Kajian tepung bungkil biji karet (TBBK) Hevea brasiliensis sebagai bahan baku pakan benih ikan mas

(1)

KAJIAN

Hev

N TEPU

vea bras

PA

SE

INST

UNG BU

siliensis

AKAN B

Cyprin

CER

EKOLAH

TITUT P

UNGKIL

SEBAG

BENIH I

nus carp

RRIA IN

H PASCA

PERTAN

BOGOR

2011

L BIJI K

GAI BAH

IKAN M

pio

Linn

NARA

ASARJA

NIAN BO

R

KARET

HAN BA

MAS

n

ANA

OGOR

T (TBBK

AKU


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

Cerria Inara


(4)

(5)

ABSTRACT

CERRIA INARA. Aquaculture. Study of Rubber Seed Meal (Hevea brasiliensis) As Feed Ingredient for Common Carp Fry (Cyprinus carpio Linn) Diet. Under direction of M. AGUS SUPRAYUDI and NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

This research was conducted to study rubber seed meal (Hevea brasiliensis) as a candidate of plant protein source in diet for common carp fry (Cyprinus carpioLinn). This study were divided into 2 experiments: digestibility and growth. Processed rubber seed meal (pRSM) and unprocessed (upRSM) were subjected to digestibility experiment and Cr2O3 at level of 0.05% was used as a tracer. The faeces were daily

collected 30-60 minutes after feeding for 14 days. Dry matter, protein, phosphorus and calcium were used as digestibility parameters. Four treatment diets with isoprotein (30%) were used to evaluate growth performance index. Diet P1 have not

contained protein come from pRSM. Diet P2 and P3 contained 50 and 75% of protein

come from pRSM. Diet P4 contained 50% of protein come from upRSM. Completely

randomized design with 4 treatments and 3 replicates were used to this experiment. Common carp fry 2.19 ± 0.005 g was entered to 18 aquariums at 20/aquarium and feed tested diet at satiation for 40 days of culture period. The evaluated parameter were survival rate, feed consumption, feed efficiency, relative growth, protein and lipid retention, water/lipid/glycogen liver content and hepatosomatic index, histological and haematological blood. The result showed that common carp fry relatively better digested pRSM than upRSM. Moreover, the increasing of protein percentage from pRSM until 50% resulted best growth perfomance indicator and haemotological blood parameter. It is concluded that pRSM can be used as protein source up to 50% in diet common carp fry.

Key words: common carp fry, Cyprinus carpio L., rubber seed meal, processed, unprocessed.


(6)

(7)

RINGKASAN

CERRIA INARA. Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan Mas Cyprinus carpio Linn. Dibimbing oleh M. AGUS SUPRAYUDI dan NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan TBBK sebagai kandidat sumber protein nabati utama berbasis bahan baku lokal dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2010 yang bertempat di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia, histologi, gambaran darah dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan mas Cyprinus carpio L. ukuran 3-5 cm sebanyak 600 ekor (lebih banyak dari jumlah yang diperlukan) berukuran 2,19 ± 0,005 g. Ikan ini merupakan hasil 1 kali pemijahan dari 1 induk ikan mas Majalaya di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Benih ikan uji ditampung dalam 3 buah bak bervolume 200 l sebagai proses aklimatisasi (lingkungan dan pakan) selama 14 hari. Bahan baku pakan uji berupa 200 kg biji karet yang berasal dari perkebunan karet alam di Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muara Jambi, Propinsi Jambi. Setelah dikeringkan, buah karet dipecahkan dan diambil bijinya selanjutnya diolah menjadi tepung. Proses pengurangan lemak TBBK hingga 15% menggunakan hidrolic press

kemudian diekstrak dengan larutan heksan selama 1 hari 1 malam. Setelah diekstrak, TBBK direndam dalam air garam dengan dosis 10 g/100 ml air selama 12 jam dan dilanjutkan dengan perebusan terbuka selama 30 menit untuk mengurangi kandungan sianida.

Penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu uji kecernaan dan uji kinerja pertumbuhan. Pakan untuk uji kecernaan menggunakan pakan rujukan dengan kadar protein 28-30%, TBBK diolah dan TBBK tidak diolah, Cr2O3 sebagai indikator dan

CMC sebagai pengikat. Pakan kemudian dianalisis kandungan protein, fosfor, kalsium dan Cr2O3. Pakan untuk uji kinerja pertumbuhan menggunakan 4 perlakuan

dan 3 ulangan dengan Rancangan Acak Lengkap, sebagai berikut: (1) P1, tidak

mendapat sumbangan protein dari TBBK; (2) P2, 50% protein dari TBBK diolah; (3)

P3, 75% protein dari TBBK diolah; dan (4) P4, 50% protein dari TBBK tidak diolah.

Sebelum pakan dibuat, bahan baku pakan dianalisis proksimat kemudian setelah pakan selesai dibuat dilakukan kembali analisis proksimat serta analisis asam aminonya menggunakan metode AOAC.

Pemeliharaan ikan pada uji kecernaan menggunakan 9 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 10 ekor/akuarium. Setiap akuarium dilengkapi dengan aerator, sistem resirkulasi dan diberi penutup plastik agar ikan tidak mudah stres terhadap lingkungan sekitar. Akuarium diletakkan dalam posisi miring (menanjak bagian


(8)

atasnya yang bertujuan agar feses ikan terkumpul pada bagian dasar akuarium). Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 14 hari masa pemeliharaan. Pada hari ke-3, feses ikan diambil 30-60 menit setelah pemberian pakan. Feses tersebut disipon dari bagian dasar akuarium kemudian ditampung dalam botol film yang selanjutnya dilakukan analisis kandungan Cr2O3, protein, fosfor dan

kalsium.

Pemeliharaan ikan pada uji kinerja pertumbuhan menggunakan 18 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 20 ekor/akuarium. Pakan diberikan secara at satiation

(sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 40 hari masa pemeliharaan. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dengan cara menimbang pakan pada pagi hari dan sisa pakan pada sore hari. Ikan yang mati hingga hari kedua diganti sesuai dengan bobotnya dan setelah itu ikan yang mati ditimbang bobotnya. Pada awal dan akhir pemeliharaan, dilakukan analisis proksimat tubuh ikan uji sedangkan untuk menjaga kualitas air agar tetap baik, feses ikan disipon pada pagi dan sore hari. Selama masa pemeliharaan, nilai kualitas air yang meliputi suhu air berkisar antara 26-27oC, pH 7, DO 4,75-4,95 mg/L dan ammonia-N (NH3-N) 0,93-1,34 mg/l. Pada akhir masa

pemeliharaan, ikan dipuasakan selama 1 hari kemudian ditimbang bobotnya dan beberapa ekor ikan dari setiap perlakuan diambil untuk analisis kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai HSI; serta gambaran darah dan histologi.

Proses pengolahan TBBK dengan cara pengurangan lemak mampu meningkatkan kecernaan total dan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Nilai tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan mas pada berbagai perlakuan pakan tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 83,33-86,67%. Perlakuan P1

memberikan nilai jumlah konsumsi pakan (JKP) tertinggi sebesar 165,43 g dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 131,93 g. Perlakuan P1 dan P2 memberikan

efisisensi pakan (EP) yang tidak berbeda nyata (p>0,05) berkisar 81,72-84,57% dan mencapai nilai terendah pada perlakuan P4 sebesar 65,24%.

Nilai retensi protein (RP) pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata

(p>0,05), berkisar 37,12-37,94% kemudian menurun pada perlakuan P3 dan P4

(p<0,05), berkisar 19,64-26,03%. Nilai retensi lemak (RL) tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (45,67%) dan nilai terendah pada perlakuan P1 sebesar 41,74%. Kadar

air hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 77,24% dan terendah pada

perlakuan P4 sebesar 71,72%. Kadar lemak hati tertinggi terdapat pada perlakuan P4

sebesar 12,16% dan terendah pada perlakuan P1 sebesar 9,33%, Nilai glikogen hati

tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,105% dan terendah pada perlakuan P4

sebesar 0,022%. Hasil pengukuran nilai hepatosomatik indeks (HSI) menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,05 dan terendah pada perlakuan P3

dan P4 sebesar 0,02

Jumlah sel darah merah (SDM) tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar

149,01x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 120,51x104 sel/mm3

sedangkan jumlah sel darah putih (SDP) tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar


(9)

Jumlah hemoglobin (Hb) terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar 5,24 g % dan

tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 5,84 g % dan jumlah hematokrit (Ht) terendah

terdapat pada perlakuan P1 sebesar 20,63% dan tertinggi pada perlakuan P4 sebesar

22,84%.

Hasil pengamatan histologi usus bagian depan benih ikan mas pada perlakuan P1 hingga P3 menunjukkan bahwa tidak terdapat kelainan spesifik tetapi pada

perlakuan P4 menunjukkan adanya nekrosis dan desquamasi epitel villi mukosa.

Begitu pula pengamatan histologi usus bagian belakang pada perlakuan P1 hingga P3

menunjukkan bahwa tidak terdapat kelainan spesifik namun terdapat nekrosis, infiltrasi sel mononuklear dan desquamasi epitel villi mukosa pada perlakuan P4.

Pada organ ginjal perlakuan P1 terjadi protein cast, nekrosis pada tubulus dan

hemoraghi ringan, begitu pula pada perlakuan P2 terjadi protein cast serta hemoraghi

ringan. Pada perlakuan P3 terjadi protein cast, hemoraghi dan infiltrasi sel

mononuklear serta pada perlakuan P4 terjadi hemoraghi, nekrosis interstitialis dan

infiltasi sel mononuklear. Selanjutnya pada otot perlakuan P1 dan P2 tidak terdapat

kelainan spesifik hanya saja pada perlakuan P3 dan P4 terjadi hyperemia sedangkan

pada organ hati perlakuan P1 hingga P3 terjadi vakuolisasi sel hati dan pada perlakuan

P4 selain terjadi vakuolisasi hati juga terjadi degenerasi sel epitel hati.

