Contohnya adalah limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran yang rusak.
h. Limbah radioaktif
Limbah radioaktif juga mencakup benda padat, cair dan gas yang terkontaminasi radionuklida. Limbah ini terbentuk akibat pelaksanaan
prosedur seperti analisis in-vitro pada jaringan dan cairan tubuh, pencitraan organ dan lokalisasi tumor secara in- vivo, dan berbagai jenis
metode investigasi dan terapi lainnya.
2.2.2. Limbah Cair Rumah Sakit
Limbah cair dari layanan kesehatan mutunya serupa dengan limbah cair yang berasal dari daerah perkotaan, tetapi mungkin juga mengandung berbagai
komponen berbahaya yang akan dibahas sebagai berikut: a.
Patogen mikrobiologis Keprihatinan utama saat ini berkaitan dengan limbah cair yang
mengandung begitu banyak patogen usus, termasuk bakteri, virus, dan cacing, yang mudah menular melalui air.
b. Zat kimia berbahaya
Sejumlah kecil zat kimia yang berasal dari aktivitas pembersihan dan desinfektan biasanya dibuang secara teratur ke selokan. Jika rekomendasi
yang ada tidak diikuti, maka akan semakin banyak jenis zat kimia yang terkandung dalam limbah cair.
Universitas Sumatera Utara
c. Sediaan farmasi
Sejumlah kecil sediaan farmasi biasanya juga dibuang ke selokan dari apotik rumah sakit dan dari berbagai bangsal. Jika rekomendasi pada
limbah sediaan farmasi tidak diikuti, akan semakin banyak jenis sediaan farmasi, termasuk antibiotik dan obat-obatan genetoksik yang juga akan
dibuang ke selokan. d.
Isotop radioaktif Sejumlah kecil isotop radioaktif akan dibuang ke selokan dari bagian
onkologi, tetapi pembuangan tersebut tidak akan menimbulkan resiko terhadap kesehatan jika rekomendasi yang ada dipatuhi.
2.2.3. Pengolahan Limbah Rumah Sakit
Banyak rumah sakit, terutama rumah sakit yang sistem pembuangannya tidak terhubung dengan instalasi pengolahan limbah kota, memiliki instalasi
pengolahan limbahnya sendiri. Pengolahan limbah cair rumah sakit ditempat hanya akan efisien jika mencakup aktivitas sebagai berikut:
a. Pengolahan primer
b. Purifikasi biologis sekunder. Sebagian besar cacing akan mengendap
dalam lumpur akibat proses purifikasi sekunder, demikian pula dengan bakteri 90-95 dan virus; dengan demikian walau sudah terbebas dari
cacing efluen masih mengandung bakteri dan virus dalam konsentrasi yang infektif.
c. Pengolahan tersier. Efluen sekunder kemungkinan akan mengandung
minimal 20 mgL zat organik terlarut yang jika didesinfeksi dengan klor
Universitas Sumatera Utara
hasilnya tidak akan efisien. Dengan demikian, efluen harus menjalani pengolahan tersier, misalnya pengolaman; jika tidak tersedia cukup ruang
untuk membuat kolam, teknik filtrasi pasir cepat dapat dipakai untuk menghasilkan efluen tersier dengan kadar zat organik yang jauh lebih
berkurang 10 mgL. d.
Desinfeksi klor. Agar konsentrasi patogen sebanding dengan konsentrasi yang ditemukan dalam air di alam, efluen tersier harus menjalani
desinfeksi klor sampai mencapai kadar yang ditetapkan. Desinfeksi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan klor dioksida, natrium
hipoklorit, atau gas klor. Pilihan lainnya adalah dengan melakukan desinfeksi sinar ultraviolet.
2.2.4. Pengolahan Lumpur