Aspek Hukum Pidana Pada Perjanjian Jaminan Fidusia

B. Aspek Hukum Pidana Pada Perjanjian Jaminan Fidusia

1. Kebijakan Hukum Pidana sebagai salah satu upaya penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Jaminan Fidusia. Kebijakan atau disebut juga dengan istilah Policy dalam bahasa inggris atau politiek dalam Bahasa Belanda. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat Sosial Defence dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politikkebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti: 130 a. Ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial. b. Ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal. Kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah seperti Penal Policy, Criminal Policy, atau Strafrechts politiek. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah : a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan 130 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Semarang, cetakan ke-V, 2014, hal.4-6 Universitas Sumatera Utara bisa menggunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 131 Bila dalam kebijakan penanggulangan tindak pidana atau politik kriminal digunakan upayasarana hukum pidana penal, maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial social policy yang terdiri dari kebijakanupaya-upaya untuk kesejahteraan sosial social welfare policy dan kebijakanupaya-upaya untuk perlindungan masyarakat social defence policy. Marc Ancel mengatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”. Menurutnya Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis dan memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang- undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang serta kepada penyelenggara putusan pengadilan. 132 Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat lewat peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan policy. Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal pidana dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni: 133 1. Tahap formulasi kebijakan legislatif Merupakan kewenangan dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok 131 Ibid., hal.26 132 Ibid., hal.23 133 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group , Jakarta, 2007, hal. 78-80 Universitas Sumatera Utara dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahanpertanggungjawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. 2. Tahap aplikasi kebijakan yudikatifyudisial; Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan 3. Tahap eksekusi kebijakan eksekutifadministratif. Tahapan eksekutifadministratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksanaeksekusi pidana. Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang- undang. 134 134 Ibid., hal.80 Universitas Sumatera Utara Perencanaan planning pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup tiga masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu masalah: 135 1. Perumusan tindak pidanakriminalisasi dan pidana yang diancamkan criminalisation and threatened punishment 2. Pemidanaan adjudication of punishment sentencing 3. Pelaksanaan pidana execution of punishment. Menurut Sudarto berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi bahwa perlu diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 136 1 Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spritual berdasarkan dengan Pancasila; sehubungan dengan ini penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat 2 Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan sprituil atas warga masyarakat. 3 Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil cost and benefit principle. 135 Ibid., hal.81 136 Sudarto, Op.Cit., hal.23 Universitas Sumatera Utara 4 Penggunanan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badn penegak hukum yaitu jaringan sampai ada kelampauan beban tugas overbelasting. Perjanjian fidusia melibatkan beberapa pihak yang terkait dalam pemenuhan hak dan kewajibannya. Tak jarang pihak kreditor mendapatkan kerugian akibat pelanggaran perjanjian fidusia dan tidak memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditor. Pentingnya penerima fidusia wajib menerima sertifikat jaminan fidusia dan tembusan diserahkan kepada debitor. Dengan adanya sertifikat jaminan fidusia kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual dan melelang benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai jaminan, kreditor wajib mengembalikan. Selain itu, dalam perjanjian biasanya dituangkan bahwa pihak debitor dilarang untuk melakukan fidusia ulang terhadap benda yang sudah menjadi objek jaminan yang sudah didaftarkan. Debitor juga dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, menyewakan kepada pihak lain terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar kecuali ada satu perjanjian tertulis dari penerima fidusia. Sedangkan di pihak debitor wajib untuk menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dan menerima kelebihan hasil eksekusi yang melebihi nilai jaminan, apabila setelah pelaksanaan eksekusi tidak Universitas Sumatera Utara mencukupi untuk pelunasan utang, pihak debitor tetap bertanggungjawab atas hutang yang belum terbayar. 137 “pemberi fidusiaa yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000 seratus juta rupiah” Pemerintah dalam upaya menanggulangi pelanggaran dalam Jaminan Fidusia yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap kreditor ini telah mengeluarkan suatu kebijakan hukum pidana dalam bentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia memberikan perlindungan terhadap kreditor melalui Pasal 23 ayat 2 UUJF yang menyatakan: “Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia.” Apabila ada yang melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut maka perbuatan itu dikatakan sebagai suatu tindak pidana yang akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal 36 UUJF, yaitu: 137 Yurizal, Op.Cit.,hal.73-74 Universitas Sumatera Utara Selain itu, UUJF juga memberikan perlindungan terhadap kedua pihak melalui Pasal 35 UUJF yaitu apabila salah satu pihak dengan sengaja memalsukan, menghilangkan, mengubah dengan cara apapun memberikan keterangan yang menyesatkan dan perbuatan tersebut diketahui salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia maka akan dikenakan sanksi pidana, yaitu : “setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp.100.000.000 seratus juta rupiah” 2. Perbuatan-Perbuatan yang Termasuk Tindak Pidana Dalam Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No.42 Tahun 1999. Perbuatan-perbuatan pidana menurut wujud atau sifatnya adalah yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, perbuatan itu merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dan menghambat akan terlaksanannya tata dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Perbuatan- perbuatan pidana yang merugikan masyarakat itu menjadi anti-sosial. Dengan demikian, konsepsi perbuatan pidana dapat disamakan dan disesuaiakn dengan Universitas Sumatera Utara konsepsi perbuatan yang pantang atau pamali yang telah dikenal sejak lama dalam masyarakat Indonesia asli. 138 a. Pemberi fidusia debitur menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia kreditur. Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana terhadap perjanjian Jaminan Fidusia yaitu : Apabila Pemberi Fidusia terbukti melakukan perbuatan yaitu menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa persetujuan penerima fidusia, terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin kreditur yaitu: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000 Lima Puluh Juta Rupiah” Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang terdapat dalam Pasal 36, menentukan sebagai berikut: 139 - Pemberian fidusia yang mengalihkan, mengadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari 138 Moeljatno, Op.Cit., hal.3 139 Yurizal, Op.Cit., Hal.42 Universitas Sumatera Utara penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000 lima puluh juta rupiah - Pasal 23 ayat 2 isinya adalah larangan bagi pemberi fidusia untuk mengalihkan, mengadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang berkaitan dan dapat menimbulkan dengan sanksi pidana dalam pasal tersebut adalah : 1 Pemberi Fidusia Pasal 1 angka 5 UUJF mengatakan bahwa: “pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia.” Menurut J Satrio, yang dimaksud dengan korporasi dalam Pasal tersebut adalah suatu badan hukum atau suatu badan yang sudah umum diterima bisa mempunyai hak milik. 140 2 Mengalihkan, Menggadaikan atau Menyewakan Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat 140 J.Satrio, Op.Cit., hal.180-181 Universitas Sumatera Utara dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan pidana yang diancam dalam ketentuan ini dapat berupa : a Mengalihkan Pengaturan mengenai pengalihan jaminan fidusia didapati pada ketentuan Pasal 19 ayat 1 UUJF sebagai berikut : 141 1 Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru. 2 Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut setiap peralihan yang tidak mendapatkan persetujuan dari penerima fidusia baik yang dilakukan dengan akta otentik atau akta dibawah tangan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Dalam penjelasan Pasal 21 UUJF antara lain dinyatakan yang dimaksud dengan “mengalihkan” antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usaha. Yang dimaksud dengan “setara” tidak hanya nilainya tetapi jugajenisnya. 142 141 Yurizal, Op.Cit., hal. 44 142 Ibid., hal.43-44 Universitas Sumatera Utara J.Satrio yang dikutip langsung oleh Yurizal dalam bukunya menyatakan : 143 b Mengadaikan atau menyewakan Kata “Pengalihan hak atas piutang” dalam Pasal 19 ayat 1 UUJF mengajarkan kepada kita, bahwa tindakan “mengalihkan” merupakan tindakan aktif dan memang dikehendaki sedangkan yang merupakan tindak pidana apabila mengalihkan “memindahtangankan” tanpa prosedur yang diatur oleh Undang- Undang No.42 Tahun 1999. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menggadaikan adalah menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Dengan demikian, objek jaminan fidusia yang digadaikan oleh pemberi fidusia dijadikan sebagai tanggungan atas utang yang dimilikinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa sedangkan menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa. Menyewakan dapat diartikan memberi kepercayaan seseorang untuk menyewa sesuatu. Menurut Yahya Harahap, bahwa sewa menyewa atau disebut dengan huur en verhuur merupakan suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan suatu barang yang hendak disewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu. 144 143 Ibid., 144 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum...Op.Cit., hal.220. Pada umumnya pihak yang menyewakan adalah pihak yang mempunyai barang. Dapat disimpulkan bahwa menggadaikan dan menyewakan Universitas Sumatera Utara adalah sesuatu yang prinsipnya adalah sama yaitu penyerahan benda hak milik. Penyerahan benda hak milik secara kepercayaan dari kreditor kepada debitor yang mana statusnya penyerahan untuk pinjam pakai apabila sudah dijaminkan dalam perjanjian yang mana benda tersebut yang seluruhnya atau sebagian adalah kepercayaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan dengan maksud melawan hukum yang dilarang dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia. 145 3 Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia Objek fidusia meliputi benda bergerak dan benda tetap tertentu, yang tidak bisa dijaminkan melalui lembaga jaminan hak tanggungan atau hipotik, tetapi kesemuannya dengan syarat, bahwa benda itu dapat dimiliki atau dialihkan. 146 4 Tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. Sehingga bila dikaitkan ketentuan Pasal ini maka, si pelaku tindak pidana dalam 145 Yurizal, Op.Cit., hal.44-45 146 J.Satrio, Op.Cit., hal.179 Universitas Sumatera Utara melakukan tindakannya tersebut tidak didasarkan atas suatu keadaan mereka mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu dalam hal ini pengalihan objek jaminan fidusia dalam bentuk tertulis kontrak. 147 Disisi lain apabila debitor mengalihkan benda obyek jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan Undang- Undang Fidusia, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia tersebut tanpa sepengetahuan kreditor dapat dilaporkan atas tuduhan penggelapan sesuai dengan Pasal 372 KUHPidana oleh kreditor. 148 Dapat diuraikan delik tersebut ke dalam unsur-unsurnya, yaitu Pasal 372 KUHPidana : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” 149 1 Barang siapa : Unsur bestandeel barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi naturlijke persoon maupun korporasi atau badan hukum recht persoon, yang apabila 147 RN Pawitri, Tesis:Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Terhadap Jaminan Fidusia Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor : 109Pid.Sus2014PN.Wat, Tesis, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta, 2016, hal.42 148 Yurizal, Op.Cit., hal. 77 149 Ibid., Universitas Sumatera Utara terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader. 2 Dengan Sengaja Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Pemahaman yang dimaksud dengan sengaja dapat diuraikan menjadi: a Perbuatan harus dilakukan dengan sengaja b Pelaku harus mengetahui bahwa yang dikuasainya adalah suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain c Pelaku harus mengetahui perbuatan zich toeeigenen itu bersifat melawan hukum d Pelaku harus mengetahui bahwa benda tersebut ada dibawah kekuasaannya bukan karena kejahatan. 3 Secara melawan hukum wederrechtlijk Universitas Sumatera Utara Melawan hukum bukan saja mengandung pengertian sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi meliputi juga perbuatan atau tidak berbuat yang telah melanggar hak oranglain, dan yang bertentangan dengan kesusilaan serta bertentangan dengan kepantasan dalam masyarakat perihal memperhatikan kepentingan oranglain. 