Perlindungan Hukum terhadap Pasien Kurang Mampu dalam Memperoleh Layanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan Berdasarkan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DAVID ANDRIAN SEMBIRING NIM : 090200435

DEPARTEMEN KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU DALAM MEMPEROLEH LAYANAN KESEHATAN DI RUMAH

SAKIT UMUM Dr. PIRNGADI MEDAN BERDASARKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN

MASYARAKAT

Oleh

DAVID ANDRIAN SEMBIRING NIM : 090200435

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)

Disetujui Oleh :

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Sunarto Ady Wibowo, SH., M.Hum Edy Ikhsan, SH., M.Hum

NIP. 195203301976011001 NIP. 196302161988031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Jamkesmas merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Jamkesmas ini sebenarnya bukan suatu program baru.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan?Bagaimana tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas?Bagaimana kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas? Jenis penelitian yang digunkan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dalam perspektif yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan yang mengatur penegakan hukum terhadap masalah jaminan kesehatan masyarakat.

Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut; peserta yang memerlukan kesehatan dasar berkunjung ke puskesmas dan jaringannya, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan kartu yang keabsahan kepesertaannya merujuk kepada daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/walikota setempat, penggunaan SKTM berlaku untuk setiap kali pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan lanjutan terkait dengan penyakitnya, dan apabila peserta Jamkesmas memerlukan pelayanan kesehatan rujukan, Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas, RSU Pirngadi Medan bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kes ehatan di rumah sakit. Implikasi dari ketentuan itu ternyata tidak mudah bagi masyarakat/pasien untuk melakukan gugatan ganti kerugian kepada rumah sakit. Tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas, yaitu menjamin akses masyarakat miskin dan tidak mampu terhadap pelayanan kesehatan, pada tahun 2008 pemerintah telah menetapkan kebijakan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini sebelumnya dikenal dengan nama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin).

Kata Kunci : Pasien Kurang Mampu, Layanan Kesehatan, Jaminan Kesehatan Masyarakat


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan berkat Rahmat serta Maghfirahnya, pada saat ini masih diberikan-Nya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU DALAM MEMPEROLEH LAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. PIRNGADI MEDAN BERDASARKAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1). di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Selama penelitian berlangsung, banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH.,M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH.,M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

5. Bapak Dr.H.Hasim Purba,SH.,M.Hum, selaku Ketua Departermen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Rabiatul Syahriah,SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mmeberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis.

7. Bapak Sunarto AdyWibowo, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Bapak Edy Ikhsan, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai yang memberikan partisipasinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Terima Kasih kepada kedua orang tua Ayahanda Hendri Sembiring dan Ibunda Carolina Ketaren, abangda dan kakanda penulis Herry Agus Pratama Sembiring, Sesy Septiana Sembiring, SH., M.Hum

11.Sahabat terbaik penulis Sweet Catherine Marpaung, S.Ked. dan Yami Tama Laoly, SH., M.Hum, seluruh abang-abang dan sahabat-sahabat mess squad.

12.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis memahami berbagai kelemahan dan kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu diharapkan saran dan kritikan yang membangun. Demikianlah sebagai kata pengantar yang penulis sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat dan


(6)

menambah wawasan Ilmu Pengetahuan bagi semua pihak. Mohon maaf segala kekurangan, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Metode Penelitian ... 5

F. Keaslian Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN PASIEN ... 11

A. Pengertian Pasien ... 11

B. Peran Pemerintah Dalam Menjamin Kesehatan Masyarakat ... 20

C. Tanggungjawab Rumah Sakit terhadap Pasien Pengguna Jamkesmas ... 22

D. Pengaturan perlindungan Hukum Pasien dalam berbagai peraturan perundang-undangan. ... 24

BAB III HAK DAN TANGGUNG JAWAB PASIEN PENGGUNA JAMKESMAS ... 52

A. Hak dan tanggung jawab pasien pengguna Jamkesmas berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan ... 52

B. Upaya hukum pasien pengguna jamkesmas yang haknya tidak terpenuhi. ... 56


(8)

BAB IV PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN PENGGUNA JAMKESMAS DI RUMAH SAKIT UMUM

Dr. PIRNGADI MEDAN ... 66

A. Prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan ... 66

B. Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas ... 72

C. Kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas ... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Jamkesmas merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Jamkesmas ini sebenarnya bukan suatu program baru.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan?Bagaimana tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas?Bagaimana kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas? Jenis penelitian yang digunkan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dalam perspektif yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan yang mengatur penegakan hukum terhadap masalah jaminan kesehatan masyarakat.

Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut; peserta yang memerlukan kesehatan dasar berkunjung ke puskesmas dan jaringannya, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan kartu yang keabsahan kepesertaannya merujuk kepada daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/walikota setempat, penggunaan SKTM berlaku untuk setiap kali pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan lanjutan terkait dengan penyakitnya, dan apabila peserta Jamkesmas memerlukan pelayanan kesehatan rujukan, Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas, RSU Pirngadi Medan bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga kes ehatan di rumah sakit. Implikasi dari ketentuan itu ternyata tidak mudah bagi masyarakat/pasien untuk melakukan gugatan ganti kerugian kepada rumah sakit. Tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas, yaitu menjamin akses masyarakat miskin dan tidak mampu terhadap pelayanan kesehatan, pada tahun 2008 pemerintah telah menetapkan kebijakan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini sebelumnya dikenal dengan nama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin).

Kata Kunci : Pasien Kurang Mampu, Layanan Kesehatan, Jaminan Kesehatan Masyarakat


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Badan kesehatan dunia (WHO) telah menetapkan bahwa kesehatan merupakan investasi, hak, dan kewajiban setiap manusia. Kutipan tersebut juga tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 selanjutnya disingkat dengan (UUD NRI) dan Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan selanjutnya disingkat dengan (UUK), menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Kenyataan yang terjadi, derajat kesehatan masyarakat miskin masih rendah, hal ini tergambarkan dari angka kematian bayi kelompok masyarakat miskin tiga setengah sampai dengan empat kali lebih tinggi dari kelompok masyarakat tidak miskin. Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal. Peningkatan biaya kesehatan yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran out of pocket, kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau sarana kesehatan. Derajat kesehatan yang rendah


(11)

berpengaruh terhadap rendahnya produktifitas kerja yang pada akhirnya menjadi beban masyarakat dan pemerintah.

Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam UUD NRI 1945, sejak awal Agenda 100 hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu telah berupaya untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT. Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program ini selanjutnya pada tahun 2008 dinamakan JAMKESMAS (Jaminan Kesehatan Masyarakat).1

Namun, sayangnya masih banyak penduduk miskin di Indonesia ini yang belum mengerti mengenai Jamkesmas, sehingga masih banyak yang enggan untuk berobat, padahal sebenarnya untuk berobat mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya yang gratis apabila mengikuti program jamkesmas. Banyak pula di suatu wilayah terpencil masyarakat yang sebenarnya tidak dikategorikan sebagai orang miskin tapi mendapatkan kartu Jamkesmas, sementara masyarakat yang sebenarnya miskin malah tidak mendapatkan kartu jamkesmas. Hal ini disebabkan karena ketidakpahaman perangkat desa di wilayah terpencil mengenai jamkesmas, sehingga masyarakat miskin yang berada di wilayahnya tidak ter-cover kesehatannya.

       1

DepKes RI.2008 .Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)


(12)

Jamkesmas merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin. Jamkesmas ini sebenarnya bukan suatu program baru. Program ini melanjutkan program terdahulunya yaitu askeskin dan kartu sehat yang semuanya memiliki tujuan yang sama, untuk menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin. Tujuan dari Jamkesmas adalah meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Sasaran program adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya.2

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan pokok dalam penulis skripsi ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan?

2. Bagaimana tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas?

       2

http://annisatridamayanti.wordpress.com/2010/11/27/sekilas-tentang-jamkesmas/diakses


(13)

3. Bagaimana kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas? 3. Untuk mengetahui kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam

menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas?

D. Manfaat Penelitian

Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini bahwa penelitianini dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari rencana penulisan ini antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teroritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari rencana penulisan ini sebagai berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum Perdata mengenai perlindungan pasien pada khususnya.


(14)

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang perlindungan hokum terhadap pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis.

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian- penilitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penulisan ini sebagai berikut :

a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya Hukum Perdata dalam hal perlindungan pasien.

E. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Pengelompokkan jenis-jenis penelitian tergantung pada pedoman dari sudut pandang mana pengelompokkan itu ditinjau. Ditinjau dari jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang langsung menggunakan metode wawancara dengan Kabid Jamkesmas RSU Dr. Pirngadi Medan dan


(15)

pasien untuk memberikan data seteliti mungkin tentang perlindungan hukum pasien pengguna Jamkesmas dalam memperoleh pelayanan kesehatan berdasarkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Dalam perspektif yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan yang mengatur penegakan hukum terhadap masalah jaminan kesehatan masyarakat.3

Perlindungan diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau risiko yang mengancamnya. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Perlindungan hukum merupakan gambaran fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatn dan kedamaian. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu masalah hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban para pihak dan pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya.

2. Sumber Data

Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian maupun di luar penelitian adalah sebagai berikut :

       3


(16)

a. Sumber Data Primer

Sumber data yang berupa keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau instansi-instansi yang terkait dengan objek yang diteliti secara langsung, yang dimaksudkan untuk lebih memahami maksud, tujuan dan arti dari data sekunder yang ada.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder sebagai pendukung data primer yang di dapat melalui penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Alat Pengumpul data

Apabila data yang diperoleh berupa data sekunder, maka alat pengumpul data yang digunakan adalah melalui studi dokumentasi atau melalui penelusuran literatur. Kegiatan yang akan dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Studi Pustaka dengan cara identifikasi isi. Alat pengumpulan data dengan mengidentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundang- undangan, artikel ,dari internet, makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan data- data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini..

4. Analisis data

Agar data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan ,dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisa data yang tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk


(17)

mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan pola sehingga dapat ditentukan dengan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.4

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan pola pikir/ logika induktif, yaitu pola pikir untuk menarik kesimpulan dari kasus- kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.5 Pada dasarnya pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis datanya. Pada penelitian hukum berjenis normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tidak dapat lepas dari berbagai penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulis menemukan judul skripsi Perlindungan Hukum Pasien Pengguna Jamkesmas dalam Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di R.S.U.P. H. Adam Malik Medan Rizky Wirdatul Husna. (2012). Dalam penelitian skripsi ini penulis mengambil judul Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Kurang Mampu Dalam Memperoleh Layanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan Berdasarkan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat.

       4

Soerjono Soekanto. Op.Cit., hlm 22

5

Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishng, 2006, hlm 249


(18)

Kajian pada penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya. Penulis mengkaji dan mengambil perumusan masalah tentang prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan dan Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas serta Kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas. Perumusan masalah di atas berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya, maka penulis tertarik mengambil judul ini sebagai judul skripsi. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan di dalam memahami isi dan tujuan dari penelitian, maka penulis memaparkan rancangan dari bentuk dan isi skripsi secara keseluruhan antara lain sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Keaslian Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN PASIEN

Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian pasien, peran pemerintah dalam menjamin kesehatan masyarakat, tanggungjawab rumah sakit terhadap pasien pengguna jamkesmas dan pengaturan perlindungan Hukum Pasien dalam berbagai peraturan perundang-undangan.


(19)

BAB III HAK DAN TANGGUNG JAWAB PASIEN PENGGUNA JAMKESMAS

Pada bab ini akan membahas tentang hak dan tanggung jawab pasien pengguna Jamkesmas berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan upaya hukum pasien pengguna jamkesmas yang haknya tidak terpenuhi. BAB IV PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN

PENGGUNA JAMKESMAS DI RUMAH SAKIT UMUM Dr.

