Representasi Pendidikan Pesantren Dalam Novel “Negeri 5 Menara” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)

(1)

REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN

DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA”

(Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh

FIQI LISTYA FUJIASIH

(060904077)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik

kekuasaan.

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan dan mempelajari data dari literatur, buku-buku serta sumber yang relevan dan mendukung dengan data primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks yang tertulis dalam novel “Negeri 5 Menara”. Penelitian juga dilakukan dengan mewawancarai penulis novel “Negeri 5 Menara”, pembaca novel “Negeri 5 Menara” dan praktisi pendidikan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bagaimana pendidikan pesantren direpresentasikan dan ideologi A. Fuadi sebagai penulis novel “Negeri 5 Menara”. Pesantren dalam novel ini direpresentasikan sebagai lembaga pendidikan yang bermutu, memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lain dan mampu menghasilkan alumni yang berkualitas. Adapun ideologi seorang A. Fuadi adalah bagaimana ia mencoba menjelaskan tentang pendidikan pesantren yang selama ini tidak banyak terekspos media dan tidak diketahui apa yang terjadi di balik tembok pesantren.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah sembah syukur ku haturkan kehadirat Allah SWT, Rabb Semesta Alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, telah merancang skenario terindah dihidup peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul REPRESENTASI PENDIDIKAN PESANTREN DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA” (Studi Analisis Wacana Norman Fairclough Tentang Representasi Pendidikan Pesantren dalam Novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak kenal henti hingga akhir hidup, begitupun dengan skripsi ini adalah bagian dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, Bapak Ir. Fauzi Bramantyo, yang semangat belajarnya menular kepada peneliti. Usia boleh tua, tetapi semangat belajar tetap layaknya masih di usia muda. Mama Sri Asih, yang meskipun tidak merasakan pendidikan perguruan tinggi, namun selalu memotivasi peneliti untuk sekolah tinggi, bahkan sampai menemani peneliti keliling berbagai universitas di Jawa. Dukungan, doa restu dan semangat Bapak dan Emak yang menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Teruntuk adikku, Fariqi Iqbal Zulfi, semoga apa yang kakak lakukan ini, dapat memotivasimu untuk terus semangat kuliah.

Pada akhirnya, skripsi ini tak kan ada juga tanpa uluran tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karenaNya. Terima Kasih sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

4. Ibu Dra. Lusiana A. Lubis, MA, selaku dosen wali dan dosen pembimbing yang tak hanya membimbing peneliti selama mengerjakan skripsi, tetapi juga dengan kesabaran yang tulus menunggu skripsi peneliti yang lama selesainya, yang telah berbagi cerita tentang banyak hal dan memotivasi untuk melanjutkan sekolah dan terus menimba ilmu. Terima Kasih Bu, atas pengertian, kesabaran, nasehat dan pemikiran yang telah diberikan kepada saya.

5. Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.

6. Ibu Dra. Rosmiani, M.A yang selama ini telah memberi banyak nasehat dan semangat kepada peneliti.

7. Kak Cut, Kak Ros dan Kak Maya serta seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa PKL. Mohon maaf telah banyak merepotkan.

8. Pak Ahmad Fuadi dan Ibu Danya “Yayi” Dewanti serta keluarga, seluruh manajemen Negeri 5 Menara dan Komunitas Menara, yang telah banyak membantu peneliti. Terima Kasih, Negeri 5 Menara sungguh membuka mata untuk percaya bahwa impian kan nyata akhirnya jika mau berusaha. Man Jadda Wajada!

9. Seluruh santri, alumni, ustad dan kyai Pondok Modern Gontor, Jawa Timur, terkhusus KH Syukri Zarkasyi, yang nasehatnya telah memberi inspirasi, Ustad Tasirum Sulaiman atas referensi tentang Gontornya dan


(5)

Keluarga Alumni Pondok Modern Gontor Medan yang telah membantu peneliti. Skripsi ini membuat saya ingin menjadi santri di PM Gontor. 10.Bapak Drs. Arief Ridwan Haris, Kepala Sekolah Al Ulum Terpadu

Medan, yang telah membantu peneliti. Terima Kasih atas diskusi menyenangkannya.

11.Heri Gunanti Surbakti dan Ropesta Sitorus, S.Sos yang telah bersedia peneliti wawancarai seputar pesantren dan Negeri 5 Menara.

12.Redaksi Majalah SABILI; Ka Nesa, Mbak Diyah, Mbak Noer, Mbak Wiwit, Pak Herry Nurdi, Pak Rivai, Pak Chairul, Pak Eman, Seto Buje, Pak Rani, Pak Iwan, Mohon maaf selama skripsi jadi tidak pernah meliput dan menulis lagi.

13.Sahabatku di UKMI As-Siyasah FISIP USU; Tiwi, Reine, Nazlia, Aida, Wira, Ira, Ka Siti, Ka Yo, Ka Widi, Ka Ifah, Yayuk, Windy, Qin, Dilla, Ayu, Yasa, Uni, Alim, Sulhan, Ali, Prie, Eka, Irwanto, Tama, Iqbal dan seluruh keluarga UKMI, para penunggu musholla, yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Dari kalian, aku belajar bahwa ilmu bukan sekedar untuk dihapal, tapi juga diamalkan.

14.Sahabatku di KAMMI Merah Putih dan Nusantara USU; Syaiful, Farida, Rico, Ama, Nurul, Sita, maaf jika di akhir-akhir masa kepengurusan, saya kurang berkontribusi.

15.Sahabatku di 99 Percent Magazine; Ka Yo, Ayu, Yasa, Ari, Fadhlan, Rico, Ikhsan, Dilla, Roby, kita buat majalah kita jadi Go International. 16.Sahabatku Happy Yummy Slurpp; Mel, Dika, Wanya, Yuli, Vega,

akhirnya skripsiku selesai kan teman-teman. Terima Kasih ya, selama kuliah, kalianlah yang selalu cerewet agar aku tidak datang terlambat, tidak lupa mengerjakan tugas, tidak lupa ambil KHS/KRS dan bayar uang kuliah. Kalian membuat aku jadi betah di FISIP. Buktinya aku paling terakhir sidang diantara kalian, ya kan?


(6)

17.Teman-teman di SUARA USU, Bang Febri Ichwan Butsi, Bang Liston Damanik, Bang Vinsensius Sitepu, Terima Kasih atas diskusinya, telah membantu peneliti memahami teori analisis wacana.

18.Fanny Yulia Chaniago dan Bang Roni Wisuda Rambe, yang telah membantu peneliti wawancara dan memberi semangat.

19.Adik-adik mentoring Ilmu Komunikasi 2008 & 2009, dan Administrasi Bisnis 2009, serta teman-teman Liqo & Ka Alucyana, S.Psi yang telah memberi semangat dan taujih agar peneliti tidak lupa mengaji meskipun sedang sibuk skripsi.

20.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2006, para senior dan junior. Terima Kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja. 21.Sahabatku di Smart Generation Community (SGC) USU; Semoga kita

bisa mewujudkan mahasiswa USU yang tidak hanya sekedar penghapal buku, tapi juga pecinta ilmu, tidak hanya tahu demo, tapi juga dekat dengan Allah.

22.Sahabat dan keluarga saya di FORSAI SMAN 12 Medan, terutama kepada Kak Nailul Abror Pohan, Kak Eko Susanto dan Mbak Ulfa, yang banyak memberi semangat kepada peneliti selama mengerjakan skripsi. Terkhusus angkatan 2006, mengisi waktu terbaik di usia SMA bersama kalian, bekal yang sangat berarti untuk lima puluh tahun yang akan datang. Bersama kalian, usia remaja tak selalu harus hura-hura tapi usia untuk mempersiapkan diri agar dapat meraih cita-cita.

23.Kak Ibnu Asqori Pohan yang telah banyak membantu peneliti sejak awal penulisan skripsi hingga akhir. Meskipun nun jauh di Manila sana, namun pemikiran, dukungan dan semangatnya menembus jarak beratus kilometer. Bahkan membuat Negeri 5 Menara sampai ke Filipina. Jazzakumullah Khairan Katsira.

24.Teman-teman diskusi dunia maya, yang selalu menemani sejak peneliti semester satu hingga selesai skripsi, jika suntuk dengan tugas kuliah di


(7)

malam hari, dengan diskusi kita dari isu kamar sampai isu global, yang membuat peneliti jadi lebih sering baca dan nonton TV agar diskusi kita gak pernah mati, yang membuat peneliti betah di Ilmu Komunikasi, yang membuat semangat kuliah di luar negeri, yang membuat peneliti mencintai ilmu, teruntuk Kak Ardhi Jayali Lubis, S.Sos (FISIPOL UGM), Kak Afit Fahrudin hampir S.Sn, S.Pd (Seni Rupa UNY), Tegar Hamzah, S.Psi (Psikologi UI), Fikrie El Mujahid, S.Ked (FK UNDIP), Mulya Fitrah Utama hampir SH (FH UI), Bag Kinantan, ST (FT USU), Fathia Rahma (SMAN 3 Bandung), PH (Arsitektur ITB), dan juga seluruh jama’ah fesbuker dan multiply.

25.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu, tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin.

Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang. Insya Allah. Man Jadda Wajada!

Medan, September 2010 Peneliti


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI………. i

KATA PENGANTAR………. ii

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR TABEL……… ix

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

I.2 Perumusan Masalah………. 9

I.3 Pembatasan Masalah……….9

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 9

I.4.1 Tujuan Penelitian………... 9

I.4.2 Manfaat Penelitian.………10

I.5 Kerangka Teori……….10

I.5.1 Analisis Wacana Kritis………...11

I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough……….14

I.5.3 Representasi………16

I.5.4 Ideologi………...17


(9)

I.7 Operasionalisasi Konsep………20

I.8 Metodologi Penelitian………23

BAB II URAIAN TEORITIS………27

II.1 Analisis Wacana Kritis………..28

II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough………37

II.3 Representasi………..48

II.4 Ideologi……….54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………...61

III.1 Deskripsi Objek Penelitian………...61

III.2 Tipe Penelitian………..67

III.3 Subjek Penelitian………..68

III.4 Unit dan Level Analisis………68

III.5 Teknik Pengumpulan Data………68

III.6 Teknik Analisa Data………..69

BAB IV HASIL & PEMBAHASAN……….71

IV.1 Analisis Wacana Novel………..73

IV.2 Diskusi dan Pembahasan………..277

BAB V KESIMPULAN & SARAN………...312

V.1 Kesimpulan………....312

V.2 Saran………..315

DAFTAR PUSTAKA……….317 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel II.1 Struktur Teks………39

Tabel III.1 Struktur Analisis Wacana Norman Fairclough………70

Tabel IV.1.1 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...78

Tabel IV.1.2 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...91

Tabel IV.1.3 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...103

Tabel IV.1.4 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...118

Tabel IV.1.5 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...132

Tabel IV.1.6 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...145

Tabel IV.1.7 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...157

Tabel IV.1.8 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...164

Tabel IV.1.9 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara………...177

Tabel IV.1.10 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….186

Tabel IV.1.11 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….194

Tabel IV.1.12 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….200

Tabel IV.1.13 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….206

Tabel IV.1.14 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….212

Tabel IV.1.15 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….222

Tabel IV.1.16 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….230

Tabel IV.1.17 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….238

Tabel IV.1.18 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….249

Tabel IV.1.19 Analisis Wacana Novel “Negeri 5 Menara……….259


(11)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi pendidikan pesantren dalam novel “Negeri 5 Menara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ideologi penulis, mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel dan untuk mengetahui representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam novel “Negeri 5 Menara” ini.

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan menggunakan analisis Norman Fairclough. Dalam penelitian ini yang dianalisis adalah pada level teks, discourse practice dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dan representasi yang disajikan dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis Norman Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik bagaimana representasi yang disajikan dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya wacana tersebut. Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik

kekuasaan.

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya A. Fuadi, yang dibagi atas 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan dan mempelajari data dari literatur, buku-buku serta sumber yang relevan dan mendukung dengan data primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks yang tertulis dalam novel “Negeri 5 Menara”. Penelitian juga dilakukan dengan mewawancarai penulis novel “Negeri 5 Menara”, pembaca novel “Negeri 5 Menara” dan praktisi pendidikan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bagaimana pendidikan pesantren direpresentasikan dan ideologi A. Fuadi sebagai penulis novel “Negeri 5 Menara”. Pesantren dalam novel ini direpresentasikan sebagai lembaga pendidikan yang bermutu, memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan lembaga pendidikan lain dan mampu menghasilkan alumni yang berkualitas. Adapun ideologi seorang A. Fuadi adalah bagaimana ia mencoba menjelaskan tentang pendidikan pesantren yang selama ini tidak banyak terekspos media dan tidak diketahui apa yang terjadi di balik tembok pesantren.


(12)

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih ‘berani’ dalam mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat.

Dalam hal pemberitaan realita di masyarakat, media tidak hanya memberitakan apa yang terjadi, tetapi juga mengkonstruksi realita tersebut, menyembunyikan sebagian fakta dan menonjolkan fakta lainnya. Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004: 11). Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut,


(13)

“Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.

Akhir-akhir ini pemberitaan di surat kabar dan televisi cukup sering memberitakan kasus-kasus kriminal yang terjadi di dalam pesantren. Kasus pelecehan seksual santri yang dilakukan pimpinan pesantren atau guru-guru di lingkungan pondok cukup mendeskreditkan pesantren sebagai pendidikan agama di mata masyarakat, seperti yang terjadi di sebuah Pondok Pesantren di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Seorang guru pesantren memperkosa santrinya sendiri yang duduk dikelas 3 madrasah aliyah. Tidak tanggung-tanggung, kejadian itu dilakukan pada siang hari

Selain itu, pondok pesantren

diberitakan juga menjadi sasaran dalam sebuah konflik pemilihan kepala desa, seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Al Wasilah di Desa


(14)

Kuajang, Polewali Mandar Sulawesi Barat. Pesantren ini hangus dibakar dan diduga dilakukan oleh orang yang tidak senang dengan hasil pemilihan kepala desa yang dimenangkan oleh calon kepala desa yang juga merupakan ustad di pondok pesantren tersebut (Buser Liputan 6 SCTV, 23/9/2009). Pola pendidikan pesantren pun mendapat sorotan ketika salah seorang santri di Pondok Pesantren di Kendari, Sulawesi Tenggara harus dilarikan ke rumah sakit akibat direndam di bak penampungan air oleh ustadnya hingga mengalami mual, muntah dan demam tinggi (Buser Liputan 6 SCTV, 10/12/2009). Budaya kekerasan di pesantren pun menjadi sorotan media ketika Handoyo (17), santri Pondok Pesantren Alziziah, Jombang Jawa Timur, tewas akibat dianiaya seniornya (Buser, Liputan 6 SCTV, 21/12/2009). Dan yang cukup menyita perhatian masyarakat adalah pemberitaan pernikahan kedua pemilik Pondok Pesantren Miftahul Jannah, Semarang, Pujiono Cahyo Widiyanto atau yang lebih dikenal dengan Syeh Puji menikahi santriwatinya sendiri yang masih di bawah umur. Beberapa orang tua santri memulangkan anaknya akibat pemberitaan ini.

Sejak maraknya pemberitaan kasus teroris di Indonesia, pesantren juga cukup mendapat sorotan media massa. Pemimpin Pondok Pesantren Al Mu’min, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Abu Bakar Ba’asyir, sosoknya lekat dengan kasus terorisme Beliau bahkan sempat mendekam di balik jeruji besi selama 2,5 tahun akibat dakwaan terlibat dalam peledakan bom di Bali, hingga akhirnya pada Desember 2006 dibebaskan


(15)

dari segala tuduhan kasus terorisme. Menjelang bulan Ramadhan 1431 H, atau pada pertengahan Agustus kemarin, Abu Bakar Ba’asyir kembali ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi latihan senjata di Nangroe Aceh Darussalam. Akibat pemberitaan ini, pesantren asuhannya menjadi sorotan media dan masyarakat, karena memasukkan tema jihad dalam kurikulum pendidikan pesantren. Bahkan semakin dicurigai karena sebagian alumni pondok pesantren tersebut diduga terlibat dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia. Beberapa hari sebelum Amrozi ditangkap, diberitakan santri dan pengasuh Pondok Pesantren Al Islam, Lamongan Jawa Timur, merasa dirugikan akibat seringnya orang-orang tak dikenal mengawasi lingkungan Pesantren. Hal ini dikarenakan pemberitaan media yang mengkait-kaitkan Pesantren Al Islam dengan Amrozi. Padahal menurut pengasuh pondok pesantren Amrozi bukanlah alumni pondok mereka (Gatra, 8/11/2002). Pondok Pesantren Al Mutaqin di Sowan Kidul juga mendapat sorotan karena salah satu buron kasus terorisme bom Marriot dan Ritz Carlton, Bagus Budi Pranoto alias Urwah pernah menjadi santri di pondok pesantren tersebut (Harian SIB, 31/8/2009). Wacana yang berkembang mengenai pendidikan pesantren di atas, cukup mendeskreditkan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan agama.

Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya melalui media massa seperti televisi atau surat


(16)

kabar saja. Novel dianggap sebagai salah satu media massa hasil manifestasi jurnalistik baru dan jurnalistik sastra yang dapat mewacanakan sesuatu atas interpretasi penulis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam sebuah novel, cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi masyarakat.

Di tengah pemberitaan mengenai kasus teroris bom Marriot dan Ritz Carlton, yang mengkaitkan pelakunya dengan latar belakang pendidikan mereka di pesantren, Juli 2009 lalu, Ahmad Fuadi, mantan wartawan Tempo dan VOA menerbitkan sebuah novel berlatar belakang cerita pesantren yaitu Negeri 5 Menara. Novel ini mengangkat cerita pesantren yang berbeda dengan penggambaran media lainnya saat itu.

Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan model pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat kabar saat ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia, menceritakan mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh Darussalam tempat mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah tangga atau korban pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan penggambaran pesantren sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang diangkat ke layar lebar berjudul Perempuan Berkalung Sorban, sebuah novel karya Abidah El Khalieqy mengangkat cerita santri yang memberontak dengan aturan pesantren yang menurutnya kaku dan


(17)

mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan penggambaran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup mumpuni dalam menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat dikatakan tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama. Beberapa novel angkatan Pujangga Lama meskipun tidak secara langsung berlatar belakang pesantren, namun mencerminkan dunia pesantren, ada dalam karya AA. Navis berjudul Robohnya Surau Kami. Karya mendalam mengenai kehidupan dan jiwa pesantren pernah diterbitkan pada tahun 1979 dalam bentuk otobiografi Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren. Namun karya-karya ini tidak cukup dikenal lagi saat sekarang ini, sehingga wacana yang diangkat pun tidak terlalu berpengaruh di kalangan masyarakat.

Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi, penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah yang dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Modern Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren. Wacana dan realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren di media massa maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.

Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non agama baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat buangan anak-anak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau anak-anak yang nilainya tidak cukup untuk masuk ke lembaga pendidikan


(18)

negeri atau tidak memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga pendidikan swasta. A. Fuadi menggambarkan bahwa pesantren seharusnya menjadi tempat untuk mendidik bibit-bibit unggu l calon-calon da’i dan menjadi tempat untuk mendalami pendidikan agama. Selain itu juga penulis novel ini juga memberikan gambaran mengenai pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang berbeda dari wacana mengenai pesantren yang berkembang selama ini dan jarang diceritakan atau diberitakan di media manapun. Salah satu metode pengajaran yang digambarkan A. Fuadi adalah bagaimana para santri dapat berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam dalam waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak hanya berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para santri berkreasi mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik, fotografi, dan olahraga.

Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure lainnya. Beberapa surat kabar nasional seperti Kompas dan Republika pun memuat resensi novel ini dan memberikan apresiasinya. Dalam kurun waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini kemudian menjadi Best Seller dan sudah mencapai cetakan ke empat dalam kurun waktu kurang


(19)

dari enam bulan. Sebuah prestasi tersendiri untuk novel bergenre pendidikan pesantren dengan tokoh utama para santri.

Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Apakah tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara dapat merepresentasikan bagaimana pola pendidikan dan komunikasi pengajaran di lingkungan pesantren. Selain itu juga perlu untuk mengetahui apakah yang mendasari penulis novel mengangkat tema pesantren yang berbeda dari yang ditampilkan media massa pada umumnya. Apakah hal ini juga berhubungan dengan apa yang terjadi di masyarakat, opini apa yang berkembang di masyarakat mengenai pendidikan pesantren. Atas dasar inilah peneliti ingin melakukan penelitian mengenai representasi pendidikan pesantren dalam novel Negeri 5 Menara.

Representasi ini dianalisis menggunakan teori analisis wacana Norman Fairclough karena teori ini memusatkan perhatian bahasa sebagai praktik kekuasaan, untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Dalam hal ini bagaimana pendidikan pesantren direpresentasikan.


(20)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah pendidikan pesantren direpresentasikan dalam novel Negeri 5 Menara?”

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas, terarah sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian pada level teks untuk mencari makna yang ada dibalik penyajian tata bahasa tersebut.

2. Penelitian ini membahas ke masalah discourse practice (kognisi sosial) dan sociocultural practice (konteks sosial) pendidikan pesantren di balik teks secara tersirat.

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.4.1 Tujuan Penelitian:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wacana pada makna isi pesan yang terkandung dalam novel Negeri 5 Menara.


(21)

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi pendidikan pesantren yang dibentuk dalam Novel Negeri 5 Menara.

I.4.2 Manfaat Penelitian:

1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya tentang kajian media yang diteliti dengan analisis wacana.

2. Secara praktis hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media.

3. Secara akademis penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan terutama kajian analisis wacana.

I.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang


(22)

menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1995:40).

Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2004: 6).

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

I.5.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut


(23)

positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan

objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari


(24)

sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivimsme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.


(25)

Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi.

I.5.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah

melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana

pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek


(26)

sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,

discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,

teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.


(27)

I.5.3 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to

present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara

dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makan yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which

meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.


(28)

Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya.

Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh wartawan, dalam penelitian ini berarti penulis novel itu sendiri. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut.

I.5.4 Ideologi

Menurut Sukarna (Sobur, 2004: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Colligate

Dictionary berarti “something existing in the mind as the result of the formulation on an opinion, plan or like” (sesuatu yang ada dalam pikiran

atau rencana). Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.


(29)

Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001: 12).

Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnnya (Lull, 1998: 1).

Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Definisi dalam ranah ini biasanya digunakan oleh para psikologi yang melihat ideologi sebagai suatu perangkat sikap yang dibentuk atau diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri.


(30)

Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran.

Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi makna dan ide. Ideologi diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita yang disajikan secara tidak sengaja merupakan gambaran dari ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya.

