berperan di dalam proses ini merupakan bagian yang peka terdapat cahaya, pada retina orang normal mengandung dua jenis sel yang sensitif terhadap cahaya, yaitu sel batang yang aktif pada cahaya gelap dan sel kerucut yang aktif pada cahaya terang. Ketika sel batang dan sel kerucut dirangsang oleh cahaya, sinyal tersebut akan ditransmisikan melalui neuron yang terkait melalui serat saraf optik menuju korteks serebral. Normalnya ada tiga jenis sel kerucut yang masing-masing mengandung pigmen yang berbeda-beda. Sel kerucut aktif ketika menyerap cahaya, spektrum penyerapan cahayanya berbeda-beda. Sel kerucut yang pertama cukup sensitif pada gelombang pendek (short wavelengths), yang kedua pada gelombang medium (medium wavelengths), yang ketiga pada gelombang yang panjang (long wavelengths), (sensitivitas puncak pada warna biru, kuning kehijauan dan merah) . Sensitivitas penglihatan warna normal tergantung dari


(18)

spektrum cahaya yang lebih banyak diserap dari ketiga sistem (merah hijau biru), perbedaan warna yang terlihat tergantung dari tipe sel kerucut yang distimulasi dan luasnya . Orang dengan defek penglihatan warna, mengalami kehilangan satu sel kerucut atau sel kerucut memiliki puncak absorbsi yang berbeda dari normal (Vaughan,1999).

2. Klasifikasi Defek Penglihatan Warna

Banyak klasifikasi untuk defek penglihatan warna yang ada, para ahli ada yang mengklasifikasikan defek penglihatan warna menjadi buta warna total, buta warna parsial, buta warna merah-hijau (penderita tidak dapat membedakan warna merah dan hijau) dan buta warna biru kuning (penderita tidak dapat membedakan warna biru dan kuning), dalam penulisan penelitian ini digunakan klasifikasi berdasarkan penyebabnya dengan penjelasan beberapa istilah yang dibuat di bawah ini (Vaughan,1999).

Berdasarkan etiologi atau penyebabnya defek penglihatan warna diklasifikasikan menjadi :

2.1. Defek Warna yang didapat

Defek warna yang didapat lebih sering dari varian biru-hijau, dan mengenai pria dan wanita sama seringnya, defek ini mengenai salah satu mata lebih dari yang lain biasanya bervariasi tipe dan keparahannya, yang bergantung dari letak dan sumber patologi ocular melalui oftalmoskopis.


(19)

2.2. Defek Warna yang diturunkan

Defek warna kongenital herediter hampir selalu merah-hijau (red-green deficiency), defek ini mengenai 2 mata dengan tingkat keparahan yang sama.

Sebagian besar defek warna congenital bersifat resesif terkait X, serta tipe keparahannya konstan seumur hidup. Ada 3 tipe buta warna yang diturunkan, yakni : monokromat, dikromat, dan anomali trikromat.

2.2.1. Monokromat

Biasa disebut buta warna total yang disebabkan oleh kerusakan atau kehilangan sel kerucut (tipe S, L, M), dua dari tiga pigmen warna hilang. Terdapat dua bentuk monokromatisme, walaupun penderitanya tidak memiliki diskriminasi warna sama sekali dengan kata lain hanya mampu membedakan tingkat kecerahan, akantetapi adalah dua entitas yang berbeda. Rod

monochromacy (Monokromatisme Batang), yakni biasa disebut achromatopsia

retina tidak mengandung sel kerucut sama sekali. Tidak adanya sel kerucut menyebabkan gejala-gejala seperti penurunan ketajaman penglihatan, tidak adanya penglihatan warna, dan nistagmus. Kelainan ini diperlihatkan secara jelas oleh elektroretinogram fotopik. Cone Monochromacy, pada keadaan ini penderita memiliki fotoreseptor kerucut, tetapi semua sel kerucut mengandung pigmen penglihatan yang sama. Penderita tidak memiliki diskriminasi corak warna tetapi ketajaman penglihatan yang normal dan tidak terdapat fotophobia atau nistagmus.


(20)

2.2.2. Dikromat

Dikromat adalah orang-orang yang fotoreseptor kerucutnya hanya mengandung dua dari tiga fotopigmen kerucut. Dikromat juga merupakan kelainan buta warna tingkat moderate. Kelainan ini meliputi Protanopia, penderita kehilangan sensitivitas sel kerucut terhadap gelombang panjang (long

wavelength/L-cones), mereka tidak bisa membedakan warna merah, oranye, dan

kuning. Nuetral point berada pada panjang gelombang 492 nm (titik dimana penderita tidak bisa membedakan warna ini dengan warna putih). Penderita hanya melihat satu warna yang mendekati warna kuning. Oranye yang merupakan gabungan warna primer merah dan kuning hanya terlihat kuning oleh penderita. Warna merah dibingungkan dengan warna hitam atau abu-abu tua. Bunga warna merah muda yang merupakan kombinasi warna merah dan biru, terlihat hanya berwarna biru oleh penderita, demikian halnya dengan warna sekunder lain seperti ungu yang merupakan gabungan warna primer merah dan biru, hanya terlihat biru oleh penderita dan lampu lalu lintas yang berwarna

merah dilihat padam oleh penderita,

oleh penderita.Seorang protanopia belajar membedakan warna merah dari hijau dan kuning dari tigkat keterangan dan kecerahannya, bukan dari persepsi perbedaan warnanya. Hal ini dialami 1 dari 100 laki-laki. Deuteranopia (1% dari laki-laki), kekurangan sensitivitas sel kerucut terhadap gelombang medium