PIRNGADI MEDAN

Pada bab ini akan membahas tentang prosedur penanganan pasien jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan dan Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas serta Kajian yuridis tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sedayatn saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan yang menggunakan jamkesmas di RSU Dr. Pirngadi Medan


(20)

A. Pengertian Pasien

Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya "menderita".orang sakit (yg dirawat dokter), penderita (sakit).6

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasien adalah7 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.8

Dalam Pasal 1 angka 10 UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pasien yaitu:

1. Setiap orang;

2. Menerima/memperoleh pelayanan kesehatan;

       6

http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses tanggal 25 November 2013

7

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses tanggal 30 Desember 2013

8

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.


(21)

3. Secara langsung maupun tidak langsung; dan 4. Dari tenaga kesehatan.

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument / konsument (Belanda). Kata konsument dalam bahasa Belanda tersebut oleh para ahli hukum pada umumnya sudah disepakati untuk mengartikannya sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijk gebruiker van goederen en dienstent) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer).9

Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa ini nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.10 Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti consumer sebagai pemakai atau konsumen. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagayatn. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud konsumen adalah konsumen akhir.11

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk orang yang sedang sakit. Orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan penyakit yang

       9

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Surabaya: Airlangga University Press, 198)4, hlm. 31.

10

A.Z. Nasutuion, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2001), hlm. 3

11

John M. Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 124.


(22)

dideritanya, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari orang yang dapat menyembuhkan penyakitnya, yaitu tenaga kesehatan. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.12Dalam hal ini tenaga kesehatan dapat ditemui oleh pasien di tempat-tempat yang memberikan layanan kesehatan seperti Puskesmas, Balai Kesehatan, tempat Praktek Dokter dan Rumah Sakit.

M. Sofyan Lubis bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen khusus di bidang ekonomi harus dibedakan dengan hubungan anatara dokter dengan pasien di bidang kesehatan (hubungan pelayanan kesehatan). Sehingga kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan dokter dengan pasien. M. Sofyan Lubis dalam bukunya “Konsumen dan Pasien dalam Hukum Indonesia” menyebutkan bahwa

Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan konsumen, hal ini karena hubungan yang terjadi di antara mereka bukan merupakan hubungan jual-beli yang diatur dalam KUHPerdata dan KUHD, melainkan hubungan antara dokter dengan pasien hanya merupakan bentuk perikatan medik, yaitu perjanjian “usaha” (inspanning verbintenis) tepatnya perjanjian usaha kesembuhan (teraupetik), bukan perikatan medik “hasil” (resultaat verbintenis), disamping itu profesi dokter dalam etika kedokteran masih berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”, sehingga sulit disamakan antara pasien dengan konsumen pada umumnya.13

       12

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

13


(23)

Undang-Undang dalam bidang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen dalam menyebutkan pengguna jasa rumah sakit (pasien). Tetapi untuk dapat mengetahui kedudukan pasien sebagai konsumen atau tidak, maka kita dapat membandingkan pengertian pasien dan konsumen. Adapun unsur-unsur pengertian konsumen yang kemudian dibandingkan dengan unsur-unsur dalam pengertian pasien yaitu:

1. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Pasien adalah setiap orang dan bukan merupakan badan usaha, karena pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah untuk kesehatan bagi diri pribadi orang tersebut bukan untuk orang banyak. Kesehatan adalah sesuatu hal yang tidak bisa untuk diwakilkan kepada orang lain maupun badan usaha manapun.

2. Pemakai

Kata “Pemakai” sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah menekankan bahwa konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain,


(24)

dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).14 Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang.

Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.15Dan bila kita melihat dalam hal pelayanan kesehatan maka peralihan jasa terjadi antara dokter kepada pasien. Pasien merupakan pemakai atau pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di tempat praktik dokter. Dan setelah pasien mendapatkan jasa dari tenaga kesehatan, maka kemudian akan terjadi transaksi ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung berupa pembayaran atas jasa yang telah diperoleh.

3. Barang dan/atau Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai “setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagayatn, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

       14

A.Z. Nasution, Op.Cit, hlm 5.

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 28


(25)

konsumen”. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.16

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengertian jasa diartikan sebagai “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat”, menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.17

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk jasa sesuai dengan pengertian Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, hal ini karena pelayanan kesehatan menyediakan prestasi berupa pemberian pengobatan kepada pasien yang disediakan untuk masyarakat luas tanpa terkecuali. Secara umum, jasa pelayanan kesehatan mempunyai beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya dengan barang, yaitu: 18

a. Intangibility, jasa pelayanan kesehatan mempunyai sifat tidak berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, atau dirasakan. Tidak dapat dinilai (dinikmati) sebelum pelayanan kesehatan diterima (dibeli). Jasa juga tidak mudah dipahami secara rohani. Jika pasien akan menggunakan (membeli) jasa pelayanan kesehatan, ia hanya dapat memanfaatkannya saja, tetapi tidak dapat memilikinya.

       16

Ibid, hlm . 29

17

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 14.

18

A.A. Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004), hlm. 237-238.


(26)

b. Inseparability, produk barang harus diproduk dulu sebelum dijual, tetapi untuk jasa pelayanan kesehatan, produk jasa harus diproduksi secara bersamaan pada saat pasien meminya pelayanan kesehaatan. Dalam hal ini, jasa diproduuksi bersamaan pada saat pasien meminta pelayanan kesehatan.

c. Variability, jasa juga banyak variasinya (nonstandardized output). Bentuk, mutu, dan jenisnya sangat tergantung dari siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut diproduksi. Oleh karena itu, mutu jasa pelayanan kesehatan yang people based dan high contact personnel sangat ditentukan oleh kualitas komponen manusia sebagai faktor produksi, standar prosedur selama proses produksinya, dan sistem pengawasannya.

d. Perishability, jasa merupakan sesuatu yang tidak dapat disimpan dan tidak tahan lama. Tempat tidur Rumah Sakit yang kosong, atau waktu tunggu dokter yang tidak dimanfaatkan oleh pasien akan hilang begitu saja karena jasa tidak dapat disimpan. Selain itu, di bidang pelayanan kesehatan, penawaran dan permintaan jasa sangat sulit diprediksi, karena tergantung dari ada tidaknya orang sakit. Tidak etis jika Rumah Sakit atau dokter praktik mengharapkan agar selalu ada orang yang jatuh sakit.

4. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasarkan (Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan


(27)

pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.19Jasa pelayanan kesehatan tentunya merupakan hal yang tersedia di masyarakat, bahkan disediakan oleh pemerintah. Ketersediaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena mewujudkan masyarakat yang sehat adalah merupakan salah satu program pemerintah. Dalam satu daerah pasti tersedia puskesmas, rumah sakit, bahkan tempat praktik dokter. Jadi jasa pelayanan kesehatan merupakan sesuatu hal yang tersedia di dalam masyarakat.

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain. Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.20

Unsur kepentingan ini bukanlah merupakan unsur pokok, karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi.

       19

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), hlm. 8

20


(28)

Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

Begitu juga dalam hal jasa pelayanan kessehatan, kepentingan kesehatan dapat berguna untuk dirinya, keluarganya, orang lain atau makhluk hidup lain. Karena kesehatan merupakan hak dasar alamiah manusia dan mahluk hidup lain. 6. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir (end consumer) dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived/intermediate consumer). Dalam kedudukan sebagai intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan undang-undang ini.21

Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikannya dalam ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum.22

Umumnya dalam hal pelayanan kesehatan, pasien merupakan konsumen akhir. Hal ini karena berdasarkan sifat dari jasa pelayanan kesehatan salah satunya adalah tidak berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, disentuh, atau dirasakan. Karena pelayanan tidaklah berbentuk, maka pelayanan tersebut tidak mungkin dapat diperdagayatn kembali. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang baru

       21

Ibid., hlm 7

22


(29)

dapat dirasakan apabila pasien mendapat pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak dari tenaga kesehatan.

Berdasarkan penjelasan dari unsur-unsur konsumen dan dengan dikaitkan dengan pasien, maka menurut penulis pasien juga dapat dikategorikan sebagai konsuemen, yaitu konsumen jasa pelayanan kesehatan (medis), karena unsur-unsur pengertian konsumen telah terpenuhi dalam pengertian pasien. Dan ketentuan di atas menjelaskan bahwa apabila dikaitkan dengan jasa pelayanan medis, dapat diartikan sebagai layanan atau prestasi kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan pasien sebagai konsumen. Dengan kata lain bahwa pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis adalah "Setiap orang pemakai jasa layanan atau prestasi kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat.

Umumnya dalam hal pelayanan kesehatan, pasien merupakan konsumen akhir. Hal ini karena berdasarkan sifat dari jasa pelayanan kesehatan salah satunya adalah tidak berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, disentuh, atau dirasakan. Karena pelayanan tidaklah berbentuk, maka pelayanan tersebut tidak mungkin dapat diperdagayatn kembali. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang baru dapat dirasakan apabila pasien mendapat pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak dari tenaga kesehatan.

B. Peran Pemerintah dalam menjamin Kesehatan Masyarakat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan yang telah diubah menjadi Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak


(30)

mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007).

Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/Menkes /SK/XI/2004, tentang penugasan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan program pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program ini dalam perjalanannya terus diupayakan untuk ditingkatkan melalui perubahan-perubahan sampai dengan penyelenggaraan program tahun 2008. Perubahan mekanisme yang mendasar adalah adanya pemisahan peran pembayar dengan verifikator melalui penyaluran dana langsung


(31)

ke Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dari Kas Negara, penggunaan tarif paket Jaminan Kesehatan Masyarakat di RS, penempatan pelaksana verifikasi di setiap Rumah Sakit, pembentukan Tim Pengelola dan Tim Koordinasi di tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota serta penugasan PT Askes (Persero) dalam manajemen kepesertaan. Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penjaminan terhadap masyarakat miskin yang meliputi sangat miskin, miskin dan mendekati miskin, program ini berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut JAMKESNAS dengan tidak ada perubahan jumlah sasaran.

C. Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Pasien Pengguna Jamkesmas

Pengertian rumah sakit secara yuridis berbeda-beda. Menurut UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.23

Berbeda menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 159b/Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit -sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 191/Menkes-Kesos/SK/II/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 157/Menkes/SK/III/1999 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit- adalah Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.

       23


(32)

Apabila terdapat kesalahan / kelalaian dari tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat atau asisten lainnya), dalam hal ini dari pihak konsumen yang menderita kerugian dapat menuntut ganti rugi. Dari kerugian yang di alami oleh konsumen, dalam hal ini mungkin tidak sedikit atau bisa juga dari kerugian tersebut berakibat kurang baik bagi konsumen. Seseorang dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya (liable), kalau dia melakukan kelalaian / kesalahan dan kesalahan / kelalaian itu menimbulkan kerugian. Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian / kesalahan orang itu, berhak untuk menggugat ganti rugi. Begitu pula terhadap kerugian yang dialami pasien dalam pelayanan medis, pasien dalam hal ini dapat menuntut ganti rugi atas kesalahan ataupun kelalaian dokter ataupun tenaga medis lainnya.

