2. food safety control sebagai fungsi risk management, adalah jejaring kerjasama
antarlembaga dalam kegiatan yang terkait dengan pengawasan keamanan pangan standardisasi dan legislasi pangan, inspeksi dan sertifikasi pangan, pengujian
laboratorium, ekspor-impor dan sebagainya; dan 3.
food safety promotion sebagai fungsi risk communication, adalah jejaring keamanan pangan, meliputi pengembangan bahan promosi poster, brosur dan
kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan keamanan pangan untuk industri pangan, pengawas keamanan pangan dan konsumen.
Implementasi prinsip pencegahan dini dilakukan secara eksplisit melalui kodifikasi ke dalam peraturan perundang-undangan dan secara implisit yaitu pada
saat pengambilan keputusan rencana suatu kegiatan. Kodifikasi dalam hal ini kodifikasi diartikan sebagai dimasukkannya prinsip kedalam peraturan perundang-
undangan nasional: penulis meningkatkan kekuatan normatif suatu peraturan baik yang telah ada maupun yang baru sebagai pertimbangan yang hati-hati untuk
menentukan langkah berikutnya. Selain itu dengan kodifikasi akan terbentuk suatu sistem tertentu dan alasan-alasan pentingnya implementasi prinsip tersebut menjadi
jelas sehingga pada akhirnya akan membawa pada suatu koherensi keputusan administratif.
a. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Pasal 13 Undang-Undang Pangan menyebutkan:
Ayat 1 Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, danatau bahan bantu lain dalam kegiatan
atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan
manusia sebelum diedarkan. Ayat 2 Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian,
pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian
pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Garis bawah oleh penulis.
Bunyi Pasal di atas sangat jelas menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk
memberikan antisipasi dampak penggunaan bahan rekayasa genetika di bidang pangan terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat. Akan
tetapi ketiadaan penjabaran lebih lanjut mengenai pasal ini dalam waktu dekat kurang memberikan antisipasi yang maksimal.
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 18 Ayat 1 menyebutkan: ”Setiap usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidap untuk memperoleh izin melakukan usaha dan atau kegiatan”. Kemudian dalam Penjelasan Ayat 3 disebutkan:
”...Bagi usaha dan atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan... harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin...
Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan
limbah...”
dari penjelasan tersebut tersirat bahwa instrumen AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup belum sepenuhnya sejalan dengan amanat
prinsip pencegahan dini, karena di sini sudah tidak ada lagi ketidakpastian dengan probabilitas risiko. Jadi meskipun berada pada ”the earliest stage of planning”
AMDAL baru bersifat ”preventive”, belum ”precautious”. Terlebih lagi dalam pelaksanaannya izin hanya diperlukan sebagai instrumen ekonomi dari yang
seharusnya sebagai instrumen pengawasan. Di Indonesia AMDAL masih berada pada tingkat posisi kajian dampak,
sedangkan di nagara-negara yang lebih maju tindakan pencegahan sudah dimulai pada tingkat alternatif kebijakan. Proses dari usulan kegiatan sampai dengan
pengambilan keputusan dapat digambarkan sebagai berikut:
c. Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan