BAB III PEMBAHASAN
3.1 Keabsahan Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri yang
memiliki tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan juga merupakan hubungan
lahir batin yang akan terhubung dalam melakukan suatu akad yang dimiliki oleh seorang lelaki dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Perkawinan juga memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan batiniah dan lahiriah, serta memperoleh keturunan yang berguna untuk mempertahankan hidup
dan menjaga kelestarian hidup. Tujuan perkawinan seperti diatur dalam Pasal 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu membentuk keluargarumah tangga yang bahagia dan kekal, oleh KHI dipertegas dan diperluas
dengan nilai-nilai kemasyarakatan dalam kehidupan rumah tangga, yaitu sakinah, mawadah, dan rahmah. Jika nilai-nilai yang
merupakan landasan kehidupan rumah tangga itu dihayati dengan baik, maka di dalamnya akan tercakup berbagai keharusan yang
bersifat mutual, yakni mutual help, mutual relation, mutual cooperation, mutual interdependency dan mutual understanding.
33
Syarat sah perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat 1 dimana dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing. Akad dalam suatu pernikahan harus dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah. Hal ini berdasarkan Pasal 2 Ayat
2 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
33
Abdul Ghofur Anshori, 2011, Hukum Perkawinan Islam, UII PRESS, Yogyakarta, hlm. 17
25
Perkawinan yang sah harus memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Ada 2 macam syarat perkawinan, yaitu
syarat materil dan syarat formal. Syarat materil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga
syarat-syarat subjektif. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, disebut
juga syarat objektif. Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif di dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang meliputi
persyaratan materil maupun persyaratan formal. Selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , bagi
mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur di dalam hukum agamanya atau kepercayaan
masing-masing, termasuk dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu. Persyaratan materiil berkenaan
dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi:
34
a. Persyaratan orangnya:
1. Berlaku umum untuk semua perkawinan:
i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.
Perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan
sesuai pula dengan hak asasi manusia, oleh karena itu perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak
yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Persyaratan ini ditegaskan dalam
pasal 6 ayat 1 UUP yang mementukan: Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
ii. Calon mempelai sudah berumur 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita. Menurut ketentuan pasal 7 ayat 1 UUP,
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan maksudnya untuk menjaga kesehatan suami istri dan
keturunan.
34
Rachmadi Usman, Loc. Cit, hlm. 272-275
iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain,
kecuali bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang.
Menurut ketentuan pasal 9 UUP, seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 tentang poligami. Ini adalah
ketentuan mengenai perkawinan monogami, dalam waktu yang sama seorang suami tidak boleh mengawini
orang lain lagi. Tetapi apabila ia telah bercerai dengan istrinya dengan putusan pengadilan, barulah ia boleh
kawin dengan orang lain.
iv. Bagi wanita tidak sedang berada pada jangka
waktu tunggu atau masa iddah. Seorang janda dapat menikah kembali apabila
dirinya tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah. Guna waktu tunggu atau masa iddah ini
untuk mengetahui dan menghindari kesimpang-siuran garis keturunan. Hal ini diatur dalam pasal 11 UUP dan
pasal 39 PP No. Tahun 75
2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:
i. Tidak terkena laranganhalangan melakukan
perkawi-nan, baik menurut UU maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu;
ii. Tidak terkenal larangan kembali untuk ketiga
kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk yang kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Izin yang harus diperoleh:
1. Izin orang tuawali calon mempelai;
2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih
dari seorang berpoligami. Berdasarkan Pasal 3-5 PP No. 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dimana perkawinan itu akan dilangsungkan,
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan atau tertulis oleh calon mempelai, orang tua
atau wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai.
Berdasarkan Pasal 6-7 PP No. 9 Tahun 1975 setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat atau
belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut. Berdasarkan Pasal 10-13 PP No. 9 Tahun 1975 apabila semua syarat telah
dipenuhi Pegawai
Pencatat Perkawinan
membuat pengumuman
yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat. Setelah itu perkawinan dilaksanakan
setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan
dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk
Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Pada dasarnya kawin kontrak dan nikah mut’ah tidak memiliki perbedaan yang spesifik, tetapi keduanya memiliki persamaan yaitu sama-sama dibatasi
dengan perjanjian waktu dan upah tertentu serta mempunyai tujuan yang sama. Oleh karena itu dengan sendirinya setelah perjanjian kawin kontrak itu berakhir
maka masa perkawinan tersebut akan berakhir pula. Kawin kontrak mirip dengan mengontrak rumah. Kalau seseorang
mengontrak rumah tidak membutuhkan waktu yang lama hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat dan tidak selamanya. Ada bayaran sejumlah uang
tertentu yang harus dibayarkan kepada pemilik rumah, misalnya Rp 10 juta per tahun.
Seperti itu pula yang disebut kawin kontrak. Perkawinan yang disebut kawin kontrak ini hanya berlangsung untuk waktu tertentu, misalnya sebulan, dua
bulan, setahun, dan seterusnya. Untuk melakukan kawin kontrak harus ada sejumlah uang yang dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Sejumlah uang yang dibayarkan kepada pihak wanita merupakan mahar atau mas kawin untuk persyaratan perkawinan kontrak.
Di Indonesia akhir-akhir ini kawin kontrak seperti itu cukup marak. Beberapa daerah yang kawin kontraknya cukup marak
adalah di daerah Cianjur Jawa Barat, Singkawang Kalimantan Barat, dan Jepara Jawa Tengah. Namun fenomena kawin kontrak
juga terjadi di luar negeri, seperti yang terjadi kalangan tenaga kerja wanita TKW dari Indonesia di Malaysia.
35
Wanita yang disiapkan untuk kawin kontrak umumnya dipilih dari keluarga yang tingkat prekonomiannya rendah. Dengan
iming-iming mulai dari Rp 5 juta-Rp 20 juta yang ditawarkan makelar, para orang tua rela melepas anak perempuannya untuk
dikawini oleh para turis asing itu, meski hanya dalam waktu antara dua-tiga bulan saja, atau selama para turis itu berlibur di Indonesia
pada musim liburan, yaitu bulan Mei dan Juni yang dikenal oleh
penduduk dengan sebutan “musim Arab.”
36
Tak hanya di dalam negeri, kawin kontrak juga terjadi di luar negeri. Di Malaysia, misalnya kasus kawin kontrak di kalangan
TKW dari Indonesia biasanya terjadi dengan suami yang yang bukan berasal dari Indonesia. Calon suami ini juga bekerja sebagai
tenaga kerja kontrak di Malaysia. Akad nikahnya dilaksanakan di masjid-masjid dengan imam atau penghulu dari Indonesia.
Maskawinnya disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya, sesuai dengan kemampuan ekonomi calon suami. Kawin kontrak ini
berakhir jika salah satu dari suami atau istri pulang ke negara asal karena visa dan izin kerja di Malaysia sudah berakhir.
37
Sebagaimana perkawinan kontrak yang banyak dilakukan didaerah Puncak, maka Kawin kontrak menggambarkan sebuah perkawinan yang
didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu.
38
Tujuan dari kawin kontrak cenderung untuk menyalurkan nafsu birahi, tanpa disertai adanya
keinginan untuk membentuk rumah tangga yang kekal. Pelaku kawin kontrak juga tidak mengharapkan keturunan dari perkawinan yang telah dilakukan. Kawin
kontrak merupakan perkawinan yang bersifat sementara dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi. Kawin
kontrak memiliki syarat-syarat dan unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain:
35
www.merdeka.com diakses pada tanggal 7 Mei 2015 pukul 20.00
36
www.megapolitan.kompas.com diakses pada tanggal 7 Mei 2015 pukul 20.15
37
www. birokrasi.kompasiana.com diakses pada tanggal 8 Mei 2015 pukul 18.00
38
http:metro.sindonews.comread995871173musim-arab-dan-fenomena-kawin-kontrak-di- puncak-1430388730
diakses pada tanggal 25 Mei 2015 pukul 19.30
1. Tidak ada talak dalam kawin kontrak: dalam kawin kontrak
tidak dikenal istilah talak, karena kawin kontrak bukanlah pernikahan yang lazim dikenal dalam Islam. Jika hubungan
pernikahan yang lazim dilakukan dalam Islam selesai dengan beberapa hal dan salah satunya adalah talak, maka hubungan
kawin kontrak selesai dengan berlalunya waktu yang telah disepakati bersama. Seperti diketahui dalam riwayat di atas,
kesepakatan atas jangka waktu kawin kontrak adalah salah satu rukun elemen penting dalam kawin kontrak selain
kesepakatan atas mahar.
