Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

(1)

KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh :

Ahmad Ridhawi

NIM 109045200003

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Januari 2014


(5)

(6)

v

bin Abi Thalib. Konsentrasi Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2013, x+94 halaman.

Masalah pokok dari penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor politik yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib

Jenis penelitian ini adalah metode penelitian sejarah (history) dengan tujuan untuk memahami masa lalu, dan mencoba menguraikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di masa lampau. Jenis data dalam penelitian ini adalah lebih mendominasi kepada data primer yang diperoleh dengan teknik studi pustaka berupa referensi-referensi mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa sahabat, yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan tidak terlepas dari analisa-analisa yang positif sehingga memperoleh data-data sejarah tepat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa konflik yang mewarnai pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Maka dari itu, dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang positif terhadap sosok Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terlepas dari Al-Quran dan Sunnah.

Kata kunci : Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pembimbing : 1. Iding Rosyidin, M.Si 2. Masyrofah, M. Si Daftar Pustaka : 1978 s.d 2013


(7)

vi

ِب

ْس

ِم

ِها

ِّلا

ْح

َم

َن

َّلا

ِح

ْيِم

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, karena tanpa bantuan, pentunjuk, bimbingan dan saran-saran mungkin penulis tidak akan dapat menyusun laporan ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan

Siyasah Syar‟iyah.

3. Bapak Afwan Faizin, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan Siyasah Syar‟iyah.

4. Bapak Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik.


(8)

vii

sehingga penulis bisa mempercepat penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Masyrofah, M.Si Dosen pembimbing II yang penulis banggakan, melalui tangan dingin beliau lah penulis banyak mendapat inspirasi dan ide-ide untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari referensi dan literatur buku selama kuliah.

8. Prof. Dr. H. Afrizal Mansur, M.A Dosen Akidah Filsafat UIN Syarif Kasim Pekanbaru, Riau dan juga sebagai Ayah bagi penulis yang telah banyak membantu memberikan masukan, saran, dan kritikan kepada penulis sehingga penulis dapat merangkai kalimat demi kalimat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibuku tercinta Rukmini Dalil yang juga sangat berperan dalam mendukung pembuatan skripsi ini. Dengan kritikan pedas beliau setiap hari, penulis menjadi fokus kembali untuk menulis skripsi, sehingga skripsi penulis selesai tepat pada waktunya.

10.Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam menyelesaikan laporan ini.


(9)

viii

kepada semua pihak apabila sewaktu mengerjakan skripsi ini ada hal-hal yang kurang berkenan.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memenuhi syarat dan bermanfaat bagi siapa yang membacanya.

Jakarta, 23 Januari 2014 Penulis


(10)

ix

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

LEMBARAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C.Rumusan dan Pembatasan Masalah... 7

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G.Sistematika Penulisan ... 12

BAB II MENGENAL ALI BIN ABI THALIB ... 14

A.Riwayat Hidupnya ... 14

B. Pemikiran-Pemikiran Ali bin Abi Thalib ... 24

BAB III KEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB ... 31

A.Pengangkatan Ali sebagai Khalifah ... 31

B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib ... 41

BAB IV KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB ... 47

A.Konflik Ali Bin Abi Thalib dengan Thalhan, Zubair dan Aisyah ... 48


(11)

x

Kaum Khawarij ... 62

C.Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib ... 78

D.Strategi Ali dalam Menyelesaikan Konflik Politik di Masa itu ... 85

BABV PENUTUP ... 91

A.Kesimpulan ... 91

B. Saran-saran ... 93


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang sudah menganut agama Islam semenjak kecil, sehingga ia dijuluki anak muda yang tidak pernah memiliki keyakinan musyrik. Dari kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi sendiri menyayanginya karena sifat-sifatnya yang mulia.1 Meskipun

masih sangat muda Ali selalu menemani Nabi dalam menyiarkan misinya, dan telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang Yahudi.

Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato), Ali merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Ia terkenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan, dan kecerdesannya, nasihatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasihat utama di dalam kekhalifahan mereka.

--- 1

Syed Mahmudun Nasir, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung:Remaja Rusda Karya,1991, hlm.194


(13)

Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada, adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua kebajikan manusia. Akan tetapi, kesederhanaan, keterusterangan, dan kelapangdadannya ternyata merupakan kekurangannya sebagai seorang pengusaha karena dia mudah mempercayai orang-orangnya, maka musuh-musuhnya yang cerdik dengan mudah dapat menipunya.

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Utsman bin Affan yang terbunuh oleh “sekelompok pemberotak asal Mesir”.2

Ali bukan hanya mewarisi jabatan ke-Khalifah, tetapi juga menuai konflik dari Utsman yang sudah tertanam dalam masyarakat Islam. “Sepanjang pemerintahan Utsman telah timbul berbagai ketagangan yang belum dirasakan sebelumnya”.3

Ali tidak dapat melepaskan diri dari konflik tersebut begitu saja. Konflik-konflik itu juga menjadi masalah besar sepanjang pemerintahannya.

Badri Yatim mengatakan bahwa “Ali menghadapi berbagai pemberontakan.

Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan

stabil”.4

Hidupnya dijalaninya untuk menghadapi berbagai konflik dan

--- 2

Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cetakan Pertama, 2010, hlm. 27.

3

Konflik timbul cukup kompleks, antara lain disebabkan perluasan kekuasaan, yang diikuti dengan perpecahan, baik oleh situasi umum maupun oleh ketidakmampuan Utsman sendiri untuk mengatasinya. Utsman dikepung di rumahnya di Madinah dalam kondisi tidak memiliki pasukan dan pengawal yang siap melindunginya. Lihat Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan

dalam Islam, (Siyasah Dusturiyah), Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 184.

4

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Rajawali Press, 1996, hlm. 39.


(14)

pemberontakan, yang banyak muncul dari kalangan Islam sendiri dibandingkan dengan yang datang dari luar umat Islam.

Memang Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang khalifah yang fenomenal dan mendapat jaminan dari Rasul untuk masuk surga. Mungkin ini pula salah satu faktor yang menyebabkan ia digolongkan pada kelompok Khalifah Ar-Rasyidin. Namun pengelompokan itu tidak menjaminnya terlepas dari berbagai masalah yang rumit sepanjang hidupnya.5

Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah pada bulan juni tahun 565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.6 Pengukuhan Ali menjadi

khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali

dibai‟at di tengah-tengah suasana berkabung atas peristiwa meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah sedang terjadi. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat

Ali supaya bersedia dibai‟at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum

pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Dia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai‟at menjadi khalifah. Namun Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui

--- 5

Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta:pustaka book publisher,cetakan pertama, 2007,hlm, 89.

6

Muhadi Zainudin dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama Press, 2008, hal. 70.


(15)

musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar,

akhirnya Ali bersedia dibai‟at menjadi khalifah.

Ia dibai‟at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu

berada di Madinah tidak mau ikut membai‟at Ali. Ibn Umar dan Saad misalnya bersedia membai‟at kalau seluruh rakyat sudah membai‟at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai‟at secara

terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum

Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai‟at

menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.

Dengan demikian, Ali tidak dibai‟at oleh kaum muslimin secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di berbagai kota. Mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah

Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai‟at Ali


(16)

keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.7

Sejarah mencatat bahwa dalam pengolahan urusan pemerintahan Ali juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya, meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umayyah (pendukung Muawiyah) dan hasyimiyah (pendukung Ali).8

Tidak mengherankan jika kemudian pada masa kepemimpinan Ali, terjadi berbagai konflik-konflik, seperti perang jamal (onta) antara Ali dan Aisyah, perang shiffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sampai terjadinya tahkim9 (masing-masing pihak memilih seorang hakim) dan peritiwa itu terjadi pada tahun 34 H.

