Latar Belakang Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarahnya, konsep perlakuan yang “setara” equitable pertama kali muncul dalam Havana Charter for an International Trade Organization tahun 1948. Pasal 11 Ayat 2 piagam tersebut menyatakan bahwa International 1 Trade Organization ITO dapat: 1. make recommendations for and promote bilateral or multilateral agreements on measures designed… 2. to assure just and equitable treatment for the enterprise, skills, capitals, arts and technology brought from one Member country to another. 2 Havana Charter menjadi dasar bagi International Trade Organization ITO untuk memberikan rekomendasi dan mempromosikan perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, untuk menjamin perlakuan yang adil dan setara terhadap investasi yang dilakukan oleh negara anggota, dalam bentuk keahlian, kesenian, teknologi, bahan dan peralatan lain untuk kepentingan seluruh negara anggota. Selain itu, negara anggota juga mengakui hak setiap negara untuk menentukan peraturan mengenai masuknya investasi asing ke dalam wilayah Organisation for Economic Co-operation and Development OECD, Working 1 Papers on International Investment 200403: Fair and Equitable Treatment Standard in International Investment Law September 2004, hlm. 3-4. Interim Commission for the International Trade Organization, Final Act and 2 Related Documents United Nations Conference on Trade and Employment held at Havana, Cuba, from November 21, 1947 to March 24, 1948, Pasal 11 Ayat 2. 1 negaranya, serta untuk memberlakukan peraturan yang bersifat adil bagi kepemilikan investasi saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Namun, 3 beberapa negara maju tidak meratifikasi piagam tersebut dikarenakan adanya beberapa kendala. Akibatnya, upaya pertama untuk merumuskan perjanjian multilateral dalam bidang perdagangan dan investasi pasca Perang Dunia II gagal diberlakukan. 4 Pada tingkat regional, konferensi negara-negara benua Amerika mengadopsi Economic Agreement of Bogota pada tahun 1948, dimana Pasal 22 perjanjian tersebut menyatakan bahwa: “Foreign capital shall receive equitable treatment. The States therefore agree not to take unjustified, unreasonable or discriminatory measures that would impair the legally acquired rights or interests of nationals of other countries in the enterprises, capital, skills, arts or technology they have supplied”. 5 Selain itu, perjanjian tersebut juga mengatur kewajiban negara anggota untuk tidak bertindak secara tidak adil, tidak beralasan, ataupun tindakan diskriminatif lain yang dapat melanggar hak dan kepentingan hukum para investor asing. 6 Meskipun ketentuan ini berlaku sebagai preseden, namun tidak memiliki 3 kekuatan untuk menjamin suatu standar perlakuan bagi para investor; ketentuan ini hanya memberi wewenang kepada ITO untuk merekomendasikan pencantuman standar ini dalam perjanjian-perjanjian yang akan datang. OECD Working Papers on International Investment, op. cit. 4 Organization of American States AOS, Economic Agreement of Bogota, 5 1948, Pasal 22. Ibid. 6 2 Meskipun perjanjian-perjanjian tersebut di atas tidak sepenuhnya berlaku, beberapa tahun kemudian, negara-negara yang tergabung dalam United States’ treaties on Friendship, Commerce and Navigation FCN, mulai menerapkan istilah “equitable” dan “fair and equitable treatment”. 7 Pada tahun 1959, Draft Convention on Investments Abroad dikembangkan oleh Herman Abs, Dirjen Bank Nasional Belanda, dan Lord Shawcross, Jaksa Agung Inggris. Pasal 1 konvensi tersebut mewajibkan negara anggota untuk menjamin fair and equitable treatment terhadap properti yang dimiliki oleh warga negara negara anggota lain. Upaya ini menjadi awal usulan Jerman kepada 8 OECD agar dirancangnya suatu konvensi internasional yang mengatur perlindungan atas properti asing. Dimulailah diskusi intensif pada awal tahun 60-an dan akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1967, Dewan Organisation for Economic Co-operation and Development OECD mengadopsi Draft Convention on the Protection of Foreign Property, yang mewajibkan negara anggota untuk memberikan perlakuan yang adil dan sejajar terhadap properti warga negara negara anggota yang lain. 9 Rancangan konvensi ini, meskipun tidak terbuka untuk penandatanganan, mewakili pandangan kolektif dan tren yang dominan bagi negara-negara anggota Misalnya, perjanjian FCN antara Amerika Serikat dengan Belgia 1963, 7 Ethiopia 1952, Jerman 1954, Perancis 1960, Yunani 1954, Irlandia 1950, Luksemburg 1962, Belanda 1956 dan Pakistan 1961. Abs dan Shawcross, The Proposed Convention to Protect Foreign Investment: A 8 Round Table: Comment on the Draft Convention by its Authors, Journal of Public Law, 9 1960, hlm. 119-124. OECD, Draft Convention on the Protection of Foreign Property, 1967, Pasal 1 9 Ayat a. 3 OECD dalam isu investasi, serta memengaruhi pola perundingan investasi asing pada masa itu. Kewajiban negara untuk “menjamin fair and equitable treatment” dalam konvensi tersebut telah berhasil menegaskan posisi standar tersebut apabila dibandingan dengan instrumen-instrumen terdahulunya. Konsep Fair and Equitable Treatment FET juga dapat ditemukan dalam sejumlah perjanjian multilateral. Salah satunya, the Convention Establishing the Multilateral Investment Agency MIGA Convention tahun 1985 yang mewajibkan FET sebagai prasyarat untuk jaminan investasi. North Atlantic Free 10 Trade Agreement NAFTA tahun 1992 juga mengandung prinsip FET yang tercermin pada Pasal 1105 Ayat 1 yang berbunyi “Each Party shall accord to investments of investors of another Party treatment in accordance with international law, including fair and equitable treatment and full protection and security.” 11 Seiring meningkatnya hubungan ekonomi antar negara di dunia, prinsip FET mulai dicantumkan dalam beberapa perjanjian bilateral. Secara khusus, prinsip FET telah menjadi fitur yang umum dalam Perjanjian Investasi Bilateral atau Bilateral Investment Treaties BITs. Sebagian besar BITs yang dibuat dan berlaku pada saat ini mencantumkan standar ini. Meskipun hampir seluruh 12 ketentuan BITs menggunakan terminologi yang sama yaitu “fair and equitable Convention Establishing Multilateral Investment Agency MIGA Convention, 10 1985, Pasal 12. North Atlantic Free Trade Agreement NAFTA, 1993, Pasal 1105 Ayat 1. 11 United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD, Fair and 12 Equitable Treatment, Series on Issues in International Investment Agreements II, 2012, hlm. 22. 4 treatment”, ketentuan yang mengaturnya tidaklah seragam. Secara khusus, terdapat beberapa variasi yang menyatakan keterkaitan standar FET dengan hukum kebiasaan internasional. 13 Akibat luasnya pengertian dan cakupan FET, telah muncul perdebatan apakah standar FET hanya mencakup standar minimum internasional sebagaimana diatur dalam hukum kebiasaan internasional, atau merupakan suatu standar mandiri yang melengkapi hukum internasional. Perdebatan ini mencapai 14 puncaknya dalam upaya untuk menafsirkan Pasal 11051 dari NAFTA yang mengkaitkan FET dengan minimum standar internasional. Salah satu kajian tentang FET yang dilakukan oleh United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD memberikan perhatian khusus terhadap isu apakah FET merupakan standar yang dapat berlaku secara otomatis sebagaimana hukum kebiasaan internasional atau hanya dapat berlaku apabila dideklarasikan oleh para pihak. Secara spesifik, UNCTAD menyimpulkan bahwa “apabila negara dan investor menginginkan bahwa standar FET dapat berlaku secara bergantian dengan standar minimum internasional maka hal tersebut harus dinyatakan secara jelas dalam instrumen hukum yang mengatur investasinya”. 