Distribusi Pendapatan Dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika Di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT
KEMISKINAN PETANI KOPI ARABIKA DI DESA
TANJUNG BERINGIN KECAMATAN SUMBUL
KABUPATEN DAIRI
SKRIPSI
OLEH
ABDUL HALIM LUBIS
070304017
AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT
KEMISKINAN PETANI KOPI ARABIKA DI DESA
TANJUNG BERINGIN KECAMATAN SUMBUL
KABUPATEN DAIRI
SKRIPSI
OLEH
ABDUL HALIM LUBIS
070304017
AGRIBISNIS
Diajukan Kepada Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana pertanian
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
( Dr. Ir. Salmiah, M.S ) ( Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec NIP. 195702171986032001 NIP. 195803251985021002
)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
RINGKASAN
ABDUL HALIM LUBIS : Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, dibimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS. dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. Produksi kopi Arabika Sumatera Utara banyak digemari oleh pasar ekspor dunia dan hanya 2% saja yang dikonsumsi didalam negeri, setidaknya ekspor kopi Arabika Sumatera Utara menopang 15% kinerja ekspor kopi Arabika nasional. Jika dilihat dari sudut harga jual, nilai kopi Arabika jauh lebih tinggi daripada kopi Robusta sehingga kopi Arabika memiliki potensi yang cukup signifikan dalam peningkatan pendapatan petani kopi. Tingginya harga jual kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan serta tingkat kemiskinan petani kopi Arabika disuatu daerah penghasil kopi Arabika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman sumber pendapatan petani kopi arabika, tingkat pendapatan dari usahatani kopi Arabika serta kontribusinya terhadap total pendapatan, tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi Arabika, dan tingkat kemiskinan petani kopi Arabika didaerah penelitian. Desa Tanjung Beringin terpilih sebagai daerah penelitian yang ditentukan dengan metode Two Stage Cluster Sampling. Sedangkan untuk penarikan sampel dilakukan dengan metode Simple Random Sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan, indikator tingkat ketimpangan berdasarkan nilai Gini Ratio (dilengkapi dengan Kurva Lorenz) dan kriteria World Bank serta indikator tingkat kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika cukup beragam dimana pendapatan dari usahatani kopi Arabika memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani kopi Arabika, yakni, sebesar 65,68%. Tingkat ketimpangan petani kopi Arabika berdasarkan nilai Gini Ratio sebesar 0,36 berada dalam kategori menengah, sedangkan berdasarkan kriteria World Bank berada dalam kategori rendah. Selain itu, proporsi petani kopi Arabika miskin menurut Sajogyo (1988) sebanyak 21,43%, sedangkan menurut BPS (2010) sebanyak 16,67%.
Kata Kunci : Kopi Arabika, Analisis Pendapatan, Gini Ratio, Kurva Lorenz Kriteria World Bank, Tingkat Kemiskinan.
(4)
RIWAYAT HIDUP
ABDUL HALIM LUBIS lahir di Medan pada tanggal 15 Mei 1989. Anak kelima dari lima bersaudara dari Bapak Drs.H.Amril Muin Lubis dan Ibu Hj.Adlina Hrp.
Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah pada tahun 1994–1995 TKA Hikmatul Fadhillah Medan, tahun 1995–2001 SD Taman Harapan 1 Medan, tahun 2001–2004 SMP Harapan 2 Medan, tahun 2004–2007 SMAN 1 Plus Matauli Pandan, dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa di program studi Agribisnis, Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB. Pada masa pendidikan penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan pernah menjabat sebagai ketua umum IMASEP periode 2010–2012. Tahun 2011, penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Gambus Laut, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara mulai 27 Juni hingga 27 Juli 2011.
Pada akhir masa studi penulis melakukan penelitian lapangan dengan topik penelitian “Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi”, yang kemudian topik tersebut menjadi judul skripsi dibawah bimbingan Ibu Dr.Ir.Salmiah,MS dan Bapak Dr.Ir.Satia Negara Lubis, M.Ec.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan nikmat dan karunia-Nya serta kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lengkap. Skripsi berjudul “Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi” ini dibimbing oleh Ibu Dr.Ir.Salmiah, MS dan Bapak Dr.Ir.Satia Negara Lubis, M.Ec.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing, Ibu Dr.Ir.Salmiah,MS dan Bapak Dr.Ir.Satia Negara Lubis, M.Ec, yang telah membimbing penulis dari awal hingga akhir dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua, yakni, Ayahanda Drs.H.Amril Muin Lubis dan Ibunda Hj.Adlina Harahap, serta kepada saudara kandung penulis, Hj.Loly Siti Khadijah Lubis, ST, MT, M. Yusuf Lubis, SE, MM, Lily Ramadhani Lubis, SH, dan M. Saidi Syafii Lubis, SH yang telah memberikan dukungan, semangat, materi, dan doa kepada penulis.
Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis pribadi.
Medan, Agustus 2012
(6)
DAFTAR ISI
RINGKASAN ...
i
RIWAYAT HIDUP ...
ii
KATA PENGANTAR ...………...
iii
DAFTAR ISI ...………...
iv
DAFTAR GAMBAR ...
vi
DAFTAR TABEL ...
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...
ix
BAB I
PENDAHULUAN ………...
1
Latar Belakang …………... 1
Identifikasi Masalah ... 10
Tujuan Penelitian ………... 10
Kegunaan Penelitian ………... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...
11
Tinjauan Pustaka ... 11
Landasan Teori ... 18
Kerangka Pemikiran ... 26
Hipotesis Penelitian ………... 29
BAB III METODE PENELITIAN ………...
30
Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 30
Metode Penentuan Sampel ………... 32
Metode Pengumpulan Data ... 33
Metode Analisis Data ………... 33
Definisi dan Batasan Opersional ………... 37
Definisi ... 37
(7)
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK SAMPEL ...
39
Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 39
Geografi dan Topografi ... 39
Demografi ... 39
Sarana dan Prasarana ... 41
Karakteristik Sampel ... 42
Umur Petani Sampel ... 42
Pendidikan Petani Sampel ... 43
Luas Lahan Kopi Arabika Petani Sampel ... 44
Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Sampel ... 45
Umur Tanaman Kopi Arabika Petani Sampel ... 46
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN …………...
48
Sumber Pendapatan Petani Kopi Arabika Diluar Usahatani Kopi Arabika ... 48
Analisis Pendapatan Usahatani Kopi Arabika & Kontribusinya Terhadap Total Pendapatan Keluarga Petani Kopi ... 52
Penerimaan Usahatani Kopi Arabika ... 52
Total Biaya Produksi Usahatani Kopi Arabika ... 54
Pendapatan Usahatani Kopi Arabika ... 56
Kontribusi Pendapatan Usahatani Kopi Arabika Terhadap Total Pendapatan Keluarga Petani Kopi ... 58
Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Kopi ... 60
Berdasarkan nilai Gini Ratio dan Kurva Lorenz ... 60
Berdasarkan Kriteria World Bank ... 63
Tingkat Kemiskinan dan Proporsi Petani Kopi Miskin ... 65
Berdasarkan Garis Kemiskinan Sajogyo (1988) ... 65
Berdasarkan Kriteria BPS (2010) ... 67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………...
69
Kesimpulan ... 69
Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ………...
72
(8)
DAFTAR GAMBAR
No.
Keterangan
Hlm.
1. Bentuk Arsiran Kurva Lorenz ... 13
2. Bentuk Kurva Lorenz ... 21
3. Perkiraan Bentuk Kurva Lorenz ... 22
4. Skema Kerangka Pemikiran ... 28
5. Grafik Kurva Lorenz si Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi Tahun 2011 ... 61
(9)
DAFTAR TABEL
No.
Keterangan
Hlm.
