Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita yang Menjalani Commuter Marriage

(1)

GAMBARAN PENYESUAIAN PERNIKAHAN PADA WANITA YANG MENJALANI COMMUTER MARRIAGE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

REZA INDAH PRIBADI 101301014

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

“Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita yang Menjalani Commuter Marriage”

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2014

Reza Indah Pribadi NIM 101301014


(3)

GAMBARAN PENYESUAIAN PERNIKAHAN PADA WANITA YANG MENJALANI COMMUTER MARRIAGE

Reza Indah Pribadi dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mengatahui gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage. Penelitian ini menggunakan dua orang responden yang berdomisili di kota Medan. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional. Data diambil dengan menggunakan metode wawancara. Teori yang digunakan adalah teori penyesuaian pernikahan dari Spanier (1976) yang menyatakan bahwa penyesuaian pernikahan terdiri dari empat aspek yaitu: dyadic consensus, dyadic cohesion, affectional expression, dan dyadic satisfaction.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menyesuaikan dirinya dengan baik pada keempat aspek. Dyadic consensus atau persetujuan dilakukan responden pertama dengan mengambil keputusan sendiri karena suaminya memang sudah mempercayakan sepenuhnya pada dirinya. Responden dua selalu membicarakan hal-hal yang ingin diputuskan dengan suaminya. Dyadic cohesion atau kebersamaan dengan pasangan didapatkan ketika berkumpul dengan suami. Pada kedua responden, mereka memanfaatkan waktu bersama pasangan dengan melakukan kegiatan misalnya membicarakan hal-hal yang terjadi selama mereka berpisah dan ekspresi afeksi atau hubungan seksual. Dyadic satisfaction atau kepuasan secara keseluruhan sudah didapatkan oleh responden pertama mulai dari pasangan, keuangan atau materiil, dan anak-anaknya. Responden kedua secara keseluruhan sudah puas namun masih kurang dari segi keuangan dan pasangan.


(4)

MARITAL ADJUSTMENT OF COMMUTER MARRIAGE WOMEN Reza Indah Pribadi and Rahma Fauzia

ABSTRACT

This research uses qualitative approach and aims to find out the description of marital adjustment of commuter marriage women. This research uses two respondents living in Medan. The procedure of selecting the respondents in this research was conducted based on theory or operational construct. The data were obtained by conducting interview. Theory used in this research is marital adjustment theory by Spanier (1976) stating that marital adjustment consists of four aspects, dyadic consensus, dyadic cohesion, affectional expression, and dyadic satisfaction.

The results in this research indicates that both respondents have good marital adjustment in four aspects. Dyadic consensus is done by first respondent by making her own decision because her husband trusts her with the decision. Second respondents always talks to her husband before making the decisions. Dyadic cohesion is obtained when reuniting with husband. Both respondents use their reuniting time with husband by sharing things happening while commuting and expressing affiliation or sexual activity. Dyadic satisfaction is generally obtained by first respondents like her couple, financial or material, and children. Second respondents is generally satisfied but lack in financial and her couple.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi berjudul “Gambaran Penyesuaian Pernikahan Pada Wanita yang Menjalani Commuter Marriage ini disusun sebagai prasyarat mendapatkan gelar sarjana. Salam sayang nan hangat kepada orangtua penulis sebagai figur motivasi, inspirasi, dan selalu memberi dukungan walaupun tak sering bisa bersama. Love you, Mom and Dad. I know you always smile at me from up there, Dad. It’s been 16 years, eh? Miss you so much.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka sangat sulit untuk menyelesaikan penelitian ini, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kak Rahma Fauzia, M. Psi. psi sebagai pembimbing skripsi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan banyak masukan mulai dari seminar hingga skripsi ini selesai.

2. Kak Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog dan Ibu Meutia Nauly M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan ilmu, saran dan masukan untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd. sebagai pembimbing akademik yang telah berbagi wejangan-wejangan tiap pengisian KRS di awal semester baru.

4. Seluruh staff pengajar dan staff pegawai, serta keluarga besar Fakultas Psikologi USU. Makasih buat pengalaman empat tahun ini.

5. My big bro yang menjadi tangan kanan mama setiap kali mengirim uang bulanan and my lil bro yang cerewet bertanya “skripsimu udah siap?”. Makasih, itu jadi motivasi buat penulis untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi.


(6)

6. Keluarga penulis di kampus, ISEP. Dem Gurlz; Mira, Nurul, Juni, khususnya Onya dan Opi makasih sudah membantu mencarikan subjek. Penulis tidak tahu bagaimana akhirnya skripsi ini tanpa bantuan kalian. Dem Boyz; Reza Yoga, Rocky, Dede, dan Johan, makasih sudah mengajak penulis refreshing sampai kadang tidak pulang-pulang kalau sudah stress perkara skripsi ini. Love y’all guys!!!

7. Saudara se-mamak doping, Irene dan Yoseva. Kawan kontek-kontekan kalau sudah mau jumpa mamak. Dorong-dorongan siapa yang mau masuk atau ngomong duluan, hahaha.

8. Semua manusia-manusia angkatan 2010. Angkatan bar-bar dengan berbagai keunikan dan kegilaannya masing-masing. Penulis beruntung masuk tahun 2010, hahaha. Makasih buat empat tahun ini.

9. Kedua subjek dalam penelitian ini, terima kasih telah mau meluangkan waktu dan berbagi cerita kehidupannya di skripsi ini. Makasih banyak-banyak

10.Seluruh pihak yang terlibat dengan penulisan dan penyelesaian skripsi ini yang namanya mungkin tidak sengaja terlewatkan oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Oleh sebab itu penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang dapat membuat tulisan ini menjadi lebih baik. Terima kasih.

Medan, Juli 2014


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN……… i

ABSTRAK……….. ii

ABSTRACT……… iii

KATA PENGANTAR……… iv

DAFTAR ISI ……….……… vi

BAB I PENDAHULUAN…...……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah……… 8

C. Tujuan Penelitian………….……… 8

D. Manfaat Penelitian ……….……… 8

E. Sistematika Penulisan……..……… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 11

A. Penyesuaian Pernikahan…..……… 11

1. Definisi Penyesuaian Pernikahan….……...……… 11

2. Dimensi Penyesuaian Pernikahan ….………. 12

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan….… 14 4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan……..……… 15

B. Commuter Marriage……….……… 17


(8)

2. Karakteristik Commuter Marriage ……… 18

3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage….. 19

4. Jenis-jenis Commuter Marriage…….……… 20

C. Dinamika Penyesuaian Pernikahan pada Pasangan Commuter Marriage 20 BAB III METODE PENELITIAN……… 24

A. Metode Penelitian Kualitatif……… 24

B. Metode Pengumpulan Data………..……… 24

1. Wawancara………….……… 25

2. Observasi……… 25

C. Subjek dan Lokasi Peneltian……….……… 26

1. Karakteristik Subjek Penelitian…….………. 26

2. Jumlah Subjek Penelitian…..……….. 26

3. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian……..……… 26

4. Lokasi Penelitian ………... 26

D. Alat Bantu Pengumpulan Data…….……… 27

1. Alat Perekam………..……… 27

2. Pedoman Wawancara……….……… 28

3. Pedoman Observasi ..……… 28

4. Alat Tulis dan Buku Catatan Kecil……… 29

E. Kredibilitas Penelitian…….………. 29

F. Prosedur Penelitian………..………. 30

1. Tahap Persiapan Penelitian ……….………. 30


(9)

3. Tahap Pencatatan Data………. 34

G. Teknik dan Prosedur Analisa Data………. 34

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI……… 38

A. Analisa……….. 38

1. Responden 1……….. 38

2. Responden 2……….. 59

B. Pembahasan………. 76

BAB V PENUTUP……….………. 85

A. Kesimpulan………... 85

B. Saran………. 86

DAFTAR PUSTAKA………. 89


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Identitas Diri Responden I... 38

Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I... 39

Tabel 3 Identitas Diri Responden II... ……….. 59

Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden II... 60


(11)

GAMBARAN PENYESUAIAN PERNIKAHAN PADA WANITA YANG MENJALANI COMMUTER MARRIAGE

Reza Indah Pribadi dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mengatahui gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage. Penelitian ini menggunakan dua orang responden yang berdomisili di kota Medan. Prosedur pengambilan responden penelitian dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional. Data diambil dengan menggunakan metode wawancara. Teori yang digunakan adalah teori penyesuaian pernikahan dari Spanier (1976) yang menyatakan bahwa penyesuaian pernikahan terdiri dari empat aspek yaitu: dyadic consensus, dyadic cohesion, affectional expression, dan dyadic satisfaction.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua responden menyesuaikan dirinya dengan baik pada keempat aspek. Dyadic consensus atau persetujuan dilakukan responden pertama dengan mengambil keputusan sendiri karena suaminya memang sudah mempercayakan sepenuhnya pada dirinya. Responden dua selalu membicarakan hal-hal yang ingin diputuskan dengan suaminya. Dyadic cohesion atau kebersamaan dengan pasangan didapatkan ketika berkumpul dengan suami. Pada kedua responden, mereka memanfaatkan waktu bersama pasangan dengan melakukan kegiatan misalnya membicarakan hal-hal yang terjadi selama mereka berpisah dan ekspresi afeksi atau hubungan seksual. Dyadic satisfaction atau kepuasan secara keseluruhan sudah didapatkan oleh responden pertama mulai dari pasangan, keuangan atau materiil, dan anak-anaknya. Responden kedua secara keseluruhan sudah puas namun masih kurang dari segi keuangan dan pasangan.