Pelayanan medis yang diberikan kepada pasien haruslah maksimal, maksudnya adalah pelayanan harus diberikan kepada pasien dalam kondisi apapun, temasuk pada pasien yang mengalami koma berkepanjangan. American Medical Association (AMA) menentang adanya physician assited suicide, yaitumemberikan bantuan pasien untuk mengakhiri hidupnya. AMA berpendapat bahwa setiap pasien secara wajar harus dapat mengharapkan memperoleh mutu perawatan yang berkualitas pada akhir hayatnya. The Element of Quality Care for Patientsin theLast Phase of Live (American Medical Association, Chicago) pokok- pokoknya adalah :

“That preference for withholding or withdrawinglife sustaining intervention will be honored; that their physician will continue to care for them, even if transferred to another facility; that patient dignitywill be a priority;that burden to the family will be minimized; that attention will be given the personal goals of the dying person, and that support will be given to the familyafter the patient’s death”


(33)

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

Bahwa preferensi untuk menahan atau menghentikan intervensi untuk mempertahankan kehidupan dihormati; bahwa para dokter akan merawat pasien secara terus, walaupun pindah ke fasilitas lainnya; bahwa kehormatan pasien merupakan prioritas; bahwa beban yang ditanggung keluarga diusahakan seringan mungkin; bahwa akan diberikan perhatian terhadap keinginan dan tujuan pasien; bahwa bantuan akan diberikan kepada keluarganya sesudah pasien meninggal.

Penyelenggaran pelayanan kesehatan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskrimatif. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan seperti yang dimaksud diatas. Pengawasan terhadap penyelenggaran pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.24

D. Pengaturan Perlindungan Hukum Pasien dalam Berbagai Peraturan Perundang-Undangan

Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan perarturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.25 Van Apeldoorn, tujuan hukum ialah mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum

       24

Notoatmodjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) hlm 63

25

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985), hlm. 40


(34)

dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta, dan sebagainya terhadap yang merugikannya.

Pengaturan perlindungan hukum pasien dalam berbagai peraturan dibuat oleh Pemerintah (pembuat kebijakan) dalam rayat melindungi kepentingan antara berbagai pihak dalam pelayanan kesehatan. Secara leksikal, perlindungan diartikan sebagai tempat berlindung, hal atau perbuatan, melindungi. 26 Perlindungan diartikan sebagai perbuatan memberi jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung kepada yang dilindungi atas segala bahaya atau risiko yang mengancamnya. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perayatt hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Perlindungan hukum merupakan gambaran fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatn dan kedamaian. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu masalah hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban para pihak dan pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya. Pengaturan mengenai perlindungan hukum pasien ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yaitu:

1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

KUHPerdata memuat berbagai kaidah berkaitan dengan hubungan-hubungan hukum dan masalah-masalah pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang atau jasa tersebut. Hubungan antara pasien

       26


(35)

dengan dokter maupun rumah sakit adalah apa yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Dasar dari perikatan yang berbentuk antara dokter pasien biasanya adalah perjanjian, tetapi dapat saja terbentuk perikatan berdasarkan undang-undang.27

Perikatan antara rumah sakit/dokter dan pasien dapat diartikan sebagai perikatan usaha (inspanning verbintenis) atau perikatan hasil (resultaats verbintenis). Disebutkan perikatan usaha (inspanning verbinbentis) karena didasarkan atas kewajiban berusaha, misalnya dokter harus dengan segala daya usahanya untuk menyembuhkan pasien. Dokter wajib memberikan perawatan dengan penuh kehati-hatian dan penuh perhatian sesuai dengan standar profesinya (met zoorg en inspanning). Sedayatn perikatan hasil (resultaats verbintenis) adalah merupakan perikatan dimana seorang dokter berkewajiban menghasilkan suatu hasil yang diharapkan, misalnya seorang dokter gigi yang menambal gigi yang berlubang, pembuatan gigi palsu, dan lain sebagainya.28

Perjanjian yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan yaitu perjanjian (transaksi) teraupetik. Transaksi teraupetik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Objek dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk penyembuhan pasien.29 Sebagaimana umumnya suatu perikatan,

       27

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm.29.

28

Pertanggunhjawaban Rumah Sakit dalam Kontrak Teraupetik (Studi Kasus Antara Rumah Sakit dan Pasien di R.S.U. Dr. Pirngadi, R.S.U. Haji dan R.S.U. Sundari) oleh Sunarto Adi Wibowo, 2005, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, hlm. 38-39. 38 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.11

29

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm.11


(36)

dalam transaksi teraupetik juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian, yakni dokter sebagai pihak yang melaksanakan atau memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis.

Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang unsur-unsurnya sebagai berikut: 30

a. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya (toesteming van degenen die zich verbinder);

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);

c. Mengenai sesuatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); d. Suatu sebab yang diperbolehkan (een geoorloofdeoorzaak).

Berdasarkan perjanjian teraupetik, dasar untuk pertanggungjawaban medis adalah wanprestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) dan onrechtmatige daad (perbuatan melawab hukum) yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Terdapat perbedaan antara pengertian wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad). Wanprestasi (ingkar janji) adalah suatu keadaan dimana debitur dalam hal ini rumah sakit dan/atau tenaga medis tidak melakukan kewajibannya bukan karena keadaan memaksa (overmacht).

       30

Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Intermasa, 1990), hlm. 45 40 Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Visimedia, 2007), hlm. 316.


(37)

Subekti menyatakan bahwa seseorang itu dikatakan wanprestasi apabila ia:31

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

b. Melaksanakan apa yang diperjanjiaknnya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

c. Melakukan apa yang dijanjikan tapi terlambat

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Perbuatan melawan hukum, hingga saat ini belum ada pengertian yang positif. Menurut Yurisprudensi yang dianut di Belanda sejak perkara Lindenbaum Cohen Arrest Hoge Raad 31 Januari tahun 1919, bahwa berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum, jika memenuhi beberapa persyaratan:

a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; b. melanggar hak orang lain;

c. melanggar kaidah tata susila;

d. bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.

