Gambaran Trust Pada Istri Yang Menjalani Commuter Marriage Tipe Adjusting

(1)

GAMBARAN TRUST PADA ISTRI YANG MENJALANI

COMMUTER MARRIAGE TIPE ADJUSTING

 

 

Proposal Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Mata Kuliah Skripsi

oleh :

PUTRI ARIDA

051301124

 

   

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji dan syukur yang tiada habisnya saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia dan kasih sayang-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal skripsi ini. Sholawat beriring salam tak lupa saya haturkan kepada baginda nabi Muhammad SAW, semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang mendapat syafaat di hari akhir. Amin. Proposal skripsi yang berjudul “gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting ” ini dibuat guna memenuhi persyaratan Mata Kuliah Seminar di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, almarhum Papa Drs.Nazief Chatib yang selalu memberikan kasih sayang dan nesehatnya yang akan selalu saya ingat, serta mama Delliati yang selalu mendoakan dan memberikan kasih sayangnya kepada saya. Kepada kedua kakak saya K’ewi dan Mimi serta kedua abang ipar saya B’yus dan B’fajar terima kasih atas dukungannya baik moril maupun materil, dan buat ketiga ponakan kecilku alif, satria, dan azriel yang selalu memberikan kecerian kepada saya. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian,dan juga dukungan kalian selama ini, pin sayang kalian semua.

Terima kasih juga kepada Ibu Aprilia Fadjar P., M.Si. Psikolog selaku dosen pembimbing yang dengan sabar telah membimbing saya dan memberi masukan yang berguna selama mengerjakan proposal skripsi ini hingga selesai, kepada Ibu Josetta M. R. Tuapattinaja, M.Si. Psikolog dan Ibu Juliana I. Saragih,


(3)

M.Si. Psikolog selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi proposal skripsi ini. Kepada sahabat-sahabat saya Ayu Uni, Ayu Binze, Pristi, Eka, Diana dan juga Anggie yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada saya di saat- saat sulit.

Peneliti sadar proposal penelitian ini pastilah tidak sempurna. Kritik, masukan, dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan guna memperbaiki kekurangan yang ada. Akhir kata, semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2009

Peneliti


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

iii

BAB I : PENDAHULUAN

I.A. Latar belakang 1

I.B. Perumusan Masalah 9

I.C. Tujuan Penelitian 9

I.D. Manfaat Penelitian 9

I.E. Sistematika Penulisan 10

Bab II : Landasan Teori

II.A. Commuter Marriage 12

II.A.1. Definisi Commuter Marriage 12 II.A.2. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage 14 II.A.3. Jenis-Jenis Commuter Marriage 16

II.B. Trust 17

II.B.1. Definisi Trust 17

II.B.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Trust 19

II.B.3. Jenis-Jenis Trust 20

II.B.4. Komponen Trust 21

II.B.5. Membangun Trust 24

II.B.6. Menurunkan Trust 26

II.C. Kerangka Berpikir Penelitian 28 BAB III METODE PENELITIAN ... 39


(5)

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 39

1. Religiusitas ... 39

2. Sikap terhadap Kematian ... 40

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 40

1. Populasi dan Sampel ... 40

2. Metode Pengambilan Sampel ... 41

D. Metode dan Alat Pengambilan Data ... 42

1. Skala Religiusitas ... 42

2. Skala Sikap terhadap Kematian ... 43

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 44

1. Validitas Alat Ukur ... 44

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 45

F. Daya Beda Aitem ... 45

G. Metode Analisa Data ... 46

IV ANALISA DATA A. Analisa Data 1. Gambaran umum subjek penelitian 47

2. Pembahasan 64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 69 SARAN 70 DAFTAR PUTAKA 71


(6)

Gambaran Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage tipe adjusting

Putri Arida dan Aprilia Fadjar P., M.Si. Psikolog

ABSTRAK

Trust adalah keyakinan dan kesediaan seseorang untuk mempercayai integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Dalam mempercayai pihak lain tersebut terdapat resiko harapan dan kepercayaanya tidak terpenuhi. Dalam mempercayai seseorang ada dua hal yang terjadi yaitu kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kesedian untuk mengambil resiko.

Trust dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur berupa skala trust yang dikembangkan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1997) yang terdiri dari 5 aspek yaitu keterbukaan, saling berbagi, penerimaan, dukungan dan niat untuk bekerjasama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Menurut Hadi (2000), incidental sampling diperoleh semata-mata dari keadaan-keadaan insidental atau kebetulan. Responden dalam penelitian ini sebanyak 60 orang.

Hasil penelitian menunjukkan subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 40 orang (66,6%), subjek yang termasuk dalam kategori


(7)

sedang sebanyak 20 orang ( 33,3%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategri rendah.


(8)

Gambaran Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage tipe adjusting

Putri Arida dan Aprilia Fadjar P., M.Si. Psikolog

ABSTRAK

Trust adalah keyakinan dan kesediaan seseorang untuk mempercayai integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Dalam mempercayai pihak lain tersebut terdapat resiko harapan dan kepercayaanya tidak terpenuhi. Dalam mempercayai seseorang ada dua hal yang terjadi yaitu kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kesedian untuk mengambil resiko.

Trust dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur berupa skala trust yang dikembangkan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1997) yang terdiri dari 5 aspek yaitu keterbukaan, saling berbagi, penerimaan, dukungan dan niat untuk bekerjasama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Menurut Hadi (2000), incidental sampling diperoleh semata-mata dari keadaan-keadaan insidental atau kebetulan. Responden dalam penelitian ini sebanyak 60 orang.

Hasil penelitian menunjukkan subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 40 orang (66,6%), subjek yang termasuk dalam kategori


(9)

sedang sebanyak 20 orang ( 33,3%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategri rendah.


(10)

PENDAHULUAN

I.A. Latar belakang

Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan seseorang, disamping siklus lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian (Pangkahila, 2004). Menurut Hurlock (1997), perkawinan adalah salah satu bentuk lembaga sosial yang penting dan tidak akan pernah berakhir. Selain itu, Berhm (1992), menyatakan bahwa perkawinan merupakan ekspresi akhir dari suatu hubungan yang mendalam dimana dua individu berikrar di depan umum didasarkan pada keinginan untuk menetapkan hubungan sepanjang hidupnya.

Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah, kemudian terdapat peran dan status sosial baru sebagai suami atau istri, dimana umumnya dalam keluarga yang baru terbentuk tersebut, suami dan istri tinggal dalam satu rumah bersama dengan anak-anak mereka (Mahyudin, 2008).

Ada berbagai alasan dimana terdapat keadaan pada suatu keluarga tidak dapat tinggal dalam satu atap (Mahyudin, 2008). Keadaan tersebut banyak terjadi pada fenomena saat ini yang memperlihatkan bahwa ada sebagian pasangan suami istri tidak tinggal dalam satu rumah, yaitu dengan menjalani perkawinan jarak jauh misalnya, suami yang harus dimutasikan ke lain kota oleh tempatnya bekerja dan istri tetap tinggal dikota asal. Umumnya, mereka memilih kondisi tersebut karena mempertahankan profesi atau pekerjaan masing-masing (dalam Seputar Indonesia, 2008). Meningkatnya kebutuhan hidup dan tingginya persaingan dalam meniti karir membuat banyak pasangan suami istri yang


(11)

memilih untuk tinggal berpisah untuk meniti karir di luar kota atau bahkan di negeri yang berbeda. Banyak diantara mereka yang harus meninggalkan pasangan dan anak-anaknya, sehingga mereka harus berpisah untuk sementara waktu. Perpisahan secara fisik antara suami dengan istri merupakan hal yang berat karena mereka harus saling berjauhan dan tidak dapat bertemu setiap saat (Purnamasari, 2008). Hal tersebut biasa disebut dengan perkawinan jarak jauh atau lebih dikenal dengan commuter marriage.

Keadaan diatas terjadi pada seorang wanita, dengan inisial VV. VV dan suaminya sudah menjalani perkawinan jarak jauh selama kurang lebih 2 tahun sejak awal perkawinan. VV menjalani perkawinan jarak jauh karena VV harus tetap melanjutkan pendidikan di kota asal dan suaminya yang ditugaskan di kota yang berbeda. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan VV.

“…kakak sedih kali waktu pisah sama suami…tapi mau gimana lagi, walaupun berat ya harus dijalani.”

(komunikasi personal, 16 Maret 2009) Di Amerika Serikat perkawinan commuter semacam ini telah banyak terjadi, pada tahun 2005 jumlahnya meningkat 30% menjadi 3.6 juta pasangan, padahal di tahun 2000 jumlahnya masih 2.7 juta (Time, 2007). Johnson (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009) memperkirakan bahwa 700.000 sampai 1 juta pasangan di Amerika menjalani gaya hidup commuting. Berdasarkan data yang di peroleh bahwa pada tahun 1995, 61% pasangan yang menikah adalah keduanya bekerja, tetapi berbeda pada tahun 1990, 53.5%, tahun 1980, 46.3%, dan tahun 1970, 38.1% (dalam U.S. Bureau of the Cencus, 1996).


(12)

Menurut Gerstel & Gross; Orton & Crossman, Commuter marriage

merupakan keadaan perkawinan yang terbentuk secara sukarela dimana pasangan yang sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan pasangan tersebut terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009). Torsina (dalam Ekasari.dkk, 2007), menyatakan bahwa commuter marriage

merupakan pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat tinggal serumah. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage.

Ada banyak alasan pasangan perkawinan untuk menjalani commuter marriage. Alasan yang paling umum adalah untuk mempertahankan pekerjaan atau karir. Seperti yang dikatakan Anderson (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009), beberapa faktor yang mempengaruhi commuter marriage

adalah meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita, meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja dan meningkatnya jumlah wanita yang mencari karir dengan training khusus. Faktor lain yang juga mempengaruhi commuter marriage

adalah pekerjaan yang menuntut orang untuk berpindah-pindah sehingga banyak pasangan yang harus berpisah untuk sementara waktu. Pasangan menjalani

commuter marriage karena masing-masing memiliki pekerjaan di lokasi geografis yang terpisah jauh sehingga pasangan tersebut tidak dapat berada ditempat tinggal yang sama. Dengan menjalani commuter marriage masing-masing pasangan tetap menjalani pekerjaan mereka, sambil mempertahankan hubungan pernikahan. Keadaan secara commuter ini sering dianggap sementara sampai kedua pasangan


(13)

mencapai tujuan karir yang memungkinkan mereka untuk dapat tinggal bersama (Farris, dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009).

Hal diatas sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan responden penelitian EP.

”...kakak udah lebih dari 4 tahun pisah sama suami. Kita pisah bukan karna terjadi apa-apa, tapi kita pisah karna suami harus pindah kerja di Kalimantan dan kakak juga harus kerja di sini. Sebenarnya kakak pengen

ikut suami tapi masih blom bisa, karna kita berdua masih mau kerja dan butuh pekerjaan ini buat masa depan kitadan keluarga. Sekarang juga kita lagi fokus sama kerjaan agar lebih mapan lagi.”

(komunikasi personal, 5 februari 2009) Selain alasan untuk mempertahankan pekerjaan, commuter marriage juga sering dijalani dengan tujuan untuk mencari penghasilan lebih baik. Pasangan suami istri akan mencari pekerjaan yang lebih baik, untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan untuk pencapaian jenjang karir (Ekasari, Wahyuningsih, & Setyaningrum, 2007).

Pada pasangan commuter marriage terdapat beberapa masalah yaitu seperti kelelahan terhadap peran (Anderson & Spruill, 1993, Gerstel & Gross, 1982, 1983, 1984; Winfield, 1985), pekerjaan yang mengganggu waktu untuk bersama (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985), durasi perpisahan (Gerstel & Gross, 1984), kurangnya kebersamaan (Winfield, 1985), kurangnya kekuatan ego (Winfield, 1985) dan penurunan kompetensi sebagai profesional (Gerstel & Gross, 1984; Winfield, 1985).

Selain masalah yang terjadi diatas, pada pasangan commuter marriage

juga terjadi keterpisahan fisik, keterpisahan fisik ini memunculkan banyak permasalahan dalam perkawinan. Seperti yang diakatakan Souccar (dalam


(14)

Ekasari.dkk, 2007), bahwa banyak masalah yang akan muncul pada pasangan

commuter marriage, diantaranya komunikasi karena pasangan suami istri tidak dapat bertemu setiap hari untuk mengetahui keadaan atau kegiatan masing-masing. Dampak dari keterpisahan fisik tersebut adalah merasa kesepian, pasangan suami istri tidak dapat mencurahkan isi hati, tidak dapat bermesraan, kerinduan untuk melakukan kegiatan keseharian bersama pasangan, dan berkurangnya frekuensi hubungan seksual. Jika pasangan suami istri tersebut telah mempunyai anak, maka istri harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya atau jika sakit, istri harus menyelesaikan sendiri tanpa bantuan suami. Anak bisa kehilangan figur ayah, dan istri merasa berat untuk memerankan dua figur secara bersamaan (dalam Ekasari. dkk, 2007).

Hal diatas juga dapat terlihat dalam wawancara peneliti dengan responden EP.

“…Rasanya sepi kalo suami lagi gak di sini, apalagi kalo lagi kangen, gak tau mau ngapain…”

“… Sebenernya yang buat masalah kalo kita jauh tu adalah sinyal telpon. Suami kakak kan di Kalimantan, jadi kalo mau telpon susah, harus cari sinyal dulu. Makanya jarang komunikasi...”

(komunikasi personal, 6 april 2009)

Dalam commuter marriage kurangnya kehadiran pasangan dan terhambatnya kontak nonverbal juga dapat mempengaruhi keintiman pasangan (Scoot, 2002). Menurut Thompson & Walker (dalam Papalia, 2003) pada wanita keintiman memerlukan adanya rasa saling berbagi perasaan dan kepercayaan, sedangkan pria cenderung mengekspresikan keintiman melalui hubungan seksual, pemberian bantuan praktis, pendampingan, dan aktivitas yang dilakukan bersama.


(15)

Jadi, kurangnya kehadiran pasangan dapat mempengaruhi kepercayaan atau trust

pada wanita.

Kehadiran anak dalam keluarga commuter marriage menyebabkan kehidupan keluarga menjadi lebih kompleks. Pada keluarga yang memiliki anak, biasanya anak tinggal bersama dengan istri di daerah asal sedangkan suami bekerja di daerah lain (Scoot, 2002). Roehling & Bultman (2002) menjelaskan bahwa pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Oleh sebab itu, kehidupan istri menjadi lebih kompleks dan merasakan peran sebagai orang tua tunggal dimana harus memperhatikan dan menjaga anak. Istri pada pasangan commuter marriage sering kali merasa mempunyai peran sebagai orang tua tunggal dan konflik peran meskipun pasangan commuter marriage menganut peran egalitarian, dimana pasangan suami istri mempunyai peran yang sama dalam keluarga. Namun, ketika salah satu pasangan meninggalkan keluarga, pasangan tersebut akan menyerahkan perannya dalam keluarga kepada pasangan yang tinggal dengan keluarga.

Harriett Gross (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009), menyatakan bahwa ada dua tipe dari pasangan commuter marriage, yang pertama adalah pasangan adjusting, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinnanya cenderung lebih muda, menghadapi perpisahan perkawinan atau commuter marriage di awal perkawinan, dan memiliki sedikit atau tidak ada anak. Yang kedua, pasangan established, yaitu pasangan suami istri yangusia perkawinannya lebih tua, telah lama bersama dalam perkawinan dan memiliki anak yang sudah


(16)

dewasa dan telah keluar dari rumah. Dalam commuter marriage sendiri, trust

menjadi masalah besar bagi pasangan adjusting karena pasangan ini telah menjalani commuter marriage di awal perkawinan dimana diantara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya.

Pasangan yang menjalani commuter marriage juga mengalami perasaan khawatir dan kurang mempercayai pasangan (Ekasari, dkk, 2007). Seperti yang tergambar dari wawancara dengan VV mengenai masalah yang terjadi selama menjalani perkawinan jarak jauh atau commuter marriage:

“….kalo jarak jauh gini ya pasti ada aja masalahnya. Khawatir, curiga, takut, sedih, gak percaya sama pasangan kita, ya semua la.. pokoknya jadi satu. Ada aja pikiran kayak gitu. Kakak pernah saking curiganya sama suami sampe marah dan kesel, cuma gara-gara ada temen ceweknya yang nyanyi waktu suami lagi telpon kakak. Kakak uda curiga aja, sampe marah-marah sama suami tapi suami kakak langsung bilang itu temennya dan bilang ke kakak harus percaya sama dia….”

(komunikasi personal, februari 2009)

Kepercayaan atau trust sendiri merupakan aspek penting dalam semua hubungan, terutama dalam hubungan perkawinan. Perkawinan tanpa rasa saling percaya mungkin bisa mengakibatkan hal yang buruk seperti perceraian. Dalam perkawinan commuter ini diperlukan trust, selain juga kejujuran, kesetiaan dan komitmen (Maines, dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009). Farris menyatakan bahwa keberhasilan yang sangat penting dalam commuter marriage

adalah dasar kepercayaan atau trust, dukungan dari pasangan, komitmen yang kuat pada perkawinan dan pasangan, serta komunikasi yang terbuka antara pasangan (dalam Rusconi, 2002). Apabila salah satu pasangan mulai tidak percaya dan tidak jujur maka pasangan yang lain akan sendirinya merasa tidak


(17)

aman dan tidak nyaman (Sadarjoen, 2007). Maines (dalam Marriage and Family Encyclopedia, 2009), menyatakan bahwa dalam perkawinan jarak jauh atau

commuter marriage, trust dan komitmen cenderung dinilai tinggi bagi pasangan yang berhasil menegosiasikannya.

Hal di atas sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan responden yaitu DA:

“aku percaya sama suami aku...entah kenapa rasa percaya ini sangat kuat...walaupun kita beda kota tapi itu gak jadi masalah sama aku.. mungkin karena setiap waktu dia selalu perhatiin aku... setiap hari kita selalu telpon dan sms, selalu kasih kabar dan berbagi cerita. aku percaya

banget sama dia...yang pastinya kita berdua udah punya komitmen .”

(komunikasi personal, februari 2010)

Trust adalah persepsi bahwa pasangan memiliki kebaikan dan kejujuran yang besar (dalam Trust, 2002). Menurut Johnson & Johnson (1997), trust

merupakan aspek dalam suatu hubungan secara terus menerus berubah serta bervariasi. Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi dari trust meliputi saling menghargai satu dengan yang lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Menurut Johnson & Johnson (1997) tingkat trust dalam sebuah hubungan dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan kemauan setiap orang untuk dapat percaya (trusting) dan dapat dipercaya (trustworthy).

Trust juga merupakan suatu proses dan hal utama yang mendasari dalam suatu hubungan (McLean, 2005). Menurut Hendrick & Hendrick (1992) trust


(18)

Adanya rasa percaya merupakan suatu keharusan di dalam suatu hubungan. Suatu hubungan tumbuh dari rasa saling percaya, dan tidak dapat bertahan tanpa rasa saling percaya (Ridwan, 2007).

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting.

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “Bagaimana gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting?”.

I.C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dalam pelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting.

I.D. Manfaat Penelitian I.D.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberi gambaran dan pemahaman mengenai bagaimana trust pada pasangan commuter marriage.


(19)

a. Sebagai masukan bagi para calon pasangan suami istri yang akan menjalani perkawinan jarak jauh atau commuter marriage dan pasangan suami istri yang melakukan perkawianan jarak jauh atau commuter marriage agar dapat menjalani dan mengisi hari-hari dalam kehidupannya dengan lebih baik.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya pada penelitian yang berkaitan dengan

trust pada pasangan commuter marriage.