(medium wavelength/M-cones), juga dikenal sebagi Daltonism. Kelainannya

menyerupai pada protanope. Neutal point berada pada 498 nm, sehingga warna yang memiliki panjang gelombang besar, lebih sulit dibedakan dengan warna


(21)

putih. Warna hijau, kuning dan merah sulit dinilai karena dilihat sama menyerupai warna merah, warna hijau gelap dilihat hitam, sedangkan warna violet, ungu dan biru terlihat sama oleh penderita. Warna hijau terlihat abu-abu oleh penderita. Pada defek penglihatan warna ini, intensitas cahayanya tidak mengalami perubahan. Tritanopia (kurang dari 1% laki-laki). Berkurangnya sel kerucut yang sensitive terhadap panjang gelombang pendek (Short

wavelength/S-cones), sehingga penderita tidak bisa membedakan antara warna biru dan kuning.

2.2.3. Anomali Trikromat

Merupakan defisit penglihatan warna yang sering dijumpai. Terdiri dari Protanomaly (1 % laki-laki dan 0.01% wanita), penderita kurang sensitive terhadap warna merah. Deuteranomaly (lebih umum pada 6 % laki-laki, 0.4 % wanita) penderita lemah terhadap warna hijau, warna hijau tua diasumsikan sebagai warna hitam. Tritanomaly (kejadiannya jarang pada laki-laki dan wanita). Dua pigmen warna normal akantetapi anomaly pigmen berada dekat dengan pigmen normal, penderita dapat melihat tiga warna (trichromacy) tapi tidak mampu untuk membedakan warna. Pada penderita protanomaly tidak ada spectrum warna yang terlihat abu-abu, warna yang terlihat abu-abu oleh protanope terlihat keabu-abuan oleh penderita protanomaly, sedangkan warna yang terlihat abu-abu oleh deuteranope sulit dibedakan oleh penderita protanomaly.

Individu-individu ini memerlukan tiga warna primer untuk mencocokkan suatu warna yang tidak diketahui tidak seperti orang trikromat normal. Masing-masih trikromat anomaly memiliki defek yang analog dengan kelainan dikromat.


(22)

Pada penelitian ini protanomaly diartikan sebagai lemah warna merah, sedangkan deuteranomaly diartikan sebagai lemah warna hijau, bila keadaan protanomaly, deuteranomaly, protanopia dan deuteranopia terjadi bersama-sama disebut sebagai buta warna merah-hijau (red-green deficiency) (Vaughan, 1999).

Tabel 1. Persamaan nama klasifikasi defek penglihatan warna

Tipe sel kerucut

Nama generic kelainan

Nama Anomali trikromasi

Nama Dikromasi

L-cone Protan Protanomaly Protanopia

M-cone Deutan Deuteranomaly Deuteranopia

S-cone Tritan - Tritanopia

3. Etiopatogenesis Defek Penglihatan Warna

Banyak tipe dari buta warna, tipe yang paling sering adalah buta warna merah-hijau yang bersifat herediter/genetik karena kerusakan pada photoreseptor oleh karena kehilangan gen pembentuk pigmen warna atau gen tersebut gagal bekerja. Seseorang tidak mampu membedakan warna ketika kehilangan gen ini yang bisa saja terjadi pada salah satu kelompok pigmen sel kerucut (warna hijau, kuning, oranye dan merah), warna – warna ini memiliki panjang gelombang antara 525–675 nanometer bisa dibedakan apabila memiliki pigmen warna merah dan hijau, ketika salah satunya hilang, orang ini tidak akan dapat membedakan keempat warna tersebut.


(23)

Pada laki-laki, gen yang membentuk protein opsin yang bergabung dengan retinol dalam penentuan pigmen warna biru berada pada kromosom 3, sedangkan gen penentu untuk pigmen merah hijau terletak pada lengan panjang kromosom X . Pada penglihatan warna normal pada kromosom X banyak ditemukan gen yang terkait dengan pigmen warna, oleh karena itu jarang ditemukan penderita perempuan, karena paling tidak satu dari dua kromosom X nya merupakan gen normal untuk masing-masing sel kerucut.

Buta warna yang didapat bisa karena pengaruh dari kerusakan retina, saraf optik, dan daerah otak bagian atas (cranial) karena daerah otak bagian atas memiliki peran dalam identifikasi warna yang meliputi “parvocellular pathway” dari nuklei lateral geniculate dari talamus, visual area V4 dari korteks penglihatan. Buta warna yang didapat tidak sama dengan buta warna karena pengaruh genetik. Misalnya sangat mungkin mengalami buta warna pada satu porsi dari daerah penglihatan warna namun daerah lainnya berfungsi normal. Penurunan penglihatan warna merupakan indikator sensitif untuk beberapa bentuk dari kelainan makula yang didapat atau penyakit saraf , seperti pada optik neuritis atau tekanan saraf optik oleh karena adanya massa, kelainan penglihatan warna lebih awal muncul dibanding penurunan tajam penglihatan. Usia juga berpengaruh terhadap kejadian buta warna, kejadian buta warna meningkat pada penderita alzheimer.Tidak ada pengaruh neuroendokrin pada kelainan buta warna ini.

Jenis yang berbeda dari buta warna yang diturunkan terjadi oleh karena kehilangan fungsi sistem sel kerucut secara parsial atau komplit. Ketika satu


(24)

sistem sel kerucut yang terkena, akan terjadi buta warna dichromacy. Bentuk yang paling sering dari buta warna terjadi oleh karena masalah pada sistem sel kerucut yang sensitif terhadap gelombang cahaya sedang dan panjang sehingga nantinya sulit untuk membedakan warna merah, kuning, hijau. Kelainan ini disebut buta warna merah-hijau. Bentuk buta warna yang lainnya jarang ditemukan, dan bentuk yang paling jarang terjadi adalah buta warna komplit atau buta warna monochromacy, dimana seseorang tidak bisa membedakan warna dari warna abu-abu, serperti yang terlihat dalam siaran televisi hitam putih.

Penyakit genetik buta warna merah-hijau lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan, karena gen yamg mengkodekan pigmen merah dan hijau berada pada lengan panjang kromosom X, dimana laki-laki hanya punya satu dan wanita memiliki dua (XX). Wanita yang memiliki genotipe 46 XX akan menjadi buta warna, apabila kedua kromosom X mengalami kelainan, sedangkan pada laki-laki 46 XY, akan terjadi buta warna bila satu kromosom X nya mengalami kelainan.

Gen yang mengkode pigmen merah-hijau diturunkan dari laki-laki yang buta warna kepada semua anak perempuan mereka yang heterozigot carrier , dan wanita carrier berkesempatan menurunkan sifat buta warna 50% kepada anak laki-laki mereka. Jika seorang laki-laki buta warna menikah dengan wanita carrier buta warna, anak perempuan mereka kemungkinan akan lahir dengan buta warna (Vaughan,1999).


(25)

4. Mekanisme melihat tiga warna (Tricolor mechanism) 4.1. Proses pengenalan cahaya

Setelah cahaya melewati lensa mata kemudian melewati vitreous humor kemudian masuk ke dalam retina dari dalam ke arah luar. Yang pertama melewati sel ganglion, lalu melewati lapisan plexiform (plexiform layer), lapisan inti (nuclear layer) dan limiting membran, sebelum akhirnya menuju sel batang dan sel kerucut. Pigmen warna pada sel kerucut memiliki komposisi kimia yang sama dengan rhodopsin didalam sel batang, perbedaannya hanya terletak pada protein yang diberi nama photopsin yang berbeda dengan scotopsin pada sel batang. Tiga pigmen warna yang berbeda berada pada sel kerucut yang berbeda, yang membuat sel kerucut sensitif pada warna tertentu, pigmen warna ini dinamakan (blue-sensitif pigment, green sensitif pigment, dan red-sensitif

pigment) yang menunjukkan puncak absorbsi pada panjang gelombang 445, 535,

570 nanometer.(Guyton & hall,1997).

4.2. Sensitivitas spektrum warna pada sel kerucut

Mata manusia bisa mendeteksi seluruh gradasi warna yang terbentuk dari kombinasi yang berbeda antara cahaya monokromatik merah, hijau, biru. Sensitivitas pada ketiga tipe sel kerucut pada manusia sama dengan kurva penyerapan cahaya dari ketiga tipe pigmen warna pada sel kerucut.(Guyton & hall,1997)

4.3. Interpretasi warna oleh sistem saraf

Orang bisa melihat cahaya oranye monokromatik dengan panjang gelombang 580 nanometer karena menstimulasi sel kerucut 99 % dari puncak


(26)

stimulasi panjang gelombang optimal, dan sinar ini juga menstimulasi sel kerucut pigmen hijau sekitar 42 % tetapi tidak seluruhnya. Jadi perbandingan stimulasi dari ketiga sel kerucut pada keadaan ini merah : hijau : biru = 99 : 42 : 0, sistem saraf menginterpretasikan perbandingan ini sebagai sensasi warna oranye. Pada keadaan lain cahaya biru monokromatik dengan panjang gelombang 450 nanometer tidak menstimulasi pigmen merah sel kerucut dan 97 % menstimulasi pigmen biru sel kerucut, hal ini memberikan perbandingan 0 : 0 : 97 yang diinterpretasikan sebagai warna biru oleh sistem saraf.(Guyton & hall,1997).

4.4. Persepsi cahaya putih

Stimulasi yang sama besarnya antara pigmen merah, hijau, biru pada sel kerucut memberikan sensasi melihat warna putih.(Guyton & hall,1997).

6. Diagnosis Defek Penglihatan Warna

Diagnosis defek penglihatan warna dibuat berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan penunjang, anamnesis yang sesuai seperti terdapat riwayat buta warna di dalam keluarga atau terdapat riwayat trauma kranial yang menyebabkan kelainan saraf atau makula. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dengan menggunakan Buku Ishihara. Pada Penelitian ini digunakan Buku Ishihara edisi 38 plate. Plate 1-25 bergambar angka (numeral) yang sebaiknya dijawab dalam waktu tidak lebih dari 3 detik, jika anak tersebut tidak mampu membaca angka, digunakan plate 26 – 38 yang diminta untuk menghubungkan menjadi garis diantara 2 ‘x’ yang harus diselesaikan dalam waktu 10 detik. Pada penelitian dilakukan tes menggunakan 38 plate atau 6 plate, yang mana plate 2,3,4,5 bisa


(27)

diwakilkan satu plate, plate 6,7,8,9 bisa diwakilkan satu plate, plate 10,11,12,13 bisa diwakilkan satu plate, demikian pula dengan plate 14,15,16,17 dan plate 18,19,20,21. Penggunaan seluruh plate (38 plate) dilakukan bila dtemukan ketidaksesuaian dengan menggunakan 6 plate tersebut.

