II MEGA EKSPOSISI & KESADARAN MODAL KULTURAL

II MEGA EKSPOSISI & KESADARAN MODAL KULTURAL

1. Nukilan Seni Lukis Bali Dalam Karya Kolektif 1000 Meter Kabupaten Gianyar

Tahun 2015 ini bertepatan dengan ulang tahun ke 244 kabupaten Gianyar, digelarlah acara melukis bersama sepanjang 1000 meter. Sebuah pameran akbar yang menampilkan segenap potensi kebudayaan di daerah Gianyar melalui kreativitas seni rupa. Acara ini tidak dimaksudkan hanya menghadirkan sensasi semata, namun sebuah acara eksposisi (presentasi) yang dilatarbelakangi pemikiran untuk memperkenalkan kembali potensi kesenian dan kebudayaan Bali melalui medium seni lukis. Di dalam karya-karya juga menampilkan nukilan seni rupa Bali berdasarkan basis konsep kesejarahan yang tak biasa, berdasarkan pembacaan estetika rupa yang digali dari khasanah pemikiran Bali sendiri.

Karena selama ini seni rupa Bali terutama seni rupa modern hanya dibaca dari keterpengaruhannya dengan Barat, terutama oleh tokoh seperti Rudolf Bonnet, Walter Spies dan Arie Smit. Hal ini tidak lah salah karena dalam kenyataan sejarah memang mereka telah menunjukkan perannya dalam mengawal seni rupa Bali. Namun ada sebuah stigma bahwa selama ini seni rupa Bali dapat berkembang hanya karena adanya pengaruh dari Barat. Stigma inilah yang ingin dibahas,

Sebagai subjek, seniman Bali sejatinya menyadari alur pergerakan artistik yang mereka lahirkan. Walaupun seolah-olah mengalir, mereka dituntun oleh konsep estetik yang berasal dari genetika (meme) kebudayaan Bali. Gen-estetik yang lahir dari evolusi dan transmutasi yang sebetulnya eklektik, tetapi berhasil diejawantahkan dalam rasa seni yang khas. Rasa inilah yang menjadikan kesenian dan seni rupa Bali unik dan khas. Ambil contoh dalam seni lukis karya maestro Lempad, jika ditelisik pada alur kreativitasnya sangat jelas menunjukkan sebuah evolusi estetika yang berasal dari seni tradisi wayang dan ornamen. Walaupun secara bentuk, kehadiran wujud realistik sering kali dikaitkan dengan pengaruh dari seniman Barat seperti Walter Spies.

Sekali lagi stigma tersebut terjadi karena orang-orang membaca seni rupa khususnya seni lukis Bali hanya dari turunan seni lukis wayang. Wayang tidaklah realis dan dalam konsep wayang memang sengaja tidak dilatarbelakangi oleh pemikiran realis. Tapi bukan berarti seniman Bali atau seniman Nusantara lama tidak mengenal realisme. Dan perlu dipahami kehadiran seni lukis dalam konteks lokal bukanlah seni yang berdiri sendiri. Namun berkaitan dengan aspek seni lainnya seperti seni patung (arca) seni bangunan, seni hias (ornamen) karena itu profesi kemasteran dalam seni rupa disebut undagi. Seniman Bali sejatinya tidak terspesialisasi dalam disiplin yang tunggal, artinya pelukis hanya tahu dan bisa melukis saja. Dalam kenyataannya dari dahulu dan sampai sekarang, seorang pelukis di Bali bisa membuat patung, mengukir, membuat Bade, Lembu dan bahkan juga kerap menari (menjadi pregina).

Seniman Bali multi talenta, karena mereka hidup dalam kosmologi yang luruh dan padu antara seni, religi dan budaya. Semuanya menjadi keseharian mereka, kosmologi inilah yang menaungi kreativitas multi dimensi itu. Karena itu juga pelukis Bali seperti Lempad akan

Even akbar kali ini akan menunjukkan kenyataan tersebut, segenap seniman Bali khususnya di Gianyar dikerahkan untuk berkarya bersama. Kebersamaan ini juga yang membedakan persepsi bahwa seniman modern-kontemporer adalah seorang individualis. Seni rupa Bali ingin menunjukkan fakta lain, bahwa menjadi modern yang melahirkan kekhasan dan ekspresi pribadi bukan berarti kemudian harus mencerabut diri dari kesadaran kolektif. Menjadi individu yang seutuhnya bukan harus kemudian menjauhkan dan membuat jarak sosial dengan yang lain, dan kolektivitas tidak serta merta membunuh karakter personal. Intinya menjadi manusia modern dan masa kini bukan berarti harus melupakan masa lalu. Spirit inilah yang diusung dalam kebersamaan melukis bersama 1000 meter, yaitu spirit aku dan kita yang dinaungi kosmologi Bali.