Setelah selesai perang jamal dan perang Siffin lantas bukan berarti Ali terlepas dari konflik. Sebaliknya ia terpaksa menghadapi perlawanan dari tentaranya sendiri yang tidak setuju dengan penerimaan (tahkim) arbitrase10

dalam penyelesaian konflik dengan Mu‟awiyah. Karena penerimaan tahkim ini Ali dan pasukannya mendapat kekalahan dalam peperangan maka sebagian pengikutnya membelot dan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan kaum Khawarij. Konflik dengan kaum ini ternyata sangat melelahkan bagi Ali dan yang tragisnya ini pula yang menyebabkan ia terbunuh. Terbunuhnya Ali

--- 7

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 95-96. Selanjutnya ditulis Dedi, Sejarah.

8

Dedi, Sejarah, hlm.71

9

Yayan Sopyan, M.Ag, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok: Gramata Publishing, 2010, hlm. 94

10

Tahkim atau arbitrase adalah sebuah proses yang ditempuh untuk menyelesaikan suatu sengketa dengan mempercayakan kepada suatu pengetara, yaitu orang yang dipercayai dari kedua belah pihak yang bersengketa. Mungkin istilah ini identik dengan wasit.


(17)

kemudian menimbulkan babak baru dalam sistem pemerintahan di negara Islam.

Begitulah gambaran umum tentang konflik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian di atas belum mengungkap semua peristiwa yang terjadi. Untuk mendalami peristiwa ini lebih jauh, perlu dilakukan kajian yang mendalam sehingga pertanyaan yang ada dalam penelitian ini dapat dijawab dengan baik.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas sesungguhnya dapat diambil berbagai unsur yang menjadi identifikasi dari judul ini, antara lain : 1. Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi, yang termasuk kelompok

Khalifah Rasyidin, mendapat jaminan dari Rasulullah Saw sebagai penghuni surga sehingga ada indikasi ia terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, tetapi masa kepemimpinannya penuh dengan konflik dan tragedi memilukan.

2. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang masih belum banyak diketahui, dan perlu digali lebih mendalam.

3. Penilaian objektif terhadap sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat yang dianggap mumpuni oleh masyarakat umum dan perlu dipertanyakan karena berbeda dengan kenyataan sejarah yang diketahui.


(18)

4. Berbagai kemungkinan pengajaran yang dapat diambil dari fenomena pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk dianalisis secara politis akademis dan agamis.

C. Rumusan Dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut, yaitu :

1. Bagaimanakah konflik-konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib?

3. Bagaimana strategi Ali dalam menyelesaikan konflik-konflik pada masa pemerintahannya?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi masalah menjadi tiga faktor, yaitu :

1. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah, Zubair dan Aisyah

2. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan

Mu‟awiyah bin Abu Sofyan

3. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kaum Khawarij.


(19)

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengungkap konflik-konflik politik yang terjadi selama

Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankan pemerintahannya.

b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang timbul dari konflik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu Manfaat praktis dan manfaat akademis.

a. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru terhadap perjalanan perpolitikan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.

b. Manfaat Akademis

Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Terungkapnya pemahaman baru dalam masyarakat mengenai perjalanan politik pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang tidak terlepas dari konflik.

b) Masyarakat mengetahui bahwa gelar Khalifah Ar-Rasyidin bukan berarti Khalifah Ali bin Abi Thalib terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, melainkan juga menghadapi berbagai permasalahan manusia pada umumnya.


(20)

E. Tinjauan Pustaka

Banyak buku yang membahas tentang perjalanan politik pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Buku yang paling banyak mengupas persoalan ini antara lain :

1. History of the Arabs, tulisan Philip K Hitti, yang diterjemahkan oleh R Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Buku ini dipopulerkan sebagai rujukan induk paling terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Isinya sangat luas mulai dari sejarah Arab sebelum Islam sampai terjadinya perubahan baru islam di abad moderen. Karena pemabahasannya sangat luas membuat penjelasan tentang konflik-konflik politik yang terjadi di masa Usman dan Ali tertuang dalam buku ini secara terpisah dan bentuknya sangat umum. Sulit untuk memahami jalan sejarah perpolitikan itu secara runtut sehingga perlu dibahas secara spesifik.

2. Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, M.A, yang termasuk sebagai referensi primer di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sejak tahun 1990/1991.

3. Buku Biografi Ali Bin Ali Thalib yang ditulis oleh Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi pustaka al-Kautsar Jakarta, mengungkap secara luas. Pengalaman hidup dan problematika yang dialami Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya.

4. Uraian tentang tentang topik ini juga terdapat dalam Teologi Islam Karya Harun Nasution. Penulisnya mengungkap peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Khalifah Ali ini dari sisi teologis, yaitu menekankan


(21)

bagaimana hubungan setiap peristiwa itu dengan sekte-sekte teologi Islam. Berbeda dengan kedua buku ini, dalam tulisan penulis membahas secara khusus segala peristiwa yang terkait dengan konflik-konflik yang terjadi pada masa pemerintahan kedua sahabat Rasulullah Saw ini. Pembahasan ditekankan dalam hubungannya dengan proses pemilihan kepala negara dan kepala pemerintahan yang menyeret orang-orang yang dekat dengan Nabi Saw dan konsen untuk Islam.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah (history) yang merujuk kepada studi pustaka. Yang dimaksud dengan penelitian sejarah menurut Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall & Borg, 2007)11 telah menjawab pertanyaan “What is history?”, Sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dan fakta yang ada, yang merupakan dialog tidak berujung antara masa lalu dan masa sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi.

Dalam bahasa Arab kata, tarikh, ta‟rikh, dan taurikh berarti pemberitahuan terhadap waktu, kadangkala kata tarikhusy syai menunjukkan arti, tujuan dan masa berakhinya. Termasuk di dalamnya peristiwa dan kejadian besar yang sejalan. Sejarah (tarikh) adalah suatu seni yang membahas tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya,

--- 11

Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research. USA: Pearson Education Inc.


(22)

temanya manusia dan waktu, permasalahannya adalah keadaaan yang menguraikan bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia dan dalam suatu waktu. 12

Data-data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian adalah data-data sebagai berikut :

a. Data-data tentang segala konflik yang terjadi, pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

b. Data-data yang terkait dengan penyebab-penyebab kenapa konflik itu terjadi.

c. Data-data tentang akibat yang ditimbulkan oleh konflik pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang membahas dan menyoroti konflik-konflik politik pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain yang disebutkan adalah, History of the Arabs karya Philip K Hitti, dan Teologi Islam karya Harun Nasution, Politik Ketatanegaraan dalam Islam karya Jubair Situmorang, Pembunuhan Politik

dalam sejarah Dunia kayra Ibrahim Suraj serta buku-buku lain yang

menyinggung persoalan yang sedang dibahas.

Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua referensi yang terkait sebanyak mungkin agar data-data yang diperoleh lebih akurat dan saling mendukung. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan bertanya kepada orang-orang yang mungkin tahu dan memahami dengan baik

--- 12


(23)

persoalan yang sedang ditulis. Dimungkinkan juga diperoleh data dari atikel, buletin, karya ilmiah, dan tidak tertutup melalui internet.

Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dianalisa dengan cara menelaah semua data yang ada, memahami maksudnya dan kemudian menempatkannya sesuai dengan persoalan penelitian yang sudah dibuat. Rangkaian-rangkaian data itu disusun menjadi laporan penelitian sehingga terwujudlah hasilnya dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Agar lebih mudah memahami isi skripsi ini maka dibuat sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup riwayat hidup dari masa kecil, pendidikan, prestasi dan kemajuan yang dicapai dalam pemerintahannya.

Bab tiga membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup proses pemilihan serta pengangkatan yang berbeda dari ketiga Khalifah sebelumnya, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada masa pemerintahannya.


(24)

Bab empat membahas tentang konflik-konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup inti dari permasalahan skripsi ini.

Bab lima adalah bagian akhir dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kemudian skripsi dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang dianggap perlu.