2. Jangka waktu minimal kawin kontrak: Dalam kawin kontrak
tidak ada batas minimal mengenai kesepakatan waktu berlangsungnya kawin kontrak. Jadi boleh saja kawin kontrak
dalam jangka waktu satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan untuk sekali hubungan suami istri.
3. Tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
4. Batas minimal mahar: Semua tergantung kesepakatan antara
dua belah pihak. 5.
Berkali-kali tanpa batas: Diperbolehkan kawin kontrak
dengan seorang wanita berkali-kali tanpa batas, tidak seperti pernikahan yang lazim, yang mana jika seorang wanita telah
ditalak tiga maka harus menikah dengan laki-laki lain dulu sebelum dibolehkan menikah kembali dengan suami pertama.
6. Dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi.
7. Hubungan warisan: kawin kontrak tidak mengakibatkan
hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka berdua
sepakat, berlakunya
kesepakatan itu
masih dipermasalahkan.
39
Di Indonesia perkawinan menjadi sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan hukum Islam memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya saja, tetapi juga dilihat dari aspek agama
dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan
di KUA atau catatan sipil. Kawin kontrak merupakan sebuah fenomena terselubung dalam
masyarakat sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, karena dalam kawin kontrak yang ditonjolkan
39
http:hakekat.comcontentview301 diakses pada tanggal 30 Mei 2015 pukul 18.00
hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat sementara. Dimana yang telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 perkawinan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan perempuan dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Kawin kontrak tidak memiliki tujuan perkawinan yang baik
karena hanya ikatan lahiriah saja yang timbul tanpa adanya ikatan batiniah yang sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974
tersebut. Kawin kontrak merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke dalam kategori perkawinan yang timpang karena tidak memenuhi unsur-unsur
yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 melainkan hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 menyataka n bahwa “Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa apabila sebuah
perkawinan dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing- masing pihak, maka secara hukum dan agama tidak akan diakui keabsahannya
. Berdasarkan ketentuan agama perkawinan yang sah tidak hanya
terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun mahar. Melainkan juga harus terpenuhinya tujuan
dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, kawin kontrak bukan
merupakan perkawinan yang sah karena pada dasarnya perkawinan kontrak ini dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia. Kawin kontrak ini dilakukan
hanya semata-mata demi kepentingan ekonomi saja. Hukum perkawinan juga dikenal dengan adanya asas pencatatan
perkawinan yang termaktub dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” Pada kasus kawin kontrak, perkawinan jenis ini tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
proses dari perkawinan itu sendiri diadakan secara diam-diam dan tidak banyak
orang yang mengetahuinya. Kalimat sah yang diutarakan oleh para pelaku kawin kontrak hanya didasari pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai,
persetujuan orang tua, penghulu, dan mahar. Oleh karena itu dengan terpenuhinya persyaratan umum tersebut, mereka berpikir bahwa perkawinan yang mereka
lakukan tersebut dianggap sah secara agama meskipun tidak dicatat. Perkawinan sangat memerlukan suatu kejelasan untuk memperoleh suatu
status yang dapat diakui. Kejelasan status tersebut digunakan untuk pengurusan akta kelahiran seorang anak. Landasan dari pengurusan akta kelahiran seorang
anak adalah dengan adanya surat nikah. Oleh karena itu jika pasangan suami istri tidak pernah mencatatkan perkawinannya maka kantor kependudukan tidak akan
pernah mengeluarkan akta kelahiran anak yang dimaksud. Di kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kejelasan status seseorang
sebagai suami atau sebagai istri merupakan suatu keharusan. Kepastian status itu dapat dilihat dari bukti perkawinan mereka, yaitu dalam bentuk akta perkawinan.
Sebaliknya jika suami istri tidak mencatatkan perkawinannya dikantor catatan sipil atau KUA, maka perkawinan mereka tidak memiliki kepastian dimata hukum
bahkan tidak ada perlindungan oleh hukum. Oleh karena itu dengan dilakukannya kawin kontrak, maka perkawinan semacam itu tidak mempunyai akibat dan
konsekuensi hukum terhadap kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak suami istri, kejelasan terhadap hak anak, dan kewajiban orang tua terhadap anak,
dan kejelasan untuk mendapatkan hak-hak sipil masyarakat dalam layanan publik. Begitu pula kejelasan terhadap status pasangan suami- istri yang telah
habis masa kontraknya. Hukum tidak akan melindungi suami atau istri yang telah di tinggal karena kontraknya habis terhadap harta warisan yang dikuasai
oleh saudara atau orang tua suami atau istri kontrak. Pasangan suami isteri kontrak juga tidak dapat mengajukan gugatan cerai kepengadilan Agama maupun
pengadilan Negeri. Pelaku kawin kontrak juga tidak dapat mengajukan gugatan mengenai harta bersama dari salah satu suami atau istri kontrak jika masa
kontraknya berakhir. Hukum tidak melindungi hak-hak suami dan hak-hak istri kontrak karena statusnya tidak diakui oleh hukum.