Berdasarkan konsep kosmologi, seni rupa Bali telah memiliki alur perkembangan yang evolutif yang jejak-jejak genetika estetiknya dapat dilacak berasal dari tradisi Rerajahan, Sastra Modre, ikonik- Wayang dan Ornamen (ukiran). Tradisi rerajahan membawa kesadaran garis yang kuat, seniman Bali terbiasa dengan garis, gurat, sejak lahir bahkan masih dalam kandungan manusia Bali telah dirajah. Rajah

tidak hanya mewujud fisik, tetapi juga kekuatan garis dan aksara yang mewujud dalam banten, mantra dan alunan suara kidung dan dentingan

Genta Pinara. Sehingga kesadaran itu telah mengendap jauh ke dalam menuju ketaksadaran dan kemudian menjadi otomatisme, inilah yang menjadikan seniman Bali ketika dia yakin maka goresan bentuk apapun dapat segera terwujud.

47

Karya Anak Agung Gede Sobrat (Padang Tegal) Sumber: Buku Museum Puri Lukisan 48

Rarajahan dan sastra seperti modre sejatinya juga adalah sarana untuk mengejawantahkan energi alam. Modre seperti hanya

kaligrafi Jepang dan Cina, yang pada dasarnya adalah mengekspresikan kesadaran diri dalam merasakan alam, merasakan energi-energi kosmis.

Rasa itulah yang kemudian diwujudkan melalui goresan. Garis adalah satu-satunya elemen dasariah yang menjadi penyebab lahirnya wujud. Tanpa garis niscaya tidak akan ada wujud, karena itulah garis dalam tradisi Bali menjadi elemen penting. Bukankah perumusan seni rupa secara modern akademis juga kemudian meletakkan garis menjadi elemen utama dasariah eksplorasi dan inovasi perwujudan seni rupa. Hal ini terbukti dengan diajarkannya Nirmana dan Drawing sebagai bagian dari kurikulum internasional pembelajaran seni rupa di pendidikan seni di seluruh dunia. Dalam pelajaran nirmana, siswa atau mahasiswa diajarkan memperkuat kesadaran garis dengan mengulang-ulang hingga menjadi otomatis.

Sementara wayang mendasari kesadaran naratif, atau pola bertutur pada seni rupa Bali. Sehingga seabstrak apapun karya seni lukis seniman modern Bali, kecenderungan naratif tidak pernah bisa ditanggalkan. Dalam tataran minimalis, narasi hadir dalam tatanan simbol dan ikon. Jadi menimbang posisi wayang sebagai dasar, seharusnya jangan dilihat dari ketradisionalan wujudnya semata, tetapi konsepsi dasar yang ada pada seni wayang seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Jika di Barat ornamen pernah ditentang oleh seniman modern bahkan dituduhkan sebagai prilaku primitif, barbar dan picisan sehingga muncul kredo “ornament is a crime” di Prancis. Namun pada kenyataannya kehidupan manusia sejatinya tak dapat dilepaskan dari kecenderungan menghias, adalah istilah “ornament of life” untuk menggambarkan bunga-bunga kehidupan. Di Bali sendiri ornamen dan seni menghias menjadi keniscayaan kehidupan religiositas dan kebudayaan, orang Bali tak pernah kuasa untuk tidak menghias hal-hal sekecil apapun. Bahkan sering kali berlebihan, lihatlah yadnya semua elemennya penuh dengan

Aspek-aspek itulah potensi seni rupa Bali, mendasari kreativitas namun karena begitu terbiasanya dan telah mendarah daging seniman Bali sering taksadar. Tidak menyadari dengan baik kekuatan dasarnya, dan terbawa arus yang tak menentu. Bagaikan terbawa arus gelombang air, sering kali baru sadar saat membentur sesuatu atau saat hampir tenggelam. Bukankah potensi dasar itulah yang menjadikan Bali unik dan menjadi stigma, namun stigma seringkali menghanyutkan membuat lupa. Sebagai insan kreatif, seniman adalah motor penggerak kebudayaan. Dengan kekhusukannya pada waktu, seniman harusnya dapat melihat kenyataan secara lebih jernih. Potensi kebudayaan Bali terutama dalam keseniannya inilah yang menjadi spirit dalam acara akbar ini, mengajak segenap insan kreatif menggali dan mengetengahkannya kehadapan masyarakat umum. Menyadarkan bahwa inilah kekayaan kebudayaan yang kita miliki bersama, dengan kekuatan inilah kita dapat membangun kesadaran dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Tema-Tema Lukisan

Seni rupa Bali telah dikenal memiliki alur perkembangan yang berbeda dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Seni rupa Bali berkembang dalam alurnya yang bersifat evolutif berdasarkan kearifan lokal. Estetika seni rupa Bali memiliki genetika-estetika yang berasal dari rerajahan, sastra-modre, ornamen (ukiran) dan wayang, serta nilai-

nilai filosofi ajaran Hindu-Bali. Aspek-aspek tersebut sangat lekat dalam perkembangan seni rupa Pita Maha dan turunannya.

Berikutnya ketika muncul arus baru, dari karya-karya seniman modern akademis yang berkembang pesat sejak tahun 1970an,

yang berasal dari empat aspek tadi, juga menggali nilai-nilai filosofi Hindu-Bali. Bahkan pada perkembangan yang paling kontemporer sejak

satu dekade belakangan, karya-karya seni rupa kontemporer Bali tetap memperlihatkan keterkaitan dengan basis estetika seni rupa Bali.

Berdasarkan latar belakang tersebut, even akbar ini memberikan alternatif tema yang bersumber dari khasanah: Rerajahan, Sastra-Modre, Ornamen dan Wayang. Juga tema-tema yang bersumber dari khasanah kebudayaan Bali masa lampau, seperti cerita Babad, Legenda. Situs-situs peninggalan sejarah khususnya di daerah Gianyar, berupa pura yang terbentang dari Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, Belahbatuh, Keramas, Sukawati hingga Batubulan. Serta tak menutup kemungkinan tema-tema sosial budaya yang dikemas secara kritis.

2. Basis-basis Perkembangan Seni Rupa Gianyar Dalam Karya Kolektif 1000 Meter

Pemetaan potensi seni rupa yang berada di daerah Gianyar diwujudkan dengan menggalang kebersamaan melalui melukis bersama ini. Acara ini dimaksudkan untuk menggugah kembali semangat kreativitas pada basis-basis perkembangan daerah, yang dibeberapa daerah kini mulai tidak dinamis lagi. Seniman yang dulunya aktif berkarya banyak “yang gantung kuas” (menyimpan kuas dan warnanya), beralih kepekerjaan lain. Melalui acara ini potensi-potensi kreatif yang terpendam, dicoba untuk dibangkitkan kembali melalui rasa kebersamaan.

Perkembangan seni rupa khususnya seni lukis Pita Maha dan gerakan setelahnya telah melahirkan mazab estetik tertutama di daerah Ubud, yang terbagi dari beberapa wilayah yang melahirkan kekhasan. Selanjutnya juga melahirkan submazab seperti: Taman, Kutuh, Padang Tegal, Tebasaya, Keliki hingga Tegalalang. Young Artist dari Penestanan,

Peliatan dengan langgam naturalis Pengosekan, serta mazab Batuan khas dan terus berkembang dinamis hingga kini. Hingga kekayaan potensi cagar budaya Pura-pura Kuno di sepanjang Das Pakerisan yang akan diangkat oleh para seniman Tampaksiring.

Perkembangan berikutnya di Gianyar juga telah lahir seniman- seniman modern akademis, dalam even ini mereka akan mengelaborasi dengan interpretasi subjektif dan kritis, segenap potensi budaya tersebut melalui ekspresi dan langgam lukisannya masing-masing.

Tidak hanya terkonsentrasi pada pemetaan Gianyar sebagai basis perkembangan seni rupa, mega even ini juga mencoba memetakan potensi intrastruktur seni yaitu lembaga seni rupa sebagai penopang secara akademik segenap potensi yang ada. Untuk itu even ini mengundang lembaga seni rupa ikut terlibat mulai dari sekolah menengah seni rupa SMKN 1 Sukawati (SMSR), kampus seni mulai dari ISI Denpasar, UHNI dan IKIP PGRI.

Dokumentasi Proses

Even melukis 1000 meter ini melibatkan seniman lebih dari 500 orang, puncak acara dilaksanakan pada tgl 18 April 2015, namun persiapan melukis sudah dilakukan sejak sebelumnya. Dengan menimbang acara ini tidak hanya difokuskan sebagai acara demonstrasi melukis semata. Tetapi sebuah mega presentasi potensi kreatif dan nukilan seni budaya Bali. Serta menimbang dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menggarap karya seni lukis yang berbasis pada teknik-teknik tradisi seperti mazab Ubud dan Batuan, begitupun teknik sigar mangsi dalam seni lukis wayang. Tidak dapat selesaikan dengan waktu hanya beberapa jam saat demonstrasi. Sehingga sebagian besar karya telah dikerjakan pada basis-basis daerah dan diselesaikan saat puncak acara. Berkaitan dengan itu maka dalam buku ini menampilkan dokumentasi peserta yang telah menggarap karya dibasisnya masing- masing, beberapa peserta yang yang prosesnya tidak dimuat mengerjakan langsung karyanya pada saat acara berlangsung.

Padang Tegal

Penestanan

Pengosekan

Kutuh Kelod

Tegallalang

Tampaksiring

Gianyar

Batuan

Guwang

ISI Denpasar