150 4 Memiliki barang sesuatu atau menguasai untuk dirinya sendiri zich toeeigenen Melawan hukum disini dapat juga dikatakan sebagai secara tidak sah. Tidak sembarang benda dapat dijadikan objek penggelapan. Yang dapat dijadikan adalah benda berwujud dan bergerak. Rumah dan Tanah tidak dapat. Juga yang dimaksud benda disini termasuk uang. Memiliki barang sesuatu atau menguasai untuk dirinya sendiri adalah menguasai suatu benda seolah-olah ia pemiliknya. Perlu ditekankan disini bahwa zich toeeigenen yang dimaksudkan adalah yang melawan hukum. Apabila penguasaan tersebut tidak bertentangan dengan sifat dari hak dengan hak mana benda itu dapat berada dibawah kekuasannya, maka ini tidak memenuhi unsur zich toeeigenen dalam pasal ini. 5 Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain Yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah benda yang seluruhnya atau sebagian kepunyaanmilik orang lain. Tetapi, benda yang tidak ada pemiliknya resnullius atau benda yang semula ada pemiliknya namun 150 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Op.Cit., hal.52 Universitas Sumatera Utara pemiliknya telah melepaskan hak kepemilikannya terhadap benda itu res derelictae , tidak dapat dijadikan objek penggelapan. 6 Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan Apabila B sebagai pemilik barang itu meminjamkan kalungnya kepada A untuk menghadiri sebuah pesta misalnya, namun A menjual,menukar,menghibahkan,ataupun menggadaikan kalung tersebut maka A dapat dituduhkan penggelapan. b. Pemberi Fidusia dengan sengaja Memalsukan, Mengubah, Menghilangkan atau Dengan Cara Apapun Memberikan Keterangan Secara Menyesatkan. Untuk menjamin terselenggaranya suatu jaminan fidusia yang baik dan benar serta pasti, maka oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur ketentuan pidanayang tidak hanya terdapat dalam pasal 36 UU jaminan Fidusia saja tetapi ketentuan pidana terdapat juga dalam Pasal 35 yang memuat ketentuan: “setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah” Unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi supaya pelaku dapat dituntut berdasarkan ketentuan pasal ini, yaitu : 151 151 RN Pawitri, Op.Cit., hal.42 Universitas Sumatera Utara 1 Setiap Orang Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang ini merujuk pada orang perorangan danatau korporasi yang menjadi subjek hukum pemegang hak dan kewajiban yang berada dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani yang merupakan pelaku dari tindak pidana. 2 Dengan Sengaja Merupakan unsur kesalahan dalam Pasal 35 ini.Dimana si pelaku dalam hal mewujudkan tindak pidana terhadap jaminan fidusia tersebut telah mengetahui atau menginsafi bahwa perbuatan yang dia lakukan tersebut tercela atau bersifat melawan hukum. 3 Memalsukan, Mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan. Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan pidana yang diancam dalam ketentuan ini dapat berupa: a Memalsukan keterangan yang dimaksud dengan memalsukan adalah dapat berupa tindakan membuat suatu keterangan secara palsu, yang berarti semula keadaan itu belum ada, lalu dibuat sendiri yang mirip dengan yang asli dan dapat pula berupa memalsukan sesuatu surat, yang berarti surat sudah ada lalu ditambah danatau dikurangi atau diubah isinya. b Mengubah keterangan Universitas Sumatera Utara Bahwa yang dimaksud dengan mengubah keterangan tersebut dapat berupa tindakan yakni menjadikan lain dari keterangan semula, mengganti keterangan yang ada, dan mengatur kembali keterangan yang diberikan. c Menghilangkan keterangan Bahwa yang dimaksud dengan menghilangkan keterangan adalah membuat suatu hal yang ada menjadi tidak ada. d Dengan cara apapun memberikan keterangan dengan cara yang menyesatkan. Yang dimaksud dengan Memberikan Keterangan Secara Menyesatkan ialah memberikan suatu keterangan yang tidak sebagaimana fakta yang ada atau dengan kata lain bohong. 4 Apabila diketahui oleh salah satu pihak melahirkan perjanjian jaminan fidusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa pihak dalam jaminan fidusia terdiri dari Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat 6 UUJF. Ketentuan dari pasal ini memberikan syarat bahwa akibat tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut yang berupa memalsukan, mengubah, Universitas Sumatera Utara menghilangkan, atau dengan cara apapun memberikan keterangan dengan cara menyesatkan bila diketahui salah satu pihak yakni pemberi fidusia ataupun penerima fidusia dapat menimbulkan tidak dapat melahirkan suatu jaminan kebendaan yang berupa jaminan fidusia. Apabila jaminan fidusia tidak dibebani dengan pendaftaran ke kantor pendaftaran fidusia, dengan ini dapat dikenakan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP yang berbunyi: 152 1 Barang siapa “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” Unsur-Unsur yang terdapat dalam Pasal 378 KUHPidana yaitu: Barang siapa tidak merupak suatu delik tetapi suatu subjek hukum, yang dimaksud dengan barang siapa disini yaitu semua orang baik warga Negara Republik Indonesia sendiri maupun orang asing, dengan tidak membedakan jenis kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, martabat yang melakukan perbuatan pidana di Wilayah Republik Indonesia. 153 2 Dengan Maksud 152 Yurizal, Op.Cit., hal. 52 153 Yahman,Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal.121. hal ini dikecualikan kepada yang memiliki hak imunitas sebagai hak kekebalan hukum, hal ini berkaitan dengan Pasal 2 KUHP yang dikenal dengan “Prinsip teritorial”. Universitas Sumatera Utara Bahwa pelaku mengetahui tujuan yang dikehendaki dan akibat yang terjadi, dengan maksud disini merupakan suatu unsur kesengajaan dengan melawan hukum. Pelaku menyadari bahwa keuntungan yang diperolehnya menjadi tujuan yang bersifat melawan hukum. 3 Menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum Menurut P.A.F. Lamintang, “dengan tujuan mengguntungkan diri” diartikan sebagai memperoleh keuntungan atau mengguntungkan dan menambah kekayaan dari yang sudah ada. Perolehan keuntungan atau bertambahnya kekayaan pelaku secara materiil harus terjadi. 154 Menurut Pompe yang dikutip oleh Yahman, maksud untuk mengguntungkan diri secara melawan hukum misalnya pembuatnya tidak mempunyai hak sendiri atas keuntungan itu, walaupun tidak ada suatu larangan apa pun dalam ketentuan undang-undang untuk menikmati keuntungan tersebut. 155 4 Membujukmenggerakkan orang lain dengan alat pembujukpenggerak Menggerakan yaitu suatu perbuatan yang disamakan dengan arti “membujuk” orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian rupa atau dengan cara tertentu sehingga orang tersebut mau berbuat sesuai dengan kehendak pelaku untuk menyerahkan barang. 156 154 P.A.F.Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan- Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hal.276 155 Yahman, Op.Cit., hal.124 156 Ibid., hal. 115. Dalam perbuatan menggerakan orang yang menyerahkan barang harus ada hubungan kasual antara alat penggerakan itu dan penyerahan barang, dengan dipergunakan Universitas Sumatera Utara alat-alat penggerakan menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan orang normal. Sebenarnya lebih tepat dipergunakan istilah menggerakan daripada istilah membujuk, untuk melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan levering dalam pengertian Hukum Perdata. Dalam perbuatan menggerakan orang untuk menyerahkan harus diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan barang dan sebagainya. Penyerahan sesuatu barang yang telah terjadi sebagai akibat penggunaan alat penggerak atau pembujuk itu belum cukup terbukti tanpa mengemukakan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakan alat-alat penggerak atau pembujuk itu. Alat-alat itu pertama-tama harus menimbulkan dorongan didalam jiwa seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang. psychee dari korban dari penggunaan alat penggerak atau pembujuk tergerak sedemikian rupa, hingga orang itu melakukan penyerahan barang itu. Tanpa penggunaan alat atau cara itu, korban tidak akan tergerak psychee dan penyerahan sesuatu tidak akan terjadi. Penggunaan cara-cara atau alat- alat penggerak itu menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal, hingga orang itu terperdaya karenanya. Jadi, apabila orang yang dibujuk atau digerakkan mengetahui atau memahami, bahwa alat-alat penggerak atau pembujuk itu tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran, maka pscyhee-nya tidak tergerak dan karenanya ia tidak tersesat atau terperdaya, hingga dengan demikian tidak terdapat perbuatan Universitas Sumatera Utara menggerakan atau membujuk dengan alat-alat penggerak atau pembujuk, meskipun orang itu menyerahkan barangnya. 157 a. Memakai Nama Palsu atau Keadaan Palsu Alat pembujukpenggerak yang dipergunakan dalam perbuatan membujukmenggerakan orang agar menyerahkan sesuatu barang terdiri atas 4 jenis cara yaitu : Yang dimaksud dengan nama palsu atau martabat palsu adalah nama yang digunakan bukan nama aslinya melainkan nama orang lain, martabat atau kedudukan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, termasuk nama tambahan yang tidak dikenal oleh orang lain. 158 Pemakaian keadaan atau sifat palsu yaitu pernyataan dari seseorang bahwa ia ada dalam suatu keadaan tertentu, keadaan mana memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan itu, misalnya seorang swasta mengaku anggota polisi, atau mengaku petugas PLN. 159 b. Tipu Muslihat Tipu muslihat yaitu perbuatan yang dilakukan dengan akal licik dan tipu daya untuk memperalat orang lain, sehingga orang tersebut tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak seseorang 157 Yurizal, Op.Cit., hal.80 158 Yahman, Op.Cit., hal.113 159 Yurizal, Op.Cit., hal.79 Universitas Sumatera Utara menjadi percaya atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain atas suatu tindakan, termasuk menunjukkan surat-surat yang palsu. 160 c. Rangkaian Kebohongan Rangkaian kebohongan yaitu suatu perbuatan dengan perkataan yang tidak cukup satu perkataan bohong tetapi beberapa kebohongan yang membuat orang lain terpengaruh olehnya. Rangkaian kata kebohongan biasanya diucapkan secara tersusun menjadi suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu yang logis dan benar, kata-kata yang diucapkan membenarkan kata yang satu atau memperkuat kata yang lain. 161 5 Supaya membuat Hutang dan menghapuskan piutang. Berkaitan dengan pengertian membuat hutang dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yang benar.Membuat hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan membuat hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang pinjaman dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban 160 Yahman, Op.Cit., hal.114. menurut Van Bemellen perkataan tipu muslihat pertama kali dipakai oleh Modderman. Ia mengusulkan dalam komisi de wal untuk merumuskan sarana penipuan sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud mengguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menggerakan orang lain dengan memakai nama palsu atau kaulitas palsu atau dengan tipu muslihat diancam dengan pidana karena penipuan.” 161 Ibid., Universitas Sumatera Utara bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemerasatau orang lain yang dikehendaki.Unsur untuk menghapus hutang. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. Selain Tindak pidana diatas, ada pula tindak pidana yang merupakan pelanggaran perjanjian jaminan fidusia namun perbuatannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu Eksekusi Objek Fidusia Di Bawah Tangan. Pelaksanaan eksekusi bagi benda yang dibebani Jaminan Fidusia berdasarkan UUJF dan atau Peraturan lainya, maka Pihak perusahaan penerima Fidusia harus izin dan atau menyertakan pihak Kepolisian guna melaksanakan pengamanan dan atau setidaknya dapat ikut menjelaskan tentang Kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap. Hal ini menghindari asumsi masyarakat yang kurang mengerti atas keadaan tersebut.Bahwa alasan harus adanya Izin atau Penyertaan Pihak Kepolisian dapat dimaksud sebagai pihak yang mempunyai kewenangan meneliti keabsahan dari perjanjian dan Sertifikat Jaminan Fidusia apakah sudah dijalankan sesuai tatacara yang diberlakukan sebagaimana peraturan yang ada, sebagaimana implementasi PERKAP No 8 Tahun 2008 Tentang Pengamanan Eksekusi Benda Jaminan Fidusia. 162 162 Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia, http:adilindonesia.blogspot.co.id201405penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB. Universitas Sumatera Utara Pihak Penegak Hukum khususnya Kepolisian wajib mengerti secara detail dan cermat terhadap pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Fidusia beserta Peraturan pelaksanaannya serta peraturan lainya, sehingga apabila dikemudian hari ada pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan dan berasumsi merugikan masyarakat maka Polisi wajib menerima laporan dan menindaklanjuti serta dapat memproses secara hukum atas perbuatan Perusahaan tersebut jangan dikemudian saling melempar dan lepas tangan begitu saja seolah membiarkan tindakan dan perbuatan Perusahaan Pembiayaan secara sewenang-wenang.Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. 163 Pasal 368 KUHPidana menyebutkan: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.” Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 368 KUHP yaitu : 163 Yunus Syalham, Penyalahgunaan Kekuatan Eksekusi Pada Jaminan Fidusia, http:adilindonesia.blogspot.co.id201405penyalahgunaan-kekuatan-eksekusi-pada.html,Direktur Organisasi Bantuan Hukum Adil Indonesia Purworejo-Jawa Tengah. Diakses hari pada Kamis, tanggal 01 Desember 2016, Pukul 20.30 WIB. Universitas Sumatera Utara 1 Barang siapa Sama halnya seperti Unsur dalam Pasal 372 KUHP, barang siapa dalam Pasal ini yaitu semua orang baik warga Negara Republik Indonesia sendiri maupun orang asing, dengan tidak membedakan jenis kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, martabat yang melakukan perbuatan pidana di Wilayah Republik Indonesia. 