Perkawinan seperti ini berakibat buruk dan merugikan bagi seorang istri dan perempuan kontrak lainnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara
hukum perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Seorang istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika dia di tinggal dan masa kontrak
perkawinannya berakhir . Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini. Akibat perkawinan yang di lakukan di luar ketentuan hukum tidak
akan mendapat pengakuan dan tidak di lindungi oleh hukum. Perbuatan kawin kontrak ini juga dianggap sebagai penyimpangan hukum, dimana para
pelaku kawin kontrak mengatasnamakan agama terkait sahnya perkawinan. Karena indonesia adalah negara hukum, dan segenap bangsa Indonesia harus
tunduk kepada hukum yang berlaku di indonesia. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah negara Indonesia yang
mengatur tentang perkawinan. Oleh karena itu sejak di terbitkannya Undang- undang perkawinan maka seluruh warga masyarakat harus menjalankannya dan
mematuhi karena sifatnya yang memaksa. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa pelaku kawin kontrak tidak memiliki hak-hak selayaknya seorang istri yang sah.
Akibat dari kawin kontrak tersebut tidak akan ada perlindungan secara hukum. Dikarenakan kawin kontrak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku khususnya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Kawin
kontrak ini tidak mendapatkan suatu perlindungan hukum dan tidak di akuinya dihadapan hukum, maka untuk mendapatkan suatu kejelasan status hukum
sangatlah sulit dan tidak bisa. Wanita pelaku kawin kontrak akan sulit dan tidak akan mendapatkan kejelasan syarat administrasi dalam mengurus KTP, dan KK.
Di dalam kehidupan masyarakat dan sosial perkawinan kawin kontrak juga tidak diakui karena tidak adanya suatu pengakuan hukum. Perkawinan tersebut
secara hukum dianggap tidak pernah terjadi, secara sosial sang istri sulit
bersosialisasi karena telah dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan.
Proses kawin kontrak itu mirip seperti perkawinan pada umumnya. Ada saksi dan ada penghulu, juga ada ijab dan kabul, termasuk mahar yang disiapkan
pada saat ijab kabul. Kawin kontrak memiliki perbedaan dengan perkawinan yang biasa, yaitu kawin kontrak hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu,
misalnya sebulan atau satu tahun. Apabila waktu yang telah ditentukan sebelum perkawinan telah habis dan berakhir maka perkawinan tersebut akan berakhir
pula. Pada perkawinan biasa, jangka waktunya tidak ditentukan tapi berlangsung untuk selama-lamanya.
Kawin kontrak itu juga disebut dengan nikah mut’ah, dan nikah munqati.
Perkawinan biasa yang tidak ditentukan batas masa berlakunya disebut nikah daim.
Bentuk hakiki dari nikah mut’ah atau kawin kontrak sebagai berikut: 1.
Ada akad nikah dalam bentuk ijab dan qabul antara pihak yang berakad, baik dengan menggunakan lafaz: na-ka-ha,
za-wa-ja yang keduanya digunakan untuk lafaz akad dalam perkawinan biasa, juga digunakan lafaz ma-ta-
’a. 2.
Ada wali bagi perempuan yang belum dewasa, sedangkan ynag telah dewasa tidak perlu ada wali. Dan wali itu di
utamakan laki-laki sebagaimana berlaku dalam perkawinan biasa.
3. Ada saksi sebanyak dua orang yang memenuhi syarat
sebagaimana yang ditetapkan dalam syarat perkawinan biasa.
4. Ada masa tertentu untuk ikatan perkawinan, baik
diperhitungkan dengan tahun, bulan, minggu bahkan bilangan hari, yang masa ini disebutkan secara jelas dalam
akad.
5. Ada mahar yang ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama, sebagaimana yang disyartakan dalam perkawinan biasa.
6. Tidak ada peristiwa talak, karena putus perkawinan terjadi
dengan sendirinya setelah waktu yang ditentukan berakhir. 7.
Bila salah seorang dari suami istri mati dalam masa yang ditentukan tidak ada saling mewaris, kecuali disyaratkan
dalam akad.
8. Perempuan yang telah putus perkawinannya karena
berakhirnya waktu mesti menjalani iddah yang bagi perempuan haid selama dua kali haid, bagi yang kematian
suami selama 4 bulan sepuluh hari;sedangkan bagi yang hamil melahirkan anak.
40
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dari segi rukun nikah tidak ada yang terlanggar, tetapi dari segi persyaratan ada yang tidak terpenuhi, yaitu
adanya tenggang waktu umur dari perkawinan tersebut. Perbedaan yang lain dari perkawinan kontrak dengan perkawinan biasa adalah tidak terbatasnya perempuan
yang dapat dinikahi secara kontrak, sedangkan pada perkawinan biasa hanya dibatasi 4 orang dengan syarat dapat berlaku secara adil.
Salah satu dari tata cara kawin kontrak adalah membuat suatu perjanjian.
41
Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974.
Menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974, perjanjian perkawinan diperbolehkan selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian
kawin yang dibuat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas hukum, kesusilaan dan agama. Perjanjian kawin kontrak dikatakan bertentangan
karena isi dari perjanjian kawin tersebut mengatur mengenai jangka waktu berakhirnya perkawinan, dan imbalan yang diperoleh oleh wanita kontrak selama
perkawinan. Perjanjian perkawinan memuat tentang jangka waktu lamanya perkawinan,
imbalan yang akan diperoleh salah satu pihak, dan hak dan kewajiban masing- masing pihak. Berdasarkan hal tersebut, maka menyebabkan kawin kontrak
menjadi perkawinan yang bersifat sementara. Kawin kontrak juga sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan hukum, agama,
dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.
40
Amir Syarifuddin, 2007, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, Hlm. 100- 101
41
Indira Acintya Hapsari, 2014, Jurnal Hukum, Nikah Siri Dan Nikah Kontrak Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia, Universitas Sebelas Maret UNS, Semarang, hlm. 8
Perkawinan yang sesuai dengan hukum, agama, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat adalah perkawinan yang memiliki tujuan membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia. Tidak hanya bahagia di dunia tetapi juga di akhirat. Isi perjanjian kawin yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku tidak diperbolehkan dan dianggap tidak pernah ada perjanjian, maka perjanjian tersebut menjadi batal oleh hukum.
Secara hukum bila pernikahan berdasarkan kontrak atau kesepakatan untuk waktu tertentu dan juga ada imbalan, tentu bertentangan dengan UU No.1
tahun 1974 tentang perkawinan. Oleh karena itu tidak ada perkawinan secara hukum. Apabila kawin kontrak berdasarkan hukum perjanjian juga tidak sah
karena Syarat sahnya perjanjian adalah sebagai berikut: Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya perjanjian
adalah: 1.
Adanya persetujuansepakat dari orang yang ikatkan diri 2.
Adanya kecakapan menurut hukum 3.
Mengenai hal tertentu 4.
Mengenai yang diperbolehkankausa yang halal.
42
Perkawinan bukanlah perjanjian biasa, karena perkawinan memiliki tujuan yang mulia yaitu membentuk suatu keluarga. Artinya, kehidupan baru yang
dibangun bukanlah untuk kenikmatan sesaat atau dibangun berdasarkan kesepakatan untuk waktu tertentu. Jadi kawin kontrak bukan merupakan bentuk
yang disyaratkan UU No.1 tahun 1974. Faktor penyebab pelaku kawin kontrak melakukan kawin kontrak adalah
faktor materi dan faktor syahwat, juga ada faktor longgarnya sistem hukum di Indonesia. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pelaku kawin kontrak tidak
dianggap melanggar hukum, karena pasangan kawin kontrak dianggap melakukan akad nikah secara sadar dan atas dasar suka sama suka. Kawin kontrak lebih
banyak terjadi bukan berasal dari persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena
42
Moch. Chidir Ali dkk, 1993, “Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata”, Mandar Maju, Bandung, hlm. 107
paksaan dari orang tua. Pelaku kawin kontrak banyak berasal dari keluarga yang ekonominya rendah.
Persetujuan kawin kontrak biasanya bukan dari hati nurani pelaku kawin kontrak sendiri. Hal ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan perkawinan itu
sendiri yang harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah Tuhan. Tujuan dari pihak laki-laki hanya sebatas pemuas nafsu biologis
semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan sepihak.
Menurut Undang-undang Perkawinan, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dalam
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan:
Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian.
b. Perceraian. c. Atas keputusan pengadilan.
43
Berakhirnya atau putusnya perkawinan dalam kawin kontrak adalah dengan ditentukan oleh perjanjian tertulis yang disepakati dan ditentukan oleh
pihak pelaku kawin kontrak sebelum melakukan perkawinan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh undang-undang nomor
1 tahun 1974 sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 38 tersebut. Banyak alasan seseorang melakukan kawin kontrak, mulai dari untuk
mendapatkan kepuasan biologis, hingga solusi masalah ekonomi yang memaksa beberapa orang untuk melakukan kawin kontrak. Secara umum faktor pemicu
praktik kawin kontrak adalah: 1.
Pengetahuan agama yang kurang, membentuk penilaian nikah kontrak sah dan lebih baik daripada zina. Padahal
syari’at ini dulu ada, hanya bagi para sahabat Nabi saw. yang pergi jauh untuk berperang; di mana tak ada
transportasi atau teknologi modern yang bisa dengan segera menghubungkan mereka pada keluarga istri.
43
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2. Pendidikan, lapangan kerja yang sempit, dan ekonomi.
Rendahnya akses pendidikan, minimnya lapangan kerja yang disediakan negara, dan kemiskinan perempuan
membuat kawin kontrak jadi jalan pintas. Sedang bagi para EO, Dollar dan Real sangat menggiurkan sekalipun
mereka sebetulnya berkecukupan.
3. Budaya patriarki, yang melihat perempuan sebagai aset
yang bisa dijualbelikan untuk mensejahterakan keluarga; serta mindset masyarakat yang masih melihat tinggi
rendah manusia berdasarkan keturunan, warna kulit, jabatan, harta, ataupun jenis kelamin.
44
Kawin kontrak memiliki akibat yang merugikan bagi pihak perempuan. Adapun akibat dari fenomena kawin kontrak adalah:
45
1. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan
terhadap martabat kaum wanita. Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
2. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga
dan meresahkan masyarakat. 3.
Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh perkawinan itu.
4. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang-
Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dan 2.
5. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan
menyebarkan penyakit kelamin. 6.
Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Kawin kontrak yang terjadi di Indonesia belakangan ini dianggap menyimpang dengan asas-asas yang menjadi pedoman pelaksanaan perkawinan
dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Beberapa asas tersebut antara lain: 1.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka mencapai kebahagiaan spiritual.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa, suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya,
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
44
https:harefa12.wordpress.com20101116kawin-kontrak diakses pada tanggal 9 Mei 2015
pukul 19.30
45
Soemiyati, 2007, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hlm. 50
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan pencatatan penting dalam
kehidupan seseorang, seperti halnya kelahiran dan kematian atau suatu akta resmi yang dimuat dalam
daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini mencatat asas monogami, hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan kareana hukum atau agama mengijinkannya seorang suami dapat
beristri lebihdari seorang, meskipun hal itu dilakukan dengan pemenuhan berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa, calon
suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendaptkan keturunan yang baik dan
sehat.
5. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di muka
sidang pengadilan.