Pembacaan plate 1-21 menentukan normal atau anak tersebut mengalami defek penglihatan warna. Jika anak tersebut mampu membaca 17 plate atau lebih dengan benar, anak tersebut memiliki penglihatan warna yang normal. Bila hanya mampu membaca 13 plate atau kurang dari 13 plate dengan benar, anak ini tergolong mengalami penurunan penglihatan warna (color vision deficiency) yang di dalam penelitian ini disebut sebagai defek penglihatan warna, keadaan ini bisa juga dilihat jika anak tersebut lebih mudah membaca plate 18,19,20,dan 21 sebagai 5,2,45,dan 73 dibandingkan dengan plate 14,10,13,17.

Buku ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan klasifikasi red-green deficiency, buta warna total, protanopia atau strong

protanomaly, protanomaly, deuteranopia atau strong deuteranomaly , dan

deuteranomaly. Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara digunakan untuk mendiagnosis defek penglihatan warna congenital, untuk mengetahui penyebab yang didapat (saraf, kelainan macula, trauma kranial) perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Vaughan, 1999).


(28)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Pada buta warna, peranan genetik lebih besar pengaruhnya dibandingkan peranan lingkungan (biologis, fisik, sosial), tidak ada penyebab langsung yang berperan dalam buta warna, karena buta warna bukan penyakit infeksi. Peranan lingkungan biologis menggambarkan kelainan buta warna yang didapat.

Pada penelitian prevalensi buta warna ini, tes yang dilakukan pada setiap anak, kemudian hasil tes dikonfirmasi dengan lembaran keterangan diagnosis buta warna (dilampirkan) untuk memudahkan dalam melakukan klasifikasi jenis defek penglihatan warna yang diderita.

Skema 1. Kerangka konseptual penelitian

Siswa-Siswi SMU

Ishihara Test

Klasifikasi Jenis Buta Warna:

1. Buta Warna Merah (protanopia) 2. Buta Warna Hijau (deuteranopia) 3. Buta Warna Merah-hijau(red-gren

deficiencieney)


(29)

2. Definisi Operasional 2.1. Siswa-Siswi SMU

Yang dimaksud siswa-siswi SMU dalam penelitian ini adalah siswa-siswi yang diambil dari kelas 3 IPA dan IPS SMU di Kecamatan Medan Helvetia, yang usianya berkisar antara 15-18 tahun.

2.2. Ishihara Test

Ishihara test yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes yang terdiri dari serangkaian gambar dari titik-titik berwarna, adalah ujian yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa defisiensi warna baik buta warna merah (protanopia), buta warna hijau (deutranopia), buta warna merah-hijau, maupun buta warna total.

2.3. Buta Warna

2.3.1. Buta Warna Merah (protanopia)

Klasifikasi buta warna merah (protanopia), dengan diagnosis dibuat berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan, dimana pada plate 1-14 akan terbaca 12,3,2,70,21,x,x,x,2,x,x,5(3),6(9), ungu/ ungu (merah) yang orang normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,x,35,96, dapat menelusuri kedua garis. Tanda x menunjukkan bahwa plate tidak dapat dibaca. Angka-angka dan garis-garis berliku di dalam tanda kurung menunjukkan bahwa mereka dapat membaca atau dilacak tetapi mereka relatif tidak jelas.

2.3.2. Buta Warna Hijau (deuteranopia)


(30)

14 akan terbaca 12,3,2,70,21,x,x,x,2,x,x,3(5),9(6), merah/ merah(ungu) yang orang normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri kedua garis.

2.3.3. Buta Warna Merah- hijau (red-gren deficiency)

Klasifikasi buta warna merahihijau (red-green deficiency), dengan diagnosis dibuat berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan, dimana pada plate 1-14 akan terbaca 12,x,x,x,x,x,x,x,x,x,x,-,-,x yang orang normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri kedua garis.

2.3.4. Buta Warna Total (monochromacy)

Klasifikasi buta warna merahihijau (red-green deficiency), dengan diagnosis dibuat berdasarkan tabel tes konfirmasi Ishihara yang dilampirkan, dimana pada plate 1-11 akan terbaca 12,x,x,x,x,x,x,x,x,x,x, yang orang normal membacanya 12,8,5,29,74,7,45,2,x,16,-,35,96, dapat menelusuri kedua garis.


(31)

BAB 4

METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini mengambil bentuk Deskriptif Cross Sectional yang sepenuhnya menghitung angka prevalensi kejadian buta warna pada anak SMA dikecamatan Medan Helvetia.

2. Populasi dan sampel

2.1. Populasi

Populasi di dalam penelitian ini adalah anak SMA kelas 3 saja, yang bersekolah di Kecamatan Medan Helvetia. Yang mana keseluruhan jumlah ini akan dijadikan sebagai sampel penelitian.

2.2. Sampel

Metode pengambilan sampel dengan cara teknik total sampling, dengan kriteria yang bersedia mau menjadi sampel penelitian ini.

3. Lokasi dan Tanggal waktu penelitian

Penelitian dilakukan di SMU Negeri 12 Medan, SMU Swasta Markus, Kekecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang. Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2009.


(32)

4. Pertimbangan Etik

Karena objek penelitian ini adalah manusia maka pertimbangan etik sangat penting. Penelitian ini dilakukan setelah proposal disetujui oleh institusi pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin pengumpulan data diperoleh dari kepala sekolah SMU Negeri12 MEDAN, SMU Swasta Markus Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang. Peneliti mengakui hak-hak responden dalam menyatakan kesediaan untuk dijadikan objek penelitian. Lembar persetujuan (informed concent) ditandatangani berdasarkan keinginan objek penelitian. Peneliti akan menjelaskan tujuan, sifat dan manfaat penelitian. Kerahasian informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti(Nursalam, 2003).Untuk menjaga kerahasiaan maka lembar observasi atau kuisioner yang diberikan akan diberi kode tertentu tanpa nama dan hanya peneliti yang mempunyai akses terhadap informasi tersebut.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk lembar observasi kuisioner. Bagian pertama instrument penelitian tentang pengumpulan data demografi anak sekolah yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama dan suku responden.

Bagian kedua tentang kebiasaan atau prilaku sehari-hari anak sekolah yang meliputi: Belajar di rumah saat sore hari atau malam hari, saat belajar memakai


(33)

alat bantu penerangan lampu listrik atau lampum minyak tanah, apakah adik pernah memakai kacamata, berapa kali makan dalam sehari, kebiasaan makan sayur dan kebiasaan menonton televisi (berapa lama jam/ hari).

5.1. Alat dan Cara Pengumpulan Data

5.1.1. Alat

Alat ukur yang digunakan secara umum adalah dengan lembaran observasi (kuisioner) yang diisi oleh peneliti berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh residen mata di Kecamatan Medan Helvetia

5.1.2. Cara Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan mengisi lembaran observasi oleh peneliti dengan di bantu oleh seorang asistennya. Anak-anak yang memenuhi kriteria, diminta kesediaannya untuk dijadikan subjek penelitian. Setelah anak tersebut menjawab pertanyaan kuisioner data demografi, kemudian anak tersebut diminta untuk membaca angka-anaka pada buku Isihara (Plate Isihara), untuk masing-masing plate ditampilkan selama 3 detik. Jika anak tersebut mengalami kesulitan atau salah dalam membaca angka yang tertera pada plate, dicatat dalam lembaran diagnosa buta warna (dilampirkan), setelah itu peneliti akan mengolah dan mengklasifikasikan kelainan penglihatan warna tersebut.


(34)

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau mampu mengukur apa yang diinginkan dan memiliki validitas tinggi. Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran validitas tersebut (Arikunto, 2006).

Instrumen yang reliable akan dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya atau benar sesuai kenyataannya sehingga walaupun data diambil berulang-ulang, hasilnya akan tetap sama.

Uji reliabilitas pada instrumen penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16 untuk analisis cronbach alpha terhadap 30 orang dengan hasil koefisien reliabilitas untuk Ishihara test yaitu 0,735. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2006), bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0,600.

7. Prosedur pengambilan dan pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi Pendidikan (Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU). 2. Mengirimkan permohonan izin yang di peroleh ke kepala dinas pendidikan


(35)

3. Mengirimkan permohonan izin yang di peroleh dari kepala dinas pendidikan ke tempat penelitian (SMU Negeri12 MEDAN, SMU Swasta Markus Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang).

4. Setelah mendapat izin dari SMU Negeri 12 MEDAN, SMU Swasta Markus, Kecamatan Medan Helvetia, Kabupaten Deli Serdang, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

5. Menjelaskan pada anak sekolah yang calon sampel tentang tujuan, menfaat dan proses pengisian kuesioner.

6. Anak sekolah yang bersedia diminta untuk mendatangani informed

consent(surat persetujuan) sebagai tanda persetujuan menjadi sampel

penelitian.

7. Setelah diisi, lembaran observasi (kuesioner) dikumpulkan kembali oleh peneliti dan diperiksa kelengkapannya.

8. Analisa data

Semua data yang terkumpul, maka analisa data akan dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain tahap pertama editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisa, tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer, tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dientry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.


(36)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari 330 subjek penelitian didapatkan 131 anak laki-laki (39,7%) dan 199 anak perempuan (60,3%).

Menurut usia subjek penelitian, didapatkan 1 orang anak usia 15 tahun (0,3%), 42 orang anak usia 16 tahun (12,7%), 254 orang anak usia 17 tahun (77%), dan 33 orang anak usia 18 tahun (10%) dengan M = 16,97, SD = 0,489, Min-Max = 15-18. Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik Subjek Penelitian Frekuensi Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 131 39,7

Perempuan 199 60,3

Usia


(37)

Tabel 2 (lanjutan)

Karakteristik Subjek Penelitian Frekuensi Persentase (%)

16 Tahun 42 12,7

17 Tahun 254 77,0

18 Tahun 33 10,0

(M = 16,97, SD = 0,489, Min-Max = 15-18)

Riwayat Keluarga Buta warna

Tidak ada 245 74,3

Ada 4 1,2

Tidak tahu 81 24,5

1.2. Distribusi Defek Penglihatan Warna

Dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.

Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%), Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%). Dan buta warna total sebanyak 1 orang anak (0,78%). Seperti tampak jelas pada table 3 berikut.


(38)

Tabel 3 Distribusi defek penglihatan warna

Defek Penglihatan Warna Frekuensi Prosentase (%)

Deuteranopia 74 57,36

Protanopia 33 25,58

Red-Green Deficiency 21 16,28

Buta Warna Total 1 0,78

Total 129 100

1.2.1. Distribusi Defek Penglihatan Warna Menurut Jenis Kelamin

Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%). Dari 53 orang anak laki-laki yang mengalami buta warna diantaranya: Deuteranopia terjadi pada 25 orang anak laki-laki (19%), dan 49 pada anak perempuan (24%), Protanopia terjadi pada 16 orang anak laki-laki (12%), dan 17 orang anak perempuan (8,5%), Red-green deficiency terjadi pada 11 anak laki-laki (8,3%), dan 10 anak perempuan (5%), dan buta warna total terjadi pada 1 orang anak laki-laki (0,8%), dan 0 pada anak perempuan (0%). Selanjutnya secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.


