Museum Purbakala Sangiran

A. Museum Purbakala Sangiran

Museum Sangiran adalah museum arkeologi yang terletak di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil purbakala Sangiran yang merupakan salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO. Situs Sangiran memiliki luas mencapai 56 km² meliputi tiga kecamatan di Sragen (Gemolong, Kalijambe, dan Plupuh) serta Kecamatan Gondangrejo yang masuk wilayah Kabupaten Karanganyar. Situs

Sangiran, secara astronomis terletak antara 110 0 49’ hingga 110 0 53’ Bujur Timur, dan antara 07 0 24 ’ hingga 07 0 30’ Lintang Selatan, di dalam kawasan Kubah

Sangiran yang merupakan bagian dari depresi Solo, di kaki Gunung Lawu (17 km dari kota Solo). Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia. Karena potensi tersebut maka situs Sangiran, sampai sekarang selalu menjadi ajang penelitian dan studi evolusi manusia purba oleh para ahli dari berbagai penjuru dunia.

Penelitian di Sangiran yang lebih intensif dilakukan tahun 1930-an oleh J.C. van Es, dan dilanjutkan oleh GHR von Koenigswald. Tahun 1934 von Koenigswald berhasil menemukan tidak kurang dari seribu buah alat batu buatan manusia purba yang pernah hidup di Sangiran. Alat-alat batu tersebut umumnya dibuat dari batuan kalsedon yang dipecahkan sehingga mempunyai sisi tajaman yang dapat digunakan untuk memotong, menyerut, ataupun untuk melancipi tombak kayu. (http://sangiran.sragenkab.go.id).

pola kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus (salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von Koenigswald. Penelitian tentang manusia purba dan binatang purba diawali oleh G.H.R.Von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Jerman yang bekerja pada pemerintah Belanda di Bandung pada tahun 1930-an. Beliau adalah orang yang telah berjasa melatih masyarakat Sangiran untuk mengenali fosil dan cara yang benar untuk memperlakukan fosil yang ditemukan. Hasil penelitian kemudian dikumpulkan di rumah Kepala Desa Krikilan, Bapak Totomarsono, sampai tahun 1975.

Lembaga-lembaga penelitian baik luar negeri maupun dalam negeri, yang pernah mengadakan penelitian di Sangiran antara lain adalah the American Museum of National History , the Biologisch-Archaeologisch Instituut, Groningen, Netherland, Tokyo University, Padova University, National d’Historie Naturelle Paris , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan lain-lain.

Untuk melestarikan dan melindungi Situs Sangiran, maka pada tahun 1997 Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Kawasan Sangiran dan sekitarnya seluas ± 56 Km² sebagai Daerah Cagar Budaya (Sk Menteri P dan K No. 070/O/1977, tanggal 15 Maret 1977). Arealnya

Budaya antara lain adalah sebagian dari Kecamatan Kalijambe, sebagian dari Kecamatan Plupuh, dan sebagian dari Kecamatan Gemolong. Sedang wilayah Kabupaten Karanganyar yang masuk Daerah Cagar Budaya Sangiran hanya satu kecamatan yaitu sebagian dari Kecamatan Gondangrejo.

Pada tanggal 25 Juni 1995, situs Sangiran telah dinominasikan ke UNESCO agar tercatat sebagai salah satu warisan dunia. Akhirnya pada tanggal 5 Desember tahun 1996, melalui persidangan yang ketat, Situs Sangiran secara resmi diterima oleh UNESCO sebagai salah satu dari Warisan Budaya Dunia dan dicatat dalam “World Heritage List” nomer 593 dengan nama :”Sangiran Early Man Site ”, (Dokumen WHC-96/ Conf. 2201/21). Ketetapan ini kemudian secara resmi disebarluaskan oleh UNESCO melalui UNESCO-PERS Nomor 96-215.