Dokter yang melakukan penyimpangan berupa ingkar janji atau cedera janji atas perjanian teraupetik, maka dokter tersebut memliki tanggung jawab secara perdata seperti diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu: “Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib

       31


(38)

diselesaikan dengan memberikan pergantian biaya, kerugian, dan bunga, bila debitur tidak memenuhi janjinya.”32

Seorang pasien atau keluarganya yang menganggap bahwa dokter tidak melakukan kewajiban-kewajiban kontraktualnya dapat menggugat dengan alasan wanprestasi dan menuntut agar meraka memenuhi syarat-syarat tersebut. Pasien juga dapat menuntut kompensasi secara materiil dan immaterial atas kerugian yang dideritanya. Namun jika perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan berakibat merugikan pasien dan merupakan perbuatan yang melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1370 dan 1371 KUHPerdata, maka dokter tersebut bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada pasien walaupun tidak adanya hubunga kontraktual. Pasal 1370 dan Pasal 1371 dinyatakan Pasal 1370 Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami dan isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan. Pasal 1371 Penyebab luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada korban, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, juga menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Tuntutan kerugian selain diajukan kepada dokter sebagai individu, juga dapat dilakukan pasien kepada rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lain. Rumah sakit dapat dituntut akibat tindakan dari dokter maupun

       32

Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Visimedia, 2007), hlm. 316.


(39)

tenaga kesehatan lain yang terdapat di rumah sakit tersebut yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Hal ini berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata dinyatakan bahwa: Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah penguasannya.33

Mengenai pertanggungjawab rumah sakit terhadap perbuatan dokter ataupuntenaga kesehatan lainnya, Fred Almen melihat dari hubungan kontrak pekerjaan antara rumah sakit dengan dokter tersebut. Dokter bila dilihat dari hubungan kontrak pekerjaan dengan rumah sakit dibagi menjadi dokter inn (dokter yang bekerja penuh melakukan kegiatan di rumah sakit dan menerima gaji atau disebut dokter purna waktu) dan dokter out (dokter tamu). Untuk dokter inn, rumah sakit bertanggung jawab atas semua tindakan dokter tersebut, sedayatn untuk dokter out, tanggung jawab bukan pada rumah sakit tetapi hanya pada dokter out itu sendiri.

2. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Hukum pidana menganut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan”, selanjutnya dalam Pasal 2 KUHP disebutkan, “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu delik di Indonesia”. Perumusan pasal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawabannya pidana atas kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan ketentuan itu, profesi dokter tidak terlepas

       33


(40)

dari ketentuan pasal tersebut. Apalagi seorang dokter dalam pekerjaannya sehari-hari selalu berkecimpung dengan perbuatan yang diatur dalam KUHP.

Sekalipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan pidana dalam pelayanan kesehatan, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagaimana halnya yang terdapat di dalam yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan pembenar dan pemaaf tersebut menghapus suatu tindak pidana bagi profesi dokter.34 Pada alasan pembenar, yang dihapus adalah sifat “melanggar hukum” dari suatu perbuatan, sehingga yang dilakukan oleh terdakwa menjadi suatu perbuatan yang patut dan benar. Pada alasan pemaaf yang dihapus adalah kesalahan terdakwa, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum, akan tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.35Salah satu contoh yurisprudensi mengenai alasan pembenar maupun pemaaf yaitu Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 81K/Kr/1973, dimana dalam yurisprudensi tersebut terlihat adanya alasan penghapus pidana yang berada di luar undang-undang. Dengan demikian bagi seorang dokter yang melakukan perawatan, jika terjadi penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang dokter yang bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi yang bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan standar kehati-hatian, dokter tersebut masih tetap dianggap telah melakukan peristiwa pidana, hanya saja kepadanya tidak dikenakan suatu pidana, jika memang terdapat alasan yang khusus untuk itu, yaitu alasan penghapus pidana, seperti tindakan yang dilakukan dalam keadaan gawat darurat ataupun terjadinya risiko medis. Tindak

       34

Bahder Johan Nasution, Op. Cit, hlm. 74

35


(41)

pidana dapat dikatakan sebagai tindak pidana, apabila secara teoritis paling sedikit mengandung 3 (tiga) unsur yaitu:

a. Melanggar norma hukum pidana tertulis;

b. Bertentangan dengan hukum (melanggar hukum); c. Berdasar suatu kelalaian/kesalahan besar.

Ukuran kesalahan/kelalaian dalam hukum pidana adalah kelalaian/kesalahan besar (culpa lata), bukan kelalaian ringan (culpa levis atau levissima). Seperti hukum perdata penilaiannya penilaiannya adalah terhadap seseorang/dokter dengan tingkat kepandaian dan keterampilan rata-rata bukan dengan dokter yang terpandai.

Beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana adalah:36

a. Menipu pasien (Pasal 378 KUHP);

b. Tindak pelanggaran kesopanan (Pasal 290, 294, 285, dan 286 KUHP); c. Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong (Pasal 304 KUHP); d.

Pengguguran kandungan tanpa indikasi medis (Pasal 299, 384, dan 349 KUHP);

d. Membocorkan rahasia medis (Pasal 322 KUHP);

e. lalai sehingga menyebabkan kematian dan luka-luka (Pasal 359, 360, dan 361 KUHP);

f. memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386 KUHP); g. membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP);

       36

Pitono Soeparto, dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), hlm.147.


(42)

h. melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP); dan i. membocorkan rahasia medis (Pasal 322 KUHP).

Beberapa tahun terakhir ini, kita sering mendengar banyaknya kejadian malpraktik medis yang dilakukan baik oleh pihak rumah sakit maupun dari dokter/ tenaga kesehatan. Malpraktik medis secara terminologi berasal dari bahasa Inggris “medical malpractice” yang berarti ketidakhatian-hatian dari seseorang dalam menjalankan profesinya.37 Dalam kejadian malpraktik medis ini, pasien atau keluarganya dapat menggugat secara perdata (civil malpractice) dan dapat pula menuntut secara pidana (criminal malpractice). Criminal malpractice terjadi, apabila seorang dokter atau pihak tenaga kesehatan di Rumah Sakit dalam menangani suatu kasus telah melanggar hukum pidana dan menempatkan dirinya sebagai seorang tertuduh. 38 Dalam kejadian malpraktik medis ini, harus diperhatikan secara cermat apakah tindakan yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai dengan kewajibannya dan sudah sesuai dengan transaksi teraupetik atau tidak dan apakah dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan tersebut ada kaitannya dengan pihak-pihak di rumah sakit selain dokter yang bersangkutan.

3. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasien sebagai konsumen juga mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK menegaskan bahwa perlindungan huum bagi

       37

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Op.Cit, hlm. 43

38

Soeparto, Pitono, dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, (Surabaya: Airlangga University Press, 2008), 150


(43)

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuh kembayatn sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.

Adapun tujuan perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 3 UUPK adalah:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengayatt harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.


(44)

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh UUPK ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman, dan segala kebutuhan diantaranya. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Di samping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsemen yang timbul karena kerugian harta bendanya, keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.39

Undang-undang ini memang tidak menyebutkan secara spesifik hak dan kewajiban pasien, tetapi karena pasien juga merupakan konsumen yaitu konsumen jasa kesehatan maka hak dan kewajibannya juga mengikuti hak dan kewajiban konsumen secara keseluruhan. Adapun hak dan kewajiban konsumen yaitu:40

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

       39

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Op.Cit, hlm. 38

40

Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(45)

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan prjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perudang-undangan lainnya.41

Sedangkan kewajiban konsumen yaitu:

1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; 2) beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, dan

4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pasal 6 UUPK menyatakan bahwa hak-hak bagi pelaku usaha yaitu:

       41

Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(46)

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagayatn; 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beriktikad tidak baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagayatn;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Konsekuensi dari hak konsumen dan sebagai penyeimbang hak pelaku usaha, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 UUPK antara lain:

1) Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagayatn berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;


(47)

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagayatn;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pamakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagayatn;

7) Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut menunjukkan bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedayatn bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.42

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 juga mengatur tentang tanggung jawab

       42


(48)

pelaku usaha. Pada intinya dianut prinsip strict liability, yakni pelaku usaha bebas dari kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen, dalam hal pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut adalah kesalahan konsumen.43 Pasal 19 UUPK menyatakan bahwa:

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagayatn.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi:

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

       43

Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001. hlm 45


(49)

b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan c. Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.44 Kemudian Pasal 22 UUPK, menetapkan: Pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 26 UUPK menentukan bahwa “Pelaku usaha yang memperdagayatn jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjiakan.” Dilihat dari konstruksi pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap kerugian yang didertita oleh konsumen, jelas bahwa pelaku usaha berkewajiban untuk membuktikan bahwa kerugian yang dideriita oleh konsumen bukan atas kesalahan dari pelaku usaha (pembuktian terbalik).

4. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dibentuk demi memenuhi kebutuhan hukum masayarakat akan pelayanan kesehatan dan juga sebagai pengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesjahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD NRI

       44


(50)

1945. Perwujudan hak asasi tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam hak dan kewajiban setiap orang dalam memperoleh kesehatan. Hak setiap orang dalam hal kesehatan yaitu: 45

a. Hak untuk mendapatkan kesehatan;

b. Hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan;

c. Hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan d. Hak untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi

dirinya;

e. Hak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan;

f. Hak mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab; dan

g. Hak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Sedangkan kewajiban seseorang dalam hal kesehatan yaitu:

a. Ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya meliputi upaya kesehatan perorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan; b. Menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang

sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial;

       45


(51)

c. Berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya;

d. Menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya; dan

e. Turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.

Undang-Undang Kesehatan ini selain mengatur mengenai hak dan kewajiban setiap orang secara umum dalam bidang kesehatan, juga memberikan pengaturan khusus mengenai perlindungan pasien, yaitu tedapat pada Bab IV, Bagian Kedua, Paragraf kedua tentang perlindungan pasien dinyatakan bahwa :

a. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap. b. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku pada Pasal 56:

1) penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat melular ke dalam masyarakat yang lebih luas;

2) keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau 3) gangguan mental berat.

4) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


(52)

(1) Setiap orang bersedia atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. Perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut. Dalam Pasal 58 dinyatakan bahwa:

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/ atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

Praktik Kedokteran adalah rayatian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Dalam


(53)

pelaksanaan praktik kedokteran, pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

1) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4) menolak tindakan medis; dan

5) Mendapat isi rekam medis. Sedangkan kewajiban pasien yaitu:

1) memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

2) mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

3) mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran ini selain mengatur mengani hak dan kewajiban pasien juga memberikan perlindungan kepada pasien pengguna jasa dokter atau dokter gigi untuk mengadukan kerugiannya akibat kelalian atau kesalahan pihak dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesinya. Hal ini diatur dalam Bab VII, Bagian Kedua tentang Pengaduan yang menyatakan bahwa: Pasal 66

(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.


(54)

(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: a. identitas pengadu;

b. nama dan alamat tempat prraktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan

c. alasan pengaduan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilayatn hak setiap oramg untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/ atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

6. Undang-Uundang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Rumah Sakit selaku penyelenggara pelayanan kesehatan wajib memberikan perlindungan kepada seluruh pengguna jasa pelayanan kesehatan (pasien). Perlindungan ini diberikan melalui hak-hak pasien yang harus diberikan oleh pihak rumah sakit sebagaimana tertuang dalam Pasal 32 Undang-Undang ini. Setiap pasien mempunyai hak:

1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;

2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; 4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional;

5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;


(55)

6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

7) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

10)mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

11)memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

12)didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

13)menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

14)memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

15)mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

16)menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;


(56)

17) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar baik secara perdata atau pidana; dan

18) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai standar pelayanan melalui media cetak elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.46

Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.YM.02.04.3.5.2504 Tahun 1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit yaitu:

1) pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit;

2) pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya;

3) pasien berkewajiban memberikan informasi dengan jujur dan selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat; 4) pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua

imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/dokter;

5) pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya.