I.E. Sistematika Penulisan

Proposal ini dibagi atas tiga bab, dan masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini adalah:

 Bab I: Pendahuluan.

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

 Bab II: Landasan Teori.

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yang meliputi landasan teori dari kepuasan perkawinan dan commuter marriage.


(20)

Bab ini terdiri atas identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data.

 Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan.

Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.

 Bab V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dlakukan.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Commuter Marriage

II.A.1. Definisi Commuter Marriage

Melalui proses perkawinan, maka seorang individu membentuk sebuah lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah, kemudian terdapat peran dan status sosial baru sebagai suami atau istri, dimana umumnya dalam keluarga yang baru terbentuk tersebut, suami dan istri tinggal dalam satu rumah bersama dengan anak-anak mereka. Namun, dengan berbagai alasan terdapat keadaan dimana suatu keluarga tidak dapat tinggal satu atap, karena salah satu pasangan harus ditugaskan diluar kota seperti, suami yang harus bekerja misalnya di lepas pantai, atau untuk mempertahankan profesi atau pekerjaan masing-masing pasangan di kota yang berbeda. Pasangan suami istri yang dalam kurun waktu tertentu tingggal terpisah inilah yang dapat dikatakan sebagai pasangan commuter marriage.

Commuter sendiri berasal dari kata “Commuting” yang berarti perjalanan yang selalu dilakukan seseorang antara satu tempat tinggal dengan tempat bekerja atau tempat belajar. Marriage dapat diterjemahkan sebagai perkawinan yaitu pengikatan janji nikah yang dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud mensahkan suatu ikatan (Wikipedia, 2009).


(22)

Dari beberapa definisi tentang commuter marriage, salah satu yang kerap dipakai sebagai acuan adalah definisi dari Gerstel and Gross; Orton and Crossman (dalam, Marriage and Family Encyclopedia 2009) . Definisi tersebut adalah sebagai berikut:

Commuter marriage is a voluntary arrangement where dual-career couples maintain two residences in different geographic locations and are separated at least three nights per week for a minimum of three months”.

Terjemahan:

Commuter marriage merupakan keadaan perkawinan yang terbentuk secara sukarela dimana pasangan yang sama-sama bekerja mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa commuter marriage

merupakan kondisi perkawinan dimana pasangan suami istri harus tinggal terpisah secara geografis dalam jangka waktu tertentu, perpisahan tersebut bersifat sementara tidak untuk selamanya. Lebih lanjut lagi, kondisi keterpisahan itu telah diputuskan oleh pasangan suami istri secara sukarela tanpa paksaan pihak lain, bukan karena adanya masalah dalam perkawinan, seperti perceraian.


(23)

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Rhodes (2002) menyatakan bahwa

commuter marriage adalah:

“Men and women in dual-career marriages who desire to stay married, but also voluntarily choose to pursue careers to which they feel a strong commitment. They establish separate homes so they can do so”.

Terjemahan:

Pria dan wanita dalam perkawinan dual-career yang ingin tetap berada dalam ikatan perkawinan, tetapi juga secara sukarela memilih untuk tetap berkarir dengan komitmen yang kuat. Mereka memutuskan untuk berpisah rumah sehingga mereka tetap bisa berkarir.

Maksud daripengertian diatas bahwa commuter marriage adalah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dan telah berkomitmen untuk tetapmenjalani karir sambil mempertahankan perkawinannya, dan memilih untuk berpisah tempat tinggal yang merupakan konsekuensi agar mereka dapat menjalani karirnya.

Torsina (dalam Ekasari.dkk, 2007), menyatakan bahwa commuter marriage merupakan pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat tinggal serumah. Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut


(24)

merupakan kondisi yang mengharuskan suami dan istri tinggal terpisah karena berbagai alasan khusus, selain karena tuntutan pekerjaan juga dapat disebabkan oleh tuntutan pendidikan, atau keadaan ekonomi keluarga. Jadi meskipun Gerstel and Gross; Orton and Crossman (dalam, Marriage and Family Encyclopedia 2009) dan Rhodes (2002) menyatakan bahwa commuter marriage merupakan pasangan dual career, sebenarnya konsep commuter marriage mencakup lingkup yang lebih luas; bisa pasangan dual career, bisa pasangan single career.

Jadi, dari beberapa defenisi yang ada maka peneliti berpendapat bahwa

commuter marriage adalah kondisi perkawinan dimana pasangan suami istri secara rela berpisah lokasi tempat tinggal dengan pasangannya karena ada suatu keadaan tertentu, seperti menjalani pekerjaan atau menyelesaikan pendidikan, dilokasi geografis yang berbeda dengan tempat tinggalnya sambil tetap mempertahankan perkawinan mereka. Kondisi commuter marriage tersebut telah disepakati masing-masing pasangan perkawinan.

II.A.2. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage

Ada beberapa faktor utama yg mempengaruhi terjadinya commuter marriage menurut Anderson (1992), yaitu sebagai beikut:

a) Meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita, dengan banyaknya wanita yang memilih untuk bekerja maka semakin banyak juga pasangan yang menikah yang menjalani commuter marriage.

b) Meningkatnya jumlah pasangan yang sama-sama bekerja. Pada saat ini sudah banyak pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Entah


(25)

disebabkan karena tuntuan ekonomi atau gaya hidup, yang meningkatkan kemungkinan keluarga menjalani keadaan commuter. c) Meningkatnya jumlah wanita yang mencari karir dengan training

khusus, yang mana mengharuskan mereka untuk tinggal dikota yang berbeda dengan pasangannya

d) Faktor lain yang juga mempengaruhi commuter marriage adalah pekerjaan yang menuntut orang untuk berpindah-pindah lokasi geografis mereka harus berpisah dengan pasangannya untuk sementara waktu. Misalnya, salah satu pasangan dituntut untuk bekerja diluar kota untuk sementara waktu dan sementara pasangannya tetap tinggal untuk menjaga anak-anak.

Selain faktor yang telah dikemukakan diatas, Mardien & Prihantina (dalam Ekasari.dkk, 2007), juga menjelaskan beberapa faktor penyebab terbentuknya

commuter marriage, sebagai berikut :

1. Karir dan pekerjaan. Tuntutan studi dan karir tidak jarang membuat suami istri terpisah oleh jarak. Misalnya istri tidak bisa tinggal bersama dengan suami yang bertugas atau menjalani pendidikan dikota berbeda untuk kurun waktu tertentu, karena harus menjaga anak-anak yang masih sekolah.

2. Tuntutan ekonomi dan pola hidup. Misalnya, untuk individu yang hendak meningkatkan perekonomian keluarga dengan menjadi tenaga kerja di luar negeri.


(26)

3. Penolakan hidup bersama, yaitu istri menolak untuk pindah mengikuti suami dengan berbagai alasan, seperti; suami belum memiliki tempat tinggal sendiri, menunggu harta orangtua atau keluarga, atau menjaga orangtua yang kondisi kesehatanya kurang baik.

II.A.3. Jenis - Jenis Commuter Marriage

Berikut terdapat beberapa jenis commuter marriage. Menurut Harriett Gross (dalam marriage and family encyclopedia, 2009), ada dua tipe dari pasangan commuter marriage, yaitu:

1. Pasangan adjusting, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinnanya cenderung lebih muda, menjalani commuter marriage

di awal pernikahan, dan memiliki sedikit atau tidak ada anak.

2. Pasangan established, yaitu pasangan suami istri yang usia perkawinannya lebih tua, telah lama bersama dalam perkawinan dan memiliki anak yang sudah dewasa yang telah keluar dari rumah.

Pasangan established cenderung lebih sedikit mengalami stress dalam

commuter marriage daripada pasangan adjusting. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan dalam hal dominasi masalah perkawinan. Trust menjadi masalah yang lebih besar bagi pasangan adjusting, sementara mempertahankan kenikmatan dalam hubungan menjadi masalah utama pasangan established.

Dalam pernyataan diatas telah disebutkan bahwa pasangan adjusting lebih sering mengalami stress. Hal ini disebabkan karena mereka mengalami


(27)

kecemasan yang lebih besar ketika mereka akan tinggal terpisah di kota yang berbeda, dan memandang bahwa keadaan tersebut akan membahayakan keutuhan perkawinan mereka. Begitu juga halnya dengan trust, yang menjadi masalah besar bagi pasangan adjusting. Hal ini disebabkan karena pasangan ini menjalani

commuter marriage di tahap awal perkawinan, dimana diantara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya. Akibatnya, timbul rasa takut kehilangan keintiman antara suami istri dalam menjalani rutinitas sehari-hari yang baru mereka jalani.

II.B. TRUST

II.B.1 Definisi Trust

Dari beberapa definisi tentang trust, salah satunya adalah dari American Heritage Dictionary (dalam Geller, 1999). Dikatakan bahwa trust is "confidence in the integrity, ability, character, and truth of a person or thing".

Terjemahan bebas:

Trust merupakan keyakinan akan integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran dari seseorang atau sesuatu.

Dalam pengertian diatas terlihat bahwa trust merupakan keyakinan atau kepercayaan satu pihak akan integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Jadi trust menyangkut dua pihak, pihak pertama memiliki

trust yang ditujukan kepada pihak kedua. Pihak pertama memberikan kepercayaan terhadap kemampuan atau kebenaran dari pihak kedua.