(12)

MARITAL ADJUSTMENT OF COMMUTER MARRIAGE WOMEN Reza Indah Pribadi and Rahma Fauzia

ABSTRACT

This research uses qualitative approach and aims to find out the description of marital adjustment of commuter marriage women. This research uses two respondents living in Medan. The procedure of selecting the respondents in this research was conducted based on theory or operational construct. The data were obtained by conducting interview. Theory used in this research is marital adjustment theory by Spanier (1976) stating that marital adjustment consists of four aspects, dyadic consensus, dyadic cohesion, affectional expression, and dyadic satisfaction.

The results in this research indicates that both respondents have good marital adjustment in four aspects. Dyadic consensus is done by first respondent by making her own decision because her husband trusts her with the decision. Second respondents always talks to her husband before making the decisions. Dyadic cohesion is obtained when reuniting with husband. Both respondents use their reuniting time with husband by sharing things happening while commuting and expressing affiliation or sexual activity. Dyadic satisfaction is generally obtained by first respondents like her couple, financial or material, and children. Second respondents is generally satisfied but lack in financial and her couple.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mengalami perkembangan seumur hidupnya. Perkembangan ini akan dilalui melalui beberapa tahap. Setiap tahap tersebut sangat penting dan kesuksesan di suatu tahap akan berpengaruh ke tahap selanjutnya. Mulai dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang dilalui oleh manusia adalah masa dewasa (Hurlock, 2006)

Masa dewasa umumnya dibagi tiga periode yaitu masa dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Masa dewasa awal biasanya dimulai dari umur 20 hingga 40 tahun. Pada masa ini seseorang akan menghadapi kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru yang tertuang dalam beberapa tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah memilih pasangan hidup dan membentuk keluarga (Havighurst, dalam Hurlock, 2006). Tugas perkembangan ini dapat dicapai salah satunya melalui pernikahan.

Pernikahan adalah ikatan yang sah secara sosial dan seksual antara dua orang dewasa (Weiten & Lloyd, 2006). Melalui proses pernikahan, maka seorang individu membentuk sebuah lembaga sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah kemudian terdapat peran dan status sosial baru sebagai suami atau


(14)

istri. Suami berperan sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman, serta sebagai anggota masyarakat di lingkungannya. Sedangkan istri mempunyai peranan mengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak, dan sebagai anggota masyarakat sosial di lingkungannya. Terkadang istri juga berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya.

Mencari nafkah biasanya dilakukan seseorang dengan bekerja. Namun terkadang karena alasan tertentu suami tidak bisa tinggal serumah dengan istri dan anak-anaknya. Keadaan pernikahan ini biasa disebut commuter marriage. Gerstel & Gross (dalam Scott, 2002) menyatakan commuter marriage sebagai perkawinan yang terbentuk secara sukarela dimana pasangan mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendorong keputusan melakukan commuter marriage, diantaranya kebutuhan atau krisis finansial, tuntutan profesi, dan melihat adanya kesempatan, misalnya untuk meningkatkan kualitas dan standar hidup (Rotter, Barnett, & Fawcett, 1998 dalam Glotzer & Federlein, 2007). Traveling salesman, pekerja migran, tentara yang sedang ditugaskan selalu terlibat dalam hubungan jarak jauh namun menurut Rappoport & Rappoport (1978) pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa dianggap menjalani commuter marriage. Studi dari University of California, Los Angeles di tahun 2009 menunjukkan bahwa commuter marriage biasanya terjadi di kota besar, usia muda, dan berpendidikan tinggi (Ben-Zeey, 2013).


(15)

Dulunya saya sama suami tinggal serumah karena dia masih kerja di Medan. Dua tahun terakhir dia pindah tugas ke Siantar. Dia konsultan P2KP, kerjanya di bagian pengembangan desa gitu. Sebenarnya dia ngajak saya untuk tinggal disana. Tapi kalau saya ikut, nanti nggak ada yang ngurus ibu saya. Soalnya udah nggak ada siapa-siapa lagi di rumah. Cuma ada saya sama ibu. Waktu ngajak ibu ikut tinggal di Siantar, ibu nggak mau. Makanya saya tinggal berdua sama ibu sekarang. Suami saya tinggal di Siantar.

(Komunikasi personal, 1 Desember 2013) Jumlah pasangan commuter sekarang ini semakin meningkat. Di tahun 2005, ada sekitar 3.5 juta pasangan di Amerika yang menjalin commuter marriage. Jumlah ini meningkat dua kali lipat sejak 1990 ketika U.S. Census Bureau memperkirakan ada 1.7 juta pasangan menikah yang tingal terpisah karena alasan tertentu dan bukan karena perceraian. Di Indonesia, comuter marriage telah terjadi bertahun-tahun lalu, namun semakin pesat setelah tahun 2000, dimana semakin banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan tinggi, serta mendapat kesempatan meniti karir yang tak terbatas (Dewi, 2013).

Ada kelebihan dan kekurangan pada commuter marriage. Salah satu kelebihan commuter marriage menyediakan pemenuhan dua kebutuhan utama: personal fulfillment dan emotional intimacy. Personal fulfillment benar-benar tinggi pada pasangan commuter marriage. Ketika pasangan pergi bekerja, konsentrasi bisa tercapai. Akhir pekan dapat dihabiskan untuk aktifitas-aktifitas dengan keluarga (Farris, 1978). Bahkan, pasangan commuter dengan dual-karir lebih puas dengan pekerjaan mereka dibandingkan pasangan dual-karir yang tinggal serumah (Ben-Zeey, 2013). Keintiman emosional ini juga terlihat dari rasa rindu yang mendalam pada pasangan karena sudah lama tidak bertemu karena berpisah dapat menyegarkan


(16)

hubungan dan mengingatkan individu apa yang paling dia cintai dari pasangannya (Tessina dalam Wright, 2013).

Kelebihan lain dalam commuter marriage adalah banyaknya kesempatan yang dapat digali oleh pasangan commuter marriage secara individual seperti mengembangkan reliance, determination, confidence, esteem, self-motivation, dan self-nurturing. (Tessina, dalam Wright, 2013).

Selain kelebihan-kelebihan yang telah dipaparkan sebelumnya, commuter marriage juga memiliki kekurangan. Kekurangan pada pernikahan ini adalah tingginya emosi yang meliputi kemarahan, kecemasan, kesepian, kelelahan, dan kurangnya dukungan dibandingkan pernikahan biasa pada umumnya (Chang & Browder-Wood, 1996). Kekurangan ini paling dirasakan oleh istri. Istri yang ditinggal di rumah sendirian memiliki beban dan tangung jawab hampir sama dengan orangtua tunggal dimana ia dihadapkan dengan urusan rumah tangga yang cukup kompleks seorang diri. Kelelahan fisik yang dialaminya inilah yang dapat berakibat terhadap kelelahan psikis sehingga berujung pada tingginya emosi seperti agresivitas (Margiani & Ekayati, 2013).

Kehadiran anak dalam commuter marriage meningkatkan tanggung jawab dan pembagian kerja menurut gender di rumah sehingga membutuhkan peran dengan waktu yang intensif dari pasangan yang tinggal bersama anak. Umumnya bila anak masih balita, masih menyusu maka istri yang tinggal bersama dengan anak. Peran istrilah yang paling dominan di rumah, memenuhi kebutuhan anaknya, dan jika anak sakit maka harus bisa


(17)

menyelesaikannya sendirian tanpa kehadiran suami. Masalah ini juga semakin parah jika tidak ada keluarga besar yang siap membantu, maka istri akan repot mengasuh anak balitanya sendirian (Dewi, 2013).

Perasaan saya galau, sedih, kesepian, nggak semangat kalau lagi pisah sama suami. Saya juga susah tidur, perasaan nggak tenang, capek juga karena urusan rumah jadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Pekerjaan rumah memang biasanya kerjaan istri tapi kan kalau ada suami setidaknya bisa bantu-bantu walaupun sedikit. Apalagi masalah anak. Repot karena harus mengurus sendirian. Dia juga sering tanya soal papanya yang jarang ada di rumah. Untungnya suami saya bisa pulang tiap weekend. Selama dua hari itu bisa sedikit tenang lah.

(Komunikasi personal, 14 Desember 2013) Belum lagi wanita karir yang menjalani commuter marriage, konflik untuk menyeimbangkan di antara karir atau keluarga menjadi tantangan yang berat. Dirinya harus mengurus seluruh tugas rumah tangga sendirian dan juga meyelesaikan pekerjaannya di tempat kerja. Hal ini dapat menyebabkan peran yang berlebihan dan konflik peran serta dapat mempengaruhi performansi di tempat kerja dan di rumah (Roehling & Bultman, 2002).Oleh sebab itu kehidupan wanita menjadi lebih kompleks.

Selain beberapa kekurangan di atas, commuter marriage dianggap pernikahan yang tidak lengkap karena kurangnya kebersamaan fisik yang dimiliki pasangan. Dua individu tidak bisa bersama secara fisik setiap hari seperti kebanyakan pasangan pada umumnya (Ben-Zeey, 2013).

Iyakan ya, masa udah nikah nggak tinggal serumah. Salah satu tujuan orang nikah kan biar bisa barengan sama pasangan kita. Agak aneh sih, nikah tapi jumpanya cuman sekali-sekali gitu.


(18)

Tidak selalu bisa bersama dengan suaminya membuat wanita suka berpikiran yang tidak rasional sehingga timbul rasa cemburu. Cemburu adalah sifat mendasar dari wanita dan secara umum ditakdirkan memiliki karakter setia. Jika sudah mencintai seorang pria maka seluruh cintanya dicurahkan pada pria tersebut. Sehingga wanita memiliki kadar cemburu yang lebih tinggi daripada pria. Alasan utama munculnya kecemburuan ini adalah takut kehilangan, terlebih bila suami tidak serumah dengannya maka wanita akan dipenuhi pikiran yang irasional (Dewi, 2013).

Penelitian memang menunjukkan bahwa wanita lebih menginginkan kedekatan dalam hubungan romantisnya dibandingkan pria (DeGenova, 2008). Selain itu, wanita cenderung suka berpikir dan bercerita mengenai pasangannya (Acitelli, 2001 dalam DeGenova, 2008).

Duncan, Schuman, dan Duncan (dalam Scott, 2002) menyatakan bahwa kebanyakan wanita merasa kebersamaan dengan suami merupakan aspek yang paling berharga dalam pernikahan, bahkan lebih penting daripada cinta, pengertian, standar hidup, dan kesempatan memiliki anak. Padahal dalam commuter marriage wanita tentu kurang mendapatkan kebersamaan dengan suaminya karena jarangnya waktu yang dapat dihabiskan bersama.

Adanya keterbatasan ataupun kekurangan dalam commuter marriage tersebut membutuhkan prasyarat dan penyesuaian yang berkelanjutan pada pasangan untuk dapat mencapai pernikahan yang sukses (Glotzer & Federlein, 2007). DeGenova (2008) mengidentikkan penyesuaian pernikahan sebagai proses adaptasi, modifikasi, dan perubahan pola perilaku dan interaksi dari individu dan pasangan untuk mencapai


(19)

kepuasan maksimum dalam suatu hubungan. Penyesuaian pernikahan juga diartikan sebagai proses yang hasilnya ditentukan oleh kepuasan pasangan, konflik, kecemasan dan ketegangan interpersonal, kelekatan, dan kesatuan pasangan dalam menghadapi masalah dalam pernikahan (Gong, 2007 dalam Aminjafari, 2012). Adaptasi terhadap perubahan yang tidak terelakkan dan menjaga stabilitas kesepakatan yang penting merupakan tantangan yang dihadapi pasangan pernikahan (Sadarjoen, 2005).

Penyesuaian sangat penting dalam suatu pernikahan yang akan berdampak pada keberhasilan berumah tangga. Penyesuaian pernikahan juga dimaksudkan untuk mendapatkan kedamaian. Tanpa penyesuaian terhadap perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan yang ada akan sulit dicapai kebahagiaan dan sulit mempertahankan kelangsungan lembaga perkawinan dalam jangka panjang. Penyesuaian pernikahan merupakan pondasi untuk menjalankan fungsi-fungsi pernikahan seperti pengasuhan anak dan mendidik generasi. (Hutapea, 2011)

Bila individu tidak mampu melakukan penyesuaian pernikahan maka dirinya akan mendapatkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang kompleks di kemudian hari Masalah-masalah dalam pernikahan ini jika terus tidak dapat diatasi akan berujung pada perceraian (Anjani & Suryanto, 2006).

Kualitas kebersamaan yang buruk juga menjadi dampak jika tidak terjadi penyesuaian pernikahan (DeGenova, 2008). Padahal kebersamaan memainkan peran yang penting dalam pernikahan. Curran (1983 dalam Sadarjoen, 2005) menyatakan kurangnya waktu yang dihabiskan bersama pasangan merupakan musuh utama dalam suatu pernikahan. Jumlah waktu interaksi pasangan dan penggunaan waktu bersama


(20)

dalam aktifitas tertentu berkorelasi secara konsisten dengan penyesuaian pernikahan (White, 1983 dalam Sadarjoen, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aminjafari (2012) menunjukkan adanya penyesuaian yang rendah pada pasangan dual-earner yang jarang berinteraksi dan menghabisakan waktu bersama.

Commuter marriage sebagai pernikahan yang diidentikkan dengan kurangnya waktu yang dihabiskan bersama pasangan membuat peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : “Bagaimana gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani Commuter Marriage?

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran atau deskripsi mengenai penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage

D. Manfaat penelitian


(21)

• Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empriris untuk penelitian di masa depan khususnya yang berhubungan dengan penyesuaian diri dan commuter marriage

Manfaat Praktis

• Hasil penelitian ini diharapkan menjadi gambaran bagi pasangan commuter marriage untuk dapat melakukan penyesuaian pernikahan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bab I Latar Belakang

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan 2. Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini berisi tinjauan pustaka yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain teori mengenai penyesuaian pernikahan dan commuter marriage.

3. Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data serta prosedur penelitian.


(22)

4. Bab IV Analisa dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data data penelitian sesuai dengan teori yang relevan

5. Bab V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

Pada bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penelitian secara keseluruhan


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Penikahan

1. Definisi Penyesuaian Pernikahan

Penyesuaian perkawinan berarti proses modifikasi, adaptasi, dan perubahan pada perilaku individu dan pasangan untuk mencapai kepuasan dalam suatu hubungan (DeGenova, 2008). Menurut definisi ini, penyesuaian tidaklah statis melainkan dinamis. Suatu proses yang akan terus berlangsung selama kehidupan pernikahan pasangan. Spanier (1976) menyatakan bahwa penyesuaian pernikahan sebagai proses yang berlangsung terus menerus dengan dimensi yang bersifat kualitatif, berada dalam suatu kontinum yang dapat dilihat dalam suatu saat tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian pernikahan adalah proses modifikasi, adaptasi, perubahan perilaku yang terus menerus, berada dalam suatu kontinum, dan bersifat kualitatif untuk mencapai kepuasan dalam pernikahan.

Sangat mungkin untuk pasangan saling menyesuaikan namun masih kurang bahagia dan tidak puas dengan hubungannya. Sebagai contoh, orang-orang yang manyukai seks akan menerima bahwa ternyata pasangan mereka jarang menginginkan untuk berhubungan seks dengan dirinya. Mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan keadaan ini, namun bukan berarti mereka puas ataupun


(24)

menyukainya. Tujuan dari penyesuaian adalah untuk mencapai tingkatan tertinggi atas kesuksesan dan kepuasan pernikahan (DeGenova, 2008).

2. Dimensi Penyesuaian Pernikahan

Menurut Spanier (1976) ada empat area penyesuaian pernikahan, yaitu:

a) Dyadic consensus adalah persetujuan yang dilakukan individu dengan pasangannya mengenai rumah tangga. Area ini meliputi pengaturan keuangan, tugas rumah tangga, pembagian peran, pengambilan keputusan, pengasuhan anak.

b) Dyadic cohesion adalah kedekatan atau kebersamaan individu dengan pasangannya. Kedekatan ini terlihat dari frekuensi waktu yang dihabiskan bersama, melakukan aktifitas bersama. Pasangan pernikahan yang sukses menghabiskan waktu bersama dengan cukup. Pasangan saling menikmati keberadaan satu sama lain, memiliki minat yang sama serta melakukannya bersama-sama, dan sering tertawa bersama. Namun perlu ditekankan bahwa bukan kuantitas waktu yang ditekankan, akan tetapi kualitas waktu yang dihabiskan bersama yang paling penting.

c) Dyadic satisfaction adalah terpenuhinya tiga kebutuhan dasar dalam pernikahan yaitu materiil, seksual, dan psikologis (Saxton, 1986). Terpenuhinya kebutuhan materil akan memberikan kepuasan fisik dan biologis (dan juga memberikan kepuasan psikologis). Kepuasan fisik dan biologis yang terpenuhi, dapat diwujudkan dalam bentuk sandang, pangan,


(25)

papan, terawatnya kehidupan rumah tangga, dan uang. Terpenuhinya kebutuhan seksual ditandai dengan kondisi hubungan seksual yang baik dan keharmonisan pasangan dalam rumah tangga. Pememenuhan kebutuhan psikologis untuk mencapai kepuasan perkawinan adalah rasa aman, kerjasama, saling pengertian, dapat menerima pasangan, saling menghormati, saling menghargai, dan adanya komitmen. Ketiga aspek tahun kebutuhan dasar ini saling berhubungan satu sama lain dan apabila salah satu aspek tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi aspek yang lain. Kepuasan perkawinan tentunya dapat dicapai dengan cara memenuhi ketiga aspek-aspek kubutuhan dasar tersebut (Saxton, 1986).

d) Affectional expression adalah penyesuaian afek individu terhadap pasangannya yang merupakan kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah mengenai hal-hal itu. Beberapa orang menginginkan kontak fisik yang sering seperti: pelukan, ciuman, sentuhan, cumbuan. Sedangkan beberapa yang lainnya sudah puas dengan ciuman sesekali saja. Ada juga orang yang sangat menyukai ekpresi seksual dan seks penuh gairah sedangkan yang lainnya sangat membatasi hubungan seksualnya. Selain itu ada perbedaan dalam frekuensi hubungan senggama antara suami dan istri (DegGenova, 2008). Sehingga perlu dilakukan penyesuaian untuk mensiasati perbedaan dalam ekspresi afeksi.


