tercantum pada bagian utama antara lain kode produksi, tanggal kadaluwarsa, petunjuk penyimpanan dan petunjuk penggunaan.
2.3. Label Pangan Yang Mengandung Hasil Rekayasa Genetika
Pelabelan pangan yang mengandung bahan hasil rekayasa genetika
diperdebatkan dalam berbagai forum internasional dan seringkali sebagai bagian dari diskusi mengenai keamanan pangan. Negara-negara yang menghendaki adanya
pernyataan deklarasi mengenai fakta bahwa suatu pangan menggunakan teknologi rekayasa genetika cenderung meragukan keamanan pangan tersebut. Keraguan ini
tidak selalu didasarkan pada scientific assessment yang dapat mengindikasikan potensi risiko yang lebih tinggi. Hak konsumen untuk tahu merupakan faktor penting
sebagai dasar rasional bagi mandatory labeling, terutama ketika keyakinan konsumen yang rendah terhadap sistem pengaturan.
Pemerintah dan kelompok masyarakat harus memberikan perhatian terhadap standar internasional yang dapat berubah-ubah pada fora internasional, dan untuk itu
harus berusaha membuat standar-standar tersebut dirancang dalam rangka mengakomodasi hak konsumen untuk tahu mengenai produk-produk rekayasa
genetika. Selama beberapa tahun Codex Committee on Food Labeling CCFL
mendiskusikan bagaimana seharusnya pangan rekayasa genetika dilabel dengan
tujuan dihasilkannya pendekatan pelabelan. Dua pendekatan dasar pelabelan yang dipertimbangkan oleh CCFL adalah:
1. didasarkan pada prinsip membandingkan pangan hasil varietas baru dengan
pangan yang dihasilkan dari varietas konvensional kesepadanan substansial, membutuhkan deskripsi perbedaan-perbedaan pada labelnya. Oleh karenanya,
bilamana pangan yang mengandung bahan hasil rekayasa genetika secara signifikan berbeda dengan yang konvensional misalnya pada nilai gizi, fisik atau
penanganannya, atau keberadaan alergen yang secara alamiah tidak seharusnya ada pada makanan tersebut, perbedaan ini harus diinformasikan pada label;
2. pendekatan yang lain yaitu dengan melibatkan kesimpulan pada pokoknya
menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi rekayasa genetika, baik pada hasil akhir pangan product based
117
maupun pada saat pemrosesan process based itu sendiri adalah suatu perbedaan sehingga membutuhkan menuntut adanya
keterbukaan informasi. Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara lain mendukung pendekatan
yang pertama yaitu apabila ada perbedaan yang signifikan saja yang harus diinformasikan dilabel, sementara negara-negara Eropa dan yang lainnya memilih
yang disebut dengan pendekatan “mandatory labeling”. Sejumlah negara sekarang ini
117
Pelabelan berdasarkan hasil akhir pangan product based menyangkut keamanan pangan dan informasi nilai gizi. Sedangkan pelabelan berdasarkan saat pemrosesasn process based tidak terkait
dengan keamanan pangan dan nilai gizi, akan tetapi bertujuan untuk menyediakan informasi kepada konsumen.
sedang mengembangkan kebijakan nasional, dan beberapa diantaranya cenderung menghendaki mandatory labeling.
Selain Codex sebagai forum utama bagi diskusi internasional mengenai pelabelan pangan, organisasi lain juga telah mengembangkan suatu posisi standing
point mengenai pelabelan, yaitu The Cartagena Protocol on Biosafety ini diinterpretasikan bahwa organisme rekayasa genetika LMO yang diperuntukkan
untuk “pangan, pakan, atau processing” harus diidentifikasikan sebagai LMO. Sebagaimana diinterpretasikan oleh U.S. Departement of States Protokol ini
mewajibkan pengiriman komoditi LMO curah secara internasional untuk disertai dengan dokumentasi yang menyatakan “dapat mengandung LMO”; Protokol ini tidak
menerapkan kewajiban pelabelan produk untuk konsumen produk akhir. Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru telah
menerapkan hukum yang mewajibkan semua pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika untuk dilabel. Dalam menerapkan peraturan ini masing-masing
negara memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Uni Eropa mempertimbangkan masalah ini dalam kurun waktu tertentu dan telah menyetujui suatu tingkat ambang
batas treshold minimal yaitu 1 . Ambang batas minimal diterapkan secara terpisah pada setiap bahan komposisi yang digunakan dalam produk, dan hanya pada situasi-
situasi dimana adanya materi rekayasa genetika tidak disengaja. Pangan yang mengandung hasil rekayasa genetika menurut Pasal 35 PP No. 69
1999 harus diberi tulisan “PANGAN REKAYASA GENETIKA”. Selain itu, pada
label dapat dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika. Dalam hal hasil rekayasa genetika merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan,
pada label cukup dicantumkan katerangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja. Adapun ukuran
huruf tulisan atau peringatan tersebut sekurang-kurangnya sama dengan huruf pada bahan yang bersangkutan.
Pedoman dalam Bab V mensyaratkan harus dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan hasil rekayasa genetika.
Keterangan tersebut diletakkan pada bagian informasi label yang berisi tentang daftar kompisisi bahan. Adapun huruf tulisan atau peringatan sekurang-kurangnya sama
dengan huruf pada bahan yang bersangkutan. Contoh:
atau
Komposisi:
Kedelai rekayasa genetika, gula kelapa, air, garam, pengawet Na Benzoat.
Komposisi: Kedelai, gula kelapa, air, garam, pengawet Na Benzoat.
bahan rekayasa genetika
3. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA KHUSUS MENGENAI PELABELAN PRODUK PANGAN