Konsep Manusia Terdidik dalam Al- Qur’an
II.3.4. Mendengarkan Nasihat yang Baik dan Mengikuti yang Terbaik
Karakter selanjutnya dari golongan ulul albâb adalah mereka yang mendengarkan nasihat yang baik dan mengikuti hal yang terbaik, karakter ini adalah karakter orang yang mau memperbaiki diri dan terus meningkatkan kualitas diri, dan hal itu tidak mungkin diwujudkan tanpa kesediaan mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik di antara nasihat kebaikan tersebut. Hal itu tersurat dalam firman Allah:
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka
Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]: 18)
Bukankah Allah ’Azza wa Jalla pun telah menegaskan dalam ayat-Nya yang agung, yakni QS. Al- ’Ashr [103]: 3, bahwa salah satu karakteristik mereka yang tidak merugi adalah
seseorang yang mau menasihati orang lain (dakwah) dalam kebenaran dan kesabaran? Di sisi lain mau mendengarkan nasihat dari orang lain. Dan mendengarkan perkataan adalah sarana untuk mendapatkan nasihat dari orang lain.
56 Ib Abd al-Bar al-Andalusi, Bahjatul-Majâlis wa Unsul-Majâlis, Beirut: Dâr al-Kutub al- Il iyyah, jilid I, hlm. 169.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mena ’ati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. ” (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3)
Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “رصعلا ” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid
“ إ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “يفل” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati
dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan. Dalam tinjauan ilmu balaghah, keberadaan semua penegasan ( ta’kîd) seperti ini berfaidah menegasikan atau menafikan segala bentuk pengingkaran terlebih keraguan. 57
Dalam ayat yang agung tersebut, diungkapkan kata ( ا صا ت); yang artinya saling menasihati ( ًضعب م ضعب حصن ), menggunakan wazan ( َلَع َفَت) yang menunjukkan interaksi dua sisi, perbuatan satu sama lain, artinya seorang insan yang tidak merugi memiliki karakteristik mau menasihati dan mau mendengarkan nasihat, ini adalah ungkapan yang agung. Berbeda dengan orang yang takabur, dimana ia memiliki karakter menolak kebenaran dan melecehkan manusia, lalu apakah mungkin orang yang takabur mau mendengarkan nasihat?! Apakah layak ia menyandang gelar ulul albâb? Dan karena sifat takabur pula Iblis –la’natuLlâhi ’alayh- terjerembap dalam kehinaan kekal, wal ’iyâdzu biLlâh.
Dr. Muhammad Mutawalli asy- Sya’rawi menjelaskan: “Sesungguhnya surat ini menjelaskan perkara akidah dan tuntutannya yakni iman
(pembenaran yang pasti) dan amal shalih. Setelah itu Allah berfirman: ( ا صا ت) Allah tidak mengatakan ( ا ص ), apa makna kata (ا صا ت)? Yakni agar setiap orang beriman mengetahui bahwa dirinya adalah bagian dari orang lain, begitu pula saudara seimannya
57 Tim Pakar, Al-Balâghah wa an-Naqd , ‘iyâdh: Jâ i atul I â Muha ad bi Su ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 38-39.
yang lain, terkadang di antara keduanya yang lemah terhadap suatu kemaksiatan sehingga ia melakukannya, akan tetapi yang lainnya tidak lemah terhadap kemaksiatan tersebut, maka dari itu orang yang tidak lemah tersebut sudah semestinya menasihati
orang yang lemah (agar menjauhi kemaksiatan tersebut- 58 pen.)” Perbuatan terpuji saling menasihati ini pun merupakan pengamalan terhadap hadits Nabi
, dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dâriy bahwa Nabi bersabda: ةَحْي ِصَنلا نْي دلا
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi bersabda:
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya. 59 ” (HR. Muslim)
Apa maknanya? Imam Ibn Daqîq al- ‘Iid (w. 702 H) menjelaskan:
ةحيصنلا :هماوقو نيدلا دّع يأ " ةحيصنلا نيدلا " :هلوق ىنعمو “Makna sabda Rasulullah : “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya
adalah an-nashîhah 60 .”
Imam Ibn Daqîq al- ‘Ied menjelaskan: ملعأ هاو .كلذ رغ ليقو هتيفص اذإ لسعلا تحصن :لاقي صاخإا :ةغللا ف ةحيصنلاو
“Lafazh an-nashîhah secara bahasa: al-ikhlâsh (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallâ 61 hu a’lam.”