(26)

3. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Pernikahan

Menurut Hurlock (1993) ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian pernikahan, diantaranya.

a. Konsep pasangan yang ideal. Dalam pemilihan pasangan, seseorang diarahkan oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. b. Pemenuhan kebutuhan. Pasangan harus memenuhi kebutuhan yang berasal dari pengalaman awal untuk dapat melakukan penyesuaian yang baik. Apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan prstasi, dan status social agar bahagia, individu harus membantu pasangannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

c. Kesamaan latar belakang. Semakin mudah untuk melakukan penyesuaian pernikahan apabila semakin sama pula latar belakang pasangan tersebut begitu juga sebaliknya.

d. Minat dan kepentingan bersama. Kepentingan bersama tentang suatu hal yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik.

e. Keserupaan nilai. Apabila pasangan memiliki nilai yang serupa maka penyesuaian akan lebih mudah. Latar belakang yang sama menghasilkan nilai yang sama pula.

f. Konsep peran. Dalam suatu pernikahan ada pembagian peran dan bagaimana seharusnya peranan itu dijalankan. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk.


(27)

g. Perubahan dalam pola hidup. Penysuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan, merubah persahabatan, dan kegiatan-kegiatan sosial, serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti oleh konflik emosional.

4. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Pernikahan

Keberhasilan penyesuaian pernikahan tercermin pada besar-kecilnya hubungan interpersonal dan pola perilaku. Sampai sejauh mana kriteria ini bervariasi bagi orang yang berbeda dan bagi perkawinan pada usia yang berbeda, unsur-unsur ini dapat digunakan untuk menilai penyesuaian pernikahan seseorang (Hurlock, 1993):

a. Kebahagiaan suami istri. Suami istri bahagia yang memperoleh kebahagian bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu sama lain. mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orangtua.

b. Hubungan yang baik antara anak dan orangtua. Hubungan yang baik antara anak dengan orangtuanya mencerminkan keberhasilan penyesuaian pernikahan terhadap masalah. Jika hubungan antara anak dengan orangtua buruk maka suasana rumah tangga akan diwarnai oleh perselisihan yang menyebabkan penyesuaian pernikahan menjadi sulit.


(28)

c. Penyesuaian yang baik dari anak-anak. Apabila anak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik dengan teman-temanya, maka ia akan sangat disenangi oleh teman sebayanya, ia akan berhasil dalam belajar dan merasa bahagia di sekolah. Itu semua merupakan bukti nyata keberhasilan proses penyesuaian kedua orangtuanya terhadap perkawinan dan perannya sebagai orangtua.

d. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat di anatara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu: adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing anggota keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. dalam jangka panjang hana kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian pernikahan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat juga mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat.

e. Kebersamaan. Jika penyesuaian pernikahan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun pernikahan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri.

f. Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan. Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar


(29)

masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang sebaiknya-baiknya.

g. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan. Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.

B. Commuter Marriage

1. Definisi Commuter Marriage

Gerstel and Gross (dalam Scott, 2002) sebagai peneliti yang banyak meneliti tentang commuter marriage mendefinisikan pernikahan ini sebagai suatu keadaan perkawinan yang terbentuk secara sukarela dimana pasangan mempertahankan dua tempat tinggal yang berbeda lokasi geografisnya dan (pasangan tersebut) terpisah paling tidak tiga malam per minggu selama minimal tiga bulan.

Menurut definisi di atas disimpulkan bahwa commuter marriage merupakan kondisi pernikahan dimana pasangan suami istri harus tinggal terpisah secara geografis dalam jangka waktu tertentu, perpisahan tersebut bersifat sementara tidak untuk selamanya. Selain itu, kondisi perpisahan itu telah diputuskan oleh pasangan suami istri secara sukarela tanpa paksaan pihak lain, bukan karena adanya masalah dalam pernikahan, seperti perceraian.


(30)

Definisi selanjutnya berasal dari Rhodes (2002) yang menyatakan bahwa commuter marriage adalah pria dan wanita dalam perkawinanyang ingin tetap berada dalam ikatan perkawinan, tetapi juga secara sukarela memilih untuk tetap berkarir dengan komitmen yang kuat. Mereka memutuskan untuk berpisah rumah sehingga mereka tetap bisa berkarir. Maksud dari pengertian diatas bahwa commuter marriage adalah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dan telah berkomitmen untuk tetap menjalani karir sambil mempertahankan perkawinannya, dan memilih untuk berpisah tempat tinggal yang merupakan konsekuensi agar mereka dapat menjalani karirnya.

Rhodes (2002) juga menambahkan bahwa pasangan yang tinggal di rumah yang berbeda juga disebut commuter marriage. Lebih lanjut dijelaskan bahwa commuter marriage merupakan kondisi yang mengharuskan suami dan istri tinggal terpisah karena berbagai alasan khusus, selain karena tuntutan pekerjaan juga dapat disebabkanoleh tuntutan pendidikan, atau keadaan ekonomi keluarga.

Berdasarkan definisi dari tokoh-tokoh di atas, peneliti menyimpulkan commuter marriage sebagai kondisi pernikahan dimana pasangan dengan sukarela tinggal terpisah secara geografis karena alasan tertentu misalnya karena tuntutan pekerjaan.

2. Karakteristik Commuter Marriage

Beberapa karakteristik yang membedakan pasangan commuter marriage dengan pernikahan lainnya (Gerstel & Gross, 1982 dalam Scott, 2002):


(31)

a. Periode perpisahan yang dialami pasangan mulai dari tiga bulan sampai 14 tahun. b. Jarak yang memisahkan pasangan tersebut antara 40-2.700 mil

c. Pasangan biasanya melakukan reuni mulai dari sekali seminggu hingga hanya beberapa hari dalam sebulan.

d. Jarak yang bervariasi dari rumah utama, kebanyakan pasangan tersebut menghabiskan waktu mereka di rumah yang berbeda (salah satu pasangan di rumah utama dan pasangan lain di rumah lain di tempat lain).

3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Commuter Marriage

Ada beberapa faktor utama yg mempengaruhi terjadinya commuter marriage (Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1984 dalam Scott, 2002), yaitu sebagai berikut:

a. Adanya tuntutan pekerjaan. Beberapa jenis pekerjaan biasanya menuntut untuk berpindah-pindah atau penugasan di kota yang berbeda dari rumah utama bersama istri misalnya, pelaut, insinyur, atau saudagar.

b. Jarangnya pekerjaan atau pendidikan tertentu. Pekerjaan baru sangat berbeda atau bahkan lebih baik daripada pekerjaan yang sebelumnya. Dalam bidang pekerjaan tertentu atau pendidikan yang lebih tinggi, jarang sekali sesuai atau mendukung keadaan. Sehingga, orang-orang yang punya ambisi karir yang tinggi akan mengambil kesempatan ini.

c. Karir wanita. Jika seorang wanita memiliki pekerjaan yang baik dalam karirnya, ia dan suaminya mungkin akan memutuskan untuk tetap pada karirnya tersebut. Keadaan ini bisa saja sementara atau hingga ia mendapatkan


(32)

pekerjaan sampingan atau bahkan pekerjaan baru yang lebih baik di kota yang sama dengan kota tempat suaminya bekerja.

d. Memberi kesempatan bagi wanita. Alasan ini biasanya muncul pada pasangan yang sudah lama menikah. Suami merasa istri mereka telah mengorbankan hidupnya dalam tahun-tahun pertama pernikahan, sehingga suami merasa sudah saatnya bagi istri untuk mengejar karir sendiri. Keputusan ini dibuat untuk membentuk kesetaraan dalam pernikahan.

4. Jenis - Jenis Commuter Marriage

Menurut Harriet Gross (1980) ada dua tipe pasangan commuter marriage, yaitu:

1. Adjusting. Pasangan adjusting cenderung masih muda, menghadapi perpisahan yang lebih awal dalam pernikahannya, dan memiliki sedikit anak jika ada.

2. Established. Pasangan established lebih tua dan sudah terbiasa dengan perpisahan yang dialami. Anak biasanya sudah besar dan keluar dari rumah.

C. Dinamika Penyesuaian Pernikahan pada Pasangan Commuter Marriage

Selama tahun pertama dan kedua pernikahan pasangan suami istri harus melakukan penyesuaian satu sama lain, terhadap anggota keluarga masing-masing, dan teman-temannya. Pada commuter marriage, pasangan juga harus menyesuaikan


(33)

terhadap perpisahan yang dialami dan sedikitnya waktu yang dapat dihabiskan bersama.

Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi pasangan commuter marriage untuk mencapai penyesuaian pernikahan. Pertama, Anderson (1992) menyatakan stres dari perpisahan bisa memperburuk penyesuaian jika pasangan tidak menikmati menghabiskan waktunya sendiri. Bila pelaku commuter adalah pria dan istrinya tidak senang ditinggal maka suami berperan untuk meyakinkan istri dan anak-anaknya untuk dapat menerima keadaan. Biasanya istri akan menerima saja mengingat penghasilan utama berasal dari pekerjaan suaminya. sehingga mau tak mau perpisahan harus tetap dijalani.

Kedua, memiliki anak khususnya yang masih kecil akan menimbulkan masalah tentang logistik mengatur tugas rumah dan mengasuh anak (Anderson & Spruill, 1993). Hal ini dikarenakan anak kecil masih sangat membutuhkan pengawasan dari kedua orangtuanya. Pengasuhan anak tidak bisa dilimpahkan pada istri saja. Namun karena pasangan berpisah tempat tinggal, mau tidak mau seluruh peran untuk pengasuhan anak diberikan pada istri.