Kewajiban pasien secara timbal balik merupakan hak bagi rumah sakit, selain hak-hak yang diatur dalam kewajiban pasien, hak rumah sakit terdapat

       46

Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


(57)

dalam Pasal 30 Undang-Undang ini yaitu: Setiap Rumah Sakit memiliki hak yaitu:

1) menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit;

2) menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) melakukan kerjaasama dengan pihak lain dalam rayat mengembayatn

pelayanan;

4) menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5) menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;

6) mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan;

7) mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

8) mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.47

Sedangkan kewajiban Rumah Sakit yaitu:

1) memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;

       47

Pasal 30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit


(1)

nasional (SJSN), yaitu suatu tata-kelola penyelenggaraan program jaminan sosial secara wajib yang berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 dengan mekanisme pemusatan risiko (pooling of risk) untuk keperluan redistribusi sumber-sumber yang diperlukan ke seluruh wilayah Indonesia. Negara dan jaminan sosial adalah komponen yang menyatu dengan sistem perlindungan sosial. Komponen-komponen negara yang meliputi rakyat, pemerintah, parlemen dan yudikatif pada prinsipnya memerlukan sistem jaminan sosial untuk mencapai keamanan sosial-ekonomi, yaitu suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pendidikan, kesempatan kerja dan prasarana untuk berusaha mandiri guna menunjang penyelenggaraan SJSN secara efektif.


(2)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa 1. Adapun prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta

Jamkesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang pedoman pelaksanaan program jaminan kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut; peserta yang memerlukan kesehatan dasar berkunjung ke puskesmas dan jaringannya, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan kartu yang keabsahan kepesertaannya merujuk kepada daftar masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Bupati/walikota setempat, penggunaan SKTM berlaku untuk setiap kali pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan lanjutan terkait dengan penyakitnya, dan apabila peserta Jamkesmas memerlukan pelayanan kesehatan rujukan, maka yang bersangkutan dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujuan disertai surat rujukan dan kartu peserta yang ditunjukan sejak awal sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan, kecuali pada kasus gawat darurat.

2. Tanggung jawab Hukum pihak RSU Dr. Pirngadi Medan terhadap pengabaian atau pelanggaran hak-hak pasien Jamkesmas, RSU Pirngadi Medan

bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian tenaga


(3)

bagi masyarakat/pasien untuk melakukan gugatan ganti kerugian kepada rumah sakit, karena ternyata terdapat alasan-alasan yang dapat menyebabkan tidak semua tindakan kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit merupak an tanggung jawab pihak rumah sakit.

3. Tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pelayanan terhadap pengguna jamkesmas, yaitu menjamin akses masyarakat miskin dan tidak mampu terhadap pelayanan kesehatan, pada tahun 2008 pemerintah telah menetapkan kebijakan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini sebelumnya dikenal dengan nama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin).

B. Saran

1. Untuk memudahkan proses pelengkapan persyaratan untuk mendapatkan pelayanan dari pihak rumah sakit dengan cara mensosialisasikan persyaratan secara periodik baik melalui madding rumah sakit, brosur ataupun disosialisasikan secara langsung oleh petugas di ruang tunggu pendafatran pasien rawat jalan. Sedangkan untuk sosialisasi di luar rumah sakit, sebaiknya pemerintah daerah lewat kepala desa lebih tanggap terhadap penduduk yang mempunyai kartu JAMKESMAS yang sudah tidak berlaku.

2. Kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan yang tergolong mahal, hal tersebut akan mempersempit akses mereka untuk memperoleh pelayanan Kesehatan. Sebagaimana diamanatkan konstitusi dan undang-undang,


(4)

pemerintah berkewajiban mengeluarkan kebijakan untuk memberikan penjaminan pelayanan kesehatan masyarakat miskin. Penjaminan pelayanan kesehatan akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi terwujudnya percepatan pencapaian indikator kesehatan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih layak.

3. Upaya dan kontol harus terus di lakukan, supaya program Jamkesmas benar-benar terleasasi sesuai dengan ketentuan yang sudah berlaku, alasan Pemerintah daerah tenang masalah Program Jamkesmas masih ada salah sasaran, pernyataan seperti itu tidak seharusnya di ketahui oleh publik, denagan demikan maka pemerintah sudah membongkar kelemahnya sendiri. Berbagai kebijakan yang diberikan kepada publik tidak bisa terlepas daripada kepentingan politik semata.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

A.Z. Nasutuion, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.

A.A. Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004.

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta, 2005

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Surabaya: Airlangga University Press, 1988.

Hendrik, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta : EGC, 2013

John M. Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1986.

Jhonny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishng, 2006.

Lubis, M. Sofyan, Konsumen dan Pasien, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.2008 Notoatmodjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Jakarta: Rineka Cipta, 2007 Pertanggunhjawaban Rumah Sakit dalam Kontrak Teraupetik (Studi Kasus

Antara Rumah Sakit dan Pasien di R.S.U. Dr. Pirngadi, R.S.U. Haji dan R.S.U. Sundari) oleh Sunarto Adi Wibowo, 2005, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

Pitono Soeparto, dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press, 2008.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Grasindo, 2006 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.


(6)

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1985.

Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Intermasa, 1990

Soeparto, Pitono, dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Surabaya: Airlangga University Press, 2008.

Supriadi, Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001. Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001 Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

DepKes RI.2008 .Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit..

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, Bab IV Tata Laksana Pelayanan Kesehatan bagian Manfaat.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, bagian Verifikasi Kepesertaan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit