EVALUASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN DI DATARAN TINGGI DIENG (PERIODE TAHUN 2011-2016) Oleh : MARGO PRIHATIN 20120520003 JURUSAN ILMU
SKRIPSI
EVALUASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 TERHADAP KERUSAKAN
LINGKUNGAN DI DATARAN TINGGI DIENG (PERIODE TAHUN 2011-2016)
Oleh :
MARGO PRIHATIN 20120520003
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(2)
EVALUASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN DI DATARAN TINGGI
DIENG
(PERIODE TAHUN 2011-2016)
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Stara-1 Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun Oleh : MARGO PRIHATIN
20120520003
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
(3)
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini merupakan karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya dan atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka. Selanjutnya apabila dikemudian hari terbukti terdapat duplikasi, serta ada pihak lain yang merasa dirugikan dan menuntut, maka saya akan bertangggungjawab serta menerima segala konsekuensinya.
Yogyakarta, 27 Agustus 2016
(4)
HALAMAN MOTTO
Untuk merubah hidup ke arah yang lebih baik, tentu harus tahu
sebatas apa dirimu, seberapa jauh kemempuanmu dan seberapa
dalam keterbatasanmu bahkan sekonyol apa dirimu.
Keterbatasan memberikan pola pikir sedikit gila dengan polesan
kerja keras yang tentunya disertai doa, dapat menjadikan
pandangan sebelah mata berubah menjadi pandangan banyak mata.
(5)
HALAMAN PERSEMBAHAN Karya ini kupersembahkan kepada:
KEDUA ORANG TUA terimakasih banyak Rama, Mae. Bukan apa-apa dan tidak akan pernah menjadi apa-apa-apa-apa tanpa ridho, doa, harapan, dan dukunganya.
SAUDARI satu-satunya, Mbak, Bang Ijal, dan kedua keponakan Witny Baruna. Dukungan doa dan penyelesaian urusan disetiap awal semester terimakasih banyak.
Keluarga besar ARJASEMITA, atas dukungan dan segala motifasi terimakasih banyak.
Laily Trisnawati terimakasih banyak supporter tembem untuk semangat dan semuanya.
Teman-teman AREKA, pengantar dari kecil, remaja, hingga beranjak dewasa, pelajaran hidup yang tidak akan pernah ditemui dimanapun, terimakasih.
KOMAP UMY, pengalaman berorganisasi yang tentunya banyak saya dapatkan, terimakasih.
SOSMAS 2012, mbak Milla, mbak Mira, Neslon, Alip, Juju, Aceng Syahmat, Singgih, Dani, Anggi.
(6)
Kawan satu bimbingan skripsi yang semangatnya lain dari yang lain, dijamin beda dan bisa diakui.
Teman-teman NAGA Fc, sekali lagi bertemu teman sekelas yang sama-sama suka bola.
ARJUNA 1, dan segala penduduknya terimakasih banyak. Teman bertemu teman, kawan bertemu kawan dan menambah akrab dalam tawa.
Teman-teman KKN yang asik selama sebulan, sukses tuntas semuanya terimakasih banyak atas kenanganya.
Dosen jurusan Ilmu Pemerintahan yang telah memberikan ilmu serta pengetahuan baru terimakasih atas semuanya.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai ajang mencari ilmu dan pengalaman, terimakasih banyak.
Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTARISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTARGAMBAR ... xiv
SINOPSIS ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 13
1.3. Tujuan Penelitian ... 14
1.4. Manfaat Penelitian ... 14
1.5. Penelitian Terdahulu ... 15
1.6. Kerangka Dasar Teori ... 16
1.6.1. Evaluasi Kebijakan Publik ... 16
1.6.2. Tata Ruang Wilayah ... 33
1.6.3. Teori Eksternalitas ... 42
1.7. Definisi Konsepsional ... 43
1.8. Definisi Operasional ... 44
1.9. Metode Penelitian ... 45
1.9.1. Jenis Penelitian ... 45
1.9.2. Lokasi Penelitian ... 45
1.9.3. Unit Analisa Data ... 45
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data ... 46
(8)
2.1. Gambaran Umum Kabupaten Banjarnegara ... 50
2.1.1. Aspek Geografi ... 50
2.1.2. Aspek Demografi ... 54
2.1.3. Aspek Pelayanan Umum ... 56
2.2. Gambaran Umum Datarn Tinggi Dieng ... 59
2.2.1. Kondisi Geografis Wilayah Makro ... 59
2.2.2. Kondisi Geografis Wilyah Mikro ... 63
2.3. Tujuan Penataan Ruang Kawasan Dtaran Tinggi Dieng ... 70
BAB III EVALUASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN DI DATARAN TINGGI DIENG ... 72
3.1. Perencanaan Kebijakan ... 74
3.1. Implementasi Kebijakan ... 98
3.2. Evaluasi Kebijakan ... 110
BAB IV PENUTUP ... 117
4.1. Kesimpulan ... 117
4.2. Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Kriteria Evaluasi ... 23 Tabel 1.2. Indikator dan Alat Ukur ... 44 Tabel 2.1. Data Wilayah Administratif Kabupaten Banjarnegara ... 52 Tabel 2.2. Luas Pengguna Lahan Menurut Jenis Penggunaan di Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2010-2-14 ... 53 Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Kabupaten Banjarnegara per Kecamatan Tahun
2014 ... 55 Tabel 2.4. Jumlah Sekolah per Kecmatan diKabupaten Banjarnegara Tahun
2014 ... 57 Tabel 2.5. Rasio Rumah Sakit per Satuan Penduduk Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2010-2014 ... 58 Tabel 2.6. Rasio Puskesmas, Poliklinik, dan Pustu per 30.000 Penduduk
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2010-2014 ... 59 Tabel 2.7. Administratif Kawasan Makro Dataran Tinggi Dieng di Kabupaten
Banjarnegara ... 60 Tabel 2.8. Penggunaan Lahan Wilayah Makro Dataran Tinggi Dieng ... 61 Tabel 2.9. Administrasi dan Luas Wilayah Mikro Kawasan Dataran Tinggi
Dieng di Kabupaten Banjarnegara ... 64 Tabel 2.10. Penggunaan Lahan Wilayah Mikro Dataran Tinggi Dieng ... 65 Tabel 2.11. Jumlah Penduduk Menurut Desa dan Jenis Kelamin di Kawasan
Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara Tahun 2010-2014 ... 66 Tabel 2.12. Kepadatan Penduduk di Kawasan Dataran Tinggi Dieng
(10)
Tabel 2.13. Komoditas Pertanian di Kawasan Dtaran Tinggi Dieng Kabupaten
Banjarnegara Tahun 2014 ... 67
Tabel 2.14. Jumlah Sarana Pendidikan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara Tahun 2014 ... 68
Tabel 2.15. Jumlah Sarana Kesehatan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 69
Tabel 2.16. Jumlah Sarana Perekonomian di Kawasan Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Banjarnegara ... 70
Tabel 3.1. Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan Hutan Lindung ... 73
Tabel 3.2. Tingkat Kekritisan Lahan pada Kawasan Budidaya Pertanian ... 73
Tabel 3.3. Kriteria Penetapan dan Fungsi Kawasan Hutan Lindung ... 76
Tabel 3.4. Luas Hutan Lindung di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 77
Tabel 3.5. Kriteria Kawasan Lindung Fisiografi/Kawasan Lindung yang Dikelola Masyarakat ... 83
Tabel 3.6.. Rencana Kawasan Lindung Fisiografis/Kawasan Lindung yang Dikelola Masyarakat Kawasan Dataran Tinggi Dieng Tahun 2014 ... 84
Tabel 3.7. Lokasi dan Luas Cagar Budaya di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 85
Tabel 3.8. Rencana Pengembangan Kawasan Perumahan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 90
Tabel 3.9. Rekomendasi Tanaman Tahunan ... 94
(11)
Tabel 3.11. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kawasan Dataran Tinggi Dieng Tahun 2014 ... 102
Tabel 3.12. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 103
Tabel 3.13. Tabel Upaya-upaya Masalah di Kawasan Dataran Tinggi Dieng ... 105
Tabel 3.14. Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Hutan Lindung Dataran Tinggi Dieng pada Tahun 2014 ... 112
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Banjarnegara ... 50 Gambar 2.2. Peta Kecamatan Batur Banjarnegara... 63 Gambar 3.1. Kawasan Lindung yang Beralih Fungsi Menjadi Kawasan
Budidaya ... 111 Gambar 3.2. Perubahan Penggunaan Kawasan Lindung ... 113
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Perda Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara Tahun 2011-2031
(14)
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi dengan judul:
EVALUASI PERDA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011-2031 TERHADAP
KERUSAKAN LINGKUNGAN DI DATARAN TINGGI DIENG (PERIODE TAHUN 2011-2016)
Diajukan oleh: MARGO PRIHATIN
20120520003
Telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada:
Hari/Tanggal : Jumat, 26 Agustus 2016 Tempat : Ruang Igov Lama 2 Jam : 08.00 – 09.00 WIB
SUSUNAN TIM PENGUJI KETUA
EKO PRIYO PURNOMO, Ph.D Penguji I
BAMBANG EKA CAHYA W., S.IP., M.Si.
Penguji II
(15)
SINOPSIS
Dataran Tinggi Dieng merupakan wilayah yang harus dilindungi dari kegiatan produksi dan kegiatan manusia lainnya yang dapat merusak fungsi lindungnya. Namun pada kenyataannya dataran tinggi Dieng telah dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan mengeksploitasi lahan secara besar-besaran untuk ditanami tanaman-tanaman semusim. Berdasarkan hal tersebut maka menarik untuk mengevaluasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan kawasan dataran tinggi Dieng seperti Peraturan Daerah Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjarnegara khususnya di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, dan wilayah-wilayah yang meliputi kawasan dataran Tainggi Dieng. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi.
Hasil penelitian menemukan bahwa proses perencanaan Perda Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara belum menunjukkan adanya upaya dalam melindungi dan mencengah penyimpangan yang terjadi di kawasan dataran tinggi Dieng. Pada implementasi kebijakan, kurangnya koordinasi antara lembaga penyelenggara menyebabkan kegiatan dan program yang dilakukan tidak berjalan optimal. Dengan demikian,evaluasi kebijakan dilihat dari efektifitasnya belum efektif karena tujuan perlindungan kawasan dataran tinggi belum tercapai. Dari segi kecukupan, perda tata ruang Kabupaten Banjarnegara juga belum mampu mengatasi penyimpangan di kawasan Dieng meskipun perda tersebut telah berjalan selama 5 tahun. Sedangkan dari segi ketepatan, kawasan dataran tinggi Dieng hanya memberi manfaat secara sosial ekonomi, sedangkan manfaat lingkungan cendrung meberikan resiko bencana alam. Dapat disimpulkan bahwa perda tersebut belum efektif karena hasil yang diinginkan belum tercapai.
Saran dari penelitian ini adalah, hendaknya Pemerintah Kabupaten Banjarnegara dan masyarakat di Dieng lebih memperhatikan pengelolaan lahan di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Harus ada sifat partisipatif antara pemerintah dan masyarakat sehingga apa yang di programkan pemerintah dapat berjalan. Koordinasi antar lembaga Pemerintah Kabupaten Banjarnegara juga sangat dibutuhkan sehingga rencana untuk dapat memperbaiki kawasan Dataran Tinggi Dieng dapat terwujud.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan keberlanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Salah satu tujuan yang tercantum didalamnya adalah terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Dalam penataan ruang terdapat pola ruang yang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang sebagai fungsi lindung dan peruntukan ruang sebagai budi daya.
Tarigan (2005, h. 49) mengemukakan bahwa dalam kerangka perencanaan wilayah, yang dimaksud dengan ruang wilayah adalah ruang pada permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainya dapat beraktifitas. Tarigan juga berpendapat bahwa ruang adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi termasuk apa yang dibawahnya sepanjang manusia masih dapat menjangkaunya. Menurut Tarigan, perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan
(17)
penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan lahan dan perencanaan pergerakan pada ruang tersebut.
Secara administratif dalam penataan ruang terdiri atas penataan wilayah nasional, ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, laut, dan udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang didalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut penataan strategi pola ruang terkait kawasan lindung untuk wilayah provinsi Jawa Tengah tercantum dalam Perda No. 6 tahun 2010 tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2031 pada pasal 7-9. Menurut Perda No. 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031, pada Pasal 37 ayat 2 dan pada Pasal 38 ayat 2 menyebutkan jelas bahwa Dieng merupakan salah satu kawasan hutan lindung dan merupakan daerah yang berfungsi sebagai kawasan resapan air. Pasal 36 dalam perda yang sama menjelaskan bahwa kawasan hutan lindung merupakan kawasan yang melindungi daerah yang berada dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, dan salah satu wilayah yang memiliki fungsi tersebut di Kabupaten Banjarnegara adalah dataran tinggi Dieng.
(18)
Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan kawasan lindung yang berada pada ketinggian +2000 meter diatas permukaan laut (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2009). Luas kawasan ini 6.422,6 hektar yang meliputi Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Batang. Sejak tahun 1999, kawasan ini berubah signifikan akibat penjarahan hutan yang berlih fungsi untuk lahan tanaman kentang. Kurangnya lahan akibat tingginya kebutuhan akan lahan pertanian kentang menjadi penyebab penjarahan lahan yang berdampak pada penggundulan hutan di kawasan Dataran Tinggi Dieng (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2009).
Penyebab utama rusaknya lingkungan di Dataran Tinggi Dieng adalah pembabatan hutan lindung yang dilakukan oleh petani kentang untuk membuka lahan pertanian yang baru (Dephut, 2005). Tercatat sejak tahun 1998 sampai tahun 2003 Dataran Tinggi Dieng mengalami deforestasi sebesar 1000 hektar pertahun sehingga sampai ahir tahun 2003 hutan lindung hanya tinggal 13.000 hektar (Dephut, 2005).
Menurut Ngabekti, Setyowati dan Sugiyanto (2007) tanaman kentang merupakan jenis tanaman andalan dan unggulan di Dataran Tinggi Dieng. Pemahaman masyarakat terhadap beragamnya tanaman kentang yang merupakan bibit unggulan juga semakin meningkat, sehingga kehidupan masyarakat semakin meningkat. Beberapa alasan penduduk di Dataran Tinggi Dieng melakukan usaha tanaman kentang dikemukakan oleh Ngabekti, Setyowati dan
(19)
Sugiyanto sebagai berikut: (1) tanaman kentang paling ekonomis dan menguntungkan karena dalam satu tahun bisa tiga kali panen, walaupun biaya produksi mahal tetapi petani masih memperoleh keuntungan lebih; (2) tanaman kentang tidak mengenal musim, kapanpun bisa ditanam asalkan disiram; (3) kentang tidak mudah busuk, bisa tahan selama dua bulan setelah dipanen; (4) pemasaran kentang sangat mudah, petani tidak perlu memasarkan karena pembeli datang dengan sendirinya; (5) tanaman kentang merupakan tradisi turun temurun, sehingga budaya menanam kentang terus berjalan. Usaha tanaman kentang terus berkembang, dan menjadikan masyarakat di Dataran Tinggi Dieng membuka lahan sampai ke lereng bahkan ke puncak perbukitan (Ngabekti, Setyowati dan Sugianto, 2007).
Samijaya (2010) menyatakan bahwa 90 persen tegakan keras di dataran ini habis dan berganti menjadi ladang kentang. Mata air pun banyak yang mati, bahkan sebagian mata air tidak bisa digunakan sama sekali karena tercemar bahan kimia. Permukaan hulu-hulu sungai yang bersumber dari Dieng telah tercemar logam berat. Penggunaan pestisida yang berlebihan merupakan penyebab utama. Selain itu, tingkat erosi tanah di dataran ini sangat tinggi. Samijaya menambahkan bahwa setiap tahun hampir 10 sentimeter permukaan lahan pertanian tererosi dan menyebabkan sedimentasi sangat tinggi di sungai-sungai yang berhulu di kawasan ini. Hal itu disebabkan karena hampir semua
(20)
lahan baik itu lahan miring, datar, maupun perbukitan beralih menjadi ladang kentang dan pemukiman.
Asdhiana (2015) memaparkan salah satu penyebab degradasi lahan adalah penanaman kentang yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi dan juga petani tidak menanam pohon penguat di sekitar lahan kentang tersebut. Petani kentang juga mulai memanfaatkan tanah dengan kemiringan hingga 50 persen serta penggunaan pestisida dan kotoran hewan secara berlebihan yang pada ahirnya dapat memperparah erosi. Asdhiana menambahkan bahwa kerusakan kawasan di Dataran Tinggi Dieng disebabkan oleh penebangan hutan untuk lahan kentang. Akibat yang ditimbulkan adalah tanah yang tergerus erosi di Dieng lebih Dari 180 ton per hektar per tahun, dengan luas lahan 55.000 hektar maka erosi tanah mencapai 9,9 juta ton per tahun (Asdhiana, 2013).
Sementara Mudasir (2015) menyebutkan bahwa penggunaan pestisida pada 1 hektar lahan kentang untuk satu kali musi tanam, normalnya dibutuhkan 75-100 liter pestisida. Namun, petani kentang disana menggunakan mencapai 300 liter pestisida per musim tanam. Akibat yang ditimbulkan lahan di Dataran Tinggi Dieng semakin kritis dengan 7.758 hektar dari total 10.000 hektar lahan di Dieng kritis (Mudasir, 2015).
Sedangkan Wibisono (2010) mengemukakan di dataran tinggi Dieng budidaya tanaman kentang yang tidak menggunakan aturan, maka masalah yang dihasilkan adalah lahan menjadi kritis dan rawan terhadap bencana longsor.
(21)
Wibisosno berpendapat petani harus melakukan konservasi lahan dengan menanam tanaman keras di lahan yang kurang produktif. Masyarakat dapat menanam tanaman kopi, durian, aren dan lain sebagainya di sela-sela tanaman kentang, ini juga bisa dilakukan di pematang terasering sehingga bisa menahan tanah agar tidak longsor. Masyarakat bisa mencontoh apa yang sudah dilakukan para petani di Desa Tlahap, Kecamatan Kledung, Temanggung, yakni dengan model tumpangsari. Pola penanaman tumpangsari dapat mebuat lingkungan lebih terpelihara dan secara ekonomi masyarakat bisa memperolah tambahan penghasilan (Wibisono, 2010).
Berlandaskan hal tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara perlu menangani kerusakan di Dieng secara serius dengan melakukan konservasi alam di dataran tersebut. Kerusakan lingkungan yang semakin parah membawa dampak yang sangat merugikan bagi daerah Dieng itu sendiri maupun daerah dibawanya. Dampak yang sering terjadi adalah tanah longsor. Haryadi (2012) menyatakan bahwa terdapat empat titik lokasi longsor di dataran tinggi Dieng meliputi daerah Sikunan, Kalilembu, daerah Tieng dan Buntu. Tebing ditepi jalan setinggi 20 meter longsor dan mengakibatkan akses transpotrasi tersendat.
Peristiwa serupa terjadi, seperti yang diungkapkan Reza (2014), tanah longsor terjadi ditepi jalan raya di Sitieng dan di Patak Banteng daerah dataran tinggi Dieng yang mengakibatkan badan jalan tertimbun longsoran tanah. Supeno (2014) menuturkan terjadi longsor sepanjang 50 meter di daerah
(22)
simpang Payaman jalan utama Dieng-Pekalongan. Supeno juga menyatakan terdapat retakan tanah di daerah Wanayasa dan Kalibening yang mengakibatkan 130 keluarga diungsikan. Sedangkan masalah yang terjadi di dataran yang berada dibawahnya merupakan sedimentasi di waduk Mrica Banjarnegara. Andrianto (2011) menyatakan erosi yang terjadi di dataran tinggi Dieng menyebabkan sedimentasi di waduk Mrica Banjarnegara. Setiap tahunya laju sedimentasi di waduk Mrica mencapai 2,4 juta meter kubik. Dengan jumlah sedimentasi tersebut lumpur kian memadati waduk, sehingga mengganggu putaran turbin listrik yang menghasilkan 180 megawatt setiap harinya.Andrianto juga menambahkan bahwa luas penampang waduk jika terisi air mencapai 12 kilometer persegi. Namun saat ini waduk yang terisi air hanya sekiitar 8 kilometer persegi. Bahkan beberapa bagian waduk juga bisa dilihat karena bagian dasarnya menumpuk endapan lumpur (Andrianto, 2011).
Dengan melihat masalah-masalah yag terjadi diatas makan rencana tata ruang wilayah perlu untuk diperhatikan. Tarigan (2005, h. 7-8) mengemukakan bahwa perencanaan berkaitan dengan faktor-faktor produksi atau sumber daya yang terbatas, untuk dimanfaatkan mencapai hasil yang optimal sesuai tujuan yang hendak dicapai. Pentingnya perencanaan wilayah dikuatkan oleh berbagai faktor yang dikemukakan oleh Tarigan berikut ini:
1. Banyak diantara potensi wilayah selain terbatas juga tidak mungkin lagi diperbanyak atau diperbaharui. Kalaupun ada yang masih mungkin untuk
(23)
diperbaharui akan memerlukan waktu cukup lama dan biaya yang cukup besar. Potensi yang dimaksud antara lain menyangkut luas wilayah, sumber air bersih yang tersedia, bahan tambang yang sudah terkuras, luas hutan penyangga yang menciut, luas jalur hijau yang menciut, tanah longsor atau permukaan tanah yang terkena erosi.
2. Kemampuan teknologi dan cepatnya perubahan dalam kehidupan manusia. Pada zaman peradaban nenek moyang kita masih sangat sederhana, untuk dapat bertahan hidup, mereka terpaksa merambah hutan dan membakarnya agar bisa ditanami tanaman pangan. Akan tetapi, karena jumlah manusianya masih sedikit dan hanya mengandalkan kekuatan otot atau alat sederhana maka luas yang dapat mereka rambah hanya sedikit sehingga dampaknya tidak terasa dan alampun mampu untuk memperbaikinya kembali setelah lahan itu ditinggalkan. Akan tetapi, pada masa kemajuan sepeti sekarang ini, sebuah traktor dapat mengubah bentuk puluhan hektar lahan hanya dalam satu hari. Hal ini berarti jika tidak ada pengaturan (perencanaan) maka perubahan bisa menjadi tidak terkendali. Jika hal itu telah terjadi, walaupun kemudian diketahui bahwa hal itu salah, akan sulit untuk mengembalikanya pada keadaan semula atau keadaan yang dapat ditoleransi.
3. Kesalahan perencanaan yang sudah dieksekusi di lapangan sering tidak dapat diubah atau diperbaiki kembali. Hal ini terjadi karena dalam penggunaan lahan yang tidak terencana ataupun salah dalam perencanaan.
(24)
Walaupun kemudian diketahui dampaknya negatif tetapi sulit untuk diperbaiki atau ditata kembali. Hal ini terjadi karena dalam penggunaan lahan telah melekat berbagai kepentingan yang tidak ingin dilepas oleh pengguna lahan tersebut.
4. Tatanan wilayah sekaligus menggambarkan kepribadian dari masyarakat yang berdomisisili di wilayah tersebut, dimana kedua hal tersebut adalah saling mempengaruhi. Masyarakat yang tidak berdisiplin (tidak mematuhi aturan yang berlaku) cenderung membuat wilayahnya tidak tertata, tetapi disisi lain wilayah yang tidak tertata juga cenderung membuat masyarakatya tidak disiplin.
5. Potensi wilayah berupa pemberian alam maupun hasil karya manusia dimasa lalu adalah aset yang harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam jangaka panjang dan bersifat langgeng. Untuk mencapai hal itu maka pemanfaatan asset itu haruslah direncanakan secara menyeluruh dengan cermat. Perlu ada perencanaan yang member arahan penggunaan lahan secara keseluruhan yang menjadi panduan bagi perencanaan lainya (sektoral) yang bersifat parsial.
Perda No. 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031 sebagai landasan hukum mengenai perencanaan tata ruang di Kabupaten Banjarnegara harus di evaluasi terkait implementasi dan fungsinya. Dataran Tinggi Dieng sebagai kawasan lindung dan kawasan resapan
(25)
air harus dipertegas keberadaanya seperti yang tercantum dalam Perda itu sendiri, evaluasi dilakukan selain untuk menanggulangi masalah kerusakan lingkungan yang sedang terjadi disana, juga sebagai bentuk pemeliharaan lingkungan untuk masa yang akan datang. Hal ini yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi Perda Tata Ruang di Kabupaten Banjarnegara.
Subarsono (2013, h. 123) berpendapat bahwa evaluasi kebijakan penting untuk dilakukan karena memiliki fungsi untuk keperluan jangka panjang dan untuk kepentingan berkelanjutan (sustainable) suatu program. Berikut ini merupakan pendapat perlunya evaluasi menurut Subarsono:
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuanya.
2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat afektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.
3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebgai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada public sebagai pemilik dana dan pengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah.
4. Menunjukan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama
(26)
kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program.
5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat untuk memberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik.
6. Imran (2013) berdasarkan penilitianya mengemukakan bahwa didalam tata ruang terdapat lima kendala penyusunan tata ruang yaitu; pertama, rencana yang tersusun tidak mempertimbangkan keserasian, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu jika rencana tersebut dijalankan sebagaimana yang ditetapkan maka dalam waktu jangka panjang akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainya. Kedua, kondisi tidak ada ketegasan hukum bagi orang yang melanggar ketentuan dalam ruang. Artinya bahwa setiap orang yang melakukan penyimpangan penggunaan rencana tata ruang tidak perbah diberikan sanksi. Ketiga, dalam perencanaan tata ruang selalu disatukan dengan rencana pengembangan, sehingga penetapan rencana tata ruang menjadi kabur karena simpang siur dengan rencana pengembangan. Keempat, dalam penetapan rencana tata ruang lebih banyak didominasi oleh keputusan politik, sehingga obyektifitas terhadap karakteristik wilayah menjadi tidak
(27)
dapat berjalan dengan baik. Kelima, dalam menghadapi otonomi daerah setiap daerah dituntut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, sehingga setiap upaya pemanfaatan tata ruang diupayakan harus dapat memberikan sumbangan ekonomi bagi daerah.
Penelitian lain dilakuakan oleh Martopo, Hardiman dan Suharyanto (2013) mengenai penghidupan berkelanjutan di kawasan Dieng. Martopo, Hardiman dan Suharyanto menyatakan bahwa kondisi alam telah membentuk tradisi masyarakat petani berbasis lahan, dimana petani sangat menggantungkan mata pencaharianya pada lahan yang tidak di imbangi dengan pengetahuan dan keahlian dalam hal konservasi. Kegiatan perlindungan terhadap tanah berupa penanaman terhadap pohon keras, penanaman rumput gajah, penataan tanah dengan sistem sengkedan yang mengikuti garis kontur, pembuatan saluran irigasi pada garis kontur di area bukit, pembuatan tajuk yang berlapis di pekarangan, penggunaan pupuk organik, penghijauan dan reboisasi dengan sistem tumpang sari masih jarang dilakukan. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitanya bahwa aspek sumber daya alam di dataran tinggi Dieng tidak berkelanjutan (Martopo, Hardiman dan Suharyanto, 2013).
Berdasarkan fakta-fakta masalah yang telah terurai diatas, menjadi menarik ketika Perda No.11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031 diterapkan sedangkan kerusakan lingkungan di Dataran Tinggi Dieng terus terjadi. Dataran Tinggi Dieng yang
(28)
seharusnya menjadi kawasan lindung beralih fungsi menjadi lahan kentang yang pada ahirnya membuat daerah disana rusak. Kawasan lindung yang seharusnya menjadi daerah resapan air dan berfungsi sebagai kawasan yang dapat melindungi daerah yang berada dibawahnya terabaikan dan tidak sesuai dengan fungsinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Perda No. 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031 berfungsi untuk mengatur tata ruang di Kabupaten Banjarnegara terkait kawasan lindung yang berada di Dataran Tinggi Dieng dengan melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Perda Tata Ruang Pemerintah Kabupaten Banjarnegara Terhadap Kerusakan Lingkungan di Dataran Tinggi Dieng”.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebaga berikut:
1. Bagaimana implementasi Perda No. 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031 terhadap kelestarian lingkungan di Dataran Tinggi Dieng?
2. Bagaimana upaya pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam menangani kerusakan lingkungan di Dataran Tinggi Dieng sesuai dengan Perda No.11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031?
(29)
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengevaluasi Perda No.11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam menangani kerusakan lingkungan di Dataran Tinggi Dieng.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi beberapa pihak seperti: 1. Bagi Pemerintah Kabupaten Banjarnegara
Penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan untuk dapat memperbarui kebijakan yang lebih baik dan dapat diterapkan di Dataran Tinggi Dieng sebagai langkah untuk menyelamatkan kerusakan di Dataran Tinggi Dieng.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang lingkungan dan bagaimana cara untuk menjaganya, untuk masyarakat Dataran Tinggi Dieng pada khususnya dan bagi masyarakat luas pada umumnya.
(30)
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai pengetahuan dan pengembangan ilmu didalam bidang penelitian tentang evaluasi kebijakan publik, yang dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang serupa pada waktu mendatang.
4. Bagi Peneliti
Sebagai ajang untuk mencari pengalaman dan penelitian ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan.
1.5. PENELITIAN TERDAHULU
1. Suwitno Y. Imran, 2015 tentang Fungsi Tata Ruang Dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Kota Gorontalo. Kesamaan dengan penelitian ini adalah pembahasan yang sama-sama membahas tentang tata ruang yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan. Sedangkan perbedaanya yaitu pada fokus penelitian yang membahas tentang tata ruang kota, waktu dan lokasi penelitian.
2. Penelitian Nur Sumedi, Hasanu Simon dan Djuantoko, 2008 tentang Strategi Pengelolaan Pegunungan Jawa dengan Study Kasus Pegunungan Dieng Jawa Tengah. Kesamaan mendasar yaitu lokasi penelitian yang sama serta membahas tentang lingkungan. Sedangkan perbedaanya berada pada fokus penelitian yaitu mengenai strategi pengelolaan di Dataran Tinggi Dieng. 3. Anton Martopo, Gagoek Hardiman dan Suharyanto, 2013. Penelitian ini
(31)
penelitian ini yaitu pada lokasi penelitian serta membahas mengenai lingkungan hidup. Perbedaan mendasar terletak pada sebab akibat dengan tidak memaparkan Peraturan mengenai tata ruang.
4. Penelitian oleh Sri Ngabekti, Dewi Liesnoor Setyowati dan R. Sugiyanto, 2007. Penelitian ini tentang Tingkat Kerusakan Lingkungan di Dataran Tinggi Dieng Sebagai Database Guna Upaya Konservasi. Persamaan dengan penelitian ini adalah berisi mengenai kerusakan lingkungan dan lokasi penelitian yaitu di Dataran Tinggi Dieng. Sedangkan perbedaanya adalah penelitian ini tidak berfokus pada tata ruang.
1.6. KERANGKA DASAR TEORI 1.6.1. Evaluasi Kebijakan Publik
a. Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut Subarsono (2013, h. 119) evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Subarsono menambahkan bahwa evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu. Memang tidak ada batasan waktu yang pasti kapan sebuah kebijakan harus dievaluasi. Untuk dapat mengetahui outcome, dan dampak suatu kebijakan sudah tentu diperlukan waktu tertentu, misalnya, lima tahun semenjak kebijakan itu diimplementasikan. Sebab kalau evaluasi dilakukan terlalu dini, maka outcome dan dampak dari suatu kebijakan belum tampak (Subarsono 2013, h. 119).
(32)
Nugroho (2003, h. 183) mengemukakan bahwa sebuah kebijakan publik, tidak bisa dilepas begitu saja tetapi kebijakan harus diawasi, dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai evaluasi kebijakan. Nugroho menambahkan bahwa evaluasi ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya dan sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dengan kenyataan (Nugroho 2003, h. 183).
Dunn (1998) berpendapat secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment). Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataanya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan tersebut jelas atau diatasi (Dunn 1998, h. 608).
Evaluasi kebijakan publik merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi maupun efektifitas suatu program/kegiatan (Nugroho dan Wiratnolo
(33)
2011). Nugroho dan Wiratnolo meneambahkan bahwa cara pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan dengan membandingkan hasil terhadap target (dari sisi efektifitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya (dari sisi efisiensi). Hasil evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back) bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya (Nugroho dan Wiratnolo 2011).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan proses menilai terhadap kinerja suatu kebijakan publik. Dengan hasil penilaian tersebut dapat dilihat seberapa efektif suatu kebijakan publik di implementasikan untuk selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan fungsi dan keberadaanya.
Dunn (1998, h. 608-610) menyatakan bahwa evaluasi menghasilkan tuntutan yang bersifat evaluatif dan evaluasi mempunyai sejumlah karakteristik yang membedakan dari metode-metode analisis kebijakan lainya seperti:
a. Fokus nilai
Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program. b. Interdependensi fakta-nilai.
Tuntutan evaluasi tergantung baik “fakta” maupun “nilai”. Untuk
(34)
tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara actual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.
c. Orientasi masa kini dan masa lampau
d. Tuntutan evaluative berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil dimasa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-premis nilai bersifat prospektif dan dibiat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante). e. Dualitas nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kulaitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada (misalnya, kesehatan) dapat dianggap sebagai interistik (diperluakan bagi dirinya) ataupuan eksterinsik, (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata didalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relative dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
(35)
Dunn (1998, h. 28-29) mengemukakan evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan benar-benar dihasilkan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
Menurut Agustino (2014, h.186) mengemukakan ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika hendak melakukan evaluasi antara lain:
1. Evaluasi kebijakan berusaha untuk member informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Evaluasi dalam hal ini berfungsi untuk menilai aspek instrument (cara pelaksanaan) kebijakan dan menilai hasil dari penggunaan instrument tersebut.
2. Evaluasi kebijakan berusaha untuk menilai kepastian tujuan atau target dengan masalah yang dihadapi. Pada fungsi ini evaluasi kebijakan memfokuskan diri pada substansi dan kebijakan publik yang ada. Dasar asumsi yang digunakan adalah bahwa kebijakan publik dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah publik, maka evaluasi harus menilai apakah tujuan yang telah ditetapkan kebijakan tersebut benar-benar mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Yang sering kali tidak terselesaikan.
(36)
3. Evaluasi kebijakan berusaha juga untuk memberi sumbangan pada kebijakan lain terutama dari segi metodologi. Artinya, evaluasi kebijakan diupayakan untuk menghasilkan rekomendasi dari penilaian-penilaian yang dilakukan atas kebijakan yang dievaluasi. Hasil-hasil dari penilaian evaluasi tersebut dijadikan bahan belajar bagi para pelaku kebijakan yang lain.
b. Fungsi Evaluasi Kebijakan
Menurut Dunn yang dikutip dalam Agustino (2014, h. 188) menyatakan bahwa terdapat tiga fungsi dari evaluasi kebijakan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Evaluasi kebijakan harus memberi informasi yang valid dan dipercaya mengenai kinerja kebijakan yang meliputi:
a. Seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program.
b. Apakah tindakan yang ditempuh oleh implementing agencies sudah benar-benar efektif, responsif, akuntabel dan adil.
c. Bagaimana efek dan dampak dari kebijakan itu sendiri dimana evaluator dapat memberdayakan output dan outcome yang dihasilkan dari suatu implementasi kebijakan.
2. Evaluasi kebijakan berfungsi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan
(37)
target. Pemilian nilai dalam mencapai tujuan dan target, sejatinya tidak didasari oleh kepentingan-kepentingan nilai dari kelompok ataupun golongan.
3. Evaluasi kebijakan berfungsi juga untuk member sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainya, termasuk bagi perumusan masalah maupun pada rekomendasi kebijakan. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan bagi reformulasi masalah kebijakan dengan menunjukan bahwa tujuan dan target perlu diredifinisi ulang. Evaluasi kebijakanpun dapat berfungsi dalam menyumbangkan alternative kebijakan yang lebih baru atau refisi atas kebijakan-kebijakan publik dengan menunjukan bahwa alternatif kebijakan yang ada sebenarnya perlu diganti dengan yang lebih baik.
c. Indikator Evaluasi Kebijakan
Evaluasi membutuhkan indikator untuk dapat dinilai keberhasilanya (Subarsono, 2013). Dunn (2003, h. 610) menyatakan bahwa nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Dunn menambahkan bahwa nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Indikator evaluasi yang dikembangkan Dunn mencakup enam indikatror sebagai berikut:
(38)
Tabel 1.1 Kriteria Evaluasi
No. KRITERIA PERTANYAAN
1. Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?
2. Efisiensi
Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?
3. Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
4. Perataan
Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda.
5. Responsivitas
Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu.
6 Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?
Sumber: William N. Dunn 2003, h.610.
1. Efektifitas
Menurut Winarno (2002: 184):
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.
Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar
(39)
pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.
Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Ditinjau dari segi pengertian efektivitas usaha tersebut, maka dapat diartikan bahwa efektivitas adalah sejauhmana dapat mencapai tujuan pada waktu yang tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas produk yang dihasilkan dan perkembangan. Efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi.
Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.
(40)
2. Efisinesi
Menurut Winarno (2002: 185):
Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien
Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.
3. Kecukupan
Menurut Winarno (2002: 186):
Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah Kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
Berbagai masalah tersebut merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini
(41)
berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.
4. Ketepatan
Menurut Winarno (2002: 184):
Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan evaluasi dampak kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah diberlakukan oleh organisasi atau pemerintah, dengan cara mengevaluasi aspek-aspek dampak kebijakan yang meliputi efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan pelaksanaan kebijkan tersebut ditinjau dari aspek masyarakat sebagai sasaran kebijakan tersebut.
