333 seluruh kebenaran Agama, artinya tidak selayaknya ilmuwan
maupun agamawan mengklaim bahwa pandangannya adalah yang paling benar, karena pemahaman mereka bukanlah
to be
akan tetapi
to become,
bukan pandangan yang final namun dalam proses ‘menjadi’.
Pandangan-pandangan tersebut oleh orang lain atau pada zaman yang lain dapat mengalami perubahan interpretasi.
Pandangan ontologis
demikian diharapkan
dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan maupun agamawan untuk
‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran yang saya pahami hanyalah satu potongan puzzle dari gambar
keseluruhan alam semesta. Beragam pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat dipandang sebagai potongan-
potongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi pemahaman akan Kebenaran yang mutlak.
Penjelasan ini menegaskan bahwa
wujûd
ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami konflik. Apabila ada
konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan. Dapat ditegaskan di
sini bahwa status ontologis antara ilmu dan agama adalah
integratif-interdependentif
, yaitu “tidak ada agama tanpa ilmu dan tidak ada ilmu tanpa agama”.
C. Integrasi Epistemologis Ilmu dan Agama
Setiap pandangan epistemologi pasti didasari oleh suatu pemahaman ontologi tertentu. Seseorang yang meyakini bahwa
hakikat segala sesuatu adalah materi materialisme, maka bangunan epistemologinya pun akan bercorak materialisme.
Paham ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Paham
ini dapat dilihat misalnya pada empirisisme, rasionalisme dan positivisme. Demikian pula bagi seseorang yang secara ontologis
meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah yang non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non-materi,
paham ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme.
Pandangan epistemologi
Mullâ Sadrâ
melampaui pandangan empirisisme, rasionalisme maupun kritisisme yang
lahir dan berkembang di Barat. Empirisisme beranggapan bahwa kebenaran yang dapat dipercaya adalah yang diperoleh melalui
pencerapan indera, rasionalisme melalui rasio dan kritisisme melalui indera dan rasio sekaligus. Namun menurut Immanuel
334 Kant sebagai penggagas kritisisme, kedua sarana ini hanya mampu
memahami kebenaran pada tingkat
fenomena
saja, dan tidak mampu menembus pemahaman yang
noumena
yang menurutnya berada pada ruang ‘iman’.
Mullâ Sadrâ juga melampaui pandangan para pemikir Islam lainnya, karena keberhasilannya memadukan empat aliran
besar pemikiran Islam, yaitu Filsafat Peripatetik masysya’i
Islam dari Ibnu Sina,
iluminasionis teosofi
isyraqi
dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu ‘Arabi
,
dan teologi Islam
kalam
Rahman dalam Mullâ Sadrâ , 2004A: xiii. Keempat aliran
tersebut tidak begitu saja digabungkan, secara eklektik, namun ia juga mengajukan kritik atas aliran-aliran tersebut serta
mengembangkannya menjadi filsafat utuh yang dikenal sebagai
al- hikmah
al-
muta’aliyah. Dikatakan melampaui pemikiran epistemologi Barat karena melalui
al-hikmah al-
muta’aliyah ini manusia dapat menembus pemahaman
noumena,
yang oleh Immanuel Kant dianggap mustahil. Konsep mengetahui yang
dipahami oleh Sadrâ adalah hadirnya
wujûd
yang dalam konteks ini dapat diidentikkan dengan
noumena
ke dalam diri manusia. Kerja pengetahuan bukan hanya kerja pikir dan indera saja
tetapi juga kerja intuisi. Intuisi bukanlah sesuatu yang di luar rasio tetapi merupakan rasio pada tingkatan yang lebih tinggi yang
dengannya manusia dapat mengalami pengalaman mistis. Menurut Sadrâ, sebagaimana diyakini oleh Ibnu Arabi dan Suhrawardi,
bahwa seorang mistikus yang tidak memiliki kemampuan berpikir konseptual adalah mistikus yang tidak sempurna, demikian pula
sebaliknya seorang filsuf yang tidak mengalami Realitas secara langsung juga bukan filsuf yang sempurna Izutsu, 1971: 62.
Dalam konsepnya tentang persepsi Mullâ Sadrâ membagi persepsi meliputi empat tingkat Al-Mandary ed, 2003: 22-24,
yaitu persepsi indera
al-hiss
, imajinal
al-khayâl
, intuisi indera
wahm
, inteleksi ta’aqqul, namun karena persepsi imajinal dan
intuisi indera merupakan perantara antara persepsi indera dengan inteleksi, Sadrâ meringkasnya menjadi tiga, yaitu persepsi indera,
imajinal dan inteleksi. Ketiga persepsi ini, secara epistemologis, sangat terkait dengan pandangan ontologisnya, yang bisa
digambarkan sebagai berikut :
Dunia Inteleksi Persepsi Inteleksi
335 Mullâ Sadrâ membuat hubungan yang paralel antara
ontologi dan epistemologi, sehingga antara keduanya memiliki kesejajaran dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dunia Inteleksi hanya dapat dipahami menggunakan persepsi Inteleksi, dunia imajinal dengan persepsi imajinal dan dunia indera
dengan persepsi indera. Persepsi indera adalah tingkatan persepsi yang terendah karena untuk mengamati realitas wujud yang
terendah pula, yaitu dunia indera. Demikian pula persepsi imajinal dan inteleksi yang digunakan untuk memahami dunia yang lebih
tinggi, yaitu dunia imajinal dan inteleksi.
