BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Distribusi Pendapatan dalam Pembangunan Ekonomi
Sukirno 1985, menyatakan penggunaan data pendapatan per kapita sebagai indeks untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan laju nya
pembangunan ekonomi yang dicapai setiap negara, antara lain telah dikritik karena pengukuran secara demikian tidak memberikan gambaran tentang bentuk perubahan
dalam distribusi pendapatan maupun perkembangan dalam kesempatan kerja. Sejak beberapa tahun akhir-akhir ini banyak diantara ahli-ahli ekonomi dan
ahli-ahli ilmu sosial lainnya telah menunjukkan rasa ketidakpuasan mereka terhadap corak pembangunan yang berlaku di negara-negara berkembang hingga kini.
Kekecewaan ini disebabkan karena, walaupun tingkat pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut telah menunjukkan gambaran yang jauh lebih
menggembirakan daripada apa yang mereka capai sebelum perang dunia kedua, tetapi pembangunan tersebut belum menciptakan corak distribusi pendapatan seperti yang
diharapkan. Oleh sebab itu, sebagai pelengkap dari usaha kita untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dari menggunakan data pendapatan per kapita negara-negara
sebagai indeks tingkat kesejahteraan dari berbagai masyarakat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mereka capai, rasanya akan bermanfaat untuk
membicarakan mengenai masalah distribusi pendapatan dan masalah pengangguran dalam proses pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
11
Todaro dan Smith 2004, menyatakan sudah jelas bahwa pembangunan memerlukan GNP yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Namun masalah
dasarnya bukan hanya bagaimana menumbuhkan GNP, tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan GNP, sejumlah besar masyarakat yang ada didalam sebuah
negara ataukah hanya segelintir orang didalamnya. Jika yang menumbuhkannya hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit, maka manfaat pertumbuhan GNP
itupun hanya dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun semakin parah. Namun jika pertumbuhan dihasilkan oleh orang
bayak, maka mereka pulalah yang akan memperoleh manfaat terbesarnya, dan buah pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara lebih merata. Oleh karena itu, banyak
negara berkembang yang dalam sejarahnya menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi menemukan bahwa pertumbuhan semacam itu kurang memberikan
manfaat kepada kaum miskin. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan
merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. Menurut
Hasibuan dalam Harahap 1998, usaha untuk meningkatkan
pendapatan perkapita diperlukan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi hingga dapat melampaui pertumbuhan penduduk yang terjadi dalam periode yang sama.
Akan tetapi pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi melahirkan masalah merawankan dalam pemerataan ekonomi dan sosial yang
bermula dari penemuan Kuznets, Mangahas, dan lainnya. Hasil penemuan mereka membuktikan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu dibarengi kenaikan
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
dalam ketimpangan pembagian pendapatan ketimpangan relatif. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Sumitro Djojohadikusumo 1976, bahwa ”terdapat
kecendrungan seakan-akan pola dan sifat pertumbuhan justru menambah kepincangan pembagian pendapatan ”.
Alasan-alasan yang dikemukakannya antara lain adalah : 1. Karena untuk mencapai laju pertumbuhan yang tinggi maka sektor modern pasti
mendapat tempat karena dapat meningkatkan pertumbuhan yang pesat. Hal ini akan menyebabkan tidak meratanya pembagian kesempatan kerja.
2. Mengejar pertumbuhan sama artinya mengutamakan daerah yang sebelumnya sudah maju, sehingga daerah yang sudah maju akan semakin maju, sedangkan
daerah yang tadinya terbelakang akan semakin tertinggal. Kondisi ini akan menghambat tercapainya pemerataan pembagian pendapatan.
2.2. Teori dan Pengukuran Distribusi Pendapatan
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif. Kedua
ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang ; dan distribusi fungsional atau
distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi Todaro dan Smith, 2004. Pada dasarnya kedua pendekatan inilah yang digunakan untuk menganalisis
dan menilai distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan fungsional berasal dari teori produktivitas marginal, atau yang dikenal sebagai distribusi balas jasa input dalam
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
teori ekonomi mikro. Perangkat analisis dari distribusi fungsional adalah fungsi produksi serta alokasi faktor-faktor produksi yang diikutsertakan dalam fungsi
produksi. Pendekatan ini jarang dipakai karena teori yang mendasarinya menilai hubungan antara balas jasa input yang dipergunakan dengan output yang dihasilkan
didalam suatu proses produksi spesifik. Pendekatan yang lazim dipergunakan adalah pendekatan distribusi personal
atau rumahtangga. Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan perorangan atau individu-individu berdasarkan pendapatan perorangan kedalam kelompok
deciles atau quintiles yang akan menggambarkan pola pembagian pendapatan didalam suatu kelompok masyarakat, kemudian menetapkan proporsi yang
diterimanya oleh masing-masing kelompok dari pendapatan total Nasional maupun Daerah.
Dalam penerapannya seringkali dikombinasikan untuk mendapatkan gambaran dari distribusi pendapatan secara menyeluruh maupun kelompok, masing-
masing kelompok bawah, menengah, dan kelompok atas dari penerima pendapatan. Metode dan teori yang digunakan meliputi koefisien pareto, koefisien Gini, Index
Gibrat, Indeks Kuznets, Indeks Theil, Indeks Oshima, dan lainnya Hari Susanto dalam Harahap, 1998.
Untuk menganalisis dan mengukur distribusi pendapatan perorangan pada umumnya menggunakan Kurva Lorenz, Koefisien Gini, Indeks Kuznets, Kriteria
Bank Dunia, dan Indeks Oshima. Namun Dumairy dalam Harahap 1998, menyebutkan yang lazim digunakan adalah Kurva Lorenz, Koefisien Gini dan
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Kriteria Bank Dunia. Untuk mengadakan pengukuran distribusi pendapatan nampaknya koefisien Gini lebih dikenal dan sering digunakan. Koefisien Gini
umumnya telah diterima sebagai alat ukur distribusi pendapatan, karena rumusnya dapat dijabarkan kedalam Kurva Lorenz yang dapat memberikan visual ketimpangan
pembagian pendapatan didalam kelompok masyarakat tertentu. Namun demikian tidak menutup kemungkinan penggunaan beberapa teori sekaligus dalam pengukuran
distribusi pendapatan. 2.3. Pengeluaran dan Pendapatan Rumah Tangga
Menurut Engel ada suatu hubungan antara konsumsi rumah tangga untuk suatu barang atau golongan barang dengan penghasilan rumahtangga. Dia
menemukan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan naiknya penghasilan Sumardi, Mulyanto Dieter Evers
dalam Harahap,1998. Tingkat pendapatan rumah tangga bukanlah satu-satunya faktor yang
mempengaruhi konsumsi, tetapi juga antara lain dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga, komposisi umur, jenis kelamin, letak geografis, dan pendidikan.
Dalam analisis tidak mungkin memperhitungkan semua faktor ini. Biasanya di batasi pada faktor-faktor yang diperkirakan mempunyai pengaruh penting, misalnya jumlah
tanggungan, umur dan pendidikan. Untuk mengetahui besarnya pendapatan rata-rata rumah tangga dapat di ukur
melalui pengeluaran dan penerimaan. Pada umumnya di Indonesia untuk mengukur
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Koefisien Gini biasanya digunakan data pendapatan masyarakat berdasarkan belanja atau pengeluaran.
Sukirno 2006, menyatakan terdapat beberapa faktor yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga secara se unit kecil atau dalam keseluruhan
ekonomi, yang terpenting adalah pendapatan rumah tangga. Ciri-ciri dari hubungan di antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan disposeibel adalah sebagai berikut :
1. Pada pendapatan yang rendah, rumah tangga harus menggunakan harta atau tabungan masa lalu untuk membiayai pengeluaran konsumsinya.
2. Kenaikan pendapatan menaikkan pengeluaran konsumsi, biasanya pertambahan pendapatan adalah lebih tinggi daripada pertambahan konsumsi. Sisa
pertambahan pendapatan itu akan ditabung. 3. Pada pendapatan yang tinggi rumah tangga menabung. Disebabkan pertambahan
pendapatan selalu lebih besar dari pertambahan konsumsi maka pada akhirnya rumah tangga tidak mengorek tabungan lagi.
Supriana 2008, menyatakan konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Ada beberapa hipotesis tentang perilaku konsumsi yang
dikemukakan, diantaranya hipotesis pendapatan absolut absolute income hypothesis yang dikemukakan oleh Keyness. Keyness menduga bahwa fungsi konsumsi
memiliki karakteristik : 1. Kecenderungan mengkonsumsi merupakan fungsi yang stabil dan besarnya
konsumsi agregat ditentukan oleh besarnya pendapatan agregat.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
2. Konsumsi akan meningkat jika pendapatan meningkat, tetapi peningkatan konsumsi yang terjadi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan.
3. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar jarak gap antara pendapatan dan konsumsi. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan,
semakin besar proporsi dari pendapatan yang ditabung. 4. Peningkatan pendapatan akan diikuti dengan peningkatan tabungan, dan turunnya
pendapatan akan diikuti dengan penurunan tabungan dalam jumlah yang lebih besar.
Murni 2000, menyatakan pendapatan nasional dalam keadaan Break Event Point BEP adalah suatu kondisi besar pendapatan sama dengan besar konsumsi,
artinya semua pendapatan yang diterima masyarakat habis digunakan untuk keperluan konsumsi atau masyarakat tidak punya tabungan. Kondisi tersebut dapat
diformulasikan dengan Y = C dan S = 0, dimana Y = pendapatan, C = Konsumsi, dan S = Saving atau tabungan.
2.4. Pengembangan Wilayah
Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk : 1.
Menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah, menentukan dan mencapai tujuan ; 2. Memahami dan menghubungkan kebutuhan pengembangan mereka dalam konteks
yang luas dan dengan cara yang terus-menerus Milen dalam Sinaga, 2006.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Wilayah sebagai suatu kesatuan geografis memiliki potensi bagi dijalankannya suatu aktifitas pembangunan dan pengembangan wilayah. Dan
wilayah region juga merupakan suatu unit geografi yang membentuk suatu kesatuan. Pengertian unit geografi adalah ruang sehingga bukan merupakan aspek
fisik tanah saja, tetapi lebih dari itu meliputi aspek–aspek lain, seperti ekonomi, biologi, sosial dan budaya Wibowo dan Soetriono dalam Sinaga, 2006.
Menurut Sirojuzilam 2005, pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah
tertentu, mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata membaik, disamping menunjukkan lebih banyak
saranaprasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
Sedangkan menurut Misra dalam Sinaga 2006, pengembangan wilayah ditopang oleh empat pilar tetraploid discipline yaitu geografi, ekonomi, perencanaan kota dan
teori lokasi, seperti terlihat pada Gambar 2.1.
GEOGRAFI
PERENCANAAN KOTA
TEORI LOKASI
PENGEMBANGAN WILAYAH
Gambar 2.1 Pilar-Pilar Pengembangan Wilayah Misra dalam Sinaga, 2006
EKONOMI
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Namun pendapat Misra 1977, mengenai pengembangan wilayah ini terlalu sederhana. Aspek biogeofisik tidak hanya direpresentasikan dengan teori geografi
maupun teori lokasi. Oleh karena itu menurut Budiharsono dalam Sinaga 2006 pengembangan wilayah setidak-tidaknya perlu ditopang oleh 6 pilaraspek, yaitu 1.
aspek biogeofisik; 2. aspek ekonomi; 3. aspek sosial budaya; 4. aspek kelembagaan; 5. aspek lokasi dan 6. aspek lingkungan.
Dari Gambar 2.2 dapat dilihat berbagai analisis yang dapat dilakukan terhadap pengembangan wilayah, yaitu aspek biogeofisik meliputi kandungan sumber daya
hayati, sumber daya nirhayati, jasa-jasa maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut.
Sedangkan aspek ekonomi meliputi kegiatan ekonomi yang terjadi disekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya, politik dan hankam yang merupakan
pembinaan kualitas sumber daya manusia, posisi tawar dalam bidang politik, budaya masyarakat serta pertahanan dan keamanan.
Aspek lokasi menunjukkan keterkaitan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan maupun
pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi mengambil input apakah merusak atau tidak.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
ASPEK BIOGEOFISIK
ASPEK EKONOMI
ASPEK LINGKUNGAN
ASPEK SOSIAL
ASPEK LOKASI
PENGEMBANGAN WILAYAH
ASPEK KELEMBAGAAN
Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam
pengelolaan suatu wilayah apakah kondusif atau tidak. Kelembagaan juga meliputi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga sosial ekonomi yang ada di wilayah tersebut.
Gambar 2.2 Pilar-Pilar Pengembangan Wilayah Budiharsono dalam Sinaga, 2006
Analisis pengembangan wilayah yang dilakukan dalam penelitian ini dilihat dari aspek ekonomi dan sosial. Di dalam aspek ekonomi akan di analisis
ketimpangan pendapatan rumahtangga pada daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi pegunungan di Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan dari aspek sosial
akan dianalisis apakah faktor-faktor sosial seperti jumlah tanggungan rumahtangga, pendidikan, dan umur kepala rumahtangga mempengaruhi ketimpangan pendapatan
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
rumahtangga pada wilayah yang mempunyai tingkat ketimpangan masih memprihatinkan sedang dan berat.