Sealain itu, menurut Worchel (dalam, Lau & Lee 1999) trust merupakan kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain


(28)

dengan resiko tertentu. Sedangkan, Moorman, Deshpande, dan Zaltman (dalam Darsono, 2008) mendefinisikan trust sebagai kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain yang terlibat dalam pertukaran informasi karena individu mempunyai keyakinan (confidence) kepada pihak lain tersebut. Seperti yang tergambar pada definisi-definisi diatas, resiko terjadi karena adanya ketidak selarasan keyakinan dengan kenyataan. Misalnya, pihak lain yang dipercaya mengkhianati kepercayaan yang diberikan, bahwa integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran pihak lain tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

Hal ini juga selaras dengan pernyataan, Lewis dan Weigert (dalam Lau dan Lee, 1999) bahwa trust merupakan keyakinan yang penuh resiko. Sesuai dengan pandangan Boon dan Holmes (dalam Lau dan Lee, 1999), yang mendefinisikan trust sebagai tahapan yang melibatkan keyakinan akan adanya pengharapan positip tentang motif orang lain dan respek terhadap orang lain dalam situasi yang beresiko. Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa dalam mempercayai orang lain terdapat suatu resiko. Bila seseorang memberikan kepercayaan kepada orang lain, maka ia juga akan menghadapi resiko bahwa kepercayaannya tersebut tidak terpenuhi.

Jadi, dari beberapa definisi yang telah disampaikan diatas maka peneliti berpendapat bahwa trust adalah keyakinan dan kesediaan seseorang untuk mempercayai integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain. Dalam mempercayai pihak lain tersebut terdapat resiko harapan dan kepercayaanya tidak terpenuhi. Dalam mempercayai seseorang ada dua hal yang


(29)

terjadi yaitu kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kesedian untuk mengambil resiko.

II.B.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Trust

Kepercayaan kita terhadap pihak lain dipengaruhi oleh beberapa faktor menurut Rakhmat (1992), ada tiga faktor yang berhubungan dengan trust, yaitu :

a. Karakteristik dan maksud orang lain. Orang akan menaruh kepercayaan kepada seseorang yang dianggap memiliki kemampuan, keterampilan atau pengalaman. Trust dipengaruhi oleh persepsi kita terhadap maksud atau keinginan orang lain dalam hubungannya dengan maksud atau keinginan kita. Kita akan percaya pada orang yang mempunyai maksud atau keinginan yang sama dengan kita.

b. Hubungan kekuasaan. Trust tumbuh apabila orang-orang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain. Bila saya tahu bahwa anda akan patuh dan tunduk kepada saya, saya akan mempercayai anda.

c. Sifat dan kualitas komunikasi. Bila komunikasi bersifat terbuka, maksud dan tujuan sudah jelas, bagi kedua pihak maka trust berkembang dengan baik.

Selain itu ada bebrapa faktor utama yang dapat menumbuhkan trust yakni mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap percaya: menerima, empati dan kejujuran.

Menerima adalah sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Menerima bukan berarti menyetujui semua prilaku


(30)

orang lain atau rela menanggung akibat-akibat perilakunya, karena bisa saja individu tidak menyetujui perilaku pihak lain tersebut karena pihak lain itu sebagai manusia yang patut dihargai. Menerima berarti tidak menilai pribadi orang hanya berdasarkan perilakunya yang kita senangi saja (Rakhmat, 1992).

Empati adalah faktor kedua yang menumbuhkan trust pada diri orang lain. Menurut Hogg & Vaughan (2002), empati adalah kemampuan untuk merasakan pengalaman orang lain baik itu emosi, sikap dan perasaan orang lain.

Kejujuran adalah faktor ketiga yang menumbuhkan trust. Kita tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang tidak jujur atau sering menyembunyikan pikiran dan pendapatnya. Kita menaruh kepercayaan kepada orang yang terbuka, atau tidak mempunyai pretense yang dibuat-buat. Kejujuran menyebabkan prilaku kita dapat diduga. Ini mendorong orang lain untuk percaya kepada kita (Rakhmat, 1992).

II.B.3 Jenis-jenis Trust

Menurut Johnson, George & Swap (dalam Feldman, 1995), trust dibagi dalam dua bentuk yaitu :

a. Reliability trust

Reliabilitas trust merupakan rasa percaya yang didasari harapan bahwa pasangan akan melakukan apa yang telah pasangannya katakan.

b. Emotional trust

Emotional trust terjadi ketika rasa percaya terbentuk karena ikatan emosional yang terbentuk. Seseorang merasa bahwa pasangannya terikat


(31)

secara emosional dengannya dan perasaan emosional tersebut dapat menghubungkan kedua pasangan.

II.B.4 Komponen Trust

Menurut Johnson & Johnson (1997) komponen trust meliputi untuk dapat percaya (trusting) dan dapat dipercaya (trustworthy). Trusting mencakup keterbukaan (openness) dan saling berbagi (sharing), dan trustworthy mencakup penerimaan (acceptance), dukungan (support) serta niat untuk bekerjasama (cooperative intentions)

Yang dimaksud dengan tingkah laku trusting adalah :

1. Kemauan untuk mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk.

2. Perilaku yang melibatkan keterbukaan diri dan kemauan untuk diterima dan didukung secara terbuka oleh orang lain.

Aspek-aspek trusting adalah :

1. Openness yaitu kesediaan membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan dan reaksi mengenai isu-isu yang terjadi.

2. Sharing yaitu menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu pihak lain menuju penyelesaian tugas.

Yang dimaksud dengan tingkah laku trustworthy adalah :

1. Kemampuan untuk merespon terhadap resiko yang telah diambil orang lain yang meyakinkan bahwa orang tersebut akan menerima akibat yang baik.


(32)

2. Perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain. Aspek-aspek trustworthy adalah :

1. Acceptance yaitu melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan. 2. Support yaitu komunikasi dengan orang lain diketahui kemampuannya dan

percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan.

3. Cooperative intentions yaitu harapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerja sama untuk mencapai pemenuhan tujuan.

Penerimaan (acceptance) mungkin merupakan komponen yang pertama dan paling dalam yang muncul dalam suatu hubungan. Acceptance terhadap orang lain biasanya disertai dengan acceptance terhadap diri sendiri. Seorang individu harus dapat menerima diri mereka sendiri sebelum mereka dapat sepenuhnya menerima orang lain. Jika seseorang merasa tidak diterima, maka frekuensi dan partisipasinya dalam berhubungan dengan orang lain akan berkurang. Untuk membangun trust dan memperdalam hubungan dengan orang lain, setiap individu harus bisa mengkomunikasikan acceptance, support dan cooperativeness

(Johnson & Johnson, 1997).

Menurut Johnson & Johnson (1997), kunci membangun dan mempertahankan trust adalah menjadi trustworthy. Semakin tinggi acceptance

dan supportive seseorang terhadap orang lain, maka orang lain akan semakin dapat mengemukakan pemikirannya, ide-ide, kesimpulan-kesimpulan, perasaan dan reaksinya. Semakin trustworthy seseorang dalam merespon keterbukaan


(33)

orang lain, maka semakin dalam dan personal pemikiran yang akan dibagikan orang lain. Jika seseorang ingin meningkatkan trust maka trustworthiness harus ditingkatkan.

Keterampilan utama yang penting dalam mengkomunikasikan acceptance,

support dan cooperativeness melibatkan pengekspresian kehangatan, pengertian yang akurat dan keinginan bekerja sama. Ada bukti-bukti yang menyatakan bahwa ekspresi semacam itu dapat meningkatkan trust dalam suatu hubungan bahkan ketika ada konflik yang tidak terselesaikan antara individu yang terlibat (Johnson & Johnson, 1997).

II.B.5 Membangun Trust

The Dynamics of Interpersonal Trust

High acceptance, support, Low acceptance, support, and cooperativeness and cooperativeness High openness

and sharing

Low openness and sharing

Trusting Person A Confirmed Trustworthy Person B

Confirmed

Trusting Person A Disconfirmed Untrustworthy Person B

No risk Distrusting

Person A No risk Trustworthy Person B

Disconfirmed

Distrusting Person A No risk Untrustworthy Person B


(34)

Johnson & Johnson (1997) mengatakan bahwa untuk dapat membangun hubungan secara efektif dan mencapai hasil maksimal, setiap individu harus mengembangkan hubungan trust yang saling menguntungkan. Trust dibangun melalui tahap-tahap trusting dan trustworthy. Misalnya jika seseorang (A) mengambil resiko untuk membuka diri, dia mungkin akan mendapat konfirmasi ataupun tidak, tergantung pada apakah individu (B) merespon dengan penerimaan atau penolakan. Jika individu (B) mengambil resiko dengan penerimaan atau kooperatif, dia juga akan mendapat konfirmasi ataupun tidak, tergantung apakah individu tadi (A) terbuka atau tertutup.

Jika individu menyatakan pendapatnya dan tidak menerima penerimaan yang dibutuhkannya, maka individu tersebut mungkin akan menarik diri dari hubungan yang sudah terjalin tersebut. jika individu diterima, ia akan tetap mengambil resiko dengan berani terbuka mengenai apa yang dipikirkan dan dilihatnya sehingga dapat mengembangkan hubungannya dengan orang lain.

Interpersonal trust dibangun dengan resiko dan konfirmasi serta dihancurkan dengan resiko dan diskonfirmasi. Tanpa resiko tidak akan ada trust, dan hubungan tersebut tidak akan mengalami perkembangan. Langkah-langkah dalam membangun trust adalah sebagai berikut :

1. Individu A mengambil resiko dengan mengemukakan pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi terhadap suatu situasi kepada individu B.

2. Individu B merespon dengan acceptance, support dan cooperativeness


(35)

pemikirannya, informasi, kesimpulan dan perasaan serta reaksi terhadap suatu situasi kepada individu A.

Cara lain membangun trust adalah :

1. Individu B mengkomunikasikan acceptance, support, dan cooperativeness terhadap individu A.

2. Individu A merespon dan mengemukakan pemikirannya, informasi, kesimpulan, perasaan dan reaksi terhadap situasi kepada individu B.

II.B.6 Menurunkan Trust

Untuk meningkatkan trust, seseorang harus membuka diri dan mau dikritik untuk melihat apakah orang lain menyalahgunakan hal tersebut. Banyak percobaan yang diperlukan sebelum tingkat trust antara dua orang menjadi sangat tinggi. Hanya sekali pengkhianatan untuk membangun distrust, dan sekali distrust

terbangun, maka distrust tersebut akan secara ekstrim melakukan perlawanan terhadap perubahan. Distrust sulit untuk berubah karena data menimbulkan suatu persepsi bahwa walaupun seseorang berusaha untuk memperbaiki diri, pengkhianatan akan berulang kembali di masa yang akan datang (Johnson & Johnson, 1997).

Terbentuknya distrust merupakan hal negatif karena beberapa alasan. Pertama ketika seseorang distrust kepada orang lain, maka hubungan yang dibangun akan sia-sia (Kerr, dalam Johnson & Johnson, 1997). Kedua, ketika individu tidak memiliki trust satu dengan yang lainnya mereka sering berlomba-lomba untuk mempertahankan keinginan mereka sendiri. Ketiga, distrust dapat


(36)

meningkatkan konflik yang destruktif antara seorang individu dengan individu lain (Johnson & Johnson, 1997).

Ada tiga jenis perilaku yang dapat menurunkan trust dalam suatu hubungan (Johnson & Johnson, 1997). Pertama, adanya penolakan, ejekan dan tidak menghargai sebagai respon terhadap keterbukaan orang lain. Membuat lelucon yang merugikan orang lain, menertawakan saat seseorang membuka diri, menghakimi perilakunya, atau menjadi diam merupakan cara untuk menyampaikan penolakan dan dapat merusak trust dalam hubungan. Kedua, tidak adanya openness yang timbal balik. Jika seseorang tertutup dan seseorang lagi terbuka, maka trust tidak akan terjadi. Terakhir, adalah menolak untuk mengemukakan pemikiran, informasi, saran, perasaan dan reaksi setelah orang lain telah menunjukan adanya acceptance, support dan cooperativeness.

II. C. Gambaran Trust Pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Bagi kebanyakan orang, hubungan perkawinan dipandang sebagai hubungan yang sangat intim dan merupakan hubungan yang berlangsung lama bila dibandingkan dengan semua hubungan dekat yang ada (Lemme, 1995). Dari hasil penelitian tentang perkawinan, kualitas perkawinan yang baik ditandai oleh komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan yang kesemuanya itu menjadi sangat penting untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan (dalam Sadarjoen, 2005).

Dalam perkawinan jarak jauh atau commuter marriage, trust dan komitmen cenderung dinilai tinggi bagi pasangan yang berhasil


(37)

menegosiasikannya (Maines, 1993). Dalam perkawinan commuter ini juga diperlukan trust, kejujuran dan kesetiaan. Apabila salah satu pasangan mulai tidak jujur dan tidak percaya maka pasangan yang lain akan sendirinya merasa tidak aman dan tidak nyaman (Sadarjoen, 2007). Keberhasilan yang sangat penting dalam commuter marriage adalah dasar kepercayaan atau trust, dukungan dari pasangan, komitmen yang kuat pada perkawinan dan pasangan, dan komunikasi yang terbuka antara pasangan (Farris, 1978).

Kepercayaan atau trust sendiri merupakan aspek penting dalam semua hubungan, terutama dalam hubungan perkawinan. Menurut Hendrick & Hendrick (1992) trust merupakan faktor yang diperlukan untuk tercapainya hubungan yang sukses. Menurut Johnson & Johnson (1997), trust merupakan aspek dalam suatu hubungan secara terus menerus berubah serta bervariasi. Henslin (dalam King, 2002) memandang trust sebagai harapan dan kepercayaan individu terhadap reliabilitas orang lain. Pondasi dari trust meliputi saling menghargai satu dengan yang lainnya dan menerima adanya perbedaan (Carter, 2001). Individu yang memiliki trust tinggi cenderung lebih disukai, lebih bahagia, dianggap lebih menarik oleh pasangannya, lebih mudah beradaptasi, dan dianggap sebagai orang yang paling dekat dibandingkan individu yang memiliki trust rendah (Marriages, 2001).

Menurut Johnson & Johnson (1997) tingkat trust dalam sebuah hubungan dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan kemauan setiap orang untuk dapat percaya (trusting) dan dapat dipercaya (trustworthy). Dalam commuter marriage


(38)

menjalani commuter marriage di awal perkawinan dimana diantara mereka belum tercipta keyakinan sepenuhnya.

Roehling & Bultman (2002) menjelaskan bahwa pasangan yang tidak tinggal bersama anak-anak dapat fokus pada karir, namun pasangan lain, biasanya istri yang tinggal dengan anak merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Oleh sebab itu, kehidupan istri menjadi lebih kompleks dan merasakan peran sebagai orang tua tunggal. Dalam commuter marriage kurangnya kehadiran pasangan dan terhambatnya kontak nonverbal juga dapat mempengaruhi keintiman pasangan (Scoot, 2002). Menurut Thompson & Walker (dalam Papalia, 2003) pada wanita keintiman memerlukan adanya rasa saling berbagi perasaan dan kepercayaan.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat, fakta, karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu (Hadi, 2000). Hasan (2003) menyatakan bahwa jenis penelitian ini tidak mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel, dan tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya berupa deskripsi mengenai variabel-variabel tertentu dengan menyajikan frekuensi, angka rata-rata atau kualifikasi lainnya untuk setiap kategori disuatu variabel. Dalam pengolahan dan analisis data menggunakan pengolahan statistik yang bersifat deskriptif.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah trust pada istri yang menjalani commuter marriage tipe adjusting.

B. Defenisi Operasional Variabel

Trust adalah keyakinan dan kesediaan seseorang untuk mempercayai integritas, kemampuan, karakter dan kebenaran yang dimiliki oleh pihak lain.


(40)

kepercayaanya tidak terpenuhi. Dalam mempercayai seseorang ada dua hal yang terjadi yaitu kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kesedian untuk mengambil resiko. Trust dalam penelitian ini akan diungkap menggunakan alat ukur berupa skala trust yang dikembangkan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1997) yang terdiri dari 5 aspek yaitu keterbukaan yaitu membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan dan reaksi mengenai isu-isu yang terjadi. Saling berbagi yaitu menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu pihak lain menuju penyelesaian tugas. Penerimaan yaitu komunikasi penuh penghargaan terhadap orang lain. Dukungan yaitu komunikasi dengan orang lain diketahui kemampuannya dan percaya bahwa dia mempunyai kapabilitas yang dibutuhkan. Niat bekerjasama yaitu pengharapan bahwa seseorang dapat bekerja sama dan bahwa orang lain juga dapat bekerja sama untuk mencapai pemenuhan tujuan.

Trust terhadap istri yang menjalani commuter marriage dilihat dari besarnya skor yang diperoleh dari skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala model Likert dan diberikan kepada istri yang menjalani commuter marriage. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi trust yang dimiliki oleh subjek, begitu juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah trust yang dimiliki subjek.

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek yang dimaksudkan untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai jumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki suatu


(41)

sifat yang sama (Hadi,1991). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah istri yang menjalani commuter marriage.

Adapun karakteristik populasi penelitian ini adalah:

a. Wanita yang berpisah dengan pasanganya dikarenkan penempatan karir atau menjalani pendidikan didaerah lain. Hal tersebut menyebabkan pasangan suami istri tidak dapat tinggal dalam satu rumah setidaknya tiga malam dalam satu minggu sedikitnya tiga bulan.

b. Wanita yang telah menikah dengan usia perkawinan maksimal 13 tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari commuter marriage tipe adjusting dimana berpisah dengan pasangan dari awal perkawinan sampai dengan usia perkawinan 13 tahun.

c. Mempunyai anak yang berusia kurang dari 13 tahun.

d. Suami dan istri mempunyai tempat tinggal masing-masing dikarenakan perpisahan mereka dapat berlangsung lama.

Sugiarto (2003) berpendapat bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data dengan statistik, besar sampel yang paling kecil adalah 30, walaupun ia juga mengakui bahwa banyak peneliti lain menganggap bahwa sampel sebesar 100 merupakan jumlah yang minimum. Menurut Azwar (2005), secara tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak. Adapun jumlah subjek yang digunakan dalam uji coba alat ukur adalah 80 orang, sedangkan subjek yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang.


(42)

2. Metode pengambilan sample

Metode pengambilan sample adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu agar diperoleh sampel yang dapat mewakili populasi (Hadi, 2000). Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah incidental sampling. Menurut Hadi (2000), incidental sampling diperoleh semata-mata dari keadaan-keadaan insidental atau kebetulan.

D. Alat Ukur yang Digunakan

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai varabel yang diteliti. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode self-reports. Metode self-reports berasumsi bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri, apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat, dan interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti (Hadi, 2000). Sesuai dengan metode self-reports, maka penelitian ini menggunakan skala trust untuk memperoleh gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan lima komponen trust yaitu keterbukaan, saling berbagi, penerimaan, dukungan dan niat bekerjasama. Aitem


(43)

berbentuk pernyataan dengan empat pilihan respon, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), STS (sangat tidak sesuai). Setiap pilihan tersbut memiliki skor masing-masing tergantung dari jenis aitem, apakah favorabel atau tidak favorabel. Untuk aitem favorabel, SS diberi skor empat, S diberi skor tiga, TS diberi skor dua, STS diberi skor satu. Sedangkan untuk aitem yang tidak favorabel, SS diberi skor satu, S diberi skor dua, TS diberi skor tiga, STS diberi skor empat. Selain aitem-aitem tersebut, didalam alat ukur juga tertera identitas diri yang harus diisi oleh subjek penelitian. Identitas tersebut meliputi, nama, usia, pekerjaan, kota tempat tinggal, anak, alasan menjalani perkawinan jarak jauh, lama menjalani perkawinan jarak jauh, itensitas interaksi, media yang digunakan dalam berinteraksi dengan pasangan.

1. Validitas Alat Ukur

Untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas (Azwar, 2004). Didalam penelitian ini akan diuji validitasnya berdasarkan validitas isi. Validitas isi tes ditentukan melalui pendapat profesional (profesional judgement) dalam proses telaah soal (Azwar, 2000). Pendapat profesional (profesional judgement) di peroleh dengan cara berkonsultasi dengan dosen pembimbing.

2. Daya Beda Aitem

Daya beda suatu alat ukur dalam penelitian sangat diperlukan karena melalui daya beda aitem dapat diketahui seberapa cermat suatu alat ukur


(44)

melakukan fungsinya. Daya beda aitem dilakukan untuk mengukur konsistensi internal tiap-tiap aitem pada skala dengan mengkorelasikan skor aitem dengan skor total (Azwar, 2000).

Pengujian daya diskriminasi aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix ≥0.30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix < 0.30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2000). Penelitian ini menggunakan batasan rix ≥ 0.30.

Pengujian daya diskriminasi aitem pada skala sikap dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap aitem dengan skor total, dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan program SPSS versi 16.

3. Reliabilitas Alat Ukur

Prosedur pengujian reliabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien reliabilitas alpha. Data untuk menghitung koefisien reliabilitas alpha diperoleh melalui penyajian suatu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok responden (single-trial administration).


(45)

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya

berada dalam rentang 0 sampai dengan 1. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati angka 1 menandakan semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya, koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas yang dimiliki. Teknik koefisien alpha untuk menguji reliabilitas alat ukur dihitung dengan bantuan program SPSS versi 16.

4. Hasil uji coba alat ukur

Tujuan dilakukannya uji coba alat ukur adalah untuk mengetahui sejauhmana alat ukur dapat mengungkap dengan tepat apa yang ingin diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan atau ketelitian pengukuran atau dengan kata lain dapat menunjukkan keadaan sebenarnya (Azwar, 2004). Setelah alat ukur disusun, maka tahap selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba dilakukan pada 80 wanita yang telah menikah yang berdomisili di kota Medan. Dalam skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage yang disebarkan terdapat 80 aitem. Tabel 1 menunjukan blue print skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebelum dilakukan uji coba.

Tabel 1. Blue Print Distribusi Aitem Skala Trust Pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage Sebelum Uji Coba

No.

Komponen Trust

Nomor Aitem Total

1.

Keterbukaan 1, 6, 11, 15, 19, 22, 26, 27, 31, 34, 37, 41, 45, 50, 52, 59, 63, 67,


(46)

72, 80.

2.

Saling Berbagi 2, 7, 12, 18, 21, 28, 32, 38, 42, 46, 55, 58, 64, 68, 73, 79.

16

3.

Penerimaan 3, 8, 13, 16, 23, 29, 33, 39, 47, 51, 56, 60, 65, 69, 74, 78.

16

4.

Dukungan 4, 9, 14, 17, 24, 30, 35, 40, 43, 48, 53, 57, 61, 70, 75, 78.

16

5.

Niat Bekerjasama 5, 10, 20, 25, 36, 44, 49, 54, 62, 66, 71, 76.

12

Total 80

Hasil uji coba alat ukur diolah melalui tiga kali pengujian agar memperoleh reliabilitas yang memnuhi standar ukur dan indeks daya beda aitem diatas 0,30. Reliabilitas alat ukur yang diujicobakan adalah 0,96. Aitem yang memiliki daya beda tinggi (diatas 0,30) bergerak dari 0,30 sampai dengan 0,70 (N=68). Tabel 2 menunjukkan blue print skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage setelah dilakukan uji coba.

Tabel 2. Blue Print Distribusi Aitem Skala Trust Pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage Setelah Uji Coba.

o.

Kompone n Trust

Nomor Aitem Total

.

Keterbuka an

1, 6, 11, 15, 19, 22, 26, 27, 31, 34, 37, 41, 45, 50, 52, 59, 63, 67, 72, 80.

20

.

Saling Berbagi

2, 7, 12, 18, 21, 28, 32, 38, 42, 46, 55, 58, 64, 68, 73, 79.


(47)

.

Penerimaa n

3, 8, 13, 16, 23, 29, 33, 39, 47, 51, 56, 60, 65, 69, 74, 78.

16

.

Dukungan 4, 9, 14, 17, 24, 30, 35, 40, 43, 48, 53, 57, 61, 70, 75, 78.

16

.

Niat Bekerjasam

5, 10, 20, 25, 36, 44, 49, 54, 62, 66, 71, 76.

12

Total 80

Keterangan tabel 2:

Nomor yang ditebalkan berarti memiliki daya diskrimisnasi <0,30

Setelah memperoleh reliabilitas yang memnuhi standar ukur, peneliti melakukan penomoran aitem baru untuk skala penelitian yang sebenarnya sebagaimana yang tertera pada tabel 3.

Tabel 3. Blue Print Distribusi Aitem Skala Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage yang Digunakan dalam Penelitian.

o.

Kompone n Trust

Nomor Aitem Total

.

Keterbuka an

1, 6, 11, 16, 21, 26, 27, 32, 35, 37, 42, 47, 52, 57, 62, 66, 68.

17

.

Saling Berbagi

2, 7, 12, 17, 22, 28, 33, 38, 43, 48, 53, 58, 67.


(48)

.

Penerimaa n

3, 8, 13, 18, 23, 29, 34, 39, 44, 49, 54, 59, 64.

13

.

Dukungan 4, 9, 14, 19, 24, 30, 40, 45, 46, 50, 55, 60, 63, 65.

14

.

Niat Bekerjasam

5, 10, 15, 20, 25, 31, 36, 41, 51, 56, 61

11

Total 68

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap. Ketiga tahap tersebut yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pengolahan data.

1. Persiapan penelitian

Tahap persiapan penelitian terdiri dari:

a. Pembuatan alat ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage yang disusun oleh peneliti berdasarkan lima komponen yang diungkapkan oleh Johnson & Johnson (1997). Skala ini terdiri dari 80 aitem. Penyusunan skala ini dioperasionalisasikan dalam bentuk-bentuk aitem pernyataan dan kemudian dibuat blue print dari skala tersebut.


(49)

b. Uji coba alat ukur

Setelah alat ukur disusun, maka tahap selajutnya yang dilakukan adalah melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 6 Maret 2010 sampai 9 Maret 2010 kepada 80 wanita yang telah menikah yang berdomisili di kota Medan. Subjek diminta memberi respon pada alat ukur berupa skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage. Peneliti terlebih dahulu meminta izin dan kesedian subjek untuk mengisi skala. Kemudian peneliti menanyakan apakah subjek telah menikah serta apakah usia perkawinan subjek belum mencapai 13 tahun. Apabila subjek telah memenuhi karakteristik awal tersebut yang telah ditentukan untuk menjadi sampel penelitian, maka peneliti menyerahkan skala tersebut. Hasil uji coba ini diolah melalui tiga kali pengujian reliabilitas agar memperoleh reliabilitas yang memenuhi standar ukur.

c. Revisi alat ukur

Setelah penelti melakukan uji coba alat ukur maka peneliti menguji validitas dan reliabilitas skala. Setelah diketahui aitem-aitem yang memenuhi validitas dan reliabilitasnya, maka kemudian peneliti menyusun aitem-aitem tersebut ke dalam alat ukur yang digunakan untuk mengambil data penelitian. Skala dibuta dalam bentuk buku dari kertas A4 yang dibagi dua dengan huruf Times New Roman ukuran 14.


(50)

2. Pelaksanaan penelitian

Setelah alat ukur direvisi, maka dilaksanakan penelitian pada subjek yang memenuhi ciri-ciri populasi. Penelitian dilakukan di kota Medan. Peneliti mendapat bantuan dari beberapa orang kerabat, teman untuk mencari tahu informasi mengenai berapa banyak istri yang menjalani perkawinan jarak jauh dan juga di bantu dalam penyebaran skala penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan alat ukur berupa skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage. Subjek diminta memberi respon pada skala tersebut. Tetapi sebelumnya peneliti terlebih dahulu meminta izin dan kesediaan subjek untuk mengisi skala. Kemudian peneliti menanyakan apakah subjek menjalani perkawinan jarak jauh serta apakah usia perkawinan subjek belum mencapai 13 tahun. Apabila subjek telah memenuhi karakteristik awal tersebut yang telah ditentukan untuk menjadi sampel penelitian, maka peneliti menyerahkan skala tersebut. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2010 sampai 18 Maret 2010 dengan melibatkan 60 orang subjek.

3. Pengolahan data

Setelah diperoleh data dari skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage, maka dilakukan pengolah data. Pengolahan data dilakukan dengan menganalisa menggunakan bantuan programa SPSS versi 16.


(51)

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa statistik. Alasan yang mendasari digunakannya analisa statistik adalah karena statistik dapat menunjukan kesimpulan (generalisasi) penelitian. Pertimbangan lain yang mendasari adalah statistik bekerja dengan angka, statistik bersifat objektif dan universal (Hadi, 2000).

F. Metode Analisa Data

Hadi (2000) menyatakan bahwa penelitian deskriptif menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. Untuk mendapatkan skor skala digunakan statistik deskriptif. Data yang akan diolah yaitu skor minimum, skor maksimum, mean dan standar deviasi. Hadi (2000) menyatakan bahwa uraian kesimpulan dalam penelitian deskriptif didasari oleh angka yang diolah tidak terlalu mendalam. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 16.


(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab berikut ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dilanjutkan dengan hasil penelitian, analisa dan interpretasi data penelitian serta pembahasan.

B. Analisa Data

3. Gambaran umum subjek penelitian

Penelitian ini melibatkan 60 subjek penelitian yang dapat dikelompokan berdasarkan usia, status pekerjaan, kota tempat tinggal, dan lama menjalani perkawinan jarak jauh, dan intensitas bertemu.

a. Pengelompokan subjek berdasarkan usia

Pengelompokan subjek berdasarkan usia terdiri atas

Berdasarkan teori Levinson (Monks, 2002), penyebaran subjek penelitian menurut usia dapat digambarkan seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia


(53)

21-25 11 18,3% 26-30 26 43,3% 31-35 12 20% 36-40 10 16,6% 41-45 1 1,66%

Total 60 100%

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa subjek terbanyak adalah subjek dengan rentang usia 26-30 tahun sebanyak 26 orang (43,3%), sedangkan yang paling sedikit adalah subejek pada kelompok usia 41-45 tahun sebanyak 1 orang (1,66%).

b. Pengelompokan subjek berdasarkan status pekerjaan

Berdasarkan status pekerjaan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti tabel dibawah ini:

Tabel 5. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan Status Pekerjaan Jumlah (N) Presentase

Pegawai Swasta 15 25%

Pegawai BUMN 6 10%

PNS 17 28,3% Guru 8 13,3%

Wirausaha 6 10%

Dokter 3 5%

Mahasiswa 3 5%


(54)

Social Worker 1 1,66%

Total 60 100%

Berdasarkan tabel 5, sebagian besar subjek penelitian adalah pegawai negeri sipil, yaitu sebanyak 17 orang (28,3 %), sedangkan subjek peneltian yang lebih sedikit adalah yang berstatus perawat dan social worker yaitu 1 orang (1,66%).

c. Pengelompokan subjek berdasarkan beda kota tempat tinggal subjek dengan pasangan

Berdasarkan beda kota dengan pasangan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 6. Penyebaran Subejek Penelitian Berdasarkan Beda Kota Tempat Tinggal dengan Pasangan

Beda Kota Jumlah (N) Persentase

Satu Propinsi 17 28,3%

Beda Propinsi 24 40%

Beda Pulau 13 21,6%

Beda Negara 6 10%


(55)

Berdasarkan tabel 6, jumlah subjek penelitian yang terbanyak menjalani perkawinan jarak jauh beda propinsi, yaitu 24 orang (40%). Sedangkan yang paling sedikit adalah subjek penelitian yang menjalani perkawinan jarak jauh pada beda negara yaitu 6 orang (10%).

d. Pengelompokan subjek berdasarkan lama menjalani perkawinan jarak jauh

Berdasarkan lama menjalani perkawinan jarak jauh, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Menjalani Perkawinan Jarak Jauh

Lama Menjalani Perkawinan Jarak Jauh

Jumlah (N) Persentase

4 bulan – 1 tahun 22 36,6%

1 – 3 tahun 26 43,3%

3 – 5 tahun 7 11.6%

>5 – 7 tahun 5 8.33%

Total 60 100%

Berdasarkan tabel 7 terlihat bahwa kebanyakan subjek penelitian menjalani perkawinan jarak jauh 1 – 3 tahun sebanyak 26 orang (43,3%). Sedangkan yang paling sedikit adalah subjek penelitian yang menjalani


(56)

e. Pengelompokan subjek berdasarkan intensitas pertemuan

Berdasarkan intensitas pertemuan, penyebaran subjek penelitian dapat digambarkan seperti tabel dibawah ini:

Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Intensitas Pertemuan

Intensitas pertemuan/tahun

Jumlah (N) Presentase

1-10 8 13,3% 11-20 27 45% 21-30 10 16,6% 31-40 2 3,33% 41-50 13 21,6%

Berdasarkan tabel 8 terlihat bahwa kebanyakan subjek memiliki intensitas pertemuan 11-20, yaitu 27 orang (45%). Sedangkan yang paling sedikit adalah subjek penelitian yang memiliki intensitas pertemuan 31-40, yaitu 2 orang (3,33%).

4. Hasil Penelitian

Tujuan dari analisa ini adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel yang diteliti, dalam hal ini adalah trust pada istri yang menjalani commuter marriage. Trust pada istri yang menjalani commuter marriage dikelompokan dalam tiga kategori berdasarkan model distribusi normal, yaitu trust tinggi pada istri yang menjalani commuter marriage, trust sedang pada


(57)

istri yang menjalani commuter marriage, trust rendah pada istri yang menjalani commuter marriage.

Tabel 9. Pengkateogisasian Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

X < (µ-1.0σ) Rendah

(µ-1.0σ) ≤ X < (µ+1.0σ)

Sedang

(µ+1.0σ) ≤ X Tinggi Keterangan tabel 9:

µ: mean

σ: standar deviasi

Sebelum melakukan kategorisasi berdasarkan model distribusi normal, asumsi bahwaskor subjek pada kelompoksnya merupakan estimasi terhadap skor subjek dalam opulasi dan bahwa skor subjek dalam populasinya terdistribusi secara normal harus terpenuhi. Untuk itu, dilakukan uji normalitas Kolmogrof-Smirnov untuk mengetahui apakah data telah teristribusi normal. Hasil uji normalitas dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:


(58)

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas Skala Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Skala Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Kolmogrov-Smirnov Z 0,66

Signifikansi (p) 0,76

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh nilai z sebesar 0,66 dengan nilai signifikansi (p) sebesar 0,76. Menurut Santoso (2007), jika nilai signifikansi atau nilai probabilitas (p) > 0,05, maka data terdistribusi normal. Oleh karena nilai p > 0,05, dengan demikian data penelitian terdistribusi normal sehingga dapat digunakan kategorisasi berdasarkan model distribusi normal.

a. Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage

Jumlah aitem yang digunakan untuk mengungkap trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebanyak 68 aitem. Hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik disajikan pada tabel 11 berikut:

Tabel 11. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Variabel Empirik Hipotetik

in aks

M

ean D in aks ean D


(59)

Istri yang Menjalani Commuter Marriage

74 66 14,41 6,93 8 72 70 4

Dari tabel 11 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 214,41 dengan standar deviasi sebesar 16,93. Sedangkan mean hipotetik sebesar 170 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 34. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini berarti bahwa trust pada istri yang menjalani commuter marriage berada di atas rata-rata trust pada istri yang yang menjalani commuter marriage pada umumnya. Mean empirik yaitu sebesar 214,41 menggambarkan bahwa subjek termasuk kedalam kelompok yang memiliki trust tinggi. Pengelompokan ini didasrkan pada pengkategorisasian subjek berdasarkan kategorisasi hipotetik skor trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebagaimana tertera pada tabel 12.

Tabel 12. Kriteria kategorisasi Skor Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

Variabel Kriteria Kategorisasi jenjang

Kategori

Trust pada Istri yang Menjalani Commuter Marriage

X ≤ 204 Tinggi

136 ≤ X < 204 Sedang


(60)

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan kriteria kategorisisi pada tabel 12 dapat dilihat pada grafik 1.

Berdasarkan grafik 1, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 40 orang (66,6%), subjek yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 20 orang ( 33,3%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategri rendah. Secara umum subjek penelitian memiliki trust yang tinggi selama menjalani commuter marriage. Artinya, subjek memiliki trust yang tinggi selama menjalani commuter marriage baik dalam hal keterbukaan, saling berbagi, penerimaan, dukungan dan niat untuk bekerjasama terhadap pasangan.

b. Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan komponen trust


(61)

(1) Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan komponen keterbukaan

Komponen keterbukaan dalam skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage terdiri dari 17 aitem denngan rentang nilai 1-4. Perhitungan penyajian hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik berdasarkan komponen keterbukaan pada penelitian ini tertera pada tabel 12.

Tabel 13. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Keterbukaan

Variabel Empirik Hipotetik

in aks ean D in aks ean D Keterbukaan

2 7 3,16 ,95 7 8 2,5 ,5

Dari tabel 12 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 53,16 dengan standar deviasi sebesar 4,95. Sedangkan mean hipotetik sebesar 42,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 8,5. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini bearti bawa trust pada istri yang menjalani commuter marriage berada di atas rata-rata terhadap komponen keterbukaan. Mean empirik yaitu sebesar 53,16 menggambarkan bahwa subjek termasuk ke dalam kelompok yang memiliki trust tinggi. Pengelompokan ini didasarkan pada pengkategorisasian subjek berdasarkan kategorisasi hipotetik skor trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebagaimana tertera pada tabel 14.


(62)

Tabel 14. Kriteria kategorisasi Skor Komponen Keterbukaan Variabel Kriteria

Kategorisasi jenjang

Kategori

Keterbukaan X ≤ 51 Tinggi

34 ≤ X < 51 Sedang

X < 34 Rendah

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori trust terhadap komponen keterbukaan berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 14 dapat dilihat pada grafik 2.

Berdasarkan grafik 2, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 33 orang (55%), subjek yang termasuk dalam


(63)

kategori sedang sebanyak 27 orang ( 45%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategri rendah. Secara umum subjek penelitian memiliki trust yang tinggi terhadap komponen keterbukaan. Artinya, subjek memiliki trust yang tinggi selama menjalani commuter marriage dalam hal keterbukaan terhadap pasangan.

(2) Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan komponen saling berbagi

Komponen saling berbagi dalam skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage terdiri dari 13 aitem denngan rentang nilai 1-4. Perhitungan penyajian hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik berdasarkan komponen keterbukaan pada penelitian ini tertera pada tabel 15.

Tabel 15. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Saling Berbagi

Variabel Empirik Hipotetik

in aks ean D in aks ean D Saling berbagi

4.00 2.00 2.16 .82 3 2 2,5 ,5

Dari tabel 15 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 42,16 dengan standar deviasi sebesar 3,82. Sedangkan mean hipotetik sebesar 32,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 6,5. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini bearti bawa trust pada istri yang menjalani commuter marriage


(64)

berada di atas rata-rata terhadap komponen saling berbagi pada umumnya. Mean empirik yaitu sebesar 42,16 menggambarkan bahwa subjek termasuk ke dalam kelompok yang memiliki trust tinggi. Pengelompokan ini didasarkan pada pengkategorisasian subjek berdasarkan kategorisasi hipotetik skor trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebagaimana tertera pada tabel 14.

Tabel 16. Kriteria kategorisasi Skor Komponen Keterbukaan Variabel Kriteria

Kategorisasi jenjang

Kategori

Keterbukaan X ≤ 39 Tinggi

26 ≤ X < 39 Sedang

X < 26 Rendah

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori trust terhadap komponen keterbukaan berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 16 dapat dilihat pada grafik 3.


(65)

Berdasarkan grafik 3, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 42 orang (70%), subjek yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 18 orang ( 30%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategori rendah. Secara umum subjek penelitian memiliki trust yang tinggi terhadap komponen saling berbagi. Artinya, subjek memiliki trust yang tinggi selama menjalani commuter marriage dalam hal saling berbagi terhadap pasangan.

(3) Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan komponen penerimaan

Komponen penerimaan dalam skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage terdiri dari 13 aitem denngan rentang nilai 1-4. Perhitungan penyajian hasil perhitungan mean empirik dan mean hipotetik berdasarkan komponen keterbukaan pada penelitian ini tertera pada tabel 15.

Tabel 17. Skor Empirik dan Skor Hipotetik Komponen Penerimaan

Variabel Empirik Hipotetik

in aks ean D in aks ean D Penerimaan


(66)

Dari tabel 17 diperoleh bahwa mean empirik sebesar 40,26 dengan standar deviasi sebesar 3,15. Sedangkan mean hipotetik sebesar 32,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 6,5. Hasil perhitungan skor mean empirik dan skor mean hipotetik menunjukan bahwa mean empirik lebih besar daripada mean hipotetik. Hal ini bearti bawa trust pada istri yang menjalani commuter marriage berada di atas rata-rata terhadap komponen penerimaan pada umumnya. Mean empirik yaitu sebesar 40,26 menggambarkan bahwa subjek termasuk ke dalam kelompok yang memiliki trust tinggi. Pengelompokan ini didasarkan pada pengkategorisasian subjek berdasarkan kategorisasi hipotetik skor trust pada istri yang menjalani commuter marriage sebagaimana tertera pada tabel 1.

Tabel 18. Kriteria kategorisasi Skor Komponen Penerimaan Variabel Kriteria

Kategorisasi jenjang

Kategori

Keterbukaan X ≤ 39 Tinggi

26 ≤ X < 39 Sedang

X < 26 Rendah

Adapun jumlah individu yang termasuk ke dalam masing-masing kategori trust terhadap komponen keterbukaan berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 18 dapat dilihat pada grafik 4.


(67)

Berdasarkan grafik 4, dapat dilihat bahwa subjek penelitian yang termasuk dalam kategori trust tinggi sebanyak 35 orang (58,3%), subjek yang termasuk dalam kategori sedang sebanyak 25 orang ( 41,6%), dan tidak ada subjek yang berada pada kategori rendah. Secara umum subjek penelitian memiliki trust yang tinggi terhadap komponen penerimaan. Artinya, subjek memiliki trust yang tinggi selama menjalani commuter marriage dalam hal penerimaan terhadap pasangan.

(4) Gambaran trust pada istri yang menjalani commuter marriage berdasarkan komponen dukungan

Komponen dukungan dalam skala trust pada istri yang menjalani commuter marriage terdiri dari 14 aitem dengan rentang nilai 1-4. Perhitungan


(1)

33orang (55%) berada pada kategori trust tinggi, 27 orang ( 45%) berada pada kategori trust sedang , dan tidak ada subjek termasuk ke dalam kategori

trust rendah.

b. Secara umum, trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen saling berbagi berada pada kategori tinggi. Perincian trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen saling berbagi adalah 42 orang (70%) berada pada kategori trust tinggi, 18 orang ( 30%) berada pada kategori trust sedang , dan tidak ada subjek termasuk ke dalam kategori

trust rendah.

c. Secara umum, trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen penerimaan berada pada kategori tinggi. Perincian trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen penerimaan adalah 35 orang (58,3%) berada pada kategori trust tinggi, 25 orang ( 41,6%) berada pada kategori trust sedang , dan tidak ada subjek termasuk ke dalam kategori

trust rendah.

d. Secara umum, trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen dukungan berada pada kategori tinggi. Perincian trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen dukungan adalah 43 orang (71,6%) berada pada kategori trust tinggi, 17 orang ( 28,3%) berada pada kategori trust sedang , dan tidak ada subjek termasuk ke dalam kategori

trust rendah.


(2)

trust pada istri yang menjalani commuter marriage terhadap komponen niat untuk bekerjasama adalah 28 orang (46,6%) berada pada kategori trust tinggi, 34 orang ( 56,6%) berada pada kategori trust sedang , dan tidak ada subjek termasuk ke dalam kategori trust rendah.

B. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis ingin mengemukakan beberapa saran, yaitu:

1. Saran metodologis

Bagi pihak-pihak yang berminat dengan penelitian sejenis ini atau untuk mengembangkan penelitian lebih jauh, hendaknya memperhatikan hal berikut: a. Dalam pemilihan subjek penelitian yang menjalani commuter marriage

hendaknya ditambah dengan proses wawancara sehingga akan memungkinkan mendapatkan data yang mendalam dan lebih jelas.

b. Menggunakan metode pengambilan sampel yang lebih baik dan menambah jumlah sampel yang lebih besar agar hasil penelitian dapat digunakan untuk generalisasi yang lebih luas.

c. Penelitiann selanjutanya hendaknya mengaangkat topik tentang komunikasi atau kesepian yang dirasakan oleh pasangan yang menjalani commuter marriage sebagai variabel-variabel penelitian. Hal ini dikarenakan penelitian tentang commuter marriage masih jarang dilakukan.


(3)

2. Saran praktis

a. Agar para pasangan yang belum menikah ataupun yang sudah menikah tidak ragu-ragu untuk menjalankan pernikahan jarak jauh dengan melihat beberapa kelebihan dan kelemahan yang diperoleh dari pernikahan jarak jauh.

b. Agar para istri pada pasangan commuter marriage menyadari aspek-aspek pernikahan yang mungkin menjadi masalah dalam pernikahan mereka supaya dapat mencari cara untuk mengoptimalkan dan meningkatkan aspek trust


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson A, E. & Spruill W, J. (1992). The Dual-Career Commuter Family: A Lifestyle on the move. http//www.proquest.com/pqdauto. Tanggal Akses:12 Februari 2009.

Brehm, S. (1992). Intimate relationship (2nd ed). New York: McGraw Hill Inc.

Carter, S.L. (2001). Family and consumer sciences. Human development and family sciences. Family life month pocket. Ohio State University Extension. www.ohioonline.osu.edu. Tanggal Akses : 12 februari 2009.

Commuter Marriage – Demographics of Commuter Marriage, Benefits For Commuter Marriage Couples, Challenges Faced by Commuter Marriage Couples. (2008). http://family.jrank.org/page/296. Tanggal Akses: 1 Januari 2009.

Ekasari, N., Wahyuningsih, S., & Setyaningrum, I (2007). Permasalahan pada istri dalam commuter marriage. Universitas Surabaya Fakultas Psikologi.

Faktor perkawinan yang berpengaruh pada sukse perkawinan (2004). Kompas www.unitedfool.com . Tanggal Akses : 12 febrruari 2009.

Feldman, R.S (1995), Social Psychology. New Jersey Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Hendrick, S., & Hendrick, C. (1992). Liking, loving and relating (2nd ed). Pacific Grove, California: Brooks/ Cole Publishing Company.


(5)

Hurlock, Elizabeth B. (1993). Psikologi Perkembangan 5th ed. Mc Graw-Hill, Inc. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Irmawati (2002). Motivasi Berprestasi dan Pola Pengasuhan Pada Suku Bangsa Batak Toba dan Suku Bangsa Melayu. [Tesis]. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana UI.

Johnson, D., & Johnson, F. (1997). Joining together, group theory and group skill

(6th ed). Allyn & Bacon.

King, V. (2002). Parental divorce and interpersonal trust in adult offspring. Journal of Marriage and Family. Minnepolis. Vol 64, Iss. 3; pg.624, 15 pgs.http:/proquest.umi.com/pqdweb. Tanggal Akses: 5 februari 2009.

Lau, G.T., & S.H. Lee. 1999. Consumers’ Trust in a Brand and the Link to Brand Loyalty. Journal of Market Focused Management, No. 4, pp. 341-370. http:/ proquest.com/pqdauto. Tanggal Akses 16 Februari 2009.

Lemme, B.H. (1995). Developmental in adulthood. USA: Allyn & Bacon.

Marriage and Family Encyclopedia (2008). http://family.jrank.org/page/296. Tanggal Akses: 1 Januari 2009

McLean. S (2005). The Basics of Interpersonal Communication. Pearson Education.

Moleong, Lexy. J. (1996). Metodologi Penlitian Kualitatif. Cetakan ketujuh. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Poerwandari, E. Kristi (2007). Pendekatan Kalitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Cetakan II. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.


(6)

Rakhmat, J (1992). Psikologi Komunikasi. (Rev.ed). Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Rhodes, A. (2002). Long-distance relationships in dual-career commuter couples: A review of counseling issues. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 10, 398-404.

Rusconi, A. (2002). Academic dual-career Couple in the U.S. review of the north American Social Research. http//www.proquest.com/pqdauto. Tanggal Akses:12 Februari 2009.

Sadarjoen, S.S (2007). Mengelola Perkawinan Jarak Jauh. Universitas Padjajaran Fakultas Psikologi.

Santrock, John W. (2002). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup.

Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Sosiologi Perkawinan (2008). www.keluargasakinahriau.com. Tanggal Akses: 8 januari 2009.

Trust (2002). Trust. www.students.usm tanggal Akses : 12 Februari 2009.

Untung Rugi Perkawinan Jarak Jauh (2008). http://id.88db.com/id. Tanggal Akses: 8 januari 2009.