5 Peraturan Daerah.
Dalam penelitian ini maka yang ditelaah adalah peraturan perundang- undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu
bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing perundang- undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas.
Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang- undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan atau
menyelenggarakan undang-undang. Dengan demikian dapat pula kita tinjau sebab-sebab terjadinya kasus yang dihadapi sepanjang mengenai hierarki
peraturan perundang-undangan tersebut, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.
2. Tinjauan Tentang Perlindungan Konsumen Muslim
Kaitannya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, maka atas dasar kenyataan tersebut mayoritas konsumen terbesar adalah konsumen muslim.
Di sisi lain, masih banyak aspek yang tidak tercakup dalam sistem perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi konsumen muslim,
khususnya perlindungan dari makanan yang haram. Islam melihat sebuah perlindungan konsumen bukan sebagai hubungan
keperdataan semata melainkan menyangkut kepentingan publik secara luas, bahkan menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum
Islam perlindungan atas tubuh berkait dengan hubungan vertikal Manusia dengan Allah dan horizontal sesama manusia. Dalam Islam melindungi manusia dan juga
masyarakat sudah merupakan kewajiban negara sehingga melindungi konsumen atas barang-barang yang sesuai dengan kaidah Islam harus diperhatikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat Islam konsumen muslim harus mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan
suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik, yaitu bagi
konsumen muslim. Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik Thoyyib telah terdapat dalam Al-Quran:
a. Surat Al Baqarah 2 ayat 168, ayat 172 dan ayat 173
Ayat 168: Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ayat 172: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik
dan bersyukurlah kepa da Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah” .
Ayat 173: “ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” .
b. Surat Al Maa-idah 5 ayat 3 dan ayat 88
Ayat 3: “ Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging
hewan yang disembelih atas nama selain Alla h, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang tertekam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib denga n anak panah, mengundi nasib
dengan anak panah itu adalah kefisikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut
kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusemprnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Alla h Maha Pengampun lahi Maha
Penyayang” .
Ayat 88: “ Dan ma kanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada kamu yang beriman kepada-Nya” . c.
Surat Al An’aam 6 ayat 121 dan ayat 145 Ayat 121:
“ Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang sema cam itu
adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan- kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” . Ayat 145:
Katakanlah: “ Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi- karena sesungguhnya semua itu kotor-atau binatang yang disembelih ata s nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha P engampun lagi Maha Penyayang” . d.
Surat Al A’Raaf 7 ayat 31: “ Hai anak Adam, pa kailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki
masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebiha n” .
e. Surat An Nahl 16
Ayat 114: “ Maka ma kanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu, dan syukurilah ni’mat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” .
Ayat 115: “ Sesungguhnya Allah ha nya mengharamkan atasmu mema kan bangkai,
darah, daging babi da n apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan mengania ya dan
tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” .
f. Surat Al Mu’Minuun 23 ayat 51:
“ Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjaka n” . Bagi umat Islam masalah makanan mendapat perhatian penting dan di dalam
kitab-kitab fikih masalah makanan serta minuman khamer merupakan bagian tersendiri dalam pembahsannya. Hal penting yang harus diperhatikan muslim dalam
mengkonsumsi makanan adalah bahwa makanan tersebut halal dan baik halalan Thoyyib
, sebagaimana yang diperintahankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
. Dari ayat diatas, dapat dilihat bahwa hal pertama yang wajib diperhatikan
adalah bahwa makanan itu halal. Pengertian halal mencakup tiga aspek, yaitu: a.
Halal dari segi zat-nya b.
Halal dari segi cara memperolehnya c.
Halal dari segi pengolahannya One of the most important concepts in Islam is the concept of halal, which
means “permissible”. Halal covers the aspects of slaughtering, storage, display, preparation, hygiene and sanitation. It covers food as well as non-
food category of products. Given the speed of trade globalization, the advancement is science and technologi, and the on-going initiatives to
simplify manufacturing processes, it is essential that the halal concept be fully understood by marketers Halal certification: an internasional maketing issues
and challenges, http:www.ctw-congress.deifsamdownloadtrack_13pap00 226.pdf diakses tanggal 18 Maret 2010.
Mengenai halal dari segi zatnya, Yulkarnai Harahab mengatakan bahwa
semua makanan yang ada di alam ini, baik yang berasal dari tumbuhan ataupun binatang, adalah halal untuk dimakan kecuali yang jelas-jelas di haramkan dalam
hukum Islam. Khusus makanan yang berasal dari tumbuhan makanan nabati tidak ada masalah dalam hukum Islam, yakni Islam tidak melarang makanan nabati ini,
kecuali berubah dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi minuman yang memabukkan. Maka jenis-jenis makanan nabati tersebut dapat menghilangkan
ingatan, merusak akal, melemahkan dan merusak tubuh, seperti ganja dan sebagainya adalah termasuk jenis nabati yang dilarang atau haram dimakan. Adapun makanan
yang berasal dari hewan makanan jenis hewani, ada yang sebagian yang dilarang haram untuk dimakan oleh muslim. Jenis makanan yang diharamkan tersebut
tercantum dalam: a.
Surat Al-Baqarah ayat 173: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik
Kami yang berikan kepa damu dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa,
sedang ia tidak menginginkan dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” .
b. Surat Al-Maidah ayat 3:
“ Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk da n tertekam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan diharamkan bagimu yang disebelih untuk berhala…” .
Surat Al-Maidah ayat 3 tersebut merinci Surat Al-Baqarah ayat 173, yakni pada Surat Al-Baqarah ayat 173 hanya menyebutkan empat jenis makanan yang di
haramkan, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah, sedangkan pada Surat Al-Maidah ayat 3 menyebutkan sepuluh jenis
makanan yang diharamkan. Kesepuluh jenis makanan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Bangkai, Semua macam bangkai adalah haram untuk dimakan, kecuali bangkai ikan
sebagaimana yang dinyatakan dalam hadist “laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Yang dimaksud bangkai adalah semua binatang yang mati tanpa
disembelih terlebih dahulu. Hikmah diharamkannya bangkai untuk dikonsumsi bagi umat Islam sangat nampak sekali bila dilihat dari segi kesehatan. Binatang
yang mati tanpa disembelih dahulu mengandung banyak bibit penyakit, karena kuman-kuman penyakit yang ada dalam darah akan masuk ke dalam daging
hewan tersebut karena darahnya tidak bisa mengalir keluar. b.
Darah, Semua darah yang mengalir keluar dari binatang yang disembelih adalah
haram untuk dimakan. Kebiasaan orang awam untuk kemudian dijadikan makanan orang Jawa menyebut dengan istilah “saren” atau dicampurkan pada
masakan adalah suatu hal yang bertentangan dengan syari’at Islam. Dilihat dari segi kesehatan, darah yang ada pada binatang merupakan sumber bakteri
penyakit, sehingga jika darah binatang itu dikomsumsi manusia akan sangat berbahaya.
c. Daging babi,
Walaupun dalam ayat di atas disebutkan bahwa yang diharamkan hanyalah daging babi, namun menurut penafsiran para ulama berdasarkan ayat di
atas yang diharamkan termasuk kulit babi, lemak babi minyak babi, dan sebagainya.
Dalam tafsir Al-Manar sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, dinyatakan bahwa babi itu jorok dan makanannya yang paling
lezat bagi babi adalah kotoran dan najis. Babi berbahaya untuk semua iklim daerah terutama di daerah tropis, sebagaimana dibuktikan oleh
berbagai eksperimen. Memakan dagingnya termasuk salah satu penyebab cacing yang mematikan Yulkarnain Harahab, 2003: No. 46I2003
halaman 69.
d. Daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah,
Artinya dengan menyebut selain Allah pada waktu menyembelihnya, sehingga dari ketentuan ini diharamkan untuk memakan untuk memakan daging
yang waktu penyembelihnya diniatkan untuk sesajen, untuk persembahan kepada berhala dan sebagainya. Ini termasuk diharamkan secara dieni agama demi
menjaga kemurnian tauhid. e.
Binatang yang mati karena tercekik, f.
Yang dipukul, g.
Yang jatuh,
h. Yang diterkam binatang buas, binatang yang mati karena disebabkan pada no. e
sampai dengan h adalah haram dimakan karena hukumnya sama dengan bangkai. Walaupun demikian apabila masih sempat menyembelihnya sebelum binatang itu
mati karena sebab-sebab di atas, maka dihalalkan untuk memakan dagingnya, i.
Binatang yang disembelih untuk berhala. Yang dimaksud adalah binatang yang disembelih dalam rangka
memuliakan atau mengagungkan thagut berhala. Makanan yang Thoyyib sangat penting artinya bagi kesehatan jasmani,
sedangkan makanan yang halal sangat penting artinya bagi kesehatan rohani dan kesehatan jiwa. Berikut ini kutipan dari beberapa hadist Nabi tentang arti pentingnya
makanan halal: a.