Ketiga, pasangan muda, dengan usia pernikahan yang masih muda, dan tanpa adanya stabilitas dan keamanan baik hubungan atau karir jarak jauh akan merasakan tekanan (Orton & Crossman, 1983 dalam Scott, 2002). Stabilitas ini biasanya berasal dari segi keuangan. Pasangan muda dengan kondisi keuangan pas-pasan akan memperburuk penyesuaian bila kepindahan tugas tidak disertai dengan peningkatan fasilitas dari perusahaan tempat seseorang bekerja. Adanya dua orang di dua rumah


(34)

yang berbeda membutuhkan biaya kehidupan ganda, tagihan telepon, dan juga biaya kunjungan (Farris, 1978; Gerstel & Gross, 1984 dalam Scott 2002). Pasangan yang terpisah lebih jauh memerlukan dana dan usaha yang besar untuk bisa berkumpul bersama.

Pasangan yang lebih tua, sudah lama menikah, dengan setidaknya satu orang memiliki karir yang mapan akan mengalami penyesuaian yang lebih mudah daripada pasangan muda yang berkelahi karena karir baru dan hubungan pernikahan dan keluarga (Gerstel & Gross, 1982 dalam Scott, 2002).

Keempat, rasa cemburu istri. Cemburu adalah sifat kodrati wanita. Wanita ditakdirkan berkatakter setia. Jika sudah mencintai seorang pria maka seluruh cintanya adalah untuk pria tersebut. Inilah yang membuat seorang wanita memiliki rasa cemburu yang luar biasa. Sifat cemburu didasari beberapa hal namun yang paling utama adalah takut kehilangan. Terlebih karena istri tidak serumah dengan suaminya maka ia akan dipenuhi pikiran yang tidak rasional (Dewi, 2013)

Pada akhirnya, penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage adalah bagaimana proses seorang wanita memodifikasi, beradaptasi, dan merubah perilaku secara terus menerus dalam pernikahannya untuk mencapai kepuasan walaupun adanya tantangan yang melingkupi commuter marriage seperti tantangan biaya, kecemburuan, dan pengasuhan anak.


(35)

Paradigma Teoritis Penyesuaian pernikahan Dyadic satisfaction Affectional expression Dyadic cohesion Dyadic consensus Mampu menyesuaikan Tidak mampu menyesuaikan Kepuasan dan kebahagian Tidak mampu menyelesaikan masalah rumah tangga Persetujuan dengan pasangan Menghabiskan waktu bersama pasangan Terpenuhinya kebutuhan Afeksi terhadap pasangan Commuter marriage Persetujuan sepihak Jarang bersama Kebutuhan psikologis kurang Afeksi hanya pada saat bertemu


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus yang tujuan mendapatkan gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage yang mendalam dan spesifik. Paradigma penelitian kualitatif diharapkan peneliti dapat memperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi responden penelitian.

Berdasarkan hal-hal diatas peneliti memutuskan untuk menggunakan paradigma penelitian kualitatif sebagai paradigma penelitian dalam meneliti penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage.

B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi.


(37)

1. Wawancara

Penelitian ini menggunakan variasi wawancara kualitatif yaitu wawancara dengan pedoman umum, wawancara mendalam (in depth interview) dan berbentuk open-ended question. Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus digali tanpa menentukan urutan pertanyaan. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai penyesuaian yang dialami oleh responden. Jika peneliti menganggap data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan mencoba melakukan probing pada responden. Wawancara dalam penelitian ini juga berbentuk open-ended question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut tentang topik yang dibahas tanpa membuat responden merasa diarahkan.

2. Observasi

Observasi dilakukan saat wawancara untuk melihat perilaku subjek saat wawancara berlangsung.


(38)

C. Subjek dan Lokasi Penelitian

1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian didasarkan pada karakteristik tertentu. Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang menjalani commuter marriage.

2. Jumlah Subjek Penelitian

Penelitian ini mengambil subjek sebanyak 2 orang. Alasan pengambilan sampel ini karena peneliti ingin berfokus untuk mendalami responden dan kesulitan dalam menemui subjek yang tidak berdomisili di kota Medan.

3. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian

Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah pengambilan sampel berdasarkan konstruk teori yaitu pengambilan subjek dilakukan berdasarkan karakteristik-karakteristik tertentu yang sesuai dengan teori yang digunakan.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini diadakan di kota Medan dan sekitarnya, sesuai dengan tempat tinggal subjek penelitian. Pengambilan data dilakukan di rumah


(39)

ataupun tempat lain tergantung pada kenyamanan dan keinginan dari subjek penelitian.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan responden.


(40)

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara digunakan tidak secara kaku sehingga memungkinkan peneliti untuk menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara demi mendapatkan data yang lebih lengkap dan akurat.

3. Pedoman Observasi

Pedoman umum observasi digunakan untuk mengambil data yang akan menghasilkan data pelengkap yang didapat dari hasil dengan subjek penelitian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat membuat catatan observasi menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 2007) (1) deskripsi konteks (2) deskripsi karaketristik subjek yang diamati (3) deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan subjek. Dengan adanya pedoman observasi, membantu peneliti untuk mencatat data konkrit berkenaan dengan fenomena (Poerwandari,2007).


(41)

4. Alat Tulis dan Buku Catatan Kecil

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara.

E. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan mengenai gambaran penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage. Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

a. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat. b. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan

pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait. c. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses

pengumpulan data maupun strategi analisanya.

d. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian baik penelitian di Fakultas Psikologi USU maupun


(42)

penelitian-penelitian lain di luar Psikologi USU serta melihat efektifitas dari langkah-langkah tersebut tanpa mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas.

e. Menyertakan dosen pembimbing yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil’s advocate) yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti. Selain itu dosen pembimbing sebagai professional judgment terhadap alat pengumpulan data dan strategi analisa serta interpretasi data. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

f. Melakukan analisis data penelitian berdasarkan ”validitas argumentatif” yang dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut :

a. Mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan penyesuaian pernikahan dan commuter marriage. b. Menyusun pedoman wawancara


(43)

Penyusunan pedoman wawancara dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan. Berdasarkan landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan professional judgement dengan dosen pembimbing serta mencoba pertanyaan ke beberapa orang mahasiswa psikologi untuk menilai efektifitas pedoman wawancara sekaligus mengecek kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. c. Membuat informed consent (pernyataan pemberian izin oleh responden)

Pernyataan ini dibuat sebagai bukti bahwa responden telah menyepakati bahwa dirinya akan berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian ini tanpa adanya paksaan dari siapapun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti tape recorder, alat pencatat (kertas dan alat tulis) serta pedoman wawancara yang telah tersusun.


(44)

Peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh responden (informed consent), peneliti kemudian bertemu dengan responden untuk membangun rapport. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan


(45)

bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim.

Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.


(46)

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

G. Teknik dan Prosedur Analisa Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu perlu melakukan analisis data. Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

a. Organisasi data

Data kualitatif sangat beragam dan banyak, oleh karena itu peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan


(47)

selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan di antaranya adalah data mentah yang merupakan hasil rekaman dan catatan lapangan penelitian yang berkaitan dengan penyesuaian diri pada wanita yang menjalani commuter marriage, dimana data tersebut akan diproses dalam bentuk verbatim dari hasil wawancara yang telah dilakukan dan kemudian akan ditandai/dibubuhi kode-kode khusus untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data.

b. Koding dan analisa

Setelah melakukan organisasi data, langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah memberi kode-kode pada materi yang diperoleh yang disebut dengan koding. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan detail. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggap paling efektif bagi data yang dikumpulkan, pemilihan koding bisa dilakukan dengan tanda, huruf, maupun angka. Pemberian koding dan analisis pada data dapat dilakukan setelah membuat transkip wawancara dalam bentuk tabel, transkip tersebut perlu diperhatikan dan dibaca secara berulang-ulang dan jika pada transkip wawancara ditemukan materi yang diharapkan maka dapat dilakukan


(48)

analisa awal dan kemudian dapat dikoding berdasarkan tipe dan sumber konflik pernikahan sesuai dengan teori yang digunakan untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan.

c. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-duagaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya sesuai dengan teori. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut.

d. Strategi analisa

Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.


(49)

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2007) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Interpretasi dilakukan sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti mengenai tipe-tipe dan sumber-sumber konflik pernikahan. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkrip wawancara).


(50)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan analisa data dan interpretasi hasil penelitan mengenai penyesuaian pernikahan pada wanita yang menjalani commuter marriage. Bab ini akan di uraikan dalam dua bagian. Pada bagian pertama akan diuraikan mengenai rangkuman hasil wawancara serta analisa data masing-masing responden. Pada bagian kedua akan diuraikan interpretasi dari hasil yang diperoleh.

Pada bab ini juga akan ditemui kode-kode tertentu, seperti (S1.W1.b9-12) yang dimaksudkan bahwa pernyataan tersebut dapat dilihat dalam verbatim subjek satu, wawancara pertama, baris 9-12 di bagian lampiran.