(42)
d. Data dan Informasi Dalam Evaluasi Kebijakan
Subarsono (2013, h. 127-128) berpendapat bahwa kegiatan evaluasi membutuhkan data dan informasi yang berhubungan dengan kebijakan atau program yang dijalankan sebagai bahan untuk melakukan penilaian. Penilaian terhadap suatu program tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dukungan data dan informasi. Subarsono menambahkan bahwa data dan infoemasi merupakan hal yang krusial dan harus dikumpulkan semenjak kebijakan atau program diimplementasikan. Untuk itu, Subarsono memaparkan metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data yaitu: (1) dokumentasi dari laporan kegiatan, baik laporan tahunan, semesteran, atau bulanan; (2) survei terhadap program yang telah diimplementasikan dengan mempersiapkan instrument survey seperti daftar pertanyaan; (3) observsi, yakni melalui pengamatan langsung dilapangan evaluator dapat membuat penilaian tentang keberhasilan suatu progam; (4) wawancara, metode ini dapat dilakukan dengan cara mewawancarai para stakeholder yang terlibat dalam implementasi program, terutama para kelompok sasaran; (5) metode campuran dari berbagai metode diatas dengan tujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat dan lengkap; (6) Focus Grup Discussion (FGD). Ahir-ahir ini berkembang metode FGD yakni dengan melakukan pertemuan dan diskusi dengan para stakeholders yang berfariasi. Dengan
(43)
cara ini maka berbagai informasi lebih valid akan dapat diperoleh melalui crosscheck satu sama lain.
e. Pendekatan Dalam Evaluasi Kebijakan
Dunn pada tahun 1999 (dikutip dalam Agustino 2014, h. 189) menjelaskan beberapa pendekatan evaluasi kebijakan guna menghasilkan menghasilkan penilaian yang baik. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah: (1)
Evaluasi semu atau pseudo evaluation ialah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil kebijakan terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan; (2) evaluasi formal, tujuan evaluasi formal atau formal evaluation adalah untuk memperoleh informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan yang didasarkan atas tujuan formal program kebijakan secara deskriptif. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuan dan target yang diumumkan secara formal merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. Dalam model ini terdapat tipe untuk memahami evaluasi kebijakan yaitu; pertama evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang berusaha memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah suatu kebijakan atau program
(44)
diterapkan untuk jangka waktu tertentu; kedua evaluasi formatif, suatu tipe evaluasi kebijakan yang berusaha untuk meliputi usaha-usaha secara terus menerus dalam rangka memantau pencapaian tujan dan target formal; (3) evaluasi keputusan teoritis atau decision theoretic evaluation adalah pendekatan evaluasi kebijakan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan.
f. Teknis Penelitian Evaluasi Kebijakan
Rochyati (2012) menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan bukanlah hal yang dapat dipandang sepele karena dari hasil penelitian tersebut diharapkan diperoleh masukan/umpan balik dan penilaian-penilaian yang akurat atas sebuah kinerja kebijakan/program, serta hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Rutman pada tahun1977 (dikutip dalam Rochyati 2012, h. 11-12) memaparkan panduan dalam melakukan evaluasi sebagai berikut:
1. Sebelum pelaksanaan:
a. Gunakan prosedur-prosedur ilmiah
Mengamati dan memahami tujuan evaluasi Mengamati dan memilih kriteria
(45)
b. Fokus pada proses dan outcome kebijakan/program, bukan hanya pada outcome saja. Dengan demikian dapat diperoleh informasi mengenai aktifitas-aktifitas apa yang menghasilkan apa serta memungkinkan upaya replikasi di kemudian hari.
c. Jangan batasi dampak hanya pada sasaran-sasaran yang dinyatakan secara formal saja, sebab tidak semua sasaran kebijakan dinyatakan formal. Konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi akibat program/kebijakan juga dipertimbangkan. Untuk itu manfaat hasil penelitian yang terkait, gunakan logika, atau pengalaman-pengalaman atas program yang serupa.
d. Pertimbangkan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pembuat keputusan di masa mendatang, bukan hanya kebutuhan saat ini.
2. Persiapan sebelum menguji program a. Definisi program secara jelas
Harus dipastikan bahwa label yang diberikan pada sebuah program memiliki makna dan maksud yang sama bagi semua yang terlibat, sehingga jelas data mana yang harus diukur.
(46)
Karena sasaran-sasaran merupakan kriteria keberhasilan program, maka harus dinyatakan secara spesifik agar dapat diperoleh tolok ukurnya.
c. Keterkaitan rasional
Harus ada keterkaitan rasional antara program yang akan dievaluasi dengan sasaran yang dituju dan dampak yang diharapkan. Ada tidaknya kaitan tersebut, dapat menentukan apakah program tersebut yang harus dimodifikasi atau sasaran dan hasil yang harus dirubah.
d. Pastikan kegunaan evaluasi
Kendati studi evaluasi dimaksudkan sebagai akuntabilitas program, serta untuk memberikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan dan hasil program kepada pembuat keputusan dan manajemen, namun seringkali studi evaluasi dilakukan dengan maksud tertentu. Karenanya evaluator juga harus mengetahui siapa yang sebenarnya menghendaki evaluasi tersebut.
e. Spesifikasi variabel evaluasi
Spesifikasi komponen program, dengan memperjelas terdiri
dari komponen-komponen aktifitas apa saja program tersebut. Berguna untuk component testing untuk menguji
(47)
sumbangan keefektifan masing-masing komponen terhadap program.
Spesifikan sasaran dan efeknya, bukan hanya yang
dinyatakan secara formal dalam dokumen atau oleh pengelola program, namun juga sasaran-sasaran laten dan dampak lain yang diharapkan oleh masyarakat.
f. Spesifikan variabel ataseden
Ataseden variabel adalah faktor-faktor konteks yang dapat mempengaruhi jalanya pogram.
g. Spesifikan variabel intervening
Dengan menanyakan: “setelah program dijalankan, faktor apakan
yang dapat mendukung atau menghambat pencapaian sasaran program?”
h. Pengukuran
Setelah mengetahui apa saja yang harus diukur, maka langkah selanjutnya adalah memilih tehnik pengukuran yang tepat untuk menilai.
3. Kriteria yang harus dipenuhi dalam evaluasi
a. Relevansi, harus mampu memberikan infomasi yang tepat pada pembuat dan pelaku kebijakan, mampu menjawab secara benar pertanyaan dalam waktun yang tepat.
(48)
b. Signifikan, harus mampu memberikan informasi yang baru dan penting.
c. Validitas, mampu memberikan pertimbangan yang tepat sesuai dengan hasil nyata mengenai hasil kebijakan.
d. Reliabilitas, dapat membuktikan bahwa hasilnya doperoleh dengan penelitian yang teliti.
e. Obyektif, tidak memihak f. Tepat waktu
g. Daya guna, hasil penelitian dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan.
1.6.2. Tata Ruang Wilayah
a. Pengertian Tata Ruang Wilayah
Berlandaskan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Pada pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Menurut Jayadinata tahun 1992 (dikutip dalam Kodoatie dan Sjarief 2010, h. 399) menyatakan bahwa menurut istilah
(49)
geografi umum, yang dimaksud ruang adalah seluruh permukan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan masnusia.
Kodoatie dan Sjarief (2010, h. 399) berpendapat bahwa tata ruang wilayah merupakan wujud susunan dari suatu tempat kedudukan yang berdimensi luas dan isi dengan memperhatikan struktur dan pola dari tempat tersebut berdasarkan sumber daya alam dan buatan yang tersedia serta aspek administratif dan aspek fungsional untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan demi kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.
Tarigan (2005, h. 49) menyatakan bahwa perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan pada ruang tersebut. Tarigan juga bependapat bahwa perencanaan ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunaanya (jelas peruntukanya) dan ada bagian-bagian wilayah yang kurang/tidak diatur penggunaanya. Bagi bagian wilayah yang tidak diatur penggunaanya maka pemanfaatanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Perencanaan pemanfaatan ruang wilayah adalah agar pemanfaatan itu dapat memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada
(50)
masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang termasuk menunjang daya pertahanan dan terciptanya keamanan (Tarigan 2005, h. 49).
Dari pemaparan tata ruang menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa tata ruang adalah pengaturan dan pemanfaatan lahan di suatu wilayah. Tata ruang dilaksanakan dengan membagi zona-zona yang diatur dan jelas peruntukanya demi kemakmuran masyarakat untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Ruang didalam suatu daerah sangat perlu untuk ditata dan diatur sedemikian rupa untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang menjelaskan bagaiamana fungsi kawasan perkotaan yang didalamnya terdapat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan pedesaan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan SDA dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan serta kawasan lindung yang fungsi utamanya melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
(51)
b. Klasifikasi Tata Ruang
Budihardjo tahun 2005 (dikutip dalam Setyawan 2012, h. 12) menyatakan bahwa kegiatan penataan ruang dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal, antara lain:
1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung (kawasan resapan air, suaka alam, taman nasional, taman wisata alam) dan kawasan budidaya (misalnya kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, kawasan industry, kawasan pertahanan keamanan).
2. Penataan ruang berdasarkan aspek administrasi tata ruang meliputi tata ruang wilayah nasional, propinsi, dan kabupaten/kota.
3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan sekala besar untuk kepentingan industry, pariwisata atau pertahanan keamanan beserta sarana dan prasarananya.
c. Asas-asas Penataan Ruang
Asas-asas penataan ruang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 sebagai berikut:
(52)
1. Keterpaduan: bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sector, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Lintas pemangku kepentingan yang dimaksud adalah pemerintah dan masyarakat. 2. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan: penataan ruang
diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkunganya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara kawasan perkotaan dan pedesaan.
3. Keberlanjutan: penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan: penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung didalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
5. Keterbukaan: bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan penataan ruang.
(53)
6. Kebersamaan dan kemitraan: penataan ruang diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
7. Perlindungan kepentingan umum: bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. 8. Kepastian hukum dan keadilan: penataan ruang diselenggarakan
dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
9. Akuntabilitas: bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaanya, maupun hasilnya.
d. Tujuan Tata Ruang
Tarigan (2005, h. 10-11) menyatakan bahwa tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman serta lestari dan pada tahap ahirnya menghasilkan rencana yang menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang direncanakan, baik oleh pihak pemerintah araupun oleh swasta. Tarigan menambahkan bahwa lokasi yang dipilih memberikan efisiensi dan keserasian lingkungan yang paling maksimal, setelah memperhatikan benturan kepentingan dari berbagai pihak. Sifat
(54)
perencanaan wilayah yang sekaligus menunjukan manfaatnya, antara lain dapat dikemukanan sebagai berikut:
1. Perencanaan wilayah haruslah mampu mengambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di wilayah tersebut di masa yang akan datang.
2. Dapat membantu dan memandu para pelaku ekonomi untuk memilih kegiatan apa yang perlu dikembangkan dimasa yang akan datang dan di mana lokasi kegiatan seperti itu masih diizikan. Hal ini dapat mempercepat proses pembangunan karena investor mendapat kepastian hukum tentang lokasi usaha dan menjamin keteraturan dan menjauhkan benturan kepentingan.
3. Sebagai bahan acuan bagi pemerintah untuk mengendalikan atau mengawasi arak pertumbuhan kegiatan ekonomi dan arah penggunaan lahan.
4. Sebagai landasan bagi rencana-rencana lainya yang lebih sempit tetapi lebih detail, misalnya perencanaan sektoral dan perencanaan prasarana.
5. Lokasi itu sendiri dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan, penetapan kegiatan tertentu pada lokasi tertentu haruslah member nilai tambah maksimal bagi seluruh masyarakat, artinya dicapai suatu manfaat optimal dari lokasi tersebut. Penetapan lokasi harus
(55)
menjamin keserasian spasial, keselarasan antar sector, optimalisasi investasi, terciptanya efisiensi dalam kehidupan, dan menjamin kelestarian lingkungan
Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 memuat ketentuan pokok sebagai berikut:
1. Pembagian wewenang antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
2. Pengaturan penataan ruang yang dilakuan melaui penetapan peraturan perundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang.
3. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang.
4. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan.
(56)
5. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
6. Hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaran penataan ruang.
7. Penyelesaian sengketa, baik sengketa antar daerah maupun antar pemangku kepentingan lain secara bermartabat.
8. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negeri sipil beserta wewenang dan mekanisme tindkan yang dilakukan.
9. Ketentuan sanksi administrative dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. 10.Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyesuaian
pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi tiga tahun untuk penyesuaian.
(57)
1.6.3. Teori Eksternalitas
Ferry Prasetyia (2015, h. 4) menyebutkan bahwa eksternalitas digambarkan sebagai efek yang dirasakan oleh seseorang yang ditimbulkan oleh tindakan orang lain. Selanjutnya, pendapat Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan yang lain yang terjadi diluar mekanisme pasar (non market mechanism).
Berikut ini adalah macam-macam eksternalitas ditinjau dari segi dampaknya, yaitu:
a. Eksternalitas Positif
Eksternalitas positif adalah tindakan seseorang yang memberikan manfaat bagi orang lain, tetapi manfaat tersebut tidak dialokasikan di dalam pasar. Jika kegiatan dari beberapa orang menghasilkan manfaatbagi orang lain dan orang yang menerima manfaat tersebut tidak membayar atau memberikan harga atas manfaat tersebut maka nilai sebenarnya dari kegiatan tersebut tidak tercermin dalam kegiatan pasar.
b. Eksternalitas Negatif
Eksternalitas negatif adalah biaya yang dikenakan pada orang lain di luar sistem pasar sebagai produk dari kegiatan produktif. Contoh
(58)
dari eksternalitas negatif adalah pencemaran dan kerusakan lingkungan.
1.7. Definisi Konsepsional
Definisi konsepsional menjelaskan tentang pembatasan konsep dengan konsep yang lain untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman. Berdasarkan kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diuraikan beberapa konsep terkait penelitian sebagai berikut:
1. Evaluasi kebijakan publik merupakan proses pemberian nilai terhadap suatu kebijakan. Penilaian dilakukan dengan melihat efektifitas, Efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatanya. Dengan penilaian tersebut dapat diketahui bagaimana suatu kebijakan berfungsi untuk kemudian dapat diketahui dampak dari kebijakan tersebut.
2. Tata ruang adalah pengaturan dalam pemanfaatan lahan dalam suatu wilayah dengan membaginya kedalam zona-zona yang diatur fungsi dan peruntukanya demi kemakmuran masyarakat untuk sekarang maupun dimasa yang akan datang sebagai bentuk keberlanjutan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori tentang indikator evaluasi dilihat dari segi tujuan dan target yang di paparkan oleh William Dunn untuk mengevaluasi Perda No. 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031. Indikator yang digunakan antara lain; efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan ketepatan.
(59)
1.8. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan apa yang akan diteliti. Dalam penelitian ini akan menggunakan indikator evaluasi yang dipaparkan oleh William Dunn, indikator tersebut adalah efektivitas, efisiensi, kecukupan, ketepatan dan responsifitas. Indikator perataan dan responsivitas tidak digunakan karena indikator tersebut berkaitan dengan biaya dan manfaat distribusi kepada kelompok tertentu serta apakah kebijakan memuaskan kebutuhan nilai tertentu yang ada dalam masyarakat, sehingga tanpa indikator perataan dan responsivitas, evaluasi tetap bisa dilaksanakan. Untuk mempermudah pembahasan penelitian makan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1.2
Indikator dan Alat Ukur
NO. INDIKATOR ALAT UKUR
1. Efektivitas a. Apakah Perda Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Banjarnegara tahun 2011-2031 telah menghasilkan hasil dan dampak yang diharapkan?
b.Apakah tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud? c. Apakah dampak yang diharapkan sebanding
dengan usaha yang telah dilakukan?
2. Efisiensi a. Apakah input yang digunakan telah mendapatkan hasil sebanding dengan output kebijakannya? b. Apakah cukup efisien dalam penggunaan
keuangan publik untuk mencapai hasil yang diharapkan?
3. Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?
(60)
4. Ketepatan Apakah Perda No.11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031 tepat atau layak untuk diterapkan?
1.9. Metode Penelitian 1.9.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Rahmawati (2010) menyatakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mengugkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya. Penelitian ini akan mengungkapkan masalah kerusakan lingkungan dan keadaan yang sebenarnya terjadi di Dataran Tinggi Dieng terkait penataan ruang oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara berdasarkan Perda No. 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banjarnegara tahun 2011-2031.
1.9.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pekerjaan Umum dan di Dataran Tinggi Dieng.
1.9.3. Unit Analisa Data
Unit Analisa merupakan obyek nyata yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadakan penelitian pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banjarnegara, dan kepala Desa Dieng
(61)
Kulon. Pihak tersebut merupakan pihak yang relevan dan tepat dengan pembahasan untuk dijadikan sumber data yang diperlukan dalam menyusun penelitian ini.
Perda Tata Ruang Kabupaten Banjarnegara perlu dievaluasi karena di Kabupaten Banjarnegara khususnya di Dataran Tinggi Dieng terjadi kerusakan lingkungan akibat dari penanaman kentang besar-besaran hingga fungsi Dataran Tinggi Dieng yang seharusnya menjadi kawasan resapan air dan kawasan lindung terabaikan. Rusaknya lingkungan di Dataran Tinggi Dieng membawa dampak buruk bagi daerah Dieng itu sendiri maupun daerah dibawahnya seperti tanah longsor dan pengendapan di waduk Mrica yang telah terjadi.
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan kepada pihak yang terlibat langsung dalam penelitian dan merupakan pihak yang relevan untuk dapat memberikan informasi terkait judul dalam penelitian ini. Pertanyaan nantinya akan diajukan kepada:
1. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara.
(62)
2. Kasubid Tata Ruang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banjarnegara.
3. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banjarnegara.
4. Kasubid Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Banjarnegara.
5. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banjarnegara.
6. Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara.
7. Kepala Desa Dieng Kulon. b. Observasi
Selain melalui wawancara, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini juga melalui observasi atau pengamatan langsung di lapangan dengan melihat dan mengamati, mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. Dari hasil pengamatan langsung dilapangan diperoleh data kondisi fisik lahan dan perilaku, kebiasaan-kebiasaan, budaya serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat di kawasan lindung Dataran Tinggi Dieng.
(1)
(1)
Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan
melalui :
a.
pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan penataan ruang; dan
b.
kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal
bidang penataan ruang.
(2)
Pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat
penyelenggaraan
penataan
ruang
sebagaimana
dimassud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan
menggunakan pedoman bidang penataan ruang meliputi
pengaturan, pembinaan dan pelaksanaan penataan
ruang
sesuai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
(3)
Pelaksanaan kinerja pemenuhan standar pelayanan
minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi aspek pelayanan dalam
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB X
KOORDINASI PENATAAN RUANG
Pasal 146
(1)
Koordinasi penataan ruang dilakukan secara terpadu
dan komprehensif untuk mencapai kesinambungan
regional melalui kerjasama antara Pemerintah Daerah
dan pihak-pihak lain yang terkait dengan penataan
ruang dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
(2)
Koordinasi terhadap penataan ruang dengan daerah
lainnya
dilakukan
dengan
kerjasama
Pemerintah
Daerah dengan Pemerintah Daerah lainnya melalui
fasilitasi Pemerintah Provinsi.
(3)
Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan
penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar
daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah.
(4)
Tugas, susunan, organisasi dan tata kerja Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan
Bupati.
BAB XI
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 147
(1)
Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap
pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat.
(2)
Dalam
hal
penyelesaian
sengketa
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan
(2)
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 148
(1)
Selain pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan
instansi Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya dibidang penataan ruang diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu
pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(2)
PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
kewenangan meliputi:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan yang berkenaan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana dalam bidang
penataan ruang;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
d.
melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan tindak pidana dalam
bidang penataan ruang;
e.
melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain
serta
melakukan
penyitaan
dan
penyegelan
terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
dalam bidang penataan ruang; dan
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
dalam bidang penataan ruang.
(3)
PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Apabila
pelaksanaan
kewenangan
memerlukan
tindakan
penangkapan
dan
penahanan,
PPNS
melakukan
koordinasi
dengan
pejabat
penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
PPNS menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut
umum melalui pejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(6)
Pengangkatan Pejabat PPNS dan tata cara serta proses
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XIII
(3)
Pasal 149
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141
ayat (1) huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi
ruang, kerugian terhadap harta benda dan/atau kematian
orang, dipidana sesuai dengan peraturan perundang
undangan di bidang penataan ruang.
Pasal 150
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 141 ayat (1)
huruf b, yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang, dipidana
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penataan ruang.
Pasal 151
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 141 ayat (1)
huruf c dan huruf d, yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang dan
tidak memberikan akses terhadap kawasan yang dinyatakan
sebagai milik umum, dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
Pasal 152
(1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 149, Pasal 150 dan Pasal 151, dilakukan oleh
suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang penataan ruang.
(2)
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; dan/atau
b.
pencabutan status badan hukum.
Pasal 153
(1)
Setiap pejabat Pemerintah Daerah berwenang yang
menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133,
dipidana sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang.
(2)
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pemberhentian secara tidak dengan hormat dari
jabatannya.
Pasal 154
(1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151, dan Pasal 152
(4)
dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, Pasal 150,
Pasal 151, dan Pasal 152.
(2)
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a.
pencabutan izin usaha; dan/atau
b.
pencabutan status badan hukum.
Pasal 155
(1)
Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, Pasal
150, Pasal 151, dan Pasal 152, dapat menuntut ganti
kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2)
Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
hukum acara pidana.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 156
(1)
Jangka waktu RTRW Kabupaten adalah 20 (dua puluh)
yaitu tahun 2011-2031 dan dapat ditinjau kembali 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2)
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang
berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau
perubahan batas teretorial provinsi yang di tetapkan
dengan peraturan perundang-undang, RTRW Kabupaten
dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(3)
Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) juga dilakukan apabila terjadi perubahan kebijaan
nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan
ruang Daerah dan/atau dinamika internal Daerah.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 157
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a.
semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan
penataan ruang Daerah yang telah ada tetap dinyatakan
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan
belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini;
b.
izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan
telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini
tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
(5)
c.
izin pemanfaatan yang telah dikeluarkan tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan Peraturan daerah ini, berlaku
ketentuan :
1.
izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah sebelumnya tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku;
2.
untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya,
izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan
berdasarkan Peraturan daerah ini;
3.
untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya,
dilakukan penyesuaian dengan masa transisi 3
(tiga) tahun berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
4.
untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya
dan
tidak
memungkinkan
untuk
dilakukan
penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan
Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan
dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang
timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut
dapat diberikan penggantian yang layak.
d.
pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan
tanpa
izin
dan
bertentangan
dengan
ketentuan
Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan
dengan Peraturan daerah ini; dan
e.
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan
Peratutan
daerah
ini,
agar
dipercepat
untuk
mendapatkan izin yang diperlukan.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 158
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan
Daerah Kabupaten Banjarnegara Nomor 1 Tahun 2004
tentang
Rencana
Tata
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Banjarnegara (Lembaran Daerah Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2004 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Banjarnegara Nomor 52), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 159
Peraturan
Daerah
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Kabupaten Banjarnegara.
Ditetapkan di Banjarnegara
pada tanggal
(6)