Bagan di atas dapat dikatakan sebagai integrasi onto- epistemologi ilmu dan agama. Yang terjadi bukan hanya integrasi
antara ilmu dan agama, namun juga integrasi antara epistemologi dan ontologi. Mullâ Sadrâ menyatukan ontologi dan epistemologi
sekaligus. Untuk memperkuat keyakinan adanya Tuhan ia menggunakan metode mistik dan metode ini pula yang ia gunakan
untuk membuka tabir kebenaran ilmu. Pandangan ini didasarkan atas keyakinannya bahwa setiap eksistensi
wujûd
tidak dicampuri dengan ketiadaan
‘adam, bagi-Nya tidak ada yang gaib. Zat-Nya adalah pengetahuan
‘ilm, yang mengetahui ‘âlim dan yang diketahui
ma’lûm.
Wujûd
dan cahaya
nûr
adalah satu Sadrâ, 2004B: 69. Beberapa ayat yang mendukung pandangan ini adalah:
“Allah adalah cahaya langit dan bumi” Q.S 24: 35. “
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan
Q.S. 67: 14.
“Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu walaupun
sebesar atom di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu,
melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata [al-lauh al-mahfûzh]
Al- Qur’an Digital versi 2.0.
Dunia imajinal Persepsi imajinal
Persepsi indera Dunia indera
336 PengetahuanNya tentang segala sesuatu merupakan
Realitas yang Tunggal. Tetapi pada saat PengetahuanNya tersebut Tunggal, Ia juga merupakan pengetahuan tentang tiap hal.
”Pengetahuan UniterNya adalah Realitas Pengetahuan yang tidak tercampur dengan kebodohan, sehingga Ia adalah
Pengetahuan segala sesuatu dari semua segi. Dan hal yang sama
dapat dikatakan
tentang seluruh
sifat-sifat KesempurnaanNya
yakni, kehidupan,
Kekuatan, Kehendak dan lain-lain
–yang juga Tunggal dengan Zat dan WujudNya
” Sadrâ, 2004A: 127. Pandangan ini didasarkan pada Al-
Qur’an yang berbunyi: “Ia tidak meninggalkan
apapun yang kecil atau besar, namun Ia
mencatat semuanya” Q.S. 18: 49 Al-Qur’an Digital versi 2.0. Menurut
Mullâ Sadrâ
2004A: 134
pengetahuan-Nya sesungguhnya kembali kepada wujud-Nya. Sebagaimana wujud-
Nya Yang Maha Suci seperti itu pula pengetahuan-Nya. Pengetahuan-Nya bukanlah sesuatu yang terpisah dengan wujud-
Nya, seperti halnya sifat-sifat-Nya adalah identik dengan zat-Nya.
‘Ilm seringkali dijadikan atribut bagi sesuatu yang
diketahui esensinya ma’lum bi adz
-dzât
yang merupakan bentuk yang hadir pada yang mengenal
mudrik
. Pada prinsipnya antara
ilm
, ma’lum bi adz
-dzât
dan
mudrik
merupakan satu kesatuan. Mullâ Sadrâ 2004B: 71 mengutip pandangan Ibnu Sina dalam
at-
Ta’lîqât yang mengatakan : “Bila engkau berkata: ’Aku
memikirkan sesuatu, ini berarti pengaruh darinya ada di dalam esensimu. Dengan demikian pengaruh itu memiliki eksistensi, dan
esensimu memiliki eksistensi pengaruh itu
”. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah bagaimana
konsep integrasi epistemologis antara ilmu dan agama? Integrasi epistemologis ilmu dan agama, dalam perspektif filsafat Mullâ
Sadrâ, sesungguhnya merupakan penyatuan seluruh sumber ilmu yang diperoleh, baik melalui sarana yang sudah melekat dalam diri
manusia, meliputi indera, akal dan intuisi, maupun yang diperoleh melalui wahyu. Keseluruhan sumber ilmu ini secara simultan
bergerak bersama-sama dalam mencari dan mencapai kebenaran. Seluruh proses epistemologis ini pun harus diimbangi dengan
upaya pendekatan diri kepada Allah, dengan cara mengosongkan jiwa dari ketergantungan duniawi, diganti dengan ketergantungan
337 kepada Allah. Melalui pembersihan ini jiwa menjadi bersih
sehingga
nur
cahaya Kebenaran akan mudah masuk, menyinari dan mengisi relung jiwa, sehingga dalam berdiri, duduk dan
berbaringnya selalu mengingat Allah. Ketika seluruh hidupnya diisi dengan Allah, maka Allah akan menjadi pendengarannya,
penglihatannya, tangan dan kakinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadist riwayat Bukhori :
“.... maka apabila Aku telah kasih
padanya, Akulah
yang menjadi
pendengarannya dan
penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya dan kaki yang dijalankannya ....