A. ANALIS DATA 1. Responden 1

a. Identitas Diri Responden

Tabel 1. Identitas Diri Responden 1

Nama R1

Usia 49 tahun

Usia pernikahan 22 tahun

Lamanya Commuter Marriage 8 tahun

Jumlah anak 3 orang

Pekerjaan Wiraswasta


(51)

Pendidikan S-1

Agama Islam

b. Jadwal Wawancara

Tabel 2. Jadwal Wawancara Responden 1

No. Hari, Tanggal Waktu Tempat

1 Sabtu, 7 Maret 2014 09.05 – 10.15 Kantin Sekolah 2 Jumat, 5 April 2014 09.30 – 10.50 Kantin Sekolah 3 Sabtu, 3 Mei 2014 10.00 – 11.30 Kantin Sekolah

c. Rangkuman Hasil Wawancara

Responden adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Dua anaknya kuliah di Bogor sedangkan anak bungsu masih SMP. Suaminya bekerja di perkebunan daerah Langsa, Aceh. Awalnya responden tinggal bersama dengan suami dan anak-anaknya di Medan. Setelah 14 tahun bersama, suami responden dipindahtugaskan ke Langsa, sehingga mereka menjalani commuter marriage. Biasanya suami respoden pulang sekali seminggu selama dua sampai tiga hari.

Selama ditinggal suaminya biasanya kegiatan yang dilakukan oleh responden adalah olahraga di pagi hari, mengantar-jemput anak sekolah, arisan, pengajian, dan berkumpul bersama teman-temannya. Responden juga memiliki kos-kosan yang sudah ada sebelum mereka menjalani commuter untuk tambahan penghasilan dan


(52)

persiapan apabila kelak suaminya sudah pensiun. Selain itu ia memang suka dengan tingkah laku anak kos-kosan. Responden sering ikut berbagi cerita bersama penghuni kosnya, memberikan nasehat-nasehat, dan menurutnya itu menjadi hiburan tersendiri baginya sehingga bisa meninggalkan pikiran mengenai suaminya dan tidak merasa sepi lagi.

Di awal perpisahan, responden mengaku timbul rasa curiga dan was-was terhadap suaminya. Ia takut suaminya mengkhianatinya dan berbuat yang tidak baik disana. Namun seiring berjalannya waktu perasaan itu mulai pudar walaupun masih ada sampai sekarang. Itu terjadi karena komunikasi baik yang terjalin antara ia dan suaminya. Ia sering berkomunikasi dengan suaminya walaupun hanya sebentar dan sekedar menanyakan kabar, namun setiap hari. Kebiasan komunikasi seperti itu yang membuat rasa curiga dan was-was nya berkurang. Ia juga memberikan kepercayaan sepenuhnya pada suaminya karena menurutnya suami istri itu pasti punya kontak batin, sehingga ia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan suaminya.

Selain itu, di awal perpisahan responden juga merasa sedih karena harus berpisah dengan suami. Namun dari awal ia sudah merasa ikhlas karena ia percaya bahwa itu semua adalah takdir dari Tuhan dan adanya dukungan dari suaminya bahwa perpisahan ini harus dijalani oleh keluarga mereka untuk tetap mendapatkan penghasilan. Suaminya bilang agar ia bersabar menjalaninya. Ia pun mengerti bahwa inilah tuntutan pekerjaan dan resiko dari pekerjaan suaminya sehingga mau tak mau ia harus menerimanya. Anak-anaknya juga mengerti dengan keadaan yang dialami


(53)

oleh kedua orangtuanya. Anak pertama dan kedua memang sudah remaja pada saat kedua orangtuanya menjalani commuter marriage sehingga responden tidak merasa kesulitan ketika menjelaskan dan memberikan pengertian pada anak-anaknya. Namun anaknya yang paling kecil yang susah diberi pengertian. Pada awal commuter anak yang paling kecil memang masih balita. Sehingga belum mengerti mengenai perpisahan yang dijalani orangtuanya. Namun sampai sekarang anak yang paling kecil sudah kelas I SMP dan masih sering mengeluh mengenai responden yang pergi ke kebun untuk melihat suaminya. Responden akan meyakinkan pada anaknya yang paling kecil bahwa suaminya membutuhkannya disana. Lagipula di rumah ada bibi untuk mengurusi segala kebutuhannya, ada juga dua kakanya yang akan menjaganya di rumah. biasanya anaknya akan mengerti kalau sudah diingatkan seperti itu.

Responden merasakan ketakutan karena tidak ada yang melindunginya sedangkan anak laki-lakinya yang ada di rumah masih SMP. Apabila malam hari, karena suami tidak ada, respoden takut ada maling. Dari awal perpisahan sampai sekarang perasaan itu masih ada. ia akan merasa aman kalau suaminya sudah pulang ke rumah.

Selain itu responden menikmati waktu-waktu yang ia miliki sendiri dengan berinteraksi lebih sering dengan teman-temannya dan mengikuti kegiatan yang berguna seperti arisan dan pengajian. Itu semua dapat mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran yang mengganggu ataupun stress. Dia juga berpendapat bahwa sifat supelnya yang membuat ia tidak terlalu stress. Stress yang ia alami lebih karena


(54)

anak-anaknya. Pengasuhan anaknya yang bungsu juga terkadang membuat ia stress, misalnya urusan membangunkan anak dan kalau sudah terlambat ke sekolah. Namun karena ada pembantu di rumah, stress nya jadi berkurang. Selain itu ia juga akan stress apabila anaknya sakit, terlebih yang kuliah di Bogor. Itu akan mengganggu pikirannya. Pada saat itu biasanya komunikasi akan lebih intens. Ia juga akan menawarkan diri untuk menjenguk anaknya namun anaknya suka menolak dengan alasan sudah tidak tidak apa-apa. responden kebetulan memiliki keluarga di Jakarta, sehingga ia akan meminta keluarganya tersebut memantau keadaan anaknya yang sedang sakit.

d. Observasi Pada Saat Wawancara

Wawancara 1

Wawancara dilakukan pada hari Sabtu, 8 Maret 2014. Peneliti datang bersama dengan seorang teman yang memperkenalkan peneliti dengan responden. Saat peneliti tiba di tempat, responden sudah menunggu di halaman sekolah. Setelah bersalaman dengan responden, ia mengajak responden dan teman menuju ke kantin sekolah tersebut. Keadaan kantin pada saat itu sepi karena belum saatnya jam istirahat anak sekolah. Hanya ada beberapa orangtua murid yang sedang bercakap-cakap sambil makan di kantin tersebut.


(55)

Kantin tempat diadakannya wawancara berukuran sekitar 8x8 meter. Tidak ada pintu kantin tersebut karena satu sisinya dibiarkan terbuka sehingga kantin tersebut sangat terang dengan adanya sinar matahari langsung. Di dalamnya ada berbagai macam penjual makanan mulai dari nasi, sate, roti cane, martabak, mie, dan berbagai jenis minuman seperti the manis, sirup, dan es blender. Meja dan kursi disusun satu meja untuk dua kursi panjang yang saling berhadapan.

Setelah duduk, peneliti mempersiapkan alat perekam dan pedoman wawancara. Responden menanyakan apakah peneliti ingin makan atau minum. Peneliti dan teman memutuskan untuk memesan minum saja. Wawancara pun dimulai setelah responden menyetujui untuk dimulai.

Dari awal wawancara berlangsung, responden terlihat luwes dan menjawab pertanyaan sesuai pertanyaan. Seringkali juga responden tertawa saat menjawab pertanyaan. Namun ada juga saat-saat responden menjawab dengan serius. Ada juga saat responden malah menawarkan pertanyaan pada peneliti untuk ditanyakan padanya.

Setelah mengakhiri wawancara, peneliti mematikan alat perekam dan meminta kesediaan responden untuk melakukan wawancara selanjutnya di hari lain. kemudian responden dan peneliti berbicara santai. Sekitar 15 menit kemudian peneliti dan temannya akhirnya memutuskan untuk pulang.


(56)

Wawancara 2

Wawancara kedua dilakukan pada hari Jumat, 4 April 2014. Kali ini peneliti datang sendirian. Peneliti menjumpai responden di tempat diadakannya wawancara sebelumnya yaitu di sebuah kantin sekolah. Sesampainya di kantin terlihat responden sedang duduk dengan beberapa orangtua murid. Peneliti langsung menjabat tangan resonden dan bertanya apakah sudah lama menunggu. Ternyata ia sudah lama ada di tempat karena sekalian mengantar anaknya sekolah. Peneliti meminta maaf dan responden bilang tidak apa-apa.

Seperti saat wawancara sebelumnya, keadaan kantin itu sepi karena memang belum saatnya untuk istirahat anak sekolah. Responden menanyakan apakah peneliti mau makan atau minum, peneliti menolak karena memang sudah sarapan sebelumnya. Peneliti mengeluarkan informed consent dan meminta responden menandatanganinya. Responden tidak langsung menandatanganinya namun ia mengambil kacamatanya dan membaca isi informed consent. Setelah itu ia meminta pulpen dan akhirnya menandatangani informed consent.

Peneliti kemudian menyimpan informed consent dan menyalakan perekamnya. Peneliti menanyakan apakah wawancara sudah bisa dimulai. Setelah responden menyetujui, wawancara pun dimulai.

Jika dibandingkan wawancara sebelumnya, suara responden kali ini sedikit lebih pelan. Namun ia tetap ceria dan sering tersenyum serta tertawa saat wawancara


(57)

berlangsung. Di tengah wawancara, responden kembali menawarkan minuman dan penelitipun menyetujui. Peneliti memesan teh manis dan responden memesan sirup. Setelah itu wawancara kembali dilanjutkan. Setiap kali ada jeda untuk pertanyaan selanjutnya, responden terus menyuruh peneliti untuk minum. Peneliti hanya mengiyakan dan menyeruput minumannya.

Sesekali responden malihat telepon genggamnya. Ternyata setelah wawancara ia berencana pergi ke Petisah untuk belanja. Akhirnya peneliti mengakhiri wawancara dan mematikan alat perekam. Peneliti dan responden ngobrol-ngobrol sedikit dan kemudian peneliti meminta izin untuk pulang.

Wawancara 3

Wawancara ketiga dilaksanakan pada tanggal 3 Mei di sebuah kantin sekolah yang berbeda dari wawancara sebelumnya namun masih dalam sekolah yang sama. Keadaan kantin yang menjadi lokasi wawancara kali ini tidak jauh berbeda dengan kantin sebelumnya. Hanya saja ukuran kantin ini lebih besar yaitu sekitar 10x10 m. Ada banyak kursi dan meja yang disusun rapi dua baris. Di sebelah kiri kantin ada banyak pedagang makanan dan minuman. Namun karena kantin terletak dekat toilet, sehingga bau kurang sedap menyebar di kantin tersebut. Walaupun begitu ada beberapa orangtua murid yang sedang menunggui anaknya pulang sekolah di kantin itu. ada yang sedang makan, merajut, dan mengobrol dengan sesama orangtua.


(58)

Tak lama setelah tiba di tempat, peneliti menghubungi responden untuk memberitahu bahwa sudah sampai. Ternyata responden sudah dari pukul 07.30 pagi sampai di sekolah untuk mengantarkan anaknya namun ia berada di kantin tempat wawancara sebelumnya dilaksanakan. Alasan peneliti meminta perpindahan lokasi adalah karena kantin sebelumnya sangat berisik pada jam istirahat dan peneliti merasa kesulitan pada saat membuat verbatim. Peneliti memilih tempat paling ujung yang jauh dari toilet agar bau toilet tidak tercium sehingga responden juga tetap bisa merasa nyaman selama berlangsungnya wawancara.

Sesampainya responden di tempat, ia menanyakan kenapa peneliti terlambat datang karena memang sebelumnya sudah berjanji untuk berjumpa pada pukul 09.00 pagi. Setelah menjelaskan alasan keterlamabatan, peneliti kemudian menyiapkan perekam suara dan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Peneliti kemudian menanyakan pada responden apakah wawancara sudah bisa dimulai.

Pada hari itu responden mamakai pakaian berwarna biru kehijauan dengan jilbab berwarna sama dan celana kain berwarna hitam. Ia memakai sandal dengan warna yang sama dengan pakaiannya juga. Ia juga membawa sebuah tas dan kantung plastik dengan corak garis hitam dan biru muda berisikan pesanan temannya.

Setelah menyetujui untuk memulai wawancara, peneliti pun mengajukan pertanyaan pada responden. Seperti sebelum-sebelumnya responden menjawab pertanyaan dengan lancar. Namun pada saat peneliti menanyakan bagian tentang


(59)

seksualitas, responden agak sedikit terbata-bata sambil tersenyum dan tidak melihat langsung ke peneliti. Matanya menjalar ke mana-mana. Seiring berjalannya wawancara, ia menjadi lancar menjawab pertanyaan yang berbau hubungan seksualnya dengan suaminya.

Setelah mengakhiri wawancara, peneliti mematikan perekam dan mengobrol sedikit mengenai kesibukan reponden pada saat itu. Akhirnya responden dan peneliti sama-sama pulang karena responden sudah ada janji dengan temannya begitu juga dengan peneliti.

e. Latar Belakang Commuter Marriage

Responden sudah 22 tahun menikah dengan suaminya. 14 tahun pertama pernikahan mereka masih tinggal serumah hingga pada suatu hari suaminya pulang ke rumah membawa SK dari kantornya yang menyatakan bahwa suaminya harus pindah tugas ke Langsa. Suami responden adalah seorang manajer di salah satu perusahaan milik negara.

Responden mengaku dirinya ikhlas dengan surat keputusan tersebut. Menurutnya itu sudah menjadi konsekuensi pekerjaan yang harus diterima. Bahkan katanya suami tidak memberikan pengertian padanya sama sekali ketika mendapat surat keputusan itu. ia sendiri sudah merasa ikhlas menerima kenyataan bahwa


(60)

mereka harus berpisah. Pekerjaan suaminya adalah sumber keuangan utama keluarga responden sehingga ia merasa ikhlas.

Pada saat keputusan tersebut dibuat, anak-anaknya masih tinggal bersama mereka. responden memiliki tiga orang anak. Dua masih SMP dan yang paling kecil belum bersekolah. Menurut pengakuannya, dua anaknya yang paling besar tidak susah diberi pengertian mengenai ayah mereka yang tidak bisa tinggal bersama. Mereka mengerti bahwa pekerjaanlah yang membuat mereka harus berpisah dan mereka menerimanya. Lain halnya dengan anak responden yang paling kecil. Ananknya masih suka menanyakan kenapa ibunya sering pergi ke Langsa menemui ayahnya. Responden mengatakan pada anaknya bahwa dirinya harus menemani ayahnya disana. Disana ayahnya sendirian dan ia harus datang untuk menemaninya. Di rumah juga ada saudaranya yang akan menjaganya atau bibi yang mengurus segala keperluannya. Biasanya kalau sudah diberi tahu seperti itu anaknya akan mengiyakan dan akhirnya diam.

Selain karena alasan pekerjaan suaminya, pendidikan anak menjadi alasan responden untuk tinggal menetap di Medan. Sebenarnya bisa saja ia dan anak-anaknya ikut suami ke Langsa namun ia tidak ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan di daerah perkebunan. Ia ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dan menurutnya tetap tinggal di Medan adalah keputusan yang tepat. Hal inilah yang membuat responden dan anak-anaknya berpisah dengan suami.


(61)

f. Penyesuaian Pernikahan Responden

Sebelum menjalani commuter marriage, responden tinggal bersama dengan suaminya selama kurang lebih 14 tahun. Setelah itu barulah responden menjalani commuter marriage yang sekarang sudah berjalan 8 tahun. ada perubahan-perubahan yang terjadi dalam pernikahannya ketika menjalani commuter marriage seperti perjumpaan dengan suami. jika dulu bisa terus bersama dengan suami maka sekarang ia hanya berjumpa dengan suaminya pada akhir pekan saja. Komunikasi juga mengalami perubahan. Dulu ia bisa langsung berkomunikasi dengan tatap muka langsung dengan suaminya namun sekarang tidak bisa lagi karena mereka jarang berjumpa. Pemenuhan kebutuhan seksual yang dulunya bisa dilakukan dengan mudah sekarang hanya bisa disalurkan hanya ketika ia berjumpa dengan suaminya.

8 tahun menjalani commuter marriage membuat responden terbiasa dengan berbagai perubahan-perubahan yang terjadi. Adapun bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh reponden terhadap perubahan tersebut adalah sebagai berikut.

1) Dyadic Consensus

Berpisah dengan suaminya membuat responden yang mengambil keputusan sendiri. Dulu ia dan suami bisa dengan mudah berdiskusi dalam mengambil keputusan dengan tatap muka langsung. Sekarang, segala keputusan yang bisa dia ambil sendiri akan diputuskannya. Jika ia tidak bisa putuskan sendiri maka ia akan menghubungi suaminya untuk memutuskannya. Ia mengambil keputusan sendiri karena suaminya memang sudah percaya padanya dan setuju saja dengan keputusan


(62)

yang diambil oleh responden. Lagipula ia bertindak seperti itu agar tidak menambah beban pikiran suaminya yang sedang bekerja. Sehingga ia akan menangani apa yang ia bisa.

He eh, tapi kalau tante ga mampu baru om, gitu. Kalau masih mampu kecil-kecil ya tante lah. Kalau om udah udah apa itu udah.. mensahkan pokoknya kalau bisa di handle di handle aja

(S1.W1.b60-63)

Itu membantu suami meringankan pikirannya. (S1.W2.224-225)

Biasanya hal-hal yang diputuskan sendiri oleh responden adalah urusan rumah tangga misalnya anak, keuangan, dan pekerjaan pembantu. Begitu juga dengan perlengkapan sekolah anak. Suaminya akan terlibat biasanya dalam penentuan pendidikan anak mulai dari jenjang SMA. Ia mengaku berdiskusi dengan suaminya mengenai pemilihan sekolah anak mereka karena itu menyangkut masa depan sehingga mereka berdua harus berdiskusi dalam menentukannya.

Kalo masalah yang tante bisa itu dalam arti rumah tangga gitu, bibi, anak-anak masih SD SMP ato apa les nya apa apa apa keuangannya.

(S1.W2.b171-174)

Tapi seandainya kalo om yang harus terlibat itu biasanya waktu anak-anak misalnya mencari sekolahan. Itu kayak.. SMA. Karena apa kita menentukan SMA sama om karena kan untuk ke depannya.

(S1.W2.b160-168)

Responden juga sudah seperti tangan kanan suaminya. Misalnya ada keperluan seperti meminjam uang, mengurus surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB),


(63)

dan mengurus tukang untuk membangun kost mereka, respondenlah yang mengurus semuanya di Medan dan suaminya tinggal menandatangani saja. Kalau dulu suaminya yang bertanggung jawab langsung atas keperluan-keperlan tersebut, sekarang ia yang harus melakukannya sendirian karena kontak yang jauh antara pihak yang berkeperluan dengan suaminya. Respondenlah yang akhirnya yang mengejar suaminya untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan. Diakuinya memang menunggu suaminya pulang ke Medan untuk mendapatkan tanda tangan ini adalah hal yang sulit.

Ooo kalo kita mau jumpa seseorang umpamanya kita pinjem uang. Aa itu kan sama om sedangkan itukan harus segera tandatangan kan otomatis saya yang ngejar-ngejar om ini. Saya yang ngurusin semuanya. Tapi kan siapapun ceritanya tanda tangan ini, ngurusin pinjem, ngurusin IMB, kayak kita mau bangun ini, tukang apa apa apa tanda tangannya ini. Ini yang agak susah, harus nunggu, ini susah nunggu om.

(S1.W2.b183-192)

Biasanya setelah responden memutuskan sesuatu ia akan ceritakan pada suaminya ketika pulang bekerja. Mereka akan mendiskusikannya. Suaminya tidak menetapkan bahwa keputusan harus seperti apa yang dia inginkan. Suaminya malah akan memberikan masukan padanya untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Responden akan menerima masukan suaminya dengan senang hati.

Kan saya yang ambil keputusan, trus saya kasitau sama om ni ceritanya. Trus misalnya si om, kenapa nggak gini. Gitu kan? Nah kalo masukan kan dia menjelaskan ni, kalo memang tante ada cocoknya kan bisa dirembukin, kan nggak harga mati.


(64)

Bicara soal keuangan keluarga, responden yang memegang kendali sepenuhnya. Semua gaji suaminya dsimpan di rekeningnya sendiri. Kebiasaan ini bukan karena mereka berpisah. Dari awal pernikahan mereka memang sudah responden yang memegang semua gaji suaminya karena itu adalah hak dirinya dan anak. Biasanya keuangan dikeluarkan untuk rumah tangga dan untuk anak-anaknya yang berada di Bogor selebihnya ditabung.

Ya kalau uang ini tante aja lah, masalah keuangan tante yang handle (S1.W1.b82-83)

Om nggak ngirim. Semua ke rekening tante (S1.W2.b534-535)

Masalah uang waktu baru nikah udah sama tante. Om gajian semua sama tante, sak amplop-amplopnya pun sama tante. Karena menurut om itu hak istri dan anak-anak gitu jadi ga ada permasalahan karena pisah kita yang pegang (S1.W3.b8-13)

Ditabung, rumah tangga, itu aja (S1.W2.b245)

Responden mengaku suaminya memang biasanya menanyakan kemana saja pengeluaran keuangan mereka. ia pun akan menjelaskan kepada suaminya mengenai pengeluarannya tersebut. Namun untuk pengeluaran tetap sehari-hari tidak akan diceritakan pada suaminya. Suaminya juga sudah percaya padanya dan merasa tidak masalah dengan semua pengeluaran responden.

Aaa iya, umpama ne iya ini untuk apa untuk apa? Untuk ini ini ini. kadang-kadang pun ngambil kan kita nggak apa-apa om nggak masalah.


(1)

pasangan pacaran sebelum menikah karena pacaran merupakan tahap saling mengenal bagi masing-masing individu yang berpengaruh ke kehidupan pernikahannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aminjafari, Amirsaleh. (2012). The Study of Marital Adjustment In Employers' Dual Career Families. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business 3.12 (Apr 2012): 559-571.

Anderson, E. A. (1992). Decision-making style: Impact on satisfaction of the commuter couples lifestyle. Journal of Family and Economic Issues, 13(1), 1-21.

Anderson, E. A. & Spruill, J. W. (1993). The Dual-Career Commuter Family: A Lifestyle on the Move. Journal of Marriage & Family Review, 19 131-147

Anjani & Suryanto. (2006). Pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal.

INSAN Vol. 8 No. 3

Atwater, E. (1993). Psychology of Adjustment 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Ben-Zeey, A. (2013). In The Name of Love: Are Commuter Marriages Good

Marriages?

Benokraitis, N. (N. V. (1996). Marriage and Family; Changes, Choices, and Constraints 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Chang, C. Y., Browder-Wood, A. M. (1996). Dual-Career Commuter Marriages: Balancing Commitments To Self, Spouse, Family And Work

DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate Relationship, Marriages and Family (6th Ed). USA: McGraw Hill

Dewi, N. K. (2013). Commuter Marriage “Ketika Berjauhan Menjadi Sebuah Keputusan”. Bogor: IPB Press

Duvall, E. M., Miller, B. C., (1985). Marriage and Family Development 6th ed. New York: Harper & Row, Publishers

Farris, A. (1978). Commuting. In R. Rapoport & R. Rapoport (Eds.), Working couples (pp. 100-107). London: Routledge and Kegan Paul.

Gross, H. E. (1980). Dual Career Couples Who Live Apart: Two Types. Journal of Marriage and Family, 43, 567-576.


(3)

Hurlock, E.B. (2006). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kesembilan. Alih bahasa: Istiwidayanti, Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Hutapea, B. (2011). Dinamika Penyesuaian Suami-Istri Dalam Perkawinan Beda Agama. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 16 (1) Knox, D. (1998). Choices in Relationships; An Introduction to Marriage and The

Family 2nd ed. St. Paul: West Publishing Company

Margiani, K & Ekayati, N. (2013). Stres, Dukungan Keluarga, dan Agresivitas Pada Istri yang Menjalani Pernikahan Jarak Jauh. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia, 2 (3): 191-198

Moleong, L.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Patterson-Stewart, E.; Jackson, A. P.; And Brown, R. P.(2000). African Americans in Dual-Career Commuter Marriages: An Investigation of Their Experiences.

Family Journal—Counseling Therapy For Couples And Families 8:22–47.

Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. LPSP3 : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Roehling, P. V., Bultman, M. (2002). Does Absence Make the Heart Grow Fonder: Work-related Travel and Marital Satisfaction. Sex Roles: A Journal Research, 46: 273-287

Rhodes, A. (2002). Long Distance Relationship in dual career commuter couples: A review of counseling issues. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families, 10, 398-404.

Sadarjoen, S. S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual, dan Alternatif Solusinya. Bandung: PT. Refika Aditama

Santrock, J. W. (2000). Life-Span Development 7th Edition. New York: McGraw Hill

Saxton, (1986). The Individual, Marriage, and The Family. California: Wadsworth Scott, A. T. (2002). Communication Characterizing Successful Long Distance

Marriages. Disertation. Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College.


(4)

Spanier, G. B. (1976). Measuring Dyadic Adjustment: New Scales for Assessing the Quality of Marriage and Similar Dyads. Journal of Marriage and Family, vol. 38, no 1, 15-28

Weiten, Wayne. Lloyd, M. A. (2006). Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Canada: Thomson Wadsworth

Wright, S. (2013). Bridging the Distance in a Commuter Marriage.


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

I. Identitasi Diri

II. Gambaran Penyesuaian Pernikahan a. Dyadic Consensus

• Bagaimanakah subjek mengatur keuangan keluarga? • Bagaimanakah subjek mengasuh anak?

• Bagaimanakah subjek menyesuaikan dengan tugas rumah tangga? • Bagaimana subjek menyesuaikan dengan kehidupan sosial pasangan? • Bagiamana mengambil keputusan?

• Bagaimana menghadapi konflik? b. Dyadic Cohesion

• Berapa lama frekuensi waktu yang dihabiskan bersama?

• Bagaimana subjek menghabiskan waktu ketika bersama pasangan? c. Dyadic Satisfaction

• Bagaimanakah pandangan pribadi subjek terhadap pasangan? • Bagaimana subjek menyesuaikan dengan pribadi pasangannya

tersebut?

• Apakah subjek sering berkelahi dengan pasangan? • Apa yang biasanya menjadi penyebab perkelahian? • Bagaimanakah perkelahian itu berakhir?

• Bagaimanakah dukungan dari pasangan subjek?

• Bagaimanakah subjek memandang pernikahannya secara umum? d. Affectional Expression

• Bagaimana romantisme yang ditunjukkan pasangan pada subjek? • Bagiamana subjek menyesuaikan dengan perilaku romantisme


(6)

INFORMED CONSENT

Melalui surat pernyaaan di bawah ini, saya dengan data dibawah ini: Nama : _______________________

Usia : _______________________

Menyatakan setuju untuk ikut dalam penelitian psikologi yang akan dilakukan oleh Nama : ______________________

NIM : ______________________ Fakultas/Universitas : ______________________

mengenai “Gambaran Penyesuaian Pernikahan Wanita yang Menjalani Commuter Marriage”. Penelitian akan dilakukan dalam bentuk wawancara yang akan dilakukan beberapa kali. Dalam proses wawancara, akan digunakan alat perekam guna membantu peneliti dalam mencatat isi transkrip dari wawancara. Adapun hasil rekaman akan dimusnahkan setelah peneliti mencatat seluruh isi transkrip wawancara dalam bentuk tulisan. Data pribadi dari responden, seperti nama responden akan dijaga dan dirahasiakan oleh peneliti sesuai dengan aturan kode etik psikologi HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) yang telah ada. Adapun informasi mengenai prosedur penelitian telah diterangkan dengan jelas oleh peneliti dan telah dipahami oleh responden. Persetujuan ini saya tanda tangani tanpa paksaan dari pihak manapun.

Medan, __________________

Responden Penelitian Peneliti