2.5. Penelitian Terdahulu
Ahluwalia dalam Sukirno 1985, dengan sponsor Badan Riset dari Bank Dunia bekerjasama dengan Institute of Development Studies dari universitas Sussex
melakukan analisis terhadap keadaan distribusi pendapatan di beberapa negara. Mengenai keadaan distribusi pendapatan di beberapa negara, analisisnya memberikan
gambaran mengenai distribusi pendapatan mutlak dan distribusi pendapatan relatif. Untuk menggambarkan distribusi pendapatan relatif di beberapa negara, Ahluwalia
menggolongkan penerima-penerima pendapatan dalam tiga golongan, yaitu 40 persen penduduk yang menerima pendapatan paling rendah, 40 persen penduduk yang
menerima pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk yang menerima pendapatan tinggi. Hasil penelitiannya, di negara-negara komunis 40 persen dari
penduduk yang berpendapatan paling rendah menerima 25 persen dari seluruh pendapatan masyarakat. Di negara maju golongan penduduk ini menerima kurang
lebih sebesar 16 persen saja. Sedangkan di negara berkembang golongan penduduk kelompok ini hanya menerima kurang lebih 12,5 persen saja dari keseluruhan
pendapatan masyarakatnya. Dari gambaran tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa distribusi pendapatan yang lebih merata dijumpai pada negara-negara komunis,
sedangkan distribusi pendapatan yang paling tidak merata terdapat di negara-negara berkembang.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Lumbanraja 1997, melakukan penelitian dengan judul analisis distribusi pendapatan nelayan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kotamadya Sibolga.
Hasil yang diperoleh, Rasio Gini bagi kelompok nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor tempel sebesar 0,20 sedangkan Rasio Gini bagi kelompok
nelayan yang menggunakan perahu motor tempel sebesar 0,45. Dengan demikian berdasarkan penelitiannya Distribusi pendapatan kelompok nelayan yang
menggunakan perahu tanpa motor tempel adalah lebih merata bila dibandingkan dengan distribusi pendapatan kelompok nelayan dengan menggunakan perahu motor
tempel. Lebih jauh Prihatin Lumbanraja juga telah menguji bahwa variabel jumlah hasil tangkapan, biaya melaut, waktu, dan pengaruh musim secara bersama-sama
mampu memberikan penjelasan secara nyata terhadap pendapatan para nelayan. Harahap 1998, melalui penelitiannya dengan judul analisis distribusi
pendapatan masyarakat pada wilayah pembangunan di Kabupaten Asahan, menyimpulkan bahwa wilayah pembangunan I dan III ketika itu di Kabupaten
Asahan mempunyai tingkat pemerataan pendapatan dengan kategori sedang, sementara wilayah pembangunan II dan Kota Kisaran masuk kategori ketimpangan
yang ringan. Silaen 1999, melalui penelitiannya dengan judul analisis distribusi
pendapatan perwilayahan pembangunan dan titik pertumbuhan di Kabupaten Simalungun, menyimpulkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar
golongan masyarakat di Kabupaten Simalungun adalah tergolong rendah.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
Sumarto dalam Kuncoro 2004, dari SMERU Research Institute yang disponsori oleh World Bank, melakukan studi hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan pada 100 desa selama periode Agustus 1998 hingga Oktober 1999. Hasil studinya menemukan antara lain bahwa pengurangan
ketimpangan mengurangi kemiskinan secara signifikan. Sehingga sangat penting untuk mencegah pertumbuhan yang meningkatkan ketimpangan.
Suryadarma dalam Kuncoro 2004, dari SMERU menganalisis Koefisien Gini di Indonesia 1990 – 2002, hasilnya selama masa prakrisis antara 1990 dan 1996,
ketimpangan di Indonesia terus menerus meningkat. Akibat krisis, turun secara dramatis pada tahun 1999.
Alisjahbana 2005, mengatakan masalah kesenjangan regional bisa semakin besar terutama bila daerah-daerah yang mewarisi sumber daya alam tertentu tidak
mendapatkan kembali hasil sumber daya alamnya. Demikian pula bila daerah-daerah yang miskin sumber daya alamnya tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk
mengatasi masalah pembangunannya. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama mengatasi berbagai faktor yang mempengaruhi kesenjangan regional dengan
metode yang lebih sistematis. Meirnasari 2007, melalui penelitiannya dengan judul analisis ketimpangan
pertumbuhan ekonomi antar berbagai daerah di Propinsi Sumatera Utara, menyimpulkan antara lain terjadi peningkatan ketimpangan pembangunan antar
KabupatenKota pada periode 1995 sd 2005 di Propinsi Sumatera Utara.
Whenlis : Analisis Ketimpangan Pendapatan Rumah Tangga Kaitannya Terhadap Pengembangan Wilayah..., 2008 USU e-Repository © 2008
2.6. Kerangka Konseptual