15 Sementara itu, berkembang pula pemahaman yang menunjuk pada arah yang berlawanan. Prinsip FET dikatakan sebagai ekuivalen dengan standar R. Dolzer dan M. Stevens, Bilateral Investment Treaties, Leiden: Brill, 1995 13 hlm. 58-60. C. Yannaca-Small, Fair and Equitable Treatment Standard in International 14 Investment Law, Working Papers on International Investment Number 20043, OECD, Directorate for Financial and Enterprise Affairs, 2004, hlm. 8-25. UNCTAD, Fair and Equitable Treatment, op. cit., hlm. 13. 15 5 minimum internasional yang diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Salah satu dukungan terhadap konsep ini diberikan oleh OECD dalam Draft Convention on the Protection of Foreign Property tahun 1967 yang menyatakan bahwa standar FET yang diberikan host state terhadap investor asing haruslah setara dengan ‘standar minimum’ menurut hukum kebiasaan internasional. 16 Terlepas dari perbedaan tersebut, prinsip FET ternyata tidak hanya diterapkan pada substansi dari kegiatan investasi saja tetapi juga diterapkan pada tahap prosedural penyelesaian sengketa investasi yang melibatkan investor asing dan negara. Bahkan, mahkamah arbitrase melalui putusannya dalam beberapa sengketa investasi internasional, berlomba-lomba untuk merumuskan definisi FET yang luas dan dapat diterima secara umum. Dalam beberapa putusannya, 17 mahkamah arbitrase beranggapan bahwa standar FET sebagaimana diatur dalam Pasal 1105 Ayat 1 NAFTA tidaklah terbatas kepada hukum kebiasaan internasional. Salah satunya adalah putusan mahkamah arbitrase UNCITRAL dalam kasus S.D. Myers v. Canada yang memutus bahwa adanya pelanggaran 18 terhadap aturan hukum internasional tidak membuktikan adanya pelanggaran terhadap prinsip FET terhadap investor. Mahkamah menyatakan bahwa: OECD, Draft Convention, op. cit., hlm. 120. 16 Upaya untuk merumuskan definisi umum FET dapat ditermukan dalam: S. D. 17 Myers v. Canada, UNCITRAL, First Partial Award, 13 November 2000, para. 263; Alex Genin, Eastern Credit Limited, Inc. and A.S. Baltoil v. Estonia, ICSID Case No. ARB 992, Award, 25 Juni 2001, para. 367; Tecmed v. Mexico, ICSID Case No. ARB002, Award, 29 Mei 2003, para. 154; Waste Management v. Mexico, ICSID Case No. ARB 003, Final Award, 30 April 2004, para. 98; MTD v. Chile, ICSID Case No. ARB017, Award, 25 Mei 2004, para. 113; Saluka v. Czech Republic, UNCITRAL, Partial Award, 17 Maret 2006, para. 309. S. D. Myers v. Canada, op. cit., para. 264. 18 6 “264. …the breach of a rule of international law by a host Party may not be decisive in determining that a foreign investor has been denied “fair and equitable treatment”, but the fact that a host Party has breached a rule of international law that is specifically designed to protect investors will tend to weigh heavily in favour of finding a breach of Article 1105.” Pada tahun 2007, Mahkamah dalam PSEG v. Turkey menegaskan bahwa standar FET merupakan sebuah standar terkemuka yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membawa sengketa investasi ke hadapan Mahkamah Arbitrase. 19 Putusan mahkamah tersebut, yang juga berlaku sebagai salah satu sumber hukum internasional berdasarkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, semakin 20 memantapkan posisi standar FET dalam hukum investasi internasional, khususnya dalam BITs. Sebuah studi empiris menunjukkan meningkatnya gugatan sengketa investasi argumen FET sebagai pembelaan di International Centre for the Settlement of Investment Disputes ICSID membuat prinsip FET tumbuh menjadi suatu wacana yang mungkin tidak diantisipasi satu dekade yang lalu. 21 Secara konsep, penting untuk diketahui bahwa kewajiban untuk memberikan perlakuan yang adil dan sejajar merupakan kewajiban yang PSEG Global Inc. v. Republic of Turkey, ICSID Case No. ARB025, Award, 19 19 Januari 2007, para. 238. Pasal 38 Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional 1945 menyatakan bahwa 20 sumber-sumber hukum internasional antara lain:
 a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Peradilan pertama yang menerapkan dan mendefinisikan standar FET adalah 21 Emilio Agustin Maffezini v. The Kingdom of Spain, ICSID Case No. ARB977, Award, 13 November 2000. 7 mencakup seluruh aspek persoalan. Klausa FET tidak mengkaji pentingnya suatu sektor ekonomi bagi host state maupun bagi investor, melainkan mengkaji perlakuan yang diberikan host state terhadap investor. 22 Cara terbaik untuk memutuskan apakah standar FET telah dengan benar diterapkan dalam perjanjian-perjanjian investasi dan dalam proses arbitrase investasi adalah dengan menilik kepada hasil putusan arbitrase internasional. Dalam memutus sengketa investasi internasional yang melibatkan prinsip FET, Mahkamah arbitrase biasanya menggunakan konsep-konsep umum investasi seperti investor’s basic expectations, transparansi, stabilitas, non-diskriminasi, keadilan, pemenuhan kewajiban kontraktual, standar prosedural dan due process of law, itikad baik, dan lain-lain. Yang menjadi masalah dengan bentuk pendekatan ini adalah kecenderungan untuk menghasilkan suatu definisi yang terlalu luas sehingga sulit diterapkan dalam praktik, ataupun definisi yang terlalu sempit sehingga sulit untuk ditetapkan sebagai suatu standar yang akan diterapkan dalam kasus-kasus serupa. 23 Terdapat banyak putusan mahkamah arbitrase dalam kasus sengketa investasi yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan poin ini. Dalam Metalclad Lihat misalnya, Occidental Exploration and Prod. Co. v. Republic of Ecuador, 22 LCIA Case No. UN 3467, Award, 1 July 2004, para. 191, dimana tribunal membahas penerapan dari Pajak Pertambahan Nilai, dan bukan membahas sah tidaknya pajak tersebut; PSEG Award, op. cit., para. 246-247, dimana tribunal memutuskan bahwa prosedur negosiasi yang dilakukan telah melanggar standar FET. Christoph Schreuer, Fair and Equitable Treatment in Arbitral Practice, 6 23 J.W.I.T.3 2005, hlm. 126. 8 v. Mexico, isu transparansi menjadi peran utama dimana pemerintah Meksiko 24 mewajibkan adanya izin untuk konstruksi dan operasi proyek TPA milik investor. Investor yakin bahwa ia telah memenuhi seluruh syarat yang diperlukan untuk mendapatkan izin tersebut. Akan tetapi pemerintah setempat menolak untuk menerbitkan izin konstruksi. Mahkamah memutus bahwa investor berhak untuk melanjutkan konstruksi TPA, dan bahwa tindakan negara melalui pemerintah 25 setempatnya merupakan pelanggaran terhadap standar FET. Dalam MTD v. Chile, Respondent menandatangani kontrak 26 pembangunan dan perencanaan kota planned community dengan Komisi Penanaman Modal Asing di Chile. Proyek tersebut gagal karena kemudian dianggap tidak sesuai dengan regulasi tata ruang. Mahkamah berpendapat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap standar FET akibat adanya “inkonsistensi dalam tindakan pemerintah yang sama vis-à-vis investor yang sama”. 27 Dalam CMS Gas Transmission Company v. Argentina, pemerintah 28 Argentina berjanji akan melakukan penyesuaian harga untuk transportasi gas bumi melalui penetapkan regulasi dan penerbitan izin. Akan tetapi, kemudian berlaku hukum darurat yang menangguhkan dan menghapuskan jaminan tersebut. Mahkamah menegaskan bahwa kondisi hukum dan bisnis yang stabil merupakan Metalclad Corp. v. Mexico, ICSID Case No. ARB971, Award, 30 Agustus 24 2000. Ibid., para. 89. 25 MTD v. Chile, op. cit. 26 Ibid., para. 163. 27 CMS Gas Transmission Company v. Argentina, ICSID Case No. ARB018, 28 Award, 12 Mei 2005. 9 elemen yang penting dalam FET dan memutus bahwa tindakan Argentina telah melanggar standar FET. 29 Sebagian besar sengketa investasi yang melibatkan negara dan investor menyangkut dugaan pelanggaran prinsip FET. Mahkamah arbitrase dalam sejumlah kasus memutuskan bahwa pelanggaran FET dapat terjadi sebagai konsekuensi atas pelanggaran kewajiban yang yang muncul dari kontrak. Tetapi, 30 mahkamah lain juga berpendapat bahwa kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban berdasarkan kontrak tidak serta merta merupakan pelanggaran standar FET. Hanya penolakan langsung isi kontrak akibat pelaksanaan hak prerogatif negara yang berpotensi memiliki efek terhadap pelanggaran FET. 31 Perbedaan dalam penafsiran dan penerapan prinsip FET dalam penyelesaian sengketa investasi internasional ini menuai berbagai kontroversi dan perdebatan baik dari Mahkamah arbitrase dalam memutus sengketa investasi yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran prinsip FET, maupun dari negara-negara yang berposisi sebagai negara pihak dalam perjanjian investasi bilateral BITs. Maksud dan tujuan negara umumnya memang telah diejawantahkan dalam BITs pada saat perumusannya. Namun ketiadaan satu definisi dan aturan tentang FET Ibid., para 274-276. 29 Lihat Mondev v. USA, ICISD Case No. ARB992 Award, 11 Oktober 2002, 30 para. 134; SGS Société Générale de Surveillance S.A. v. Republic of the Philippines, ICSID Case No. ARB026, Decision on Jurisdiction, 29 Januari 2004, para. 162; Noble Ventures v. Romania, ICSID Case No. ARB0111, Award, 12 Oktober 2005, para. 182. Lihat Consortium RFCC v. Morocco, ICSID Case No. ARB006, Award, 22 31 Desember 2003, para. 33; Waste Management v. Mexico, op. cit., para. 115; Impregilo v. Pakistan, ICSID Case No. ARB033, Decision on Jurisdiction, 22 April 2005, para. 266-270. 10 dalam dunia investasi internasional saat ini menyebabkan tidak adanya satu patokan yang dapat dijadikan rujukan dalam hal terjadi sengketa investasi internasional. Oleh karena itu, perlu kajian yang lebih mendalam secara hukum internasional untuk melihat bagaimana pengaturan mengenai prinsip FET di bidang investasi menurut hukum internasional serta penerapannya dalam sengketa investasi internasional apabila dilihat dari keputusan pengadilan arbitrase internasional.

B. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI MELALUI ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

1 8 20

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

15 60 187

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E COMMERCE MELALUI ARBITRASE

5 39 113

PENERAPAN PRINSIP KONSENSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL MELALUI WTO.

0 0 9

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU MIANGAS MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL.

0 1 8

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

1 1 16

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 2

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

2 7 41

Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Prinsip Fair And Equitable Treatment Dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Melalui Arbitrase Internasional Yang Berasal Dari Bilateral Investment Treaties

0 0 17

RELASI KLAUSULA FAIR AND EQUITABLE TREATMENT DALAM BILATERAL INVESTMENT TREATY DENGAN KEDAULATAN NEGARA ATAS SUMBER DAYA ALAM Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 13