H. R. Ali r. a. “ Barang siapa yang hidupnya dari makanan yang serba halal, maka
bersinarlah agamanya, lemah lembut hatinya dan tiada dinding penghalang dari do’a-do’anya. Dan barang siapa yang makan makanan yang subhat, maka
samarlah agama dan gelaplah hatinya. Dan barang siapa memakan barang yang haram, hatinya menjadi mati, agamanya menjadi lemah, keyakinan kurang dan
Allah menutup pintu do’anya dan ibadahnya sangat sedikit” . b.
H. R. Ibnu Mardawiyah dari Abbas r. a. “ Rasulullah bersabda, “ wahai Sa’ad perbaikilah makananmu, niscaya
do’a engkau a kan ma kbul” , sesungguhnya seseorang yang menelan sesuap makanan haram, maka ibadahnya tidak akan diterima selama empat puluh hari
selama makanan itu ma sih berada di tubuhnya” .
Oleh karena hal tersebut di atas, dalam hal ini secara yuridis fomal negara Indonesia sudah memiliki aturan hukum positif, yaitu Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, selain ditentukan bahwa pangan harus memenuhi standar kesehatan Thoyyib dalam istilah hukum
Islam juga dijumpai beberapan ketentuan yang mensyaratkan label halal bagi pangan yang diperdagangkan yang member petunjuk tentang kehalalan atas
produk makanan tersebut. Hal ini cukup penting bagi konsumen muslim Yulkarnain Harahab, 2003: No. 46I2003 halaman 72.
Adapun pengertian pangan halal dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang menyatakan bahwa
pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku
pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang
pengolahannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pencantuman pada label pangan merupakan kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan halal bagi umat Islam. Keterangan halal tersebut dimaksudkan agar masyarakat umat Islam terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak
halal atau haram Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004: 78.
Di sinilah letak pentingnya suatu wadah yang mengurusi perlindungan konsumen dari makanan yang tidak halal. Suatu wadah yang berusaha
meneliti, menyeleksi dan mengawasi peredaran makanan produk di pasaran. Tentunya wadah semacam ini memerlukan tenaga-tenaga yang memiliki latar
belakang pengetahuan dan keahlian yang berbeda-beda Abdul Ghofur Anshori, 2002: No. 40II2002 halaman 90.
Memelihara kehalalan dari satu makanan, maka pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan rumah makannya harus meminta sertifikasi halal. Sertifikasi
halal dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LP-POM MUI yang mempunyai masa belaku dua tahun
dan dapat diperpanjang. Dalam kaitan ini sewaktu-waktu LP-POM MUI dapat memeriksa kembali kehalalan suatu produk yang telah mendapat sertifikasi halal
apabila ada laporan dari masyarakat yang meragukan kehalalan produk tersebut. Sertifikasi halal sifatnya suka rela, artinya setiap produsen pelaku usaha
tidak wajib mengajukan sertifikasi halal untuk produk yang dihasilkan, dan LP-POM MUI sendiri sifatnya pasif artinya hanya menunggu prosen yang mengajukan
sertifikasi halal. MUI yang telah memberikan sertifikasi halal atas suatu produk
makanan, Departemen Kesehatan dapat mengijinkan pencantuman ”label halal” atas produk tersebut.
Definisi dari ”sertifikasi halal” adalah pemeriksaan yang rinci terhadap kehalalan produk yang selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk fatwa
MUI, sedangkan ”labelisasi halal” merupakan perizinan pemasangan kata halal pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Departemen Kesehatan.
Ketentuan pangan halal dalam hukum positif yang mengatur khusus mengenai sertifikasi halal dan labelisasi halal belum ada. Peraturan-peraturan yang menjadi
dasar hukum perlindungan konsumen adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Keputusan
Menteri Agama Kepmen Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pasal-pasal yang relevan dengan masalah
halal adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat 1 huruf h menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi
dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan produksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam
label. b.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Yang mengatur penandaan halal terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
a Pasal 30 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa keterangan halal untuk
suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Keterangan halal dimaksudkan agar masyarakat
terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal haram. b
Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 disebutkan bahwa setiap label dan atau iklan tentang pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Setiap orang dilarang
memberikan keterangan dan atau pernyataan tentang pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan apabila
keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan. Oleh
karena itu pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat
keterangan yang dapat menyesatkan. c
Pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama tersebut.
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Di dalam pasal 110 yang menyebutkan bahwa setiap orangatau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman danatau
yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh danatau yang disertai klaim yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. d.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. a
Pasal 10 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan
bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau
tulisan halal pada label. Pernyataan tentang halal tersebut merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari label.
b Pasal 11 ayat 1 disebutkan untuk mendukung kebenaran pernyataan halal
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, setiap yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksaan yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan
perturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pemeriksaan tersebut
dimaksudkan untuk memberikan ketentraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan dikonsumsi aman dari segi agama.
e. Keputusan Menteri Agama Kepmen Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Pasal 6 ayat 1 huruf c menyebutkan bahwa tim pemeriksaan terhadap obyek
yang berkaitan dengan proses produksi, yaitu cara berproduksi meliputi cara penyembelihan hewan potong, pemilihan bahan baku, pemilihan bahan penolong
dan bahan baku tambahan, cara pengolahan, cara penyajian. Pemeriksaan tersebut dimaksud agar dalam proses produksi dilakukan dengan sistem halal. Dalam ayat
5 bahan baku dan bahan penolong harus memenuhi persyaratan tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi, alkohol, dan barang
haram lainnya serta bahan berupa daging harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam. Dalam ayat 6 menyebutkan bahwa
cara pengolahan sebagaimana di maksud dalam ayat 1 huruf c dilakukan dengan menghindari terkontaminasinya produk dari bahan-bahan haram dan mengikuti
prosedur pelaksanaan baku yang terdokumentasi. Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh
karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling menguntungkan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah Husni Syawali
dan Neni Sri Imaniyati, 2000: 7
Masalah perlindungan konsumen tidak lepas dari hal-hal yang terkait dengan konsumen. Yang berkaitan dengan perlindungan konsumen baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah kaitan antara konsumen, produsen atau pelaku usaha, dan barang. Begitu pula hal-hal lain yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen, antara lain mengenai asas dan tujuan perlindungan konsumen, dasar hukum perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen, posisi konsumen dan
produsen, hak dan kewajiban pelaku usaha. Definisi dan ketentuan dari perlindungan konsumen, konsumen, produsen,
pelaku usaha dan barang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah:
a. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, b.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, c.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik sendiri
maupun bersama-sama
melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, d.
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Perlu di kemukakan di sini istilah-istilah yang saling terkait yang terdapat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini penting untuk menghindari
kerancuan pemakaian istilah yang mengaburkannya dari maksud yang sesungguhnya. Pengertian Konsumen dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, danatau
pemanfaat barang danatau jasa untuk tujuan tertentu, b.
Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, danatau pemanfaat barang danatau jasa untuk diproduksi menjadi barangjasa lain atau utuk
memperdagangkannya, dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha,
c. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, danatau pemanfaat barang
danatau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali Heri Tjandrasari,
2003: No. 8II2003 halaman 21.
Upaya perlindungan konsumen didasarkan pada asas dan tujuan perlindungan konsumen yang telah diyakini bisa memberikan arahan dan hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Dasar pijakan hukum perlindungan konsumen:
a. Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen, yaitu:
1 Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2
Asas Keadilan Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3 Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.
4 Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemafaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5
Asas Kepastian Hukum Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
b. Tujuan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai
berikut: 1
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2 mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakaian barang danatau jasa, 3
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4 menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5 menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha,
6 meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia telah ditetapkan oleh pemerintah dengan pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen dapat dilakukan
dengan penuh optimisme. Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalm hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan barangjasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian
pemenuhan kebutuhan barangjasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan. Serta, ada pula yang menggolongkan hukum
konsumen dalam hukum perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsenpelaku usaha dalam aspek pemenuhan barangjasa yang merupakan
hubungan perdata N. H. T. Siahaan, 2005: 34.
Peraturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan masih terdapat
sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum.
”Perlindungan konsumen tersebar dalam peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya tentang
pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang” Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001: 19
Mengenai hak dan kewajiban konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 sebagai berikut:
a. Hak konsumen adalah:
1 hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa, 2
hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan, 3
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa,
4 hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang
digunakan, 5
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut,
6 hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen,
7 hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif, 8
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya, 9
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b.
