I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah pendidikan pesantren
direpresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara?”
I.3. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun
pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: 1.
Penelitian pada level teks untuk mencari makna yang ada dibalik penyajian tata bahasa tersebut.
2. Penelitian ini membahas ke masalah discourse practice kognisi
sosial dan sociocultural practice konteks sosial pendidikan pesantren di balik teks secara tersirat.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.4.1 Tujuan Penelitian: 1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi
pesan yang terkandung dalam novel Negeri 5 Menara.
Universitas Sumatera Utara
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi
pendidikan pesantren yang dibentuk dalam Novel Negeri 5 Menara.
I.4.2 Manfaat Penelitian: 1.
Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian
media yang diteliti dengan analisis wacana. 2.
Secara praktis hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan
media. 3.
Secara akademis penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya
bahan penelitian dan sumber bacaan terutama kajian analisis wacana.
I.5. Kerangka Teori
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori
Singarimbun, 1995:37. Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu
perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti Nawawi, 1995:40.
Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk konsep, definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan
sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu
Rakhmat, 2004: 6. Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
I.5.1 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap
pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif
lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ what, analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ how dari pesan atau teks komunikasi. Lewat
analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora
seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat
makna yang tersembunyi dari suatu teks Eriyanto, 2001: xv. Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana
menurut Eriyanto 2001: 4-6. Pandangan pertama disebut positivisme-
Universitas Sumatera Utara
empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat
secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-
pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan
antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu
dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini
menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S
Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam
paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari
Universitas Sumatera Utara
sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivimsme yang kurang sensitif pada
proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan
konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-
perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran
seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana
dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang
mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma
kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.
Universitas Sumatera Utara
Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan
menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan
dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.
I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough
Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat
yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya,
sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah
melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis
yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena
itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Eriyanto, 2001:
285. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough
menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek
Universitas Sumatera Utara
sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung
sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan
khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat duniarealitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara
wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari
institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan klasifikasi.
Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,
teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas,
bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan
dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks.
Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam
hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.
Universitas Sumatera Utara
I.5.3 Representasi
Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to
present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan.
Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makan
yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang
digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall
beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which
meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands
for what we’re talking about.” Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna
yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan
“Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah
kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.
Universitas Sumatera Utara
Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.
Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh
wartawan, dalam penelitian ini berarti penulis novel itu sendiri. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan encode sebagai realitas. Pada
level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga,
bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak
bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.
I.5.4 Ideologi
Menurut Sukarna Sobur, 2004: 64 secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal
dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the
formulation on an opinion, plan or like” sesuatu yang ada dalam pikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word.
Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat
atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi
pembaca ke arah suatu ideologi Sobur, 2004: 60. Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi
tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana
mereka menghadapinya Sudibyo, 2001: 12. Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang
terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang
diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan
dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya Lull, 1998: 1.
Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi
sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang
berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur
ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana
kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok
yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah.
Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran.
Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat
ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara
persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.
I.6. Kerangka Konsep
Di dalam setiap penelitian sosial, seorang peneliti harus terlebih dahulu menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum memulai
pengumpulan data. Hal ini tertuang dalam kerangka konsep karena
Universitas Sumatera Utara
dengan menetapkan variabel akan mempermudah penelitian. Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang
bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai Nawawi, 1995: 33. Konsep adalah penggambaran secara tepat
fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau
individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial Singarimbun, 1995: 34.
Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana Norman Fairclough yang terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Teks
2. Discourse Practice
3. Sociocultural Practice
I.7. Operasionalisasi Konsep