An-Nawawy, 1986: 120. Dalam konsep Islam, ilmu tidak hanya dicari tetapi juga
diminta dari Sang Pemilik Ilmu, “rabbi zidni ‘ilman”, ya Rabbi berilah kami ilmu. Pandangan ini bertolak belakang dengan
pandangan kaum rasionalis yang berpandangan hanya dengan meninggalkan Tuhan ilmu dapat berkembang.
Kebenaran ilmu diibaratkan sebagaimana cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya maka akan semakin sedikit mendapatkan
sinar cahaya tersebut demikian pula semakin dekat dengan sumber cahaya maka akan semakin banyak mendapatkan pancaran cahaya
tersebut.
Tuhan adalah
cahaya ilmu
sehingga apabila
menginginkan curahan ilmu manusia harus mendekat pada Sumber Cahaya tersebut. Konsep inilah yang menjadi dasar epistemologis
bahwa ilmu tidak dapat lepas dari agama, karena untuk mendapatkan ilmu seseorang harus meningkatkan kualitas
kedekatannya kepada Tuhan.
Pandangan ontologis yang
integratif-interdependentif
antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang
integratif-komplementer
. Dalam pandangan Mullâ Sadrâ, sumber ilmu tidak hanya rasio dan
empiri, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dimasukkannya intuisi
dan wahyu sebagai sumber ilmu memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi diterimanya kebenaran metafisik, yaitu agama.
Hubungan keempat metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
empiri rasio
intuisi wahyu
empiri rasio
A B
338 Sumber kebenaran A empiri dan rasio dan sumber
kebenaran B intuisi dan wahyu bukanlah sesuatu yang terpisah, namun keduanya merupakan bagian yang utuh dari metode ilmiah.
Bagan ini tidak menggambarkan bahwa terdapat tiga wilayah yang terpisah, yaitu wilayah empiri dan rasio, wilayah intuisi dan
wahyu, dan wilayah gabungan empiri, rasio, intuisi dan wahyu, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa sumber kebenaran A
empiri dan rasio lebih dominan digunakan oleh ilmu, adapun sumber kebenaran B intusi dan wahyu lebih dominan digunakan
oleh agama. Namun demikian ilmu meskipun lebih dominan mempertimbangkan sumber kebenaran A, tidak menafikan sumber
kebenaran B, demikian pula sebaliknya agama meskipun lebih dominan mempertimbangkan sumber kebenaran B, tidak
menafikan sumber kebenaran A. Adapun ilmu yang dapat secara seimbang memadukan keempat sumber kebenaran tersebut adalah
filsafat. Salah satu contoh pemikir yang memadukan keempat sumber kebenaran tersebut adalah Mullâ Sadrâ.
Pandangan ini sekaligus menepis pandangan yang didominasi oleh epistemologi Barat bahwa yang ilmiah adalah
yang rasional dan dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris saja. Epistemologi Sadrâ justru beranggapan
–sebagaimana Henry Bergson dan Muhammad Iqbal
– bahwa intuisi adalah tingkatan rasio yang lebih tinggi, dan wahyu sebagai sumber kebenaran
tertinggi karena langsung berasal dari Tuhan. Apabila keempat sumber kebenaran tersebut dipahami
sebagai metode cara mendapatkan kebenaran, maka metode tersebut harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai,
kesalahan dalam penggunaan metode dapat pula mengakibatkan kesimpulan yang salah sesat pikir. Sebagai contoh untuk
memahami keberadaan Tuhan tidaklah tepat menggunakan metode empiris. Penggunaan metode ini justru akan menghasilkan
kesimpulan bahwa Tuhan tidak perlu dipercayai karena indera tidak dapat membuktikan keberadaannya. Demikian pula
pengembangan ilmu komputer, misalnya, tidak mungkin diperoleh melalui wahyu karena tidak ada ayat yang secara eksplisit
menjelaskan rumus-rumus komputer.
Pandangan demikian tidak berarti secara metodologis terjadi dikotomi antara ilmu dengan agama, karena metode lain
yang tidak menjadi metode utama dijadikan pula sebagai
339 pendukung kebenaran. Dalam kasus memahami keberadaan
Tuhan, metode empiris maupun rasional juga memiliki peran penting dalam menunjukkan bukti-bukti empiris maupun rasional
tentang keberadaan Tuhan. Demikian pula temuan-temuan ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh para pemikir Islam tidak lepas
dari proses pendekatan diri kepada Allah sebagai manifestasi dari metode intuitif dan juga melalui pembacaan wahyu Allah yang
tersurat dalam Al-
Qur’an. Filsafat memiliki keleluasaan untuk menggunakan keempat
sumber ilmu sekaligus, oleh karena objek bahasan filsafat meliputi objek yang fisik maupun yang metafisik. Salah satu contohnya
adalah untuk memahami hakikat manusia pendekatan yang dilakukan melalui empirisisme, rasionalisme, intuisionisme dan
wahyu, justru akan menghasilkan pemahaman yang komprehensif.
D. Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama