Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Pada Masa Pemerintahan

80 Itulah perbedaan pendapat antara Khalifah Ali ra. Dengan mereka yang telah terkenal sebagai ahli siasat. Adapun Khalifah Ali ra. Tidak bias menetapkan Muawiyah dalam jabatannya dikarenakan dua sebab. Yaitu : Pertama, jauh sebelumnya Ali ra telah sering menyarankan kepada Khalifah Utsman ra untuk memecat Muawiyah. Ali ra tidak bias menerima alasan bahwa Umar ra lah yang telah mengangkat Muawiyah di Syam. 54 Bukan itu saja. Ali ra juga menyarankan untuk memecat pejabat-pejabar lain yang mulai menampakkan ambisi keduaniaannya. Itu demi kebaikan dan kestabilan pemerintahan Utsman ra sendiri. Banyak alasan yang dikemukakan Khalifah Utsman ra, di antaranya adalah Khalifah Umar ra lah yang mengangkat. Ali ra berkata, “Di zaman Umar ra Muawiyah memang takut kepadanya. Tetapi sekarang, setelah Umar ra meninggal tiada lagi yang ditakutinya satu pun.” Setelah menduduki jabatan, apakah Ali ra harus berpaling dari pendapatnya itu? Apakah dia harus mempertahankan alasan yang ditentangnya itu? Apakah dia juga akan berpaling dari umat yang membaiatnya untuk mengubah suasana dan keadaan? Apakah dia harus tetap mengikuti pola pemerintahan Khalifah Utsman ra yang banyak dikecam itu? Tentunya tidak bukan? Beliau harus tetap konsekuen dengan apa yang menjadi kebijakannya. Beliau juga sebenarnya tidak ingin berlaku kekerasan. Masih ingatkah kita, bagaimana Thalhah dan Zubair di peristiwa Jamal ---------- 54 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm.101 81 mendahului menyerang karena takut dengan usul perdamaian yang diajukan beliau? Bukankah mereka menyerang orang-orang Bashra lebih dahulu sebelum ada komando dari beliau? Mereka sesungguhnya khawatir karena dengan perdamaian mungkin perubahan tidak akan terlaksana. Baiklah kita tinggalkan masalah itu dan kembali ke persoalan semula. Sekarang kita lihat kemungkinan lain. Yaitu dengan mengakui dan mempertahankan Muawiyah dalam jabatannya. Apakah dengan demikian akan menjamin keadaan dan keselamatan? Tidak …sekali-kali tidak akan demikian. Apalagi jabatan itu tidak harus dipegang selama hidup. Juga wajar bukan apabila orang ingin menduduki jabatan yang lebih tinggi? Itulah sebabnya sebenarnya yang terjadi. Dengan kedudukannya Muawiyah berusaha memperkokoh diri dan menancapkan kekuasaannya di Syam. Ambisi yang ada jelas Dia ingin kekuasaan Syam terus berada di tangan keturunannya. Dengan kekuasaannya itu dia mempersiapkan diri untuk mencari kesempatan mewujudkan angan dan citanya itu. Aneka cara dikumpulkan untuk mencari pendukung. Tinggal kesempatan saja untuk merebut kekuasaan dari tangan Khalifah yang sebenarnya. Kedua, Khalifah Utsman ra terbunuh. Itulah saat yang ditunggu Muawiyah. Kematian Utsman ra dapat dipakai upaya menuntut darah Utsman ra. Dapat dipakainya merebut simpati para penuntut pembunuhnya itu. Dan kesempatan itu tak disia-siakan. Muawiyah telah lama tahu bahwa Ali ra tidak menghendaki dia dalam jabatan. Bahwa Ali ra telah mengetahui ambisi 82 pribadinya. Dan tentu saja dengan pengangkatannya Ali ra sebagai khalifah berarti mengancam kedudukannya .55 Inikah keadaan sebenarnya. Apakah untungnya Khalifah Ali ra, menetapkan Muawiyah dalam jabatannya? Muawiyahlah yang justru beruntung. Keadaan yang kacau memberi kesempatan dia menyusun kekuatan. Jauh sebelumnya Muawiyah sudah berkeinginan melepaskan diri dan mendirikan kerajaan baru dengan Syam sebagai pusat pemerintahan. Selagi Ali ra disibukkan dengan situasi, maka Muawiyah pun ikut-ikutan mengrong- rong Ali ra. Muawiyah paham, jika keadaan aman dan stabil maka pasti Ali akan melaksanakan kebijakannya. Yaitu mencopot dari jabatan di Syam. Dan tentu saja itu amat tidak diinginkannya. Untuk menyelamatkan umatlah kebijaksanaan Khalifah Ali ra itu dimunculkan tanpa melihat usul para ahli siasat tersebut. b. Penyerahan Pembunuh Utsman ra Permasalahan selanjutnya yang cukup rumit adalah tindakan terhadap para pembunuh Khalifah Utsman ra. Mereka para penuntut darah Utsman menuntut agar Ali ra menindak mereka yang membunuh Utsman ra. Padahal mereka itu sendiri tidak membaiat Ali ra. Dengan demikian jelas, bahwa sebenarnya mereka tidak dapat menuntut Ali ra mengadili para pembunuh Utsman ra. Apalagi mereka sendiri pun sebenarnya tidak tahu siapakah sebenarnya pembunuh itu. Tidak jelas memang masalahnya. Siapa yang dituntut? Siapa yang berhak menuntut? Siapa yang berhak mengadili? ---------- 55 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib ,hlm.103 83 Mereka sebenarnya mengetahui dengan jelas bahwa Khalifah Ali ra tidak mungkin melakukan apa yang dituntutkan sebelum keadaan pemerintahan stabil. Namun sepertinya itu sengaja dilakukan. Dalam keadaan yang belum stabil, mereka mendesak dan menuntut Ali ra mengabulkan permintaan mereka. Satu kali Khalifah Ali ra membicarakan tentang pembunuhan Khalifah Utsman ra. Ternyata muncul tidak kurang sepuluh ribu tentara yang mengakui mereka semualah pembunuh Utsman sambil menghubus senjata. Apakah mungkin Khalifah menindak pembunuh Utsman harus mengambil dan menindak mereka semuanya. Melihat demikian, Khalifah Ali ra berkata kepada mereka yang menuntut, “Aku sebenarnya tidaklah bodoh atas apa yang kalian ketahui. Tetapi aku harus berbuat bagaimana menghadapi satu kaum yang menguasai kita sedang kita tidak menguasai mereka. Kini, mereka sudah memberontak dibela budak- budaknya. Pula disertai suku mereka di dusun. Mereka berbuat sekehendak sendiri di sekitar kalian. Nah…, apakah kalian melihat satu kemungkinan melaksanakan seperti yang kalian kehendaki? “Sebenarnya masalah ini adalah masalah jahiliyah. Mereka mempunyai dassar pokok tindakan mereka. Dan pendapat tentang masalah ini pun tidak sama. Sebagian berpendapat sebagaimana kalian. Sedangkan tidak berpendapat demikian. Sekelompok lagi tidak berpendapat apa-apa. Mereka diam menunggu keadaan tenang dan stabil. Bersabarlah kalian… Jika keadaan telah mantap, pasti tiap hak akan diselesaikan. Sekarang…, urusi keadaan masing- masing. Percayalah…, aku pasti akan mengabulkan permintaan kalian jika tiba waktunya.” 56 ---------- 56 Dr. Abbas Mahmud Aqqad, Keangungan Ali bin Abi Thalib, hlm. 107 84 c. Penerimaan Tahkim dalam peristiwa Shiffin penerimaan tahkim pun tidak sedikit yang mencela. Mereka para pencela itu tidak mau melihat keadaan sebenarnya. Sebenarnyalah, Khalifah Ali ra sama sekali tidak berniat menerima tahkim tersebut. Apalagi saat pasukan beliau berada di ambang kemenangan. Dia terpaksa menerima karena pasukannya menghentikan peperangan tanpa perintahnya. Bahkan telah terjadi salah paham yang mengakibatkan mereka saling membunuh. Kaum “Huffad” dan “Qurra” telah menyebarkan dan menyerukan untuk menghentikan peperangan. Bahkan sebagaimana peristiwa terbunuhnya Utsman ra jika tidak dihentikan. Juga memaksa Ali ra untuk segera memanggil Panglima Al-Asytar yang sedang mengejar musuh yang melarikan diri. Kemenangan sudah di ambang pintu… Mereka mencela juga pengiriman Abu Musa sebagai utusan. Mereka lupa mungkin bahwa itu pun karena paksaan, sebagaimana pemaksaan tahkin. Tapi sebenarnya, Ali ra telah melihat bahwa siapa pun yang dikirim hasilnya akan sama. Memang mungkin Abu Musa itu orang yang lemah dan penuh keragu- raguan. Tapi mereka juga lupa bahwa itu pun di paksakan untuk diterima. Aba Musa, Al-Asytar, ataupun Abdullah Ibn Abbas jelas tidak akan berhasil. Amru bin Ash tidak mungkin mencopot Muawiyah dan mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib ra. Apalagi setelah penawaran kelompok Muawiyah dengan Amru bin Ash-nya telah mempunyai siasat yang pasti akan dicapainya dengan jalan apa pun. 85

D. Strategi Ali Dalam Menyelesaikan Konflik Politik Di Masa Itu

Di antara masalah yang dirasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar yang perlu dicermati. Berbagai konflik atau tepatnya fitnah yang begitu dahsyat telah terjadi di kalangan para sahabat. Orang-orang yang terlibat dalam konflik itu sesungguhnya adalah generasi sahabat yang disebut di dalam al- Qur’an sebagai Khairu Ummah dan semua peristiwa yang terjadi benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sendiri. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, termasuk dalam kajian ini. Melihat permasahan yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan buruk bagi generasi sahabat di masa itu. Sudah dipahami bahwa satu peristiwa tidak dapat tidak berkaitan dengan peristiwa yang lain, yang disebut dengan kausalitas. Konflik yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahannya. Pembunuhan sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Insiden itu berawal dari pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bhasrah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai berbau 86 nepotisme. Oleh karena itu, mereka meminta khalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai, seperti Al-Walid bin Uqbah Gubernur Kuffah, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah Gubernur Mesir. Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman. Khalifah Utsman akhirnya bersedia mengabulkan permintaan mereka dan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka. Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Seorang khalifah yang begitu baik sangat sulit dipercaya akan memerintahkan itu. Dimungkin ada orang lain yang memanfaatkan situasi ini. Tetapi itulah yang ditebus Utsman dengan nyawanya sendiri. 87 Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki yang tak kunjung memuaskan. Mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal ini telah salah satu menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus karena mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kedzaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt. Meskipun pembai’atan Ali berjalan