(39)

Tabel 4. Distribusi defek penglihatan warna menurut jenis kelamin

Defek Penglihatan Warna

Jenis Kelamin

Laki-Laki (%) Perempuan (%)

Deuteranopia 25 (19%) 49 (24%)

Protanopia 16 (12%) 17 (8,5%)

Red-Green Deficiency 11 (8,3%) 10 (5%)

Buta Warna Total 1 (0,8%) 0 (0%)

Total 53(40,1%) 76(37,5%)

2. Pembahasan

Pemilihan subjek penelitian yang diambil dari kelas 3 IPA dan IPS SMU di Kecamatan Medan Helvetia, yang usianya berkis arantara 15-18 tahun dikarenakan dari kemampuan membaca serta pengenalan huruf dan angka, dimana anak dalam usia tersebut diasumsikan mampu untuk membaca dan mengenal huruf yang digunakan dalam tes defek penglihatan warna. Usia subjek penelitian ini didominasi oleh usia 17 tahun (77%, n = 254).

Dari hasil penelitian ini jumlah distribusi defek penglihatan pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah anak perempuan, yaitu terdapat didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%) dan 76 anak perempuan (37,5%). Defek


(40)

ada di Australia misalnya, terjadi pada sekitar 8 persen laki-laki dan hanya sekitar 0,4 persen dari perempuan. Di Amerika Serikat, sekitar 7 persen dari penduduk laki-laki atau sekitar 10,5 juta orang dan 0,4 persen dari populasi wanita baik tidak dapat membedakan warna merah, warna hijau, atau melihat merah- hijau (Howard Hughes Medical Institute, 2006).

Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan US Census Bureau (2004) prevalensi buta warna di Mongolia sampai dengan 35,76%, 37,93% di Mongolia dan 38,97% di Kongo Brazzaville. Pada penelitian ini, dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna. Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna, Deuteranopia merupakan defek penglihatan warna yang mendominasi defek penglihatan warna yaitu sebanyak 74 orang anak (57,36%). Namun, hal ini tidak sesuai dengan data yang diperoleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007) yang menyatakan bahwa prevalensi nasional buta warna adalah 0,7% (berdasarkan keluhan responden). Sebanyak 6 provinsi mempunyai prevalensi buta warna diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Prevalensi buta warna di Indonesia sebesar 7,4‰, tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (24,3‰) yang diikuti berturut-turut oleh Provinsi Kep. Riau (21,5‰), Sumatera Barat (19,0‰), Gorontalo (15,9‰), Nanggroe Aceh Darussalam (15,2‰). Prevalensi terendah terdapat di Sumatera Utara(1,5‰).


(41)

anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan hal ini sesuai dengan data prevalensi buta warna merah di Dunia yaitua terjadi 1% pada laki-laki dan 0,01% pada wanita (Wikipedia.org, 2009).

Pada penelitian ini tedapat 19 % anak laki-laki yang mengalami buta warna hijau dan terdapat 24% pada wanita. Hal ini tidak sesuai dengan data prevalensi buta warna hijau (Deutranopia) di Dunia yaitu terjadi 1% pada laki-laki dan 0,4% pada wanita (Wikipedia .org, 2009).

Pada penelitian ini terdapat 8,3% anak laki-laki yang mengalami buta warna merah-hijau (Red green deficiency) dan 5% pada anak perempuan. Hal ini Sesuai dengan penelitian Balasundaran & Reddy (2006) yang menemukan angka kejadian buta warna merah-hijau (Red green deficiency) dari 1214 sampel penelitian terdapat 4,8% pada laki-laki dan 0,2% pada wanita. Hal ini menunjukan bahwa angka kejadian butawarna merah-hijau (Red green deficiency) didominasi oleh responden berjenis kelamin laki-laki.


(42)

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Dari 330 subjek penelitian terdapat 129 (39,09%) orang anak yang mengalami defek penglihatan warna.

Dari 129 orang anak yang mengalami defek penglihatan warna diantaranya didapatkan Deuteranopia sebanyak 74 orang anak (57,36%). Protanopia sebanyak 33 orang anak (25,58%), Red-green deficiency sebanyak 21 orang anak (16,28%).

Berdasarkan Jenis Kelamin dari 129 anak dengan defek penglihatan warna didapatkan 53 anak laki-laki (40,1%), dan perempuan 76 anak (37,5%).

2. Rekomendasi

2.1. Pendidikan Keperawatan

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia. Terjadi sampai dengan 39,09% (129 orang anak dari 330 subjek penelitian). Oleh karena itu, data prevalensi buta warna ini dapat juga dijadikan sebagai bahan pengajaran tambahan di mata kuliah medikal bedah untuk menambah pengetahuan peserta didik keperawatan dalam mengidentifikasi gangguan defek penglihatan warna.


(43)

2.2. Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini memperoleh bukti bahwa prevalensi buta warna pada siswa-siswi SMA di Kecamatan Medan Helvetia sangat tinggi sehingga perlu dilakukan perawatan-perawatn yang berkaitan dengan masalah deficiency warna. sehingga dapat menanbah variasi dan intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien, khususnya pasien yang mengalami buta warna.

