Perlindungan Hukum Atas Hak Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN

DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN

HALAL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ridha Arlina Sari

NIM : 090200472

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN

DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN

HALAL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Ridha Arlina Sari

NIM : 090200472

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing II

Dr. Edi Ikhsan, SH.MH NIP. 196603031985081001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

Yefrizawaty, SH, M.Hum NIP. 196602021991032002


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.

Adapun skripsi ini berjudul : “Perlindungan Hukum Atas Hak

Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal”

Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syarifuddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Edi Ikhsan, SH.MH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Yefrizawaty, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu penulis dalam memberikan masukan arahan-arahan serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Kepada ayahanda dan ibunda serta seluruh keluarga besar pulungan dan

matondang atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.

7. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2009

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(5)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2012


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian... 7

F. Keaslian Penulisan ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSINYASI... 12

A. Pengertian Konsinyasi ... 12

B. Dasar Hukum Konsinyasi... 16

C. Jenis-Jenis Konsinyasi... 23

D. Syarat Sahnya Konsinyasi... 24

E. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Konsinyasi... 32

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG DISTRIBUTOR OUTLET (DISTRO FASHION DAN SUPPLIER) ... 34

A. Pengertian Outlet dan Distro Fashion ... 34


(7)

C. Fungsi Outlet dan Distro ... 40

D. Peranan Distributor Dalam Pemasaran ... 41

BAB IV PELAKSANAAN KONTRAK KERJASAMA KONSINYASI ANTARA SUPPLIER DENGAN DISTRO ... 49

A. Bentuk Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 49

B. Proses Pembuatan Terjadinya Kontrak Kerjasama Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distro ... 56

C. Akibat Hukum Terjadinya Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Konsinyasi Antara SupplierDengan Distro ... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Suatu hal yang berhubungan dengan konsumen di Indonesia adalah perihal kehalalan suatu produk. Perihal halal dan haramnya suatu produk amat sangat esensial bagi konsumen yang beragama Islam, khususnya di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Islam sangat esensial sekali mengatur perihal halal dan haram, dan dengan sebab itu apabila di pasaran terdapat suatu produk yang disamarkan halal tetapi diproduksi dari berbagai jenis produk yang haram maka keadaan tersebut amat sangat merugikan konsumen yang beragama Islam.

Permasalahan yang diajukan adalah bagaimana pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal, bagaimana bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal dan bagaimana fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal menurut peraturan nasional adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan. Sedangkan berdasarkan agama maka pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi. Bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal adalah dengan cara melakukan pelaporan kepada badan yang berwenang apabila menemukan suatu makanan yang memiliki label atau sertifikat halal tetapi kenyataannya dalam produk tersebut terdapat unsur yang tidak halal. Fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal adalah dicabutnya label halal tersebut oleh MUI serta kepercayaan masyarakat akan kehalalannya produk tersebut menjadi hilang sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kerugian.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada

konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman.1

Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji.2

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha.

1

Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas,Bandung,dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000,hal. 33.

2

Yusuf Sofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,2007, hal. 17.


(10)

Berkaitan dengan kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan

dampaknya.3

Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.

3


(11)

dengan itu.

Konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah karena transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual.4

4

Erman Raja Guguk, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,2003, hal. 2.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan pasal 2 menyatakan, “pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat”. Sementara pasal 3 menegaskan bahwa tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah :

1. Tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;

2. Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan 3. Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan


(12)

Ketentuan di atas, diperkuat lagi dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tujuannya adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa antara pangan dan konsumen terdapat hubungan yang saling terkait. Pangan perlu jelas status kehalalannya, sehingga bermanfaat bagi konsumen, dan konsumen dilindungi hak-haknya, sehingga siapapun yang memproduksi barang atau jasa, dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh agama dan peraturan


(13)

perundang-undangan.

Suatu hal yang berhubungan dengan konsumen di Indonesia adalah perihal kehalalan suatu produk. Perihal halal dan haramnya suatu produk amat sangat esensial bagi konsumen yang beragama Islam, khususnya di Indonesia

yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.5

Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2012, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dengan tingkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar 1,4% per tahun. Sementara distribusi menurut agamanya, di tahun 2010, kira-kira 85,1% dari penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha.

Islam sangat esensial sekali mengatur perihal halal dan haram, dan dengan sebab itu apabila di pasaran terdapat suatu produk yang disamarkan halal tetapi diproduksi dari berbagai jenis produk yang haram maka keadaan tersebut amat sangat merugikan konsumen yang beragama Islam.

6

Apabila diteliti lebih lanjut, keberadaan peraturan perundang-undangan di atas, juga merupakan penjabaran dari rambu-rambu agama, baik yang berkaitan dengan soal makanan maupun barang-barang produksi lainnya yang

5

Syahruddin, “Potensi Kemajuan Umat Melalui Produk Halal”, tanggal 18 Maret 2013.

6

Muhammad Ismail, “Mencemaskan, Populasi Muslim Indonesia 100 Tahun yang Akan Datang”,


(14)

digunakan manusia, yang dalam bahasa agama disebut dengan ketentuan halal, baik barangnya, proses maupun pengolahannya.

