Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi Arabika (Coffea arabica) Di Desa Beranun Teleden Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah

(1)

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KOPI ARABIKA (Coffeaarabica) DI DESA BERANUN TELEDEN KECAMATAN BANDAR

KABUPATEN BENER MERIAH

SKRIPSI

OLEH:

NOVA MARIANI HARAHAP 060304049

AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis efisiensi tataniaga kopi arabika yang diusahakan di Desa Beranun Teleden Kabupaten Bener Meriah, bertujuan (1) untuk menganalisis saluran tataniaga kopi arabika, (2) menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika, (3) menganalisis hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika Desa Beranun Teleden, harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York.

Berdasarkan hasil penelitian, ada dua saluran tataniaga di lokasi penelitian, yaitu : (1) petani-pedagang pengumpul I-pedagang pengumpul II-eksportir, (2) petani-pedagang pengumpul I-eksportir. Pendekatan S-C-P menyatakan bahwa (1) struktur pasar cenderung tidak sempurna karena merupakan pasar oligopsoni dan monopsoni, (2) perilaku pasar ditunjukkan dengan elastisitas harga yang kurang dari satu, (3) penampilan pasar menyatakan bahwa marjin pasar yang relatif besar dan didominasi oleh share keuntungan yang besar dan tidak merata. Dari pendekatan ini dapat ditunjukkan bahwa tataniaga kopi arabika tidak efisien. Sedangkan untuk hubungan saling pengaruh (kausalitas), tidak ada satupun variabel yang mempunyai hubungan saling pengaruh.


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta karunia-nya yang telah memberikan pengetahuan dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi di jurusan Sosial Ekonomi Pertanian-Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Atas karunia-Nya pula penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi Arabika (Coffea arabica) Di Desa Beranun Teleden Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah”

Ucapan terima kasih tak terhingga kepada orangtuaku tercinta H.Andriansyah Harahap dan Hj.Kusmaini Siregar dan kepada kakakku dr.Rini Syahrani Harahap dan Rakhmawani Tamadoi Harahap,SE yang selalu

menjadi orang terpenting dalam hidup penulis, atas semua cinta, kasih sayang, dukungan dan motivasinya.

Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof.Dr.Ir.Darma Bakti,MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

2. Ir.Luhut Sihombing,MP selaku Ketua Jurusan Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

3. Dr.Ir.Salmiah,MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dalam memberikan bimbingan mulai dari awal sampai selesainya skripsi ini


(4)

4. Dr.Ir.Rahmanta Ginting, MSi selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dalam memberikan bimbingan mulai dari awal sampai selesainya skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara 6. Sahabat dan teman seperjuangan SEP 2006.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat dipergunakan dan bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih

Medan, Desember 2010


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR………. ii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR TABEL……… vi

DAFTAR GAMBAR……….. viii

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang……….. 1

Identifikasi Masalah……… 3

Tujuan Penelitian……….. 4

Kegunaan Penelitian………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Pustaka Kopi Arabika……… 5

Penelitian Terdahulu……… 7

Landasan Teori Tataniaga Pertanian………. 14

Saluran dan Lembaga Tataniaga………. 15

Efisiensi Tataniaga……….. 17

Harga Kopi……….. 18

Kerangka Pemikiran……… 19

Hipotesis………. 22

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian………. 23


(6)

Teknik Pengambilan Sampel………. 23

Teknik Pengumpulan Data……… 24

Metode Analisis Data……… 25

Definisi Operasional……….. 34

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN SAMPEL PENELITIAN Deskripsi Daerah Penelitian……… 36

Karakteristik Responden Sampel Penelitian………... 37

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Saluran Tataniaga……….. 39

Fungsi Tataniaga……… 42

Analisis Struktur Pasar……….. 45

Analisis Perilaku Pasar………. 47

Analisis Penampilan Pasar……… 49

Analisis Hubungan Saling Pengaruh (Kausalitas)……… 54

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan………... 64

Saran………. 65

DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Tabel Halaman

1 Data Realisasi Rkspor Kopi Arabika Nanggroe Aceh

Darussalam Tahun 2001-2008……… 1 2 Komoditi,Produksi,Luas Areal yang Telah Ada,Luas

Areal Pengembangan, dan Jumlah Produksi di

Kabupaten Bener Meriah………. 2 3 Jumlah Sampel Dari Setiap Responden………... 24 4 Fungsi - Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Oleh

Lembaga Tataniaga Pada Setiap Saluran Tataniaga

Kopi Arabika Di Beranun Teleden,2010………. 44 5 Jumlah Penjual,Jumlah Pembeli,Diferensiasi Produk,

Hambatan Keluar Masuk,dan Struktur Pasar………. 45 6 Hasil Regresi Antara Harga di Tingkat Petani yang

Fair Trade Dengan Harga Eksportir……….. 47 7 Hasil Regresi Antara Harga di Tingkat Petani yang

Bukan Fair Trade Dengan Harga Eksportir……….. 48 8 Biaya dan Harga, Distribusi Marjin, Share Harga,

dan Ratio K/B……… 51

9 Hasil Uji ADF Data Level……… 54

10 Hasil Uji ADF Data Pembedaan Pertama………… 54 11 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Desa Beranun

Teleden Tanpa Intersep dan Trend……… 55 12 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Desa


(8)

13 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Desa

Beranun Teleden Dengan Intersep Dan Trend……. 56 14 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Nasional

Tanpa Intersep Dan Trend……… 56 15 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Nasional

Dengan Intersep ……… 57

16 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Nasional

Dengan Intersep dan Trend………. 57 17 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Terminal

New York (NY) Tanpa Intersep Dan Trend……… 58 18 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Terminal

New York (NY) Dengan Intersep………... 58 19 Hasil Uji ADF Pada Data Pembedaan Pertama

Untuk Variabel Harga Kopi Arabika Terminal

New York (NY) Dengan Intersep Dan Trend……. 59 20 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Harga Kopi

Arabika Nasional (Kopnas) Dengan Harga

Kopi Arabika Desa Beranun Teleden (DP)……… 60 21 Hasil Uji Kausalitas Granger Antara Harga

Kopi Arabika Terminal New York (NY) dan

Harga Kopi Arabika Desa Beranun Teleden (DP) 61 22 Hasil Uji Kausalitas Antara Harga Kopi Arabika

Terminal New York (NY) dan Harga Kopi Arabika


(9)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Gambar Halaman

1 Pola Saluran Tataniaga Secara Umum 16

2 Kerangka Pemikiran 21


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis efisiensi tataniaga kopi arabika yang diusahakan di Desa Beranun Teleden Kabupaten Bener Meriah, bertujuan (1) untuk menganalisis saluran tataniaga kopi arabika, (2) menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika, (3) menganalisis hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika Desa Beranun Teleden, harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York.

Berdasarkan hasil penelitian, ada dua saluran tataniaga di lokasi penelitian, yaitu : (1) petani-pedagang pengumpul I-pedagang pengumpul II-eksportir, (2) petani-pedagang pengumpul I-eksportir. Pendekatan S-C-P menyatakan bahwa (1) struktur pasar cenderung tidak sempurna karena merupakan pasar oligopsoni dan monopsoni, (2) perilaku pasar ditunjukkan dengan elastisitas harga yang kurang dari satu, (3) penampilan pasar menyatakan bahwa marjin pasar yang relatif besar dan didominasi oleh share keuntungan yang besar dan tidak merata. Dari pendekatan ini dapat ditunjukkan bahwa tataniaga kopi arabika tidak efisien. Sedangkan untuk hubungan saling pengaruh (kausalitas), tidak ada satupun variabel yang mempunyai hubungan saling pengaruh.


(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi arabika sebagai salah satu komoditas ekspor perkebunan, telah menjadi sumber pendapatan bagi para petani, para pengusaha, juga para karyawan perkebunan-perkebunan kopi. Menurut Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia pada tahun 2007, kopi arabika yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 20.113.261 dari ekspor kopi sebesar 6.677.055 kg. Tercatat pada tahun 2008, komoditas kopi mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 25.235.339 dengan volume ekspor sebesar 7.062.966 kg.

Tabel 1. Data Realisasi Ekspor Kopi Arabika Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2001-2008

No Tahun Volume (kg) Nilai (USD) 1 2001 783.700 1.305.428 2 2002 7.818.100 14.755.230 3 2003 6.438.140 11.682.805 4 2004 4.863.500 9.455.138 5 2005 5.196.820 16.061.802 6 2006 7.160.000 18.489.246 7 2007 6.677.055 20.113.261 8 2008 7.062.966 25.235.339 Sumber : Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia 2009

Tingginya devisa yang diraup oleh Nanggroe Aceh Darussalam tidak lepas dari geografi Indonesia yang sesuai untuk tumbuhnya tanaman kopi. Dengan ketinggian 700-1600 meter dan 400-800 meter diatas permukaan laut, tanah jenis Latosol dan Podzolik dan tipe iklim A (sangat basah) dan B (basah), maka tanaman kopi sangat cocok untuk hidup dan dibudidayakan di Kabupaten Aceh


(12)

Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam. Berikut ini adalah data beberapa komoditas yang berpotensi di Kabupaten Bener Meriah (pecahan Kabupaten Aceh Tengah ).

Tabel 2. Komoditi, Produksi, Luas Areal yang Telah Ada, Luas Areal Pengembangan, dan Jumlah Produksi Di Kabupaten Bener Meriah No Komoditi

Luas Areal Yang Telah Ada (Ha) Luas Areal Pengembangan (Ha) Produksi (ton) Jumlah Petani (KK) 1 Kopi 43.765,74 1.919,81 15.973,82 32.907 2 Kelapa Sawit 299,95 20.447,55 2.247,03 30

3 Kakao 837,13 3.421,62 48,09 930

4 Pinang 172,50 300,00 20,20 320

5 Kemiri 163,00 593,73 24,78 233

6 Cassia Vera 254,90 962,63 157,37 402

7 Tebu 555,24 5.310,00 1.463,61 415

8 Tembakau 108,97 142,53 44,00 207

9 Pala 11,50 150,00 3,45 32

10 Lada 156,77 1.095,55 107,23 341

11 Aren 108,00 50,25 21,00 119

12 Kunyit 105,41 503,22 225,96 1.352

13 Jahe 210,90 579,36 226,00 1.376

Jumlah 47.449,98 28.543,10 38.464

Sumber Data : Dinas Kehutanan dan Perkebunan 2009

Sudah sepantasnya kopi merupakan komoditas unggulan ekspor Kabupaten Bener Meriah jika dilihat dari produksi kopi sebesar 15.973,82 ton serta luas lahan yang digunakan yaitu 43.765,74 hektar dimana 37.200,879 hektar (85%) merupakan jenis kopi arabika dan sisanya seluas 6.564,861 hektar (15%) merupakan jenis kopi robusta dan seluruhnya merupakan perkebunan rakyat.

Agar komoditas unggulan ekspor ini sampai ditangan konsumen, dibutuhkan tataniaga yang merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan kopi arabika. Terdapat suatu wacana yang menyatakan bahwa dengan menggunakan tataniaga yang berkonsep fair trade atau perdagangan yang adil, tataniaga kopi


(13)

arabika akan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan tataniaga yang berkonsep konvensional. Melalui tataniaga yang efisien akan tercermin pembiayaan yang dapat memuaskan semua pihak baik produsen maupun konsumen dalam penyampaian suatu barang atau komoditas. Bila mekanisme tataniaga berjalan dengan baik, maka semua pihak yang terlibat pun akan diuntungkan.

Menurut Silitonga (2008), dalam tataniaga kopi arabika, harga kopi nasional yang berlaku selama ini merupakan harga kopi nasional yang ditentukan berdasarkan harga kopi internasional sehingga perubahan yang terjadi pada harga kopi internasional akan mempengaruhi harga nasional, dimana untuk kopi jenis arabika ditentukan di Terminal New York. Tidak adil rasanya jika Indonesia tidak mampu mempengaruhi harga kopi arabika internasional, yang notabene Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan eksportir terbesar di dunia. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian diatas maka penelitian tentang efisiensi tataniaga dan pengaruh harga kopi dunia terhadap harga nasional dan sebaliknya perlu dilakukan.

Identifikasi Masalah

Dengan pentingnya efisiensi tataniaga sebagai salah satu aspek tataniaga yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan arus barang dari produsen dan konsumen, dan adanya wacana yang menyatakan bahwa tataniaga yang menggunakan perdagangan yang adil lebih efisien, serta wacana lain yang menyatakan bahwa harga kopi nasional ditentukan atau dipengaruhi oleh harga kopi internasional, maka identifikasi masalah yang diangkat adalah :


(14)

1. Bagaimana saluran tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden?

2. Bagaimana tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden?

3. Bagaimana hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika Desa Beranun Teleden, harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York ?

Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis saluran tataniaga komoditas kopi arabika di Desa Beranun Teleden.

2. Untuk menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden.

3. Untuk menganalisis hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika Desa Beranun Teleden, harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi atau masukan bagi petani kopi arabika dalam memasarkan hasil usahataninya secara efisien.

2. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk perbaikan dan peningkatan proses tata niaga komoditas kopi arabika.

3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


(15)

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Tinjauan Pustaka

Kopi Arabika

Kopi arabika merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Dataran Tinggi Gayo adalah daerah yang berada di kawasan pegunungan Aceh Tengah, Bener meriah daan Gayolues dengan tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blangkejeren dan Simpang Tiga Redelong. Perkebunan kopi yang mulai diusahakan sejak tahun 1924 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah sampai sekarang. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia, yaitu seluas 73.782 hektar. Mayoritas masyarakat Suku Gayo yang mendiami kedua kabupaten ini berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo.

Kopi pertama kali ditanam di Indonesia (Pulau Jawa) pada tahun 1696 dan sampai akhir abad ke 19. Komoditi kopi menjadi penting bagi pemerintahan Belanda yang dikenal dengan dengan nama Java Coffee yang memiliki reputasi yang baik di pasaran dunia. Pada tahun 1878 tanaman kopi yang dikembangkan oleh pemerintahan Belanda terserang penyakit karat daun sehingga kopi arabika yang ditanam pada daerah-daerah yang rendah terpaksa diganti dengan tanaman kopi jenis Robusta yang resisten terhadap penyakit karat daun tersebut. Kemudian kopi arabika ditanam di dataran tinggi dimana sepertiganya tumbuh di Kabupaten Bener Meriah. Perkebunan kopi pertama diusahakan pada tahun 1924 dimana pada waktu itu perkembangan arealnya sangat lambat, hal ini disebabkan karena


(16)

letak daerah ini terisolasi dan tingginya biaya transportasi. Pengembangan kopi pada awalnya hanya terkonsentrasi di Bandar Lampahan dan Berkhendal. Setelah tahun 1930 kopi menjadi penting bagi masyarakat karena langsung dapat menghasilkan uang dan setelah Perang Dunia II semua kopi hanya dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Perkebunan kopi rakyat di Kabupaten Bener Meriah baru mulai berkembang setelah berakhirnya perang kemerdekaan yaitu pada tahun 1945 dan pada saat ini 85 % luas areal tanaman kopi rakyat didominasi oleh varietas arabika dan sisanya 15 % merupakan varietas robusta.

Dalam setahun kopi arabika mengalami 2 kali masa panen yaitu pada bulan September-Desember dengan total produksi 8820 kg/ha dan Januari-Mei dengan total produksi 6000 kg/ha, sedangkan pada Juni-Agustus terjadi paceklik kopi yaitu hanya menghasilkan 360 kg/ha pada bulan Juni. Pada bulan Juli dan Agustus tanaman kopi tidak berproduksi.

Kopi dipanen jika biji kopi sudah berwarna merah yang disebut dengan gelondongan atau cerri. Kemudian biji kopi dimasukkan ke mesin pulper atau pengupas untuk memisahkan biji kopi dengan kulit buah dan kuli arinya. Pada umumnya, pulper yang digunakan adalah vis pulper yang tidak mengikutsertakan proses pencucian sehingga masih perlu dilakukan proses fermentasi untuk menghilangkan lendir. Fermentasi dilakukan 1 malam dan dilakukan pencucian. Kemudian biji kopi dijemur dibawah sinar matahari langsung selama 8 jam .Biji kopi yang sudah dijemur ini disebut gabah.

Gabah akan dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya dengan menggunakan huller. Gabah yang sudah dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya ini disebut


(17)

labu dan labu akan dijemur sampai memiliki kadar air 18%. Labu yang sudah memiliki kadar air 18% disebut asalan atau kopi ready.

Penelitian Terdahulu

Dalam Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi Di Kabupaten Tanggamus Lampung oleh Yuda Pranata, Hurip Santoso dan Benyamin Widyamoko, diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kinerja pasar kopi di Kabupaten Tanggamus belum efisien. Hal ini dilihat dari struktur pasar, keragaan pasar, dan trend produksi.

Struktur pasar yang terjadi adalah adalah oligopsoni, produsen cenderung melakukan differensiasi pada produknya, semakin rendah tingkat pelaku tataniaga maka akan semakin mudah untuk masuk ke dalam pasar sehingga perilaku pasar mengarah pada proses penentuan harga oleh pedagang, sedangkan petani hanya sebagai penerima harga (price taker) yang ditetapkan oleh pedagang dan sistem pembayaran dilakukan secara tunai.

Keragaan pasar yang terdiri dari 5 saluran pemasaran dengan distribusi margin pemasaran tidak merata dimana hanya saluran pemasaran keempat yang relatif lebih efisien bila dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya; yaitu Petani– PP III–Eksportir, hal ini dilihat dari penyebaran rasio profit marjin pada saluran pemasaran keempat yang relatif lebih merata. Sedangkan untuk harga jual ditentukan oleh penjual, dan biaya yang dikeluarkan pedagang antara lain biaya angkut dan biaya bongkar muat. Untuk analisis elatisitas transmisi harga diperoleh Et≠1(Et <1 atau Et >1) yang menunjukkan bahwa pasar tidak bersaing sempurna. Selain itu, trend produksi kopi di Kabupaten Tanggamus juga semakin menurun


(18)

diakibatkan peralihan lahan yang digunakan oleh petani tidak sepenuhnya ditanami kopi.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s.d. Februari 2009 di dua kecamatan yang terpilih secara sengaja (purposive), yaitu Kecamatan Ulu Belu dan Kecamatan Pulau Panggung. Jumlah responden petani kopi sebanyak 50 responden, diperoleh melalui teknik simple random sampling. Responden pedagang pengumpul sebanyak 25 responden, 3 perusahaan eksportir, dan 1 pengolah hasil, diperoleh dengan snowball methods. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif (deskriptif) untuk mengetahui struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar yang meliputi saluran pemasaran, harga, biaya, dan volume penjualan. Analisis kuantitatif (statistika) untuk mengetahui keragaan pasar yang meliputi pangsa produsen, marjin pemasaran, dan elastisitas transmisi harga, serta analisis trend linier produksi kopi.

Berbeda dengan Analisis Efektifitas dan Efisiensi Tataniaga Kopi Biji di Propinsi Lampung oleh Mustafid, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 saluran tata niaga yang terjadi yaitu saluran tata niaga I (petani produsen-pedagang kecamatan-eksportir), saluran tata niaga II (petani produsen-pedagang desa-pedagang kecamatan–eksportir), dan saluran tata niaga III (petani produsen-pedagang kabupaten-eksportir). Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga komoditas biji kopi Propinsi Lampung diperoleh hasil bahwa saluran tataniaga II lebih efisien dibandingkan dengan saluran tataniaga I dan III dengan nilai efisiensi 0.95 untuk saluran tata niaga II dan 0.93 serta 0.94 untuk saluran tataniaga I dan III. Penelitian ini menggunakan 47 responden yang di ambil secara proporsif


(19)

diharapkan dapat mewakili dari populasi yang ada dengan daerah penelitian Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Way Kanan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif berdasarkan teori tataniaga dan analisis kuantitatif dengan menganalisis efektivitas dan efisiensi tata niaga pemasaran komoditas kopi biji di Propinsi Lampung, yaitu untuk mengukur tingkat efektivitas digunakan metode faktor tertimbang dan margin tataniaga untuk mengukur tingkat efisiensi.

Sedangkan dalam Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang Sulawesi Selatan oleh Ima Aisyah Sallatu dari Institut Pertanian Bogor yang menggunakan pendekatan Structure–Conduct– Performance menunjukkan bahwa Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar. Struktur dan perilaku pasar kopi arabika di dua kabupaten ini tidak memberikan alternatif kepada petani untuk dapat memilih saluran pemasaran yang lebih efisien walaupun saluran pemasaran ini dapat memberikan bagian harga yang lebih tinggi kepada petani.

