jawab di bidang hukum administrasi terjadi misalnya apabila seseorang dokter melakukan praktek tanpa izin.
21
B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana
Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi
bagaimana pun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang
sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah Kitab Undang--
undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya mengenai kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati adalah Pasal 344
KUHPidana.
22
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar
hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan
sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU
21
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No. 361964
22
Untuk lebih jelasnya lihat Buku ke 2, Bab IV KUHPidana
Universitas Sumatera Utara
RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau pengertian euthanasia dari berbagai pendapat, apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia
di atas, maka rumusan yang terdapat Pasal 344 KUHPidana adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang
bersifat aktif. Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi sebagai berikut: Barang
siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua betas tahun. Mengenai perampasan nyawajiwa orang lain di atur juga Pasal 340
KUHPidana sebagai berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana moord, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Ketiga pasal tersebut di atas mengandung makna larangan untuk membunuh. Namun Pasal 338 KUHPidana yang mengandung
pembunuhan biasa doodslag
,
merupakan aturan umum tentang pernapasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHPidana merupakan pasal
Universitas Sumatera Utara
pembunuhan berencana. Demikian juga Pasal 338 KUHPidana tersebut di muat unsur atas permintaan orang itu sendiri menyatakan dengan
kesungguhan hati. Apabila seorang dokter melakukan euthanasia yang tentu saja di
Indonesia mengandalkan Pasal 344 KUHPidana maka dokter tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur yang terdapat Pasal 344
KUHPidana tersebut. Jaksa harus membuktikan adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Bahwa perumusan ini menimbulkan suatu kesulitan sudahlah pasti, oleh karena dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan
kesungguhan hati tu sudah pulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan kesungguhan hati itu tidak boleh diucapkan secara
lisan, sebaiknya bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat
pernyataan ini dapat di pakal sebagai alat bukti seperti yang di atur Pasal 184 KUHAP yang mengakui upaya bukti berupa: saksi-saksi ahli, surat-
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Adanya unsur atas permintaan orang itu sendiri, juga
menimbulkan masalah, manakala yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan kesungguhan hati. Karena kita tahu mati
Universitas Sumatera Utara
tidak, hidup pun tidak in a persistent vegetative state atau in competent tidak mampu berkomunikasi menyatakan kehendaknya.
Seperti contoh yang sangat populer adalah yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus: Karen aan quinlan, pada tahun 1976 di New Jcrsey si
gadis manis Karen berusia 21 tahun, yang dipungut oleh keluarga quinlan, berada dalam keadaan in a persistent vegetative state, Karen hanya dapat
bertahan dengan bantuan sebuah respirator.
23
Dunia hukum tidak dapat dan tidak boleh mempunyai pretensi untuk menentukan fomulasi pengertian mati. Bahkan kedokteran sendiri
masih berada di persimpangan jalan tentang pengertian mati, terutama sejak tahun 1967, ketika diadakan operasi transplantasi jantung yang
pertama kali. Jadi masih belum ada kata sepakat untuk menentukan pengertian mati atas dasar konsep brain death ataupun heart death. Pada
kasus ini pemeriksaan menunjukkan bahwa Karen tidak dalam keadaan Keadaannya bagaikan kerangka mayat saja, tidak dapat bicara lagi.
Janganlah makan, bernafas pun sudah payah, pendeknya segala untuk hidup dan yang menghidupinya, tergantung dari mesin-mesin modem
yang serba ruet. Karen terbujur melengkung, tanpa bisa bergerak sendiri, bagaikan sebuah mayat hidup tanpa perasaan. Apakah Karen dengan
demikian dapat dikatakan sudah mati?
23
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.Cit., hal. 54
Universitas Sumatera Utara
brain death. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila respirator tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan
Karen akan segera mati. Tetapi hal ini para dokter menolak untuk menghentikan penggunaan respirator tersebut.
Quinlan ayah angkatnya kemudian menuntut agar Karen dinyatakan sebagai in cokpetent dan Quinlah yang ditunjuk sebagai
guardian tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan putusan banding, bahwa seseorang mempunyai hak yang disebut right to privacy
dan khusus di dalam kasus Karen ini, bila mana Karen dapat melakukannya, dia pasti menolak penggunaan respirator karena
penderitaan yang dialaminya sangat berat. Karen membutuhkan 24 Jam terus menerus perawatan intensif, anti
piotiks, bantuan respirator, catheter dan feeding tube. Jadi jelas ini kepentingan Karena melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya
dan negara. Pada akhirnya supreme court memerintahkan agar the life support apparatus dicabut tanpa adanya pertanggung jawaban sipil
maupun kriminal. Kasus tersebut di atas memang terjadi di Amerika Serikat, di mana
supreme court Pengadilan Tertinggi di Amerika Serikat mengizinkan atau
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan agar respirator yang digunakan Karen selama ini di cabut tanpa menuntut pertanggung jawaban.
Apabila kasus tersebut di atas terjadi di Indonesia, maka sudah jelas dokter yang mencabut respirator tersebut, yang mengakibatkan
kematian bagi pasien, walaupun dengan persetujuan sendiri, dapat dimintakan pertanggung jawabannya menurut Pasal 344 KUHPidana. Dan
apa yang dikemukakandiuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang.
Larangan ini terdapat Pasal 344 KUHPidana, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan Pasal 344 KUHPidana
tersebut dapat menimbulkan kesulitan Jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan.
Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHPidana tersebut dapatlah kiranya dirumuskan kembali, berdasarkan atas
kenyataan-kenyataan yang sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat
memudahkan untuk mengadakan penuntutan kasus ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN