Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pustaka Buda

Dewa Gede Purwita

Diterbitkan oleh: 2015 PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR & DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN GIANYAR

Halaman 1 Pemedal Pura Desa Batuan

DAFTAR ISI

Sambutan Bupati Gianyar

Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar

Hidden Knowledge Dan Local Wisdom

I. SENI RUPA BALI SEBAGAI ASET PUSAKA BUDAYA

1. Seni Rupa Bali: Alur Perkembangan yang Memiliki Keunikan Tersendiri 10

2. Jejak-jejak Seni Rupa dari Masa Lampau Keterkaitannya dengan Daerah Gianyar

14 Ekspansi Majapahit dan Kehadiran Seni Lukis Wayang

3. Pita Maha Ubud-Gianyar: Tonggak Perkembangan Seni Rupa Bali Modern 22 Pasca Pita Maha: Geliat Kreativitas Tiada Batas

31 Desa Mas Sebagai Basis Perkembangan Seni Patung Modern

32 Ubud-Gianyar Sebagai Basis Kepranataan Seni Rupa Bali

4. Pertumbuhan Generasi Akademis Seni Rupa Modern dan Kontemporer Bali

II. MEGA EKSPOSISI & KESADARAN MODAL KULTURAL

1. Nukilan Seni Lukis Bali Dalam Karya Kolektif 1000 Meter Kabupaten Gianyar 45 Tema-Tema Lukisan 50

2. Basis-basis Perkembangan Seni Rupa Gianyar Dalam Karya Kolektif 1000 Meter

51 Dokumentasi Proses 52

64 Daftar Pustaka 71 Panitia Pelaksanaan Demo Melukis 1000 M Dalam Rangka Hut Kota Gianyar 244 Tahun 2015

III. SENI RUPA GIANYAR APRESIASI, HARAPAN & TANTANGAN

73 Daftar Nama - Nama Peserta Melukis 1000 M Dalam Rangka Hut Kota Gianyar 244 Tahun 2015

Sambutan Bupati Gianyar

Om Swastyastu Kabupaten Gianyar terkenal sebagai pusatnya kesenian, terlebih

lagi seni rupa. Gianyar juga kaya dengan artefak sejarah sebagai warisan ragawi (tangible) dari masa Bali kuno, berupa peninggalan di pura- pura tua sepanjang Das Pakerisan; dari Tampaksiring, Pejeng, Bedulu, Blahbatuh, Keramas hingga Sukawati.

Kelahiran tonggak modern perkembangan seni rupa Bali pun lahir di kota ini, dan perkembangan seni lukis Bali terjadi di awal abad ke 20 di Ubud dan Batuan. Lahir dari interaksi antara kearifan lokal dari para sangging dan undagi Bali dengan seniman dan peneliti dari Barat, berujung pada kehadiran Pita Maha tahun 1936 yang melahirkan sosok maestro Gusti Nyoman Lempad. Pendulum awal ini melahirkan gelombang kreativitas baru dari seniman alam yang tak ada hentinya terus tumbuh hingga saat ini.

Kemudian disusul dengan lahirnya seniman akademis yang mengenyam pendidikan formal dari Yogyakarta seperti Wayan Kaya, Ketut Budiana, Wayan Sika, Made Subrata “Kedol”, Nyoman Erawan, Made Djirna, Nyoman Masriadi dan sederetan nama-nama lainnya yang kini menjadi motor perkembangan seni rupa modern dan kontemporer di Bali.

Segenap potensi tersebut, kini dihadirkan dalam mega even melukis bersama sepanjang 1000 meter, yang melibatkan seniman- seniman Gianyar dari berbagai generasi dengan gaya seni lukisnya masing-masing. Sebuah acara kolosal yang digelar dalam rangkaian HUT

Kabupaten Gianyar yang ke 244. Kegiatan ini diharapkan mampu memacu dinamika seni lukis khususnya di Gianyar, sehingga dapat melahirkan lebih banyak lagi maestro yang akan mengharumkan kabupaten ini. Selain sebagai upaya fasilitasi, acara ini juga menjadi semacam pemetaan potensi seni rupa yang berada di daerah Gianyar dengan menggalang kebersamaan melalui seni lukis.

Dengan mengangkat kembali basis-basis perkembangan daerah mulai dari Ubud yang terbagi menjadi beberapa wilayah yang melahirkan langgam seni lukis khas, seperti: Br. Taman, Kutuh, Padang Tegal, Keliki, dan Tegallalang. Young Artists dari Penestanan, langgam Pengosekan, hingga gaya Batuan yang begitu khas. Melalui ekspresi seni lukis ini juga kekayaan potensi cagar budaya pura-pura kuno di sepanjang Das Pakerisan akan diangkat oleh para seniman Tampaksiring. Seniman modern akademis juga mengelaborasi kekayaan kebudayaan yang dimiliki Gianyar, dengan interpretasi subjektif dan kritis mereka melalui ekspresi dan langgam lukisannya masing-masing.

Tidak hanya terkonsentrasi pada pemetaan Gianyar sebagai basis perkembangan seni rupa, mega even ini juga mencoba memetakan potensi infrastruktur seni yaitu lembaga seni rupa sebagai penopang secara akademik segenap potensi yang ada. Untuk itu kami juga mengundang lembaga seni rupa ikut terlibat mulai dari sekolah menengah seni rupa SMKN 1 Sukawati (SMSR), kampus seni mulai dari ISI Denpasar, UHNI dan IKIP PGRI.

Akhir kata, semoga dengan even kolosal ini, diharapkan generasi muda Gianyar dan dunia dapat melihat perkembangan seni lukis dan kekayaan khasanah kebudayaan Bali. Inilah pusaka yang sangat bernilai dan tiada taranya yang dimiliki kabupaten Gianyar.

Om Santih, Santih, Santih Om Bupati Gianyar,

A. A. Gde Agung Bharata

Pengantar Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gianyar

Om Swastyastu Gianyar adalah gudangnya seniman demikian sering

disampaikan hal ini tentunya bukan hanya pomeo semata, namun memang benar adanya seperti itu. Sebagaimana halnya dalam perayaan hari ulang tahun Kabupaten Gianyar yang ke 244 ini, segenap aspek kesenian yang ada di Gianyar tampil serempak. Tak terkecuali seni rupa yang tampil secara kolosal dan gigantik dalam pameran dan acara melukis bersama 1000 meter di sepanjang jalan bypass Darma Giri Gianyar. Acara ini menampilkan potensi-potensi seni lukis Gianyar yang tersebar dimasing-masing kecamatan sekabupaten Gianyar. Dengan semangat kebersamaan mereka menumpahkan kreativitasnya dalam kanvas, mengangkat segenap potensi seni dan budaya Bali khususnya di daerah Gianyar.

Melalui seni lukis gigantik ini, ditampilkan potensi kesenian secara menyeluruh dalam tema-tema lukisan. Mulai dari kearifan pengetahuan lokal yang berasal dari rerajahan, sastra seperti modre, seni klasik wayang. Tema dari seni tari, kekayaan peninggalan sejarah Bali kuno seperti pura-pura tua di sepanjang Tampaksiring, Pejeng dan Bedulu. Peninggalan percandian dan petirtaan yang ada disepanjang Das Pakerisan yang bermula dari Tirta Empul. Tidak hanya mengangkat warisan kebudayaan, para seniman yang terlibat juga menghadirkan tema perkembangan kebudayaan Bali di masa kini yang dihadirkan dalam interpretasi visual.

Medium seni lukis memang spesial, karena di dalamnya semua Medium seni lukis memang spesial, karena di dalamnya semua

Namun pernah dalam suatu masa dinamika kemudian surut para pelukis dan pengerajin mulai beralih profesi, melalui kegiatan ini pemerintah kabupaten Gianyar melalui Dinas Kebudayaan mencoba mengangkat kembali potensi besar dalam seni rupa khususnya seni lukis. Acara ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kreativitas yang dimiliki seniman-seniman yang sempat terpendam agar bangkit kembali. Hadir bersama dalam lukisan sepanjang 1000 meter, agar khalayak luas baik daerah, nasional, maupun dunia internasional kembali melihat kebesaran daya kreativitas dalam seni lukis yang dimiliki Gianyar.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada para seniman karena telah menampilkan karya-karyanya yang sangat berkualitas, dan kami haturkan terima kasih untuk kebersamaan yang luar biasa dalam mengikuti acara ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada segenap pihak yang telah berperan dalam mensukseskan acara ini. Sebagai wujud nyata keseriusan kami pada acara ini, dalam kesempatan yang baik ini juga terbit sebuah buku yang memetakan segenap potensi seni rupa Bali khsusnya yang ada di Gianyar.

Om Santih, Santih, Santih Om Kepala Dinas Kebudayaan

Kabupaten Gianyar

Drs. Gusti Ngurah Wijana, M.M. M.Pd

HIDDEN KNOWLEDGE DAN LOCAL WISDOM

Pencapaian reputasi artistik karya tak mungkin lepas dari mata rantai sejarah yang melingkupi. Dalam sejarah Bali, kesenian mengalami masa keemasan (golden age) di bawah dinasti Warmadewa. Krida seni dipandang sederajat dengan undagi, pujangga dan profesi seni lainnya. Diantara prasasti- prasasti yang dikeluarkan Raja Anak Wungsu terdapat prasasti yang memuat goresan bermotif Bhatara Siwa menunjukan bahwa keahlian seni lukis hadir di masa itu. Seperti juga dalam prasasti Batuan abad ke-10 yang menyebut Citrakara sebagai Paguyuban seni lukis dan Amahat untuk sebutan komunitas seni pahat sesuai dengan garis profesi yang istimewa. Otoritas kesenian sebagai penerjemah, media komunikasi sastragama yang sakral menjadi bahasa gambar yang maha penting yang dimiliki Citrakara Bali mendapat porsi bermartabat.

Bukti warisan masa lalu sekaligus sebagai pengenalan sumber inspirasi seni budaya dengan kandungan harta kerohanian yang senantiasa “hidup”, tersebar di tebing sungai Petanu dan Pakerisan di Bedulu, Pejeng. Beberapa sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat.

Sarkopogus Bali merupakan hasil seni pahat yang tertua, cikal bakal seni pahat Bali. Kedok muka dengan wajah yang memperlihatkan mata melotot, telinga lebar, mulut terbuka dengan lidah menjulur keluar atau dengan gigi mencuat. Kedok muka adalah lambang nenek moyang atau pemimpin yang mempunyai kekuasaan magis yang besar, yang dapat menjadi pelindung bagi kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup dan yang memberikan kesuburan atau kesejahteraan bagi masyarakat, dengan demikian karya seni pahat pada sarkopogus, berfungsi estetik–dekoratif, juga simbolis magis. Sumber pengenalan dan perkembangan awal kriya topeng klasik Bali yang mengukuhkan ciri magis. Karya Cokot sang maestro patung primitif mengingatkan kesan kedok animisme yang telah berumur ribuan tahun.

Relief Yeh Pulu menampilkan bentuk manusia realistis dengan atribut Relief Yeh Pulu menampilkan bentuk manusia realistis dengan atribut

Menyarankan adanya penyebaran budaya Eropa, India, Kamboja, Jawa yang kemudian terserap dalam “local wisdom” Bali. Pemahat kuno memiliki teknis

kerja dan proses kerja yang matang dan cermat dari bentuk figur manusia mirip sebenarnya, anatomis dengan sikap manusiawi dan sangat realistis. Pengolahan

bentuk dan komposisi dalam pendekatan narasi mengungkap kesusastraan dan peristiwa sezaman melalui kiasan. Menginspirasi identitas, gaya, bentuk dan makna pada karya Lempad, seniman perintis.

Seni Arca perwujudan: raja, leluhur, dewa, berkembang di zaman Erlangga dan sampai zaman Singasari-Pura Kebo Edan dengan Arca Bairawa. Arca Kesari Warmadewa yang kini dikeramatkan di salah satu parahyangan di sekitar Pejeng, menunjukan pertanda nyata pengaruh sekterian di Bali.

Ikonografi yang menghasilkan jenis ekspresi Arca Dewa-Dewa dengan wajah serta busana yang khas lebih menampakkan kesan magis monumental dengan

komposisi statis frontal dalam suasana serba gaib-pengaruh Majapahit. Tampilan aura sebagai lambang kesaktian atau sifat kedewataan

adalah salah satu petunjuk dari ikonografi baru dalam seni patung Majapahit yang kemudian tampil kembali pada lukisan tradisional Bali, Lukisan Wayang

Kamasan. Ragam hias dekoratif seperti patra Sae, patra Punggel, patra Cina, patra Olanda, patra Mesir, patra Wangge dalam perbendaharaan ragam hias Bali, membuktikan adanya hubungan bangsa-bangsa Asia, Afrika, Eropa di masa lalu yang berlangsung khas, terbuka dan kondusif untuk proses berkesenian.

Kebudayaan Bali sangat dinamis, merupakan evolusi yang tiada henti selama ribuan tahun yang lalu dan bahkan hingga hari ini. Di dalamnya menyimpan pengetahuan yang terpendam, bak sumber air anakan yang tak akan pernah habis digali. Inilah potensi yang dimiliki Bali, sebuah kekuatan dengan daya tahan yang luar biasa.

Ketua Umum LISTIBIYA Kabupaten Gianyar

Anak Agung Gde Rai

I SENI RUPA BALI SEBAGAI ASET PUSAKA BUDAYA

1. Seni Rupa Bali: Alur Perkembangan yang Memiliki Keunikan Tersendiri

Bali telah dikenal luas dengan kekayaan khasanah budayanya yang dilandasi nilai-nilai agama, di dalamnya kesenian sangat terkait dengan entitas religi. Kebudayaan Bali yang sejak lama dikatakan memiliki akar tradisi yang kuat dan terus tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. Kesinambungan nilai-nilai tradisi itu juga tercermin dalam perkembangan seni rupa Bali. Berbagai kilasan sejarah mencatat bahwa seni rupa Bali menunjukkan sebuah perkembangan seni rupa yang berjalan dalam garis perkembangan tersendiri. Perkembangan itu menunjukkan pertalian seni rupa dengan nilai-nilai tradisi dan budaya.

Dengan mempertahankan kontinyuitas, sebuah kebudayaan dapat mendudukan dan menyatakan diri dalam berinteraksi dengan kebudayaan dan identitas lain dalam kancah komunikasi antar budaya (kebudayaan global). Inilah bentuk kekhasan sumber daya yang dimiliki Bali dan jarang dimiliki oleh kebudayaan di daerah lainnya. Seni rupa Bali sering diidentikkan sebagai sebentuk perkembangan yang meliliki alurnya tersendiri, yang berbeda dengan seni rupa lainnya di Indonesia. Penulis asal Canada Astri Wright dalam pengantar pameran Modern

Karya Nyoman Ngendon (Batuan) Sumber: Buku Balinese Art, Painting & Drawing of Bali 1800-2010

Karya Tjokorda Oka Gambir Koleksi ARMA

Indonesian Art, Kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat (KIAS) tahun 1990-1991 juga menyinggung perihal perkembangan seni rupa Bali sebagai “suatu perkembangan yang penting tetapi agak terpisah terjadi di Bali sekitar tahun 1930, yang terutama menggunakan sumber- sumber tradisional, ditujukan untuk kolektor-kolektor dan turis, serta dengan jelas berkembang menjadi pergerakan kesenian modern sendiri”. ( Astri Wright, 1990-1991)

Selanjutnya Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya 1996, menguraikan perkembangan seni lukis baru Indonesia menyatakan; “seni lukis Bali,…mampu mempertahankan beberapa unsur teknik nenek-moyang” (Lombard, 1996). Dalam buku Indonesian Heritage 1998, pembahasan tentang seni rupa Bali kembali mendapat ruang tersendiri. Penulis seni rupa yang juga keramikus Hilda Soemantri menjelaskan; “Bali’s unique position, with a strong indigenous tradition of painting and a broad exposure internationally, gives its modern painter a prominent place in Indonesia” (Soemantri, 1998).

Kurator terkemuka Indonesia Jim Supangkat pun menyatakan bahwa ”karya-karya seni rupa Bali memang memperlihatkan ikatan yang kuat dengan karya tradisi’. Kemudian ia menegaskan bahwa “karya-karya ini berkaitan pula dengan modernisasi dan dalam perkembangannya menampilkan pula modernitas Indonesia” (Jim Supangkat, 1999). Kekhasan yang dimaksud menyangkut perkembangan seni rupa Bali yang memiliki keterkaitan dengan arus modernis yang dibawa langsung oleh seniman-seniman Barat seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Covarrubiaz dan sederetan nama-nama seniman Barat lainnya. Pertemuan itu membawa arus perkembangan seni rupa yang sangat dinamik, terutama ketika berdiri Pita Maha tahun 1936 atas inisiatif Tjokorda Raka Sukawati bersama Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Sejak itu lahir puluhan seniman yang tumbuh dari pedesaan daerah Gianyar khususnya di kawasan Ubud dan Batuan.

Keterkaitan seni rupa Bali dengan modernitas Indonesia seperti dikatakan Supangkat terjadi pada generasi yang tumbuh dari dunia akademis. Mereka adalah seniman-seniman Bali yang mengenyam ilmu seni rupa dari pendidikan seni rupa modern seperti; Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, maupun Program Seni Rupa dan Desain Universitas Udayanya yang kemudian

Seniman-seniman generasi akademis ini menyerap kaidah- kaidah modern, seperti; kesadaran sebagai individual, tradisi fine art (seni untuk seni) dan spirit untuk selalu mencari kebaruan dalam seni. Menyerapan aspek-aspek dalam seni modern kemudian memberi pengaruh pada sikap dan cara berkesenian mereka sebagai seniman dan cara berkesenian. Walaupun dalam perkembangannya kemudian, pada tataran tematika dan bahkan konsep kekaryaan para seniman akademis juga menggali dari kasanah tradisi budaya Bali yang mereka ekspresikan dalam bahasa rupa modern dan kontemporer.

2. Jejak-jejak Seni Rupa dari Masa Lampau Keterkaitannya dengan Daerah Gianyar

Melajak jejak kehadiran seni rupa dari masa lalu di Bali, dapat ditelisik dari peninggalan-peninggalan kerajaan Bali Kuno atau kerajaan Bali pra Majapahit. Berdasarkan dari lokasi, jejak kerajaan Bali pra Majapahit sebagian besar memilih dataran tinggi. Lokasi tersebut adalah perbukitan Bali tengah sebagai lokasi yang disucikan, seperti di Kintamani Pura Puncak Penulisan, dan di sepanjang daerah Das (pinggiran) sungai Pakerisan serta sungai Petanu di sisi Barat. Meliputi daerah Tampaksiring, Pejeng hingga Bedulu. Di daerah itu banyak sekali ditemukan bangunan suci berupa pura, candi dan petirtaan, seperti pura dan taman air suci Tirta Empul, Candi Gunung Kawi di daerah Tampaksiring. Serta gugusan pura-pura besar, seperti pura Penataran Sasih yang menyimpan nekara terbesar di Asia Tenggara. Pura Kebo Edan (Siwa Bhairawa), hingga pesraman Goa Gajah daerah Bedulu. Serta situs unik relief Yeh Pulu di sebelah Selatannya. Hingga situs Pura Durga Kutri di Belahbatuh, peninggalan patung-patung klasik dengan gaya kaku di pura-pura daerah Keramas hingga Candi Sakah.

Bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa di daerah-daerah itulah dahulu pusat-pusat kerajaan Bali Kuno. Peninggalan di pura-pura tersebut menunjukkan adanya aspek kesenian yang cukup tinggi, dapat dilihat dari jejak artefak seni pahat batu paras berupa ukiran ornamen,

Karya Anak Agung Gede Raka Turas Sumber: Buku Museum Puri Lukisan

relief dan patung (arca). Hadirnya kesenian yang berkualitas tak lepas dari adanya keprofesian tertentu yang bertugas melahirkan karya seni untuk kepentingan kerajaan dan kepentingan religi. Keprofesian tersebut dikenal dengan istilah undagi, dapat dipadankan dengan arsitek-tradisional, pande pembuat peralatan dari logam. Berikutnya juga dikenal istilah sangging untuk kegiatan menggambar atau melukis wayang, mengukir dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara.

Berdasarkan data dari prasasti, istilah undagi sudah ada sejak tahun 800an M. Terdapat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun isaka 818 (tahun 896 Masehi) dicatat R. Goris, 1954 dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan; kuta, tathapi tani kasidan dudukyan anak ditu dipakaya, undagi lancang, undagi batu, undagi pengarung, me anada tu anak musirang ya marumah pande mas, pande besi Terjemahannya sebagai berikut : “kota tidak boleh diambil oleh penduduk yang ada di sana seperti tukang perahu, tukang batu, tukang terowongan, dan kalau ada orang mengungsi tinggal berumah di sana seperti pande mas, pande besi”. Berdasarkan angka tahunnya Prasasti tersebut diterbitkan pada masa pemerintahan raja Udayana.

Kemudian dalam Prasasti Batuan tahun Saka 994 (1022 masehi) yang diterbitkan pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Wardhana Marakata (1022-1025 masehi) yang merupakan anak dari

Relief Yeh pulu

raja Udayana juga memuat istilah undagi, beserta istilah lain yaitu citrakara yang dapat disejajarkan dengan pelukis (juru gambar), serta istilah sulvika untuk pemahat (pematung). Berikutnya pada pemerintahan Raja Anak Wungsu (1045-1077) yang merupakan saudara Marakata dan Airlangga mengeluarkan sebuah prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Pandak Gede yang di dalamnya menyebutkan istilah aringit yang merujuk pada wayang. Prasasti ini pun berlapiskan hiasan berbentuk wayang yang ditatahkan pada relief logam yang menggambarkan Samara Ratih berangka tahun 1071 masehi. Selanjutnya juga ada sebuah prasasti yang terdapat di Pura Kehen Bangli berangka tahun 1204 masehi berbahan logam yang berisikan pahatan mirip wayang (ibid). Ditemukan juga sebuah pahatan wayang pada sangku Sudamala di pura Pusering Jagat Pejeng yang diduga dari masa Bali Kuno.