(25)

14

MENGENAL ALI BIN ABI THALIB

Pada bab ini penulis memperkenalkan siapa sesungguhnya Ali bin Abi Thalib. Di sini penulis ingin mengemukakan berbagai sisi positif dari beliau karena tidak sedikit hal-hal baik yang terdapat pada diri sang Khalifah. Pembahasan ini bertujuan untuk menghindari sikap subjektif dan pandangan sepihak yang kurang baik jika sisi positif sang khalifah tidak dikemukakan, karena inti persoalan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini lebih kepada persoalan konflik yang cenderung kepada aspek negatifnya. Dengan mengemukakan aspek positif itu supaya keseimbangan pembaca melihat Ali bin Abi Thalib lebih kelihatan. Oleh sebab itu pembahasan dalam bab ini dibagi menjadi beberapa pasal sebagai berikut:

A. Riwayat Hidupnya

Namanya adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul Muthalib dipanggil juga dengan nama Syaibah al-Hamdi bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab bin Lu‟ai bin Ghalib bin Pihir bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin.1 Dia adalah anak Paman Rasulullah dan bertemu dengan beliau

pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Kakeknya ini memliki anak bernama Abu Thalib, sudara kadung Abdullah, ayah dari Nabi ---

1


(26)

Muhammad saw. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian ibunya sebagai kenangan terhadap nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim.2

Ketika Ali lahir, ayahnya Abu Thalib tidak ada di tempat. Oleh sebab itu pemberian nama Asad hanyalah pemikiran istrinya, ibu Ali. Setelah mengetahui nama yang diberikan kepada anaknya adalah Asad (Haidar) Abu Thalib merasa kurang tertarik sehingga nama itu digantinya dengan Ali.3 Nama inilah yang populer di kalangan umat Islam sampai sekarang.

Selain nama yang banyak diketahui umat Islam Ali memiliki nama lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah abu

dalam bahasa Arab berarti bapak dan turab berarti tanah. Dengan demikian abu turab berarti bapak tanah. Karena pemberian Rasulullah Ali merasa senang saja dengan gelar itu. Pemberian gelar ini mempunyai latar balakang tersendiri. Ketika berkunjung ke rumah Fathimah, putri beliau, Rasulullah Saw bertemu Ali. Karena itu beliau bertanya kepada putrinya tentang keberadaan Ali. Fathimah pun menjelaskan bahwa telah terjadi perselisihan antara Fatimah dengan Ali, lalu Ali marah dan pergi meninggalkan rumah. Oleh sebab itu, Nabi menyuruh seseorang laki-laki yang ada di rumah itu untuk mencari informasi di mana Ali berada. Setelah informasi diperoleh orang itu mengabarkan bahwa Ali sedang tidur di mesjid. Kemudian Rasulullah menjumpai dan benar Ali sedang tidur di mesjid tanpa baju dan tanpa alas sehingga badannya bertaburan debu. Karena itu Rasulullah ---

2

Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali Bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2012, hlm. 13.

3


(27)

membangunkannya dan memanggil dengan ucapan “wahai Abu At-Turab”. Semenjak itu Ali mendapat gelar Abu Turab.4 Gelar ini dipakai kemudian dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh beberapa Orientalis. Kabarnya orang-orang Syi‟ah disebut orang Turabiyah dan pengikut Ali disebut Turabi.5 Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia memiliki seorang anak yang bernama Hasan.6

Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah dekat Ka‟bah.7

Menurut al-Faqihi, dan al-Hakim seperti dikutip as-Shalabi Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang lahir di Ka‟bah.8 Terjadi perbedaan pendapat sejarahwan tentang waktu kelahiran Ali bin Abi Thalib. Menurut Hasan al-Basri seperti dijelaskan As-Shalabi, Ali lahir 15 atau 16 tahun sebelum kenabian. Ada pula yang mengatakan Ali lahir lima tahun sebelum kenabian. Ibn Ishak dan kebanyakan ahli sejarah mengatakan Ali lahir 10 tahun sebelum kenabian. Ali Audah mengatakan Ali lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 Masehi. Tahun ini dihitung berdasarkan catatan sejarah dengan jarah 30 tahun setelah kelahiran Rasulullah saw., yaitu tahun 570 Masehi.

Semenjak masa bayi Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw sendiri, karena Nabi dulunya juga diasuh oleh Abu Thalib, ayah Ali.9 Nabi Muhammad saw ketika masih muda dan beliau juga membalas budi pamannya Abu Thalib dengan mengasuh Ali. Rasul sangat sayang kepadanya ---

4

Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 15.

5

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husen, Bogor : Litera AntarNusa, Pustaka Nasional, 2010, hlm. 28. Selanjutnya disebut Audah, Ali.

6

Audah, Ali, hlm. 28.

7

Audah, Ali, hlm. 27.

8

As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.

9


(28)

karena memiliki sifat yang mulia.10 Sifat yang mulia itu memang sudah kelihatan pada diri Ali semenjak kecil karena bergaul dengan orang yang baik budi pula. Selain takdir Allah, keluarga dan lingkungan dapat berpengaruh kepada generasi yang ditinggalkannya dari segi pisik, bakat, keberanian, penampilan11 dan sebagainya.

Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari Suku Quraisy. Dalam sejarah, suku ini memiliki bahasa yang fasih dan cakap menjelaskan sesuatu secara gamblang. Selain itu mereka juga berakhlak mulia, memiliki sifat keberanian yang luar biasa dan masyarakat sudah mengenal sifat-sifat itu. Pada masa jahiliah mereka berbeda masyarakat lain, hidup rukun dan banyak berpegang teguh kepada syari‟at Nabi Ibrahim.12 Mereka tidak sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak dibimbing dan muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak.

Dalam pergaulan mereka sangat menyayangi anak, saling hormat menghormati, termasuk kepada jenazah, terbebas dari sifat buruk dan prilaku kenistaan. Mereka tidak melakukan pernikahan terlarang seperti dengan anak perempuan sendiri, sudara perempuan sendiri, cucu perempuan, menjaga kehormatan istri dan menjauhi prilaku orang Majusi. Dalam agama mereka sering melaksanakan haji ke Baitullah, mengerjakan amal ibadah. Mereka

---

10

Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 194. Selanjutnya disebut Mahmudunnasir, Islam.

11

As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.

12


(29)

juga mengizinkan putra-putri mereka menikah dengan suku lain tanpa fanatik dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama.13

Abdul Muthalib, kakek Ali sekaligus kakek Rasul pada masa Jahiliah dikenal sebagai dermawan, memberi makan dan minum jamaah haji, pada hal dia bukan orang terkaya dan bukan satu-satunya tokoh yang disegani di kalangan suku Quraisy.14 Tugasnya itu ditambah dengan memelihara sumur Zamzam yang erat kaitannya dengan Baitullah telah mingkatkan derajat dan menambah kemuliaan bagi diri Abdul Muthalib.

Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu adalah mereka mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja. Tanpa adanya syarat apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka tidak menikahkan putra-putri mereka kecuali kepada orang-orang yang berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku bagi mereka dan lebih-lebih bagi tokoh-tokoh mereka.

Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga sangat disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat, Abu Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah Nabi.15

Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan dari Nabi semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik ---

13

As-Shalabi, Biografi, hlm. 18.

14

As-Shalabi, Biografi, hlm. 19.

15


(30)

dari nenek moyangnya.16 Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia dibimbing oleh Nabi sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi terpantulkan kepada diri Ali.17 Meskipun masih sangat muda Ali selalu mendampingi Nabi dalam setiap kegiatan dakwah dan menjadi pejuang terkemuka di kalangan Islam. Dia merupakan seorang pemberani, menjadi prajurit agung, lihai dalam berperang dan terkenal dalam setiap pertempuran yang dilakukan umat Islam melawan orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi.18

Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika berumur 10 tahun ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding dengan siapa pun, termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi dan Khadijah shalat Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya

ruku‟ dan sujud serta membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya kepada Nabi kepada siapa mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka sujud kepada Allah yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya.19 Kemudian Nabi mengajak Ali untuk beribadah kepada Allah dan menerima agama Islam secara sempurna dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan.

Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari bimbingan Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik, ---

16

Dalam ilmu anatomi, darah, dan keturunan (gen) memiliki pengaruh terhadap generasi berikutnya, baik dalam bentuk pisisk maupun dalam kejiwaan, etika sosial, akhlak, kesehatan, dan bakat dan sebagainya. Oleh sebab itu nilai-nilai dan cita-cita yang mereka warisi dari orang tua dan nenek moyang itu akan mereka percayai dan mempetahankannya sekuat tenaga untuk menghormati dan memuliakannya, dan menganggap orang-orang yang mengikuti nilai-nilai dan cita-cita tersebut sebagai generasi dan anak keturunan dari keluarga mereka.

17

As-Shalabi, Biografi, hlm. 32.

18

Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194.

19


(31)

seperti kefasihan berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani, dermawan, rendah hati, menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu, ramah, terlepas dari sikap dan prilaku jahiliah.

Walaupun berada di lingkungan Nabi, penulis perlu mengemukakan bagaimana proses Ali menjadi muslim. Keislaman Ali seolah-oleh sudah merupakan skenario Allah. Kisah itu berawal dari krisis perekonomian yang dialami masyarakat Qurasiy. Abu Thalib memilik banyak anak, tetapi penulis tidak menjumpai dari berbagai literatur berapa orang anak yang ia miliki. Krisis itu menyulitkan. Rasul berpikir bagaimana cara membantu pamannya ini untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Rasulullah berkata kepada Abbas pamannya yang dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata

Rasul, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki

keluarga yang besar. Kamu tahu krisis yang saat ini sedang melanda masyarakat, maka marilah kau berada bersama kami untuk meringankan beban mereka, saya akan mengambil satu orang dari anaknya dan kamu juga

mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi segala kebutuhannya.” Lalu

Abas berkata, Ya wahai Rasulullah, lalu keduanya berangkat menuju rumah Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai Abu Thalib,

sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.” Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka

tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa yang kalian kehendaki selain dia.20”

---

20


(32)

Kemudian Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya, dan

Abbas mengambil ja‟far untuk hidup bersamanya. Berawal dari situlah maka

kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga datangnya risalah kenabian. Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk orang pertama dari golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya. Begitu pula Ja‟far juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam dan hidup mandiri.21

Dari sini ternyata Rasulullah telah membalas kebaikan yang dilakukan pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah merawat dan mencukupi segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul Muthalib. Ini merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada Ali karena dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai dengan petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an terpantulkan kepada diri Ali. Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah Islam, dia tahu segala rahasia-rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi sebelum dakwah Islam mulai melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari pertolongan yang memperkuat dakwahnya kepada manusia, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika datang menemui Nabi Saw saat setelah keislaman Khadijah. Ali mendapati keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?”

Kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih

---

21


(33)

dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan utuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza.” Ali pun

berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah

mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada

Abu Thalib.” Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya

kepada siapa pun termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah

untuk menceritakan urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali

jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun berdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia menghadap kepada Rasulullah

dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”

Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari tuhan Latta dan Uzza,

serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah.” Ali pun

melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan menyatakan diri masuk Islam.

Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut agama Islam. Mula-mula dia menyembunyikan keislamannya itu, tidak berani menampakkannya.22

---

22


(34)

Ibnu Ishaq menceritakan, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah keluar menuju tempat perbukitan di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut bersama beliau secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Ia menyembunyikan keislamannya dari bapak, paman-paman, dan keluarganya yang lain. Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang tiba, keduanya baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi.

Pada suatu ketika Abu Thalib pun menemukan keduanya secara sembunyi-sembuyi sedang mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya

kepada Rasulullah, “Wahai anak saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang kalian anut ini ?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para malaikat-Nya, agama para nabi-Nya, dan agama bapak kita Ibrahim.” Saya telah diutus menjadi seorang Rasul kepada sekalian umat manusia. Dan engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk menerima nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi seruanku, dan menolong

diriku.”23

Ajakan Rasulullah saw untuk mengucapkan syahadat tidak diterima Abu Thalib, tetapi bukan berarti ia marah kepada Rasul dan anaknya Ali. Sebenarnya Abu Thalib mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi pengaruh wibawa di kalangan kaumnya menghambat ia untuk menjadi muslim.24

Abu Thalib tidak melarang anaknya Ali untuk mengikuti agama yang dibawa Nabi Muhammad saw., bahkan mengizinkannya karena menurut Abu ---

23

As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.

24

Abu Thalib berkata bahwa ia tidak mampu meninggalkan agama neneknya Tetapi bukan berarti ia akan berhenti menolong dan membela Rasul dari berbagai ancaman orang-orang Quraisy. As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.


(35)

Thalib Muhammad tidak mengajak kecuali kepada kebaikan lalu menyuruhnya untuk selalu mengikuti Rasul.”25

Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah saw menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi harinya. Ia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam berbagai peperangan. Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk membacakan surat Al-Bara‟ah di hadapan kaum muslimin pada musim haji tahun 9 H.26

Ia memiliki 29 anak, 14 laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak laki-lakinya adalah Hasan dan Husein, pemuka pemuda surga, Muhammad ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar.

B. Pemikiran-Pemikiran Ali Bin Abi Thalib

Pasal ini membicarakn pemikiran-pemikiran dari Ali bin Abi Thalib. Di sini penulis mulai dengan menjelaskan sifat keadilannya. Penjelasannya dikemukakan melalui suatu kisah. Suatu hari, Amirul mukminin melihat baju zirahnya27, yang telah lama hilang, ternyata ada pada seorang Nasrani. Ia tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu ---

25

As-Shalabi, Biografi, hlm. 34.

26Muhammad Sa‟id Mursi,

Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2007, hlm. 20

27

Yang dimaksud dengan zirah adalah baju besi atau baju rantai yang dikenakan pada waktu perang


(36)

miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan. Kadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki

Nasrani, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?”

Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikmu. Amirul Mukminin tidak

berhak menuduhku.” Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”

Di antara pemikiran yang cukup menarik dari Ali bin Abi Thalib adalah bidang fikih. Ali bin Abi Thalib dianugrahi pemahaman yang baik terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu poros fikih Islam, dan termasuk di antara kelompok utama pembuat fatwa di kalangan generasi muslim pertama.28 Di sini penulis tidak akan menjelaskan pemikiran fikihnya secara mendetail, tetapi hanya mengambil beberapa pikirannya yang dianggap penting diketahui.

Di antara pendapat fikihya yang sangat luas, kita mengenal pandangannya tentang nikah muth‟ah. Ali bin Abi Thalib dielu-elukan oleh

kaum Syi‟ah sebagai imam yang ma‟sum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Di kalangan Syi‟ah terdapat hukum yang membolehkan terjadinya nikah muth‟ah, yaitu nikah yang ditetapkan dalam jangka waktu

tertentu. Sementara Ali tidak membolehkan nikah muth‟ah.29

---

28

Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib, Jakarta: Zaman, 2013, hlm. 62.