Kewajiban konsumen adalah: 1
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan,
2 beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa,
3 membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati,
4 mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut. Selanjutnya mengenai posisi konsumen dan pelaku usaha, ada dua teori
tentang posisi antara konsumen dan produsen, yaitu:
a. Semula dianut teori bahwa konsumen dan pelaku usaha berada di posisi yang
berimbang Teori ini memandang tidak perlunya proteksi perlindungan untuk
konsumen. Dengan alasan, karena keduanya telah berada pada posisi yang berimbang dalam menentukan pilihannya, maka konsumen dituntut untuk
bersikap hati-hati untuk mengkonsumsi suatu produk. Dasar pemikiran teori ini adalah berawal dari prinsip “ let the buyer beware” pembeli perlu
berhati-hati dalam membeli atau membutuhkan apa yang dibutuhkan Happy Susanto, 2008: 28.
Masalahnya tidak sesederhana ini. Posisi yang berimbang itu tidak dibarengi dengan ”keterbukaan” yang disediakan dalam informasi sebuah produk.
Artinya, banyak konsumen yang tidak mendapatkan informasi yang lengkap tentang produk yang dikonsumsikanya. Pelaku usaha masih menyembunyikan
bagaimana kondisi produk yang ditawarkan kepada konsumen. b.
Kemudian berkembang teori bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk bersikap hati-hati dalam memproduksi barang dan jasa yang dihasilkan
Teori ini lebih baik dibandingkan dengan yang pertama. Pelaku usaha diwajibkan selalu berhati-hati karena mereka lebih mengetahui kondisi produknya
sendiri, baik sejak proses produksi hingga pemasarannya ke konsumen. Konsekuensi dari sikap ini, pelaku usaha harus menanggung kesalahan liability
jika ternyata ada produknya yang merugikan konsumen. Sebaliknya, produsen tidak bisa dipersalahkan atau dimintai pertanggungjawabannya jika ternyata
mereka telah berhati-hati. Dari teori ini kemudian berkembang konsep ”ganti- rugi”. Jika melakukan kesalahan dan merugikan konsumen, pelaku usaha harus
memberikan ganti rugi. Untuk memberikan kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan hukum
perlindungan konsumen dan untuk memperjelas hak dan kewajiban pelaku usaha tak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen sendiri. Adanya
hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Hak dan kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a. Hak pelaku usaha adalah:
1 hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan, 2
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik,
3 hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen, 4
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang
diperdagangkan, 5
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b.
Kewajiban pelaku usaha adalah: 1
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, 2
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan, 3
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,
4 menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku,
5 memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba
barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan,
6 memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan,
7 memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Bagaimana dengan sejarah awal mula munculnya gagasan hukum konsumen
dan berdirinya gerakan-gerakan perlindungan konsumen di Indonesia? Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade
1970-an. Hal ini di tandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI pada bulan Mei 1973 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,
2003: 15.
Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan,
penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen. Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-
bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti yang
dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum resmi, yaitu bagaimana member bantuan hukum kepada masyarakat atau konsumen Yusuf Shofie,
2002: 28.
YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat LPKSM yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan
perlindungan konsumen pertama di Tanah Air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar hak-haknya bisa dilindungi. Di
samping itu, tujuan YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga bisa melindungi
dirinya sendiri dan lingkungannya www.id.wikipedia.org
diakses tanggal 20 November 2009.
Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan C. Tantri D dan Sulastri, 1995: 9-15 sebagai berikut:
a. Bidang pendidikan,
b. Bidang penelitian,
c. Bidang penerbitan, warta konsumen dan perpustakaan,
d. Bidang pengaduan,
e. Bidang umum dan keuangan.
Sebagai salah satu LPKSM, YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang
menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan dan pembelaan
hukum. Sejak dekade 1980-an ada gerakan untuk mewujudkan sebuah Undang-
Undang Perlindungan Konsumen UUPK hal tersebut dilakukan selama bertahun- tahun. Pada masa Orde baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat DPR tidak
mewujudkannya karena terbukti pengesahan Rencana Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen RUUPK selalu ditunda. Kemudian pada Era Reformasi
yaitu pada masa pemerintahan B. J. Habibie, akhirnya terwujud UUPK. Dengan adanya UUPK, jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia
diharapkan bisa terpenuhi dengan baik. Masalah perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem hukum perlindungan konsumen, yang
merupakan bagian dari sistem hukum nasional.
3. Tinjauan Tentang Masakan Seafood