untuk model regresi dengan variabel ROA. Dimana kedua model tersebut telah memenuhi semua uji asumsi klasik, sehingga model regresi tersebut sudah valid.
4.2.5 Hasil Pengujian Hipotesis 2 H2 Kinerja Bank Syariah Dengan Variabel RORA dan Variabel ROA
Pengujian hipotesis 2 H2a-H2e dapat dilakukan berdasarkan output SPSS dari kedua model regresi tersebut seperti yang terlihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Secara umum
terlihat bahwa hasil regresi dengan kedua model tidak jauh berbeda. Nilai adjusted R
2
dari model dengan variabel RORA adalah sebesar 0,081 atau sekitar 8,1, dan dengan model
variabel ROA sebesar 0,078 atau sekitar 7,8, menggambarkan kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen.
Pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13 di Lampiran 1 juga dapat dilihat bahwa semua variabel rasio CAMEL CAR, RORA, NPM, ROA dan LDR yang dalam hipotesis diduga berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap akrual diskresioner, tetapi hasil pengujian menunjukkan tidak ada yang konsisten dengan dugaan hipotesis semula sehingga H2 ditolak.
Nilai slope B rasio CAR yang negatif seperti terlihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa rasio CAR berpengaruh negatif, tetapi tidak signifikan terhadap akrual
diskresioner, seingga hipotesis 2a H2a ditolak. Hal ini mungkin disebabkan oleh nilai rata- rata rasio CAR secara keseluruhan yang kecil yaitu hanya 0,00941 atau 0,9 seperti yang
terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya, sehingga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner atau praktik manajemen laba secara signifikan.
Nilai rata-rata rasio CAR yang sangat rendah ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal seperti yang telah diuraikan dalam statistik deskriptif sebelumnya. Disamping itu kewajiban
pemenuhan batasan nilai minimum CAR yang ditetapkan oleh BI adalah pada tingkat banknya bukan pada tingkat cabang atau unit usaha. Maka UUS yang berjumlah 84 dari data dalam
penelitian ini, yang merupakan cabang dari bank induk konvensionalnya, tidak wajib 13
memenuhi batasan nilai minimum CAR ini, sehingga hal ini diduga juga mempengaruhi tidak signifikannya rasio CAR dalam mempengaruhi akrual diskresioner.
Dugaan ini dapat diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa variabel kontrol BUS yang berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner, yang menunjukkan
bahwa praktik manajemen laba biasanya terjadi pada tingkat bank, untuk penilaian kinerja bank secara keseluruhan. Sehingga pada tingkat cabang diduga lebih cenderung untuk
memperhatikan penilaian kinerja operasional. Rasio RORA berpengaruh positif dan tidak sisgnifikan seperti terlihat pada Tabel 4.12,
yang berarti tidak konsisten dengan dugaan hipotesis H2b ditolak. Diduga rasio RORA juga bukan merupakan orientasi utama UUS yang berstatus cabang dari bank induk konvensional.
Dimana rasio keuangan untuk menilai kualitas assets bank ini juga terpusat pada bank induknya, sehingga UUS yang merupakan 84 dari sampel penelitian ini memberikan dampak
terhadap kemungkinan berbedanya pengaruh dan tidak signifikannya rasio RORA mempengaruhi akrual diskresioner atau manajemen laba. Hasil penelitian ini juga sejalan atau
dapat disamakan dengan hasil penelitian Arnawa 2006 sebelumnya yang juga menemukan pengaruh positif dari rasio ROA dan juga tidak signifikan terhadap pengelolaan laba.
Disamping itu nilai rata-rata rasio RORA yang cukup rendah yaitu sebesar -0,00361 atau 0,4 seperti yang terlihat pada statistik deskriptif, juga diduga tidak cukup kuat untuk
mempengaruhi akrual diskresioner secara signifikan. Nilai laba sebelum pajak yang digunakan dalam rasio RORA pada beberapa bank syariah sampel cukup rendah dan bahkan ada yang
bernilai negatif, walaupun laba operasinya cukup tinggi, karena besarnya nilai rugi dari aktivitas non operasional.