1. Luas Tanaman dan Produksi Kopi Arabika Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten Tahun 2006–2009 ... 3 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio ... 20 3. Indikator Ketimpangan Menurut World Bank ... 24 4. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Prosentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah (Maret 2009–Maret 2010) ... 25 5. Luas Tanaman dan Produksi Kopi Arabika Perkebunan Rakyat di
Kabupaten Dairi Menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 31 6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Tanjung
Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 39 7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 40 8. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Tanjung
Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 41 9. Sarana dan Prasarana di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan
Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 42 10. Keadaan Umur Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 43 11. Keadaan Umur Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 44 12. Luas Lahan Kopi Arabika Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 45 13. Jumlah Tanggungan Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 46 14. Umur Kopi Arabika Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 47 15. Distribusi Sumber Pendapatan Petani Sampel di Desa Tanjung
Beringin Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 49 16. Distribusi Sumber Pendapatan Tambahan Petani Sampel Diluar
Usahatani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan
(10)
17. Rata-Rata Penerimaan dan Produksi Kopi Arabika Petani Sampel Per-Petani dan Per-Rante Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung
Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi ... 53 18. Rata-Rata Total Biaya Produksi Kopi Arabika Petani Sampel
Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul
Kabupaten Dairi ... 55 19. Rata-Rata Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Kopi Arabika
Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul
Kabupaten Dairi ... 57 20. Rata-Rata Keseluruhan Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani
Kopi Arabika Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin,
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi ... 57 21. Kontribusi Masing-Masing Sumber Pendapatan Petani Sampel
Terhadap Total Pendapatan Petani Sampel Selama Tahun 2011 di
Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi ... 59 22. Nilai Koefisien Gini (Gini Ratio) Petani Sampel di Desa Tanjung
Beringin Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 60 23. Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan Petani Sampel
Menurut Kriteria Bank Dunia (World Bank) Selama Tahun 2011 di
Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi ... 63 24. Penggolongan Pendapatan Petani Sampel dalam Ekuivalensi
Konsumsi Beras Selama Tahun 2011 di Desa Tanjung Beringin
Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi ... 65 25. Penggolongan Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani Sampel
Menurut Kriteria Kemiskinan Sajogyo (1988) di Desa Tanjung
Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Tahun 2011 ... 66 26. Penggolongan Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani Sampel
Menurut Kriteria Garis Kemiskinan BPS (2010) di Desa Tanjung
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Keterangan
Hlm.
1. Karakteristik Petani Sampel ... 74 2. Penerimaan Petani Sampel dari Usahatani Kopi Arabika
Selama Tahun 2011 ... 75 3. Penerimaan Petani Sampel Berdasarkan Bentuk Produksi Biji
Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 76 4. Biaya Pembelian Pupuk Untuk Proses Produksi Usahatani
Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 77 5. Biaya Penyusutan Peralatan yang Digunakan Petani Sampel Untuk
Proses Produksi Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011
a. Jenis Peralatan : Cangkul, Parang, Beko, Ember, Garuk ... 79 b. Jenis Peralatan : Goni, Mesin Penggiling, Sprayer ... 81 6. Biaya Sarana Produksi (Saprodi) Terhadap Usahatani Kopi Arabika
Selama Tahun 2011 ... 83 7. Biaya Tenaga Kerja yang Dikeluarkan Untuk Proses Produksi
Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 84 8. Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Kopi Arabika
Selama Tahun 2011 ... 86 9. Pendapatan Petani Sampel Berdasarkan Bentuk Produksi Biji
Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 88 10. Pendapatan Petani Sampel dari Usahatani Non-Kopi Arabika
Selama Tahun 2011 ... 89 11. Pendapatan Petani Sampel dari Kegiatan Produktif Lain Diluar
Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 91 12. Total Pendapatan Petani Sampel Selama Tahun 2011 Serta
Kontribusi Pendapatan dari Usahatani Kopi Arabika Terhadap
Total Pendapatan Petani Sampel ... 93 13. Distribusi Jumlah Usaha Tambahan yang Ditekuni Petani Sampel
Diluar Usahatani Kopi Arabika Selama Tahun 2011 ... 95 14. Analisis Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Sampel di Desa
Tanjung Beringin Berdasarkan Nilai Koefisien Gini (Gini Ratio)
Selama Tahun 2011 ... 96 15. Gambar Kurva Lorenz yang Menunjukkan Tingkat Ketimpangan
Distribusi Pendapatan Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin
(12)
16. Analisis Tingkat Ketimpangan Pendapatan Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin Berdasarkan Indikator Bank Dunia (World Bank)
Selama Tahun 2011 ... 99 17. Analisis Tingkat Kemiskinan Petani Sampel di Desa Tanjung
(13)
RINGKASAN
ABDUL HALIM LUBIS : Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, dibimbing oleh Dr. Ir. Salmiah, MS. dan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. Produksi kopi Arabika Sumatera Utara banyak digemari oleh pasar ekspor dunia dan hanya 2% saja yang dikonsumsi didalam negeri, setidaknya ekspor kopi Arabika Sumatera Utara menopang 15% kinerja ekspor kopi Arabika nasional. Jika dilihat dari sudut harga jual, nilai kopi Arabika jauh lebih tinggi daripada kopi Robusta sehingga kopi Arabika memiliki potensi yang cukup signifikan dalam peningkatan pendapatan petani kopi. Tingginya harga jual kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat ketimpangan pendapatan serta tingkat kemiskinan petani kopi Arabika disuatu daerah penghasil kopi Arabika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman sumber pendapatan petani kopi arabika, tingkat pendapatan dari usahatani kopi Arabika serta kontribusinya terhadap total pendapatan, tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi Arabika, dan tingkat kemiskinan petani kopi Arabika didaerah penelitian. Desa Tanjung Beringin terpilih sebagai daerah penelitian yang ditentukan dengan metode Two Stage Cluster Sampling. Sedangkan untuk penarikan sampel dilakukan dengan metode Simple Random Sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan, indikator tingkat ketimpangan berdasarkan nilai Gini Ratio (dilengkapi dengan Kurva Lorenz) dan kriteria World Bank serta indikator tingkat kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika cukup beragam dimana pendapatan dari usahatani kopi Arabika memberikan kontribusi terbesar terhadap total pendapatan petani kopi Arabika, yakni, sebesar 65,68%. Tingkat ketimpangan petani kopi Arabika berdasarkan nilai Gini Ratio sebesar 0,36 berada dalam kategori menengah, sedangkan berdasarkan kriteria World Bank berada dalam kategori rendah. Selain itu, proporsi petani kopi Arabika miskin menurut Sajogyo (1988) sebanyak 21,43%, sedangkan menurut BPS (2010) sebanyak 16,67%.
Kata Kunci : Kopi Arabika, Analisis Pendapatan, Gini Ratio, Kurva Lorenz Kriteria World Bank, Tingkat Kemiskinan.
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Tanaman kopi diduga berasal dari benua Afrika, tepatnya Negara Ethiopia. Awalnya tanaman kopi tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi. Penyebaran awal kopi ke berbagai wilayah cukup lambat. Hal ini disebabkan tanaman kopi hanya berkhasiat sebagai penghangat badan. Saat negara-negara Islam berjaya pada abad ke-15, penelitian tentang kopi terus dilakukan. Berdasarkan peneilitian tersebut, kopi ternyata berpotensi sebagai obat-obatan dan sebagai penahan rasa ngantuk. Sejak adanya perkembangan pengolahan kopi, tanaman ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai wilayah di Eropa, Asia, dan Amerika (Suwarto dan Octavianty, 2010).
Banyaknya khasiat yang didapat dari kopi menyebabkan penyebarannya cukup pesat terutama di Benua Eropa. Pada tahun 1637, kedai kopi pertama kali di Benua Eropa berada di Inggris. Mereka menyebutnya sebagai Penny Universities, tempat berkumpulnya para pengusaha, karyawan bank, dan pekerja lainnya. Di Italia kedai kopi pertama dibangun di kota Salerno pada tahun 1645 yang diberi nama Botega Delcafe, tempat ini kemudian menjadi pusat pertemuan para cendikiawan di negara pizza tersebut. Setelah mengalami stagnasi di Inggris, kedai kopi merambah ke negara-negara Eropa lainnya, seperti, Perancis dan Jerman. Salah satu kesukaan orang-orang di Paris, Perancis, adalah mengunjungi
(15)
Penyebaran tanaman kopi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa terjadi pada tahun 1700-an. Awalnya seorang berkebangsaan Belanda membawa tanaman kopi jenis Arabika ke Botanic Garden di Amsterdam, Belanda. Saat zaman penjajahan Belanda di Indonesia, berbagai percobaan penanaman kopi jenis Arabika dilakukan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Percobaan pertama dilakukan di daerah Pondok Kopi, Jakarta. Setelah tumbuh dengan baik disana, tanaman kopi diaplikasikan di Jawa Barat dengan sistem tanam paksa. Setelah menyebar ke Pulau Jawa, tanaman kopi disebar ke beberapa provinsi di Pulau Sumatera dan Sulawesi (Panggabean, 2011).
Prospek pengembangan kopi memiliki potensi yang cukup besar bagi peningkatan sumber devisa negara serta peningkatan pendapatan petani yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Namun usaha tersebut mengalami beberapa kendala, baik dari sisi produksi kopi maupun harga jual kopi. Kopi sangat berarti bagi perekonomian petani sehingga tidak mudah untuk mengendalikan peningkatan produksi. Dengan demikian, pemerintah daerah sebagai regulator harus memberikan perhatian khusus dalam menerapkan kebijakan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Beberapa permasalahan yang dihadapi petani kopi, seperti, kurangnya pangsa pasar ekspor bagi perkebunan kopi rakyat serta harga jual kopi yang belum memihak bagi para petani kopi, perlu dibantu oleh pemerintah daerah setempat (Spillane, 1990).
Provinsi Sumatera Utara (Sumut) selama ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil kopi Arabika terbesar di Indonesia. Belakangan ini, klon yang banyak digunakan, yaitu, Sigarar Utang Aceh Tengah (Ateng) serta Kartika 1 dan 2.
(16)
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, Kabupaten penghasil kopi Arabika terbesar di Sumut ialah Dairi, yakni, sebesar 10.031,20 ton selama tahun 2009. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini,
Tabel 1. Luas Tanaman dan Produksi Kopi Arabika Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Utara Menurut Kabupaten, Tahun 2006 – 2009.
Kabupaten Luas Tanaman (Ha) Produksi
(Ton)
TBM TM TTM Jumlah
1. Nias – – – – –
2. Mandailing Natal 1.172,24 495,68 27,07 1.694,99 349,99 3. Tapanuli Selatan – – – – – 4. Tapanuli Tengah – – – – – 5. Tapanuli Utara 4.604,50 8.661,50 303,55 13.569,55 9.130,34 6. Toba Samosir 291,92 1.840,61 223,65 2.356,55 3.383,15 7. Labuhan Batu – – – – –
8. Asahan – – – – –
9. Simalungun 1.846,81 4.830,46 – 6.677,27 7.245,39
10. Dairi 2.236,00 7.902,00 201,00 10.339,00 10.031,20
11. Karo 249,00 4.381,00 605,00 5.136,00 6.447,50 12. Deli Serdang 182,00 668,70 16,00 866,70 678,24
13. Langkat – – – – –
14. Nias Selatan – – – – – 15. Humbang Hasundutan 3.205,00 6.971,50 1.060,50 11.237,30 5.496,20 16. Pakpak Bharat 158,00 1.164,00 49,00 1.371,00 1.151,40 17. Samosir 978,60 2.506,10 409,20 3.893,00 2.573,40 18. Serdang bedagai – – – – –
19. Batu Bara – – – – –
20. Padang Lawas Utara – – – – – 21. Padang Lawas – – – – – 22. Labuhan Batu Selatan – – – – – 23. Labuhan Batu Utara – – – – –
24. Nias Utara – – – – –
25. Nias Barat – – – – –
J u m l a h
2009 39.421,55 39.421,55 2.795,97 57.141,89 45.482,81 2008 38.549,36 38.549,36 2.528,12 56.390,81 45.351,99 2007 35.017,57 35.017,57 5.856,87 53.869,36 42.222,57 2006 34.554,37 34.554,37 527,93 50.310,24 38.524,28
Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 2010.
Produksi kopi Arabika Sumut banyak digemari pasar ekspor dan hanya 2% saja yang dikonsumsi di dalam negeri. Setidaknya, ekspor kopi Sumut menopang 15% kinerja ekspor kopi nasional yang mencapai 342.000 ton per tahun. Selain petani, eksportir kopi Sumut juga terpaksa harus sabar karena jumlah ekspor mereka
(17)
menurun. Hal yang sama juga dialami para penggemar kopi Arabika Sumut yang harus rela menerima pasokan yang menyusut. Selama ini, peminum kopi asal Amerika Serikat dan Eropa sudah mengenal kopi dari Sumut dengan nama kopi Sidikalang dan Mandailing. Kopi jenis arabika Sumut itu menjadi kopi mahal yang disediakan kafe-kafe kopi di Amerika Serikat (Tragistina dan Amri, 2010).
Kabupaten Dairi merupakan sentra penghasil kopi Arabika terbesar di Sumatera Utara dengan Kecamatan Sumbul sebagai daerah yang memproduksi kopi Arabika terbanyak di Dairi. Sekitar 95% penduduk di Kecamatan Sumbul berprofesi sebagai petani kopi dan buruh tani serta menjadikan usahatani kopi sebagai usahatani primadona didaerah tersebut. Walaupun mayoritas petani di Kecamatan Sumbul sudah mengusahakan usahatani kopi sebagai usahatani utama, namun ternyata banyak diantara mereka yang masih mengusahakan kegiatan lain sebagai mata pencaharian tambahan, seperti usahatani Kol, usahatani Cabai, usahatani Ubi Jalar, usahatani Ubi Kayu, dan kegiatan produktif lain diluar usahatani, seperti, beternak, bertukang, dan berdagang(Simanjuntak, 2005).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa akibat ketebatasan luas lahan yang diusahakan petani disamping harga jual produksi pertanian yang cenderung fluktuatif akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani, sementara kebutuhan keluarga dengan jumlah tanggungan yang cukup besar akan mendorong petani untuk mencari kegiatan lain diluar usahatani utamanya sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Banyaknya sumber-sumber mata pencaharian yang dapat ditekuni oleh para petani dan keluarganya dipengaruhi beberapa faktor, antara lain, kemampuan ekonomi, kreativitas petani, ketersediaan tenaga kerja keluarga,
(18)
dan lain-lain. Dengan semakin banyaknya kegiatan produktif yang dapat dilakukan petani dan keluarganya diharapkan akan meningkatkan total pendapatan keluarga (Simanjuntak, 2005).
Akhir-akhir ini di beberapa daerah penghasil kopi, cukup banyak petani kopi yang mengganti tanamannya dari kopi menjadi tanaman jagung ataupun tanaman perkebunan lainnya. Pasalnya, biaya peremajaan tanaman kopi cukup besar, padahal umur perkebunan kopi mereka sudah lama. Selain itu, penggunaan klon kopi yang turun-temurun tanpa adanya pemuliaan bibit kopi dapat menurunkan kuantitas dan kualitas biji kopi. Sarana dan prasarana transportasi di beberapa daerah penghasil kopi turut menjadi faktor menurunnya mutu biji kopi. Tanpa adanya pengawasan dari pemerintah daerah setempat, perkebunan kopi beresiko ditinggalkan oleh para petaninya yang berdampak pada timbulnya ketimpangan pendapatan para petani kopi didaerah tersebut. Hal tersebut sebaiknya segera diatasi oleh pemerintah daerah setempat sehingga dapat meningkatkan kontuinitas produksi, memperbaiki mutu kopi, menstabilkan harga jual kopi, serta mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi (Panggabean, 2011).
Para ekonom pada umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analisis dan kuantitatif tentang ketimpangan distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni, besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi (Suarjaya, 2010).
(19)
Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) atau distribusi ukuran pendapatan (size distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperdulikan sumbernya. Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran, yakni, Rasio Kuznets, Kurva Lorenz, dan Koefisien Gini (Sulastri, 2011).
Distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan per-faktor produksi (functional or factor share distribution of income) berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase pendapatan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing merupakan perolehan dari tanah, modal uang, dan modal fisik). Walaupun individu-individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan fungsional ini (Tridamayanti, 2011).
Dalam distribusi pendapatan, baik antar-kelompok berpendapatan, antar-daerah perkotaan dan daerah pedesaan, maupun antar-kawasan dan propinsi serta kemiskinan merupakan dua masalah yang masih mewarnai perekonomian Indonesia. Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan
(20)
distribusi pendapatan merupakan inti dari permasalahan pembangunan. Di negara yang tingkat GNP dan pendapatan perkapitanya rendah, semakin timpang distribusi pendapatan maka permintaan agregat akan semakin dipengaruhi oleh perilaku konsumsi orang-orang kaya. Perpaduan tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah, atau dengan kata lain, banyak penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional (Hamonangan, 2011).
Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Perbedaan ini sangat ditekankan. Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolute dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpanan mengacu pada standar hidup relative dari seluruh masyarakat. Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi (Setiadi dan Kolip, 2011).
Secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup dibawah garis kemiskinan ternyata masih banyak, yakni, 31,02 juta jiwa. Selain itu, masih banyak penduduk yang pendapatanya hanya sedikit sekali di atas batas garis kemiskinan. Kelompok nyaris miskin ini sangat rawan terhadap perubahan-perubahan keadaan ekonomi seperti kenaikan harga komoditi-komoditi utama atau turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu masalah kemiskinan ini masih tetap perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kenyataanya masalah ketidakmerataan pendapatan
(21)
memang berhubungan dengan masalah kemiskinan. Karena salah satu faktor penyebab kemiskinan di dalam suatu negara adalah adanya ketidakmeretaan distribusi pendapatan rakyatnya (Yusro, 2011).
Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada dibawah garis kemiskinan jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok, seperti, pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dapat dipengaruhi oleh tiga hal, yakni, persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, posisi manusia didalam lingkungan sekitar, dan kebutuhan objektif manusia untuk hidup secara manusiawi (Adiputra, 2011).
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana sisi pendapatannya di tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori sesuai dengan tingkat umur, jenis, kelamin, sifat pekerjaan, keadaaan iklim, dan lingkunan alam
(22)
yang dialaminya. Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa yang tertuang dalam nilai uang sebagai patokan pendapatan minimal yang diperlukan sehingga dapat disimpulkan bahwa garis kemiskinan ditentukan oleh tingkat pendapatan masyarakat itu sendiri (Setiadi dan Kolip, 2011).
Kecamatan Sumbul merupakan kecamatan yang memiliki luas area penanaman dan produksi kopi Arabika terbesar di Kabupaten Dairi. Kecamatan Sumbul terbagi kedalam 19 desa dimana Desa Tanjung Beringin memiliki lahan perkebunan kopi Arabika yang cukup luas di kecamatan ini. Sebagian besar penduduk di Desa Tanjung Beringin ini bekerja sebagai petani kopi Arabika, baik petani buruh maupun petani tauke (petani yang memiliki banyak lahan dan menyuruh petani buruh untuk mengolah lahannya). Hal ini diketahui berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kepala Desa Tanjung Beringin dimana dari total keluarga yang berjumlah 651 KK, ternyata terdapat 568 KK yang berprofesi atau bekerja sebagai petani kopi Arabika atau sekitar 87,25% dari total keluarga di Desa Tanjung Beringin. Namun bagaimana distribusi pendapatan petani kopi Arabika dan jumlah keluarga miskin, yang didasarkan oleh konsumsi beras dan indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS (2010), didaerah ini belum diketahui. Oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian mengenai kedua hal tersebut didaerah ini.
(23)
I.2.
Identifikasi Masalah
a. Bagaimana keragaman sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika didaerah penelitian?
b. Bagaimana tingkat pendapatan petani kopi Arabika dari usahatani kopi Arabika dan kontribusinya terhadap total pendapatan keluarga petani kopi Arabika didaerah penelitian?
c. Bagaimana tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian?
d. Bagaimana tingkat kemiskinan dan proporsi petani kopi Arabika miskin didaerah penelitian?
I.3.
Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keragaman sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika didaerah penelitian.
b. Untuk mengetahui tingkat pendapatan petani kopi Arabika dari usahatani kopi Arabika dan kontribusinya terhadap total pendapatan keluarga petani kopi Arabika didaerah penelitian?
c. Untuk menganalisis tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian.
d. Untuk menganalisis tingkat kemiskinan dan proporsi petani kopi Arabika miskin didaerah penelitian.
I.4.
Kegunaan Penelitian
a. Sebagai bahan informasi dan studi bagi petani kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin dalam pengembangan perkebunan kopi rakyat.
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Dairi dalam mengambil kebijakan khususnya bidang yang berkaitan dengan tanaman kopi, usahatani kopi, dan petani kopi.
c. Sebagai bahan untuk melengkapi skripsi yang merupakan salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan
(24)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Tinjauan Pustaka
Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa negara, salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa adalah kopi. Indonesia merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di dunia, khususnya untuk jenis kopi Arabika. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan nasional yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut dapat berupa pembukaan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan petani kopi, terutama petani kopi Arabika (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
Menurut Panggabean (2011), sekitar 90% hasil produksi kopi di Indonesia berasal dari perkebunan kopi rakyat dan sisanya adalah produksi kopi yang berasal dari perkebunan besar milik negara dan swasta. Beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan hasil produksi perkebunan kopi rakyat, diantaranya, faktor kebiasaan petani, faktor ekonomi, dan faktor keamanan lingkungan. Belum adanya pemetaan sentra penghasil kopi yang menggambarkan karakteristik dari masing-masing daerah dan kurangnya penyuluhan (edukasi) dalam mengatasi hama penyakit tanaman kopi menjadi salah satu penyebab produksi kopi hasil perkebunan rakyat belum banyak diekspor. Akibatnya, pendapatan petani kopi pun tidak memiliki kenaikan yang signifikan setiap tahunnya dan ini sangat berdampak pada ketimpangan pendapatan petani kopi dalam suatu daerah penghasil kopi.
(25)
Pada umumya masyarakat desa yang mayoritasnya berprofesi sebagai petani memiliki keragaman mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun suatu keluarga telah memiliki usahatani utama, namun tetap berupaya untuk mengusahakan berbagai jenis cabang usahatani lainnya maupun kegiatan produktif diluar usahatani, seperti, kerajinan, memburuh ke usahatani milik petani lain, bertukang, berdagang, dan sebagainya (Perbatakusuma, 2011).
Dari hasil penelitian Simanjuntak (2005) di Desa Tanjung Beringin, diketahui bahwa ada sekitar 83% petani kopi yang memiliki pekerjaan sampingan diluar usahatani kopi dan kegiatan produktif lain diluar kegiatan usahatani. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, luas lahan yang dimiliki, harga jual kopi yang fluktuatif, kurangnya modal, penguasaan terhadap bidang pekerjaan lain, hama penyakit yang sedang menjangkit, kesempatan yang ada, semakin besarnya kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya. Pekerjaan sampingan ini memberikan pendapatan tambahan yang signifikan terhadap pendapatan keluarga petani, namun pendapatan dari usahatani kopi tetap menjadi sumber pendapatan utama keluarga petani kopi. Usahatani kopi memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan keluarga petani, yakni, sebesar 77,28%. Sedangkan usahatani diluar usahatani kopi dan kegiatan produktif lain diluar kegiatan usahatani masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6,08% dan 16,64% terhadap pendapatan total keluarga petani.
Distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Misalnya
(26)
jika sekelompok masyarakat proporsinya sebesar 40% dari total penduduk maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40% dari total pendapatan. Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia (Hasrimi, 2010).
Todaro (1989) menyatakan bahwa Gini Ratio akan dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Lorenz. Dengan menggunakan kurva Lorenz maka tingkat pemerataan akan dapat diketahui dengan jalan membandingkan bidang yang terletak antara garis diagonal dengan kurva Lorenz (bidang yang diarsir) dengan bidang setengah bujur sangkar sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini,
Gambar 1. Bentuk Arsiran Kurva Lorenz
Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com
Dari gambar di atas, sumbu horisontal menggambarkan prosentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase penduduk tersebut. Sedangkan garis diagonal di tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama
(27)
dengan prosentase penerimaan pendapatan. Semakin jauh jarak garis kurva Lorenz
dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya, semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya. Pada gambar di atas, besarnya ketimpangan digambarkan sebagai daerah yang diarsir (Budi, 2011).
Collier dalam Hayami (1985) mengemukakan bahwa pendapatan dari kegiatan di luar pertanian sangat penting sebagai tambahan pendapatan yang bersumber dari kegiatan pertanian. Selanjutnya, ia mengemukakan, pendapatan dari kegiatan non pertanian dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat berpengaruh positif terhadap pemerataan pendapatan jika pola penguasaan lahan pertanian relatif tidak merata. Berpengaruh negatif jika pola penguasaan lahan relatif merata dan sumbangan penghasilan kegiatan luar pertanian relatif kecil.
Studi yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam Kustiah (1983) menyimpulkan bahwa semakin miskin suatu daerah maka semakin merata distribusi pendapatannya dan demikian pula sebaliknya. Terjadinya hal tersebut karena kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat miskin pada umumnya adalah pertanian berlahan sempit dan cenderung mengandalkan tenaga kerja ketimbang modal. Penggunaan tenaga kerja di luar keluarga pada umumnya tidak dibayar karena adanya pertukaran tenaga kerja di antara mereka secara resiprokal. Berbeda dengan petani yang berlahan luas yang pada umumnya lebih mengandalkan faktor modal dan tenaga kerja bayaran dengan berprinsip efisiensi skala usaha. Dengan kondisi demikian pembagian pendapatan pada kelompok petani miskin cenderung akan lebih merata ketimbang petani mampu. Secara
(28)
konkrit hasil studi tersebut menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini untuk daerah hampir miskin sebesar 0,270, daerah miskin sebesar 0,234, daerah sedikit lebih miskin 0,213, dan daerah sangat miskin 0,161.
Berbicara masalah pedesaan tidak terlepas dengan masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kemiskinan dilihat dari rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya konsumsi kalori yang diperlukan oleh tubuh manusia dan melebarnya kesenjangan antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin. Kemiskinan yang menimpa sekelompok masyarakat berhubungan dengan status sosial ekonominya dan potensi wilayah. Faktor sosial ekonomi, yaitu, faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri dan cenderung melekat pada dirinya seperti tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, teknologi dan rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan yang ada. Kedua faktor tersebut menentukan aksesibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi dalam menunjang kehidupannya. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang kait-mengait antara suatu faktor dengan faktor yang lainnya. Oleh karena itu untuk mengkaji kemiskinan harus diperhatikan jalinan antara faktor-faktor penyebab kemiskinan dan faktor-faktor yang berada di balik kemiskinan tersebut (Hasrimi, 2010).
Todaro (1989) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat, faktor tersebut, antara lain, rendahnya taraf hidup, rendahnya rasa percaya diri, dan terbatasnya kebebasan. Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik balik.
(29)
Rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka pengangguran, dan rendahnya investasi perkapita. Selanjutnya rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita.
Secara lebih khusus studi Hayami (1985) di Indonesia, Malaysia, dan Thailand menemukan bahwa kemiskinan dan ketidakmerataan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi, penyediaan tanah dan modal jika dibanding tenaga kerja, tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah. Untuk kasus Indonesia Kartasasmita (1996), mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut, yaitu, rendahnya taraf pendidikan, rendahnya taraf kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan kondisi keterisolasian.
Penelitian yang dilakukan oleh Tumpal Butar-Butar (2005), yang dilakukan di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, mengungkapkan bahwa pendidikan, luas lahan dan aksesibilitas berpengaruh terhadap pendapatan. Penelitian yang dilakukan oleh Faturochman dan Molo (1994), mencakup rumah tangga miskin di Yogyakarta, bahwa status ekonomi rumah tangga berbanding terbalik dengan jumlah anggota rumah tangga, dengan kata lain, makin buruk status rumah tangga, makin banyak angggota rumah tangga. Dilihat dari pendekatan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga yang miskin lebih banyak yang tidak bersekolah, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.
(30)
Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995) yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia. Propinsi tersebut, antara lain, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan masyarakat pedesaan di Indonesia. Faktor tersebut, antara lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya sumber daya fisik, rendahnya penerapan teknologi, rendahnya potensi wilayah yang ditunjukkan oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur, kurang tepatnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan, dan kurang berperannya kelembagaan yang ada.
Untuk ruang lingkup yang lebih luas Both dan Firdausy (1996) dalam artikelnya yang berjudul “Effect of Price and Market Reform on The Poverty Situation of Rural Communities” menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat di pedesaan Asia. Faktor tersebut, antara lain, faktor ekonomi (modal, tanah, dan teknologi), faktor sosial dan budaya (pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja), faktor geografis dan lingkungan, dan faktor pribadi (jenis kelamin, kesehatan dan usia). Keempat faktor tersebut mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pasar, fasilitas umum dan kredit.
(31)
II.2.
Landasan Teori
Untuk menghitung biaya dan pendapatan dalam usaha tani dapat dingunakan tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan nominal (nominal approach), pendekatan nilai yang akan datang (future value approach), dan pendekatan nilai sekarang (present value approach). Namun pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan nilai sekarang (present value approach), yaitu, pendekatan yang memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam proses produksi pada saat dimulainya proses produksi (Suratiyah, 2009).
Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Barangkali ukuran yang sangat berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan usahatani. Angka ini diperoleh dari pendapatan usahatani dengan menggurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman (Soekartawi, 1995).
Selanjutnya Soekartawi (1995) dalam bukunya menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dilukiskan sebagai berikut,
TR = Y . Py
dimana,
TR = Total penerimaan yang diterima petani kopi Arabika (Rp.) Y = Produksi kopi Arabika (kg)
(32)
Menurut Soekartawi (1995), pendapatan petani dari usahatani dapat dihitung dengan menggunakan rumus,
π = TR – TC
dengan,
π = Pendapatan petani (Rp.) TR = Total penerimaan petani (Rp.) TC = Total biaya produksi (Rp.)
Cara perhitungan distribusi pendapatan suatu daerah akan menentukan bagaimana pendapatan suatu daerah mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam kehidupan masyarakatnya, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan suatu daerah yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Begitu pula sebaliknya, distribusi pendapatan suatu daerah yang merata akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya karena sistem ini mampu menciptakan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia. Koefisien Gini (Gini Ratio) merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan atau kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Untuk
(33)
menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) dapat digunakan rumus berikut,
��= � – � ��� � �=�
(��−�+��)
dengan,
GR = Angka koefisien Gini (Gini Ratio) fx = Proporsi jumlah RT
Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif i = Index yang menunjukkan nomor sampel
Untuk negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, indikator nilai koefisien Gini (Gini Ratio) yang menentukan tingkat ketimpangannya dapat dilihat pada tabel berikut ini,
Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio. Nilai Gini Ratio Tingkat Ketimpangan
< 0,35 Rendah 0,35 – 0,5 Sedang > 0,5 Tinggi
Sumber :http://statistikaterapan.files.wordpress.com
Koefisien Gini (Gini Ratio) biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang benar-benar diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun. Kurva Lorenz
dan Koefisien Gini (Gini Ratio) dapat dipergunakan untuk mengukur dan membandingkan ketimpangan dari distribusi pendapatan masyarakat dalam suatu daerah. Bentuk kurva Lorenz dapat dilihat dari gambar berikut ini,
(34)
Gambar 2. Bentuk Kurva Lorenz
Sumber :http://www.dadang-solihin.blogspot.com
Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan prosentase jumlah penerimanya (prosentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk. Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.
Prosentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik disepanjang garis diagonal tersebut sama dengan prosentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Titik A menunjukkan bahwa 10% kelompok penduduk terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8% total pendapatan (pendapatan nasional). Titik B menunjukkan bahwa 20% kelompok terbawah yang hanya menerima 5%
(35)
dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi setiap delapan kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50% penduduk hanya menerima 19,8% dari total pendapatan. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan maka kurva
Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah.
Koefisien Gini (Gini Ratio) pertama kali dirumuskan oleh seorang ahli statistik Italia pada tahun 1912, yaitu, Corrado Gini. Gini Ratio merupakan ukuran statistik yang terkait dengan jumlah kumulatif dari total penduduk yang menerima pendapatan terhadap prosentase dari total pendapatan yang ada dalam suatu daerah yang diurutkan meningkat sesuai ukurannya. Nilai maksimum dan minimum dari Gini Ratio masing-masing adalah satu dan nol, berturut-turut mewakili ketimpangan sempurna dan pemerataan sempurna. Perkiraan mengenai bentuk kurva Lorenz dapat dilihat pada gambar dibawah ini,
Gambar 3. Perkiraan Bentuk Kurva Lorenz
(36)
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 (pemerataan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BD. Jika nilai Gini Ratio terletak antara 0 dan 1 (0 < GR < 1) maka kurva Lorenz akan berbentuk seperti gambar kurva Lorenz diatas, dimana “lengkungan” dari kurva
Lorenz tergantung dari besar kecilnya nilai Gini Ratio. Semakin besar nilai Gini Ratio maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BCD, begitu juga sebaliknya jika nilai Gini Ratio semakin kecil maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BD. Kemudian, jika nilai
Gini Ratio sebesar 1 (ketimpangan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BCD.
Gini Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Semakin kecil nilai Gini Ratio, mengindikasikan semakin meratanya distribusi pendapatan, sebaliknya semakin besar nilai Gini Ratio mengindikasikan distribusi pendapatan yang semakin timpang (senjang) antar kelompok penerima pendapatan. Secara khusus dapat diartikan bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 berarti terdapat kemerataan sempurna atau setiap orang memperoleh pendapatan yang sama persis dan jika nilai Gini Ratio sebesar 1 berarti terjadi ketidakmerataaan sempurna dimana satu orang mampu memiliki serta menguasai seluruh pendapatan total di suatu daerah, sementara lainnya tidak memperoleh pendapatan sama sekali.
(37)
Selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva
Lorenz, distribusi pendapatan juga dapat dilihat dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank Dunia ini diperoleh dengan menghitung prosentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan rendah (40% terendah) dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk. Bank dunia mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori.
Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank). Klasifikasi Distribusi Pendapatan
Ketimpangan Tinggi 40% penduduk berpendapatan rendah menerima < 12% dari total pendapatan
Ketimpangan Sedang 4 % penduduk berpendapatan rendah menerima 12% – 17% dari total pendapatan
Ketimpangan Rendah 40% penduduk berpendapatan rendah menerima > 17% dari total pendapatan
Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com
Untuk mengetahui taraf hidup petani digunakan klasifikasi kemiskinan didaerah pedesaan dengan cara menghitung pendapatan rumah tangga petani dan pendapatan per-kapita yang disetarakan dengan kg beras. Menurut Sayogyo (1988), kemiskinan untuk daerah pedesaan berdasarkan ekiuvalen konsumsi beras per-kapita per-tahun dapat dibagi kedalam lima kategori, yakni,
a. Paling miskin, bila konsumsi beras sebanyak < 180 kg/kapita/tahun b. Miskin sekali, bila konsumsi beras sebanyak 180 – 240 kg/kapita/tahun c. Miskin, bila konsumsi beras sebanyak 241 – 320 kg/kapita/tahun d. Nyaris miskin, bila konsumsi beras sebanyak 321 – 480 kg/kapita/tahun e. Diatas garis kemiskinan (tidak miskin), bila konsumsi beras sebanyak > 480
(38)
Sedangkan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per-kapita dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dengan acuan yang digunakan ialah 2.100 kalori per-hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai sekarang, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan oleh BPS, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Berikut ini akan digambarkan melalui tabel mengenai indikator garis kemiskinan, jumlah penduduk serta prosentase penduduk miskin di Indonesia dalam kurun waktu Maret 2009 s/d Maret 2010 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2011.
Tabel 4. Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Daerah (Kurun Waktu : Maret 2009 – Maret 2010).
Daerah / Tahun
Garis Kemiskinan
(Rp. / Kapita / Bulan) Jumlah Penduduk
Miskin (Juta)
Prosentase Penduduk
Miskin (%) Makan Bukan
Makanan Total Perkotaan
Maret 2009 155.909 66.214 222.123 11,91 10,72 Maret 2010 163.077 69.912 232.989 11,10 09,87
Maret 2009 Pedesaan
139.331 40.503 179.835 20,62 17,35 Maret 2010 148.939 43.415 192.354 19,93 16,56
Maret 2009 Kota + Desa
147.339 52.923 200.262 32,53 14,15 Maret 2010 155.615 56.111 211.726 31,02 13,33
(39)
II.3.
Kerangka Pemikiran
Perkebunan kopi Arabika rakyat semakin berkembang dewasa ini. Akan tetapi, perluasan perkebunan kopi Arabika rakyat ini tidak diikuti dengan perkembangan pengolahan kopi Arabika. Perkebunan kopi Arabika rakyat masih menggunakan cara tradisional (hanya mengandalkan tenaga manusia) sehingga kualitas kopi Arabika yang dihasilkan pun pada umumnya lebih rendah daripada kualitas perkebunan kopi besar (swasta maupun pemerintah). Hal ini turut mempengaruhi harga kopi Arabika rakyat dimana harga jual kopi Arabika mereka lebih rendah.
Akibat harga jual kopi Arabika rakyat yang cenderung fluktuatif serta ketebatasan luas lahan yang diusahakan petani kopi Arabika akan mempengaruhi tingkat pendapatan petani kopi Arabika, sementara kebutuhan keluarga dengan jumlah tanggungan yang cukup besar akan mendorong petani kopi Arabika untuk mencari kegiatan lain diluar usahatani kopi Arabika, baik usahatani non-kopi Arabika maupun kegiatan produktif diluar usahatani, sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Dengan semakin banyaknya kegiatan diluar usahatani kopi Arabika yang ditekuni diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani kopi.
Produksi kopi Arabika dan penerimaan petani kopi Arabika merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Produksi kopi Arabika yang tinggi akan meningkatkan penerimaan petani kopi Arabika dan begitu pula sebaliknya. Penerimaan petani kopi Arabika ini sangat dipengaruhi oleh harga jual kopi Arabika yang diterima oleh petani kopi Arabika, dimana penerimaan petani kopi Arabika diperoleh dengan mengalikan hasil produksi kopi Arabika (dalam kg) dengan harga jual kopi Arabika per-kg.
(40)
Untuk memperoleh suatu pendapatan dari usahatani kopi Arabika, terlebih dahulu petani kopi Arabika harus menghitung berbagai jenis biaya pengeluaran dari proses prapanen hingga pascapanen dari usahatani kopi Arabika mereka. Biaya pengeluaran ini disebut juga dengan biaya produksi, yang terdiri dari, penyusutan peralatan pertanian, upah tenaga kerja, penggunaan sarana produksi (pupuk dan herbisida), dan biaya PBB. Setelah menghitung jumlah biaya produksinya, barulah petani kopi Arabika dapat menghitung pendapatannya dengan mengurangi penerimaan petani kopi Arabika terhadap jumlah biaya produksinya.
Pendapatan petani kopi Arabika ini kemudian ditambahkan dengan pendapatan petani kopi Arabika yang berasal dari luar usahatani kopi Arabika sehingga menghasilkan sebuah perhitungan baru yang disebut dengan total pendapatan petani kopi Arabika. Dari total pendapatan petani kopi Arabika ini, akan dianalisa tingkat ketimpangan pendapatan petani kopi Arabika dan proporsi penduduk miskin didaerah mereka. Tingkat ketimpangan pendapatan dihitung dengan menggunakan dua media, yakni, indikator koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva Lorenz dan indikator Bank Dunia (World Bank). Sedangkan dalam menganalisis proporsi penduduk miskin digunakan dua kriteria juga, yakni, kriteria garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan kriteria garis kemiskinan menurut BPS (2010). Untuk lebih jelas lagi mengenai kerangka pemikiran yang digunakan dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran berikut,
(41)
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
Total Biaya Produksi
Harga Jual Kopi Arabika
Petani Kopi Arabika
Usahatani Kopi Arabika
Kriteria Kemiskinan Sajogyo (1988)
Kriteria Kemiskinan BPS (2010)
Gini Ratio
dan Kurva Lorenz
Bank Dunia (World Bank) Proporsi
Penduduk Miskin
Tingkat Ketimpangan Pendapatan Penerimaan
Pendapatan
Total Pendapatan Produksi Kopi Arabika
Usahatani Non-Kopi Arabika
&
Kegiatan Produktif Lain Diluar Usahatani
(42)
II.4.
Hipotesis Penelitian
a. Sumber-sumber pendapatan petani kopi Arabika diluar usahatani kopi Arabika didaerah penelitian cukup beragam.
b. Pendapatan dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% terhadap total pendapatan keluarga petani kopi Arabika didaerah penelitian.
c. Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani kopi Arabika didaerah penelitian berada dalam ketegori menengah, baik menurut indikator ketimpangan Gini Ratio, maupun indikator ketimpangan Bank Dunia.
d. Proporsi petani kopi Arabika miskin didaerah penelitian lebih dari 50% jika ditinjau dari kriteria garis kemiskinan menurut Sajogyo (1988) dan BPS (2010).
(43)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1.
Metode Penentuan Daerah Penelitian
Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menentukan daerah penelitian adalah metode Two Stage Cluster Sampling, dengan tahapan sebagai berikut, a. Mengumpulkan semua data mengenai produksi kopi Arabika diseluruh
kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Provinsi sumatera Utara tahun 2010, ada sepuluh kabupaten yang merupakan daerah penghasil kopi Arabika, yakni, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Pakpak Bharat, dan Kabupaten Samosir. Dari kesepuluh kabupaten tersebut, daerah penghasil kopi Arabika terbesar ialah Kabupaten Dairi, yakni, sebesar 10.031,20 Ton selama tahun 2009. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk memilih Kabupaten Dairi. Untuk lebih jelas lagi mengenai data kecamatan penghasil kopi Arabika di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 1.
b. Mengumpulkan semua data mengenai produksi kopi Arabika diseluruh kecamatan di Kabupaten Dairi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan Kabupaten Dairi tahun 2010, ada 11 kecamatan yang merupakan daerah penghasil kopi Arabika, yakni, Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Sitinjo, Kecamatan Berampu, Kecamatan Parbuluan, Kecamatan
(44)
Sumbul, Kecamatan Silahisabungan, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kecamatan Lae Parira, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Siempat Nempu Hulu, dan Kecamatan Pegagan Hilir. Dari kesebelas kecamatan diatas, daerah penghasil kopi Arabika terbesar ialah Kecamatan Sumbul, yakni, sebesar 6.810 Ton selama tahun 2009. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk memilih Kecamatan Sumbul sebagai daerah penelitian. Untuk lebih jelas lagi mengenai data kecamatan penghasil kopi Arabika di Kabupaten Dairi dapat dilihat pada tabel dibawah ini,
Tabel 5. Luas Tanaman dan Produksi Kopi Arabika Perkebunan Rakyat di Kabupaten Dairi Menurut Kecamatan, Tahun 2009.
Kecamatan Luas Tanaman (Ha) Produksi (Ton) 26. Sidikalang 312 333,7 27. Sitinjo 369 380,0 28. Berampu 232 226,7 29. Parbuluan 2.464 2.442,0
30. Sumbul 6.405 6.810,0
31. Silahisabungan 10 6,8 32. Silima Pungga-pungga 25 21,0 33. Lae Parira 99 92,0 34. Siempat Nempu 66 62,0 35. Siempat Nempu Hulu 201 176,0 36. Siempat Nempu Hilir – –
37. Tigalingga – –
38. Gunung Sitember – – 39. Pegagan Hilir 156 183,0
40. Tanah Pinem – –
J u m l a h 10.339 10.733,2
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Dairi 2010.
Kecamatan Sumbul terbagi kedalam 19 pemerintahan desa dimana salah satu desa yang memiliki lahan perkebunan kopi Arabika rakyat yang cukup luas terletak di Desa Tanjung Beringin. Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk memilih Desa Tanjung Beringin sebagai daerah penelitian.
(45)
III.2.
Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petani kopi Arabika. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode Simple Random Sampling dimana semua unsur dari populasi petani kopi Arabika mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Proses pemilihan sampel (n) dari populasi (N) dilakukan secara random (acak). Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Kepala Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul, jumlah petani kopi di Desa Tanjung Beringin ialah sebanyak 568 kepala keluarga. Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin, yakni,
�= �
�.��+�
dimana,
n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi
d = Presisi yang ditetapkan (15%)
Melalui rumus Slovin diatas maka jumlah sampel (n) yang diambil berdasarkan jumlah populasi petani kopi (N) di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Sumbul yang berjumlah kurang lebih 568 petani kopi Arabika ditentukan sebagai berikut,
�= ���
���. (�,��)�+�=��������
Berdasarkan hasil dari rumus Slovin diatas, jumlah sampel yang diambil oleh penulis ialah sebanyak 42 petani kopi Arabika. Sampel tersebut diperoleh dari Desa Tanjung Beringin yang memiliki lahan perkebunan kopi Arabika rakyat yang cukup luas di Kecamatan Sumbul.
(1)
Lanjutan Lampiran 14.
No.
Sampel
No.
Index
Sampel
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Tahun
% Pendapatan
Petani Sampel
Kumulatif
% Pendapatan
Petani Sampel
% (Y
i+ Y
i-1)
% Petani
Sampel
Kumulatif
%Petani
Sampel
[%Xi] ×
[%(Yi + Yi-1)]
(X
i)
(Y
i)
(%Y
i)
(Kum. %Y
i)
(%X
i)
(Kum. X
i)
18
26
Rp26.129.925,00
2,09%
35,31%
68,54%
2,38095%
61,90%
1,63%
36
27
Rp27.014.550,00
2,16%
37,48%
72,79%
2,38095%
64,29%
1,73%
35
28
Rp27.862.540,00
2,23%
39,71%
77,18%
2,38095%
66,67%
1,84%
25
29
Rp28.638.500,00
2,29%
42,00%
81,71%
2,38095%
69,05%
1,95%
21
30
Rp33.581.610,00
2,69%
44,69%
86,68%
2,38095%
71,43%
2,06%
37
31
Rp36.359.100,00
2,91%
47,60%
92,28%
2,38095%
73,81%
2,20%
20
32
Rp40.406.940,00
3,23%
50,83%
98,43%
2,38095%
76,19%
2,34%
24
33
Rp41.076.915,00
3,29%
54,12%
104,95%
2,38095%
78,57%
2,50%
32
34
Rp42.008.525,00
3,36%
57,48%
111,60%
2,38095%
80,95%
2,66%
34
35
Rp42.532.005,00
3,40%
60,88%
118,36%
2,38095%
83,33%
2,82%
31
36
Rp55.579.705,00
4,45%
65,33%
126,22%
2,38095%
85,71%
3,01%
40
37
Rp59.693.450,00
4,78%
70,11%
135,44%
2,38095%
88,10%
3,22%
38
38
Rp65.052.540,00
5,21%
75,32%
145,43%
2,38095%
90,48%
3,46%
33
39
Rp69.060.650,00
5,53%
80,84%
156,16%
2,38095%
92,86%
3,72%
39
40
Rp73.570.300,00
5,89%
86,73%
167,58%
2,38095%
95,24%
3,99%
41
41
Rp76.538.250,00
6,13%
92,86%
179,59%
2,38095%
97,62%
4,28%
42
42
Rp89.232.975,00
7,14%
100,00%
192,86%
2,38095%
100,00%
4,59%
Jumlah
Rp1.249.440.405,00
100,00%
1405,16%
2710,32% 100,00% 2150,00%
64,53%
Rata – Rata
Rp29.748.581,07
2,38%
33,46%
64,53%
2,38%
51,19%
1,54%
Gini Ratio
= 1 –
Ʃ
[ (%X
i) × (%Y
i+ %Y
i-1) ]
Gini Ratio
= 1 – 64,53%
Gini Ratio
= 35,47%
(2)
Lampiran 15 : Gambar Kurva
Lorenz
yang Menunjukkan Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan Petani Sampel
di Desa Tanjung Beringin Selama Tahun 2011.
Kurva Lorenz
Garis Pemerataan
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
100.00%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
100.00%
%
K
um
ul
a
ti
f
P
e
nda
pa
ta
n
% Kumulatif Penerima Pendapatan
(3)
Lampiran 16 : Analisis Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin Berdasarkan Indikator
Bank Dunia (
World Bank
) Selama Tahun 2011.
Kelompok
Petani Sampel
Berdasarkan
Kumulatif
Total Pendapatan
No.
Sampel
No.
Index
Sampel
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Tahun
Kumulatif
% Pendapatan
Petani Sampel
Kumulatif
% Petani
Sampel
Kumulatif
Total Pendapatan
Berdasarkan
Kelompok
Petani Sampel
(X
i)
(Y
i)
(Kum. %Y
i)
(Kum. X
i)
40% Petani yang
Berpendapatan
Terendah
1
1
Rp6.213.740,00
0,50%
2,38%
Menerima
Total Pendapatan
Sebesar,
Rp.240.645.390,00
atau sekitar
19,26%
4
2
Rp9.599.155,00
1,27%
4,76%
7
3
Rp10.520.725,00
2,11%
7,14%
3
4
Rp10.643.360,00
2,96%
9,52%
2
5
Rp11.115.840,00
3,85%
11,90%
5
6
Rp11.309.430,00
4,75%
14,29%
6
7
Rp13.369.705,00
5,82%
16,67%
8
8
Rp14.068.140,00
6,95%
19,05%
19
9
Rp14.969.005,00
8,15%
21,43%
15
10
Rp15.616.570,00
9,40%
23,81%
14
11
Rp16.430.040,00
10,71%
26,19%
17
12
Rp16.532.385,00
12,04%
28,57%
9
13
Rp17.614.900,00
13,45%
30,95%
30
14
Rp17.958.930,00
14,88%
33,33%
11
15
Rp18.010.115,00
16,33%
35,71%
26
16
Rp18.253.040,00
17,79%
38,10%
23
17
Rp18.420.310,00
19,26%
40,48%
40% Petani yang
Berpendapatan
Menengah
22
18
Rp18.789.550,00
20,76%
42,86%
Menerima
Total Pendapatan
Sebesar,
Rp.477.535.140,00
atau sekitar
38,22%
13
19
Rp18.983.965,00
22,28%
45,24%
29
20
Rp20.362.500,00
23,91%
47,62%
27
21
Rp20.568.360,00
25,56%
50,00%
16
22
Rp23.133.385,00
27,41%
52,38%
10
23
Rp23.601.760,00
29,30%
54,76%
(4)
Lanjutan Lampiran 16.
Kelompok
Petani Sampel
Berdasarkan
Kumulatif
Total Pendapatan
No.
Sampel
No.
Index
Sampel
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Tahun
Kumulatif
% Pendapatan
Petani Sampel
Kumulatif
% Petani
Sampel
Kumulatif
Total Pendapatan
Berdasarkan
Kelompok
Petani Sampel
(X
i)
(Y
i)
(Kum. %Y
i)
(Kum. X
i)
40% Petani yang
Berpendapatan
Menengah
28
25
Rp25.126.160,00
33,22%
59,52%
Menerima
Total Pendapatan
Sebesar,
Rp.477.535.140,00
atau sekitar
38,22%
18
26
Rp26.129.925,00
35,31%
61,90%
36
27
Rp27.014.550,00
37,48%
64,29%
35
28
Rp27.862.540,00
39,71%
66,67%
25
29
Rp28.638.500,00
42,00%
69,05%
21
30
Rp33.581.610,00
44,69%
71,43%
37
31
Rp36.359.100,00
47,60%
73,81%
20
32
Rp40.406.940,00
50,83%
76,19%
24
33
Rp41.076.915,00
54,12%
78,57%
32
34
Rp42.008.525,00
57,48%
80,95%
20% Petani yang
Berpendapatan
Tertinggi
34
35
Rp42.532.005,00
60,88%
83,33%
Menerima
Total Pendapatan
Sebesar,
Rp.531.259.875,00
atau sekitar
42,52%
31
36
Rp55.579.705,00
65,33%
85,71%
40
37
Rp59.693.450,00
70,11%
88,10%
38
38
Rp65.052.540,00
75,32%
90,48%
33
39
Rp69.060.650,00
80,84%
92,86%
39
40
Rp73.570.300,00
86,73%
95,24%
41
41
Rp76.538.250,00
92,86%
97,62%
42
42
Rp89.232.975,00
100,00%
100,00%
Jumlah
Rp1.249.440.405,00
1405,16% 2150,00%
Rata – Rata
Rp29.748.581,07
33,46%
51,19%
12% dari Jumlah Pendapatan = Rp.149.932.848,60
17% dari Jumlah Pendapatan = Rp.212.404.868,85
(5)
Lampiran 17 : Analisis Tingkat Kemiskinan Keluarga Petani Sampel di Desa Tanjung Beringin Selama Tahun 2011.
No.
Sampel
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Tahun
Jumlah
Tanggungan
Keluarga
Petani Sampel
Total Pendapatan
Petani Sampel
Dalam Ekuivalensi
Konsumsi Beras
Konsumsi
Beras
Per-Kapita
Per-Tahun
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Kapita
Per-Tahun
Total Pendapatan
Petani Sampel
Per-Kapita
Per-Bulan
Penggolongan
Kemiskinan
Menurut
Sajogyo
Penggolongan
Kemiskinan
Menurut
BPS
(Rp.)
(Orang)
(Kg)
(Kg)
(Rp.)
(Rp.)
(1988)
(2010)
1
Rp6.213.740,00
5
764,77
152,95
Rp1.242.748,00
Rp103.562,33
Paling Miskin
Miskin
2
Rp11.115.840,00
5
1.368,10
273,62
Rp2.223.168,00
Rp185.264,00
Miskin
Miskin
3
Rp10.643.360,00
6
1.309,95
218,33
Rp1.773.893,33
Rp147.824,44
Miskin Sekali
Miskin
4
Rp9.599.155,00
4
1.181,43
295,36
Rp2.399.788,75
Rp199.982,40
Miskin
Tidak Miskin
5
Rp11.309.430,00
5
1.391,93
278,39
Rp2.261.886,00
Rp188.490,50
Miskin
Miskin
6
Rp13.369.705,00
6
1.645,50
274,25
Rp2.228.284,17
Rp185.690,35
Miskin
Miskin
7
Rp10.520.725,00
4
1.294,86
323,71
Rp2.630.181,25
Rp219.181,77
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
8
Rp14.068.140,00
5
1.731,46
346,29
Rp2.813.628,00
Rp234.469,00
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
9
Rp17.614.900,00
5
2.167,99
433,60
Rp3.522.980,00
Rp293.581,67
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
10
Rp23.601.760,00
4
2.904,83
726,21
Rp5.900.440,00
Rp491.703,33
Tidak Miskin
Tidak Miskin
11
Rp18.010.115,00
8
2.216,63
277,08
Rp2.251.264,38
Rp187.605,36
Miskin
Miskin
12
Rp23.890.855,00
7
2.940,41
420,06
Rp3.412.979,29
Rp284.414,94
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
13
Rp18.983.965,00
6
2.336,49
389,41
Rp3.163.994,17
Rp263.666,18
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
14
Rp16.430.040,00
4
2.022,16
505,54
Rp4.107.510,00
Rp342.292,50
Tidak Miskin
Tidak Miskin
15
Rp15.616.570,00
7
1.922,04
274,58
Rp2.230.938,57
Rp185.911,55
Miskin
Miskin
16
Rp23.133.385,00
6
2.847,19
474,53
Rp3.855.564,17
Rp321.297,01
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
17
Rp16.532.385,00
5
2.034,76
406,95
Rp3.306.477,00
Rp275.539,75
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
18
Rp26.129.925,00
4
3.215,99
804,00
Rp6.532.481,25
Rp544.373,44
Tidak Miskin
Tidak Miskin
19
Rp14.969.005,00
6
1.842,34
307,06
Rp2.494.834,17
Rp207.902,85
Miskin
Tidak Miskin
20
Rp40.406.940,00
5
4.973,16
994,63
Rp8.081.388,00
Rp673.449,00
Tidak Miskin
Tidak Miskin
21
Rp33.581.610,00
7
4.133,12
590,45
Rp4.797.372,86
Rp399.781,07
Tidak Miskin
Tidak Miskin
22
Rp18.789.550,00
6
2.312,56
385,43
Rp3.131.591,67
Rp260.965,97
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
23
Rp18.420.310,00
5
2.267,12
453,42
Rp3.684.062,00
Rp307.005,17
Nyaris Miskin
Tidak Miskin
24
Rp41.076.915,00
7
5.055,62
722,23
Rp5.868.130,71
Rp489.010,89
Tidak Miskin
Tidak Miskin
(6)