Qur’an mengatur masalah halal dan haram ini pada Surah Al-Maidah ayat 3 yang artinya:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 7

Kasus pengoplosan daging sapi dengan daging babi ini ditemukan di tempat penggilingan daging di Pasar Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Berdasarkan surah Al-Maidah ayat 3 di atas maka Islam jelas mengatur tentang makanan halal dan haram. Tetapi dalam prakteknya masih banyak perbuatan-perbuatan produsen maupun pedagang yang melakukan berbagai cara untuk menjual suatu produk yang memiliki unsur haram pada suatu produk halal. Misalnya pedagang menjual daging sapi yang dicampur dengan daging babi. Bahkan terkadang penjual bakso yang menjual baksonya dengan mencampur daging babi.

7


(15)

kasusnya sudah dilimpahkan ke Polres Metro Jakarta Selatan.8 Selain ini mahalnya daging sapi di pasaran disinyalir menjadi penyebab 7 pedagang bakso di Samarinda dan Kutai Kartanegara menggunakan bahan daging babi. Bandingkan saja, harga daging babi Rp 40.000 per kilogram. Kalau daging sapi hampir mencapai Rp 100.000 per kilogram, maka dengan mahalnya

produk tersebut pedagang mencampurnya dengan daging babi.9

B. Perumusan Masalah

Kondisi dari keadaan di atas tentunya sangat berbenturan dengan ketentuan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

1. Bagaimana pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal?

2. Bagaimana bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat

terhadap produk makanan halal?

8

Tribun News.com “Pemerintah Diminta Rajin Sidak Bakso Daging Babi”,

Diakses tanggal 12 Maret 2013.

9

Detik News, “Penjual Bakso di Samarinda Gunakan Daging Babi Karena Daging Sapi Mahal”,


(16)

3. Bagaimana fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal.

2. Untuk mengetahui bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh

masyarakat terhadap produk makanan halal.

3. Untuk mengetahui fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan

pengawasan penggunaan sertifikat halal.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah:

a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum

perdata dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dalam memperoleh produk makanan halal.

b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil

manfaatnya terutama dalam hal mengetahui perlindungan konsumen dalam memperoleh produk makanan halal.


(17)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.10

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui studi lapangan yang dilakukan di LP POM MUI Provinsi Sumatera Utara Medan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Medan serta Lembaga Advokasi dan perlindungan Konsumen.

Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni

seperti KUH Perdata, serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

10

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.2003, hal 32


(18)

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang

hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan serta wawancara yang dilakukan di di LP POM MUI Provinsi Sumatera Utara Medan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Medan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini dianalisa secara kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang unsur-unsur yang ditemukan dan seterusnya dikonstruksikan ke dalam kategori-kategori terkait yang didapatkan dalam penelitian skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum atas Hak Konsumen dalam Memperoleh Produk Makanan Halal” ini merupakan


(19)

luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I : Merupakan pendahuluan.Dalam bab ini akan diuraikan tentang

Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika Penulisan.

Bab II: Membahas tentang Tinjauan Umum Pelindungan Konsumen

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian

Perlindungan Konsumen, Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen serta Akibat Hukum Dari Pelanggaran Hak Konsumen.

Bab III: Ketentuan Produk Makanan Halal Dalam Kaitannya Dengan

Perlindungan Konsumen

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian

Makanan Halal, Kriteria Makanan Halal serta Label Halal Sebagai Wujud Perlindungan Konsumen.


(20)

Bab IV: Perlindungan Hukum Atas Hak Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan terhadap: pengaturan

hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal, bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal, serta fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM PELINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara

harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang

menggunakan barang.11Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang

memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.12 Kamus Umum

Bahasa Indonesia mendefenisikan konsumen sebagai lawan produsen, yakni

pemakai barang-barang hasil industri,bahan makanan,dan sebagainya.13

Sedangkan dalam Text-book on Consumer Law, konsumen adalah one who

purchases goods or service. Defenisi tersebut menghendaki bahwa konsumen

adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen ,pelaku usaha dan atau pembisnis.14

Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen.Dengan demikian,hukum positif Indonesia berusaha untuk menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen,namun belum memiliki

Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman terhadap si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen.


(22)

ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1961 tentang Barang,dalam pertimbangannya menyebutkan :kesehatan dan keselamatan rakyat,mutu dan susunan (komposisi) barang”.Penjelasan undang-undang ini menyebutkan variasi barang dagangan baik atau tidak baik dapat membahayakan dan merugikan kesehatan rakyat.Maka perlu adanya pengaturan tentang mutu maupun susunan bahan serta pembungkusan barang-barang dagangan.

Yusuf Shofie mengatakan :

“ segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Sudaryatmo mengatakan konsumen ialah :

15

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) :

“ Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen “.

Dalam ayat (2) pasal yang sama dinyatakan :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan “.

“setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup


(23)

lain dan tidak untuk diperdagangkan”.11

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.

Gunawan Widjaja mengatakan :

12

11

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 17

12

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 5.

Perihal terbitnya istilah perlindungan konsumen ini adalah disebabkan adanya aktivitas-aktivitas perekonomian. Kesenjangan ekonomi merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesialah yang tidak lain sebagai konsumen yang paling dirugikan. Hendaknya diluruskan anggapan keliru yang menyatakan bahwa para pelaku ekonomi hanyalah terdiri dari pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), koperasi, dan swasta/konglomerat. Konsumen juga pelaku ekonomi. Tak satupun literatur ekonomi yang meniadakan peran konsumen. Namun demikian harus diakui bahwa kosa kata konsumen dirasakan cukup miskin dalam tata hukum Indonesia.

Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata ekonomi kerakyatan. Dalam praktek perdagangan yang merugikan konsumen, di antaranya penentuan harga barang, dan penggunaan klausula eksonerasi secara tidak patut, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada konsumen yang pada umumnya orang kebanyakan.


(24)

pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.13

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa sehala

upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :

setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa: “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai suatu usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu” :

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan

13

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 227.


(25)

pemerintah dalam arti materiil dan sprituil.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dkonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha

maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsume, serta negara menjamin kepastian hukum.14

Di dalam era reformasi dewasa ini, Indonesia harus siap menghadapi era globalisasi ekonomi, dimana perdagangan bebas masih merupakan tanda tanya, apakah merupakan peluang bagi Indonesia atau justru sebaliknya. Indonesia termasuk negara yang cukup cepat melangkah dengan telah

diratifikasinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization

/WTO) sebelum Desember 1994.

Mulai 1 Januari 1995, WTO telah resmi menggantikan dan

melanjutkan GATT (General Agreement of Tariff and Trade / Persetujuan

Umum Tentang Tarif dan Perdagangan). Perlu dipahami disini bahwa WTO merupakan organisasi antar pemerintah/dunia yang mengawasi perdagangan di dunia, baik perdagangan barang maupun jasa. Segala sesuatu yang berbau proteksi/perlindungan dianggap anti WTO atau anti liberalisasi perdagangan.15

Bagi konsumen Indonesia, lahirnya WTO masih merupakan pertanyaan/permasalahan besar, apakah WTO akan membawa perbaikan nasib konsumen Indonesia. Selama lebih lima puluh tahun kita merdeka,

14

Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 161-162.

15


(26)

perlindungan (hukum) terhadap konsumen tidak banyak memperoleh perhatian dari para pengambil keputusan, apalagi prioritas dalam pembangunan nasional. Salah satu instrumen perlindungan hukum terhadap konsumen yang diundangkan Pemerintah dengan persetujuan DPR-GR pada tahun 1961, yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Barang (Perpu No. 1 Tahun 1961), hampir hanya menjadi huruf mati tidak bermakna. Perintah undang-undang tersebut untuk membentuk Panitia Barang tidak dilaksanakan. Disinyalir ketentuan undang-undang ini sudah banyak dilupakan.

Sebagai salah satu instrumen hukum administrasi negara, praktis ketentuan tersebut ibarat macan ompong sehingga perlindungan terhadap konsumen dirasakan tidak efektif dan efisien. Apalagi instrumen-instrumen hukum lainnya, belum dapat memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada konsumen. Masih segar dalam pikiran kita tentang “kasus biskuit beracun “ beberapa tahun yang lalu, yang terulang lagi dengan “kasus mie instant” (1994). Para korban/keluarganya tidak mendapatkan ganti rugi, kecuali sebatas santunan atas inisiatif mantan Menko Polkam Sudomo pada waktu itu.16

Liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi bahwa semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke Indonesia bila kita tidak ingin distigma anti WTO. Masuknya barang dan jasa impor tersebut bukannya tanpa permasalahan. Lewat perdagangan internasional, penyakit sapi

16


(27)

gila (mad cow) (bivine spongiform encephalapanthy/BSE) yang diderita sejumlah besar sapi, dapat membahayakan konsumen Indonesia. Belum lama ini Irlandia menawarkan daging itu dengan harga murah. Penyakit ini timbul karena disana, makanan dari tepung daging daging ternak memamah biak

(ruminasia) digunakan untuk makanan sapi. Kasusnya mirip dioksin yang

dialami ternak unggas di Belgia. Penyakit yang bisa menimbulkan gejala kegilaan pada manusia ini menyerang ternak sapai dengan masa inkubasi 9 – 10 tahun. Hanya saja penyakit ini tidak menular pada hewan lain, seperti halnya penyakit mulut dan kuku (PMK). Adapun gejala kegilaan pada manusia bisa berupa insomania, limbung, depresi serta berubahnya perilaku dan kepribadian. Belum lagi masalah dioksin di Belgia yang diduga mencemari makanan/minuman yang diekspor negara itu.

Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan

dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme penyelesaiannya. Tak hanya itu, secara yuridis muncul pula permasalahan apabila peraturan perundang-undangan Indonesia bertentangan atau berbeda dengan peraturan perundang-undangan negara lain, ketentuan/kesepakatan regional, bahkan ketentuan/kesepakatan WTO atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi ketentuan-ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan/kesepakatan regional dan WTO. Pada pokoknya, hakim (pengadilan) negara manakah yang berwenang mengadili kasus-kasus konsumen yang berdimensi internasional


(28)

serta hukum mana yang digunakan. Kasus-kasus sengketa franchice (waralaba) yang berdimensi internasional, dimana yang bertindak sebagai franchisor

(pemberi waralaba) pelaku usaha asing, sedangkan yang bertindak sebagai

franchiee (penerima waralaba) pelaku usaha Indonesia atau sebaliknya,

merupakan contoh prediksi ini. Dari segi perlindungan konsumen sengketa ini bisa membawa kerugian bagi konsumen, misalnya tidal lagi tersedianya

produk franchise bersangkutan, harga produk menjadi lebih mahal, atau

bahkan menyangkut tidak tersedianya fasilitas purna jual bagi konsumen. Dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dalam konsiderannya dinyatakan bahwa untuk menciptakan tertib usaha dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu menetapkan ketentuan waralaba dengan peraturan pemerintah. Dalam ketentuan ini, perlindungan konsumen yang dimaksud belum konkret, ibarat antara niat dengan perbuatan tidak seia dan sekata.

Secara teoritis, dapat saja sengketa-sengketa seperti itu diselesaikan, tetapi pada praktek dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang bersifat juridis–politis– sosiologis.

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa. Dalam kasus-kasus yang berskala nasional saja, pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kaus konsumen pada era perdagangan bebas yang bernuansa internasional.


(29)

Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke Pengadilan, padahal telah (sangat) dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini bukanlah karena mereka tidak sadar hukum. Bahkan mereka lebih sadar hukum ketimbang sebagian dari para penegak hukumnya sendiri. Keengganan mereka sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999, lebih didasarkan pada :

1. Tidak jelasnya norma-norma perlindungan konsumen,

2. Praktek peradilan kita tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan,

3. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen

dilanggar pengusaha.17

Ketiga, tarik menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses di luar jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu menjangkaunya, itupun hanya sebatas pada mereka yang menjadi tumbal

(space – goat) tarik menarik kepentingan tersebut.

Menghadapi perdagangan bebas, Indonesia memerlukan sejumlah

undang-undang penting, seperti undang-undang intellectual proprety rights,

Undang-Undang Antimonopoli, Undang-Undang Perlindungan pengusaha Kecil dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kejelasan asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak-hak konsumen, norma-norma

17


(30)

perlindungan konsumen dan penyelesaian sengketa konsumen, yang tertuang dalam undang-undang perlindungan konsumen kita, masih harus dibuktikan dalam praktek segenap instrumen hukum di Indonesia.

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen

Agar konsumen tidak terjebak oleh cara-cara yang ditawarkan produsen/pengusaha, konsumen dituntut bersikap kritis dan waspada dalam menentukan pilihannya. Untuk bersikap kritis dan waspada konsumen dituntut memiliki kesadaran dan kepedulian baik perorangan maupun kelompok sehingga terhindar dari perbuatan yang tidak etis/merugikan dari pengusaha/produsen dalam hal ini disebut sebagai kegiatan perlindungan konsumen.

Agar kegiatan perlindungan konsumen ini efektif diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak yakni pemerintah, pengusaha, dan konsumen sendiri. Cara yang efektif untuk menumbuh kembangkan potensi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen, adalah :

1. Memberikan bimbingan perlindungan bagi konsumen yang rentan (lemah)

baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan.

2. Mendorong konsumen yang mapan atau yang mempunyai kemampuan

baik pendidikan, pengetahuan dan pendapatan untuk melakukan upaya perlindungan konsumen antara lain melalui pembentukan lembaga sosial / swadaya masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok strategis.


(31)

Dalam menghadapi kondisi tersebut di atas, bentuk upaya perlindungan konsumen yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan pemerintah adalah dengan:

a. Membuat berbagai aturan, perangkat hukum yang memberikan

kepastian hukum bagi konsumen.

b. Pengendalian impor antara lain melalui penerapan syarat teknis bagi

importir barang-barang konsumsi luar negeri yang tidak bertentangan dengan perjanjian organisasi perdagangan dunia (WTO). Sehingga konsumen dalam negeri cukup terlindungi.

c. Melakukan pengawasan barang sebelum dipasarkan serta penandaan

ML untuk produk impor, proses produksi dalam negeri melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), penandaan tanggal kadaluwarsa.

d. Pembinaan dan penyuluhan terhadap konsumen dan pengusaha /

produsen.

2. Bentuk perlindungan konsumen yang dilakukan oleh pelaku

usaha/produsen sebagai berikut :

a. Menerapkan standart mutu (ISO 9000, ISO 14000 serta Standar

Nasional Indonesia(SNI))

b. Memberikan informasi yang jelas, jujur terhadap produknya.


(32)

swadaya masyarakat antara lain :

a. Memberikan penjelasan atas pengaduan atau komplain dari konsumen

serta menindaklanjuti sesuai dengan peraturan.

b. Memberdayakan konsumen agar menjadi lebih aktif dan peduli akan

perlindungan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Akibatnya barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa

sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.18

Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, yang menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang

18

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 37.


(33)

sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui berbagai promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Berkenaan dengan pertimbangan tersebut, maka perlu juga diketengahkan apa yang menjadi hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menerangkan tentang Hak dan Kewajiban Konsumen.

Hak konsumen adalah :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa.

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan kosumen ,

g. Hak untuk di perlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif,

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 huruf g Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan “Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya”.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri dari :


(34)

1. Hak memperoleh keamanan,

2. Hak memilih,

3. Hak mendapat informasi,

4. Hak untuk didengar.19

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh organisasi Konsumen

Sedunia (International Organization of Consumers Union-IOCU),

ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu :

1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.

2. Hak untuk memperoleh ganti rugi,

3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen,

4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.20

Di samping Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap

atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (Recht op besherming van zijn

gezendheid en veiligheid).

2. Hak perlindungan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische

belangen).

3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding)

19

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut

Perjanjian Baku, dimuat dalam Hasil Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan


(35)

4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vprming) 5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord)21

Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan,

2. Hak untuk memperoleh informasi,

3. Hak untuk memilih

4. Hak untuk didengar

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup,

6. Hak untuk memperoleh ganti rugi

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat,

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya

10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. 22

Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Hak atas keamanan dan keselamatan.

20

C. Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, Jakarta, 1995, hal. 19-21.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 61.

22


(36)

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.

2. Hak untuk memperoleh informasi

Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektonik.

Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta


(37)

meningkatkan keyakinan terjamin atau tidaknya terhadap produk tertentu, sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik konsumen maupun produsen.

3. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.

Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih tidak akan berfungsi.

Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan yang dapat membantu penegakan hak tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, baik dalam Pasal 19 maupun Pasal 25 ayat (1). Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa :


(38)

sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan, atau

b. Meghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, atau,

c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada

pasar yang bersangkutan, atau,

d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Sementara Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa :

Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk.

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk

mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau,

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau,

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing

untuk memasuki pasar bersangkutan.

4. Hak untuk didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara


(39)

perorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu misalnya YLKI.

5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang, papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

6. Hak untuk memperoleh ganti kerugian

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai di luar maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.

7. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan


(40)

agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang

diberikannya

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat menentukan bahwa :


(41)

untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada dasar-dasar bersangkutan yang sama.”

Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan jasa atau jasa yang sama.”

10.Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.

Sepuluh hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat tersebut di atas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikutip sebelumnya.

Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, namun sebaliknya Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara khusus tentang hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, tetapi hak tersebut dapat dimasukkan ke dalam hak yang disebutkan terakhir dalam Pasal 4 Undang-Undang


(42)

Perlindungan Konsumen tersebut, yaitu hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusannya yang lebih rinci, tetapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang telah disebutkan sebelumnya.

Bagaimanapun banyaknya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu :

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar, dan

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.23

Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari berbagai aspek.

23

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hal. 140.


(43)

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen kewajiban konsumen adalah :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan,

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa,

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati,

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan.

Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Misalnya untuk penggunaan obat-obatan dari dokter atau berdasar etiket produk tersebut telah diberikan instruksi bahwa pemakaiannya hanya dalam dosis tertentu, namun konsumen sendiri yang tidak mematuhi instruksi tersebut. Kesalahan konsumen dalam


(44)

penggunaan produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat tanpa resep). Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh para ahli aman dan manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera pada label beserta peringatannya, namun konsumen harus menyadari bahwa mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat bebas sesungguhnya bukanlah hal yang mudah, sederhana dan selalu menguntungkan. Tanpa dibekali dengan pengetahuan yang memadai, tindakan tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketidaktepatan penggunaan obat, yang bukannya menyembuhkan tetapi justeru memperparah penyakit, memperburuk kondisi tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya menjadi ciri utama penyakit yang lebih serius dan berbahaya.

Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya, seperti kasus ER. Squib & Sons Inc. V Cox, pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan.

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena


(45)

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah hak yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jka konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.


(46)

D. Akibat Hukum Dari Pelanggaran Hak Konsumen

Bentuk sanksi yang bisa dikenakan terhadap pelanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 hanya ada dua macam yaitu sanksi administratif (Pasal 60) dan sanksi pidana (Pasal 61-62) ditambah hukuman tambahan (pasal 63). Hanya saja pengaturan tentang kewenangan sanksi administratif dalam UU Perlindungan Konsumen hanya bisa diberikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal yang berbeda diberlakukan pada pengaturan sanksi pidana dalam UU No. 8 Tahun 1999 ternyata dapat dikenakan langsung pada pelaku usaha yang melanggar beberapa ketentuan hukum perlindungan konsumen.

Kebijakan pengenaan sanksi pada pelanggaran hak konsumen seharusnya didasarkan atas pemahaman hubungan hukum yang akan dikenakan sanksi. Bentuk sanksi seharusnya mengikuti hubungan hukum yang diatur. Secara khusus pada pasal 16 UU No. 8 Tahun 1999 terdapat hubungan hukum perdata berupa perjanjian jual-beli makanan dengan sistem pesanan maka bentuk sanksi yang seharusnya dikenakan adalah sanksi keperdataan berupa ganti rugi, pembatalan perjanjian atau pemenuhan prestasi pada perjanjian.

Pemahaman ini sangat penting mengingat sanksi pidana seringkali digunakan sebagai ‘alat pengancam’ bagi pelanggar hukum suatu ketentuan hukum. Hal ini sangat tidak tepat jika dikaitkan dengan hakekat sanksi pidana sendiri sebagai ultimum remidiu


(47)

BAB III

KETENTUAN PRODUK MAKANAN HALAL DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Makanan Halal

Dalam ensiklopedi hukum Islam makanan yaitu :

“segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar. Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu:segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika

menggunakannya, atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’ “.24

Secara etimologi makanan adalah memasukkan sesuatu melalui mulut.25 Dalam bahasa arab makanan berasal dari kata at-ta’am dan jamaknya

al-atimah yang artinya makan-makanan.26

Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar. Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu:segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya,

24

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal,

Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hal. 3.

25

Proyek Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqih, Jakarta 1982, hal. 525.


(48)

atau sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syara’.27

“ makanan adalah: barang yang dimaksudkan untuk dimakan atau diminum oleh manusia, serta bahan yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal adalah sesuatu yang boleh menurut ajaran Islam”.

Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem produksi halal yang diterbitkan oleh Departemen Agama ( Depag ) menyebutkan bahwa :

28

Dan para ulama telah ijma’ tentang halalnya binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya baik dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau

adanya efek sampingan (side-effect). Dengan demikian sebagian ulama’

Jadi pada intinya makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dalam Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Tetapi dalam hal yang lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma’dan qiyas (ra’yi/ijtihad) terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan hukum yang syub-had (menimbulkan keraguan).

26

Adib Bisri dan munawwir AF; kamus Indonesia Arab, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999. Hal. 201

27

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal,

Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. hal. 3.

28 Ibid.


(49)

memberikan keterangan tentang hukum-hukum makanan dan minuman.29 Prinsip pertama yang ditetapkan Islam, pada asalnya adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal,tidak ada yang haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas

maknanya) yang mengharamkannya.30

Pada asalnya, segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya.”

Sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih yang artinya :

31

Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam syariat Islam sesungguhnya sangatlah sempit, sebaliknya wilayah kehalalan terbentang sangat luas, jadi selama segala sesuatu belum ada nash yang mengharamkan atau menghalalkannya, akan kembali pada hukum asalnya, yaitu boleh yang berada di wilayah kemaafan Tuhan. Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang dan ada pula yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatang laut. Ada binatang suci yang boleh dimakan dan ada

Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal hukumnya boleh, merujuk pada beberapa ayat dalam al Qur’an antara lain surat Al-Baqarah : 29 yang artinya berbunyi :

Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi. (Al-Baqarah: 29).

29

Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981, hal. 303.

30

Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo, Era Intermedia, 2003, hal. 36.

31


(50)

pula binatang najis dan keji yang terlarang memakannya. Kepedulian Allah SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firmannya dalam al Qur’an mengenai kata

tha’am yang berarti ”makanan” yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai

bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti ”makan”sebagai

kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya, termasuk perintah ”makanlah” sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan makan yaitu ”minum” yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut syariba terulang sebanyak 39 kali.32

Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia.

Betapa pentingnya makanan untuk kehidupan manusia, maka Allah Swt mengatur bahwa aktifitas makan selalu diikuti dengan rasa nikmat dan puas, sehingga manusia sering lupa bahwa makan itu bertujuan untuk kelangsungan hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan.

33

32

Tiench Tirta winata, Makanan Dalam Perspektif Al Qur’an Dan Ilmu Gizi” Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006, hal. 1

33

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal, Op.Cit. hal. 7.

Dasar hukum Al- Qur’an tentang makanan halal diantaranya yaitu :

Artinya ”dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kammu beriman kepadaNya”. QS. Al- Mai’dah 88).


(51)

Juga dalam surat An- Nahl Artinya : Makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah,

jika kamu hanya kepadan-Nya menyembah. (QS. An-Nahl).

Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.

Sebenarnya Dalam Al Qur’an makanan yang di haramkan pada pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 173.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al-Baqoroh {2} : 173).

Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya:

1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak di sembelih ; termasuk di dalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam oleh hewan buas, kecuali yang sempat di sembelih, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh di


(52)

makan.

2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan (mengalir) sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Dua macam darah yang dibolehkan yaitu jantung dan limpa.

3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.

4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal menurut syariat Islam adalah :

a. Halal dzatnya

a. Halal cara memperolehnya b. Halal dalam memprosesnya c. Halal dalam penyimpanannya d. Halal dalam pengangkutannya e. Halal dalam penyajiannya.34

B. Kriteria Makanan Halal

Pengertian kehalalan makanan bisa di kategorikan menjadi dua yaitu

34

Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Poduki Halal, Jakarta, 2003, hal. 17


(53)

halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau subtansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. Tidak dengan cara yang haram dan tidak pula dengan cara yang batil. Jadi, makanan yang pada dasar dzatnya halal namun cara memperolehnya dengan jalan haram seperti; mencuri, hasil korupsi dan perbuatan haram lainnya, maka secara otomatis berubah status hukumnya menjadi makanan haram. Namun penelitian ini hanya akan membahas tentang makanan halal dari segi dzatnya atau subtansi barangnya.

Makanan halal secara dzatiyah (subtansi barangnya), menurut sayyid

sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati)dan hayawan

(binatang).35

3. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mana huruf a, b, c, dan d di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis

Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah :

1. Bukan terdiri dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam.

2. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam.

35

Thobieb Al-asyhar, Bahaya Makanan Haram bagi Kesehatan Jasmani Dan Rohani,


(54)

menurut ajaran Islam.36

C. Label Halal Sebagai Wujud Perlindungan Konsumen

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada dasarnya merupakan piranti hukum yang melindungi konsumen, dan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat untuk mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Selanjutnya juga merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

Sebagai dasar hukum penegakan hak-hak konsumen, maka Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen atas dasar keterbukaan informasi dan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha betapa pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat menjamin kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Bagaimanapun juga konsumen mempunyai satu kekuatan dan kekuatan ini di Indonesia adalah konsumen muslim sebagai pemeluk agama mayoritas. Pelaku usaha atau produsen sangat berkepentingan sekali terhadap konsumen muslim ini, sehingga mereka harus senantiasa mempertimbangkan produknya dari segala sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam, termasuk soal halal dan haram. Produsen akan merasa ketakutan atau

36

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Op.Cit. hal. 8.


(55)

kelabakan bila produknya diboikot oleh konsumen muslim, karena dinyatakan tidak halal atau haram.

“Karena itu perlu penyadaran terhadap konsumen muslim dalam menggunakan

haknya sebagai muslim terhadap produk yang diperolehnya di Pasar”.37

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi dirinya sendiri,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disyahkan pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku sejak tanggal diundangkan tersebut. Oleh Undang-Undang ini yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1)). Adapun tujuan perlindungan konsumen ini adalah:

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen,

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab

37

Abdul Hamid Mahmud Thihmaz, Hidangan Halal Haram Keluarga Muslim, Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2001, hal. 33.


(56)

dalam berusaha,

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Meskipun Undang-Undang perlindungan konsumen lebih banyak memberikan perhatian atau kepedulian kepada kepentingan konsumen, namun tidak berarti mengabaikan kepentingan pelaku usaha. Paling tidak hal ini tergambar dari adanya aturan tentang hak-hak pelaku usaha serta asas-asas perlindungan konsumen. Harus pula diakui kepentingan antara konsumen dengan pelaku usaha adalah berbeda, baik terhadap penggunaan barang atau jasa maupun pelaksanaan kegiatannya.

Kepentingan konsumen yang menonjol adalah perlindungan bagi keamanan jiwa, kesehatan tubuh yang tidak membahayakan diri, keluarga atau rumah tangganya dan harta benda. Semantara bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu berkaitan dengan kepentingan komersial mereka dalam menjalankan usaha, seperti mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong. Termasuk juga cara memperoduksi, mengangkut dan memasarkannya serta menghadapi persaingan usaha.

Dari kaca pandang hukum perlindungan konsumen berkaitan erat dengan perlindungan hukum, sehingga materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Dalam konteks ini Undang-Undang No. 8 Tahun


(57)

1999 telah mengatur secara eksplisit mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban-kewajiban pelaku usaha. Hak dan kewajiban ini merupakan antinoni dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha pada dasarnya menjadi hak konsumen. Hak-hak konsumen diatur lebih banyak dari hak pelaku usaha, sedang kewajiban pelaku usaha lebih banyak daripada kewajiban konsumen. Hak dan kewajiban kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 – 5 semantara hak dan kewajiban pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 – 7.

Bila diperhatikan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa menjadi hak yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Dalam melaksanakan hak ini, konsumen bebas untuk memilih barang atau jasa yang diinginkan berdasarkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang-barang atau jasa yang digunakan, dan bila merasa dirugikan, konsumen berhak mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut, bahkan sampai pada konpensasi dan ganti rugi.

Sementara itu kewajiban pelaku usaha yang dapat dilihat sebagai manifestasi konsumen menekankan tuntutan terhadap itikad baik pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya. Itikad baik ini dikaitkan dengan kewajiban lainnya berupa penjaminan mutu, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan memberi jaminan atas barang yang dibuat atau diperdagangkan, serta kewajiban memberi kompensasi dan ganti rugi kepada


(58)

konsumen.

Selain itu dalam rangka perlindungan konsumen, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 telah menetapkan secara detail beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan pelaku usaha dalam kegiatan usahanya. Diantaranya adalah larangan memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualannya. Juga larangan tidak memberi informasi secara lengkap dan benar yang berkaitan dengan produksi yang diperdagangkan, seperti barang rusak, cacat dan tercemar atau barang bekas. Bahkan memberi informasi yang benar, jelas dan jujur ini merupakan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen.

Larangan juga dilakukan bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label. Larangan ini berarti, adanya label halal merupakan kewajiban yang harus dicantumkan bila pelaku usaha menyatakan produk yang dihasilkannya adalah halal dikonsumsi bagi Umat Islam. Karena itu, pelaku usaha harus memenuhi segala ketentuan berproduksi secara halal. Karena itu pelaksanaan pensertifikatan atas suatu produk untuk dinyatakan halal merupakan suatu keharusan sebelum suatu produksi sampai ke tangan konsumen. Karena hal tersebut merupakan suatu dasar diterapkan hak-hak konsumen khususnya konsumen yang beragama Islam.


(59)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KONSUMEN DALAM MEMPEROLEH PRODUK MAKANAN HALAL

A. Pengaturan Hukum Terkait Hak Konsumen Dalam Memperoleh Produk Makanan Halal

Secara nasional perihal pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal 30, 34, dan 35.

3. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan

Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.


(60)

4. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan.

Sedangkan berdasarkan agama maka pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi.

Dari tinjauan pustaka sebagaimana diterangkan terdahulu terlihat bahwa soal halal selalu dikaitkan dengan kepentingan konsumen muslim. Pencantuman label halal produk diberikan bila pelaku usaha menyatakan produk yang diperdagangkannya halal dikonsumsi oleh konsumen muslim. Memang masalah halal-haram sangat peka bagi umat islam, dan dapat dikatakan soal ini menjadi salah satu norma yang ingin ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan di dunia ini. Dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sensitivitas ini kembali terusak ketika kasus ajinomoto mencuat dengan ditemukannya enzim babi dalam proses pembuatannya.

Seperti telah disinggung dalam Islam selain daging babi diharamkan juga memakan bangkai, darah dan daging hewan yang disembelih tanpa menurut ketentuan Hukum Islam, yaitu disembelih tanpa menyebut nama Allah (Q.S. Al-Baqarah : 173). Haramnya bangkai, darah dan daging babi ini karena Allah telah memberi sifat kotor kepadanya (Q.S. AL-An’am : 145). Allah menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk


(61)

atau kotor (Q.S. Al-A’raf: 157).38

Persoalan haram sebenarnya tidak hanya dalam makna bendanya saja (bangkai, darah dan babi), tetapi juga subtansi binatangnya, yaitu cara penyembelihan yang tidak islami. Allah telah mengharamkan atas umat islam memakan semua hewan yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah Dengan sifat kotor itu, Allah telah mengharamkan daging babi, dan keharamannya itu berlaku secara umum yaitu meliputi semua organ tubuh yang terdapat pada hewan babi. Sehingga produk yang menggunakan bagian dari tubuh babi, seperti : minyak dan lemak babi, hukumnya sama dengan memakan babi. Pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, tetapi juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi.

Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Memakan daging babi dapat terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kolestrol, memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh yang menyebabkan kemungkinan terserang kanker usus, dan juga menyebabkan iritasi kulit, ekstrim dan rematik. Cacing pita yang banyak terkandung dalam daging babi, banyak menimbulkan dan mendatangkan berbagai jenis penyakit di tengah-tengah manusia yang mengkonsumsinya. Jenis penyakit tersebut antara lain perut, kepala panas, sesak napas dan epilepsi serta penyakit tulang dan otot.

38

Ahmad Dimyati Badruzzaman, Umat Bertanya Ulama Menjawab, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002, hal. 23


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh produk makanan halal menurut peraturan nasional adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan. Sedangkan berdasarkan agama maka pengaturan hukum terkait hak konsumen dalam memperoleh makanan halal adalah berdasarkan Al-Quran dan Hadis Nabi.

2. Bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat terhadap produk makanan halal adalah dengan cara melakukan pelaporan kepada


(2)

badan yang berwenang apabila menemukan suatu makanan yang memiliki label atau sertifikat halal tetapi kenyataannya dalam produk tersebut terdapat unsur yang tidak halal

3. Fungsi dan tugas LP POM MUI dalam melakukan pengawasan penggunaan sertifikat halal adalah dicabutnya label halal tersebut oleh MUI serta kepercayaan masyarakat akan kehalalannya produk tersebut menjadi hilang sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kerugian.

B. Saran

1. Hendaknya pengurusan label halal dan label halal dijadikan satu paket dan pengurusannya dilakukan melalui LP POM MUI, sehingga dengan demikian selain lebih efisien juga lebih menertibkan sistem administrasinya.

2. Kepada konsumen akhir khususnya umat Islam hendaknya langsung dapat mengambil sikap atas fatwa yang dikeluarkan oleh MUI terhadap suatu produk sehingga dengan demikian kesatuan umat tetap dapat terjalin dengan baik.

3. Kepada perusahaan yang membutuhkan sertifikat halal hendaknya memperlakukan produknya sesuai dengan nilai sertifikat halal yang diberikan kepada produk tersebut.

4. Kepada konsumen khususnya masyarakat hendaknya tidak mengkonsumsi produk yang tidak memiliki sertifikat halal.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Mahmud Thihmaz, Hidangan Halal Haram Keluarga Muslim, Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2001.

Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, 1994.

Adib Bisri dan munawwir AF; kamus Indonesia Arab, Pustaka Progressif, Surabaya, 1999.

Ahmad Dimyati Badruzzaman, Umat Bertanya Ulama Menjawab, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2002.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000.

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Departemen Agana RI, Jakarta, 2003. Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal, Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Poduki Halal, Jakarta, 2003.


(4)

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.

Bisma, Label Halal dan Cara Memperolehnya, LP-POM MUI Prop. Sumatera Utara, Bahan Seminar di Fak. Hukum UMSU, Medan.

C. Tantri D dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, Jakarta, 1995.

Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta 2003.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta 2008.

H.M.K. Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam, Solo, Ramadhani. Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, Surabaya, Al-Ikhlas, 1981.

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku, dimuat dalam Hasil Simposiun Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan oleh BPHN, Bina Cipta, Jakarta, 1986.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Proyek Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqih, Jakarta 1982.

Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Thobieb Al-asyhar, Bahaya Makanan Harambagi Kesehatan Jasmani Dan Rohani, Jakarta, Al Mawardi Prima, 2003.


(5)

Tiench Tirta winata, Makanan Dalam Perspektif Al Qur’an Dan Ilmu Gizi” Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006.

Tini Hadad, Kembalikan Masalah Halal Pada LP-POM MUI, 17 Tokoh Bicara Halal, Info Halal Multimedia, Jakarta, Tanpa Tahun.

Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, Solo, Era Intermedia, 2003.

Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Isntrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2.Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan

Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan ”Halal” pada Label Makanan.

C. Internet:

Detik News, “Penjual Bakso di Samarinda Gunakan Daging Babi Karena Daging Sapi Mahal”,

Muhammad Ismail, “Mencemaskan, Populasi Muslim Indonesia 100 Tahun yang Akan Datang”

Syahruddin, “Potensi Kemajuan Umat Melalui Produk Halal”,


(6)

Tribun News.com “Pemerintah Diminta Rajin Sidak Bakso Daging Babi”,