2 Dengan maksud Unsur ‘dengan maksud’ dalam pasal ini memperlihatkan kehendak pelaku untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain. Jadi, pelaku sadar atas perbuatannya memaksa.Memaksa yang dilarang di sini adalah memaksa dengan kekerasan. Tanpa ada paksaan, orang yang dipaksa tidak akan melakukan perbuatan tersebut. 164 3 Menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum Menurut Wirjono Prodjodikoro, Unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” sangat penting, karena sudah cukup, apabila sifat pelanggaran hukum dari menguntungkan diri sendiri ini tercakup dalam maksud si pelaku. Jadi si pelaku tetap salah, meskipun kemudian ternyata, bahwa ia memang berhak menguntungkan diri sendiri. Misalnya barang yang diminta dengan kekerasan itu, kemudian ternyata miliknya si pelaku sendiri, hal mana tidak diketahui oleh si pelaku pada waktu ia melakukan pemerasan. Dalam hal ini maka ia tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana pemerasan, tetapi ia dapat 164 SR Sianturi, Op.Cit., hal.617 Universitas Sumatera Utara dihukum berdasar Pasal 335 ayat 1 nomor 1 KUHP, yang melarang tiap perbuatanpaksaan dengan kekerasan. 4 Memaksa dengan Kekerasan Istilah memaksa dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri 5 Supaya membuat Hutang dan menghapuskan piutang. Membuat hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan membuat hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang pinjaman dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.Unsur untuk menghapus hutang. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. Walaupun dalam pasal 368 KUHP tidak menyatakan secara tegas bahwa tindak pidana pemerasan harus dilakukan dengan sengaja akan tetapi dengan melihatnya pada adanya unsur memaksa dengan kekerasan maka dapat menarik Universitas Sumatera Utara kesimpulan tindak pidana pemerasan seperti yang dimaksud dalam pasal 368 KUHP harus dilakukan dengan sengaja.Pemberlakukan Pasal 368 KUHP ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. 165 Moeljatno mengatakan bahwa tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Misalnya Pelacuran, perbuatan pelacurannya sendiri tidak dilarang dan diancam dengan pidana. Bahwa pelacur tidak dijadikan larangan pidana, tidak berarti bahwa hal ini dianggap tidak merugikan masyarakat, tetapi karena sukarnya untuk mengadakan rumusan yang tepat. Namun hal tersebut dapat dituntut misalnya yang menyediakan tempat untuk pelacuran dan menjadikan hal itu sebagai pencarian atau kebiasaan maka dapat dikenakan sanksi pada Pasal 296 KUHP. Sanksi merupakan perbuatan dari sebuah akibat maupun konsekuensi yang harus diterima dan dilaksanakan oleh 3. Perumusan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Perjanjian Jaminan Fidusia Menurut UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia 165 Grace P Nugroho, Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta Di Bawah Tangan, http:www.hukumonline.com, Diakses pada tanggal 04 Desember 2016, Pukul 20.00 WIB Universitas Sumatera Utara pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam aspek hukum. Perbuatan tercela yang dilakukan oleh masyarakat harus dipertanggungjawabkan kepada si pelakunya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Orang yang melakukan perbuatan pidana tentu akan dipidana apabila ia mempunyai kesalahan. Sanksi haruslah dipandang sebagai suatu unsur yang esensial. 166 Menurut Jan Remmelink, sanksi merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah melanggar aturan perilaku dan pelanggaran itu diancamkan dengan pidana. 167 Menurut Muladi, hukum pidana modern yang berorientasi pada perbuatan dan pelaku, stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana StrafPunishment yang bersifat penderitaan, tetapi juga tata tertib maatregel, treatment yang secara relatif bermuatan pendidikan. 168 166 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Philosophis Dan Sosiologis, PT.Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hal.62 167 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, USU Press, Medan, 2010, hal.7 168 Sholehudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal.3 Perkembangan hukum pidana di Indonesia dewasa ini, terutama dalam Undang-Undang Pidana Khusus atau perundang- undangan pidana diluar KUHP terdapat suatu kecenderungan penggunaan sistem 2 dua jalur dalam stelsel sanksinya. Sistem pemidanaan dua jalur atau yang disebut dengan Double Track System merupakan sistem jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana yang berarti sanksi pidana dan sanksi tindakan diatur sekaligus. Walaupun ditingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi Universitas Sumatera Utara tindakan terlihat samar. Namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan. Keduanya bersumber pada dasar mengapa diadakan pemidanaan, sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar untuk apa diadakan pemidanaan itu. 169 Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa dalam banyak hal batas antara sanksi atau pidana dan tindakan sukar untuk ditentukan dengan pasti, sebab pidana sendiri dalam banyak hal mengandung tujuan untuk melindungi dan memperbaiki. Namun menurut Roeslan, hal itu secara praktis tidak ada kesulitan dalam membedakannya, apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah sanksi pidana dan yang lain daripada itu adalah sanksi tindakan. 170 Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa dalam pemberian sanksi pidana kepada seseorang terdapat 3 pertimbangan, yaitu : 171 1. Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan semata, melainkan merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari materi perundang- undangan itu sendiri. Artinya masalah penalisasi, depenalisasi, kriminalisasi dan dekriminilasi 172 169 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT.Alumni , Bandung, 1981, hal.63 170 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal. 9 171 Sholehudin, Op.Cit., hal 3-4 172 Penalisasi adalah sebuah perbuatan yang semula tidak bisa di hukum pada suatu saat menjadi bisa dihukum oleh UU. Depenalisasi adalah suatu perbuatan yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman tersebut dihilangkan. Kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Dekriminalisasi adalah proses dimana suatu perbuatan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundang-undangan pidana, kemudian pasal yang menyangkut perbuatan itu dicabut dari perundang-undangan dan dengan demikian perbuatan itu bukan lagi kejahatan. harus dipahami secara komprehensif dengan segala aspek persoalan substansi materi perundang-undangan terhadap kebijakan legislasi. Universitas Sumatera Utara 2. Sebagai salah satu masalah sentral dalam politik kriminal, sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional, karena jika tidak, akan menimbulkan The Crisis of Over Criminal Law yaitu krisis kemampuan batas dari hukum pidana. 3. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat membedakan sekaligus mengukur sejauh mana jenis sanksi, baik berupa pidana maupun tindakan yang telah ditetapkan dalam kebijakan legislasi dapat mencapai tujuan secara efektif. Ide-ide dasar pemidanaan menurut Barda Nawawi Arief, adalah : 173 a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat umum dan kepentingan individu. b. Ide keseimbangan antara “social welfare” dan “Social defence” c. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku”offender” individualis pidana dan “victim” korban d. Ide penggunaan “double track system” antara pidana dan tindakan e. Ide mengefektifkan “noncustodial measures alternatives to imprisonment 173 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Semarang, cetakan ke-II, 2015, hal.22 Universitas Sumatera Utara f. Ide elastisitasfleksibilitas pemidanaan “elasticityflexibility of sentencing” g. Ide modifikasi atau perubahan atau penyesuaian pidana h. Ide subsidiaritas didalam memilih jenis pidana i. Ide permaafan hakim j. Ide mendahulukan atau mengutamakan keadilan dari kepastian hukum. Pada dasarnya, menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, dikenal beberapa jenis sistem perumusan sanksi pidana Strafsoort yaitu : 1. Sistem Perumusan TunggalImperatif Sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat tunggal atau imperatif yaitu sistem perumusan jenis pidananya dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara saja ataupun juga pidana denda saja. 174 Barda Nawawi Arief, dalam pemikirannya bahwa perumusan sanksi pidana tunggal memiliki kelemahan yaitu : 175 a. Kelemahan utama dari sistem perumusan tunggal adalah sifatnya yang sangat kaku, absolut dan bersifat imperatif, tidak memberi kesempatan 174 Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.18. menurut Sudarto, jenis perumusan tunggal ini merupakan peninggalan atau terpengaruh dari aliran klasik. Aliran ini mengobyektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku. Dengan sifat tersebut maka aliran ini pada awal timbulnya sama sekali tidak memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. 175 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.143 Universitas Sumatera Utara kepada hakim untuk menentukan jenis pidana apa yang dianggap paling sesuai untuk terdakwa. b. Sistem perumusan tunggal merupakan peninggalan yang sangat mencolok dari aliran klasik yang ingin mengobjektifkan hukum pidana dan karenanya sangat membatasi kebebasan hakim dalam memilih dan menetapkan jenis pidana. c. Ide dasar yang melatar belakangi sistem perumusan tunggal tidak sesuai dengan ide dasar yang melatarbelakangi ditetapkannya pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia. Dengan dianutnya sistem perumusan tunggal yang kaku dan absolut akan menimbulkan kontraksi ide, sebab konsepsi pemasyarakatan bertolak dari ide rehabilitasi, resosialisasi dan individualisasi pidana. d. Dengan sistem perumusan tunggal yang kaku kecenderungan negara untuk menggembangkan kebijakan yang selektif dan limitatif dalam penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana politik kriminal. KUHP mengenal sistem perumusan tunggal berupa pidana penjara saja atau pidana saja atau pidana kurungan saja atau pidana denda saja. Seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP, 378 KUHP dan Pasal 368 KUHP yang hanya merumuskan sanksi pidana penjara saja. 2. Sistem Perumusan Alternatif Sistem perumusan alternatif adalah sistem dimana pidana dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya berdasarkan urutan jenis Universitas Sumatera Utara sanksi pidana dari terberat sampai teringan sehingga hakim diberi kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam Pasal yang bersangkutan. KUHP juga mengenal sistem perumusan Alternatif berupa ancaman Pidana penjara atau denda. 176 Walaupun ada sanksi yang dapat dipilih, undang-undang juga mengingatkan hakim agar dalam melakukan pilihan itu berpedoman pada: 177 a. Selalu berorientasi pada tujuan pemidanaan b. Lebih mengutamakan atau mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan. Sebab pidana yang lebih ringan itu telah didukung atau telah memenuhi tujuan pemidanaan. 3. Sistem Perumusan Kumulatif Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus menjatuhkan keseluruhannya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif adalah dari perkataan “dan” di antara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana. misalnya : pasal 36 ayat 1 UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya enam tahun “dan” denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00. 4. Sistem Perumusan Kumulatif-Alternatif 176 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.21 177 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...Op.Cit., hal.147-148 Universitas Sumatera Utara Sistem kumulatif alternatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim dapat menjatuhkan keseluruhannya atau dapat pula memilih salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem kumulatif alternatif adalah dari perkataan “dan atau” di antara jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana. Sistem perumusan Kumulatif-Alternatif merupakan gabungan dari sistem sebelumnya. Sistem perumusan ini mengandung aspek : a. Adanya aspek perumusan kumulatif. Ditandai dengan adanya kata hubung “dan” b. Adanya aspek perumusan alternatif didalamnya. Ditandai dengan kata “atau” yang bersifat memilih. Menurut Mardjono Reksodiputro bahwa penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua sesuai dengan peradaban manusia itu sendiri. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat, yang pertama yaitu pendapat yang tidak setuju sanksi pidana digunakan untuk menanggulangi tindak pidana. Pendapat ini mengatakan para pelaku tindak pidana atau pelanggar hukum tidak perlu dikenakan pidana, karena pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban masa lalu, sedangkan pendapat kedua setuju dengan Universitas Sumatera Utara penggunaan sanksi dalam penanggulangan tindak pidana. 178 Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan sanksi pidanapemidanaan yaitu: 179 1. Memperbaiki pribadi pelaku kriminal; 2. Membuat pelaku menjadi jera melakukan kejahatan; 3. Membuat pelaku-pelaku tertentu untuk tidak mampu lagi melakukan kejahatan-kejahatan dengan cara-cara yang lain yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Menurut Pasal 10 KUHP, jenis hukuman atau macam ancaman adalah: 180 a. Pidana Pokok 1 Pidana mati 2 Pidana penjara 3 Pidana kurungan 4 Pidana denda b. Pidana Tambahan 1 Pencabutan hak-hak tertentu 2 Perampasan barang-barang tertentu 3 Pengumuman putusan hakim Adapun perbedaan antar jenis-jenis pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut : 181 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan Imperatif, sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Maksud imperatif keharusan menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti. Sifat imperatif ini sudah terdapat dalam setiap 178 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.27 179 Ibid., hal.4 180 Lihat Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 181 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.26-28 Universitas