29


(37)

Ali mengatakan bahwa jika dua orang menikah tanpa wali kemudian mereka bersetubuh maka keduanya tak dapat dipisahkan, sedangkan jika keduanya belum bersetubuh maka keduanya harus dipisahkan.30 Ali bin Abi Thalib tidak membolehkan pernikahan orang yang dikebiri. Ia mengatakan,

“Seorang laki-laki yang dikebiri tidak boleh menikahi muslimah yang

menjaga kehormatan dirinya.” Ali membolehkan umat Islam makan makanan

kaum Majusi, kecuali daging. Ia juga mengharamkan makan daging sembelihan kaum Nasrasni Arab karena mereka tidak memegang ajaran Nasrani yang benar, bahkan mereka suka minum arak. Pendapat Ali ini berbeda dengan pendapat jumhur ulama.31

Ia juga berpendapat bahwa jizyah dari kaum musyrik dapat diterima

kecuali kaum musrik Arab. Tentang hal ini ia mengatakan, “Tidak ada pilihan

bagi kita berkenaan dengan kaum musyrik Arab kecuali mereka masuk Islam

atau perang.”32

Ia menyatukan antara hukuman cambuk dan hukuman rajam bagi

muhsan yang berzina. Diriwayatkan dari al-Sya‟bi bahwa Syarahah memiliki

seorang suami yang sedang pergi ke Syiria, tetapi tiba-tiba ia mengandung sehingga majikannya membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib dan

berkata, “Wanita ini berzina dan ia mengakuinya.” Ali mencambuk wanita itu

seratus kali pada hari kamis dan pada hari Jumatnya ia dirajam. Aku menyaksikan sendiri tubuh wanita itu dikubur sebatas pinggang. Ali berkata ---

30

Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400.

31

Ash-Shalabi, Ali, hlm. 397.

32

Ibnu Qudamah, Al-Mughni Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li Ibn Qudamah, Pustaka Azzam, Jilid 8, hlm. 738


(38)

ketika itu, “Rajam adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Orang yang

menjadi saksi perbuatan zina harus melempar pertama kali, namun karena wanita ini mengakui perbuatannya—tanpa—maka akulah yang melempar

pertama kali.” Lalu Ali melempar wanita itu dengan batu, dan diikuti oleh

orang-orang yang ada di sana. “Demi Allah,” ungkap al-Sya‟bi, “aku

termasuk di antara orang yang melempar wanita itu menemui ajalnya.”33

Dalam redaksi lain, Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah saw.”

Ali mengharamkan permainan dadu dan catur, bahkan ia tidak mau mengucapkan salam kepada orang yang memiliki dadu. Ali juga menetapkan hukum mengenai perawan yang dipaksa menikah karena takut terjerumus dalam zina. Ia menetapkan mahar mitsil untuk wanita seperti itu dengan mengatakan bahwa mahar untuk perawan seperti mahar untuk wanita lainnya dan bagi janda mahar mitsilnya.

Dan ia membolehkan menerima hadiah dari penguasa (sultan),

“Janganlah meminta sesuatu pun kepada penguasa. Jika ia memberimu,

ambillah, karena dalam baitul mal lebih banyak harta yang halal ketimbang harta yang haram.

Ali melipatgandakan hukuman atas orang yang mendapat hukuman pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Atha, dari ayahnya bahwa Ali memukul seorang penyair negro dari Bani Harits, karena ia minum arak pada bulan Ramadhan. Orang itu dicambuk sebanyak delapan dua puluh

---

33


(39)

cambukan. Setelah itu Ali berkata kepadanya, “Ali mencambukku lagi

sebanyak dua puluh kali cambukan karena kau melakukan kejahatan kepada Allah dan karena kau berbuka di bulan Ramadhan.

Pendapat hukumnya yang lain adalah bahwa harta orang yang suka meminjamkan dan yang suka dititipi tidak dapat dijamin jika hartanya itu rusak tanpa memperthitungkan dari siapa ia mendapatkan hartanya.

Diriwayatkan harta ia berkata, “(Harta) Orang yang suka meminjamkan dan memnitipkan tidak dapat dijamin.

Ia juga berpendapat bahwa orang yang menolong orang lain dalam kebenaran atau melindungi orang lain dari kezaliman tidak noleh menerima hadiah. Maksudnya, orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk menjalankan urusan masyarakat tidak boleh menerima hadiah dari orang lain karena dianggap akan memengaruhi keputusan atau pendapat hukumnya. Itu beberapa pandangan Ali bin Abi Thalib seputar fikir Islam.

Ali bin Abi Thalib memberikan julukan khusus kepada seorang fakih yang dihormati para fakih lainnya. Ia menyebutnya “al-faqih haqq al-faqih”.

Ia berkata, “ Maukah kalian kuberi tahu tentang yang paling utama di antara

para faqih (al-faqih haqq al-faqih)? Ia adalah orang yang tidak memutuskan harapan manusia dari rahmat Allah, tidak mendorong mereka bermaksiat kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari makar Allah, dan ia tidak meniggalkan Al-Quran karena membencinya, lalu berpaling kepada yang lain. Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai pengetahuan, dan tidak ada kebaikan dalam pengetahuan yang tidak disertai


(40)

pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam pembacaan yang tidak disertai tadabur ─ penelaahan.34

Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sama seperti Umar r.a.

Dikisahkan bahwa Umar berkata, “pelajarilah pengetahuan dan ajarkanlah

kepada manusia. Pelajarilah kemuliaan dan kehormatan diri. Bersikap rendah hatilah kepada orang yang mengajari dan yang kau ajari. Jangan menjadi ulama yang sewenang-sewenang, agar ilmumu tidak dikalahkan kebodohan.35

Selain dikenal luas sebagai seorang fakih, Ali bin Abi Thalib juga dikenal sebagai sahabat yang paling memahami kitab Allah. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sehingga jika kita hendak menghimpun tafsir-tafsir Ali bin Abi Thalib, dibutuhkan berjilid-jilid besar. Di sini kami hanya akan mengungkapkan sebagian tafsirnya atas ayat-ayat Al-Quran yang mulai. Di antaranya, ia menafsirkan firman Allah: Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan penguasa urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu

maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, dengan mengatakan bahwa

mengembalikan kepada Allah berarti menjadikan kitab Allah sebagai landasan hukum, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah Saw. Berarti memegang sunnah Rasulullah Saw. menafsirkan firman Allah: maka kami akan

menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dengan mengatakan bahwa

makna kehidupan yang baik adalah qanaah. Mengenai ayat sama saja baik

---

34

H.R. Abu Naim dalam al-Hilyah, jilid I, hlm. 77; Ibn al-Dhurais dan Ibn Akasir pun meriwayatkannya sebagaimana dalam al-Kanz, Jilid 5, hlm. 231.

35


(41)

berdiam di sana maupun di padang pasir36—ia mengatakan bahwa al-„akif adalah orang yang mukim, sedangkan al-badi adalah orang yang dating ke suatu tempat, dan bukan berasalh dari tempat itu.37

Ia juga mengatakan tentang ayat dan ketahuilah sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, bahwa Allah meguji mereka dengan harta dan anak-anak sehingga menjadi jelas mana orang yang tidak rida atas rezeki dari-Nya dan orang yang rida dengan bagian dari-Nya. Meskipun Allah Swr. mengetahui keadaan mereka, Dia menjadikan harta dan anak-anak sebagai ujian untukb menunjukkan apakah seseorang layak mendapatkan pahala atau siksa. Sebab, ada di antara mereka yang lebih menyukai anak laki-laki dan membenci anak perempuan; sebagian mereka menyukai bertambahnya harta dan membencinya berkurangnya harta.38

Mengenai ayat Al-Quran: sesunnguhnya kita berasal dari Allah dan kita

akan kembali kepada-Nya, Ali r.a menjelaskan bahwa ungkapan “kita berasal dari

Allah merupakan penegasan bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai kita,

sementara ungkapan “kita kembali kepada-Nya” merupakan penegasan bahwa Dialah yang akan membinasakan dan mematikan kita.

---

36

Al-Hajj: 25. Dalam Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama, kata al-badi di terjemahkan di padang pasir. Secara harfiah kata itu berarti yang tinggal di pedesaan. Kita mengenal istilah Arab Baduwi, atau Arab Badui, yang berarti bangsa Arab nomad dari kawasan pedesaan atau padang pasir.

