Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan MHA dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ini terdapat 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ini terdapat

Pasal 2

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, 192

bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Pasal 3

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-

Pasal 1 UUPA memuat Dasar-dasar dan Ketentuan-ketentuan Umum, yang mencakup: Ayat (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia; Ayat (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional; Ayat (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air, serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang abadi; Ayat (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pola tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air; Ayat (5) dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia; dan Ayat (6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat

4 dan 5 pasal ini.

masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 5

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Pasal 22

(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi karena:

a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;

b. ketentuan undang-undang.

Pasal 56

Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana tersebut dalam pasal 50 ayat 1 193 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah

ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang

sebagaimana atau mirip dengan pasal 20, 194 sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan dalam undang-

undang ini. UUPA sendiri tidak memberikan pengertian atau definisi MHA. Hal tersebut merupakan suatu kelaziman mengingat UUPA yang hingga saat ini masih

Pasal 50 UUPA terdapat dalam Bagian XII tentang ketentuan lain-lain. Adapun pasal 50 memuat ketentuan ketentuan: ayat (1) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang; dan ayat (2): Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 20 UUPA terdapat dalam bagian III tentang hak milik. Ketentuan pasal 20 tersebut mengatur: ayat (1) Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6; dan ayat (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan pasal 20 ayat (1) ini merujuk pada pasal 6 yang mengatur bahwa semua hak atas tanah memunyai fungsi sosial.

berlaku disahkan pada 24 September tahun 1960 oleh Presiden Sukarno yang merupakan Presiden pertama Republik Indonesia dimana ketentuan-ketentuan penulisan peraturan perundang-undangan masih sangat sederhana.

Pengaturan yang berkaitan dengan MHA dalam UUPA diatas pada prinsipnya masih mengakui eksistensi MHA dengan hukum adatnya. Namun demikian pengakuan tersebut harus diakui secara positivis melalui peraturan perundang-undangan. MHA dalam hal ini ditempatkan sebagai pihak yang dikuasakan oleh negara, dengan catatan bahwa penguasaan kepada MHA tersebut sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, yang kemudian ketentuannya harus diatur melalui Peraturan Pemerintah. Penggunaan nomenklatur “sekedar” dalam pasal 2 UUPA tersebut menempatkan MHA bukan sebagai entitas yang memang memiliki hak untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya yang berada dalam wilayah adat MHA, yang seolah-olah mendapatkan penguasaan oleh negara untuk menghindari konflik antara negara dengan MHA.

Pasal 3 kemudian memunculkan ketentuan hak ulayat serta hak-hak lain dari MHA, yang ketentuannya selaras dengan ketentuan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena mensyaratkan MHA yang bersangkutan senyatanya harus masih eksis, harus sesuai atau tidak bertentangan dengan kepentingan negara, berdasarkan persatuan bangsa, yang merujuk pada makna sesuai dengan perkembangan masyarakat, yang dalam hal ini juga memperhatikan aspek konstitusionalitas dengan undang-undang peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Ketentuan Pasal 5 menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat –yang merupakan salah satu syarat suatu masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai MHA, yang menggunakan ketetuan ketentuan pasal 3 yang menekankan keselarasan dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa serta sosialisme yang pada masa tersebut tengah digencarkan oleh pemerintah serta aspek konstitusionalitasnya dengan UUPA itu sendiri serta dengan peratura perundang-undangan lainnya. Lebih lanjut pasal ini kemudian mengharuskan hukum adat sebagai hukum agraria tersebut juga mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Artinya, sistem hukum agraria yang diarahkan dalam UUPA ini menganut unifikasi hukum yakni hukum nasional, hukum adat, dan hukum agama.

Secara lebih spesifik Pasal 22 ayat (1) UUPA kemudian mengatur mengenai hak milik, yaitu hak milik yang terjadi menurut hukum adat. Ketentuan pasal ini mewajibkan agar hak milik yang timbul menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. Artinya, pada prosesnya hukum adat –dalam hal ini yang berkaitan dengan hak milik harus mendapat bentuk hukum positif dari pemerintah. Ketentuan mengenai hak milik ini kemudian disinggung kembali dalam ketentuan peralihan yaitu di pasal 56, yang merujuk pada pasal 50 ayat 1 yang memberikan tanggung jawab bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk undang-undang tentang hak milik. Pasal 56 ini memberikan dasar keberlakuan bagi hukum adat dan peraturan mengenai hak milik yang telah ada, selama undang-undang tentang hak milik belum terbentuk.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) disahkan di Jakarta pada tanggal 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Ketentuan yang berkaitan dengan MHA dalam UU HAM ini terdapat dalam pasal

6, yang berbunyi:

Pasal 6

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah

ulayat dilindung, selaras dengan perkembangan zaman Penjelasan atas pasal 6

Ayat (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

UU HAM secara tegas telah memberikan landasan hukum sekaligus landasan pemikiran bahwa MHA merupakan suatu entitas masyarakat yang memiliki perbedaan dan kebutuhan yang lebih dari enttas masyarakat lainnya atau masyarakat modern. Pemikiran tersebut adalah konsekuensi logis dari definisi MHA itu sendiri yang memiliki hukum adat serta hak adat yang tidak dimiliki oleh masyarakat modern. Artinya, melalui ketentuan pasal 6 ayat (1) UU HAM di atas negara telah memposisikan MHA sebagai objek yang memiliki hak-hak asasi manusia yang sama dengan masyarakat modern sekaligus hak-hak khusus yang berkaitan dengan hukum adat yang menjadi hukum utama bagi MHA. Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) ini menjelaskan bahwa negara menghormati dan melindungi hak UU HAM secara tegas telah memberikan landasan hukum sekaligus landasan pemikiran bahwa MHA merupakan suatu entitas masyarakat yang memiliki perbedaan dan kebutuhan yang lebih dari enttas masyarakat lainnya atau masyarakat modern. Pemikiran tersebut adalah konsekuensi logis dari definisi MHA itu sendiri yang memiliki hukum adat serta hak adat yang tidak dimiliki oleh masyarakat modern. Artinya, melalui ketentuan pasal 6 ayat (1) UU HAM di atas negara telah memposisikan MHA sebagai objek yang memiliki hak-hak asasi manusia yang sama dengan masyarakat modern sekaligus hak-hak khusus yang berkaitan dengan hukum adat yang menjadi hukum utama bagi MHA. Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) ini menjelaskan bahwa negara menghormati dan melindungi hak

Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam ayat (2), yang merujuk perbedaan dari MHA pada ayat sebelumnya sebagai identitas budaya yang di dalamnya termasuk hak atas tanah ulayat. Tanah bagi MHA sendiri merupakan hal yang sangat fundamental karena akan berkaitan dengan banyak aspek lain terutama wilayah adat. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) ini kemudian menjelaskan mengenai syarat agar identitas budaya nasional MHA dan hak-hak adat yang masih eksis dan dijalankan oleh MHA, yakni tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.