Pemberian TBBK yang diolah memberikan gambaran yang lebih baik berdasarkan sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme maupun struktur organ dibandingkan TBBK tidak diolah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa TBBK dapat menggantikan peranan tepung bungkil kedelai sebagai sumber protein nabati utama hingga 50% dari total protein pakan pada benih ikan mas Cyprinus carpio L.

KATA KUNCI: benih ikan mas, Cyprinus carpio L., tepung biji karet, diolah, tidak diolah.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

(14)

KAJIAN

Hev

N TEPU

vea brasi

PA

Sebagai Pr

SEK

INSTI

UNG BUN

iliensis

S

AKAN BE

Cyprinu

i salah satu s Magi ogram Studi

CERR

KOLAH

ITUT PE

B

NGKIL

SEBAGA

ENIH IK

us carpio

Tesis syarat untuk

ister Sains p i/Mayor Ilmu

RIA INA

PASCA

ERTANI

BOGOR

2011

BIJI KA

AI BAHA

KAN MA

o

Linn

memperoleh pada u Akuakultu

ARA

ASARJAN

IAN BO

R

ARET (T

AN BAK

AS

h gelar ur

NA

GOR

TBBK)

KU


(15)

Judul Penelitian : KAJIAN TEPUNG BUNGKIL BIJI KARET (TBBK)

Hevea brasiliensis SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN BENIH IKAN MAS Cyprinus carpio Linn Nama : Cerria Inara

NRP : C151080251

Program Studi/Mayor : Ilmu Akuakultur

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu

Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang selalu memberikan berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Kajian Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) Hevea brasiliensis Sebagai Bahan Baku Pakan Benih Ikan MasCyprinus carpio Linn”, yang dilaksanakan sejak Oktober-Desember 2010.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. M. Agus Suprayudi, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Ir. Dedy Yaniharto, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan dedikasi yang tinggi berupa arahan, bimbingan serta masukan kepada penulis.

2. Kedua orang tua tercinta, Sandin Sidar Antang dan Rayawaty Thius Narang atas segala doa, kesabaran, motivasi serta kasih sayangnya. Kakak-kakakku terkasih Robby Hendra Cyptha, SP dan Arice Sandrayathi, AP, M.Si serta Bryan Marako, S.Sn dan Nellyana, S.STP, M.Si yang telah memberikan dukungan serta nasehatnya.

3. Keluarga Besar Raya Catering dan CV. Inaraya atas segala doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis tiada henti.

4. Seluruh rekan-rekan Ilmu Akuakultur 2008 dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas persaudaraan dan kebersamaannya selama ini.

5. Seluruh staf pengajar, pegawai, laboran, teknisi lapangan, pegawai perpustakaan, petugas keamanan, petugas kebersihan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bantuan serta dedikasinya kepada penulis dalam membantu menyelesaikan karya ilmiah ini.

6. Keluarga Besar Unitly-Silahooy atas kasih sayang, motivasi serta doa yang tiada henti diberikan kepada penulis. Terkhususnya kepada Saudara Adrien Jems Akiles Unitly S.Si, M.Si yang telah memberikan kasih sayang, doa, motivasi dan selalu setia menemani sebagai seorang kakak dan sahabat terbaik bagi penulis. God bless you.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, April 2011


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palangka Raya pada tanggal 15 Juni 1985 dari ayah Sandin Sidar Antang dan ibu Rayawaty Thius Narang. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Palangka Raya. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi/Mayor Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(20)

(21)

i

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL --- ii

DAFTAR GAMBAR --- iii

DAFTAR LAMPIRAN --- iv

PENDAHULUAN --- 1

Latar Belakang --- 1

Perumusan Masalah --- 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian --- 3

Hipotesis --- 3

TINJAUAN PUSTAKA --- 4

Kebutuhan Nutrisi Ikan --- 4

Sistem Pencernaan Ikan --- 5

Kecernaan Ikan --- 8

Sumber Protein Nabati Pakan --- 9

Tepung Ikan (TI) --- 10

Tepung Bungkil Kedelai/Soybean Meal (SBM) --- 11

Tepung Bungkil Biji Karet (TBBK) --- 12

Gambaran Darah Ikan dan Histologi --- 17

METODOLOGI --- 20

Waktu dan Tempat --- 20

Ikan Uji --- 20

Persiapan Bahan Baku Biji Karet --- 20

Pakan Uji --- 21

Rancangan Percobaan --- 22

Pemeliharaan Ikan --- 22

Parameter yang Dievaluasi --- 23

Analisis Kimia --- 26

Analisis Statistik --- 27

HASIL DAN PEMBAHASAN --- 28

Hasil --- 28

Pembahasan --- 31

SIMPULAN DAN SARAN --- 41

Simpulan --- 41

Saran --- 41

DAFTAR PUSTAKA --- 43


(22)

ii

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi asam amino esensial TI (gr/100 gr protein) --- 10 2. Komposisi proksimat SBM --- 11 3. Komposisi asam amino esensial SBM (%) --- 11 4. Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang tidak terpelihara

dan cangkang --- 12 5. Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang terpelihara dan

cangkang --- 13 6. Kandungan nutrisi tepung bungkil biji karet (TBBK) dan tepung

fermentasi biji karet (TFBK) --- 13 7. Komposisi kimia TBBK tidak diolah dan TBBK diolah --- 20 8. Pakan uji kecernaan (%) --- 21 9. Pakan uji kinerja pertumbuhan --- 21 10. Kecernaan TBBK diolah dan tidak diolah pada benih ikan mas --- 28 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP),

efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan

retensi lemak (RL) --- 28 12. Kadar air, lemak, glikogen hati (%) dan nilai HSI --- 29 13. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai

perlakuan pakan --- 30 14. Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ tubuh --- 30 15. Unsur asam amino dalam tubuh ikan dan pakan perlakuan --- 33


(23)

iii

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan mas --- 7 2. Tanaman karet --- 12 3. Proses terbentuknya HCN dari glukosida --- 14 4. Unsur asam amino pada tubuh ikan dan pakan perlakuan --- 34 5. Pembuatan preparat ulas darah --- 68 6. Perhitungan kadar hematokrit --- 70 7. Hasil pengamatan histologi usus bagian depan --- 71 8. Hasil pengamatan histologi usus bagian belakang --- 72 9. Hasil pengamatan histologi ginjal --- 73 10.Hasil pengamatan histologi otot --- 74 11.Hasil pengamatan histologi hati --- 75


(24)

iv

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur analisis proksimat dan kecernaan pada pakan dan feses --- 55 2. Analisis proksimat bahan pakan yang digunakan dalam penelitian (%

bobot kering) --- 61 3. Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK

tidak diolah --- 62 4. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP),

efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan

retensi lemak (RL) --- 63 5. Retensi protein dan lemak benih ikan mas Cyprinus carpio L. yang

diberi pakan uji kinerja pertumbuhan selama 40 hari masa pemeliharaan -- 64 6. Kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) ---- 66 7. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai

perlakuan pakan --- 67 8. Hasil pengamatan histologi pada berbagai organ benih ikan mas --- 71 9. Analisis statistik --- 77


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan mas Cyprinus carpio Linn merupakan salah satu jenis ikan air tawar dan banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia. Data produksi ikan mas pada tahun 2005 sebanyak 216.920 ton meningkat pada tahun 2009 sebanyak 446.800 ton dengan wadah budidaya berupa kolam, keramba, waduk dan sawah. Ciamis, Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Purwakarta merupakan daerah pusat produksinya (DKP 2009). Produksi perikanan dunia tahun 2010 berada pada angka 144 juta ton masing-masing dari perikanan tangkap sebesar 105 juta ton (63%) sedangkan sisanya berasal dari budidaya sebesar 39 juta ton (37%) dengan jumlah yang dikonsumsi oleh manusia sebesar 114 juta ton (FAO Fishery Statistics 2010).

Dalam usaha budidaya ikan air tawar, biaya pakan sangat mempengaruhi biaya-biaya produksi. Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan koefisien teknis budidaya (efisiensi pakan, laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup). Biaya pakan ikan menempati biaya produksi tertinggi dalam kegiatan budidaya yaitu 70-89% dari total biaya produksi (Suprayudi 2010).

Sumber protein utama dalam pakan adalah tepung ikan dan tepung bungkil kedelai. Tepung ikan mengandung protein sebesar 60-70% serta memiliki kecernaan yang baik sebesar 80-90% (Lovell 1989) dan menurut Halver (1972), bahwa tepung kedelai memiliki protein sebesar 40-50,3%. Saat ini terjadi peningkatan harga tepung ikan dari US$ 1.200/ton menjadi US$ 2.000/ton. Selain itu beberapa bahan baku pakan lainnya seperti tepung kedelai serta tepung tulang dan daging/meat and bone meal (MBM) juga mengalami peningkatan harga (Indradjaja 2010). Kenaikan harga bahan baku sebesar 2-2,5 kali lipat ini secara tidak langsung meningkatkan harga pakan namun harga ikan budidaya itu sendiri khususnya ikan air tawar tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, agar keuntungan para petani ikan dapat dipertahankan maka untuk menekan harga pakan perlu dicari alternatif sumber protein yang tidak tergantung impor, ketersediaannya melimpah serta tidak


(26)

2

berkompetisi dengan manusia. Salah satu kandidatnya adalah tepung bungkil biji karet (TBBK).

TBBK dihasilkan dari biji tanaman karet yang merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam di Indonesia. Indonesia memiliki lahan perkebunan karet paling luas di dunia, yaitu 3,3 juta Ha dan 85% diantaranya merupakan perkebunan rakyat (Apriyantono 2007). Menurut Hariyono (1996), bahwa dalam 1 Ha dapat menghasilkan biji karet sebanyak 0,8-1,2 ton/tahun sehingga produksi biji karet setiap tahunnya sebesar 2,7-4,1 juta ton.

Menurut Oyewusi et al. (2007), bahwa biji karet mengandung 10-22% protein dan dalam bentuk bungkilnya mengandung 33-40% protein. Uji coba penggunaan TBBK sebagai bahan baku pakan pada ternak telah dilakukan pada ayam pedaging

strain CP 707 hingga 19% (Arossi et al. 1985 dalam Prawirodigdo 2009), 20% fermentasi menggunakan ragi tempe dan oncom pada ayam broiler (Mulyati 2003) dan 10% pada hewan babi (Madubuike et al. 2006). Pemanfaatan TBBK pada organisme akuatik pernah dilakukan dengan menggantikan protein tepung jagung sekitar 10-20% pada lele hibrid (Eyo dan Ezechi 2004).

Pada umumnya pemanfaatan protein nabati dihadapkan pada 2 kendala utama, yaitu kandungan zat anti nutrisi serta kurangnya 1-2 asam amino essensial. Menurut Soltan et al. (2008), bahwa substitusi menggunakan tepung protein asal tanaman seperti jenis leguminosa (kelor dan lamtoro), daun-daunan (mulberry leaf) dan biji-bijian (biji kapas dan biji daun matahari) memiliki kendala seperti zat anti nutrisi yang cukup tinggi dan ketersediaan asam amino lisin dan methionin yang sangat rendah. Menurut Siahaan (2009), bahwa biji karet mengandung sianida sebesar 330 mg/100 g dan lemak sebesar 32,30%.

Perumusan Masalah

Biji karet mengandung zat anti nutrisi berupa sianida (HCN). Sianida dalam pencernaan mudah diabsorsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal dan otak. Sianida ini mampu mengikat hemoglobin menjadi cyanohemoglobin dengan gejala terjadinya kesulitan bernafas akibat adanya pemblokan dalam pengambilan dan


(27)

3

penggunaan oksigen (Bahri 1987). Pada dosis rendah, sianida tidak menimbulkan kematian tetapi ikan yang terus menerus teracuni misalnya karena mengkonsumsi pakan yang mengandung sianida dapat menyebabkan diare (Eisler 1991). Selain itu, TBBK memiliki kandungan lemak yang sangat tinggi mencapai hingga 50% bahan. Melihat informasi inilah maka penelitian ini dilakukan agar peranan penting protein TBBK dalam pakan ikan dapat dikaji dengan baik.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan TBBK sebagai kandidat sumber protein nabati utama berbasis bahan baku lokal dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Ho : TBBK diolah dan TBBK tidak diolah dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada dosis tertentu tidak berpengaruh negatif terhadap sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme dan kerusakan struktur organ.

Hi : TBBK diolah dan TBBK tidak diolah dalam pakan benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada dosis tertentu berpengaruh negatif terhadap sistem pencernaan dan kecernaan ikan, gambaran darah, metabolisme dan kerusakan struktur organ.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrisi Ikan

Penyusunan pakan ikan yang dapat memenuhi kebutuhan standar maupun produksi didukung oleh pemenuhan sumber protein dan energinya. Protein dalam pakan sangat efisien sebagai sumber energi yang akan diserap dan dimanfaatkan untuk membangun atau memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak. Apabila pemenuhan protein dalam pakan kurang maka protein dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan untuk mempertahankan fungsi jaringan yang lebih penting. Sebaliknya bila ketersediaannya berlebihan maka protein tersebut tidak tergunakan dan dalam sintesisnya akan dikatabolisme dan buangan berupa nitrogen terutama amonia akan disekresikan ke perairan yang dapat membahayakan kehidupan ikan. Oleh karena itu pemberian protein yang cukup dalam pakan secara terus menerus perlu dilakukan agar pakan tersebut dapat diubah menjadi protein tubuh secara efisien (NRC 1983).

Menurut Webster dan Lim (2002), bahwa kebutuhan protein harian untuk

maintanance ikan mas adalah 1 g/kg berat badan sedangkan untuk memperoleh retensi protein optimal pada tubuhnya membutuhkan protein 12 g/kg berat badan. Protein yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan adalah 7-8 g/berat badan/hari. Kebutuhan ikan terhadap protein dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis ikan, umur ikan, ukuran ikan, kualitas protein, pakan, kecernaan pakan dan kondisi lingkungan. Pemenuhan asam amino esensial yang wajib ada pada komposisi pakan ikan adalah lisin. Kandungan nutrisi ikan mas yang baik untuk protein adalah 30-38%, kandungan lemak 4-15%, dan karbohidrat 30-40% (Furuichi 1988).

Kebutuhan energi ikan dalam pakan lebih rendah daripada hewan darat. Ikan mempunyai kebutuhan energi lebih rendah karena ikan tidak mempertahankan suhu tubuh secara tetap dan ikan relatif memerlukan energi yang kurang untuk mempertahankan posisi dan bergerak dalam air dibandingkan mamalia dan burung. Pakan yang dikonsumsi ikan akan menyediakan energi yang sebagian besar digunakan untuk metabolisme yang meliputi energi untuk beraktivitas, energi untuk pencernaan makanan dan energi untuk pertumbuhan sedangkan sebagian lainnya


(29)

5

dikeluarkan dalam bentuk feses dan bahan ekskresi lainnya (Webster dan Lim 2002). Sumber energi lain yang berperan selain karbohidrat adalah lemak. Lemak mempunyai peranan penting bagi ikan karena berfungsi sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi membran atau jaringan yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam penyerapan vitamin yang larut dalam lemak serta untuk mempertahankan daya apung tubuh (NRC 1993).

Menurut Furuichi (1988), bahwa kadar optimum karbohidrat pakan untuk golongan ikan karnivora adalah 10-20% dan golongan omnivora adalah 30-40%. Karbohidrat dalam pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme

basal dan maintenance sedangkan protein pakan dapat dipergunakan sepenuhnya

untuk pertumbuhan. Kebutuhan vitamin dan mineral pada pakan ikan mas, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran ikan, temperatur media pemeliharaan dan komposisi pakan. Pada pembuatan pakan komersial, pemberian vitamin dan mineral dapat dilebihkan menjadi 2-5 kali dari kebutuhan dasar. Hal ini dikarenakan

pada proses pembuatan pelet, mengalami teknik extrution yang menggunakan suhu

tinggi sehingga memungkinkan vitamin dan mineral rusak dan larut (Takeuchi et al. 2002).

Sistem Percernaan Ikan Pencernaan Ikan

Pencernaan merupakan proses pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih kecil, yaitu hidrolisa protein menjadi asam amino atau polipeptida sederhana dan karbohidrat menjadi gula sederhana serta dari lipid menjadi gliserol dan asam lemak. Proses pemecahan senyawa tersebut menghasilkan energi yang penting bagi kebutuhan sel, jaringan, organ dan makhluk hidup. Dalam proses pencernaan pakan melibatkan beberapa komponen, yaitu: bahan yang dicerna (pakan); struktur alat/saluran pencernaan (usus) sebagai tempat pencernaan dan penyerapan nutrien; dan cairan digestif (enzim: protease, lipase dan amilase) yang disekresikan oleh kelenjar pencernaan (hati dan pankreas) serta dinding usus. Kinerja proses pencernaan dan penyerapan pakan inilah yang mempengaruhi ketersediaan


(30)

6

nutrien dan energi untuk metabolisme sehingga berpengaruh bagi pertumbuhan (Mohanta et al. 2007).

Alat Pencernaan

Saluran pencernaan ikan mas meliputi segmen-segmen yang meliputi mulut, rongga mulut, faring, esophagus, pylorus, usus, rektum dan anus. Ikan mas dapat memakan plankton maupun invertebrata kecil. Atas dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa ikan mas merupakan ikan omnivora yang cenderung herbivora. Keadaan usus yang sangat panjang pada ikan herbivora merupakan kompensasi terhadap kondisi makanan yang memiliki kadar serat yang tinggi sehingga memerlukan pencernaan lebih lama. Hal ini dapat dibuktikan melalui pengamatan pada organ dalam ikan mas yang tidak ditemukan adanya lambung tetapi bagian depan usus halus terlihat membesar yang lebih dikenal dengan istilah “lambung palsu”. Ikan mas memilki panjang usus yang melebihi panjang tubuh ikan. Pada pengukuran yang telah dilakukan diketahui bahwa tubuh ikan mas yang digunakan memiliki panjang baku 19 cm sedangkan panjang ususnya mencapai 50 cm atau hampir tiga kali lipat dari panjang tubuhnya. Usus yang panjang tersebut bertujuan untuk mendapatkan hasil hidrolisis makromolekul makanan secara maksimal (Affandi dan Tang 2002).

Kelenjar Pencernaan

Kelenjar pencernaan pada ikan mas terdiri dari hati dan pankreas (Hidayati 2007). Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses pencernaan. Organ ini merupakan suatu kelenjar yang kompak, berwarna merah kecoklatan. Posisi hati terletak pada rongga bawah tubuh, di belakang jantung dan di sekitar usus depan. Pada bagian sekitar hati terdapat organ berbentuk kantung bulat kecil, oval atau memanjang dan berwarna hijau kebiru-biruan, yang disebut kantung empedu yang berfungsi untuk menampung cairan empedu. Organ hati tersusun oleh sel-sel hati (hepatosit) dan di antara sel-sel tersebut banyak dijumpai kapiler-kapiler darah dengan limpe sinusoid.