58 Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy- Sya awi, Tafsîr asy-Sya awi, Kai o: Maj a al-Buhûts al- Islâ iyyah Jâ i atul Azha asy-Syarîf, jilid III, hlm. 1.665. 59
Menurut Dr. Muhammad Yusri, hadits dari Abi Ruqayyah Tamim r.a. ini hadits paling shahih dalam bab i i de ga lafazh te sebut, lihat: D . Abu Abdullah Muha
ad Yus i, Al-Jâ i Sya h al-A ba ii a -Nawawiyyah, Kairo: Dâr al-Yusr, Cet. III, 1430 H. 60 Ibn Daqiiq al- 61 Iid, Syarh Al-A ba ii a -Nawawiyyah, Makkah: al-Maktabah al-Fayshaliyyah, hlm. 32.
Ibid, hlm. 34.
Adapu n penafsiran terdahap lafazh “an-nashîhah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Ibn Daqîq al- ‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya: “Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami
sebutkan dari beragam nasihat ini. WaLlâ 62 hu A’lam.”
Rasulullah pun menjelaskan bahwa sikap meninggalkan apa-apa yang menurut Islam tak berfaidah merupakan tanda kebaikan Islam pada diri seseorang. Dari Abu Hurairah , dari Nabi Muhammad , beliau bersabda:
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ibn Hibban. Hadits hasan) 63
Apa makna hadits ini? Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menuturkan: “Hadits ini merupakan dasar agung dalam pokok adab, Imam Abu ‘Amru bin ash-
Shalah menuturkan dari Abu Muhammad bin Abu Zayd, Imamnya madzhab malikiyyah pada masanya, bahwa ia mengatakan: “Kumpulan adab-adab kebaikan dan
62 Ibid. 63 Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâ
i al- Ulû wa al-Hikam, jilid I, hlm. 287. Dalam catatan kaki kitab Jâ i al-Ushul wa al-Hikam tah i : Syu aib al-A a uth disebutka bahwa hadits i i hasan li ghayrihi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam al- Jâ i al-Kabiir (2317), Ibnu Majah (3976), Ibnu Hibban (229), ath- Thabrani dalam al-Awsath
, Ib u Ady dala al-Kâmil (5/454-455), al-Qadha I dala Musnad asy-Syihab (192), al-Baghawi (4132).
kehancurannya (kebalikannya) terbagi dalam empat hadits: Pertama, sabda Nabi :
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diamlah.” Kedua, sabdanya: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa- apa yang tidak bermanfaat baginya”. Ketiga, dan sabdanya yang meringkas wasiat: “Jangan marah”. Keempat, sabdanya: “Orang beriman itu mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya”.” 64
Al-Hafizh Ibnu Rajab pun merinci bahwa di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah sikapnya meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menyedikitkan diri pada hal-hal yang tidak bermanfaat baik berupa berbagai perkataan dan perbuatan, dan makna kata ( هي عي): bahwa hal yang penting itu berkaitan dengan dirinya maka jadilah hal itu termasuk tujuan dan tuntutan dirinya. Kata ( ةي علا): kuatnya
perhatian pada sesuatu, dikatakan: هي عي – ع yakni jika seseorang memerhatikan dan mencarinya. Namun yang dimaksud (dalam hadits ini) bukan berarti bahwa ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya dan tidak dikehendakinya berdasarkan standar hawa nafsu dan tuntutan jiwa, akan tetapi berdasarkan standar hukum syara’ dan Islam. Oleh karena itulah ia termasuk “di antara kebaikan keislaman”, maka jika “baik keislaman seseorang” ia akan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam baik berupa perkataan- perkataan atau perbuatan-perbuatan. Karena Islam menuntutnya melaksanakan berbagai
kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam syarh hadits Jibril a.s. 65 Begitu pula meninggalkan berbagai keharaman, sesungguhnya perbuatan tersebut
bagian dari ajaran Islam yang sempurna nan terpuji, sebagaimana sabda Rasulullah : ِهِدَيَو ِهِنا َسِل ْنِم نْو مِل ْس ما َمِل َس ْنَم ملسما
“Seorang muslim itu ia yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” 66
64 Ibid, hlm. 288. 65 Ibid.
66 HR. Ahmad (II/379), at-Tirmidzi (2627), an- Nasa i VIII/ -105), Ibnu Hibban (180), al-Hakim (I/10) dari jalur Abu Hurairah Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud (2481), Ibnu Hibban (196) dari jalur Abdullah bin Amru bin al- Ash. Da di iwayatka pula oleh ath-Thayalisi (1777), Ahmad (III/372), Muslim, Ibnu Hibban (197) dari jalur Jabir bin Abdullah.
Dan jika baik ke-Islaman (pada diri seseorang) maka hal itu mendorongnya untuk meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat secara keseluruhannya dari berbagai keharaman, syubhat dan kemakruhan, bahkan hal-hal yang mubah yang tidak dibutuhkan. Karena sesungguhnya ini semua tidak bermanfaat bagi seorang muslim apabila telah sempurna keislamannya, dan telah sampai pada derajat ihsan yakni menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, dan jika ia seakan tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya.