37

Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib hlm. 66

38


(42)

31

Pada bab tiga ini penulis mengemukakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dengan segala persoalannya. Bab ini terdiri atas dua pasal. Pasal pertama menjelaskan bagaimana proses yang terjadi dalam pengangkatan Ali sebagai

khalifah, serta menggambarkan kondisi umat Islam seputar bai‟at. Ini bertujuan

untuk memperkenalkan bahwa sejak awal kepemimpinan Ali sudah dimulai semenjak pengangkatan Ali sendiri. Pasal kedua menjelaskan beberapa kebijakan yang dilakukan Ali dalam memulihkan situasi dan dari tergambarkan bahwa kebijakan itu tidak membuat Ali terlepas dari konflik politik. Uraian tentang itu semua adalah seperti diuraikan berikut ini.

A. Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah

Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum‟at 18 Dzulhijjah tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan, keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara dan tidak ada imam.1

Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain

orang-orang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi‟in

---

1

Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung : Mizan, 1978, hlm. 155. Selanjutnya disebut al-Maududi, Khilafah.


(43)

dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak memiliki pemimpin.2

Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah secapat mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-‘aqd, semacam

dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai‟at kepada seorang

khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang layak dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan

Abdurrahman bin „Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai

umat setelah Utsman bin Affan.3

Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali. Jika ada seseorang yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan

---

2

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 155.

3


(44)

terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.4 Karena itu semua sahabat

Rasulullah Saw berbondong-bondong membai‟at Ali sebagai khalifah.5 Mereka mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan aman tanpa adanya seorang pemimpin.6

Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai‟at, dan akhirnya ia mau

dibai‟at. Tetapi bai‟at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat banyak dan tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai‟at

berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas sampai dua puluh orang.7

Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar, sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia telah dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan

dibai‟at oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah

kecuali daerah Syam.8

Walaupun sudah dibiat oleh masyarakat umum, namun masih ada sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw

---

4

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.

5

Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bi Abi Thalib, hlm. 219.

6

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.

7

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Tidak disebutkan siapa nama-nama yang

yang tidak dapat melakukan bai‟at itu. 8


(45)

yang tidak mau membai‟at Ali. Penulis melihat bahwa tidak dijelaskan nama

-nama yang tidak mau membai‟at Ali itu. Namun dengan penolakan itu tidak

berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali tidak sah karena penolak

itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah melakukan bai‟at.9

Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah memperoleh kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam sistem khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan.

Tetapi ada tiga faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan atau tertutupnya lubang itu. Pertama kaum pembangkang yang datang dari berbagai daerah untuk memberontak kepada Utsman terlibat dalam

membai‟at Ali bin Abi Thalib. Di antaranya ada pelaku yang membunuh Utsman, dan ada provokasi yang mengobarkan semangat orang lain untuk membunuhnya dan ada pula yang membantu mereka untuk melaksanakan pembunuhan itu. Atas pundak mereka terpikul tanggung jawab kericuhan dan kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah telah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.10

Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya fitnah

adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai‟at Ali dan mengawasi.

Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun suasana yang terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah

---

9

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.

10


(46)

orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan mereka dalam pemilihan khalifah yang baru.

Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah sikap

netral para sahabat besar dalam pembai‟atan kepada Ali. Sikap netral itu

memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat seharusnya bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.11

Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah munculnya penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok

Mu‟awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan dan kedudukan kedua kelompok ini mereka, namun jika ditinjau dari segi hukum harus dikatakan bahwa sikap mereka tidak dapat dibenarkan. Alasannya masa itu bukanlah masa sistem kesukuan yang dikenal pada zaman Jahiliyah yang membolehkan setiap orang, dengan cara bagaimanapun, menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan menggunakan cara-cara apa saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu ada pemerintahan

---

11


(47)

yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan undang-undang dan

syari‟at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak menuntut bela atas

pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang masih hidup. Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap kaum penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah orang-orang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan kebijaksanaan.

Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan jalan yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak dianggap sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar menangkap kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali adalah seorang pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja siapa pun dan menghukumnya tanpa berlandaskan hukum?

Pada hakikatnya tindakan yang dapat disebut sebagai “lebih tidak sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah tindakan kelompok yang pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota Madinah dan mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah dan juga tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu berada, dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya. Namun sebaliknya, mereka pergi ke Basrah dan


(48)

mengumpulkan pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut balas atas kematian Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan darah sepuluh ribu orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja, dan juga menyebabkan kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang. Sungguh ini adalah cara yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan yang sah, baik dalam pandangan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya, atau bahkan dalam pandangan undang-undang apa pun di antara undang-undang sekular.12

Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok

Mu‟awiyah yang menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam

kedudukannya sebagai pribadi Mu‟awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam

kedudukannya sebagai penguasa wilayah Syam. Ia telah menolak menaati pemerintah pusat dan menggunakan tentara wilayahnya untuk mencapai tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya menuntut Sayyidina Ali agar mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke pengadilan dan menghukum mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar Sayyidina Ali menyerahkan

mereka semua kepadanya agar ia (Mu‟awiyah) membunuh mereka dengan

tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip dengan kekacauan kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam, dan sama sekali tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa Islam.13

Seandainya Mu‟awiyah dibolehkan mengajukan tuntutan itu berdasarkan hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama ---

12

Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 160.

13


(49)

pribadinya karena memang Mu‟awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia mempunyai hak meminta bantuan khalifah untuk menangkap orang-orang jahat itu dan mengadili mereka. Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama sekali ia tidak berhak menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada khalifah yang telah dibai’at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh seluruh wilayah negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu‟awiyah sendiri.14

Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara daerahnya itu untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah, menuntut agar diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada pengadilan, tetapi kepada penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan membalas dengan tangannya sendiri.

Dalam kitabnya, ahkamul-Qur’an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan perundang-undangan yang benar. Katanya : “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak mungkin membiarkan penduduk tanpa pimpinan. Oleh sebab itu kepemimpinan umat ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura

bentukan Umar sebelum wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali sendiri. Tetapi kemudian Ali menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat dari pertumpahan darah yang lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam kebatilan. Ali khawatir akan memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan mungkin akan menyebabkan rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang

---

14


(50)

Islam. Maka ketika ia telah dibai’at, orang-orang Syam mengajukan syarat untuk membai’atnya, yaitu agar Ali r.a memberikan kesempatan kepada mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh Utsman dan menjatuhi hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada mereka : „Masuklah kalian dalam bai’at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan memperoleh suatu bai’at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada bersamamu. Kami melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja!‟ sudah barang tentu pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata Ali langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang yang ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada di tangannya dan bai’at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap para pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah, dalam suatu majelis pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara benar. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan menunda hukum qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya kekacauan atau bercerai-berainya umat.15 Demikian pula yang terjadi dalam hubungan Thalhah dan Zubair; mereka berdua tidak pernah memakzulkan Ali dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka berdua juga tidak pernah meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya berpendapat bahwa mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman adalah suatu tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada pendirianya, ucapan-ucapan

---

15


(51)

kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa yang telah diputuskannya

dan dalam hal ini dia berada di pihak yang benar.”

Kemudian al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi menjelaskan ketika menafsirkan ayat :

و

ْ

ط

ئا

ف

ـت

اــ

م

ْا

ل

ْم

نْي

ْا

تق

تل

ْو

فا

ْصا

ل

ح

ْو

ب ا

ْين

ـــ

ا

ف

ْ

بغ

ْت

ا

ْح

د

ه

ع ا

ل

أا

ْخ

ر

ف

تق

لْو

َلا ا

ت

ت

ْبغ

ح

َت

ت

ف

ئ

ا

ل

ا

ْم

ر

ها

ف

ْ

ف

ءا

ْت

ف

أ

ْص

ل

ح

ْو

ب ا

ْين

ــ

ب ا

ْا

عل

ْد

ل

و

ْقا

س

ط

ْو

ا ا

َ

ها

ي

ح

ّ

ْلا

ْق

س

ط

ْي

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. 49:9).

Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan agar diusahakan perdamaian sebelum dimulainya peperangan, dan Ia telah menetapkan dibolehkannya berperang ketika timbul perbuatan aniaya. Maka Ali r.a telah bertindak sesuai dengan petunujuk Allah ini; ia memerangi golongan aniaya yang hendak melanggar wewenang imam dan membatalkan hasil ijtihadnya, kemudian mereka itu menjauhkan diri dari pusat nubuwwah dan khilafah dengan membawa serta sekelompok orang yang menuntut apa yang sebenarnya tidak berhak mereka tuntut, kecuali dengan syarat mereka itu menghadiri majelis-majelis peradilan dan mengajukan hujjah-hujjah mereka atas lawan. Dan seandainya mereka berbuat yang demikian itu, lalu Ali tidak menjatuhkan hukuman atas mereka, niscaya mereka tidak usah bertengkar dengan Ali atau berusaha menjatuhkannya, sebab dengan sendirinya umat secara keseluruhan pasti akan mencabut kembali bai’at kepadanya dan memakzulkannya.


(52)

Itulah tiga benih kericuhan yang ada ketika Sayyidina Ali memulai jabatan khalifahnya. Dan ketika ia memulai pemerintahannya, pada saat di kota Madinah masih ada sekitar 2000 kaum pembangkang, tiba-tiba Thalhah dan Zubair, di damping beberapa orang sahabat yang lain, mendatanginya dan berkata kepadanya : “Kami telah memberikan bai’at kami kepada Anda demi melaksanakan hukuman atas kaum penjahat, maka laksanakanlah hal itu terhadap orang-orang yang telah membunuh Utsman.” Ali menjawab : “Wahai saudara-saudaraku, bukannya aku tidak megetahui apa yang kalian ketahui, tapi apa yang dapat aku lakukan dengan suatu kelompok yang memiliki kekuatan atas kita sedangkan kita tidak memiliki kekuatan atas mereka.16

Itulah kondisi yang terjadi sekitar pengangkatan Ali bin Abi Thalib. Kondisi-kondisi itu ternyata menjadi batu pengganggu yang sangat rumit dan sulit bagi Ali dalam menjalankan pemerintahan.

B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib

Setelah pengangkatan sebagai Khalifah pasca terbunuhnya Utsman, Ali bin Abi Thalib berusaha keras memulihkan keamanan yang tidak kondusif. Di atas telah dijelaskan bahwa pengangkatan Ali berada dalam kondisi yang amat sulit. Stabilitas yang tidak terjamin menyebabkan Ali mengalami berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Beratnya tugas pemerintahan, Ali harus mengambil berbagai kebijakan, walaupun

kadang---

16


(53)

kadang kebijakan itu tidak populer, atau bertentangan dengan kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat.17 Di antara langkah-langkah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib:

Pertama, “memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat pendahulunya Utsman bin Affan, kemudian menggantinya dengan tokoh-tokoh lain. Pemberhentian itu kelihatan bertujuan untuk mengamankan kekhalifahannya”.18 “Di antara gubernur yang diberhentikan adalah Ya’la bin

Umayyah dan mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman. Dalam pemberhetian dan pengangkatan ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Ubaidillah tiba di Yaman Ya’la sudah meninggalkan Yaman dan pergi ke Mekah serta membawa hartanya”.19

Banyak orang yang meninggalkan negerinya dan pergi ke Mekah untuk mendapatkan keamanan sebab orang yang berada di negeri Mekah tidak boleh diganggu.

Kemudian Ali memberhentikan Abdullah bin Amir al-Hadrami, gubernur Basrah dan menggantinya dengan Utsman bin Hunaif. Dalam hal ini Ali tidak mendapat kesulitan karena ketika Utsman bin Hunaif tiba di Basrah Abudllah sudah meninggalkan kota itu menuju Mekah serta membawa sebagian harta.

Berbeda dengan di atas Khalifah Ali mendapat kesulitan dalam memberhentikan Abu Musa al-Asy’ari, Gubernur Kufah dan menggantinya dengan Umarah bin Syihab. Ketika mendekati kota itu penduduk kota itu dipimpin oleh Thulaihah bin Khuwailid al-Asadi yang tidak mengharapkan ---

17

H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, hlm. 21

18

Hitti, History, hlm. 224.

19


(54)

kedatangan Umarah bin Syihab dan memintanya untuk kembali ke Madinah. Penduduk Kufah kelihatannya lebih mempertahankan Abu Musa al-Asy’ari. Setelah Umarah kembali ke Madinah Abu Musa berkirim surat kepada Khalifah Ali yang isinya menyatakan sang Gubernur bersama rakyatnya membaiat Ali sebagai khalifah yang baru. Dengan demikian kebijakan Ali mengganti Gubernur Kufah tidak berhasil, tetapi karena Abu Musa al-Asy’ari, gubernur Kufah bersama rakyatnya sudah membaiat Ali maka hal itu tidak terlalu bermasalah.

Berbeda dengan pemberhentian dan pengangkatan gubernur sebelumnya Ali mendapat kesulitan besar dalam pemberhentian Gubernur Syam. Untuk daerah ini Ali menunjuk Sahl bin Hunaif salah seorang politikus ulung menggantikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sesampainya di Tabuk, pos perbatasan Siria Sahl ditahan oleh pasukan Mu’awiyah dan disuruh kembali. Dengan kembalinya Sahl rakyat Siria merasa gelisah karena ini menurut pandangan masyarakat adalah ulah Mu’awiyah yang suka berperang. Mereka ingin tahu apa yang akan terjadi sebab ini merupakan pembangkangan dari pihak Mu’awiyah dan Ali harus menghadapinya dengan tangan besi atau akan berusaha mencari kompromi.20

Dalam menghadapi Mu’awiyah Ali tidak mau tergesa-gesa, tetapi itu dilakukan dengan penuh hati-hati agar jangan terjadi perpecahan di kalagan umat Islam. Oleh sebab itu Ali mengutus seseorang kepada Mu’awiyah yang

---

20


(55)

menyuruh membai’atnya dan datang ke Madinah sepengetahuan penduduk Syam agar terjadi kompromi politik yang baik.21

Surat itu tidak langsung dibalas dengan dalih menurut Mu’awiyah tidak ada suara bulat di kalangan tokoh terkemuka untuk ikut membai’atnya, walaupun mayoritas umat Islam sudah membai’atnya. Alasan lain yang dikemukakan Mu’awiyah akan membai’at setelah Ali terlebih dahulu berhasil menangkap dan menghukum pembunuh Utsman.22

Tiga bulan kemudian Mu’awiyah mengirim surat kepada Ali yang dibawa seseorang dari Bani Abas. Surat dibuat dalam bentuk gulungan bersegel dengan format “Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Ali Bin Abi Thalib” tanpa menyebut kata “Amir al-Mukminin” dengan perintah bila sudah memasuki kota Madinah gulungan itu diangkat supaya alamatnya dapat dibaca sehingga orang tahu bahwa Mu’awiyah menantang Amir al -Mukminin. Setelah itu surat tersebut langsung dibawa kepada Ali sehingga masyarakat tahu bahwa isinya adalah jawaban Mu’awiyah terhadap Ali dan ingin mengetahui lebih jauh apa maksud Mu’awiyah dengan perlakuan seperti ini. Setelah surat dibuka ternyata tulisan yang ada dalam surat itu adalah

bismillahir rahmanir rahim. Melihat isi surat yang ganjil dan dinilai suatu penghinaan dan mempertanyakan apa maksudnya.

Ini dipahami bahwa tuntutan itu ternyata mengada-ada sementara tujuan yang sesungguhnya adalah ingin mengambil kepemimpinan dari Ali. Buktinya setelah Ali wafat Mu’awiyah mengadakan kesepakatan dengan ---

21

Audah, Ali, hlm. 204.

22


(56)

Hasan, anak sulung Ali sampai ia sendiri yang memegang kekuasaan. Setelah kekuasaan berada di tangan Mu’awiyah persoalan pembunuhan Utsman hilang sama sekali dan tidak pernah disinggung-singgung lagi.23

Kebijakan Ali dalam bidang fiqih siyasah antara lain yaitu dalam : (1) urusan korespondensi; (2) urusan pajak (3) urusan angkatan bersenjata (4) urusan administrasi peradilan. Demikian juga strategi pada Perang Shiffin. Ia memerintahkan pasukannya agar tidak mundur dari medan perang.24

Kemudian kebijakan Ali yang lain dalam pemerintahan adalah menarik tanah-tanah yang dulu oleh Utsman dihadiahkan kepada para pendukungnya dan hasil tanah itu diserahkan kepada kas negara.25

Kebijakan ini didasarkan atas kepribadian Ali, antara lain akidah yang lurus, jujur, berani, menjaga kehormatan diri, zuhud, senang berkorban, rendah hati, sabar, bercita-cita tinggi, adil dan lain-lain. Sifat itu dipetik dari pengalaman hidup bersama Rasulullah saw selama di Mekah dan Madinah.26 Ketika Ali

menjabat sebagai khalifah peran itu yang ingin ditegakkannya dalam memimpin dunia Islam. Setelah melihat adanya tanah dan harta rampasan dan lain-lain yang seharusnya tersimpan dalam baitul mal ternyata berada di tangan para sahabat Utsman dan keluarganya, maka wajar ia mengembalikannya ke kas negara. Orang-orang yang merasa memiliki tanah dan harta yang diperoleh semasa Utsman merasa takun apa yang sudah

---

23

Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Sampai Kepada Hasan dan Husain, hlm. 204.

24

H.A Djazuli, Fiqih Siyasah, hlm. 21

25

Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, hlm. 107.

26


(57)

mereka miliki akan diambil lagi dan mereka tidak akan dapat meni’mati lagi.27

Dengan ini Ali akan berpihak kepada orang-orang miskin. Ini juga menghalangi orang Syam enggan untuk membai’atnya sebagai khalifah. Kebijakan seperti ini ternyata menjadi penghalang dan kesulitan tersendiri bagi Ali bin Abi Thalib dalam menjalan pemerintahan sehingga hampir sepanjang pemerintahan Ali dapat dikatakan tidak pernah lepas dari konflik.

---

27


(1)

91 BAB V

P E N U T U P

Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan secara luas bagaimana terjadinya konflik dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dalam bab ini sampailah penulis bagian akhir dari tulisan yang berisi penutup. Bab ini dituangkan dalam kesimpulan dan saran-saran dengan urutan sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan konflik. Dan Ali sendiri mewarisi konflik dari pemerintahan sebelumnya. Sumber-sumber konflik itu sudah ada pada pemerintahan Utsman, dan Ali menjabat sebagai khalifah dalam suasana rakyat yang kurang stabil.

2. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja,


(2)

cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Dan pada akhirnya perang yang dinamakan perang jamal (tahun 656 M) itu pun tak dapat dihindari. 3. Konflik antara Ali dengan Mu’awiyah (Mei-Juli 657 Masehi) disebabkan

ambisi yang besar untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu ia beralasan belum mau mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum pembunuh Utsman tertangkap dan dieksekusi. Buktinya setelah ia berhasil memegang kekuasaan, persoalan pembunuhan Utsman hilang begitu saja dan tidak digubris lagi.

4. Konflik dengan kaum Khawarij disebabkan campuran faktor politik dan agama. Pada mulanya kaum Khawarij merasa kecewa dan tidak puas dengan kebijakan Ali menerima tahkim dalam penyelesaian konflik dengan Muawiyah. Di satu sisi mereka tidak mendapat rampasan perang yang hampir berhasil karena perang terhenti disebabkan tahkim. Setelah itu tahkim ternyata membawa kekalahan yang mengecewakan bukan kemenangan. Setelah itu konflik berlanjut dengan mengangkat motif agama karena kaum Khawarij memandang tindakan tahkim diambil tidak berdasarkan ketentuan al-Quran, tetapi atas inisiatif pikiran manusia semata dan itu membuat pelaksananya kafir.

5. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya


(3)

93

secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

B. Saran-saran

1. Pembahasan tentang konflik politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang penulis lakukan ini terasa belum tuntas. Banyak informasi yang belum penulis peroleh disebabkan kekurang-mampuan penulis, baik karena referensi yang kurang lengkap, maupun kelemahan penulis dalam menguraikan kronologis setiap peristiwa yang ada. Oleh sebab itu, disarankan kepada teman-teman prodi Siyasah Syar’iyah khususnya maupun prodi lain yang terkait dan tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat umum untuk melanjutkan pembahasan ini dengan pembahasan yang lebih sempurna.

2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen yang mendalami sejarah politik Islam, khususnya mengenai kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib disarankan untuk memberikan arahan serta bimbingannya agar kami para mahasiswa lebih memahami persoalan ini secara lebih baik.


(4)

94 1994.

Abu Himam Jeje Zainudin, Akar Konflik Umat Islam, Bandung: Persis Press, 2008.

Al-Amini, Abdul Husain, Syaikh, Ali bin Abi Thalib Sang Putra Ka’bah, Jakarta: Al-Huda, 2003.

Al-Maududi, Khilafan Dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1978.

Audah Ali, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, Jakarta: Litera Antar Nusa Pustaka Nasional, 2010.

Ash-Shalabi Ali Muhamamd, Biografi Ali bin Abi Talib, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008.

Bangun Antonius (Ed.), Password English Dictionary for Speaker of Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp, 1993.

Buchori Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermassa, 2009.

Bustomi Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008

Consuelo g. sevilla, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: penerbit universitas Indonesia (UI-Press), 1993.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Djazuli H.A, Fiqih Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003.

Fouda Farag, Kebenaran yang Hilang, Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Jakarta : Dian Rakyat, Cetakan kedua, 2008. Gall, Meredith D, Joyce P. Gall & Walter R. Borg. 2007. Educational Research.

USA: Pearson Education Inc.

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Dept. Agama R.I, 1986. Hitti Philip K, History of the Arabs, terjemahan, Jakarta: Serambi, 2008.


(5)

95

Imani Mahdi Faqih, Mengapa Mesti Ali?, Jakarta: Citra, 2006.

Jordac George, Khalifah Terakhir, Jakarta: Zahra Publishing House, 2013.

Karim Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, Cetakan pertama, 2007.

Khalid Amru, Biografi Khulafaur Rasyidin, Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2012.

Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung : CV Diponegoro, 2006.

Katsir Ibnu, Al-Bidayah Wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin, Jakarta: Darul Haq, 2004.

Lahiji Qurbani, Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib, Jakarta: al-Huda, 2011.

Mahzun Muhammad, Meluruskan Sejarah Islam, studi kritis peristiwa tahkim, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Murad Musthafa, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib, Jakarta: Zaman, 2013.

Mursi Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.

Nasution Harun, Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.

Nasution Syamruddin, Arbitrase, Riau: Yayasan Pustaka, 2011.

Nasir Syed Mahmudun, Islam Dan Konsepsi Dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rusda Karya, 1991.

Qudamah Ibnu, Al-Mughni, Syarh Mukhtashar al-Khiraqi li ibn Qudamah, Pustaka Azzam, jilid 8.

Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Siraj Ibrahim, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.


(6)

Situmorang Jubair, Politik Ketatanegaraan dalam Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2012.

Sopyan Yayan, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok: Gramata Peublishing, 2010.

Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008). Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam; Dari Abu Bakar Sampai Nashr dan

Qardhawi, Bandung: Mizan, 2006.

Sya’ban Hilmi Ali, Ali bin Abu Thalib, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004).

Wehmeir Sally, (Ed.), Oxforf Advanced Leaner’s Dictionary of Curren English, Oxford university Press, 2007.

Zainudin Muhadi dan Abd Mustaqim, “Studi Kepemimpinan Islam,” Putra Mediatama Press, 2008.

INTERNET

http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik

http://nasrullahsaid.blogspot.com/2011/09/akar-konflik-politik-sayyidina-usman.html

http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html