Rasio NPM yang positif dan signifikan seperti terlihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13, menunjukkan bahwa rasio NPM berpengaruh positif dan signifikan terhadap akrual
diskresioner yang juga tidak sejalan dengan dugaan hipotesis 2d H2d semula. Pengaruh
14
positif dan signifikan rasio NPM terhadap akrual diskresioner juga memperkuat dugaan sebelumnya bahwa kinerja operasional sangat diperhatikan dan lebih menjadi prioritas dari
rasio lainnya. Sehingga rasio NPM ini kemungkinan akan sangat diperhatikan nilainya dan menjadi orientasi utama bank syariah, terutama UUS yang tidak terbebani oleh target nilai
rasio-rasio lainnya. Rasio NPM yang berbeda dari hipotesis awal, mungkin dapat dipengaruhi oleh aktivitas big bath karena sekitar 53 sampel mengalami penurunan laba yang cukup
besar. Walaupun dari pengujian hipotesis 1 H1 menunjukkan secara rata-rata tidak ada praktik manajemen laba pada bank syariah, tetapi hasil rasio NPM yang berpengaruh positif
dan signifikan menunjukkan bahwa ada beberapa bank syariah yang melakukan praktik manajemen laba tersebut.
Hipotesis H2d juga ditolak, karena hasil pengujian pada Tabel 4.13 menunjukkan rasio ROA berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap akrual diskresioner. Nilai rata-rata rasio
ROA yang rendah yaitu sebesar -0,00452 atau 0,5 seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya, juga diduga tidak cukup kuat untuk mempengaruhi akrual diskresioner
secara signifikan. Nilai rasio ROA ini diperolah dari perbandingan laba setelah pajak dengan total aktiva. Nilai laba setelah pajak diperoleh dari laba sebelum pajak setelah dikurangi
dengan pajak penghasilan. Tetapi karena mayoritas 84 sampel bank syariah adalah berbentuk UUS yang merupakan cabang dari bank induk konvensional, sehingga pajak
penghasilan dibebankan pada kantor pusat, sehingga sebagian besar laba setelah pajak yang digunakan dalam rasio ROA ini sama dengan laba sebelum pajak yang digunakan dalam
perhitungan rasio RORA sebelumnya. Disamping itu rasio ROA biasanya juga dihitung ditingkat pusat untuk bank secara keseluruhan. Sejalan dengan kondisi rendahnya nilai rasio
RORA yang juga berbeda pengaruh dan tidak signifikan terhadap akrual diskresioner seperti diuraikan sebelumnya, diduga hal yang sama juga mempengaruhi rasio ROA. Hasil penelitian
ini tetap sejalan dengan hasil penelitian Arnawa 2006 sebelumnya.
15
Sedangkan rasio LDR yang negatif dan tidak signifikan seperti terlihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13, menunjukkan bahwa hipotesis H2e juga ditolak. Nilai rata-rata rasio LDR
tinggi dibandingkan dengan rasio-rasio kinerja bank syariah lainnya yaitu 0,63297 atau 63 seperti yang terlihat pada statistik deskriptif sebelumnya. Rasio LDR diperoleh dari
perbandingan jumlah kredit yang diberikan dengan jumlah dana pihak ketiga yang ada pada bank syariah. Nilai rata-rata rasio LDR yang tinggi ini juga dapat menunjukkan baiknya bank
syariah dalam menyalurkan pembiayaan kredit kepada masyarakat, dimana bagi hasil dari pembiayaan ini merupakan pendapatan utama bank syariah. Sehingga diduga orientasi utama
dari sampel adalah untuk meningkatkan pendapatan sebagai penilaian utama kinerja bank yang dalam penelitian ini sejalan dengan baiknya nilai rasio NPM, jadi bukan untuk memenuhi
kecukupan rasio LDR yang juga ditetapkan BI untuk tingkat bank. Hal ini juga diduga membuat rasio LDR tidak memotivasi manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba
sehingga rasio LDR ini tidak berpengaruh signifikan terhadap akrual diskresioner. Sedangkan untuk variabel kontrol BUS, seperti yang terlihat pada Tabel 4.10,
menunjukkan bahwa variabel BUS positif dan signifikan pada α = 10. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bank syariah sebagai BUS memang memiliki akrual diskresioner yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bentuk bank syariah sebagai UUS. Hal ini berarti bahwa kecenderungan praktik manajemen laba secara signifikan lebih tinggi pada tingkat bank BUS
dari pada tingkat cabang UUS.
5. Penutup