I.6. Kerangka Konsep

Di dalam setiap penelitian sosial, seorang peneliti harus terlebih dahulu menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum memulai pengumpulan data. Hal ini tertuang dalam kerangka konsep karena


(31)

dengan menetapkan variabel akan mempermudah penelitian. Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 34).

Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis wacana Norman Fairclough yang terdiri dari tiga tahap yaitu:

1. Teks

2. Discourse Practice 3. Sociocultural Practice

I.7. Operasionalisasi Konsep

Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Melihat bahasa dalam perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana


(32)

bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan kenteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285). Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Berikut akan diuraikan satu per satu elemen wacana Fairclough tersebut: A. Teks

1. Representasi: pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok, gagasan, ditampilkan dalam anak kalimat, kombinasi anak kalimat atau rangkaian antarkalimat.

2. Relasi: berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media di sini dipandang sebagai suatu arena sosial, di mana semua kelompok, golongan, dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasannya.

3. Identitas: aspek ini melihat bagaimana identitas penulis novel ditampilkan dan dikonstruksikan dalam teks. Apakah ia ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari khalayak ataukah menampilkan dan mengindentifikasi dirinya secara mandiri?

B. Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu


(33)

praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khayalak). Jadi, kalau ada teks media yang merendahkan atau meninggikan citra pendidikan pesantren, kita harus mencari tahu bagaimana teks tersebut diproduksi dan bagaimana juga teks tersebut dikonsumsi.

C. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Sociocultural practice menggambarkan bagaiman kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat.

Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice, yaitu:

a. Situasional: konteks sosial, bagaimana teks itu diproduksi di antaranya memperhatikan aspek situasional ketika teks tersebut diproduksi. Aspek ini lebih mengarah pada waktu atau suasana yang mikro (konteks peristiwa saat teks dibuat).


(34)

b. Institusional: aspek ini melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dari media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita.

c. Sosial: aspek ini memandang bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek sosial lebih melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.

I.8. Metodelogi Penelitian

I.8.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis media. Metode penelitian ini menggunakan pisau analisis wacana Norman Fairclough. Dalam penelitian yang dianalisis adalah teks, discourse practice, dan sociocultural practice yang melatarbelakangi dibuatnya Novel “Negeri 5 Menara” yang mengangkat wacana pendidikan pesantren dengan konsep makna pesan yang tersirat.

Dalam analisis wacana Fairclough, peneliti dapat melihat secara spesifik faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu wacana. Analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungan teks yang mikro dengan konteks masyarakat


(35)

yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual –yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup- dengan konteks masyarakat yang lebih luas.

I.8.2 Subjek Penelitian

Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad Fuadi (A. Fuadi), yang dibagi dalam 20 bagian cerita dan terdiri dari 80 halaman. Penelitian ini menggunakan novel cetakan kedua, Oktober 2009 yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

I.8.3 Unit dan Level Analisis

Unit yang dianalisis adalah novel “Negeri 5 Menara” yang dilihat dari teks atas keseluruhan isi cerita dalam novel. Analisis dilakukan dalam tahap teks, discourse practice dan sociocultural practice yang disajikan dalam isi cerita novel tersebut. Sedangkan tingkat analisisnya adalah wacana pada makna pesan yang disampaikan secara tersirat dan representasi pendidikan pesantren yang disajikan dalam cerita novel tersebut.


(36)

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer, yaitu dimana data unit analisis dari teks-teks yang tertulis pada Novel “Negeri 5 Menara”.

2. Data Sekunder, yaitu melalui penelitian kepustakaan (Library

Research), dengan mengumpulkan literatur serta berbagai

sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

3. Wawancara terhadap pengarang Novel “Negeri 5 Menara” via e-mail dan wawancara langsung kepada praktisi atau pengamat pendidikan, alumni pesantren dan pembaca novel Negeri 5 Menara.

8.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menunjukkan kegiatan penyederhanaan data ke dalam susunan tertentu yang lebih dibaca dan diinterpretasikan. Penelitian ini menganalisis teks, kognisi sosial dan analisis sosial pada novel “Negeri 5 Menara dengan menggunakan Analisis Wacana Norman Fairclough. Sebelumnya teks akan ditabulasikan terlebih dahulu dalam sebuah tabel, kemudian dianalisis dengan kerangka analisis wacana Norman Fairclough, untuk kemudian data disederhanakan lagi ke dalam tabel.


(37)

STRUKTUR METODE Teks

Menganalisis

bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk

menggambarkan

seseorang atau peristiwa tertentu.

Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan Critical Lingusitics STRUKTUR WACANA HAL YANG DIAMATI ELEMEN Representasi Kalimat

Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, keadaan atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Anak kalimat, gabungan atau rangkaian antar anak kalimat

Relasi Pola Hubungan

Bagaimana

hubungan antara penulis, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Analisis hubungan antara penulis, khalayak dan partisipan

Identitas Identifikasi

Tampilan/Konstru ksi

Bagaimana identitas penulis, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Analisis identifikasi Discourse Practice Bagaimana produksi dan konsumsi teks.

Wawancara Mendalam

Sociocultural Practice

Konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi

bagaimana wacana yang muncul dalam media.


(38)

BAB II

URAIAN TEORITIS

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:40). Maka teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan disoroti (Nawawi, 1991:40).

Teori oleh Kerlinger diartikan sebagai himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala yang menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena tertentu (Rakhmat, 2004:6). Fungsi teori dalam suatu riset penelitian adalah membantu peneliti dalam menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya (Kriyantono, 2007:45). Teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: Analisis Wacana Kritis, Analisis Wacana menurut Norman Fairclough, Representasi dan Ideologi. Secara lebih rinci dapat dilihat pada uraian-uraian berikut ini.


(39)

II.1 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Awal perkembangan analisis wacana kritis dikemukakan oleh van Dijk pada tahun 1970-an. Analisis ini mendapat pengaruh teori linguistik kritis, teori sosial kritis Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Perancis. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.