Dalam Targeted Study of The Arabica Coffee Production Chain in North Sumatera (The Mandheling Coffee) oleh Wayan R Susila dari Food and Organization United Nations yang melakukan penelitian di Tapanuli Utara (Siborong-Borong, Pangribuan), Humbang Hasundutan (Lintong Nihuta, Dolok Sanggul), Toba Samosir (Muara) dengan menggunakan stratified random yang


(20)

berdasarkan kecamatan dan luas lahan diperoleh 26 sampel petani, dimana hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa sistem tataniaga kopi mandailing cukup unik jika dibandingkan dengan daerah penghasil kopi lainnya. Ini dikarenakan transaksi tataniaga dilaksanakan di pasar kecamatan atau pasar kabupaten, kopi mandailing dijual dalam bentuk biji basah (wet bean). Biji kopi diukur dengan satuan liter bukan kilogram, dan hari pasar atau hari pekan untuk kopi mandailing sangatlah teratur pada setiap kecamatan yaitu Lintong Nihuta (Humbang Hasundutan) pada hari Senin,Sipahutar (Tapanuli Utara) pada hari Senin, Siborong-Borong (Tapanuli Utara) pada hari Selasa, Pangaribuan (Tapanuli Utara) pada hari Rabu, Dolok Sanggul (Humbang Hasundutan) pada hari Jumat, dan Tarutung (Tapanuli Utara) pada hari Sabtu. Para petani akan menjual langsung biji kopinya ke pasar pada hari pekan kepada para pedagang pengumpul, dimana pada setiap pasarnya terdapat 200-300 pedagang pengumpul yang siap membeli biji kopi para petani. Meskipun terdapat banyak petani sebagai penjual dan pembeli di pasar, tetapi harga kopi ditentukan oleh para eksportir di Medan melalui pedagang pengumpul mereka yang bertindak sebagai agen penentu harga. Umumnya, struktur pasar cenderung pasar oligopsoni. Untuk saluran tataniaga kopi mandailing, terdapat 2 saluran tataniaga yaitu petani–pedagang pengumpul I–pedagang pengumpul II– eksportir dan petani–pedagang pengumpul II –eksportir. Sedangkan untuk penampilan pasar yaitu relatif efisien sebagai indikasi adilnya pembagian margin keuntungan oleh pedagang pengumpul dan eksportir. Dengan menggunakan analisis margin tataniaga, diperoleh hasil yaitu petani mendapat proporsi sebesar 86.4% dengan harga jual Rp 13.000/kg, pedagang pengumpul I dengan rata-rata biaya Rp 91/kg, rata-rata margin Rp 306/kg, dan proporsi 89.1 % dengan harga jual Rp 13.397/kg, pedagang pengumpul II dengan biaya rata-rata Rp 669/kg, rata-rata


(21)

margin Rp 323/kg, dan proporsi 95.7 % dengan harga jual Rp 14.389/kg. sedangkan untuk eksportir, rata-rata biaya Rp 250/kg, rata-rata margin Rp 400/kg dengan proporsi 100 % dan harga jual Rp 15.039/kg.

Selain itu, dalam Analisis Keunggulan Bersaing Kopi Arabika Gayo Organik di Indonesia oleh Christina Mutiara TM Silitonga, diperoleh hasil bahwa keadaan pasar tidak efisien pada tingkat petani. Ini dilihat dari margin yang diperoleh petani kopi arabika Bener Meriah sebesar Rp 1.270, dimana ini lebih rendah 317 dibandingkan dengan petani kopi arabika Aceh Tengah yaitu Rp 1.587, dan mata rantai tata niaga kopi arabika di Bener Meriah yang lebih panjang jika dibandingkan dengan mata rantai kopi arabika di Aceh tengah yaitu melalui 4 tingkatan, petani-kolektor-koperasi-eksportir. Di Aceh Tengah, petani mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.060, margin Rp 1.587, harga jual petani kepada kolektor Rp 14.187. Untuk kolektor, biaya yang dikeluarkan Rp 320, margin Rp 363, harga jual kolektor kepada eksportir Rp 14.870. Untuk eksportir, biaya yang dikeluarkan Rp 2.850, margin Rp 21.916, dan harga yang dijual eksportir adalah Rp 39.536. Sedangkan untuk Bener Meriah, petani mengeluarkan biaya Rp 2.060, margin Rp 1.270, harga jual petani ke kolektor Rp 13.870. Untuk kolektor, biaya yang dikeluarkan Rp 320, margin Rp 260, harga jual kepada koperasi Rp 14.450. Untuk koperasi, biaya yang dikeluarkan Rp 1.500, margin Rp 4.639, dan harga jual kepada eksportir Rp 20.589. Sedangkan untuk eksportir, biaya yang dikeluarkan Rp 1.350, margin Rp 14.285, dan harga jual Rp 36.224.

Pada penelitian ini, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode

snowball dan dikombinasikan dengan purposive. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu Agustus-November 2008 dengan pemilihan lokasi dilakukan dengan


(22)

secara sengaja (purposive). Populasi sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah petani kopi arabika, kolektor, pedagang, koperasi, perusahaan eksportir, AEKI, ICO dan pemerintah.

Dalam Analisis Saling Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia oleh Budiman Hutabarat yang menggunakan uji Kausalitas Granger untuk mengetahui hubungan saling pengaruh (kausalitas) antar pasar, diperoleh hasil bahwa tidak ada satupun harga di dalam negeri seperti HPBRI (harga bulanan kopi robusta di tingkat produsen Indonesia), HRBJTM dan HRKJTM (harga bulanan kopi robusta olah basah dan olah kering di Jawa Timur), HRTLPG (harga bulanan kpi ditingkat produsen Lampung) yang berpengaruh terhadap HEBKJP (harga eceran kopi di Jepang) atau sebaliknya. Oleh karena itu, meskipun Jepang mengimpor kopi dalam jumlah yang besar dari Indonesia, hubungan kedua pasar ini tidaklah terlalu kuat.

Sedangkan untuk HEBKAS (harga eceran kopi di Amerika Serikat) terlihat adanya saling pengaruh dengan harga kopi tingkat produsen Indonesia (HPBRI) dan harga kopi robusta olah basah Jawa Timur (HRBJTM), dan hanya pengaruh searah dari harga kopi robusta olah kering di Jawa Timur (HRKJTM) ke HEBKAS (harga eceran kopi di Amerika Serikat). Tampak hubungan yang erat antara pasar kopi Amerika Serikat dengan Jawa Timur.

Untuk kasus harga eceran kopi di Jerman (HEBKJM), ada hubungan searah dari HPBRI ke HEBKJM dan dari HEBKJM ke masing-masing harga kopi robusta di tingkat produsen Lampung (HRTLPG). Jadi, tampak bahwa pasar kopi di Jerman berpengaruh pada pasar kopi Lampung.


(23)

Kesimpulan yang sama berlaku untuk pasar Italia, penaruh searah dari harga eceran kopi di Italia (HEBKIT) ke HRTLPG. Sedangkan umtuk harga eceran kopi di Belanda (HEBKNL) terbukti ada saling pengaruh dengan HPBRI dan searah dari HEBKNL ke HRTLPG. Jadi, industri kopi di Eropa barat berhubungan erat dengan industry kopi di Lampung dan kurang erat dengan industri kopi di Jawa Timur. Sebaliknya industri kopi Amerika Serikat berhubungan erat dengan industri kopi di Jawa Timur dan kurang erat dengan industri kopi di Lampung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2003 dengan menggunakan data sekunder dari instansi-instansi terkait yang meliputi harga kopi di dalam negeri di tingkat produsen, pedagang ,ekspor, dan harga eceran konsumen negara pengimpor utama dunia dari tahun 1983 sampai 2003.

Fair Trade

Fair trade adalah alternatif pendekatan terhadap perdagangan internasional yang berupa model relasi atau kemitraan dalam perdagangan yang mengarah pada tewujudnya pembangunan yang berkelanjutan dari produsen oleh perdagangan internasional. Prinsip-prinsip fair trade adalah upah dan harga yang adil sesuai konteks lokal, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kondisi dan praktik kerja yang aman, kesetaraan jender dan keragaman, perlindungan terhadap buruh anak, pengunaan sumber daya alam yang lestari, dan sistem produksi yang berwawasan lingkungan.

Untuk mewujudkan keadilan dalam perdagangan dan terwujudnya tataniaga yang lebih efisien, maka upaya yang dilakukan oleh fair trade untuk menjembatani hubungan yang lebih langsung antara produsen dan kosumen adalah :


(24)

a. Memotong jalur tataniaga dan mendirikan rantai tataniaga alternatif. Dengan rantai tataniaga yang lebih efisien memungkinkan produsen dan usaha kecil menikmati marjin yang lebih baik

b. Mendorong transparasi informasi pasar.

c. Mengorganisasikan produsen dan usaha kecil dalam wadah tataniaga bersama.

d. Pengembangan kapasitas organisasi produsen. Landasan Teori

Tataniaga Pertanian

Dalam Kusnadi, dkk (2009), Schaffner et.al. (1998) mengemukakan pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif mikro dan makro. Dalam perspektif mikro, tataniaga merupakan aspek manajemen dimana perusahaan secara individu, pada setiap tahapan tataniaga dalam mencari keuntungan, melalui pengelolaan bahan baku, produksi, penetapan harga, distribusi dan promosi yang efektif terhadap produk perusahaan yang akan dipasarkan. Perspektif makro menganalisis efisiensi sistem secara keseluruhan dalam penyampaian produk/jasa hingga konsumen akhir atau pemakai, yaitu sistem tataniaga setelah dari petani dengan menggunakan fungsi-fungsi tataniaga atau aktivitas yang diperlukan untuk menyampaikan produk/jasa yang berhubungan dengan nilai guna waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan kepada konsumen dan kelembagaan atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut (pengolah, distributor, broker, agen, grosir dan pedagang eceran).


(25)

Fungsi-fungsi tataniaga dapat dikelompokkan menjadi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan tempat , dan kegunaan waktu. Fungsi fisik meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. Fungsi fasilitas yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggulangan resiko, funsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar.

Saluran dan Lembaga Tataniaga

Komoditas pertanian merupakan komoditas yang cepat rusak, maka komoditas pertanian harus cepat diterima oleh konsumen. Kondisi seperti ini memerlukan saluran tataniaga yang relatif pendek. Jika jarak antara produsen dengan konsumen semakin jauh, maka saluran tataniaga yang terbentuk pun akan semakin panjang. Karena adanya perbedaan jarak dari lokasi produsen ke konsumen, maka lembaga tataniaga diharapkan kehadirannya untuk membantu penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Oleh sebab itu, dalam hal melancarkan penyampaian dan memindahkan barang-barang dari produsen ke pasar (para konsumen) peranan lembaga-lembaga tataniaga (marketing institutions) adalah demikan besar.


(26)

Lembaga tataniaga merupakan segala usaha yang berkait dalam jaringan lalu lintas barang-barang di masyarakat, seperti halnya jasa-jasa yang ditawarkan oleh agen-agen atau perusahaan dagang, perbankan, perusahaan pengepakan dan peti kemas, perusahaan angkutan, usaha pertanggungan atau asuransi dan lain sebagainya. Perusahaan dagang, perusahaan pengepakan, perusahaan angkutan, perusahaan asuransi, kesemuanya memegang peranan dalam menyampaikan produk itu ke pasar (konsumen) dengan menjamin sampainya produk-produk itu ke konsumen (pasar) tanpa ada kerusakan-kerusakan di samping waktu penyampaiannya yang tepat (Kartasapoetra, 2002).

