Strategi Ali Dalam Menyelesaikan Konflik Politik Di Masa Itu

87 Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki yang tak kunjung memuaskan. Mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar, siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan surat itu. Hal ini telah salah satu menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus karena mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifahan Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi politiknya. Ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kedzaliman lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt. Meskipun pembai’atan Ali berjalan 88 mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib. Ada kelompok lain yang melarikan diri dari Madinah ke Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Ada kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Dan ada kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan. Ada kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan di atas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad hingga tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah dikatakan Madinah menjadi 89 barometer keutuhan umat. Sebab, di sinilah berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik publik, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita berikan terhadap Muawiyah. Mereka semua tidak pernah mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij. Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita terhadap khawarij nenek moyang wahabi, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik 90 ke dalam paradigma teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran teologi tandingan seperti Syi ’ah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka semua status keimanan seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada hati dan niat tindakan para pelaku itu sendiri. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi umat akhir zaman ini. Namun bagaimana seharusnya hal itu disikapi secara positif agar untuk dijadikan pengajaran. 91

BAB V P E N U T U P

Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan secara luas bagaimana terjadinya konflik dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Dalam bab ini sampailah penulis bagian akhir dari tulisan yang berisi penutup. Bab ini dituangkan dalam kesimpulan dan saran-saran dengan urutan sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib penuh dengan konflik. Dan Ali sendiri mewarisi konflik dari pemerintahan sebelumnya. Sumber-sumber konflik itu sudah ada pada pemerintahan Utsman, dan Ali menjabat sebagai khalifah dalam suasana rakyat yang kurang stabil. 2. Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zubair ketika melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zubair tujuannya satu, memberikan nasihat kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Dan pada akhirnya perang yang dinamakan perang jamal tahun 656 M itu pun tak dapat dihindari. 3. Konflik antara Ali dengan Mu’awiyah Mei-Juli 657 Masehi disebabkan ambisi yang besar untuk merebut kekuasaan. Oleh sebab itu ia beralasan belum mau mengakui Ali sebagai Khalifah sebelum pembunuh Utsman tertangkap dan dieksekusi. Buktinya setelah ia berhasil memegang kekuasaan, persoalan pembunuhan Utsman hilang begitu saja dan tidak digubris lagi. 4. Konflik dengan kaum Khawarij disebabkan campuran faktor politik dan agama. Pada mulanya kaum Khawarij merasa kecewa dan tidak puas dengan kebijakan Ali menerima tahkim dalam penyelesaian konflik dengan Muawiyah. Di satu sisi mereka tidak mendapat rampasan perang yang hampir berhasil karena perang terhenti disebabkan tahkim. Setelah itu tahkim ternyata membawa kekalahan yang mengecewakan bukan kemenangan. Setelah itu konflik berlanjut dengan mengangkat motif agama karena kaum Khawarij memandang tindakan tahkim diambil tidak berdasarkan ketentuan al-Quran, tetapi atas inisiatif pikiran manusia semata dan itu membuat pelaksananya kafir. 5. Terakhir, konflik yang terjadi diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

B. Saran-saran

1. Pembahasan tentang konflik politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang penulis lakukan ini terasa belum tuntas. Banyak informasi yang belum penulis peroleh disebabkan kekurang-mampuan penulis, baik karena referensi yang kurang lengkap, maupun kelemahan penulis dalam menguraikan kronologis setiap peristiwa yang ada. Oleh sebab itu, disarankan kepada teman-teman prodi Siyasah Syar’iyah khususnya maupun prodi lain yang terkait dan tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat umum untuk melanjutkan pembahasan ini dengan pembahasan yang lebih sempurna. 2. Kepada Bapak dan Ibu Dosen yang mendalami sejarah politik Islam, khususnya mengenai kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib disarankan untuk memberikan arahan serta bimbingannya agar kami para mahasiswa lebih memahami persoalan ini secara lebih baik.