(40)

Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut

positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan

objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik.

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang


(41)

bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma


(42)

kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana kritis.

Menurut Yoce (2009: 49), analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.

Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi.

Dalam Eriyanto (2001: 7) analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa di sini dianalisis bukan


(43)

dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan dalam melihat ketimpangan yang terjadi. Habermas dalam Yoce (2009: 53) mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana kritis bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan. Tujuan analisis wacana kritis adalah untuk mengembangkan asumsi-asumsi yang bersifat ideologis yang terkandung dibalik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. Analisis wacana kritis bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik diskursif, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas. Jadi, analisis wacana kritis dibentuk oleh struktur sosial (kelas, status, identitas etnik, zaman dan jenis kelamin), budaya, dan wacana (bahasa yang digunakan). Analisis wacana krtis mencoba mempersatukan dan menentukan hubungan antara (1) teks aktual, (2) latihan diskursif dan (3) konteks sosial yang berhubungan dengan teks dan latihan diskursif.

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat


(44)

memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi yang ditampilkan. Untuk menyempurnakan pandangan di atas, Fairclough mengemukakan pengertian wacana secara komprehensif dari pandangan kritis. Menurut Fairclough wacana harus dipandang simultan, yaitu sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi teks dan interpretasi teks, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-perubahan masyarakat institusi, budaya yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana. Menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Analisis wacana kritis dipakai untuk mengungkap tentang hubungan suatu ilmu pengetahuan dan kekuasaan, juga digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan.

Dalam Eriyanto (2001: 8-13) mengutip dari pemikiran Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Fairclough dan Wodak adalah:


(45)

1. Tindakan

Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan

wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata

yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks


(46)

dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.

3. Historis

Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.


(47)

4. Kekuasaan

Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.

5. Ideologi

Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi


(48)

dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana.

II.2 Analisis Wacana Norman Fairclough

Analisis Norman Fairclough didasarkan pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah

melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Untuk melihat bagaimana

pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipusatkan bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk oleh relasi sosial dan konteks sosial tertentu. (Eriyanto, 2001: 285).

Fairclough memusatkan perhatian wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktek sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Memandang bahasa sebagai praktek sosial semacam ini mengandung sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan


(49)

khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia/realitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Di sini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada hukum atau pendidikan, sistem dan klasifikasi.

Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks,

discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough,

teks disini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks, sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktek institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.

Model Tiga Dimensi Analisis Wacana Fairclough PRAKSIS

SOSIOKULTURAL PRAKSIS

WACANA


(50)

a. Teks

Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Ada tiga elemen dasar dalam model Fairclough, yang digambarkan dalam tabel berikut:

UNSUR YANG INGIN DILIHAT

1. Representasi Bagaimana peristiwa orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

2. Relasi Bagaimana hubungan antara

wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

3. Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

Sumber: Eriyanto, 2001: 289 1. Representasi

Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi dalam pengertian Fairclough dilihat dari dua hal, yakni bagaimana seseorang, kelompok, dan gagasan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antar anak kalimat.

1.1 Representasi dalam anak kalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa dan kegiatan ditampilkan dalam teks, dalam hal ini bahasa yang dipakai. Menurut Fairclough, ketika


(51)

sesuatu tersebut ditampilkan, pada dasarnya pemakai bahasa dihadapkan pada paling tidak dua pilihan. Pertama, pada tingkat kosakata: kosakata apa yang dipakai untuk menampilkan dan menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori. Menurut Fairclough, pilihan pada kosakata metafora juga merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lain. Metafora bukan hanya persoalan keindahan bahasa, tetapi juga bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai dan dikategorikan sebagai positif dan negatif. Kedua, pilihan yang didasarkan pada tingkat tata bahasa. Pada tingkatan ini, analisis Fairclough terutama dipusatkan pada apakah tata bahasa ditampilkan dalam bentuk proses ataukah dalam bentuk partisipan. Dalam bentuk proses, apakah seseorang, kelompok, kegiatan ditampilkan sebagai tindakan, peristiwa keadaan, ataukah proses mental. Ini terutama didasarkan pada bagaiman suatu tindakan hendak digambarkan. Bentuk tindakan menggambarkan bagaimana aktor melakukan suatu tindakan tertentu kepada seseorang yang menyebabkan sesuatu. Bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk yang lain adalah proses mental, menampilkan sesuatu sebagai


(52)

fenomena, gejala umum, yang membentuk kesadaran khalayak, tanpa menunjuk subjek/pelaku.

1.2 Representasi dalam kombinasi anak kalimat

Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabung sehingga membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Pada dasarnya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain. Gabungan antara anak kalimat ini akan membentuk koherensi lokal, yakni pengertian yang didapat dari gabungan anak kalimat satu dengan yang lain, sehingga kalimat itu mempunyai arti. Koherensi antara anak kalimat ini mempunyai beberapa bentuk. Pertama, elaborasi, anak kalimat yang satu menjadi penjelas dari anak kalimat yang lain. Anak kalimat yang kedua ini fungsinya adalah memperinci atau menguraikan anak kalimat yang telah ditampilkan pertama. Kedua, perpanjangan, di mana anak kalimat satu merupakan perpanjangan anak kalimat yang lain. Fungsinya adalah kelanjutan dari anak kalimat pertama. Ketiga, mempertinggi, dimana anak kalimat yang satu posisinya lebih besar dari anak kalimat yang lain. Misalnya, anak kalimat satu menjadi penyebab dari anak kalimat lain. Koherensi ini merupakan pilihan. Artinya dua buah anak kalimat dapat dipandang hanya sebagai penjelas, tambahan atau saling bertentangan, tergantung


(53)

pada bagaimana fakta satu dipandang saling berhubungan dengan fakta lain.

1.3 Representasi dalam rangkaian antarkalimat

Aspek ini berhubungan dengan bagaimana dua kalimat atau lebih disusun dan dirangkai. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Salah satu aspek penting adalah apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberikan reaksi dalam teks. Menurut Fairclough, ada tiga bentuk bagaimana pernyataan ditampilkan dalam teks. (1) dengan mengutip secara langsung apa yang dikatakan oleh aktor, (2) dengan meringkas apa inti yang disampaikan oleh aktor, dan (3) lewat evaluasi, dimana pernyataan aktor dievaluasi kemudian ditulis dalam teks.

2. Relasi

Relasi berhubungan dengan pertanyaan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Media disini dipandang sebagai suatu arena sosial, dimana semua kelompok, golongan dan khalayak yang ada dalam masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan versi pendapat dan gagasannya. Fairclough berpendapat ada tiga kategori partisipan utama dalam media (dalam hal ini novel yang sedang diteliti);


(54)

penulis, pembaca atau khalayak media dan partisipan publik seperti politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, artis, ulama, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis hubungan, bukan pada bagaimana partisipan publik tadi ditambahkan dalam media (representasi), tetapi bagaimana pola hubungan di antara ketiga aktor tadi ditampilkan dalam teks.

Analisis tentang konstruksi hubungan ini dalam media sangat penting dan signifikan terutama kalau dihubungkan dengan konteks sosial, karena pengaruh unik dari posisi-posisi mereka yang ditampilkan dalam media menunjukkan konteks masyarakat. pengertian tentang bagaimana relasi itu dikonstruksikan dalam media di antara khalayak dan kekuatan sosial yang mendominasi kehidupan ekonomi, politik dan budaya adalah bagian yang penting dalam memahami pengertian umum relasi antara kekuasaan dan dominasi dalam masyarakat yang berkembang. Analisis hubungan ini penting dalam dua hal. Pertama kalau dikatakan bahwa media adalah ruang sosial di mana masing-masing kelompok yang ada dalam masyarakat saling mengajukan gagasan dan pendapat, dan berebut mencari pengaruh agar diterima oleh publik, maka analisis hubungan akan memberi informasi yang berharga bagaimana kekuatan-kekuatan sosial ini ditampilkan dalam teks. Kelompok yang mempunyai posisi tinggi,


(55)

umumnya ditempatkan lebih tinggi dalam relasi hubungan dengan penulis dibandingkan dengan kelompok minoritas.

Kedua, analisis hubungan juga penting untuk melihat bagaimana khalayak hendak ditempatkan dalam pemberitaan. Bagaimana pola hubungan antara penulis dengan partisipan lain itu ingin dikomunikasikan kepada khalayak. Atau dengan kata lain, bagaimana teks itu membangun relasi antara khalayak dengan partisipan sosial yang dibangun.

3. Identitas

Aspek identitas melihat bagaimana identitas penulis ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks. Yang menarik, menurut Fairclough, bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan masalah atau kelompok sosial yang terlibat; ia mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok mana? Apakah penulis ingin mengidentifikasi dirinya sebagai bagaian dari khalayak ataukah menampilkan dan mengidentifikasi dirinya secara mandiri?

b. Discourse Practice

Analisis discourse practice memusatkan pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi.


(56)

Dalam pandangan Fairclough, ada dua sisi dari praktik diskursus tersebut, yakni produksi teks (di pihak media) dan konsumsi teks (di pihak khayalak). Kedua hal tersebut, berhubungan dengan jaringan yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek praktik diskursif. Dari berbagai faktor yang kompleks tersebut, setidaknya ada tiga aspek yang penting. Pertama, dari sisi individu penulis itu sendiri. Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antara penulis dengan struktur organisasi media. Ketiga, praktik kerja/rutinitas kerja dari produksi teks mulai dari pencarian berita/sumber, penulisan, editing sampai muncul tulisan tersebut di media. Faktor pertama dari pembentukan wacana ini adalah individu dan profesi jurnalis –dalam penelitian ini penulis novel tersebut- itu sendiri. Faktor ini berhubungan dan berkaitan dengan latar belakang pendidikan, perkembangan profesionalisme, orientasi politik atau ideologi, dan ketrampilan dalam memberitakan/menuliskan teks secara akurat. Produksi teks juga berhubungan dengan proses editing teks sebelum diterbitkan. Sekelompok orang yang menjadi narasumber produksi teks, individu, kelompok, atau organisasi yang berkontribusi dalam penerbitan teks. Hal ini juga berpengaruh terhadap teks seperti apa yang akan diproduksi nantinya dan bagaimana teks tersebut dikonsumsi?


(57)

c. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural practice ini memang tidak berhubungan langsung dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Ideologi ini diproduksi dan direproduksi di banyak tempat dan banyak bidang kehidupan, media adalah salah satu diantaranya. Sociocultural practice menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat.

Bagaimana sociocultural practice ini menentukan teks? Menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung, tetapi dimediasi oleh discourse practice. Mediasi itu meliputi dua hal, yaitu pertama, bagaimana teks tersebut diproduksi dan kedua khalayak juga akan mengkonsumsi dan menerima teks tersebut dalam pandangan yang sama sesuai dengan keinginan media. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, instituasional dan sosial. Berikut uraiannya:

1. Situasional

Teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasan yang khas, unik sehingga satu teks bisa jadi berbeda dengan teks yang lain. Kalau wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu


(58)

sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi atau konteks sosial tertentu.

2. Institusional

Level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana. Institusi ini bisa berasal dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang menentukan proses produksi berita. Faktor institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan ekonomi media. Selain itu, institusi politik juga berpengaruh terhadap produksi wacana dalam teks.

3. Sosial

Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Aspek sosial melihat pada aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat, dan bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi dan menentukan media.


(59)

II.3 Representasi

Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to

present”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara

dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan.

Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall beragumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “So the representation is the way in which

meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stands for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif”. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.


(1)

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya

Nafi’, M. Dian dkk. 2007. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta:

Instite for Training and Development (ITD) Amherst, MA

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM

Press

Qomar, Mujamil. 2009. Pesantren, Dari Transformasi Metodologi Menuju

Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:

Remaja Rosdakarya

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey.

Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Offset

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Jakarta: LP3ES

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana.

Yogyakarta: LKiS

Yasmadi. 2005. Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid

Terhadap Pendidikan Islam Tradisional. Ciputat: Quantum

Teaching.


(2)

Internet

http://www.beritaindonesia.co.id/buku/sisi-lain-pesantren-ada-alif-di-tengah-bom/ terakhir diakses tanggal 27 Januari 2010

tanggal 19 Januari 2009

Januari 2010

2010


(3)

2010

Surat Kabar

Sinar Indonesia Baru edisi 31 Agustus 2009

Baitul Muslimin No 06 edisi Januari 2009

Kompas edisi Minggu, 1 November 2009

Tabloid Nova edisi Kamis, 3 Juni 2010

Kompas edisi Minggu, 19 September 2010

Email

Tayangan Kick Andy tanggal 14 Mei 2010/

http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsprograms/2010/


(4)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

No.

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA

: Fiqi Listya Fujiasih

NIM

: 060904077

PEMBIMBING

: Dra. Lusiana A. Lubis, M.A

TGL

PERTEMUAN

PEMBAHASAN

PARAF

PEMBIMBING

1.

13 Februari 2010

ACC Seminar Proposal

2.

16 Februari 2010

Seminar Proposal

3.

3 Maret 2010

Penyerahan Revisi Seminar

4.

8 Maret 2010

ACC Bab I

5.

25 Maret 2010

Penyerahan Bab II

6.

29 Maret 2010

ACC Bab II

7.

5 April 2010

Penyerahan Bab III

8.

8 April 2010

ACC Bab III

9.

19 April 2010

Bimbingan Bab IV

10. 17 Mei 2010

Bimbingan Bab IV

11. 25 Mei 2010

Penyerahan Analisa Teks

12. 21 Juni 2010

Penyerahan Revisi Analisa Teks

13. 25 Juni 2010

ACC Analisa Teks

14. 6 Agustus 2010

Penyerahan Bab IV dan Bab V

15. 30 Agustus 2010

Revisi Bab IV dan Bab V

16. 27 September 2010

ACC Sidang Meja Hijau


(5)

BIODATA PENULIS

Nama : Fiqi Listya Fujiasih

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 30 Maret 1989

Anak Ke : 1 (satu) dari 2 (dua) bersaudara

Nama Orang Tua

1. Ayah : Ir. Fauzi Bramantyo

2. Ibu : Sri Asih

Alamat : Jl. Kapten Muslim Gg. Kesehatan Lr. Gelora

No. 3 Medan 20123

Hobi : Membaca, Menulis, Fotografi

Riwayat Pendidikan :

SD Muhammadiyah 12 Medan (1994-2000)

SMP Negeri 9 Medan (2000-2003)

SMA Negeri 12 Medan (2003-2006)

Ilmu Komunikasi FISIP USU (2006- 2010)

Riwayat Organisasi

1. IRM PC Muhammadiyah Seiskambing C2 2003

2. Rohis Bintalis SMA Negeri 12 Medan 2004-2005

3. MPK SMA Negeri 12 Medan 2005

4. Komunitas ESQ 165 2005

5. Rumah Zakat Indonesia 2007

6. UKMI As-Siyasah FISIP USU 2009

7. FORSAI SMAN 12 Medan 2008-2009

8. KAMMI Merah Putih USU 2007-2009

9. CERIC FISIP USU 2007-2009

10. Smart Generation Club (SGC) USU 2009-2010

11. 99 Percent Magazine 2010

Seminar & Training yang Pernah Diikuti


(6)

2. Training Aktivis Bintalis SMA Negeri 12 Medan 2004

3. Training ESQ 165 ESQ Leadership Center 2005

4. SIAGA 1 UKMI As-Siyasah FISIP USU 2006

5. Be a Student in Indonesia’s Best University 2006

6. Konsultasi Publik RUU Energi 2006

7. Daurah Marhalah 1 KAMMI komisariat USU 2007

8. Orientasi Relawan Rumah Zakat Indonesia 2007

9. Training Jurnalistik Rumah Zakat Indonesia 2007

10. Training Foto Jurnalistik Kompas & Suara USU 2007

11. Seminar Islam dan Kemajemukan Indonesia Univ. Paramadina2007 12.Talkshow Pengenalan PR & Jurnalistik IMAJINASI USU 2007

13. Workshop Sehari Gen Asik 1 Day 4 The Future 2007

14.Pelatihan Jurnalistik & Kunjungan Media IMAJINASI USU 2008

15.Seminar Kompetensi Pendidikan Berbasis IT 2008

16. Pelatihan Super Emotional Freedom Technique (EFT) 2009

17.Talkshow Beasiswa Luar Negeri SGC USU 2010

18. Seminar IPTEK Nasional SGC USU & MITI Indonesia 2010

Pengalaman Kerja

1. Magang Reporter Majalah Islam SABILI 2009

2. Kontributor Majalah Islam SABILI 2010

Tulisan yang Pernah Di Muat di Media Massa

1. Anak Kita Berlomba Pornografi Majalah SABILI Sya’ban 2009

2. Backpackeran Yuk… Majalah SABILI Juli 2009

3. Agar Flashdiskmu Awet Majalah SABILI Juli 2009

4. Profil Wirausaha Muda: Suyadi Majalah SABILI November 2009

5. Istri atau Istri-istri? Majalah SABILI Januari 2010

6. Resensi Buku Quantum Note Taker Buletin ZIKR KAMMI USU

7. Profil Bakat Kaligrafi: Rina & Rini Majalah SABILI Juli 2010