Ini merupakan karakteristik yang agung, yang tidak mungkin ada pada orang yang terjangkit virus takabur, dimana orang yang takabur tidak akan sudi mendengarkan nasihat terlebih dari orang yang ia anggap remeh. Dan karena sifat yang buruk inilah Iblis – la’natuLlâhi ’alayh- terjerembab ke jurang kehinaan yang abadi.
Rasulullah bersabda: ْرِك ْنِم ةَرَذ لاَقْثِم ِهِبْلَق ِف َناَك ْنَم َةَنَ ْجا ل خْدَي َا َلاَق
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari ketakaburan. ”
Seorang laki-laki bertanya : “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan
sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab: ِساَنلا طْمَغَو قَْحا رَطَب ْرِكْلا َل ََّ ْجا بِ ح ليِ َم ها َنِإ
“Sesungguhnya Allah itu indah menyukai keindahan, ketakaburan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia. 67 ” (HR. Muslim)
Al- ‘Allamah Muhammad Nawawi al-Bantani pun menjelaskan:
“Takabur terhadap hamba-hamba Allah : yakni ia memandang dirinya lebih baik daripada orang lain dan merendahkannya.” 68
Dan kita berlindung kepada Allah dari sifat takabur, dimana ia merupakan sifat keji yang menjerumuskan Iblis ke dalam jurang kehinaan yang amat dalam, wal ’iyâdzu biLlâh.
67 Lihat pula hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
68 Muha ad Nawawi bi U a al-Jawi al-Bantani, Bahjatul Wasâ-il bi Syarh Masâ-il, Jakarta: Dâr al- Kutub al-Islâmiyyah.
II.3.5. Memiliki Ilmu yang Mendalam
Ilmu yang benar bagaikan cahaya yang menuntut seseorang untuk melihat kebaikan dan keburukan, dan sudah semestinya tampak pada sikap. Allah berfirman:
“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat- ayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang- orang yang berakal.” (QS. Âli Imrân [3]: 7)
Ayat ini mengisyaratkan karakteristik ulul albâb yang dapat mengambil pelajaran, mendalam ilmunya, dimana dengannya mereka menyatakan beriman kepada ayat-ayat mutasyâbihât dan tidak condong kepada kesesatan. Imam al-Bukhari mengetengahkan riwayat dari ’Aisyah yang berkata bahwa setelah membaca ayat di atas, lalu Rasulullah bersabda:
“Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, Maka waspadalah kalian terhadap mereka!” (HR. Al-Bukhâri, Muslim dan Abu Dawud)
“Apabila kalian melihat orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, maka merekalah yang dimaksud oleh Allah, maka waspadailah mereka.” (HR. Ahmad)
Al- Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat yang agung di atas menegaskan keutamaan ilmu golongan ulul albaab ini. 69
Lalu apa makna frase { َ لأا ل أ اإ رَكَ َي َمَ }? Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari menjelaskan bahwa tidak ada yang mawas diri, mengambil pelajaran dan mengendalikan diri dalam berbicara mengenai mutasyâbihât ayat-ayat KitabuLlâh yang tidak ada ilmu tentangnya kecuali mereka yang memiliki akal (ulul albâb). 70 Dalam ayat yang agung ini terdapat petunjuk
bahwa golongan ulul albâb adalah golongan yang mampu mengambil pelajaran. Dalam ayat ini pun terdapat petunjuk bahwa golongan ulul albâb, sudah semestinya
berbicara dengan ilmu ketika berkata mengenai ayat-ayat al- Qur’an. As-Sunnah pun mengecam mereka yang berkata tentang al- Qur’an tanpa ilmu dengan peringatan yang tegas. Diriwayatkan Abu Dawud dan at- Tirmidzi dari Jundub bin ‘Abdullah yang berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meski pendapatnya benar ia tetap salah.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya) 71
At- Tirmidzi pun meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.” (HR. at-Tirmidzi (V/199, 200), dan ia berkata: hadits ini hasan shahih)
Hadits-hadits di atas menunjukkan keharaman secara tegas, dengan adanya qariinah frase ( َ لا نم َ َعقَم أَ َ َتَي َف).
Di sisi lain, al- Qur’an dan as-Sunnah pun memaparkan keutamaan orang berilmu, dan dipaparkan oleh para ulama dalam banyak literatur, baik klasik maupun kontemporer.
69 Muha ad bi Ja î bi Yazîd bi Katsî Abu Ja fa ath-Thabari, Jâ i al-Bayâ fî Ta wîl al-Qu â , jilid II.
70 Ibid. 71 At-Tirmidzi dalam Sunan- ya juz. / hl .
, lihat pula Mus ad Abu Ya la III/ da al-Mu ja al- Kabiir (II/163)).