Sumatera Utara rumusan tindak pidana, dimana rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu : a Diancamkan satu jenis pidana pokok saja, hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain. b Tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok yang sifatnya alternatif hakim harus memilih satu saja. Sementara itu, fakultatif maksudnya menjatuhkan jenis pidana tambahan bukanlah suatu keharusan. Apabila menurut pendapat hakim, kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan dan boleh tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan menjatuhkan jenis. Jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok dapat berdiri sendiri tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan. Ada pengecualian, yaitu jenis pidana tambahan dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok, tetapi bersama tindakan maatregelen Universitas Sumatera Utara 3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan pelaksanaan excetutie Sifat jenis pidana pokok yang merupakan prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pertimbangan pembentuk undang-undang yang dijelaskan dalam Memorie van Toelichting MvT WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda Dalam konsep KUHP baru, pidana kurungan tidak dicantumkan lagi sebagai salah satu bentuk dari pidana pokok. Pasal 65 ayat 1 Konsep KUHP baru, menyebutkan: 182 1 Pidana pokok terdiri atas : a. Pidana penjara b. Pidana tutupan c. Pidana pengawasan d. Pidana denda e. Pidana kerja sosial Dalam perumusan jumlah pidana yang diancamkan, dikenal ada tiga model yaitu : 183 182 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal.76. Berdasarkan Pasal 86 2 KUHP Baru, dalam penjatuhan pidana kerja sosial wajib mempertimbangkan hal-hal berikut: a. Pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan b. Usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku c. Persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial d. Riwayat sosial terdakwa e. Perlindungan keselamatan kerja terdakwa f. Keyakinan agama dan politik terdakwa g. Kemampuan terdakwa membayar pidana denda Universitas Sumatera Utara 1. fix model yaitu rumusan tindak pidana yang menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana maksimum ataupun jika perlu minimumnya yang dapat dijatuhkan hakim. 2. categorization model, yaitu dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. 3. free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. Sementara, menurut Collin Howard, dikenal adanya 4 empat sistem perumusan lamanya sanksi pidana strafmaat, yaitu : 184 1. Sistem fixeddefinite sentence, yaitu Berupa ancaman pidana yang sudah pasti. 2. Sistem indefinite sentence, yaitu berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum. 3. Sistem determinate sentenceyaitu berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana 4. Sistem indeterminate sentence, sistem ini tidak menentukan batas maksimum pidana, badan pembuat undang-undang menyerahkan 183 Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan, Artikel Hukum Tata Negara dalam Peraturan Perundang-undangan, http:ditjenpp.kemenkumham.go.idhtn-dan-puu62-perumusan-tindak-pidana-dalam-peraturan- perundang-undangan.html, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, 2009, diakses pada hari Kamis, 19 Januari 2017, Pukul 21.19 Wib. 184 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.25-26. Universitas Sumatera Utara sepenuhnya kepada kebijakan pidana aparat pelaksana pidana yang berada di tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam Perumusan sanksi pidana yang digunakan oleh Undang-Undang No.42 Tahun 1999 terhadap pelanggaran perjanjian jaminan fidusia yaitu dengan sistem perumusan kumulatif. Pada dasarnya, sistem perumusan kumulatif hampir sama dengan perumusan tunggal sebab perumusan tersebut mengharuskan hakim untuk menjatuhkan pidana keduanya, dalam perumusan kumulatif tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih. Sistem perumusan kumulatif dalam UUJF ditandai dengan kata “dan” dalam Pasal 35 UUJF dan Pasal 36 UUJF, yaitu : Pasal 35 UUJF : “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan,mengubah,menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- Sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah.” Pasal 36 UUJF : “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- lima puluh juta rupiah” Dari ketentuan diatas, dilihat dari formulasi perumusan perundang- undangan, hakikatnya sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kumulatif pada Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang terdapat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 berupa pidana penjara dan pidana denda. Universitas Sumatera Utara 1. Pidana Penjara Barda Nawawi yang dikutip oleh Mohammad Eka Putra dan Abdul Khair mengemukakan efektivitas pidana penjara itu dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu, sebagai berikut: 185 1. Aspek perlindungan masyarakat Perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugiankerusakan, menghilangkan noda-noda, serta memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum General prevention dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan lagi. 2 Aspek perbaikan si pelaku Aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. Dilihat 185 Mohammad Eka Putra dan Abul Khair, Op.Cit., hal.41 Universitas Sumatera Utara dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus special prevention dari pidana. Tolak ukurnya ada pada masalah seberapa jauh pidana penjara itu mempunyai pengarub terhadap si pelaku. Dua aspek yang mempengaruhi pidana terhadap terpidana yaitu : pertama, aspek pencegahan awal deterent aspect, biasanya diukur dengan menggunakan indikator residivis. Menurut R.M. Jackson bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Kedua, aspek perbaikan reformative aspect yang berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana. Seberapa jauh bekerjanya pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana. Dalam Pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yaitu pidana penjara dan pidana kurungan. Maksudnya, kedua jenis pidana tersebut menghilangkan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat dalam hal ini yaitu Lembaga Pemasyarakatan. 186 Adapun perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara. Tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan hanya diancamkan pada tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara. Pidana kurungan banyak diancamkan pada jenis pelanggaran, sementara pidana penjara banyak diancamkan pada jenis kejahatan. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 bila 186 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.32 Universitas Sumatera Utara dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana kurungan boleh diperberat tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan. Sedangkan untuk pidana penjara bagi tindak pidana yang dilakukan seperti adanya perbarengan dan penggulangan maka dapat dijatuhi pidana penjara dengan ditambah sepertiganya. 187 Stelsel pidana penjara, menurut Pasal 12 1, dibedakan menjadi: 188 1 Pidana penjara seumur hidup. Yaitu diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat seperti pidana alternatif dari pidana mati.Pidana yang berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, tetapi sebagai pidana alternatifnya adalah pidana penjara sementara setingi-tingginya 20 tahun. 2 Pidana penjara sementara waktu. Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling tinggi maksimum umum 15 tahun.Pidana penjara sementara dapat dijatuhkan melebihi dari 15 tahun secara berturur-turut. Berdasarkan hal tersebut maka stelsel pidana penjara yang terdapat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UUJF adalah pidana penjara sementara waktu, sebab kedua Pasal tersebut penjatuhan hukuman pidana penjaranya tidak melebihi maksimum umum yaitu 15 tahun. 187 Ibid., hal.33 188 Ibid., hal.34 Universitas Sumatera Utara 2. Pidana denda Pada umumnya, pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik- delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Maka dari itu pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Ada beberapa keistimewaan dari pidana denda jika dibandingkan dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana pokok, yaitu : 189 1 Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinan seperti ini tidak bisa terjadi. 2 Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan. Dalam praktek, jika pidana denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurungan pengganti denda ini dapat dibedakan yang lamanya berkisar antar satu hari sampai enam bulan. Ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana denda menjadi kurang efektif jika dibandingkan dengan pidana penjara, terutama apabila dibandingkan dengan pidana penjara, hal ini terutama ditinjau dari segi penjeraannya terhadap terpidana. 190 189 Ibid., hal.40 190 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan ke-II, 2007, hal.61 Universitas Sumatera Utara Adapun model perumusan jumlah pidana yang digunakan Undang-undang No.42 Tahun 1999 dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UUJF adalah yaitu fix model, hal ini ditandai dengan rumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tersebut disebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Bahkan dalam Pasal 35 UUJF disebutkan jumlah pidana penjara dan pidana denda maksimum dan minimum yaitu pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000., sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah. Dalam Pasal 36 UUJF dengan tegas menyebutkan jumlah pidana penjara paling lama yaitu 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000., Lima Puluh Juta rupiah. Ditinjau dari perumusan lamanya sanksi pidana strafmaat, maka Undang- Undang Jaminan Fidusia menganut dua jenis strafmaat yang pertama, yaitu menganut sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana. Sistem ini terlihat dalam Pasal 35 UUJF, yaitu pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun serta denda paling sedikit Rp. Rp. 10.000.000., sepuluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 100.000.000,- seratus juta rupiah. Aspek kebijakan aplikatif sistem determinate sentence ini, praktik peradilan menyikapi dengan dua pendapat yang berbeda, yaitu : 191 1. Pendapat pertama bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dibawah batas minimum ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini berdasarkan asas legalitas. 191 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.27. belum ada pedoman dalam menerapkan sistem determinate sentence yang mengatur secara lebih spesifik terhadap sistem ini. Universitas Sumatera Utara 2. Pendapat kedua bahwa hakim dapat saja menjatuhkan pidana kurang dari batasan minimum ancaman pidana yang ditentukan undang- undang dengan alasan berdasarkan asas keadilan dan keseimbangan antara tingkat kesalahan dan hukuman yang dijatuhkan. UUJF juga menganut jenis strafmaat yaitu fixedindefinite sentence system. Sistem ini diartikan untuk setiap tindak pidana dietapkan bobot atau kualitasnya sendiri-sendiri yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum atau ancaman minimumnya untuk setiap tindak pidana. Sistem ini terdapat dalam Pasal 36 UUJF, terlihat dari adanya perumusan kata-kata paling lama dan paling banyak yaitu bahwa dalam Pasal 36 UUJF menentukan pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pemberi fidusia dengan pidana paling lama 2 dua tahun dan paling banyak denda Rp. 50.000.000,- lima puluh juta rupiah. Sistem fixedindefinite sentence dalam rumusan pasal ini mempunyai segi positif dan segi negatifnya. Segi positifnya yaitu : a. Menunjukan tingkat keseriusan masing-masing tindak pidana. b. Memberikan fleksibelitas dan diskresi kepada kekuasaan pemidanaan. c. Melindungi kepentingan si pelaku itu sendiri dengan menetapkan batas-batas kebebasan dari kekuasaan pemidanaan. 192 192 Ibid., hal.24. sistem fixedindefinite sentence system biasanya disebut sebagai sistem maksimum. Menurut Lilik Mulyadi, ketiga aspek postif dari sistem maksimum tersebut mengandung aspek perlindungan masyarakat dan individu. Aspek perlindungan masyarakat terlihat dengan ditetapkannya ukuran objektif berupa maksimum pidana sebagai simbol kualitas norma sentral masyarakat yang terkandung dalam perumusan delik bersangkuta.Aspek Universitas Sumatera Utara Sedangkan sisi negatif dari sistem indefinite sentence system ini adalah sistem ini akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Dalam setiap proses kriminalisasi pembuat undang-undang selalu dihadapkan pada masalah pemberian bobot dengan menetapkan kualifikasi ancaman pidana maksimumnya sebab menetapkan maksimum pidana untuk menunjukkan tingkat keseriusan atas suatu tindak pidana, bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. 193 perlindungan individu terlihat dengan diberikannya kebebasan pada hakim untuk memilih lamanya pidana dalam batas minimum dan maksimum yang telah ditetapkan. 193 Ibid., hal.25 Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dokumen yang terkait

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Putusan Hakim Tentang Jaminan Fidusia ( Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan )

10 112 117

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA TERHADAP JAMINAN FIDUSIA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor: 109/Pid.Sus/2014/PN.Wat).

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Fidusia Dalam Hal Terjadi Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Persetujuan Penerima Fidusia.

0 0 13

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Ma No. 1607 K Pid.Sus 2012)

1 2 20

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Ma No. 1607 K Pid.Sus 2012)

0 0 2

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Ma No. 1607 K Pid.Sus 2012)

0 0 31

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Ma No. 1607 K Pid.Sus 2012)

0 0 35

Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Putusan Ma No. 1607 K Pid.Sus 2012)

0 0 5