(31)

y y ( p e p ( O b E u p d a d Pankre yang berper yang berbe (hepatopank pankreatik b eksokrin da pencernaan, (pulau-pulau Oleh karena berhubungan Enzim Penc Enzim untuk memb paling bany ditunjukkan aktivitas enz dalam maka eas merupak ran dalam p ntuk komp kreas). Letak bermuara di u an sel endo

yaitu enzim u langerhans a sel-sel ters

n dengan kap

cernaan Ika

m merupakan bantu proses yak berperan oleh ikan m zim amilase

nan akan me

Gam

kan organ ya proses pence ak dan ad k pankreas usus depan. okrin. Hasil m protease, s) merupaka sebut merupa

piler darah (

an

n katalisator biokimia. M n dalam hi mas. Helver

lebih tinggi eningkatkan

mbar 1. Ikan ma

ang mensekr ernaan. Sec a yang dif berdekatan Secara sitolo l utama da

amilase, khi an kelompok akan sel pen (Affandi dan

biologis yan Menurut Moh drolisis kar

(2002), men i daripada pr

daya cerna

as (http://wb3.i

resikan baha ara anatomi ffus (menye n dengan us ogi, pankrea ari pankreas itinase dan k sel yang a nghasil horm n Tang 2002)

ng dihasilka hanta et al. ( rbohidrat ya nyatakan ba rotease dan ikan terhada

itrademarket.co

an (enzim) d i-histologis, ebar) di an sus depan as memiliki 2 s eksokrin

lipase. Pank ada di antara mon yang po

).

an oleh sel m (2007), bahw aitu amilase ahwa pada ik

lipase. Kebe ap bahan ma

ompdimage.jpg

dan bikarbon pankreas a ntara sel h sebab salur 2 tipe yaitu s

adalah enz kreas endokr a sel eksokr osisinya sela

makhluk hid wa enzim ya e seperti ya kan herbivo eradaan enz akanan. g) 7 nat ada hati ran sel im rin rin. alu dup ang ang ora, zim


(32)

8

Menurut Murni (2004), bahwa enzim berperan dalam mengubah laju reaksi sehingga kecepatan reaksi yang diperlihatkan dapat dijadikan ukuran keaktifan enzim. Beberapa peneliti mendapatkan enzim amilase, maltase dan sakharase pada ekstrak hati, pankreas, esofagus dan usus ikan mas. Amilase ditemukan pada seluruh jenis ikan dan pada ikan air tawar ditemukan di sepanjang saluran pencernaan walaupun aktivitasnya berkurang pada usus bagian belakang. Aktivitas amilase pada ekstrak hati dan pankreas ikan mas sebesar 5,8 dan aktivitas tripsin sebesar 1,7

(Kapoor et al. 1976). Pakan dicerna secara optimal dengan bantuan enzim dalam

pakan dan saluran pencernaan ikan sehingga energi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan ikan (Wirawati 2002).

Kecernaan Ikan

Kecernaan merupakan kombinasi mekanik dan kimia pada proses penghancuran pakan menjadi bentuk yang lebih sederhana yang siap diserap oleh dinding usus dan masuk ke dalam sistem pembuluh darah melalui proses menggunakan enzim. Nilai kecernaan adalah ukuran relatif untuk sebuah pakan yang tercerna maupun yang dimetabolis oleh ikan (NRC 1983). Kemampuan cerna ikan terhadap suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sifat kimia air, suhu air, jenis pakan, ukuran dan umur ikan, kandungan nutrisi pakan, frekuensi pemberian pakan serta jumlah dan macam enzim pencernaan yang terdapat dalam saluran pencernaan pakan (NRC 1977). Nutrien dari bahan yang berbeda mungkin dicerna dengan tingkat yang berbeda. Hal ini berhubungan dengan sumber dan komposisi bahan-bahan makanan.

Pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna dibanding dengan bahan hewani karena bahan nabati umumnya memiliki serat kasar yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan (Hepher 1988). Kecernaan pakan juga dipengaruhi oleh proses dan metode pengolahan bahan-bahan tersebut, sebab ada beberapa bahan makanan yang perlu melalui penanganan khusus karena adanya zat inhibitor dalam bahan makanan tersebut. Menurut Mokoginta

(1997), bahwa perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam pakan dapat


(33)

9

Analisa kecernaan pakan dapat dilakukan dengan mengumpulkan feses. Ketika pakan melalui saluran pencernaan, tidak semua pakan dicerna dan diserap. Bagian yang tidak dicerna dibuang dalam bentuk feses (Hepher 1988). Kecernaan pakan dan nutrien dapat ditentukan dengan menggunakan indikator yang mempunyai sifat mudah diindentifikasi atau tidak diserap sehingga dapat melewati saluran pencernaan.

Bahan kromium (Cr2O3) dapat digunakan sebagai indikator dalam menentukan

kecernaan pakan dengan asumsi semua khrom trioksida melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses (NRC 1983). Menurut Watanabe dan Pongmaneerat (1988), menyatakan bahwa Cr2O3 yang digunakan pada penentuan kecernaan ikan adalah 0,5-1,0%.

Sumber Protein Nabati Pakan

Pemenuhan nutrisi pada ikan terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral serta energi untuk melakukan aktivitas. Kebutuhan nutrisi ini dapat diperoleh dari bahan baku penyusun pakan ikan. Bahan baku pakan ini biasanya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu bahan baku yang berasal dari hewan (hewani) dan tumbuhan (nabati) (NRC 1977).

Protein dibutuhkan secara terus menerus oleh ikan untuk membentuk jaringan baru (pertumbuhan dan reproduksi) atau untuk mengganti protein yang hilang (pemeliharaan). Ketidakcukupan protein dalam makanan akan menghambat pertumbuhan atau hilangnya bobot badan karena diambilnya protein dari jaringan yang kurang penting untuk memelihara jaringan yang lebih penting sedangkan jika protein terlalu banyak maka hanya sebagian kecil yang akan digunakan untuk membuat protein baru dan sisanya akan dikonversi menjadi energi. Hal ini berarti pemanfaatan protein untuk pertumbuhan menjadi tidak efisien (Halver 1972).

Salah satu kandidat pengganti tepung bungkil kedelai sebagai sumber protein nabati dalam pakan adalah dengan memanfaatkan tepung bungkil biji karet (TBBK). Hanya saja subtitusi sumber protein nabati tidaklah selalu berhasil akibat rendahnya palatabilitas pakan, pertumbuhan serta efisiensi pakan (Burel et al. 1998 dalam


(34)

10

amino esensial, ketersediaan nutrisi, ketersediaan fosfor yang rendah serta dampak dari metabolisme Antinutritional Factor/ANFs (Medale et al. 1998; Alarcon 1999

dalam Jobling et al. 2002).Beberapa protein nabati mempunyai kekurangan satu atau lebih asam amino esensial sehingga ketersediaannya harus tetap diperhatikan. Hal ini bertujuan agar kandungan asam amino yang diberikan dalam pakan dapat mendekati kebutuhan asam amino esensial ikan (Jobling et al. 2002).

Tepung Ikan (TI)

TI merupakan sumber protein dalam pakan buatan yang dapat digunakan secara efisien (Rumsey 1993). Menurut Lovell (1989), bahwa TI memiliki protein 60-70% yang hampir 80-90% dapat dicerna oleh ikan serta memiliki lisin dan metionin yang tinggi.

Tabel 1. Komposisi asam amino esensial TI (gr/100 gr protein)

Asam Amino Esenssial TI Berwarna Putih TI Berwarna Coklat Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Threonin Glisin Valin Tirosin Alanin Asam Aspartat Asam Glutamat Serin 6,25 2,05 4,28 7,61 8,43 2,96 4,01 4,31 6,43 5,07 3,45 6,21 9,54 13,72 4,46 6,20 3,50 3,00 6,00 8,70 2,10 4,40 2,50 6,20 3,50 1,40 5,50 6,20 10,40 2,50

Sumber: (Watanabe dan Pongmaneerat 1988)

Sebagian besar TI komersial merupakan produk dari berbagai jenis ikan yang berkualitas dan mengandung sedikit lemak seperti ikan haring dan teri. Dalam pemberian pakan ada 2 jenis TI yang dapat digunakan, yaitu TI berwarna putih dan TI berwarna coklat. TI berwarna putih memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi


(35)

11

dibandingkan dengan TI berwarna coklat tetapi harganya jauh lebih tinggi (Wiramiharja et al. 2007).

Tepung Bungkil Kedelai/Soybean Meal (SBM)

SBM memiliki kandungan protein dan asam amino esensial yang lebih baik

dibandingakan protein nabati lain (Watanabe dan Pongmaneerat 1988). Menurut

Furuichi (1988), bahwa SBM memiliki ketersediaan asam amino esensial yang cukup bagi pertumbuhan ikan namun kekurangan metionin dan lisin.

Tabel 2. Komposisi proksimat SBM

Komposisi Proksimat Kandungan (%)

Air Abu Protein Lemak Serat Kasar BETN 10,57 6,95 35,21 3,12 10,57 33,58 Sumber: Hasil analisa (Abidin 2006)

Tabel 3. Komposisi asam amino esensial SBM (%)

Asam Amino Esensial SBM

Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Fenilalanin Threonin Trytophan Valin 7,15 1,93 4,66 8,22 6,28 1,29 5,33 4,09 0,49 4,42 Sumber: Yamamoto et al. (1994)

SBM memiliki makromineral dan mikromineral yang rendah termasuk fosfor jika dibandingkan dengan tepung ikan (NRC 1983). Selain itu SBM merupakan sumber vitamin B (Hertrampf dan Felicitas 2000; Bureue 2005; Cheng et al. 2003). Tingkat kecernaan energi SBM pada umumnya berkisar 2.572-3.340 kkal/kg


(36)

(10,8-12 14,0 M dengan Kandu B keselu Tabel 4 P Keteran Sumber B sebesa Yeong MJ/kg). Pada n tingkat kec

ungan Nutr

Biji karet te uruhan (Arito 4. Komposis cangkang Parameter (% Air Lemak Protein Serat Abu pH ngan: * = tidak r: Siahaan (200

Biji karet m ar 55-56% da g 1977).

a ikan chann

cernaan ener

Tepun risi TBBK

erdiri atas k onang 1988) Gam si proksimat %) Bij k dianalisis 09)

merupakan l ari daging b

el catfish tin rgi sebesar 5

ng Bungkil

kulit yang k ).

mbar 2. Tanama

daging biji ji Segar (%)

35,48 41,00 16,49 9,39 3,25 * limbah indu iji dan 60%

ngkat kecern 51,4% (Hertr

Biji Karet (

keras dan 5

an karet (www

karet dari k Biji Ker 7,8 44, 17, 10, 2,9 6,4 ustri minyak dari hasil pe

naan protein rampf dan F

(TBBK)

7% daging

w.platanum.com

kebun yang ring (%) C

85 ,50 ,86 ,16 96 47

k biji karet enggilingan

kasar sebesa elicitas 2000

biji dari bo

m) tidak terpeli Cangkang (% * 0,48 * * * *

t dengan pe sederhana ( ar 81,8% 0). obot biji ihara dan %) ersentase Ong dan


(37)

13

Tabel 5. Komposisi proksimat daging biji karet dari kebun yang terpelihara dan cangkang Parameter (%) Biji Segar (%) Biji Kering (%) Cangkang (%)

Air 36,64 4,41 *

Lemak 45,29 47,38 0,49

Protein 18,12 18,20 *

Serat 15,37 16,08 *

Abu 2,67 2,79 *

pH * 5,32 *

Keterangan: * = tidak dianalisis Sumber: Siahaan (2009)

Hasil analisa proksimat dan komposisi asam amino pada tepung bungkil biji karet (TBBK) dan tepung fermentasi biji karet (TFBK) dari beberapa penelitian tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan nutrisi tepung biji karet (TBBK) dan tepung fermentasi biji karet (TFBK)

Komponen

Kandungan

TBBK TFBK

1 2 3 4 5

Energi metabolis (kkal/kg) Berat kering (%)

Protein (%) Serat kasar (%) Lemak (%) Abu (%) BETN (%) Ca (%) P (%) Metionin Lisin Arginin Tritophan Leusin Sistin - 92,00 25,10 15,40 11,60 4,60 35,30 0,30 0,63 - - - - - - 2.550,00 94,11 26,70 12,30 8,20 4,49 4,49 0,09 0,29 0,28 0,70 1,98 - 1,40 0,57 - 90,00-95,00 25,00-33,00 4,40-17,60 4,70 4,50-6,50 24,00-45,00 0,30-0,43 0,29-0,90 0,20-0,30 0,40-0,70 1,50-1,90 - 0,80-1,10 0,20-0,60 - 91,50 33,20 4,60 8,50 5,30 45,30 0,88 0,94 - - - - - - - 31,39 33,40 14,17 11,34 6,19 34,90 0,42 0,66 0,18 1,65 3,14 - 2,12 0,57 Sumber:

1. Ong dan Yeong (1977) 2. Toh dan Chia (1977) 3. Aritonang (1988) 4. Karosii et al. (1985) 5. Rachmawan (2001)


(38)

14

Zat Anti Nutrisi pada TBBK

Menurut Rachmawan (2001), menyatakan bahwa faktor zat anti nutrisi dalam biji karet adalah “sianogenik glukosida” yang disebut linamarin. Linamarin mengurai bersama dengan enzim linamarase (β-glukosidase) dan hidroksinitrilliase menjadi sianida (HCN). Enzim linamarase (β-glukosidase) dan hidroksinitrilliase terletak di sitosol sedangkan linamarin berada di vakuola sehingga dalam keadaan normal proses penguraian tidak akan terjadi. Setiap bagian tanaman mempunyai kandungan sianida yang berkaitan. Kandungan tertinggi terdapat dalam biji, diikuti oleh buah, daun,

batang dan akar (Valkenburg dan Bunyapraphatsara 2001). Apabila biji karet

dihancurkan, diiris ataupun dikunyah sehingga terjadi kerusakan dinding sel jaringannya, tonoplas akan pecah maka kedua enzim tersebut akan berhubungan dengan linamarin dan terjadi proses penguraian yang menghasilkan glukosa dan asam

sianida (Liener 1969; Cheeke dan Shull 1985; Kakes 1990; McMahon et al. 1995

dalam Mulyati 2003). Proses terbentuknya HCN dari glukosida dapat dilihat pada Gambar 3.

Sianogenik glukosida β-glukosidase Glukosa + Aglikon

Aglikon Hidroksitrilliase HCN + Aldehid atau keton

Gambar 3. Proses terbentuknya HCN dari glukosida (Cheeke dan Shull 1985; McMahon 1995 dalam Mulyati 2003)

Sianida ini menimbulkan gangguan fisiologik sebagai akibat tidak terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung pada sitokrom oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi oksidatif. Selama siklus metabolisme masih bergantung pada sistem transport elektron, sel tidak mampu menggunakan oksigen sehingga menyebabkan penurunan respirasi serobik dari sel. Hal tersebut menyebabkan histotoksik seluler hipoksia. Bila hal ini terjadi maka jumlah oksigen mencapai jaringan normal namun sel tidak mampu menggunakannya sehingga dapat


(39)

15

disimpulkan bahwa keracunan sianida terjadi akibat ketidakmampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tersebut (Anonim 2011).

Secara alamiah HCN masuk ke dalam peredaran darah tubuh melalui beberapa jalur. Biasanya sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Sianida di dalam pencernaan mudah diabsorsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal atau otak. Begitu konsentrasi sianida dalam darah meningkat maka laju respirasi menjadi lambat (menurun) dan terjadi sesak nafas akibat kekurangan oksigen pada otak yang menyebabkan timbulnya kejang-kejang. Ikatan oksidasi besi ferro dalam hemoglobin menjadi ferri menghasilkan metHb (Fe3+). Bila hemoglobin berubah menjadi met-Hb, darah akan kehilangan kemamampuannya untuk mengikat oksigen. Hal ini menyebabkan terjadinya disosiasi, reaksi berbalik arah sebagai akibatnya timbul bahaya gangguan fisiologis, yang memungkinkan terjadinya penurunan tekanan darah karena hadirnya nitrit (Anonim 2011).

Sianida menimbulkan banyak gejala termasuk pada tekanan darah, penglihatan, saraf pusat, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan karena efek racun dari sianida adalah memblok pengambilan dan penggunaan dari oksigen maka akan didapatkan rendahnya kadar oksigen dalam jaringan dan lebam pada tubuh yang berwarna merah bata (Anonim 2008). Sianida dapat membentuk senyawa tiosianat bersama sulfur yang menghambat penyerapan iod pada kelenjar thyroid. Kelainan-kelainan yang terjadi lainnya adalah penyakit ataxic neuropathy pada manusia dan kekerdilan pada tikus (Abrar 2001). Pada manusia meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg/berat badan per hari. Gejala keracunan sianida antara lain, meliputi penyempitan saluran napas, mual, muntah, sakit kepala bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian (Véteer 2000).

Tingkat toksisitas sianida dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: ukuran dan jenis hewan; kecepatan mengunyah makanan; jenis sianogen dalam makanan; keaktifan enzim dalam degradasi makanan dan detoksifikasi sianida. Mekanisme toksisitas sianida terjadi bila berikatan dengan trivalen ferric (Fe3+), yaitu non


(40)

16

aktifnya sistem enzim sitokrom oksidase yang terdiri dari sitokrom a-a3 komplek dan sistem transport elektron. Bilamana sianida mengikat enzim komplek tersebut, transport elektron akan terhambat sebagai akibatnya akan menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan mengikat racun (Anonim 2011).

Sianida dalam tubuh dapat diukur pada plasma, sel darah merah atau urin. Jumlah distribusi dari sianida berubah-ubah sesuai dengan kadar zat kimia lainnya di dalam darah. Pada percobaan HCN pada tikus didapatkan kadar sianida tertinggi terdapat pada paru yang diikuti oleh hati kemudian otak. Bila sianida masuk melalui sistem pencernaan maka kadar tertinggi adalah di hati (Anonim 2008).

Menurut Siahaan (2009), bahwa biji karet mengandung sianida 330 mg/100 g. Sianida mempunyai sifat autohidrolisis pada suhu 28ºC maka pada suhu kamar sudah terjadi penguapan (pelepasan sianida) sehingga terjadi penurunan kandungan dan

daya toksiknya (Yuningsih et al. 2004). Menurut Ngoku dan Ononogbu (1998),

bahwa kandungan sianida dalam biji karet dapat dihilangkan dengan cara pemanasan

pada suhu 60oC ataupun dengan perebusan dengan perbandingan biji karet dan air

sebesar 1 : 2-3 (Judoamidjojo et al. 1989). Tingkat kecepatan pelepasan sianida berlainan dari tiap tanaman yang mengandung sianogen tergantung dari penguraian jenis sianogennya (Everist 1974). Sebagai contoh sianogen amygdalin (dalam biji) mempunyai ikatan sianida lebih kuat (lebih lambat pelepasan sianidanya)

dibandingkan dengan sianogen dhurrin (dalam daun). Selain jenis sianogennya,

pelepasan sianida juga tergantung adanya peluang kontak antara sianogen dengan enzim (dalam tanaman itu sendiri), misalnya dengan cara pencacahan atau pemotongan yang dapat mempercepat pelepasan sianida (Tweyongyere dan Katongole 2002).

Oleh karena itu, biji karet harus diolah menjadi konsentrat terlebih dahulu agar dapat dimanfaatkan. Konsentrat merupakan hasil pemekatan fraksi protein biji karet yang kadar proteinnya sudah tinggi menjadi lebih tinggi lagi. Dalam pembuatannya, fraksi protein akan meningkat lagi dengan cara mengurangi atau menghilangkan lemak atau komponen-komponen non protein lain yang larut (Zuhra 2006).


(41)

17

Gambaran Darah Ikan dan Histologi

Gambaran Darah

Darah terdiri dari cairan plasma dan sel-sel darah, yaitu sel darah merah (SDM), sel darah putih (SDP) dan keping darah (trombosit). Plasma darah merupakan suatu cairan jernih yang mengandung mineral-mineral terlarut, hasil absorbsi dari pencernaan makanan, buangan hasil metabolisme oleh jaringan, enzim, antibodi serta

gas terlarut (Lagler et al. 1977). Dalam plasma darah terkandung garam-garam

anorganik (natrium klorida, natrium bikarbonat dan natrium fosfat), protein (dalam bentuk albumin, globulin dan fibrinogen), lemak (dalam bentuk lesitin dan kolesterol), hormon, vitamin, enzim dan nutrien. Protein plasma berperan dalam respon kekebalan tubuh, penyangga perubahan pH darah dan mengatur tekanan osmotik (Bond 1979).

Sel darah ikan diproduksi di dalam jaringan hematopoietik yang terletak di ujung anterior ginjal dan limpa. Berbeda dengan mamalia, pada ikan tidak ada sumsum tulang namun ikan memiliki limfonodus. Pada ikan, darah dibentuk di dalam organ ginjal, limpa dan timus (Dellman dan Brown 1989). Fungsi darah pada ikan yaitu untuk mengedarkan zat makanan hasil pencernaan dan oksigen ke sel-sel tubuh serta membawa hormon dan enzim ke organ yang memerlukannya. Beberapa parameter yang dapat memperlihatkan perubahan pada darah adalah jumlah sel darah merah (SDM), sel darah putih (SDP), kadar hemoglobin (Hb) dan kadar hematokrit (Ht) (Lagler et al. 1977).

SDM pada ikan merupakan sel dengan jumlah paling banyak, mencapai 4x106

sel/mm3 (Moyle dan Cech 2004). Jumlah SDM bervariasi pada tiap spesies dan

biasanya dipengaruhi oleh stres dan suhu lingkungan. Menurut Moyle dan Cech (2004), bahwa jumlah SDM pada ikan mas Cyprinuscarpio adalah 1,43x106 sel/mm3. SDM mengandung hemoglobin yang merupakan protein-pigmen kompleks yang mengandung zat besi, yang merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah


(42)

18

merah. Sebagai intinya Fe dan rangka protoperphyrin serta globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan membentuk oxihemoglobin dalam sel darah merah. Hemoglobin dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel menuju paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti terjadinya kekurangan darah yang disebut anemia. Anemia merupakan keadaan menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal. Hampir semua gangguan pada sistem peredaran darah disertai dengan anemia yang ditandai dengan warna kepucatan pada tubuh, penurunan kerja fisik dan penurunan daya tahan tubuh (Moyle dan Cech 2004). Konsentrasi hemoglobin diukur berdasarkan pada intensitas warna dan dinyatakan

dalam satuan gram hemoglobin/100 ml darah (g/100 ml) (Lagler et al. 1977).

Konsentrasi hemoglobin ikan mas (Cyprinus carpio) adalah 6,40 g % (Houston dan

De Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004).

SDP dikelompokkan berdasarkan pada ada tidaknya butir-butir (granul) dalam sitoplasma, yaitu granulosit dan agranulosit. Kelompok granulosit meliputi neutrofil, eosinofil dan basofil. Jenis ini memiliki sifat reaksi terhadap zat tertentu yaitu leukosit eosinofil yang bersifat asidofil (berwarna merah oleh eosin), leukosit basofil berwarna basofil (ungu) dan leukosit netrofil bersifat tidak basofil maupun asidofil

(Dellman dan Brown 1989). Menurut Lagler et al. (1977), jumlah SDP berkisar

antara 20-150 x 104 sel/mm3.

Menurut Alifuddin (1993), bahwa hematokrit merupakan perbandingan antara plasma dengan padatan darah. Perbandingan antara keduanya dibaca dengan pembaca

mikrohematokrit dalam satuan %. Nilai hematokrit Cyprinus carpio adalah 27,1%

(Houston dan De Wilde 1968 dalam Moyle dan Cech 2004). Pada keadaan hipoksia

akan menyebabkan sel membengkak sehingga meningkatkan nilai hematokrit (Heath 1987).


(43)

19

Histologi merupakan teknik yang digunakan untuk mempelajari jaringan normal sedangkan untuk pengamatan kelainan-kelainan pada jaringan disebut teknik histopatologi. Histopatologi secara biologis digunakan untuk mengukur efek stres lingkungan terhadap hewan (jaringan). Perubahan histopatologi merupakan indikator perubahan secara biokimia dan fisiologi yang digunakan untuk menentukan efek yang akan terjadi seperti pada pertumbuhan, reproduksi, pertahanan diri serta stabilitas

populasi (MacKim 1985; Meyer dan Hendricks 1985 dalam Hinton dan Laurtn 1990).

Preparasi jarigan meliputi beberapa langkah termasuk fiksasi jaringan, dehidrasi,


(44)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai Desember 2010 yang

bertempat di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia, histologi, gambaran darah dan kualitas air dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Laboratorium Nutrisi Ikan, Laboratorium Kesehatan Ikan, Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor.

Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan mas Cyprinus carpio L. ukuran 3-5 cm sebanyak 600 ekor (lebih banyak dari jumlah yang diperlukan) berukuran 2,19 ± 0,005 g. Ikan ini merupakan hasil 1 kali pemijahan dari 1 induk ikan mas Majalaya di

Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor. Benih ikan uji ditampung dalam 3 buah bak bervolume 200 liter air sebagai proses aklimatisasi (lingkungan dan pakan) selama 14 hari.

Persiapan Bahan Baku Biji Karet

Bahan baku pakan uji ini berupa 200 kg biji karet yang berasal dari perkebunan karet alam di Desa Pondok Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muara Jambi, Propinsi Jambi.

Tabel 7. Komposisi kimia TBBK tidak diolah dan TBBK diolah

Komposisi TBBK Tidak Diolah TBBK Diolah

Protein (%) 21,87 33,82

Lemak (%) 49,30 15,07

Serat Kasar (%) 3,19 15,03

Abu (%) 3,14 5,06

Air (%) 1,50 11,00

BETN (%) 21,00 20,02

Sianida (mg/kg) 18.200 10.920


(45)

21

Setelah dikeringkan, buah karet dipecahkan dan diambil bijinya selanjutnya diolah menjadi tepung. Proses pengurangan lemak TBBK hingga 15% menggunakan

hidrolic press kemudian diekstrak dengan perendaman dalam larutan heksan selama 1 hari 1 malam. Setelah diekstrak, TBBK direndam dalam air garam dengan dosis 10 g/100 ml selama 12 jam dan dilanjutkan dengan perebusan terbuka selama 30 menit untuk mengurangi kandungan sianida.

Pakan Uji

Dalam penelitian ini terdapat 2 macam pakan uji, yaitu pakan untuk uji kecernaan (Tabel 8) dan pakan untuk uji kinerja pertumbuhan (Tabel 9).

Tabel 8. Pakan uji kecernaan (%)

Bahan Baku Pakan Rujukan TBBK Diolah TBBK Tidak

Diolah

Pakan Komersial Pengikat (CMC)

Cr2O3 Biji Karet 94,50 5,00 0,50 0 64,50 5,00 0,50 30,00 64,50 5,00 0,50 30,00

Total 100 100 100

Tabel 9. Pakan uji kinerja pertumbuhan (%)

Bahan Baku Perlakuan

P1 P2 P3 P4

Bungkil biji karet Bungkil kedelai Bahan nabati lainnya Premiks 0 28,45 67,25 4,30 41,40 10,20 44,10 4,30 62,09 3,00 30,61 4,30 64,01 28,00 3,69 4,30

Total 100 100 100 100

Sianida 0 0,45 0,67 1,16

Analisis Proksimat Kadar air Protein Lemak Abu Serat kasar BETN 4,72 31,82 8,12 7,75 6,58 41,01 5,00 30,84 10,82 7,30 8,63 37,41 5,11 30,80 11,86 7,43 9,55 35,25 3,37 29,58 31,90 6,34 4,37 24,44

Total 100 100 100 100


(46)

22

Pakan untuk uji kecernaan menggunakan pakan rujukan dengan kadar protein

28-30%, TBBK diolah dan TBBK tidak diolah, Cr2O3 sebagai indikator dan CMC

sebagai pengikat. Pakan kemudian dianalisis kandungan protein, fosfor, kalsium dan Cr2O3. Pakan untuk uji kinerja pertumbuhan menggunakan bahan baku berupa TBBK diolah dengan berbagai level dan TBBK tidak diolah (Lampiran 1). Sebelum pakan dibuat, bahan baku pakan akan dianalisis proksimat kemudian setelah pakan selesai dibuat dilakukan kembali analisis proksimat serta asam aminonya menggunakan metode AOAC (1984) (Lampiran 2).

Rancangan Percobaan

Penelitian tahap pertama berupa uji kecernaan menggunakan 3 perlakuan, yaitu: pakan rujukan, TBBK yang diolah dan TBBK yang tidak diolah. Penelitian tahap kedua berupa uji kinerja pertumbuhan menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan dengan Rancangan Acak Lengkap, sebagai berikut:

Perlakuan P1: Tidak mendapat sumbangan protein dari TBBK. Perlakuan P2: 50% protein dari TBBK diolah.

Perlakuan P3: 75% protein dari TBBK diolah. Perlakuan P4: 50% protein dari TBBK tidak diolah.

Pemeliharaan Ikan

Pemeliharaan ikan pada uji kecernaan menggunakan 9 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan padat penebaran sebanyak 10 ekor/akuarium. Setiap akuarium dilengkapi dengan aerator, sistem resirkulasi dan diberi penutup plastik agar ikan tidak mudah stres terhadap lingkungan sekitar. Akuarium diletakkan dalam posisi miring (menanjak bagian atasnya yang bertujuan agar feses ikan terkumpul pada bagian dasar akuarium).

Pakan diberikan secara at satiation (sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi

sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 14 hari masa pemeliharaan. Pada hari ke-3, feses ikan diambil 30-60 menit setelah pemberian pakan. Feses tersebut disipon dari bagian dasar akuarium kemudian feses tersebut


(47)

23

ditampung dalam botol film yang selanjutnya dilakukan analisis kandungan Cr2O3, protein, fosfor dan kalsium.

Pemeliharaan ikan pada uji kinerja pertumbuhan menggunakan 18 buah akuarium berukuran 50x40x30 cm dengan volume air sebanyak 40 l/akuarium dan

padat penebaran sebanyak 20 ekor/akuarium. Pakan diberikan secara at satiation

(sekenyang-kenyangnya) dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB selama 40 hari masa pemeliharaan. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dengan cara menimbang pakan pada pagi hari dan sisa pakan pada sore hari. Ikan yang mati hingga hari kedua diganti sesuai dengan bobotnya dan setelah itu ikan yang mati ditimbang bobotnya. Pada awal dan akhir pemeliharaan, dilakukan analisis proksimat tubuh ikan uji sedangkan untuk menjaga kualitas air agar tetap baik, feses ikan disipon pada pagi dan sore hari. Selama masa pemeliharaan, nilai kualitas air yang meliputi suhu air berkisar antara 26-27oC, pH 7,

DO 4,75-4,95 mg/l dan ammonia-N (NH3-N) 0,93-1,34 mg/l. Pada akhir masa

pemeliharaan, ikan dipuasakan selama 1 hari kemudian ditimbang bobotnya dan beberapa ekor ikan dari setiap perlakuan diambil untuk analisis kadar air, lemak, glikogen hati dan nilai HSI, histologi serta gambaran darah.

Parameter yang Dievaluasi Kecernaan Total, Protein, Fosfor dan Kalsium

Kecernaan total/protein, fosfor (P) dan kalsium (Ca) dihitung menurut Law et al. (1985), yaitu:

Kecernaan total/protein/P/Ca (%) = 1 - IP x NF x 100

IF NP

Ket: IP = Cr2O3 dalam pakan (%)

IF = Cr2O3 dalam feses (%)

NP = Protein, fosfor dan kalsium dalam pakan (%)

NF = Protein, fosfor dan kalsium dalam feses (%)

Tingkat Kelangsungan Hidup


(48)

24

TKH (%) = ∑ total ikan akhir (ekor) x 100%

∑ total ikan awal (ekor)

Jumlah Konsumsi Pakan

Jumlah konsumsi pakan dihitung dengan mengurangi total jumlah pakan yang diberikan pada akhir penelitian dengan awal penelitian.

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan (EP) dihitung menurutTakeuchi (1988), yaitu:

Ket : Wt = bobot total ikan pada akhir pemeliharaan (g) W0 = bobot total ikan pada awal pemeliharaan (g)

Wd = bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan (g)

F = jumlah pakan yang diberikan selama percobaan (g)

Pertumbuhan Relatif

Pertumbuhan relatif (PR) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu:

PR (%) = Wt - W0 x 100%

W0

Ket : Wt = Biomassa ikan akhir pemeliharaan (g)

W0 = Biomassa ikan awal pemeliharaan (g)

Retensi Protein (RP)

Retensi protein (RP) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu:

RP (%) = (F - I) x 100%

P

Ket : F = jumlah protein tubuh pada akhir pemeliharaan (g)

I = jumlah protein tubuh pada awal pemeliharaan (g)

P = jumlah protein yang dikonsumsi ikan (g)

Retensi Lemak (RL)

Retensi lemak (RL) dihitung menurut Takeuchi (1988), yaitu: EP (%) = [(Wt + Wd) – W0] x 100%


(49)

25

RL (%) = (F - I) x 100%

L

Ket : F = jumlah lemak tubuh pada akhir pemeliharaan (g)

I = jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan (g)

L = jumlah lemak yang dikonsumsi ikan (g)

Analisis Kadar Air, Lemak, Glikogen Hati dan Nilai Hepatosomatik Indeks (HSI) (Garling dan Wilson 1977)

Analisis ini dilakukan untuk membandingkan keadaan organ hati sebelum dan sesudah diberi pakan TBBK, yang meliputi kadar air, lemak, glikogen hati serta nilai hepatosomatik indeks (HSI).

Keterangan: * dalam bobot basah

Gambaran Darah

Pengamatan gambaran darah dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian TBBK dalam pakan yang menimbulkan perubahan komposisi darah pada ikan uji. Pengambilan darah dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Pengamatan gambaran darah yang dilakukan meliputi sel darah merah (SDM), dan sel darah putih (SDP), hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht).

∑ SDM = Jumlah sel

terhitung x

1

volume kotak besar x

faktor pengenceran = Jumlah sel

terhitung x

1

0,05 x 0,05 x 0,1 mm3

x 200

= ……. sel/mm3

∑ SDP = Jumlah sel

terhitung

x 1

volume kotak besar x

faktor pengenceran = Jumlah sel

terhitung

x 1

0,2 x 0,2 x 0,1 mm3 x 10

= ……. sel/mm3

HSI = Bobot organ hati (g)

*

x 100% Bobot tubuh ikan uji (g)*


(50)

26

Pengukuran kadar hemoglobin darah dengan menggunakan metode Sahli, yang didasarkan atas terbentuknya asam hematin (Hb darah dirombak menjadi asam hematin oleh asam khlorida 0,1 N) dengan satuan pengukuran dalam g %. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0,1 N sampai batas tera 2. Darah dihisap dengan pipet Sahli sampai skala 20 mm3. Darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung sahli yang telah diisi dengan larutan HCl 0,1 N. Kedua bahan diaduk dan didiamkan sebentar agar terbentuk asam hematin (berwarna kuning kecoklatan) kemudian tambahkan aquades hingga warna sampel sama dengan warna standar pada tabung Sahli. Pembacaan dilakukan dengan melihat permukaan cairan dan warna yang dicocokkan dengan warna pada skala tabung Sahli yang dilihat pada lajur g % yang berarti banyaknya hemoglobin dalam g/100 ml darah (Aliffudin 1993).

Pengukuran kadar hematokrit dilakukan untuk membandingkan plasma dengan padatan darah, perbandingan keduanya dibaca dengan pembaca mikrohematokrit dalam satuan %. Darah dihisap dengan menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis heparin sebanyak 4/5 dari volume tabung kemudian bagian ujung tabung

ditutup dengan menggunakan lilin sumbat (cristosel). Tabung yang berisi darah

kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan bagian darah yang mengendap dengan seluruh bagian darah yang ada di dalam tabung mikrohematokrit dan hasilnya dinyatakan dalam %, yaitu (x/y) x 100% (Aliffudin 1993).

Histologi Usus, Ginjal, Otot dan Hati

Histologi dilakukan untuk melihat terjadinya kerusakan sel, penumpukan lemak dan perbedaan hepatosit pada setiap perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode pewarnaan hematoksilin-eosin. Hasil histologi selanjutnya diamati dengan mikroskop pada pembesaran 100x. Pengamatan dilakukan terhadap keberadaan vakuola dan kerusakan sel usus, ginjal, otot dan hati (Humason 1972).


(51)

27

Kadar air diukur dengan metode pemanasan dalam oven (105-110oC) selama 4

jam. Protein dianalisis dengan metode Kjedahl, lemak dengan metode ekstraksi

menggunakan alat Soxlet, abu dengan pemanasan dalam tanur (400-600oC), serat

kasar diukur dengan pelarutan dalam asam dan basa kuat serta pemanasan. Lemak tubuh dan hati dianalisis dengan menggunakan metode Folch (Takeuchi 1988). Pengukuran Cr2O3, fosfor dan kalsium serta HPLC untuk asam amino sesuai prosedur AOAC (1984). Pengukuran zat anti nutrisinya dilakukan menggunakan alat spectrofotometer (APHA 1998).

Analisis Statistik

Data dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan

dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan menggunakan

program SAS (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Pengamatan histologi dan gambaran darah dianalisis dengan analisis desriptif ekploratif menggunakan tabel dan grafik.


(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Uji Kecernaan

Data kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium pada TBBK yang diolah dan TBBK tidak diolah pada benih ikan mas tercantum pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Proses pengolahan TBBK dengan cara pengurangan lemak mampu meningkatkan kecernaan total dan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%.

Tabel 10. Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK tidak diolah

Bahan Kecernaan (%)

Total Prote in Fosfor (P) Kalsium (Ca) TBBK diolah 69,81 ± 0,95a 84,23 ± 0,62a 86,51 ± 0,85a 78,09 ± 3,86a TBBK tidak diolah 60,07 ± 2,27b 78,83 ± 2,07b 83,15 ± 1,16b 65,21 ± 0,72b Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar

deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Uji Kinerja Pertumbuhan

Data uji kinerja pertumbuhan benih ikan mas yang diberi berbagai pakan perlakuan tercantum pada Tabel 12 dan Lampiran 4. Nilai TKH benih ikan mas pada berbagai perlakuan pakan tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 83,33-86,67%. Perlakuan P1 memberikan nilai JKP tertinggi sebesar 165,43 g dan terendah pada

perlakuan P4 sebesar 131,93 g. Perlakuan P1 dan P2 memberikan EP yang tidak

berbeda nyata (p>0,05) berkisar 81,72-84,57% dan mencapai nilai terendah pada perlakuan P4 sebesar 65,24%.

Tabel 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL)

Paramete r Perlakuan

P1 P2 P3 P4

TKH (%) 86,67 ± 5,77a 86,67 ± 2,89a 86,67 ± 2,89a 83,33 ± 5,77a JKP (g) 165,43 ± 0,34a 163,54 ± 0,25a 157,50 ± 0,17b 131,93 ± 0,46c EP (%) 81,72 ± 3,88a 84,57 ± 0,44a 67,62 ± 2,80b 65,24 ± 1,53b PR (%) 262,48 ± 21,88a 259,45 ± 11,90a 202,66 ± 11,26b 146,60 ± 21,21c RP (%) 37,94 ± 3,26a 37,12 ± 1,40a 26,03 ± 0,79b 19,64 ± 2,48 c RL (%) 41,74 ± 2,69a 44,19 ± 1,83a 45,27 ± 2,13a 45,67 ± 2,76a Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar


(53)

29

Nilai RP pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar

37,12-37,94% kemudian menurun pada perlakuan P3 dan P4 (p<0,05), berkisar

19,64-26,03% (Lampiran 5). Nilai RL tertinggi terdapat pada P4 (45,67%) dan tidak berbeda

nyata pada perlakuan TBBK diolah lainnya (p>0,05), berkisar 41,74-45,27% dengan nilai RL terendah pada perlakuan P1 sebesar 41,74%.

Kadar Air, Hati, Glikogen Hati dan Nilai Hepatosomatik Indeks (HSI)

Lemak dan glikogen hati benih ikan mas relatif meningkat setelah diberi pakan perlakuan (Tabel 12 dan Lampiran 6). Kadar air hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 77,24% lebih tinggi dibandingkan perlakuan P4 sebesar 71,72%. Lemak

hati tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 12,16% dan terendah pada perlakuan

P1 sebesar 9,33% sedangkan untuk glikogen hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2

sebesar 0,105% dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 0,022% sedangkan hasil

pengukuran HSI menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,05

dan terendah pada perlakuan P3 dan P4 sebesar 0,02.