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Al-Mujâdilah [58]: 11)
Imam Ibn Qudamah al- Maqdisi menukil penafsiran Ibn ’Abbas yang berkata:
“Bagi ulama derajat di atas orang-orang beriman (yang awam-pen.) sebanyak 700 kali tingkatan, dimana jarak antara dua tingkatan ditempuh selama lima ratus tahun. 72 ”
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Disebutkan pula dalam ash-Shahiihayn, hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR. Al-Bukhari (71) dan Muslim (1037))
Rasulullah pun bersabda:
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari)
Dan banyak sekali dalil al- Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan keutamaan ilmu, yang sudah semestinya diraih oleh golongan ulul albâb.
72 Ahmad bin M uha ad bi Abd a -Rahman bin Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al- Qâshidîn, hlm. 17.
II.3.6. Berbekal Ketakwaan dalam Hidup
Sesungguhnya ketakwaan adalah sebaik-baiknya bekal kehidupan ini merupakan perumpamaan yang agung yang tersurat dalam ayat yang agung berikut ini:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku
hai orang- orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197) Ayat ini turun berkaitan dengan penduduk Yaman yang berhaji namun tidak membawa
bekal makanan, maka turunlah perintah dalam ayat ini ( ا َ َزَت) yakni berbekallah, sebagaimana diketengahkan al-Bukhari dari Ibn ‘Abbas, dan makna berbekal dalam ayat ini adalah makna
hakiki yakni membawa makanan untuk safar ( 73 رفس ل عطلا تا ه ). Dan setelah Allah menyebutkan perbekalan dalam safar, Allah pun mengingatkan terhadap hal mendesak yang
menyertai perbekalan materil tersebut, perbekalan lainnya yakni sebaik-baiknya perbekalan (khayr az-zâd), dan kata zâd dalam ayat ini bermakna kiasan yaitu sebaik-baiknya perbekalan dan penguatan bagi kalian yakni takwa dalam makna syar’i, rasa takut kepada Allah dan keta’atan pada-Nya. 74
Dan dalam ayat yang agung tersebut tersirat bahwa di antara karakteristik ulul albâb adalah berbekal ketakwaan dalam hidup. Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apa-apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada- Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa. 75
73 74 Atha bi Khalil Abu a -Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 248 Ibid. 75 Ibid, hlm. 249.
Takwa adalah rasa takut kepada Allah, ta’at pada-Nya, dan mempersiapkan diri untuk perjumpaan dengan-Nya, sebagaimana dituturkan sebagian sahabat, dinukil oleh Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil:
“Rasa takut kepada yang Maha Mulia, beramal dengan apa yang diturunkan, dan mempersiapkan diri menghadapi hari perjumpaan. 76 ”
Dan di antara ciri orang yang bertakwa pun disebutkan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya:
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur ’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. ” (QS. Al- Baqarah [2]: 3-5)
Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikhul Ushû l ’Atha bin Khalil menuturkan bahwa sesungguhnya Allah setelah menyebutkan perintah beriman terhadap ghaib, Allah pun kembali menyebutkan iman terhadap akhirat, dan ia bagian dari perkara ghaib. Hal ini termasuk penyebutan yang khas setelah kata yang umum untuk menunjukkan keutamaan yang khas
tersebut 77 , maka keimanan terhadap perkara ghaib termasuk ruang lingkup akidah, dan iman terhadap akhirat merupakan (salah satu) perkara penting di antaranya, maka sudah semestinya
76 Ibid, hlm. 213. 77 Dalam bahasan ilmu balaghah, penyebutan yang khusus setelah kata yang umum ( اعلا عب صاخلا رك )
itu faidahnya: صاخلا لضف ى ع هيبنت ل هب ىتؤيو Dan dimunculkannya (kata khash) tersebut (setelah yang umum) sebagai penekanan perhatian atas keutamaan yang kha s te sebut.” Lihat: Al-Balâghah wan-Naqd) itu faidahnya: صاخلا لضف ى ع هيبنت ل هب ىتؤيو Dan dimunculkannya (kata khash) tersebut (setelah yang umum) sebagai penekanan perhatian atas keutamaan yang kha s te sebut.” Lihat: Al-Balâghah wan-Naqd)
Istimewanya, Imam ‘Abdullah bin ‘Alwi al-Haddâd menegaskan bahwa takwa merupakan wasiat Allah Rabb Alam Semesta ini kepada umat manusia seluruhnya berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum
kamu 79 dan (juga) kepadamu; bertakwalah kepada Allah.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 131)
II.3.7. Menegakkan Hukum Allah
Menegakkan hukum (syari’at) Allah merupakan salah satu karakteristik manusia terdidik (ulul albâb ), hal itu diisyaratkan Allah ’Azza wa Jalla dalam QS. Al-Baqarah [2]: 179:
“Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 179) Menafsirkan ayat yang agung ini, Al- Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari pun menjelaskan: “Dan bagimu wahai orang-orang yang berakal (ada jaminan kehidupan-pen.) dalam apa
yang Aku fardhukan kepada kalian dan Aku wajibkan kepada sebagian dari kalian atas sebagian yang lainnya, yakni hukum qishâsh atas jiwa, luka dan asy-syajâj, yakni apa- apa yang dengannya menghalangi sebagian dari kalian atas perbuatan membunuh dan mencegah (kezhaliman-pen.) sebagian kalian atas sebagian lainnya, maka terjamin
78 79 Atha bi Khalil Abu a -Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 43. Abdullâh bi Alwi Al-Haddâd, An-Nashâ ih ad-Dîniyyah wa al-Washâyâ al-Îmâniyyah, Dâr al-Hâwiy,
Cet. III, 1420 H, hlm. 28.
keberlangsungan hidup kalian dengan hal tersebut, maka dalam keputusan hukum-Ku terdapat kehidupan bagi kalian. 80 ”
Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil ketika menafsirkan ayat di atas menjelaskan bahwa yang menyadari keagungan hidup yang dihasilkan oleh hukum qishash adalah golongan ulul
albâb , yakni orang-orang berakal yang berpikir dan mentadaburi ayat-ayat Allah, maka Allah mengkhususkan mereka dalam seruan, dan mereka adalah ahlinya memahami maknanya. 81 Hal
serupa ditegaskan olehnya, ketika menafsirkan QS. Al- Baqarah [2]: 197, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apa- apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada- Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa. 82
Dimana seluruh penjelasan itu menunjukkan keutamaan golongan ulul albâb. Imam Ar- Raghib al-Ashfahani pun menjelaskan bahwa Allah menyematkan hukum-hukum yang tidak
akan dipahami kecuali oleh akal-akal yang lurus yang disebut ulul albâb. 83 Dan berakal
menjadi salah satu poin dalam taklif syari’at, Rasulullah bersabda:
“Diangkat pena (penghisaban-pen.) dari tiga hal: dari orang yang gila kehilangan akalnya, dan dari orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, dan dari seorang anak hingga ia bermimpi 84 (mimpi basah-pen.). ” (HR. Al-Hakim , Ibn Hibban, Khuzaimah, Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya 85 )
80 Muha ad bi Ja î bi Yazîd bi Katsî Abu Ja fa ath-Thabari, Jâ i al-Bayâ fî Ta wîl al-Qu â , jilid III, hlm. 381.
81 Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 208 82 Ibid, hlm. 249. 83 Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al- Qu â , Kitâb
( الا), juz. II, hlm. 575. 84 Al-Hakim, Al- Mustad ak alaa ash-Shahiihayn, No. 894, hlm. 364. Al-Hakim menuturkan bahwa hadits
ini shahih memenuhi syarat Al-Bukhari dan Muslim, meski keduanya tidak meriwayatkan hadits ini. 85 Lihat: Khuzaimah dalam Shahiih-nya, Ibn Hibban dalam Shahiih-nya, at-Tirmidzi dalam Jaa i -nya, dan
lainnya.
Akal yang difungsikan dengan benar pun adalah potensi utama kehidupan (thâqah hayawiyyah ) yang membedakan manusia dengan binatang. Lalu bagaimana mungkin mereka yang berakal tidak mau tunduk dan patuh pada syari’at Allah?! Bukankah Allah sudah mengumpamakan orang yang ingkar bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat?!
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. ” (QS. Al-A’râf [7]: 179)
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). ” (QS. Al- Furqân [25]: 43-44)
Maka sudah jelas bahwa golongan ulul albâb, adalah golongan yang memahami hukum Allah dan menegakkannya dalam kehidupan.
II.3.8. Berakhlak Mulia
Akhlak merupakan bagian dari syari’at Islam dan insan terdidik sudah semestinya adalah insan beradab . Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang- terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 19-22)
Karakteristik Ulul Albâb dalam QS. Ar- Ra’d: 20-22: Pertama, Menepati janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Kedua, Orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mereka takut kepada Rabb-nya dan takut kepada hisab yang buruk. Ketiga, Orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang- terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan.
Karakteristik ini pun tergambar dalam Sîrah, yakni dalam sifat dan karakter Rasulullah . Dalam kitab târîkh dituliskan: “Di antara catatan tentang proses kehidupan Nabi kita Karakteristik ini pun tergambar dalam Sîrah, yakni dalam sifat dan karakter Rasulullah . Dalam kitab târîkh dituliskan: “Di antara catatan tentang proses kehidupan Nabi kita
dan tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, tidak pernah bersujud kepada patung atau berhala, tidak pernah memakan binatang sembelihan untuk patung, tidak pernah meminum khamr, tidak pernah berbuat keji baik dalam perkataan maupun perbuatan, tidak pernah berdusta, tidak pernah menipu seorang pun, dan justru beliau menjadi teladan dalam kejujuran dan amanah sehingga beliau dikenal sebagai orang yang jujur dan terpercaya di antara
pendu 86 duk Makkah.”
Dari ’Aisyah r.a. ia berkata: “Rasulullah bersabda: ِهِلْهَأِب ْم ه فَطْلَأَو اًق ل خ ْم ه ن َس ْحَأ اًن َّيِإ َنِنِمْؤ ْما ِلَمْكَأ ْنِم َنِإ
“Sesungguhnya termasuk orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan pali ng lembut terhadap keluarganya.” (HR. At-Tirmidzi, hadits ini shahih)
Dalam perkataan yang dinisbatkan kepada al-Hasan al-Bashri (w. 110 H) ia berkata bahwa sesungguhnya bagi ahli kebaikan itu ada tanda dimana mereka dikenal dengannya: benarnya perkataan, menegakkan amanah, memenuhi janji, menyedikitkan rasa berbangga dan tidak angkuh, menyambung tali silaturahim, menyayangi kaum yang lemah, sungguh-sungguh
dalam hal ma’ruf, baiknya akhlak, luasnya kebijaksanaan, menyebarkan ilmu... 87 Dan tidak beradab jika ada orang yang gemar menuntut ilmu dan hadits/ atsar, namun ia bersikap seperti
orang-orang pandir sebagaimana peringatan dari Hasan al-Bashri (w. 110 H):
“Janganlah engkau menjadi golongan orang yang gemar mengumpulkan ilmu ulama, kebajikan- kebajikan ahli hadits dan atsar, namun ia beramal seperti orang- 88 orang pandir.”
86 D . Abdullâh al-Hâmid dkk, Shuwarun Min at-Târîkh al-Islâmiy, ‘iyâdh: Jâ i atul I â Muha ad bi Su ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H. 87 Jamâluddin Abu al-Faraj Ibn al-Jawzi, Aadâb al-Hasan al- Bash i wa Zuhduhu wa Mawaa izhuhu, Damaskus: Daar ash-Shiddiiq, Cet. I, 1426 H, hlm. 37-38.
88 Imam Abu Hami al-Ghazali, Ihyâ Ulû ad-Dîn, jilid I, hlm. 59; dinukil dari Shâlih Ahmad asy-Syâmi, Mawâ izh al-Imâm Hasan al-Bashri, Beirut: Al-Maktab al-Islâmi, Cet. II, 1425 H, hlm. 68.
II.3.9. Memisahkan Antara Kebenaran dan Kebatilan
Allah berfirman:
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan. ” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 100)
Kebenaran dan kebatilan merupakan perkara yang jelas, sebagaimana halal dan haram pun jelas batasannya. Allah pun memerintahkan kita untuk memisahkan antara kebenaran dan kebatilan dalam ayat-Nya yang agung:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. ” (QS. Al-Baqarah [2]: 42) Syaikhul Ushû l ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah ketika menjelaskan ayat ini
menuturkan: “Yakni janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan huruf al-
bâ ’ untuk menunjukkan adanya pencampuran, dan untuk itulah ayat tersebut melarang dari dua perkara: Pertama, mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, Kedua, menyembunyikan ilmu sedangkan mereka mengetahui. Adapun mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan sesungguhnya merupakan penyesatan, dan menyembunyikan kebenaran serta menghapuskannya, keduanya termasuk dosa besar
dalam Din Allah. 89 ”
Adalah ’Umar bin al-Khaththab , salah seorang sahabat Rasulullah yang dikenal dengan julukan al-Fâruq, yakni pemisah antara kebenaran dan kebatilan, karakter ini termasuk salah satu karakteristik golongan ulul albâb. Karakteristik ’Umar ini, tergambar jelas dalam
89 Atha bi Khalil Abu a -Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 72.
catatan sejarah. Ketika Rasulullah wafat, kaum muslimin termasuk para sahabat mulai keluar dari Jazirah Arab dan mulai berhadapan dengan pemikiran dan peradaban yang kompleks. Di Persia misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqas, panglima perang yang dikirim ’Umar ke sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang. Dari laporan Ibn Khaldun, Sa’ad, sebenarnya ingin membawa buku-buku tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tapi keinginan beliau ini langsung ditolak oleh ’Umar: “Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih besar (al- Qur’an dan as-
Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana tersebut 90 .” Di sini tampak jelas bahwa ’Umar bin al-Khaththab berpegang teguh pada wasiat
Nabi dalam Haji Wada’: ِه يِبَن َةَن سَو ِها َباَتِك اًن يَب اًرْمَأ اًدَبَأ اْو ل ِضَت ْنَل ِهِب ْم تْم َصَتْعا اَم ْم كْيِف تْكَرَت ْدَق
“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian, selama kalian berpegang teguh kepadanya, selama- lamanya kalian tidak akan tersesat. Ia merupakan perkara yang jelas sejelas-jelasnya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. 91 ” (HR. Muslim)
“Jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu mengenai urusan agamamu, maka ambilah, dan jika aku telah memerintahkan kamu sesuatu mengenai suatu pendapat maka aku hanyalah manusia biasa. ” (HR. Muslim no 4375)
Hadits- hadits di atas dijadikan pegangan oleh para sahabat, termasuk ’Umar, sehingga dalam urusan dîn (akidah dan sistem kehidupan) mereka hanya berpegang teguh kepada al- Qur’an dan as-Sunnah, sementara dalam urusan ra’y (pendapat selain akidah dan sistem kehidupan), mereka diberi keleluasaan untuk memilih dan tidak perlu terikat dengan pendapat Rasul . Inilah yang dapat dipahami dari tindakan ’Umar bin al-Khaththab ketika beliau mengusulkan pembukuan al- Qur’an kepada Abu Bakr , atau ketika ’Umar mengadopsi model
90 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 530-531; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 1423 H, hlm. 15.
91 Shahîh Muslim, K. al-Hajj, no. 2137.
pembukuan (dîwân 92 ) Persia dan Romawi sebagai aspek teknis (uslûb) administratif dan manajemen 93 , sedangkan pada waktu yang sama sistem pemerintahannya termasuk filsafatnya tidak diadopsi. 94 Ini sudah cukup menggambarkan keteladanan dalam memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, dan pemahaman mana yang boleh diadopsi dan yang tidak.
Sikap ini, adalah gambaran dari prinsip ’Umar al-Fâruq yang disebutkan menuturkan:
“Kami adalah kaum yang telah dimuliakan oleh Allâh dengan Islam, sehingga kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain agama Allâh , maka Allâh menghinakan kami.”
Dan di antara prasyarat agar bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan adalah memahami keduanya. Ilmu mengantarkan seseorang agar bisa memilah antara kebenaran dan kebatilan. Dan memahami kebatilan ini sebagaimana dituturkan dalam sya’ir:
“Aku mengetahui keburukan bukan tuk melakukan keburukan, melainkan memproteksi diri darinya ” “Dan barangsiapa tak mengetahui keburukan, maka ia akan terjerumus ke dalamnya” 95
92 Dîwân adalah istilah yang berasal dari perkataan Persia, yaitu arsip yang di dalamnya ditulis nama- nama pegawai dan tentara yang dibayar, berdasarkan urutan-urutan kabilah dan asal masing-masing. Lihat: at-
Tarâtib (I/200), al-Kattani. 93 Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah, jilid I, hlm. 200-202; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas
Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, hlm. 16. 94 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 530-531; Muhammad Maghfur Wahid MA, Koreksi atas Kesalahan
Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, hlm. 16. 95 Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni, ‘awâ i al-Bayân: Tafsîr Âyât al-Ahkâm Min al-Qu â ,
Damaskus: Maktabah al-Ghazâli, Cet. III, 1400 H, jilid I.
II.3.10. Dianugerahi Hikmah
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 269)
Di antara contoh nyata karakteristik ini, Allah menganugerahkan al-hikmah kepada Luqman al-Hakim. Allah menginformasikan firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada
Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji .” (QS. Luqmân [31]: 12)
Apa makna al-hikmah? Imam Syihabuddin Al-Alusi (w. 1270 H) menukil keterangan Ibn Mardawih yang menukil pendapat Ibn ’Abbas bahwa hikmah adalah akal, pemahaman dan kecerdasan. Al-Faryabi, Ahmad dalam kitab Az-Zuhd, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Mujahid bahwa hikmah adalah akal, pemahaman dan lurusnya perkataan. 96
Imam ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa hikmah adalah meraih kebenaran dengan ilmu dan akal, maka hikmah dari Allah Ta’âlâ: pengetahuan terhadap sesuatu dan mewujudkannnya dalam tujuan tepat, dan hikmah dari manusia: pengetahuan terhadap hal-hal yang eksis dan mengamalkan berbagai kebaikan. Dan inilah sifat Luqman dalam firman Allah
‘Azza wa Jalla: ( َةَ كحلا ََقل َ يَتآ َقَل ).
96 Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni al-Alusi, Rûh al- Ma â î wa fî Tafsî al-Qu â al- Azhî wa as- Sab u al-Matsânî, Beirut: Dâr al-Kutub al- Il iyyah, Cet. I, 1415 H.
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1434 H) mendefinisikan:
“Al-Hikmah: dikasrahkan huruf hâ’-nya jamaknya hikam, mashdar dari hakama; yaitu pengetahuan atas hakikat berbagai hal (Dan telah Kami anugerahkan Luqman berupa hikmah). Yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya. 97 ”
Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) ketika menjelaskan frase ayat ( َةَ كحلا َقل يَتآ َقَلَ ) menjelaskan:
”Hikmah adalah ungkapan mengenai kesesuaian amal perbuatan dengan ilmu, maka siapa saja yang dianugerahi amal yang sesuai dengan ilmunya maka sungguh ia telah dianugerahi hikmah, dan jika kita hendak membatasi pengertian apa yang termasuk hikmah Allah, maka kami katakan bahwa ia adalah sampainya ilmu dengan kesesuaian yang diketahuinya, dan yang menjadi petunjuk atas apa yang kami jelaskan ini bahwa barangsiapa yang mempelajari sesuatu akan tetapi ia tak mengetahui kemaslahatan- kemaslahatan dan keburukan-keburukannya maka ia tidak dinamakan hakîm (orang yang memiliki hikmah-pen.) melainkan hanya disebut mabkhût (orang yang kebetulan tahu), bukankah engkau mengetahui bahwa siapa saja yang menempatkan dirinya di
tempat yang tinggi.” 98 Imam ar-Raghib al-Ashfahani meng atakan: “Hikmah adalah pengetahuan terhadap hal-
hal yang ada dan berbuat kebaikan, al-Imam pun berkata: hikmah adalah perumpamaan tentang kesesuaian amal dengan ilmu”, kemudian ia berkata: “Jika kita ingin membatasi apa yang termasuk hikmah dari Allah maka kita katakan: ”Sampainya amal perbuatan bersesuaian
dengan apa yang diketahui.” 99
97 Prof. Dr. Muhammad Rawwas dkk,
98 Mu ja Lughatil Fu ahâ : A abiy-Inkilîji.
Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb: At-Tafsîr al- Kabîr, Bei
H.
99 ut: Dâ Ihyâ at-Turats al- A abi, Cet. III,
Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husayni al-Alusi, Rûh al- Ma â î wa fî Tafsî al-Qu â al- Azhî wa as- Sab u al-Matsânî.
Imam as- Sa’di (w. 1376 H) ketika menafsirkan QS. Luqmân [31]: 12, menjelaskan bahwa Allah menginformasikan tentang ujian dari-Nya atas hamba-Nya yang utama, Luqman, dengan hikmah, yang ia definisikan:
“Pengetahuan (terhadap kebenaran) dengan petunjuk dan hikmah-Nya, dan ia adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum, dan pengetahuan terhadap apa-apa yang ada di dalamnya berupa berbagai rahasia dan hukum-hukum 100 .”
Lebih jauh lagi, Imam as- Sa’di menjelaskan bahwa terkadang ada seseorang yang menjadi ahli ilmu namun tidak menjadi orang yang memiliki hikmah. Dan adapun hikmah, adalah hal yang urgen bagi ilmu, bahkan bagi amal perbuatan, maka dari itu kata hikmah ditafsirkan sebagai ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dan ketika Allah menganugerahi Luqman kebaikan yang agung ini, Allah memerintahkannya untuk bersyukur kepada-Nya atas apa yang diberikan Allah kepadanya, agar Allah memberikan keberkahan di dalamnya, dan menambah-nambah keutamaannya, dan Allah menginformasikan bahwa rasa syukur kaum yang bersyukur, manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri dan bahwa barangsiapa yang mengkufuri dan tidak bersyukur kepada Allah, hal itu dan keburukannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan Allah Maha Kaya atasnya dan Maha Terpuji atas apa-apa yang diatur dan ditentukan oleh-Nya terhadap orang yang menyelisihi perintah-Nya. Dan kedudukan Maha Kaya bagi Allah merupakan hal yang lazim bagi Dzat-Nya dan kedudukan-Nya yang Maha Terpuji bagian dari Sifat Kesempurnaan-Nya, Maha Terpuji dalam keindahan ciptaan-Nya adalah hal yang lazim bagi Dzat-Nya dan setiap kedudukan tersebut merupakan penyifatan, sifat kesempurnaan, dan sifat yang satu berkumpul dengan yang lainnya, kian menguatkan
kesempurnaan atas kesempurnaan. 101
100 Abdu ah a bi Nashi bi Abdullah as-Sa di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân , Bei ut: Mu assasatu ‘isâlah, Cet. I,
H.
Ibid.