Data dari prasasti-prasasti pada masa kerajaan Bali Kuno tersebut dapat memberikan sedikit gambaran mengenai keprofesian

umumnya mengkaji pada aspek ikonografinya, seperti yang diawali oleh Stutterheim atau pun N.J. Krom.

Ada sebuah kajian menarik dari Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ketika mengkaji Kehidupan Ekonomi pada Masa Udayana dalam serangkaian pembahasan Raja Udayana Warmadewa yang diterbitkan Pemerintah

Kabupaten Gianyar bersama Pusat Kajian Bali Unud 2014. Didalam pembahasan Puji Astiti mengetengahkan ilustrasi yang diambil dari adegan-adegan Relief Yeh Pulu. Seperti fragmen seseorang yang dengan memanggul barang sebagai ilustrasi pembahasan perdagangan pada masa Udayana. Fragmen orang yang tengah memanggul cangkul dalam ilustrasi pembahasan tentang pertanian, serta fragmen dua orang tengah menggendong Babi pada pembahasan tentang peternakan. Walaupun fragmen relief Yeh Pulu hanya dipakai sebatas ilustrasi tanpa ada pembahasan mengenai keterkaitannya dengan artefak visual tersebut. Penempatan tersebut dapat membantu memberikan titik terang perihal apa dan untuk apa relief Yeh Pulu itu dibuat di masa lampau, dan dari zaman apa dibuatnya.

Ekspansi Majapahit dan Kehadiran Seni Lukis Wayang

Kemudian ketika Majapahit menundukkan Bali dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Samprangan, kemudian pindah ke Gelgel dan terakhir dipindahkan lagi ke Klungkung. Dikenal istilah sangging, dan menjadi nama banjar tepatnya desa Kamasan Klungkung daerah yang terkenal dengan seni lukis wayang. Dalam perkembangannya istilah ini identik dengan profesi mengukir dan melukis terutama wayang. Menimbang seni lukis wayang Bali pertama kali memang lahir dari Klungkung. Sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit di Bali, kerajaan

Karya Ida Bagus Gelgel (Kamasan Klungkung) Sumber: Buku Museum Puri Lukisan

Klungkung mencapai masa keemasan pada saat pemerintahan Dalem Waturenggong (abad 14-15 masehi) dengan pusat kerajaan berada di Keraton Gelgel.

Meskipun belum ada sumber yang secara jelas menyatakan, konon masa inilah seni lukis (gambar) wayang Kamasan mulai mendapat perhatian, sebagai penghias kebesaran Puri. Ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai keberadaan seni lukis wayang Kamasan ini, menurut Ida Bagus Kautra “berdasarkan tema dan bentuk, lukisan wayang diperkirakan merupakan perkembangan dari seni gambar Prasi”. Sementara Wayan Putra (Kamasan) “seni lukis ini berasal dari perkembangan wayang kulit. Berdasarkan ciri-ciri teknik pembuatan, aturan-aturan bentuk, penampilan wajah (wanda) tak jauh berbeda dari wayang kulit”. Hal ini dapat dikaitkan dengan cerita pada Babad Dalem diceritakan bahwa di Gelgel Sri Dalam Semara Kepakisan pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya membawa beberapa pusaka termasuk sekeropak wayang kulit (Suartha, 1993).

Kemungkinan besar wayang kulit itulah yang menjadi dasar pengembangan seni lukis wayang Kamasan. Fakta lain yang dapat menguatkan hal ini justru dapat dilihat dari sosok sangging dan undagi yang kemudian sebagai maestro seni lukis modern asal Ubud yaitu Gusti Nyoman Lempad. Berdasarkan penelitian terhadap proses berkarya Lempad, ditemukan ada sketsanya yang menjiplak wayang kulit pada kertas, wayang jiplakan tersebut kemudian berisi garis kotak-kotak. Masih dalam satu kertas, tepat di sampingnya terdapat bentuk wayang yang sama, namun dalam ukuran lebih kecil yang juga berisikan garis kotak-kotak. Dari fakta tersebut, dapat ditafsir Lempad belajar menggambarkan bentuk wayang dari wayang kulit, dan kemudian diolah lebih kecil untuk kepentingan lukisan di kertas dengan memakai skala.

Perkembangan seni lukis Kamasan berikutnya, berhubungan erat dengan kepindahan pusat kerajaan dari Gelgel ke Klungkung pada pertengahan abad ke 17 masehi. Keraton baru tersebut dibangun oleh Dewa Agung Jambe setelah berhasil melakukan serangan balik terhadap Gusti Agung Maruti yang melakukan kudeta terhadap raja Klungkung Dalem Di Made. Terdapat juga sebuah cerita perihal kehadiran tokoh sering disebut-sebut mengawali seni lukis wayang di Klungkung khususnya Kamasan. Dia adalah sosok sangging Modara/Mahodara

(Meduras), konon nama aslinya adalah Gede Mersada (1771-1800an masehi) berasal dari desa Kamasan. Menurut cerita, Ia dipanggil oleh raja Dewa Agung Jambe dan diberi mandat untuk menghias Puri. Dari tangannya kemudian lahir lukisan wayang yang dilukis pada kain (ider- ider, langse, wastra) serta di parba berbahan kayu, dengan memakai warna-warna dari alam. (ibid)

Terlepas dari ketepatan narasi sejarah verbal tersebut, yang jelas dalam kenyataannya seni lukis wayang memang jejaknya dapat dilihat di Kamasan dan terutama Balai Kertagosa sebagai bagian dari peninggalan puri Klungkung. Dan keberadaan seni lukis wayang juga memperlihatkan jejak yang meluas diberbagai wilayah di Bali seperti Tabanan, Ubud (Gianyar), Karangasem, Bulelang dan Badung. Perluasan tersebut dapat ditengarai mengingat daerah-daerah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan yang menjadi bagian dari kerajaan Klungkung, sebagai pusat kekuasaan tertinggi di Bali. Sehingga seni lukis wayang yang kemungkinan telah menghiasi kemegahan kerajaan Klungkung sejak masa Dalem Waturenggong, kemudian menyebar ke kerajaan-kerajaan lainnya di Bali melalui para sangging.

Kehadiran seni lukis wayang di Gianyar khususnya di Ubud dapat dilihat dari koleksi-koleksi museum seperti Puri Lukisan, di sana tersimpan beberapa lukisan lama yang diperkiran berangka tahun 1600an, konon dibuat oleh Nang Ngales memakai kertas ulantaga dan warna alami. Serta karya oleh Nang Ramis tentang Bima bertapa memakai material yang sama.

Istilah sangging sendiri belum begitu banyak diungkap, juga belum ada prasasti yang menyebutkan istilah ini. Di Jawa memang dikenal istilah sungging atau juru sungging wayang yang merujuk pada aktivitas menggambar/melukis wayang. Memang tidak dapat dipungkiri kehadiran seni wayang telah berkembang sebelumnya di Jawa Timur, penundukkan dan migrasi besar-besaran Majapahit antara abad 14-16 tentunya juga telah membawa kesenian itu ke Bali khsusnya Klungkung.

Berdasarkan penjelajahan singkat sejarah terutama dari peninggalan di Kertagosa, kemungkinan seni lukis wayang Kamasan berkembang sejak tahun 1700an, dan dikenalnya istilah sangging bahkan dipakai sebagai nama daerah basis para senimannya. Istilah tersebut kemudian tidak hanya terbatas pada kegiatan menggambar atau

Karya Nang Ramis, Bima Semadi, 1678 Sumber: Buku Museum Puri Lukisan

mewarnai wayang saja tetapi juga kegiatan menatah (mengukir) wayang. Menimbang dalam perkembangannya istilah sangging di Bali tidak hanya mengkhusus pada profesi gambar wayang saja, orang yang juga ahli mengukir bahkan bagi juru yang mengemban tugas mengasah gigi dalam upacara potong gigi di Bali juga disebut sangging.

Sampai di sini, kehadiran profesi seniman seperti undagi dan sangging di Bali telah diwarisi sejak berabad-abad, sehingga muncul pertanyaan bagaimana sistim pembelajaran yang berlangsung pada keprofesian tersebut? Jika di Jawa dikenal ada kitab Silvasastra berasal dari India yang memuat tuntunan dan pedoman mendirikan dan menghias Candi, sementara di Bali tidak terdapat pedoman yang jelas perihal tuntunan melukis/menggambar wayang dan memahat.

Sehingga jamak dipahami bahwa seniman Bali jaman dulu belajar secara otodidak mengembangkan seni rupa Bali yang sepenuhnya berbasis pada praktik, dengan ketekunan dan keuletan dalam berkarya sehingga memiliki penguasaan teknik yang matang. Kehidupan religi yang takpernah lepas dari aktivitas seni menjadikan mereka mempunyai ruang dan waktu untuk terus mengasah penguasaan skill. Seperti diungkap oleh Claire Holt, ruang-ruang yang berbasis religi itulah kemudian mereka secara samar menyisipkan sistim pembelajaran yang terselubung pada generasi penerus mereka. Sehingga kelak dikemudian hari dapat melanjutkan dan mengembangkan penguasaan dan kreativitas mereka lebih jauh dan lebih imajinatif lagi.

3. Pita Maha Ubud-Gianyar: Tonggak Perkembangan Seni Rupa Bali Modern

Kehadiran Pita Maha tahun 1936 sebagai sebuah organisasi yang mewadahi aktivitas pelukis dan pematung Bali pada waktu itu memberikan kontribusi pada bidang pemasaran karya seni. Pita Maha bukan sanggar namun lebih mirip sebagai lembaga manajemen seperti yang kita kenal sekarang. Lembaga ini bertugas mengumpulkan karya- karya seniman Ubud dan memfasilitasi dalam pameran dan juga mencari pemasaran bagi karya-karya tersebut. Hilda Soemantri dalam buku Indonesian Heritage, menjelaskan; “the role of Pita Maha was paramount in the opening marketing outlets for Balinese painting and woodcarving. The association succeded in the organizing important exhibitons in the East Indies, Japan and Europe”(Soemantri,1998).

Secara kepranataan, Pita Maha hadir sebagai sebuah organisasi yang menaungi dan memasarkan karya-karya seniman pada waktu itu kepada wisatawan Barat yang mulai banyak datang ke Bali, dan memasarkannya sampai ke luar negeri. Semakin pesatnya pemasaran karya-karya para seniman Bali, didukung oleh adanya permintaan terhadap karya-karya tradisional Bali dari berbagai negara di Eropa. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang begitu gencar membuat program-program promosi seni dan budaya Bali. Salah satunya melalui proyek ambisiusnya adalah saat presentasi Hindia

Karya Ida Bagus Made Kembeng ( Tebesaya) Sumber: Buku Balinese Art, Painting & Drawing of Bali 1800-2010

Belanda pada pameran Kolonial se-Dunia di Bois de Vinncennes Paris pada tahun 1931. Saat itulah Ida Bagus Made Kembeng dari Tebesaya (1897-1952) mendapat Deploma de Medailed Argent, kemungkinan karena medali itu berbahan perak sehingga sering disebut mendapat medali perak.

Menyusul kemudian, dengan kehadiran Arie Smit pada tahun 1961 muncullah kelompok pelukis muda ”Young Artist” di Penestanan yang rata-rata berumur belasan tahun. Dibawah asuhan Arie Smit, anak- anak Penestanan dengan piawai memainkan warna-warna yang cerah sesuai ekspresi mereka anak-anak yang penuh dengan keriangan dan keceriaan.

Berikutnya pemerintah Belanda melalui sosok pelukis Rudolf Bonnet, menggelar pameran rutin seni rupa Bali. Tercatat beberapa pameran yang dilaksanakan antara lain, pameran Balische Kunst di Batavia Centrum tahun 1934. Sejak mulai tahun 1936 tepatnya tanggal

10 Nopember hadir pameran seni rupa Bali (Balische Kunst) dengan memakai judul Pita Maha di Bataviasche Kunstkring. Di cover katalognya menampilkan karya I Rodja, pameran melibatkan pematung lain yang umumnya dari derah Mas diantaranya seperti: Ida Bagus Njana, Ida Bagus Putu Mas, I Grembuang, Ida Bagus Ketut Bawa; Dari Batuan diantaranya: Ida Bagus Nyoman Ranteg, Dewa Kompyang Kintun I Reneh, I Tomblos, Ida Bagus Djatasura, Dewa Kompyang Kandel, Ida Bagus Tiba. Pelukis daerah Ubud diantaranya dari Tebesaya: Ida Bagus Made, I Pundut, I Sandeh, Ida Bagus Made Kembeng; dari Banjar Taman: Ida Bagus Nioman; Gusti Ketut Kobot (Pengosekan), Anak Agung Gde Sobrat (Padangtegal). Gusti Gede Raka (Peliatan), Ida Bagus Made Nadera (Tegallinggah- Bedulu), pelukis lain dari Bedulu: Gusti Dokar, Ida Bagus Nyoman Gede; Tentunya juga Gusti Nyoman Lempad sebagai sangging dan undagi puri Ubud. Keanggotaan juga tidak hanya dari wilayah Gianyar tetapi juga Denpasar yaitu Gusti Made Deblog dan Sanur: A.A. Putu Raka, Ida Bagus Rai Pidada, Ida Bagus Pugeh. Terdapat juga dari Sibang-Badung: Ida Bagus Nyoman Rai Griya, I Pungkur. Juga dari Kamasan Klungkung: Ida Bagus Gelgel, I Dogol, Nang Seken. Keanggotaan Pitamaha tidak terbatas hanya menghimpun para seniman yang bergerak di bidang seni lukis, tetapi juga seni patung, seni ukir, juga seni perak. Keseluruhan seniman yang tergabung dalam keanggotaan Pita Maha dapat dikategorikan

1. Kelompok Padang Tegal diketahui oleh A.A. Gede Sobrat.

2. Kelompok Pengosekan, diketuai oleh I Gusti Ketut Kobot.

3. Kelompok Mas diketuai oleh I Ketut Roja.

4. Kelompok Batuan diketuai oleh I Made Jata.

5. Kelompok Celuk diketuai oleh I Riyok.

6. Kelompok Denpasar diketuai oleh I Gusti Made Deblog.

7. Kelompok Klungkung diketuai oleh Pan (Nang) Seken. Selain Gusti Nyoman Lempad, dan Ida Bagus Nyana dari Griya

Mas. Sosok Cokorda Oka Gambir (1893-1952) adalah pelukis dari Puri Peliatan yang juga berperan besar dalam pendirian Pita Maha, menimbang kedekatannya dengan Rudolf Bonnet. Cokorda Gambir juga merupakan sosok guru bagi kreativitas awal Gusti Ketut Kobot (Anak Agung Gede Rai).