2.3. Penelitian Keperawatan

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki keterbatasan- keterbatasan, sehingga untuk peneliti yang akan datang peneliti mengharapkan: 1) Jumlah subjek penelitian yang kecil dan terbatas, sehingga kurang mewakili gambaran populasi yang sebenarnya, 2) Data kuisioner yang tidak lengkap, sehingga kurang memberikan gambaran sebenarnya pada keadaan populasi, 3) Tidak dilakukan uji validitas pada instrument penelitian sehingga data yang diperoleh kurang memberikan gambaran sebenarnya pada populasi, 4) Pengambilan data melalui quisioner hendaknya disertai pertanyaan yang lebih spesifik dan dengan disertai wawancara yang lebih mendalam serta alangkah baiknya pemeriksaan dilakukan atau dilihat sendiri pelaksanaan oleh peneliti dan semua kuisioner diisi oleh peneliti, 5) Sebelum pengambilan data hendaknya dilakukan penyamaan persepsi dari maksud pertanyaan kuisioner, sehingga memudahkan dalam pengolahan dat, 6) Untuk mendapatkan hasil yang baik,


(44)

penelitian lebih lanjut, dimana jumlah subjek penelitian yang lebih banyak dan di tempat yang berbeda untuk memperkaya data prevalensi kasus buta warna, 7) Faktor trauma pada retina misalnya akibat kecelakaan dapat menyebabkan defek penglihatan warna, sehingga perlu ditanyakan tentang riwayat tersebut, sehingga dapat diketahui jumlah dari penyebab yang idiopatik selain dari penyebab herediter, 8) Perlu dilakukann penelitian lebih lanjut untuk meneliti keterkaitan defisiensi vitamin A terhadap kejadian buta warna, untuk melanjutkan data kecenderungan kasus defek penglihatan warna terjadi pada anak yang memiliki status gizi yang kurang, 9) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah letak geografis mempengaruhi kecenderungan terjadinya jenis defek penglihatan warna tertentu.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Balasundaram R & Reddy SC. (2006). PREVALENCE OF COLOUR VISION DEFICIENCY AMONG MEDICAL STUDENTS AND HEALTH

PERSONNEL. Diambil tanggal 16 april 2010 dari:

Fernandes, Costa Marcelo et al. (2007). Red-Green Color Vision Impairment in Duchenne Muscular Dystrophy. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:

Fluck, Daniel. (2009) 28 Maret 2010 dari: http://www.colblindor.com/2009/01/30/red-green-color-blindness-doesnt-exist/.

GUYTON,A.C & HALL, J.E (1997) Human Phsygology and Mechanism od

Diases, Philadelphia Elsevier Sauders.

ILYAS,SIDARTA (2004) Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Indonesia,Jakarta

ISHIHARA,SHINOBU. The Series of Plates Designed as a test for colour

Deficiency. 14 Plates Edition.Kanehara Trading Inc.Tokyo Japan

LIPKIN, RICHARD (1995) Documen View (News) : Additional Genesmay Affect Color Vision. Science News. Washinton. Available from :

M. MODARRES, M. MIRSAMADI, & G.A PEYMAN. Prevalence of congenital color deficience in secondary school student in Teheran. Int Ophthalmal, January 1, 1996. Available from: hhtp://www.nejim.org. Accested July 17, 2008.

NURSALAM (2001) Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta: Sagung Seto

VAUGHAN, DANIEL (1999) Lange Book Generad ophthalmolog, Edisi 15. Appleton and lange.

VAUGHAN, DANIEL (2002) Ofthalmologi Umum, Edisi 14. Widya Medika. Jakarta


(46)

_______(2004). US Census Bureau: Prevalance of Color blindness. Diambil

tanggal 16 april 2010 dari:

_______(2007). Riskesdas 2007. Diambil tanggal 28 Maret 2010 dari:

______(2007). Buta Warna. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:

______(2009). Color Blindness or Color Vision Deficiency. Diambil tanggal 12 april 2010 dari: ______(2009). KUMPULAN ARTIKEL MENGENAI BUTA WARNA. Diambil

tanggal 12 april 2010 dari:

______(2010). Buta warna. Diambil tanggal 12 april 2010 dari:


(47)

Lampiran 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini merasa tidak keberatan untuk menjadi responden dalam peneliian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara atas nama Abdul Muis Situmorang dengan judul “Prevalensi Buta Warna Pada Siswa/Siswi SMU di Kecamatan Medan Helvetia”

Dimana sebelumnya saya telah mendapatkan penjelasan akan peroses penelitian, manfaat dan tujuan penelitian serta jaminan tidak akan ada pengaruh negatif bagi diri saya selama peroses penelitian. Peneliti juga menjamin kerahasiaan identitas saya dan data-data yang didapat dari saya hanya digunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan, dan saya telah mengerti dan mengizinkan peneliti menjadikan saya sebagai responden dalam penelitiannya.

Demikianlah persetujuan ini saya buat dengan sejujurnya dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Medan,……….200…

Responden


(48)

Lampiran 3

TAKSASI DANA

PROPOSAL

− Biaya rental dan print proposal Rp. 70.000

− Biaya internet Rp. 45.000

− Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka Rp. 60.000

− Fotocopy perbanyak proposal Rp. 36.000

− CD Rp. 5.000

PENGUMPULAN DATA

− Izin penelitian Rp. 50.000

− Transportasi Rp. 150.000

− Fotocopy kuisioner dan persetujuan penelitian Rp. 30.000

ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

− Biaya rental dan print Rp. 100.000

− CD Rp. 5.000

− Penjilidan Rp. 160.000

− Fotocopy laporan penelitian Rp. 30.000

BIAYA TAK TERDUGA Rp. 100.000


(49)

Lampiran 4

INSTRUMEN PENELITIAN

I. Data Demografi

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Usia :

4. Suku :

5. Anak Ke/ dari berapa saudara :

6. Riwayat keluarga buta warna :

II. Formulir Pemeriksaan Buta Warna Nomor

(angka) pada plates

Penglihatan

normal Orang dengan Red-Green deficiency

Orang dengan buta warna total

1 12 12

2 8 X

3 5 X

4 29 X

5 74 X


(50)

7 45 X

8 2 X

9 X X

10 16 X

11 Tidak terbaca X

Protan Deutan

Strong Mild Strong Mild

12 35 5 (3) 5 3 3 (5)

13 96 6 (9) 6 9 9 (6)

14 Dapat

menelusuri kedua garis

ungu Ungu

(merah)

merah Merah

(ungu)

x

Tanda x menunjukkan bahwa pelat tidak dapat dibaca. Angka-angka dan garis-garis berliku di dalam tanda kurung menunjukkan bahwa mereka dapat membaca atau dilacak tetapi mereka relatif tidak jelas.

Diagnosis :

1. Normal : ( ) 2. Buta Warna Hijau : ( ) 3. Buta Warna Merah : ( )


(51)

Lampiran 5

HASIL ANALISA DATA

1. Analisa Data Demografi

Frequencies

Statistics

usia jeniskelamin anakke suku riwayatkeluarga observasi usia2 anakke2

N Valid 330 330 330 330 330 330 330 330

Missing 0 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.97 2.31 1.82 16.97 2.31

Std. Deviation .489 1.522 1.111 .489 1.522

Variance .239 2.318 1.233 .239 2.318

Range 3 7 4 3 7

Minimum 1 1 1 15 1

Maximum 4 8 5 18 8

Percentiles 25 3.00 1.00 1.00 17.00 1.00

50 3.00 2.00 1.00 17.00 2.00

75 3.00 3.00 3.00 17.00 3.00

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 15 1 .3 .3 .3

16 42 12.7 12.7 13.0

17 254 77.0 77.0 90.0

18 33 10.0 10.0 100.0


(52)

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 131 39.7 39.7 39.7

perempuan 199 60.3 60.3 100.0

Total 330 100.0 100.0

anakke

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 144 43.6 43.6 43.6

2 63 19.1 19.1 62.7

3 52 15.8 15.8 78.5

4 39 11.8 11.8 90.3

5 18 5.5 5.5 95.8

6 9 2.7 2.7 98.5

7 4 1.2 1.2 99.7

8 1 .3 .3 100.0


(53)

suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid batak 245 74.2 74.2 74.2

banjar 1 .3 .3 74.5

jawa 50 15.2 15.2 89.7

melayu 7 2.1 2.1 91.8

aceh 8 2.4 2.4 94.2

minang 11 3.3 3.3 97.6

nias 3 .9 .9 98.5

bali 1 .3 .3 98.8

sunda 2 .6 .6 99.4

banten 2 .6 .6 100.0

Total 330 100.0 100.0

riwayatkeluarga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada 245 74.2 74.2 74.2

ada 4 1.2 1.2 75.5

tidak tahu 81 24.5 24.5 100.0


(54)

observasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 201 60.9 60.9 60.9

2 21 6.4 6.4 67.3

3 74 22.4 22.4 89.7

4 33 10.0 10.0 99.7

5 1 .3 .3 100.0

Total 330 100.0 100.0

usia2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 15 1 .3 .3 .3

16 42 12.7 12.7 13.0

17 254 77.0 77.0 90.0

18 33 10.0 10.0 100.0


(55)

anakke2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 144 43.6 43.6 43.6

2 63 19.1 19.1 62.7

3 52 15.8 15.8 78.5

4 39 11.8 11.8 90.3

5 18 5.5 5.5 95.8

6 9 2.7 2.7 98.5

7 4 1.2 1.2 99.7

8 1 .3 .3 100.0

Total 330 100.0 100.0

2. Analisa Data

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

usia 330 1 4 2.97 .489

anakke 330 1 8 2.31 1.522

observasi 330 1 5 1.82 1.111

usia2 330 15 18 16.97 .489

anakke2 330 1 8 2.31 1.522


(56)

Reliabilitas Instrumen

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excludeda 0 .0

Total 30 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.749 14

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

k1 37.07 13.720 .000 .753

k2 37.20 11.131 .593 .708

k3 37.17 11.109 .633 .705

k4 37.23 13.013 .083 .764

k5 37.50 8.879 .711 .680

k6 37.10 13.679 .005 .755

k7 37.27 10.754 .478 .720

k8 37.17 12.351 .278 .743

k9 37.37 11.344 .688 .705

k10 37.37 8.930 .722 .677

k11 37.13 13.499 .084 .753

k12 37.07 13.720 .000 .753

k13 37.07 13.720 .000 .753


(57)

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(58)

(59)

(60)

(61)

(62)

Lampiran 7

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Abdul Muis Situmorang

Tempat tanggal lahir : Medan, 28 April 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln.Karya II No.3 Helvetia Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 06984 Medan (1991 - 1997) 2. SLTP Negeri 18 Medan (1997 - 2000) 3. SMU Swst Amir hamzah Medan (2000-2003) 4. DIII Keperawatan Kesdam 1/BB Medan (2003-2006) 5. S1 Keperawatan USU (2008 - Sekarang)


(1)

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items

40.07 13.720 3.704 14


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 7

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Abdul Muis Situmorang

Tempat tanggal lahir : Medan, 28 April 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln.Karya II No.3 Helvetia Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 06984 Medan (1991 - 1997) 2. SLTP Negeri 18 Medan (1997 - 2000) 3. SMU Swst Amir hamzah Medan (2000-2003) 4. DIII Keperawatan Kesdam 1/BB Medan (2003-2006) 5. S1 Keperawatan USU (2008 - Sekarang)