Tabel 12. Kadar air, lemak, glikogen hati (%) dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI)

Paramete r Perlakuan

Awal P1 P2 P3 P4

Kadar air (%) 70,45 74,43 ± 0,86b 77,24 ± 0,57a 73,66 ± 1,33b 71,72 ± 1,19c Lemak (%) 3,03 9,33 ± 0,64b 9,80 ± 0,15b 11,73 ± 0,70a 12,16 ± 1,42a Glikogen (%) 0,0018 0,093 ± 0,007b 0,105 ± 0,002a 0,039 ± 0,004c 0,022 ± 0,003d HSI 0,0044 0,04 ± 0,01a 0,05 ± 0,01a 0,02 ± 0,01b 0,02 ± 0,01b Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang

standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Gambaran Darah

Pemberian TBBK diolah dan tidak diolah dalam pakan menyebabkan perbedaan gambaran darah. Hasil pengamatan berbagai perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 7. Jumlah SDM tertinggi terdapat pada perlakuan P1

sebesar 149,01x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 120,51x104

sel/mm3 sedangkan jumlah SDP tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar


(54)

30

Jumlah Hb terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar 5,24 g % dan tertinggi pada

perlakuan P1 sebesar 5,84 g % dan jumlah Ht terendah terdapat pada perlakuan P1

sebesar 20,63% dan tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 22,84%.

Tabel 13. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai perlakuan pakan

Paramete r Perlakuan

Awal P1 P2 P3 P4

SDM 82,80 149,01 ± 0,08a 148,96 ± 0,05a 139,86 ± 0,17b 120,51 ± 0,17c SDP 42,20 97,36 ± 0,07d 98,92 ± 0,08c 99,76 ± 0,13b 100,41 ± 0,14a Hb 2,80 5,84 ± 0,07a 5,83 ± 0,05a 5,57 ± 0,13b 5,24 ± 0,11c Ht 5,80 20,63 ± 0,31d 20,93 ± 0,06c 21,90 ± 0,07b 22,84 ± 0,12a Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Sel darah merah (SDM, x104 sel/mm3), sel darah putih (SDP, x104 sel/mm3), hemoglobin (Hb, g %) dan hematokrit (Ht, %).

Histologi Usus, Ginjal, Otot dan Hati

Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ pada benih ikan mas terdapat pada Tabel 14 dan Lampiran 8.

Tabel 14. Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ tubuh

Organ Perlakuan

P1 P2 P3 P4

Usus bagian depan Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Nekrosis dan desquamasi epitel villi

mukosa Usus bagian belakang Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik

Nekrosis, infiltrasi sel mononuklar dan desquamasi epitel villi

mukosa

Ginjal

Protein cast, nekrosis pada

tubulus dan hemoraghi Protein cast dan hemoraghi Protein cast, hemoraghi dan

infiltrasi sel mononuklear

Hemoraghi, nekrosis interstitialis dan

infiltrasi sel mononuklear

Otot Tidak ada

kelainan spesifik

Tidak ada kelainan

spesifik

Hyperemia Hyperemia

Hati Vakuolisasi sel hati

Vakuolisasi sel hati

Vakuolisasi sel hati

Vakuolisasi dan degenerasi sel epitel hati Sumber: Data primer yang diolah (2011)


(55)

31

Pembahasan

Proses pengolahan TBBK dapat meningkatkan kandungan protein serta meningkatkan kecernaan total dan kecernaan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Menurut Brown (2008), bahwa evaluasi hasil kecernaan total tepung kedelai pada berbagai jenis ikan air tawar (herbivora, omnivora dan karnivora) dengan berbagai ukuran, yaitu 44-92% untuk kecernaan total dan 72-96% untuk kecernaan protein. Dengan menggunakan metode yang sama, benih ikan patin Pangasius hypophthalmus dapat mencerna 83,33% secara total dan 90,69% protein dari 50% pakan subtitusi tepung bungkil kedelai (Paisey 2009). Menurut Adelina (1999), bahwa kecernaan total pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein yang berbeda dapat mencapai 94,95% pada pertumbuhan benih ikan bawal air tawar Colossoma macropomum.

Proses pengolahan TBBK juga meningkatkan sediaan fosfor (P) dan kalsium (Ca) masing-masing dari 83,15% dan 65,21% menjadi 86,51% dan 78,09%. Pada pemberian enzim fitase dalam pakan dengan atau tanpa asam fitat mampu meningkatkan kecernaan fosfor (P) pada pakan ikan lele Clarias sp hingga 86,10% dan kecernaan protein 85,78% (Amin 2007).

Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang paling besar peranannya dalam pertumbuhan ikan. Kedua mineral ini merupakan elemen penting untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan tulang (Li et al. 2004). Kandungan fosfor dan kalsium dalam tubuh ikan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hewan darat. Ikan memiliki keterbatasan dalam penyerapan fosfor dan kalsium karena konsentrasinya dalam air sangat kecil (NRC 1983). Kebutuhan fosfor pada ikan mas sebesar 0,5-0,8% dan kalsium sebesar 0,34% (Kapoor et al. 1975).

Fosfor berperan penting dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, asam amino, otot dan jaringan syaraf serta berperan dalam menjaga tekanan osmotik cairan tubuh sedangkan kekurangan fosfor akan menyebabkan rendahnya efisiensi pakan dan menurunkan laju pertumbuhan. Fosfor diperlukan dalam pembentukan Adenosintrifosfot (ATP) yang merupakan senyawa P berenergi tinggi yang diperlukan untuk semua aktivitas tubuh. Meningkatnya ketersediaan P dalam tubuh


(1)

Analisis Statistik Glikogen Hati The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: glikogen hati

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.01477800 0.00492600 237.40 <.0001 Error 8 0.00016600 0.00002075

Corrected Total 11 0.01494400

R-Square Coeff Var Root MSE glikogen hati Mean 0.988892 7.008026 0.004555 0.065000

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 0.01477800 0.00492600 237.40 <.0001 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for glikogen hati

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.000021

Number of Means 2 3 4 Critical Range .008577 .008938 .009140 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 0.105333 3 P2 B 0.093333 3 P1 C 0.039000 3 P3 D 0.022333 3 P4


(2)

Analisis Statistik Nilai Hepatosomatik Indeks The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: nilai hepatosomatik indeks Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.00162500 0.00054167 16.25 0.0009 Error 8 0.00026667 0.00003333

Corrected Total 11 0.00189167

R-Square Coeff Var Root MSE nilai hepatosomatik indeks Mean 0.859031 18.72487 0.005774 0.030833

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 0.00162500 0.00054167 16.25 0.0009 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for nilai hepatosomatik indeks

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.000033

Number of Means 2 3 4 Critical Range .01087 .01133 .01158 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 0.046667 3 P2 A

A 0.036667 3 P1 B 0.023333 3 P3 B


(3)

Analisis Statistik Sel Darah Merah The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: sel darah merah

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1622.332600 540.777533 32462.9 <.0001 Error 8 0.133267 0.016658

Corrected Total 11 1622.465867

R-Square Coeff Var Root MSE sel darah merah Mean 0.999918 0.092466 0.129067 139.5833

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 1622.332600 540.777533 32462.9 <.0001 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for sel darah merah

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.016658

Number of Means 2 3 4 Critical Range .2430 .2532 .2590 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 149.0067 3 P1 A

A 148.9633 3 P2 B 139.8567 3 P3 C 120.5067 3 P4


(4)

Analisis Statistik Sel Darah Putih The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: sel darah putih

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 15.67215833 5.22405278 445.87 <.0001 Error 8 0.09373333 0.01171667

Corrected Total 11 15.76589167

R-Square Coeff Var Root MSE sel darah putih Mean 0.994055 0.109211 0.108244 99.11417

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 15.67215833 5.22405278 445.87 <.0001 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for sel darah putih

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.011717

Number of Means 2 3 4 Critical Range .2038 .2124 .2172 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 100.41333 3 P4 B 99.76333 3 P3 C 98.92000 3 P2 D 97.36000 3 P1


(5)

Analisis Statistik Hemoglobin The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: hemoglobin

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 0.72069167 0.24023056 27.45 0.0001 Error 8 0.07000000 0.00875000

Corrected Total 11 0.79069167

R-Square Coeff Var Root MSE hemoglobin Mean 0.911470 1.664685 0.093541 5.619167

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 0.72069167 0.24023056 27.45 0.0001 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for hemoglobin

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.00875

Number of Means 2 3 4 Critical Range .1761 .1835 .1877 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 5.84000 3 P1 A

A 5.82667 3 P2 B 5.57333 3 P3 C 5.23667 3 P4


(6)

Analisis Statistik Hematokrit The ANOVA Procedure

Class Level Information Class Levels Values perlakuan 4 P1 P2 P3 P4 Number of Observations Read 12 Number of Observations Used 12 The ANOVA Procedure

Dependent Variable: hematokrit

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 9.07609167 3.02536389 100.93 <.0001 Error 8 0.23980000 0.02997500

Corrected Total 11 9.31589167

R-Square Coeff Var Root MSE hematokrit Mean 0.974259 0.802439 0.173133 21.57583

Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F perlakuan 3 9.07609167 3.02536389 100.93 <.0001 The ANOVA Procedure

Duncan's Multiple Range Test for hematokrit

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 8 Error Mean Square 0.029975

Number of Means 2 3 4 Critical Range .3260 .3397 .3474 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan

A 22.8433 3 P4 B 21.9000 3 P3 C 20.9333 3 P2 C


Dokumen yang terkait

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

0 43 86

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Respons Morfologi Benih Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Tanpa Cangkang terhadap Pemberian PEG 6000 dalam Penyimpanan pada Dua Masa Pengeringan

2 90 58

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. &amp; Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Kajian tepung bungkil biji karet (TBBK) Hevea brasiliensis sebagai bahan baku pakan benih ikan mas

1 7 217

Evaluasi Tepung Bungkil Biji Karet Hevea brasiliensis yang Dihidrolisis Cairan Rumen Domba sebagai Pengganti Bungkil Kedelai dalam Pakan Ikan Patin Pangasius sp.

0 5 33

Evaluasi tepung bungkil biji karet Hevea brasiliensis yang difermentasi cairan rumen domba sebagai pengganti bungkil kedelai dalam pakan ikan lele Clarias sp.

0 14 35