Dalam pengantar yang ditulis oleh J. Kats tercatat nama Gusti Nyoman Lempad terlibat dalam membentuk organisasi Pita Maha yang diprakarsai oleh Cokorda Gede Raka Sukawati bersama Rodelf Bonnet dan Walter Spies. Selanjutnya pameran Pita Maha rutin di gelar di Bataviasche dan Bandungsche Kunstkring setiap tahun, 1937, 1938, 1939, 1941, 1946. Pun disela-sela serangan agresi Belanda kembali ingin menguasai Indonesia setelah kemerdekaan RI. Tahun 1948-1949 Belanda kembali membuat serangkaian pameran yang mempromosikan seni rupa Indonesia termasuk Bali ke Amerika, dalam pameran bertajuk “Indonesian Art: a loan exhibiton from the Rroyal Indies Institute, Amsterdam, the Netherlands” di New York: Asia Intitute 31 Okt.-31 Dec. 1948, Chicago: The Art Institute of Chicago, 16 Feb.-31 Mar. 1949.

Tidak hanya dalam bentuk pameran, tahun 1939 pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan lomba seni lukis di Denpasar yang mengetengahkan I Gusti Made Deblog dari Banjar Tainsiap Denpasar, berhadapan dengan I Made Rai Regug dari Banjar Tektek, Desa Peguyangan. Kemudian perlombaan ini berlanjut pada masa pendudukan Jepang tahun 1943, dengan bertemakan “Pertoenjoekan II dari Keboedajaan Pembangoenan Negara” yang diselenggarakan berkat “Bali Sin BunSya”. Saat itu Bali dan Indonesia berada dalam wilayah kekuasaan Dai Nippon Jepang.

Karya Gusti Made Deblog (Denpasar) Koleksi Daniel Jusuf

Program-program reguler tersebut, telah memicu kreativitas para seniman Bali untuk berkarya. Mereka terpacu mengembangkan kreativitasnya masing-masing dalam lingkup basis-basis daerah. Dalam perkembangannya kemudian memicu lahirnya gaya-gaya khas dari masing-masing daerah, seperti; lukisan alam daerah Kutuh-Keliki yang detail dengan ukuran kanvas kecil. Taman, Kutuh, Padang Tegal, Keliki, hingga Tegallang. Young Artists asuhan pelukis Arie Smit dari Penestanan.

Peliatan dengan langgam Pengosekan. Pengambaran karakter figur realis pada gaya seni lukis Batuan.

Seniman Bali yang pada awalnya tidak terlalu tertarik dengan karakter bentuk realistik, dan memilih pada pakem wayang yang ikonik. Bentuk ikonik wayang menjadi begitu kuat dianut oleh seniman Bali sebelum kehadiran seniman Barat, bukan karena mereka tidak bisa

melukis secara realistik dan hanya bisa membuat bentuk figuratif wayang. Tidak hanya menyangkut soal teknis penggambaran saja,

seniman Bali dan Jawa meyakini karakter bentuk wayang memiliki nilai

menghuni alam atas dan raksasa (Bhuta) dari alam bawah. Tokoh-tokoh wayang bukan berasal dari dunia nyata, tetapi mereka berada pada dunia

ideil manusia. Wujud fisiknya hanya wahana pengejewantahan nilai-nilai yang absolut. Karena itu tidak digambarkan dalam wujud realis manusia.

Pertumbuhan seni rupa Pita Maha memberikan kontribusi besar bagi pekembangan seni rupa Bali selanjutnya, dan kelahiran seniman individual. Seniman Bali mulai terinspirasi oleh visi realis dari karya- karya seniman Barat seperti Walter Spies dan Bonnet, yang kemudian

mereka tranfigurasikan dengan ideom tradisi pewayangan hingga melahirkan seni lukis mazab Pita Maha. Hadirlah karya-karya yang lebih

realistik dengan tema-tema kehidupan sehari-hari dengan komposisi yang padat, semua terisi, penuh dan sesak, sangat sedikit ruang kosong. Terkecuali dalam karya-karya Gusti Nyoman Lempad yang hitam putih

dengan figur realistik dengan satu garis yang tegas. Lempad terkenal dengan keberaniannya membuat obyek atau figur dalam satu komposisi cerita. Menghadirkan komposisi ruang yang tidak padat seperti halnya seniman Bali lainnya

Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali tradisional memiliki bakat seni yang luar biasa, hanya saja umumnya belum memiliki kesadaran akan profesi sebagai seniman individual (dalam pengertian modern). Sebelumnya, aktivitas melukis yang dijalani merupakan aktivitas ngayah untuk membuat gambar pewayangan langit-langit, mengukir relief pada bangunan pura, membuat patung perwujudan dewa-dewa. Spirit ngayah mendasari aktivitas seni masyarakat Bali sehingga terjadi sinergi antara akivitas seni sebagai aktivitas budaya dan spiritual, luruh dalam semangat ngayah tersebut.

Perkembangan seni rupa yang terjadi setelah berdirinya Pita Maha, menyebabkan terjadi perubahan pemahaman seniman Bali pada keprofesian seniman (pelukis). Tumbuh kesadaran bahwa menjadi

seniman, adalah sebuah profesi yang menghasilkan profit dan dapat meningkatkan taraf kehidupan. Hal ini menyebabkan semakin banyak

orang Bali memutuskan untuk menjadi seniman, terutama di daerah Ubud atau Gianyar seorang seniman dapat hidup layak dan berkecupun dari kreativitasnya sebagai pelukis, pematung dan kesenian lainnya.

Melalui keprofesian tersebut, ternyata kemudian seniman Bali tetap tidak melupakan aktivitas seni sebagai sebentuk ganyah, untuk kepentingan religi yang pada umumnya bersifat sakral--transendental yang dimulai dan diakhiri dengan prosesi ritual.

Melalui Pita Maha inilah nilai-nilai identitas estetik seni lukis Bali dan kesadaran senimannya dibangun (dikonstruksi), sehingga hadir seniman-seniman yang kemudian mulai dikukuhkan posisinya sebagai seniman individual. Perkembangan selanjutnya secara perlahan mulai muncul kesadaran akan profesi seniman individual modern, hal ini dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan seniman modern Barat.

I Gusti Nyoman Lempad adalah salah satu seniman dari generasi Pita Maha, karya-karyanya menampilkan transformasi estetik seni rupa Bali pasca Hindu ke seni lukis Bali yang lebih modern.

Kemodern seni lukis Bali Pita Maha yang ditandai dengan merebaknya bentuk-bentuk realis, sebetulnya tetap memiliki keterkaitan dengan konsepsi dasar dalam kesenian Bali yang bersumber dari spirit Hindu Bali. Dalam konsepsi seni tradisional Bali sesungguhnya ada spirit “menampakkan” (merealisasikan) sesuatu yang abstrak, imajiner, ke dalam wujud nyata. Dapat dilihat pada wujud representatif dalam kaitannya dengan agama Hindu di Bali seperti, patung Dewa-Dewa, Barong dan Rangda. Wujud-wujud yang disakralkan oleh masyarakat Bali tersebut adalah sebentuk usaha merealisasikan sesuatu yang abstrak dalam agama Hindu Bali. Wujud-wujud tersebut bersifat representatif dan mengandung makna simbolik. Karena itu kecenderungan realistik dalam seni rupa (tradisi) Bali, namun realisme tradisional itu tidak berdasarkan pada kaidah mimesisme Barat (Plato dan Aristoteles) yang menjadi dasar pada perkembangan realisme di Barat.

Wujud-wujud realistik dalam seni rupa Bali berperan hanya sebagai jalan atau perantara bagi pemahaman tentang konsep-konsep (dalam Hindu Bali). Dalam konteks ini realitas tidak mengandung konsep tentang material, namun realisasi konsep yang bersifat abstrak, imajiner. Konsep inilah yang mendasari perkembangan seni realistik di Bali pada seniman Pita Maha dan turunannya. Ini dapat dilihat dari konsentrasi karya-karya mereka umumnya bukan pada kesadaran formal dan bahasa rupa, namun pada narasi yang dikandung di dalamnya.

Pembahasan tentang Pita Maha akhirnya berakumulasi, bahwa

Karya I Gusti Nyoman Lempad (Ubud) Koleksi Daniel Jusuf

Karya I Nyoman Tjokot (Jati-Tegallalang) Koleksi Daniel Jusuf

Setelah ditinggal Bonnet dan Spies tahun 1942 pameran bertajuk Pita Maha terhenti, namun kreativitas para senimannya tetap berjalan. Setelah kedatangan kembali Bonnet ke Bali pada tahun 1946, bersama Cokorda Gede Agung Sukawati sepakat membangun sebuah museum seni lukis dan patung. Untuk mendokumentasikan karya-karya maestro seniman Bali. Tahun 1953 dimulailah proyek pembangunan museum Bonnet bersama Gusti Nyoman Lempad merancang bangunannya. Pembangunannya diselesaikan secara bertahap, tahun 1956 bagunan utama museum Puri Lukisan selesai dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan Repubik Indonesia Muhammad Yamin (Jean Couteau, 1999).

Pasca Pita Maha: Geliat Kreativitas Tiada Batas

Setelah berdiri museum Puri Lukisan, kreativitas pelukis di seputaran Ubud semakin dimanis. Tahun 1960an para seniman berinisiatif mendirikan sebuah kelompok bernama ”Golongan Pelukis Ubud”. Beberapa anggota kelompok ini diantaranya: A.A. Sobrat, Dewa Nyoman Leper, Ida Bagus Made, Wayan Turun, I Regig, Nyoman Madya,

A.A. Raka Puja, A.A. Raka Turas, Dewa Putu Bedil, A.A. Gede Meregeg, Made Sukada, dan puluhan pelukis lainnya. Perkembangan berikutnya kelahiran seniman (pelukis dan pematung) semakin massif, sehingga melahirkan masab dan sub-sub mazab di masing-masing daerah seperti Kutuh, Tebasaya, Padangtegal. Lahir juga gaya Keliki dengan lukisan khas ukuran kecil, penggambaran alam di Pengosekan. Batuan pun mengalami perkembangan yang semakin dinamis dengan pemakaian warna-warna khas.

Menyusul kemudian, dengan kehadiran Arie Smit pada tahun

1961 muncullah kelompok pelukis muda ”Young Artist” di Penestanan yang rata-rata berumur belasan tahun. Dibawah asuhan Arie Smit, anak- anak Penestanan dengan piawai memainkan warna-warna yang cerah sesuai ekspresi mereka anak-anak yang penuh dengan keriangan dan keceriaan.

Desa Mas Sebagai Basis Perkembangan Seni Patung Modern

Pita Maha sejatinya tidak hanya memamerkan karya-karya seni lukis saja, tetapi juga seni patung yang sama-sama digolongkan dalam kategori seni plastis yang tengah berubah. Selain itu juga seni gambar Prasi, Perak dan Emas, Keris dan juga Kain. Perkembangan seni patung saat itu juga tengah melahirkan terobosan dari pakem-pakem tradisi Bali. Tokoh yang dikenal mengawalinya adalah Ida Bagus Nyana dari Griya Mas dan sosok I Nyoman Tjokot (Tegallalang, 1886-1971) sebagai

figur yang cukup unik. Tahun 1928 atas anjuran dari Walter Spies Ida Bagus Nyana

(Mas, 1912-1985) mulai penyederhanakan kayunya dengan amplas, beliau untuk pertama kalinya terkesan oleh serat kayu yang makin lama diperhatikan makin indah kelihatannya. Terdorong oleh hal itu beliau mulai mencoba membuat patung tanpa busana sama sekali berupa raksasa yang duduk terlingkup yang memperlihatkan serat-serat kayunya dengan gemilang. Penemuan tersebut sangat dikagumi Spies dan lahirlah jenis patung baru yang kemdian dinamakan “pepulungan” disebabkan oleh kepolosannya. IB. Nyana yang juga merupakan anggota Pita Haha memiliki kedekatan dengan W. Spies, sehingga tidak dapat dipungkiri W. Spies juga berperan dalam mendorong proses kreatif Nyana.

Dari kesendiriannya di tempat terpencil tepatnya di desa Jati Tegalalang, Nyoman Tjokot mampu melahirkan karya-karya yang imajinatif yang memiliki kandungan nilai magis. Dibuat dengan memanfaatkan bahan akar dan batang kayu yang banyak bertebaran di sekitar tempat tinggalnya di Desa Jati, Tegalalang. Ia tetap mengangkat narasi mitologi Hindu, tapi karakter bentuk dan komposisi yang ditampilkan karyanya sangat berbeda dari pakem seni patung tradisi sebelumnya, serta pahatan yang kasar memberikan kesan ekspresif memiliki karakter khas pada karyanya.

Karya Ida Bagus Nyana (Mas- Gianyar) Koleksi Daniel Jusuf

Karya Ida Bagus Tilem (Mas- Gianyar) Koleksi Daniel Jusuf

Lapisan generasi berikutnya dapat dilihat pada sosok anak dari Ida Bagus Nyana yaitu Ida Bagus Tilem (Mas, 1936-1993) yang mewarisi dasar dan teknik mematung dari ayahnya Tilem yang mengembangkan kreativitas yang membawa seni patung Bali bergerak jauh dari narasi tentang mitologi Hindu menjadi narasi kehidupan sehari-hari. Tidak saja dalam narasi, tapi Tilem juga mengembangkan kreativitas eksplorasi bentuk yang untuk selanjutnya menjadi acuan bagi seniman-seniman di daerah Mas khususnya yang sebagian besar pernah menjadi tenaga kerja (artisan) di studionya. Menurut Jean Coeteau, “ dalam karya Tilem ada perenungan, atau pemikiran, ada tema-tema yang abstrak tidak lagi pada narasi”. Mode pemiuhan dari IB. Nyana (pemanjangan atau pemendekan) kemudian diteruskan dan diperkaya oleh murid-murinya dan terutama anaknya sendiri yaitu Ida bagus Tilem.

Geliat kreativitas para pematung asal Gianyar semakin banyak, mulai dari Desa Mas Ubud dan sekitarnya. Beberapa diantaranya seperti:

I Wayan Mudana, I Ketut Geledih, I Made Gara, I Ketut Widia, I Wayan Darlun, I Wayan Balik Kumara, I Rema. Jejak-jejak ekspresif dengan merespon akar, batang, atau fosil kayu yang telah lapuk dapat dilihat dalam karya-karya I Made Sama dan Wayan Modern dari Belahbatuh dan juga I Nyoman Jedeg. Hingga kini desa Mas, Sakah, Sumampan hingga desa Buruan Belahbatuh dikenal sebagai pusat lahirnya pematung- pematung kayu yang inovatif dengan kreativitas tinggi.

Sedangkan gaya Tjokot selain diteruskan oleh anak-anaknya ada Ketut Nogos bersama saudaranya. Juga dikembangkan oleh Wayan Cemul dari Ubud dalam material Batu Padas. Serta pada sosok I Made Sukanta Wahyu dari Banjarangkan Klungkung dengan karya patung berpahatan kasar memiliki kacenderungan seperti gaya I Nyoman Tjokot.

Lahir juga sosok inovator dari Singapadu Ketut Muja dan kakaknya Wayan Pugeg. Sejak tahun 1970an Muja mulai terkenal dengan terobosan pada patung Hanomannya yang ekspresif. Berbagai terobosan artistik dilakukan oleh Ketut Muja dalam mengeksplorasi Anoman, temuan yang mengagumkan adalah karakter bulu anoman dengan berbagai karakter bahkan ada yang seperti bulu pada badan burung atau ayam. Penemuan karekter bulu itu dilaluinya melalui proses yang cukup panjang mulai dari observasi pada binatang monyet, hingga memodivikasi alat pahat, serta memahami serat dan karakter kayu.

Karya Ketut Muja (Singapadu) Koleksi Pribadi

Selain itu Singapadu juga terkenal dengan seniman pembuat Barong yang berpusat di Puri Singapadu, dan Topeng I Ketut Tangguh.

Ubud-Gianyar Sebagai Basis Kepranataan Seni Rupa Bali

Seni rupa Bali berkembang dan berevolusi didukung oleh hadirnya infrastruktur pendukung seperti arsthop, galeri, pasar seni dan museum serta jaringan pemasaran dan promosi hingga keluar negeri. Daerah Sanur telah lama menjadi basis pemasaran bagi karya seni rupa di Bali, sebelum perang dunia I telah ada artshop yang dibuat oleh Hans dan Roft Neuhaus bersaudara asal Jerman yang dikenal oleh masyarakat Sanur sebagai Tuan Be (Ikan) karena ia memiliki aquarium besar di dalam tokonya. Tahun 1932 berdiri Museum Bali yang digagas oleh W.F.J. Kroon yang saat itu menjadi Asisten Residen Bali Selatan, berdasarkan keputusan komite Walter Spies didaulat menjadi kurator (John Stowel, 2011).

Kemudian disusul dengan hadirnya organisasi Pita Maha tahun 1936, saat itu Sanur dan Denpasar khususnya di dekat Bali Hotel adalah pusat pemasaran seni rupa. Semua ini memberi ruang pada tumbuhnya eksistensi seniman Bali, yang sebelumnya hanya berkarya untuk kepentingan persembahan kehidupan religi Hindu. Hadirnya ruang eksistensi ini menyebabkan lahirnya kesadaran berkarya untuk kepentingan ekspresi dan kepentingan ekonomi dari menjual karya. Dibarengi pula dengan kesadaran eksistensial jatidiri sebagai seniman yang memiliki idealisme berkesenian.

Telah disebutkan, sejak menguasai Bali di awal abad ke 20 pemerintah kolonial Belanda telah membuat serangkaian program yang intensif untuk pengembangan dan mempromosikan seni budaya Bali khusunya seni rupa dalam serangkaian pameran (Balische Kunst). Berikutnya dalam waktu yang relatif pendek, saat Jepang menguasai Indonesia secara militer. Pemerintah Dai Nippon juga membuat kebijakan dalam mendukung seni budaya Indonesia dengan mendirikan Keimin Bunka Sidoso.

Secara khusus di Bali, Jepang mendirikan Bali Cultural Reseach Society, Balinese Cultural Association Reference Museum dan Bali Spirit Cultural Promotion Society. Lembaga terakhir didirikan pada akhir tahun 1944, “untuk menggelar penelitian bukan saja tentang sastra, tetapi juga tentang seni patung dan seni lukis” (Robinson, 2006). Namun belum banyak ditemukan catatan mengenai kegiatan pameran seni rupa Bali

Tahun 1950an G. Koopman dan Jimmy Pandy mendirikan Sindhu Art Gallery bersama Rudolf Bonnet dan dibantu oleh IB. Tilem dalam mengontrol kualitas estetik karya-karya yang dipasarkan. Selanjutnya kepranataan seni rupa Bali semakin tumbuh subur dari tahun 1980-an mengiringi boming pariwisata. Ditandai dengan kehadiran galeri yang dikelola oleh putra Bali seperti; Neka Galeri, Barwa Geleri, Rudana, Agung Rai dan berikutnya Tama Galeri Komaneka Gallery, Sika Gallery, Tonyraka Art Gallery, dan telah tumbuh lebih banyak lagi. Galeri-galeri itulah yang selama ini memamerkan karya-karya seniman Bali, bahkan seniman Nasional dan Mancanegara. Mereka menjadi tulang punggung pergerakan dan perkembangan seni rupa melalui jalur eksposisi dan juga apresiasi yang berimplikasi besar pada penjualan karya. Karena tanpa apresiasi dan penjualan karya seni, seniman sebagai insan kreatif tak mungkin bisa sepenuhnya hidup dengan kreativitas dan terus-menerus berinovasi.

Serta lahirnya inisiatif membangun museum pribadi seperti Neka Art Museum, Agung Rai Museum (ARMA), Rudana Museum, Museum Klasik Nyoman Gunarsa di Klungkung, Museum Sidik Jari Gusti Ngurah Gede Pemecutan di Denpasar dan lainnya. Museum-museum ini merupakan inisiatif yang luar biasa dalam mendokumentasikan dan merekam secara nyata karya-karya seniman, dan tonggak-tonggak perkembangan sejarah seni rupa Bali.

4. Pertumbuhan Generasi Akademis Seni Rupa Modern dan Kontemporer Bali

Perkembangan selanjutnya lahir generasi seniman Bali yang tumbuh melalui dunia akademis, yang mulai berkenalan dengan kaidah- kaidah seni rupa modern dari Barat. Mengajarkan tentang dasar-dasar seni rupa dan komposisi secara formal serta wawasan seni modern, sehingga terjadi perubahan dalam cara ungkap karya-karya seniman Bali.

Karya I Nyoman Tusan (Singaraja) Sumber: Buku Balinese Art, Painting & Drawing of Bali 1800-2010

Karya I Wayan Kaya (Gianyar) Koleksi Pribadi

Awal perkembangan generasi akademis ini dapat dilihat dalam sosok dan karya-karya almarhum I Nyoman Tusan yang menempuh pendidikan seni rupa di ITB Bandung 1954-1960 . Jurusan Seni rupa Institut Teknologi Bandung I Nyoman Tusan menyerap kaidah-kaidah formal, dan digabungkan dengan simbol-simbol budaya Bali yaitu; lamak (tamiang), cili. Karya-karyanya menampilkan komposisi garis, bidang- geometris, warna dan tekstur. Generasi berikutnya dari ada A.A. Rai Kalam dan Wayan Cidera.