Secara umum, pola saluran tataniaga produk pertanian di Indonesia adalah

(Limbong dan Panggabean, 2005)

Gambar 1. Pola Saluran Tataniaga Secara Umum

Lembaga tataniaga yang membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat ke pembeli akhir merupakan satu tingkat saluran. Saluran nol tingkat diartikan sebagai saluran dimana pihak produsen menjual langsung kepada pihak produsen. Saluran satu tingkat mencakup satu lembaga tataniaga seperti pengecer. Saluran dua tingkat mencakup dua lembaga tataniaga seperti pedagang besar dan pengecer. Saluran tiga tingkat mencakup tiga lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pemborong, dan pengecer.

Petani Tengkulak

Koperasi

P.Besar Perantara

Pengecer

Pabrik/eksportir

Konsumen Akhir


(27)

Lembaga tataniaga yang berperan dalam proses penyampaian barang-barang dan jasa dari sektor produsen ke konsumen ini akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda pada tiap lembaga tataniaga dimana dalam penyampaian tersebut terdapat biaya tataniaga. Kemampuan menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila ingin dianggap efisien dalam sistem tataniaga (Mubyarto,2002).

Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tata niaga adalah maksimisasi penggunaan rasio input-output, yaitu mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan konsumen terhadap barang atau jasa. Kemampuan menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila ingin dianggap efisien dalam sistem tataniaga.

Menurut Soekartawi (2002) efisiensi tataniaga dapat terjadi jika :

1. Biaya tataniaga dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi.

2. Persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.


(28)

3. Tersedianya fasilitas fisik tataniaga

Menurut Mubyarto (2002) efisiensi tataniaga dapat terjadi jika :

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu

Dalam Sukirno (2002), pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar yang paling efisien dan ideal, karena sistem pasar ini merupakan struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan memproduksi barang atau jasa yang tinggi efisiensinya. Pasar persaingan sempurna didefenisikan sebagai struktur pasar atau industri dimana terdapat banyak penjual dan pembeli dan setiap penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar. Pada pasar ini para penjual dan pembeli bertindak sebagai penerima harga, sehingga penjual dan pembeli tidak dapat menetapkan harga seenaknya untuk medapatkan keuntungan maksimum. Ini dikarenakan jumlah dan nilai transaksi dari penjual dan pembeli sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah dan nilai output pasar secara keseluruhan, sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga produk.

Harga Kopi

Dalam teori ekonomi, yang dimaksud dengan harga adalah pertemuan antara penawaran dan permintaan. Terjadinya atau terciptanya harga adalah akibat adanya proses tawar menawar antara penjual (produsen) dan pembeli (konsumen).


(29)

Penjual menawarkan harga tertentu terhadap komoditinya sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan penjual, dan pembeli menawarkan harga tertentu untuk komoditi bersangkutan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki pembeli. Bila terjadi kesesuaian harga antara harga yang ditawarkan penjual dengan harga yang diminta pembeli, maka saat itulah terjadi harga pasar dan kemudian transaksi dapat berlangsung (Nugraha, 2006).

Menurut Silitonga (2008), harga kopi nasional yang berlaku selama ini merupakan harga kopi nasional yang ditentukan berdasarkan harga kopi internasional sehingga perubahan yang terjadi pada harga kopi internasional akan mempengaruhi harga nasional, dimana untuk kopi jenis arabika ditentukan di Terminal New York. Dari harga kopi internasional inilah para pengekspor menerima harga dan akan menjadi dasar penentuan harga yang akan ditetapkan kepada pedagang perantara dan secara berantai akhirnya kepada petani produsen. Oleh sebab itu, jika harga kopi di pasar dunia sangat fluktuatif, maka akan berpengaruh pada harga kopi di pasar domestik yang akan berdampak pada harga kopi di tingkat petani. Fluktuasi harga kopi ini dapat disebabkan karena kelebihan pasokan dan siklus produksi.

Hal yang sama juga disebutkan oleh Kustiari (2007) dalam jurnal Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi Indonesia, yang mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah di bidang harga kopi adalah pemerintah menetapkan harga dasar pembelian kopi bersama-sama dengan pengekspor, sehingga harga kopi di Indonesia lebih ditentukan oleh harga kopi dunia. Ini


(30)

dilakukan agar kopi yang berasal dari Indonesia dapat bersaing dengan negara produsen kopi yang lainnya seperti Kolombia, Brazil dan Vietnam.

Kerangka Pemikiran

Mata rantai tataniaga dimulai dari petani sebagai produsen yang menghasilkan biji kopi. Petani menjual gelondong kopi kepada pedagang pengumpul kecil di desa. Kemudian biji kopi diolah melalui cara semibasah oleh pengumpul kecil .Dari cara pengolahan ini dihasilkan kopi asalan (ready) yang siap disalurkan ke pedagang pengumpul besar dengan kadar air 18% tanpa proses sortir. Oleh pedagang pengumpul besar, kopi ready disortir atau dipilih secara manual dan akan dijual ke eksportir untuk disalurkan ke luar negeri. Dalam tataniaga yang dilakukan eksportir, biasanya kopi yang diperdagangkan dalam bentuk kopi ready dengan kadar air 12-13%.

Setiap lembaga tataniaga yang berperan dalam perjalanan rantai tataniaga tersebut, masing-masing melakukan fungsi-fungsi tataniaga sehingga menyebabkan terdapatnya biaya tataniaga dimana semakin panjang rantainya maka semakin tinggi biaya keseluruhan yang dikeluarkan sehingga semakin tinggi pula harga yang dibayarkan konsumen. Jika biaya tataniaga dapat ditekan maka efisiensi pemasaran dapat terjadi.

Secara sistematis kerangka pemikiran dapat digambarkan pada skema kerangka pemikiran berikut :


(31)

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Tataniaga Kopi Arabika

Pengolahan Kopi Beras (Kopi Ready)

Pedagang Pengumpul I

Pedagang Pengumpul II

Eksportir Saluran dan

Fungsi Tataniaga

Struktur Pasar

Perilaku Pasar

Penampilan Pasar

Efisiensi Tataniaga Keterangan :

= Saluran pemasaran = Fungsi pemasaran

Petani Kopi

Harga Dalam Negeri Harga Luar Negeri


(32)

Hipotesis

Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden, harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika Terminal New York mempunyai hubungan saling pengaruh.


(33)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Beranun Teleden Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah yang dipilih secara sengaja (purposive) karena lokasi ini merupakan salah satu sentra produksi kopi arabika dengan luas lahan kopi arabika 74 hektar dan adanya eksportir di ibukota kabupaten Bener Meriah, sehingga daerah ini merupakan daerah yang sangat potensial dalam usaha pengembangan kopi arabika.Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juni 2010.

Teknik Pengambilan Sampel

Menurut Sugiyono (2001) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, dan sampel merupakan sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Dalam hal ini, jumlah populasi petani kopi arabika di Desa Beranun Teleden adalah 132 petani. Menurut Arikunto (2002), apabila populasi kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah populasinya besar dapat diambil sampel antara 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih. sehingga jumlah sampel petani yang diperlukan adalah 33 sampel petani yaitu 25 % dari jumlah populasi. Cara ini digunakan tergantung dari kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana, sempit


(34)

luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, dan besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti.

Sampel petani diperoleh dengan menggunakan teknik sampel acak sederhana yang dalam teknis pelaksanaannya menggunakan undian berupa gulungan kertas bernomor. Teknik sampel acak sederhana adalah pengambilan suatu sampel dengan n elemen dipilih dari suatu populasi N elemen sedemikian rupa sehingga setiap kemungkinan sampel dengan n elemen mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih (Sugiyono, 2001).

Untuk sampel lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga kopi arabika ditentukan dengan metode snow ball sampling.Snow ball sampling adalah sebuah prosedur pengambilan sampel dimana responden pertama dipilih dengan metode probabilitas dan kemudian responden selanjutnya diperoleh dari informasi yang diberikan oleh responden yang pertama. Metode ini digunakan karena target lembaga tataniaga tidak diketahui dengan jelas (Kuncoro,2009). Terdapat 5 sampel pedagang pengumpul I, 3 sampel pedagang pengumpul II, dan 2 eksportir. Tabel 3. Jumlah Sampel Dari Setiap Responden

No Responden Populasi Sampel

1 Petani 132 33

2 Pedagang Pengumpul I 5

3 Pedagang Pengumpul II 3

4 Eksportir 2

Jumlah 43

Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara secara langsung dengan petani dan


(35)

lembaga tataniaga yang terpilih sebagai sampel berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data primer yang diperlukan berupa data kuantitatif dan data kualitatif mengenai volume penjualan dan pembelian, biaya, serta alur pemasaran. Sedangkan data sekunder berupa data perkembangan harga, volume ekspor impor kopi arabika yang diperoleh melalui Bappeda, AEKI, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perdagangan, serta berbagai literatur yang berkaitan dengan kopi arabika.

Metode Analisis Data

Untuk menjawab identifikasi masalah no 1 digunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis yang meliputi pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian (Kuncoro, 2009).

Untuk menjawab identifikasi masalah no 2 digunakan pendekatan struktur pasar, perilaku pasar, dan penampilan pasar sesuai dengan model S-C-P (Structure-Conduct-Performance) yang pertama kali dikembangkan oleh Stifel (1975). Hal ini sejalan dengan Soekartawi (2002) yang menyatakan bahwa dalam mengukur efisiensi tataniaga lebih tepat digunakan pendekatan S-C-P. Hubungan paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah hubungan linier di mana struktur

(structure) suatu pasar akan menentukan bagaimana perilaku para pelaku industri

(conduct) yang pada akhirnya menentukan kinerja (performance) pasar tersebut. • Analisis Struktur Pasar

Struktur pasar dianalisis secara deskriptif yaitu dengan melihat jumlah penjual dan pembeli dalam pasar, ada atau tidaknya diferensiasi produk, dan hambatan untuk masuk pasar.


(36)

Analisis Perilaku Pasar

Perilaku pasar dianalisis secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan elastisitas transmisi harga.

Elastisitas Transmisi Harga

Dalam Masyrofie (1994), analisis elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui respon perubahan harga ditingkat produsen akibat perubahan harga ditingkat eksportir dan model yang digunakan adalah

Kemudian model tersebut diubah menjadi bentuk linear sebagai berikut :

Dimana : = Harga di tingkat petani (Rp/Kg) = Harga di tingkat eksportir (Rp/Kg) = Konstanta

= Elastisitas transmisi harga Dengan hipotesis :

Ho : = 1 H1 : ≠ 1

Pengujian hipotesis: t hitung = -1/Se(


(37)

Jika t hitung ≤ t tabel, maka hipotesisi yang menyatakan bahwa tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden tidak efisien ditolak (tolak H1 dan terima Ho) Jika t hitung > t tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden tidak efisien diterima (terima H1 dan tolak Ho) Nilai koefisien regresi menggambarkan besarnya elastisitas transmisi harga antara harga ditingkat petani dengan harga ditingkat eksportir. Jika η = 1, berarti perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen hanya dibedakan oleh margin tataniaga yang tetap. Jika η > 1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produsen. Jika η <1, persentase kenaikan harga tingkat konsumen lebih kecil dibanding tingkat produsen.

Analisis Penampilan Pasar

Penampilan pasar merupakan penampakan pasar dalam bentuk margin tataniaga dan share keuntungan masing-masing lembaga tataniaga. Penampilan pasar dianalisis dengan menghitung marjin pemasaran dan share keuntungan masing-masing pedagang perantara dan eksportir.

Marjin tataniaga menggunakan rumus sebagai berikut : MP =

Dimana : MP = Marjin tataniaga

= Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) = Harga di tingkat produsen (Rp/kg)


(38)

Share keuntungan masing-masing pedagang perantara dan eksportir, digunakan rumus sebagai berikut :

Dimana: = Share keuntungan (%) = Keuntungan (Rp/kg)

= Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) = Harga di tingkat produsen (Rp/kg)

Share biaya juga dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi tataniaga dengan formulasi sebagai berikut :

Dimana: = Share keuntungan (%) = Keuntungan (Rp/kg)

= Harga di tingkat konsumen (Rp/kg) = Harga di tingkat produsen (Rp/kg)

Sedangkan untuk share harga yang diterima petani menggunakan formulasi sebagai berikut :


(39)

Dimana: = Share harga di tingkat petani = Harga di tingkat produsen (Rp/kg) = Harga di tingkat konsumen (Rp/kg)

Apabila share keuntungan dan marjin tataniaga pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat semakin merata dan lebih kecil dari 50%, maka tataniaga dikatakan efisien (Nazari dan Wedastra dalam Ananda,dkk, 2009)

Untuk menjawab identifikasi masalah no 3, digunakan uji Kausalitas Granger yang berguna untuk mengindikasikan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau hanya satu arah saja (Nachrowi dan Usman, 2006). Data yang digunakan adalah data dari tahun 2004-2009 sehingga terdapat 72 observasi. Tahap-tahap yang dilakukan adalah

1). Sebagai tahap awal dalam analisis data time series dilakukan uji stasionaritas. Hal ini dikarenakan pada data time series terdapat suatu permasalahan yaitu autokorelasi dimana autokorelasi merupakan penyebab yang mengakibatkan data menjadi tidak stasioner, sehingga bila data dapat distasionerkan maka autokorelasi akan hilang dengan sendirinya. Uji stasionaritas pertama kali dilakukan terhadap data awal (data tingkat level). Jika data awal tidak stasioner, maka dilakukan uji stasionaritas menggunakan data difference tingkat pertama. Secara operasional, suatu data series dikatakan stasioner jika data tersebut tidak mengandung unsur trend (tidak ada autokorelasi antara error term tahun t dengan error term tahun t-1). Pengujian stasionaritas dilakukan dengan menggunakan uji unit root test, yaitu metode Augmented Dickey Fuller test (ADF test). Model yang digunakan untuk melakukan uji ADF adalah


(40)

1. Model dengan intercept ( ) dan trend ( )

Atau dapat ditulis dengan

Dimana : : Intercept : Trend

m : Panjang lag yang digunakan Dengan hipotesis

: = 0 : ≠ 0

Jika tidak menolak hipotesis = 0, maka = 1. Artinya terjadi unit root, dimana data time series tidak stasioner.

2. Model yang hanya intercept ( ) saja

Dimana : : Intercept

m : Panjang lag yang digunakan Dengan hipotesis

: = 0 : ≠ 0


(41)

Jika tidak menolak hipotesis = 0, maka = 1. Artinya terjadi unit root, dimana data time series tidak stasioner.

3. Model tanpa intercept ( ) dan trend ( )

Dimana : m : Panjang lag yang digunakan Dengan hipotesis

: = 0 : ≠ 0

Jika tidak menolak hipotesis = 0, maka = 1. Artinya terjadi unit root, dimana data time series tidak stasioner.

(Nachrowi dan Usman,2006)

2). Setelah data stasioner, maka dilakukan uji Kausalitas Granger dimana uji ini hanya menguji hubungan diantara variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model.

Model yang digunakan untuk uji ini adalah Model 1


(42)

= Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden Dengan hipotesis :

(i) : = 0 (Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika nasional (kopnas))

: ≠ 0 (Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika nasional (kopnas))

(ii) : = 0 (Harga kopi arabika nasional (kopnas) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP)

: ≠ 0 (Harga kopi arabika nasional (kopnas) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP)

diterima jika nilai probabilitas lebih besar daripada nilai α 5%, sedangkan ditolak jika nilai probabilitas lebih kecil daripada nilai α 5%.

Model 2

Dimana : = Harga kopi arabika terminal New York = Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden


(43)

Dengan hipotesis yaitu :

(i) : = 0 (Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika terminal New York (NY))

: ≠ 0 (Harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika terminal New York (NY))

(ii) : = 0 (Harga kopi arabika terminal New York (NY) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP))

: ≠ 0 (Harga kopi arabika terminal New York (NY) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP))

diterima jika nilai probabilitas lebih besar daripada nilai α 5%, sedangkan ditolak jika nilai probabilitas lebih kecil daripada nilai α 5%.

Model 3 :

Dimana : = Harga kopi arabika terminal New York = Harga kopi arabika nasional


(44)

(i) : = 0 (Harga kopi arabika nasional (kopnas) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika terminal New York (NY))

: ≠ 0 (Harga kopi arabika nasional (kopnas) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika terminal New York (NY))

(ii) : = 0 (Harga kopi arabika terminal New York (NY) tidak memengaruhi (tidak menyebabkan) harga kopi arabika nasional (kopnas))

: ≠ 0 (Harga kopi arabika terminal New York (NY) memengaruhi (menyebabkan) harga kopi arabika nasional (kopnas))

diterima jika nilai probabilitas lebih besar daripada nilai α 5%, sedangkan ditolak jika nilai probabilitas lebih kecil daripada nilai α 5%.

(Nachrowi dan Usman, 2006) Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka penulis membuat definisi operasional sebagai berikut :

1. Petani kopi arabika adalah petani yang mengusahakan tanaman kopi arabika sebagai mata pencarian utama.

2. Produksi kopi arabika adalah hasil usahatani kopi arabika.

3. Tataniaga adalah suatu kegiatan yang menyalurkan hasil usahatani kopi arabika dari petani kopi arabika ke konsumen.

4. Lembaga tataniaga adalah orang atau badan usaha yang ikut berperan dalam menyalurkan hasil usahatani kopi arabika dari petani kopi arabika sampai ke konsumen.


(45)

5. Pedagang pengumpul I adalah pedagang yang mengumpulkan gelondongan yang berasal dari petani dan kemudian disalurkan kembali ke orang lain.

6. Pedagang pengumpul II adalah pedagang yang membeli kopi ready yang berasal dari pedagang pengumpul dan akan disalurkan kembali.

7. Eksportir sebagai konsumen yang membeli kopi ready dari pedagang pengumpul I dan II.

8. Biaya tataniaga adalah semua ongkos yang dikeluarkan dalam kegiatan penyampaian barang dari produsen ke konsumen.

9. Harga kopi arabika di Desa Beranun Teleden adalah harga kopi arabika di Desa Beranun Teleden setelah dibagi dengan indeks harga konsumen dari tahun 2004-2009.

10. Harga kopi arabika nasional adalah harga kopi arabika nasional setelah dibagi dengan indeks harga konsumen dari tahun 2004-2009

11. Harga kopi arabika terminal New York adalah harga kopi arabika pada terminal New York yang sudah diubah menjadi rupiah/kilogram dan dibagi dengan indeks harga konsumen dari tahun 2004-2009


(46)

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN SAMPEL PENELITIAN

Deskripsi Daerah Penelitian

Daerah penelitian dilakukan di Desa Beranun Teleden Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah. Secara administratif, Desa Beranun Teleden mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah utara berbatasan dengan Dusun Pondok Keramat Sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Hakim Wih Ilang Sebelah timur berbatasan dengan Dusun Tanjung Beringin Sebelah barat berbatasan dengan Dusun Tawar Sedenge

Luas Desa Beranun Teleden secara keseluruhan adalah 129 hektar, dengan luas kebun kopi arabika adalah 74 hektar, hortikultura 33 hektar dan palawija dengan luas 1 hektar, dan berpenduduk 303 jiwa yang terdiri dari laki-laki 143 orang dan perempuan 160 orang. Kelompok umur 0-5 tahun berjumlah 33 orang, 6-12 tahun berjumlah 51 orang, 13-15 tahun berjumlah 31 orang, 16-18 tahun berjumlah 16 orang, 19-25 tahun berjumlah 41 orang, 26-40 tahun berjumlah 46 orang, sedangkan 41 tahun berjumlah 85 orang. Penduduk berprofesi sebagai petani kopi arabika dengan jumlah 132 orang dan pedagang berjumlah 12 orang

Sarana dan prasarana di Desa Beranun Teleden terdiri dari 1 buah musholla dan jalan desa aspal kasar sepanjang 2 km.


(47)

Karakterisrik Responden Sampel Penelitian

1. Petani

Karakteristik petani jika dilihat dari tingkat pendidikannya yaitu sebanyak 5 orang lulusan SD (%), 2 orang tidak lulus SD (%), 6 orang lulusan SMP/sederajat (%), 19 orang lulusan SMA/sederajat (%), 1 orang sarjana. Apabila ditinjau dari lamanya berusaha, 12.5% telah menggeluti usahatani kopi arabika selama tahun 0-5 tahun, 30-5% telah menggeluti usahatani kopi arabika selama 6-10 tahun, dan 0-52.0-5 % telah menggeluti usahatani kopi arabika selama >10 tahun.

Sebanyak 67.5% mengungkapkan bahwa alasan menggeluti usahatani kopi arabika karena tradisi yang berasal dari warisan orang tua, sedangkan sisanya 32.5% mengaku merintis usahatani kopi arabika dari mereka sendiri dan bukan dari orang tuanya. Dan sebanyak 40% luas lahan yang dikelola petani <0.5 hektar , dan sisanya yaitu 60% memiliki luas lahan >0.5 hektar

Sebanyak 100% mengakui bahwa iklim yang cocok mendukung untuk mengusahakan usahatani kopi arabika. Sementara untuk perawatan sebanyak 100% menyatakan bahwa perawatan kopi arabika cukup mudah. Dari segi bantuan permodalan, sebanyak 75% pernah memperoleh bantuan permodalan untuk usahataninya.

2. Pedagang Pengumpul

Pada pedagang pengumpul I, tingkat pendidikan terakhir adalah SMA dengan lamanya usaha 24 tahun. Alasan untuk menjadi pedagang pengumpul I karena memiliki keuntungan yang baik. Sedangkan pada pedagang pengumpul II, tingkat


(48)

pendidikan terakhir yang ditempuh oleh 3 pedagang pengumpul II adalah SMA. Sebanyak 25% alasan untuk menjadi pedagang pengumpul II karena keuntungan yang baik, sebanyak 35% untuk mencari tambahan penghasilan, dan sebanyak 40% karena warisan orang tua.

3. Eksportir

Eksportir terletak di ibukota kabupaten yaitu Simpang Tiga dan eksportir mengirimkan kopi ready ke luar negeri melalui Pelabuhan Belawan


(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Saluran Tataniaga

Dalam saluran tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden, dilibatkan petani sebagai produsen, pedagang pengumpul I, pedagang pengumpul II, dan eksportir. Lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga kopi arabika berfungsi untuk mempermudah penyaluran kopi gelondongan dari produsen sampai ke konsumen dalam bentuk kopi ready.

Produsen merupakan pihak pertama dari alur tataniaga kopi arabika. Produsen menjual kopi gelondongan atau cerri ke pedagang pengumpul I. Oleh pedagang pengumpul I, kopi gelondongan yang sudah diolah akan dijual dalam bentuk kopi ready ke pedagang pengumpul II yang kemudian akan dijual lagi ke eksportir atau pedagang pengumpul I langsung menjual kepada eksportir.

Gambar 4. Saluran Tataniaga Kopi Arabika di Desa Beranun Teleden. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 2 saluran tataniaga kopi arabika di desa Beranun Teleden yaitu petani – pedagang pengumpul I – pedagang pengumpul II – eksportir, dan petani – pedagang pengumpul I - eksportir. Untuk saluran I, hal

Petani

(gelondongan)

Pedagang pengumpul I (kopi ready)

Pedagang Pengumpul I (kopi ready)

Pedagang Pengumpul II (kopi ready)

Eksportir (kopi ready)

Eksportir (kopi ready)


(50)

ini sesuai dengan hasil penelitian Targeted Study of The Arabica Coffee Production Chain in North Sumatera (The Mandheling Coffee) oleh Wayan R Susila dari Food and Organization United Nations yang melakukan penelitian di Tapanuli Utara (Siborong-Borong, Pangribuan), Humbang Hasundutan (Lintong Nihuta, Dolok Sanggul), Toba Samosir (Muara) yang menyatakan bahwa untuk saluran tataniaga kopi mandailing, saluran tataniaga I terdiri dari petani–pedagang pengumpul I– pedagang pengumpul II–eksportir. Ternyata meskipun berbeda tempat dan metode penelitian, saluran tataniaga yang terjadi adalah sama.

1. Saluran I : Petani – Pedagang Pengumpul I – Pedagang Pengumpul II – Eksportir

Pada saluran I, petani menjual kopi dalam bentuk gelondongan yang sudah masak dan berwarna merah kepada pedagang pengumpul I. Pada umumnya, harga jual petani kepada pedagang pengumpul I berkisar Rp 4167 – Rp 4250 per kilogram. Biasanya, saluran I ini juga disebut saluran tataniaga konvensional karena petani bebas mau menjual kepada pedagang pengumpul I yang dikehendakinya, tetapi karena di Desa Batang Beranun hanya ada 1 pedagang pengumpul I, dan pedagang pengumpul lain yang berada di luar desa jaraknya cukup jauh, maka petani kopi arabika di desa ini hanya menjual gelondongan kepada satu – satunya pedagang pengumpul I yang terdapat di desa tersebut.

Oleh pedagang pengumpul I, kopi gelondongan diolah menjadi kopi ready. Gelondongan dimasukkan ke mesin pulper atau pengupas untuk memisahkan biji kopi dengan kulit buah dan kuli arinya. Pada umumnya, pulper yang digunakan adalah vis pulper yang tidak mengikutsertakan proses pencucian sehingga masih


(51)

perlu dilakukan proses fermentasi untuk menghilangkan lendir. Fermentasi dilakukan 1 malam dan dilakukan pencucian. Kemudian biji kopi dijemur dibawah sinar matahari langsung selama 8 jam dan biji kopi ini disebut gabah. Gabah akan dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya dengan menggunakan huller. Gabah yang sudah dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya ini disebut labu dan labu akan dijemur sampai memiliki kadar air 18%. Labu yang sudah memiliki kadar air 18% disebut asalan atau kopi ready.

Kemudian pedagang pengumpul I menjual kopi ready kepada pedagang pengumpul II. Pada umumnya harga jual pedagang pengumpul I kepada pedagang pengumpul II berkisar Rp 20.000 - Rp 27.000 per kilogram. Oleh pedagang pengumpul II, kopi ready dijual kembali kepada eksportir dengan harga Rp 28.000- Rp 30.000 per kilogram. Sedangkan eksportir menjual kopi ready dengan harga Rp 30.000 – Rp 33.000 per kilogramnya.

2. Saluran II : Petani – Pedagang Pengumpul I – Eksportir

Pada saluran II, petani menjual kopi gelondongan kepada pedagang pengumpul I. Harga jual kopi gelondongan ke pedagang pengumpul I berkisar Rp 4333 – Rp 4583 per kilogram. Harga jual ini memang lebih tinggi daripada harga jual yang terdapat pada saluran tataniaga I. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul I sudah terikat kontrak dengan eksportir. Harga jual kopi gelondongan yang lebih tinggi ini bertujuan agar para petani menjual kopi gelondongannya kepada pedagang pengumpul yang sudah terikat kontrak, bukan kepada pedagang pengumpul yang lain. Kemudian pedagang pengumpul ini akan menjual kopi ready ke eksportir sesuai dengan kontrak. Harga jual pedagang pengumpul kepada


(52)

eksportir berkisar Rp 25.000 – Rp 27.000 per kilogramnya, dan oleh eksportir dijual kembali dengan harga Rp 30.000 – Rp 33.000. Saluran tataniaga seperti ini disebut saluran tataniaga berkelompok karena eksportir merangkul petani dan pedagang pengumpul tetap yang pada akhirnya menguntungkan ketigabelah pihak, petani memperoleh harga jual yang lebih tinggi, pedagang pengumpul tidak sulit untuk menjual kopinya, dan eksportir akan terjamin pasokannya. Selain itu, untuk mendukung agar semakin lancarnya kerjasama ini, eksportir juga memberikan insentif kepada petani dan pedagang pengumpul berupa alat-alat pertanian.

Dalam pelaksanaannya, saluran tataniaga berkelompok ini menggunakan konsep

fair trade. Dengan menggunakan fair trade, dilakukan upaya untuk menjembatani hubungan yang lebih langsung antara produsen dan konsumen sehingga rantai tataniaga menjadi lebih singkat.

Fungsi – Fungsi Tataniaga

Lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam proses penyampaian kopi arabika dari produsen sampai ke konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi pelancar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pelaku tataniaga dapat diuraikan secara berikut :


(53)

Dalam melakukan kegiatan tataniaga, petani kopi arabika melakukan fungsi pertukaran yaitu kegatan penjualan dengan menjual kopi arabika gelondong kepada satu-satunya pedagang pengumpul yang ada di Desa Beranun Teleden. Petani juga melakukan fungsi fisik pengangkutan yaitu pengangkutan dari lokasi produsen atau kebun kopi ke pedagang pengumpul I. Model transportasi yang mereka gunakan pada umumnya adalah sepeda motor atau hanya berjalan kaki. Ketika proses pemetikan kopi gelondong dilakukan, proses penyortiran pun juga ikut dilaksanakan, karena kopi gelondong yang dapat dipetik hanyalah kopi gelondong yang sudah berwarna merah. Oleh sebab itu, sortasi sebagai fungsi fasilitas hanya dapat dilakukan di kebun kopi saja.

b. Pedagang Pengumpul I

Pedagang pengumpul I membeli kopi gelondong dari petani yang datang langsung ke pedagang pengumpul I. Pembayaran dilakukan secara tunai sehingga petani langsung memperoleh uang. Inilah salah satu alasan mengapa para petani tidak mau mengolah kopi gelondongan, disamping cukup mahalnya mesin pengolah. Padahal dengan sedikit pengolahan saja, misalnya mengolah kopi gelondong menjadi gabah, harga jual akan menjadi lebih tinggi. Oleh pedagang pengumpul I, kopi gelondong diolah menjadi kopi ready. Kemudian dikemas menggunakan karung 108 kg dan dijual ke pedagang pengumpul II atau ke eksportir. Oleh sebab itu, fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul I adalah fungsi pertukaran yaitu penjualan dan pembelian, fungsi fisik yaitu pengangkutan, penyimpanan, dan pengemasan.


(54)

c. Pedagang Pengumpul II

Pada pengumpul II, kopi ready yang telah dibeli dari pedagang pengmpul I dilakukan pengemasan ulang, yaitu pengemasan dengan menggunakan karung 100 kg. Sebelum dikemas, dipilh berdasarkan bentuk fisiknya yaitu kopi ready bulat, kopi ready pecah atau setengah, dan kopi ready yang cacat. Kopi ready juga dipisahkan dari sampah-sampah, batu-batuan kecil atau sisa-sisa kulit ari, dan kopi ready siap untuk dijual ke eksportir. Oleh sebab itu, fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul II adalah fungsi pertukaran yaitu penjualan dan pembelian, fungsi fisik yaitu pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan, serta fungsi pelancar yaitu penyortiran.

d. Eksportir

Setelah tiba di tangan eksportir, kopi ready disortir kembali.

Tabel 4. Fungsi – Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Oleh Lembaga Tataniaga Pada Setiap Saluran Tataniaga Kopi Arabika Di Beranun Teleden, 2010 Pelaku

Tataniaga Fungsi Tataniaga

Pertukaran Fisik Pelancar

Jual Beli Angkut Simpan Kemas Resiko Grading Standar Saluran I

Petani v v v v v

P.Pengumpul I v v v v v v

P.Pengumpul II v v v v v v v v

Eksportir v v v v v v v v

Saluran II

Petani v v v v v

P.Pengumpul I v v v v v v

Eksportir v v v v v v v v


(55)

Analisis Struktur Pasar

Analisis struktur pasar dapat dianalisis secara kualitatif yaitu dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk dan hambatan keluar masuk pasar (Suherty,dkk,2009)

a. Jumlah Penjual dan Pembeli Dalam Pasar

Pada daerah penelitian, penduduk yang sebagian besar bermatapencarian petani sudah tentu menggambarkan bahwa jumlah petani sebagai penjual sangat banyak dibandingkan pembeli hasil atau pedagang pengumpul. Keadaan ini juga menggambarkan bahwa petani kopi arabika sebagai penjual lebih banyak daripada pembeli hasil atau pedagang pengumpul.

Tabel 5. Jumlah Penjual, Jumlah Pembeli, Diferensiasi Produk, Hambatan Keluar Masuk, dan Struktur Pasar

Tingkat Pasar Jumlah Penjual Jumlah Pembeli Diferensiasi Produk Hambatan Keluar Masuk Pasar Struktur Pasar

Petani 33 5 tidak ada Ada Oligopoli

PP I 5 4* ada Ada Oligopoli

PP II 3 1 tidak ada Ada Monopsoni

Eksportir 2

Keterangan : *) terdiri dari 3 PP II, 1 eksportir.

Melihat jumlah penjual dan pembeli tidak sebanding dan tingkat pasar yang mengarah pada pasar oligopoli dan monopsoni, maka tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden adalah tidak efisien, karena menurut Sukirno (2002) struktur pasar yang ideal dan efisien adalah pasar persaingan sempurna yang didefenisikan sebagai struktur pasar atau industri dimana terdapat banyak


(56)

penjual dan pembeli dan setiap penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar.

Pasar oligopoli merupakan pasar yang hanya terdiri dari sedikit perusahaan ayang menghasilkan produk homogen atau terdiferensiasi, sehingga aktivitas sebuah perusahaan dapat memengaruhi perusahaan lainnya. Perusahaan tidak bebas menentukan harga produknya karena harus memerhatikan tindakan dari perusahaan pesaing yang dapat memengaruhi perusahaan bersangkutan. Sedangkan pasar monopsoni merupakan pasar yang hanya terdiri dari satu pembeli.

b. Diferensiasi Produk

Terdapat perubahan bentuk yang dapat menciptakan nilai tambah dari kopi arabika, meskipun perubahan ini hanya dilakukan oleh pedagang pengumpul I. Sedangkan pada petani, pedagang pengumpul II dan eksportir tidak terjadi perubahan bentuk.

c. Hambatan Keluar Masuk

Pada umumnya hambatan yang dihadapi oleh sebagian besar petani adalah kurangnya modal dalam berusahatani. Petani dan pedagang pengumpul memiliki hubungan dalam bentuk langganan dan terikat karena petani sebelumnya telah berhutang dengan pedagang baik dalam bentuk barang maupun uang. Selain itu, dalam penerimaan informasi harga, petani hanya memperolehnya dari sesama petani dan pedagang pengumpul.


(57)

Dilihat dari jumlah penjual dan pembeli yang tidak sebanding, diferensiasi produk yang hanya dilakukan oleh 1 pelaku tataniaga, dan hambatan keluar masuk yng cukup besar, maka struktur tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini sesuai dengan Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang Sulawesi Selatan oleh Ima Aisyah Sallatu yang menyatakan bahwa banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar.

Elastisitas Transmisi Harga

Dalam analisis perilaku pasar, digunakan analisis transmisi harga yang dilakukan untuk mengetahui persentasi perubahan harga ditingkat produsen akibat perubahan harga ditingkat eksportir. Dapat dilihat dari hasil regresi linear sederhana pada tabel 6 dan 7

Tabel 6. Hasil Regresi Antara Harga di Tingkat Petani Yang Fair Trade Dengan Harga Eksportir

No Variabel Koefisien se t stat sig t 1 C 10.19901 0.497631 20.49512 0.000

2 LOG(EKSPORTIR) -0.177146 0.049056 -3.61107 0.0005 0.146450 Sumber : Olah Data Sekunder (Lampiran 10)


(58)

Tabel 7. Hasil Regresi Antara Harga di Tingkat Petani Yang Bukan Fair Trade Dengan Harga Eksportir

No Variabel Koefisien se t stat sig t 1 C 8.976624 0.174968 51.30438 0.000

2 LOG(EKSPORTIR) -0.062285 0.017248 -3.61107 0.0005 0.146450 Sumber : Olah Data Sekunder (Lampiran 11)

Persaman regresi linear sederhana dapat ditulis sebagai berikut :

Log Pf = + Log Pr

1. Log Pf = 10.19901 – 0.177146 Log Pr 2. Log Pf = 8.976624 – 0.062285 Log Pr

Untuk persamaan regresi pertama, diperoleh elastisitas transmisi harga kopi arabika yang bernilai -0.177146 (<1) yang menunjukkan bahwa jika terjadi perubahan harga pada eksportir sebesar 1% maka akan mengakibatkan perubahan harga pada petani sebesar 0.177146%. Hasil perhitungan menunjukkan t hitung = -3.61107 lebih dari t α/2 = -1.99167. Dengan demikian Ho : β = 1 ditolak, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden yang menggunakan fair trade tidak efisien diterima.

Untuk persamaan regresi kedua, elastisitas transmisi harga kopi arabika yang bernilai 0.062285 (<1) menunjukkan bahwa jika terjadi perubahan harga pada eksportir sebesar 1% maka akan mengakibatkan perubahan harga pada petani sebesar 0.062285%. Hasil perhitungan menunjukkan t hitung = -3.61107 lebih dari t α/2 = -1.99167. Dengan demikian Ho : β = 1 ditolak, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden yang


(59)

menggunakan fair trade tidak efisien diterima. Hal ini sesuai dengan Suherty,dkk (2009) yang menyatakan bahwa untuk hasil-hasil pertanian umumnya elastisitas transmisi harga adalah <1 (inelastis) yang artinya apabila terjadi perubahan harga 1% ditingkat eksportir, maka akan mengakibatkan perubahan harga yang kurang dari 1% di tingkat produsen atau dapat juga diartikan bahwa perubahan harga ditingkat produsen sebesar 1.77% dan 0.62% dipengaruhi oleh perubahan harga ditingkat eksportir.

Menurut Suharyanto,dkk (2005) selain menunjukkan besarnya perubahan harga ditingkat petani dan konsumen, nilai elastisitas transmisi harga juga dapat menyatakan tingkat kompetisi suatu pasar, penampakan atau struktur pasar yang terbentuk. Nilai elastisitas transmisi harga (η) sebesar 0.177146 dan 0.062285 (<1) baik pada saluran konvensional maupun berkelompok mengindikasikan bahwa transmisi harga yang terbentuk antara pasar petani dengan pasar konsumen lemah sehingga struktur pasar yang terbentuk bukan pasar persaingan sempurna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi Di Kabupaten Tanggamus Lampung oleh Yuda Pranata, Hurip Santoso dan Benyamin Widyamoko yang memperoleh hasil bahwa analisis elatisitas transmisi harga kopi di Kabupaten Tanggamus adalah Et ≠ 1(Et <1 atau Et >1), sehingga menunjukkan bahwa pasar adalah pasar tidak bersaing sempurna.

Analisis Penampilan Pasar

Penampilan pasar adalah rangkaian analisis S-C-P (Structure-Conduct

-Performance). Dalam penelitian ini untuk mengetahui penampilan pasar dalam tataniaga kopi arabika digunakan analisis marjin tataniaga, distribusi marjin, share harga yang diterima petani, serta ratio keuntungan dan biaya.


(60)

Marjin tataniaga sering digunakan sebagai indikator efisiensi tataniaga. Besarnya marjin tataniaga pada berbagai saluran tataniaga dapat berbeda, karena tergantung pada panjang pendeknya saluran tataniaga dan aktivitas-aktivitas yang telah dilaksanakan serta keuntungan yang diharapkan oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga. Pada tabel berikut ini dapat dilihat hasil analisis marjin, distribusi marjin, share harga petani serta ratio keuntungan dan biaya.


(61)

Tabel 8. Biaya dan Harga, Distribusi Marjin, Share Harga, dan Ratio K/B

Sumber : Olah Data Sekunder (Lampiran 7, 8, 9) Distribusi Marjin Pemasaran

Pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa marjin terbesar terdapat pada saluran tataniaga 1 yaitu Rp 23892.1, sedangkan pada saluran tataniaga 2 sebesar Rp. 23642.6, Perbedaan marjin kedua saluran ini cukup tipis. Hal ini dikarenakan

Pelaku tataniaga Biaya dan harga (Rp/Kg)

Distribusi

marjin (%) Share harga (%) Ratio (K/B) I.Petani (gelondongan)

Harga Jual 4208.5 14.97654854

PP I (gelondongan-gabah-labu-ready)

17.51937262 Biaya Tataniaga 1052 4.403129068

Harga Beli 4208.5

Harga Jual 23690.88

Keuntungan 18430.38 77.14005885

PP II(ready) 0.21537931

Biaya Tataniaga 1160 4.855161329

Harga Beli 23690.88

Harga Jual 25100.72

Keuntungan 249.84 1.045701299

Eksportir (ready) 0.052589474

Biaya Tataniaga 2850 11.92862913

Harga Beli 25100.72

Harga Jual 28100.6

Keuntungan 149.88 0.627320328

Marjin 23892.1 100

II.Petani (gelondongan)

Harga Jual 4458 15.86442994

PP I (gelondongan-gabah-labu-ready)

17.28220532 Biaya Tataniaga 1052 4.449595222

Harga Beli 4458

Harga Jual 23690.88

Keuntungan 18180.88 76.89881823

Eksportir (ready) 0.547270175

Biaya Tataniaga 2850 12.05451177

Harga Beli 23690.88

Harga Jual 28100.6

Keuntungan 1559.72 6.597074772


(62)

dalam penetapan harga kopi arabika di tingkat eksportir, ditetapkan berdasarkan harga kopi internasional. Dari harga kopi internasional inilah eksportir menetapkan harga dan akan menjadi dasar penentuan harga yang akan ditetapkan kepada pedagang perantara dan secara berantai akhirnya kepada petani produsen. Jadi menurut penulis, sepanjang apapun saluran tataniaga yang terjadi, jika harga di tingkat eksportir masih ditetapkan oleh harga internasional, maka perbedaan marjin antara saluran tataniaga yang satu dengan yang lainnya hanyalah memilki selisih atau perbedaan yang sedikit. Dalam hal ini saluran tataniaga II yang menggunakan konsep fair trade lebih efisien jika dibandingkan dengan saluran tataniaga I yang menggunakan tataniaga konvensional. Lebih pendeknya saluran tataniaga dan marjin yang lebih rendah dapat menunjukkan bahwa saluran tataniaga II lebih efisien daripada saluran tataniaga I. Akan tetapi, jika dilihat dari share keuntungan baik pada saluran tataniaga I dan II, share keuntungan belumlah merata. Pada saluran tataniaga I keuntungan yang paling besar diterima oleh pedagang pengumpul I yaitu sebesar 77.14 %. Begitu juga dengan saluran tataniaga II, keuntungan yang paling besar diterima oleh pedagang pengumpul II dengan persentase 76.89%. sehingga dapat dikatakan bahwa pasar tidak efisien. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nazari and Wedastra (1998) yang menyatakan bahwa jika share keuntungan melebihi 50%, maka pasar cenderung tidak efisien. Selain itu, karena hanya terdapat satu pedagang pengumpul di desa Beranun Teleden, maka semua kopi gelondong dibeli oleh pedagang pengumpul ini. Dalam diferensiasi produkpun, hanya pedagang pengumpul satulah yang melakukan perubahan produk dari kopi gelondong menjadi kopi


(63)

ready, sehingga nilai jual yang diperoleh pedagang pengumpul I lebih tinggi daripada pelaku tataniaga yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kotler (2003) yang menyatakan bahwa tataniaga atau pemasaran merupakan pertambahan nilai dari suatu produk sehingga harga jual yang diperoleh dapat menjadi lebih tinggi.

Share Harga yang Diterima Petani

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa share harga yang diterima petani yang paling besar adalah 15.86% pada saluran 2, sedangkan pada saluran 1 yaitu 14,976%. Melihat kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa share harga yang diterima petani masih relatif kecil. Tipisnya perbedaan persentase antara saluran tataniaga 1 dan 2 disebabkan karena adanya penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul, sedangkan petani hanyalah sebagai penerima harga. Hal ini sesuai dengan Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang Sulawesi Selatan oleh Ima Aisyah Sallatu yang menyatakan bahwa praktek penentuan harga didominasi oleh eksportir dan pedagang besar.

Dari analisis penampilan pasar secara keseluruhan ternyata tataniaga kopi arabika di Desa Beranun Teleden Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah belum berjalan efisien. Hal ini bisa dilihat dari distribusi marjin dan pembagian keuntungan yang belum merata, serta pembagian share harga yang diterima petani masih relatif rendah.

Tataniaga dengan menggunakan konsep fair trade belum banyak membantu, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya fair trade, saluran


(64)

tataniaga menjadi lebih pendek dan marjin tataniaga juga menjadi lebih rendah.

Analisis Hubungan Saling Pengaruh (Kaulitas) Antara Harga Kopi Arabika Desa Beranun Teleden, Harga Kopi Arabika Nasional, dan Harga Kopi Arabika Terminal New York.

Uji Root

Hasil yang diperoleh dari uji root menunjukkan bahwa data harga kopi arabika Desa Beranun Teleden (DP), harga kopi arabika nasional (kopnas),dan harga kopi arabika terminal New York (NY) tidak stasioner pada data level (data awal) Tabel 9. Hasil Uji ADF Data Level

Variabel Tanpa Intercept dan Trend Dengan Intercept Dengan Intercept dan Trend

DP 0.190863 -2.544717 -2.508411

Prob 0.7388 0.1095 0.3234

Kopnas 0.576178 -1.543578 -2.12335

Prob 0.8385 0.5059 0.5239

NY 0.933034 -1.959943 -2.577913

Prob 0.905 0.3036 0.2915

Sumber : Olah Data Sekunder (Lampiran 4,5,6,10,11,12,16,17,18)

Karena hasil pengujian menunjukkan data level tidak stasioner, maka harus dilakukan tahap pengujian selanjutnya yaitu pengujian terhadap data perbedaan tingkat pertama. Hasilnya adalah sebagai berikut

Tabel 10. Hasil Uji ADF Data Pembedaan Pertama

Variabel Tanpa Intercept dan Trend Dengan Intercept Dengan Intercept dan Trend

DP -9.761625 -9.735643 -9.715002

Prob 0.0000 0.0000 0.0000

Kopnas -7.510477 -7.534152 -7.478494

Prob 0,0000 0.0000 0.0000

NY -6.050940 -6.080088 -6.035565

Prob 0.0000 0.0000 0.0000


(1)

Null Hypothesis: NY has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.959943 0.3036 Test critical values: 1% level -3.527045

5% level -2.903566

10% level -2.589227

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NY)

Method: Least Squares Date: 11/19/10 Time: 15:44

Sample (adjusted): 2004M03 2009M12 Included observations: 70 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. NY(-1) -0.085420 0.043583 -1.959943 0.0542 D(NY(-1)) 0.319908 0.118305 2.704085 0.0087

C 1690.202 816.6208 2.069751 0.0423

R-squared 0.124730 Mean dependent var 139.4734 Adjusted R-squared 0.098603 S.D. dependent var 1212.960 S.E. of regression 1151.608 Akaike info criterion 16.97762 Sum squared resid 88855468 Schwarz criterion 17.07398 Log likelihood -591.2166 F-statistic 4.773905 Durbin-Watson stat 2.040132 Prob(F-statistic) 0.011528

Lampiran 17. Hasil Uji Root Untuk Harga Kopi Arabika Terminal New York

(Data Tidak Stasioner Dengan Intersep)


(2)

Null Hypothesis: NY has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.577913 0.2915 Test critical values: 1% level -4.094550

5% level -3.475305

10% level -3.165046

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NY)

Method: Least Squares Date: 11/19/10 Time: 15:45

Sample (adjusted): 2004M03 2009M12 Included observations: 70 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. NY(-1) -0.136767 0.053053 -2.577913 0.0122 D(NY(-1)) 0.346377 0.117891 2.938098 0.0045

C 2137.540 850.3657 2.513671 0.0144

@TREND(2004M01) 13.71993 8.292671 1.654464 0.1028 R-squared 0.159585 Mean dependent var 139.4734 Adjusted R-squared 0.121384 S.D. dependent var 1212.960 S.E. of regression 1136.962 Akaike info criterion 16.96555 Sum squared resid 85317069 Schwarz criterion 17.09404 Log likelihood -589.7943 F-statistic 4.177543 Durbin-Watson stat 2.085978 Prob(F-statistic) 0.009054

Lampiran 18. Hasil Uji Root Untuk Harga Kopi Arabika Terminal New York

(Data Tidak Stasioner Dengan Intersep dan Trend)


(3)

Null Hypothesis: D(NY) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.050940 0.0000 Test critical values: 1% level -2.598416

5% level -1.945525

10% level -1.613760

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NY,2)

Method: Least Squares Date: 11/19/10 Time: 15:46

Sample (adjusted): 2004M03 2009M12 Included observations: 70 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(NY(-1)) -0.714356 0.118057 -6.050940 0.0000 R-squared 0.346087 Mean dependent var 43.23144 Adjusted R-squared 0.346087 S.D. dependent var 1449.761 S.E. of regression 1172.348 Akaike info criterion 16.98559 Sum squared resid 94833522 Schwarz criterion 17.01771 Log likelihood -593.4955 Durbin-Watson stat 1.996638

Lampiran 19. Hasil Uji Root Untuk Harga Kopi Arabika Terminal New York

(Data Stasioner Tanpa Intersep dan Trend)


(4)

Null Hypothesis: D(NY) has a unit root Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.080088 0.0000 Test critical values: 1% level -3.527045

5% level -2.903566

10% level -2.589227

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NY,2)

Method: Least Squares Date: 11/19/10 Time: 15:47

Sample (adjusted): 2004M03 2009M12 Included observations: 70 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(NY(-1)) -0.722057 0.118758 -6.080088 0.0000

C 112.7236 140.9539 0.799720 0.4267

R-squared 0.352180 Mean dependent var 43.23144 Adjusted R-squared 0.342653 S.D. dependent var 1449.761 S.E. of regression 1175.422 Akaike info criterion 17.00480 Sum squared resid 93949907 Schwarz criterion 17.06904 Log likelihood -593.1679 F-statistic 36.96747 Durbin-Watson stat 1.999174 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 20. Hasil Uji Root Untuk Harga Kopi Arabika Terminal New York

(Data Stasioner Dengan Intersep )


(5)

Null Hypothesis: D(NY) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.035565 0.0000 Test critical values: 1% level -4.094550

5% level -3.475305

10% level -3.165046

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NY,2)

Method: Least Squares Date: 11/19/10 Time: 15:48

Sample (adjusted): 2004M03 2009M12 Included observations: 70 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(NY(-1)) -0.721947 0.119616 -6.035565 0.0000

C 68.39092 292.4550 0.233851 0.8158

@TREND(2004M01) 1.214305 7.003375 0.173389 0.8629 R-squared 0.352471 Mean dependent var 43.23144 Adjusted R-squared 0.333142 S.D. dependent var 1449.761 S.E. of regression 1183.895 Akaike info criterion 17.03292 Sum squared resid 93907770 Schwarz criterion 17.12928 Log likelihood -593.1522 F-statistic 18.23512 Durbin-Watson stat 2.000262 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 21. Hasil Uji Root Untuk Harga Kopi Arabika Terminal New York

(Data Stasioner Dengan Intersep dan Trend )


(6)

Lampiran 22. Hasil Uji Kausalitas Granger

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 11/19/10 Time: 16:40 Sample: 2004M01 2009M12 Lags: 1

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

D(KOPNAS) does not Granger Cause D(DP) 70 10.4526 0.00190 D(DP) does not Granger Cause D(KOPNAS) 1.43095 0.23583 D(NY) does not Granger Cause D(DP) 70 10.0441 0.00230 D(DP) does not Granger Cause D(NY) 2.90774 0.09279 D(NY) does not Granger Cause D(KOPNAS) 70 8.97700 0.00383 D(KOPNAS) does not Granger Cause D(NY) 2.12303 0.14977


Dokumen yang terkait

Hubungan KetinggianTempat, Kemiring Lereng Terhadap Produksi Kopi Arabika Sigarar Utang Pada Bebagai Jenis Tanah di Kecamatan Lintong Nihuta

1 34 94

Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kopi Ateng Arabika (Cofeea arabicaL.) di Kecamatan Muara Kabupaten Tapanuli Utara

2 44 64

Analisis Pendapatan Usahatani Kopi Arabika (Coffea arabica ) (Studi Kasus Desa Dolokmargu, Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan)

51 259 152

Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kopi Arabika ( Coffea arabica ) di Dusun Paman Similir Desa Telagah Kecamatan Sel Bingei Kabupaten Langkat

1 52 58

Distribusi Pendapatan Dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

1 48 116

Pengaruh Penjualan Kopi Arabika Dalam Bentuk Buah Panen (Cherry Red) Terhadap Ekonomi Petani Kopi Arabika Desa Tanjung Beringin Di Kabupaten Dairi

31 181 77

Analisis Optimasi Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Kopi Arabika (Coffea Arabica L.) Di Kabupaten Bener Meriah Kecamatan Bandar

16 62 92

Analisis Finansial dan Kontribusi Usahatani Kopi Arabika (Coffea arabica) Terhadap Pendapatan Keluarga di Desa Paraduan Kecamatan Ronggur Nihuta Kabupaten Samosir

2 52 159

Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) dan Strawberi (Fragaria vesca Linn.) di Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun

2 50 94

Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Arabika (Coffee sp.), Kentang (Solanum tuberosum L.), dan Kubis (Brassica oleraceae L.), Jeruk (Citrus sp.) di Kecamatan Harian Kabupaten Samosir

0 40 116