46
Berdasarkan penjelasan mengenai asas-asas perkawinan diatas sudah jelas bahwa kawin kontrak bertentangan dengan asas-asas perkawinan. Kawin kontrak
juga tidak sah hukumnya menurut agama maupun Undang-undang perkawinan. Salah satu asas perkawinan adalah para pihak harus sudah dewasa atau matang
jiwa raganya, sehingga seseorang tersebut mempunyai akal untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu apakah benar atau tidak, apakah berakibat buruk
atau tidak. Pada pelaku kawin kontrak, pada umumnya syarat dewasa itu hanya
dimiliki oleh satu pihak yaitu dari pihak laki-laki saja. Pelaku kawin kontrak tersebut
rata-rata sudah
berusia dewasa
dan memiliki
akal untuk
mempertimbangkan baik dan buruknya. kebanyakan calon mempelai perempuan berusia di bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas tahun namun belum
memiliki kedewasaan yang cukup untuk mempertimbangkan baik buruknya
46
Ibnu Fiyan Afifi, 2014, jurnal Hukum, Tinjauan Yuridis Mengenai Kawin Kontrak Serta Akibat Hukumnya Terhadap Istri Dan Anaknya, Universitas Negeri Semarang, Semarang, hlm. 23
melakukan kawin kontrak. Kawin kontrak juga tidak mengenal adanya asas monogami dikarenakan dalam kawin kontrak tidak ada batasan untuk menikah
berapa kali. Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan nafsu birahi dan kebutuhan batiniah saja tidak bertujuan untuk membentuk keluarga yang
sebagaimana dimaksud dalam asas perkawinan. Salah satu asas perkawinan yang sebagaimana diatur dalam undang-
undang nomor 1 tahun 1974 menyebutkan perkawinan yang bersifat kekal. Perkawinan yang dilakukan hanya sekali seumur hidup, berlangsung selamanya
sampai maut memisahkan dan tidak boleh putus begitu saja. Perkawinan yang kekal tanpa mengenal adanya batas waktu dan berlangsung untuk selamanya.
Perkawinan yang bersifat sementara sangat bertentangan dengan asas ini. Kawin kontrak sangat bertentangan dengan asas tersebut karena kawin kontrak dibatasi
oleh waktu dan bersifat hanya sementara. Kawin kontrak tidak bersifat kekal, apabila jangka waktunya habis maka perkawinan putus begitu saja.
Perkawinan yang berdasarkan hukum dan agama yang berlaku memiliki tujuan untuk memperoleh keturunan. Di dalam kawin kontrak, memperoleh
keturunan tidak selamanya dapat terwujud karena ada batasan waktu masa perkawinan sehingga kecil kemungkinan untuk menghasilkan keturunan yang
berkualitas
.
Kawin kontrak dilakukan tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak, maka secara hukum tidak akan diakui keabsahannya.
Ketentuan agama dalam hal ini tidak hanya diberi pengertian terpenuhinya syarat -syarat konkrit seperti adanya dua calon mempelai, persetujuan orang tua, maupun
mahar, tetapi juga harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia lahir dan batin berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Kawin kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah karena pada
dasarnya dilakukan bukan karena tujuan mulia untuk mematuhi perintah Tuhan
dan untuk membentuk keluarga yang bahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang didasari kepent ingan ekonomi atau biologis semata.
Sesungguhnya, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang hukum nikah kontrak. Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia MUI telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak pada 25 Oktober 1997. Dalam fatwanya, MUI memutuskan
bahwa nikah kontrak atau mutah hukumnya haram. Pelaku nikah kontrak harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, begitu bunyi poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu.
47
Sebagai dasar hukumnya, MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6. MUI juga memaparkan bahwa,
wanita yang diambil dengan jalan mutah tak berfungsi sebagai istri, karena ia bukan jariah. Para ulama Nahdlatul Ulama NU
juga telah menetapkan fatwa terkait nikah mutah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di Nusa
Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapkan bahwa nikah mutah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah.
48
Berdasarkan penjelasan diatas sudah jelas bahwa kawin kontrak yang sangat marak terjadi dikalangan masyarakat dilarang oleh hukum yang berlaku. Di
ketahui bahwa status kawin kontrak adalah tidak sah karena tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum Islam dan
Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Kawin kontrak juga bertentangan dengan tujuan perkawinan sebagaimana yang dinyatakan dalam al-
Qur„an. Kawin kontrak merupakan perkawinan yang dilakukan diluar norma yang berlaku dimasyarakat.
Perkawinan jenis ini tidak sah menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 karena bertentangan dengan asas-asas dan ketentuan yang telah diatur
didalamnya. Khususnya bertentangan dengan pasal 2 ayat 1 dan ayat 2. Kawin kontrak bukan hanya bertentangan dengan Undang-undang nomor
1 tahun 1974, melainkan bertentangan dengan kesusilaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia. Akibat negatif dari kawin kontrak akan berpengaruh
terhadap pelaku kawin kontrak khususnya para wanita kontrak. Wanita kontrak tidak akan memiliki hak-hak selayaknya istri yang sah.
47
http:www.hukumonline.comberitabacahol15650kawin-kontrak-antara-agama-hukum-dan- realita
diakses pada tanggal 17 Mei 2015 pukul 18.30
48
Ibid
3.2 Kedudukan Anak Dari Hasil Kawin Kontrak