Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

TERHADAP PENYALAHGUNAAN

KARTU KREDIT

TESIS

Oleh

MUHAMMAD ANDI HAKIM

077011046/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

TERHADAP PENYALAHGUNAAN

KARTU KREDIT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD ANDI HAKIM

077011046/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT Nama Mahasiswa : MUHAMMAD ANDI HAKIM

Nomor Pokok : 077011046 Program Studi : Kenotariatan

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH) Ketua

(Prof. Sanwani Nasution, SH) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Runtung, SH,MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua :Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH Anggota :1. Prof. Sanwani Nasution, SH

2. Prof Dr. Runtung, SH, MHum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

ABSTRAK

Perjanjian penggunaan kartu kredit menggunakan bentuk klausula baku dimana segala ketentuan ditetapkan oleh bank penerbit, sehingga konsumen berada pada posisi yang lemah sedangkan pihak bank penerbit merupakan yang dominan. Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen yaitu, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama pihak yang terkait baik masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas: asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, dan asas kepastian hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah Pertama, untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, Kedua, untuk mengetahui bentuk-bentuk praktek penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit, Ketiga, untuk mengetahui tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi konsumen pemegang kartu kredit.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, PERMA RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Cara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Hak dan kewajiban para pihak dalam hal perlindungan konsumen saling terkait satu dengan yang lainnya, dimana hak dari konsumen otomatis akan menjadi kewajiban bagi pelaku usaha, dan begitu pula sebaliknya. Beberapa bentuk penyalahgunaan kartu kredit yang dapat terjadi antara lain, pencurian kartu kredit, pemalsuan kartu kredit, penggunaan kartu kredit yang telah habis masa berlakunya, pencatatan transaksi yang berulang-ulang oleh pihak merchant, kesalahan dalam pengiriman kartu kredit dan pembocoran informasi dan data-data rahasia kartu kredit. Bentuk tanggung jawab bank terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian terhadap nasabah atau konsumen yaitu dengan menerapkan bentuk pertanggungjawaban mutlak mutlak (strict laibility) atau pertanggungjawaban langsung apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian konsumen pemegang kartu kredit adalah akibat kesalahan atau kelalaian bank penerbit. Namun apabila timbul sengketa maka penyelesaian dapat dilakukan dengan tiga cara penyelesaian yakni, Pertama, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, Kedua, melalui tuntutan ganti rugi seketika, dan ketiga, melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kata Kunci: Kartu Kredit, Perlindungan Konsumen


(6)

ABSTRACT

The agreement of using credit cards by standard contract in which all regulations are issued by the bank issuer has brought about the weak position of the consumers and the dominant position of bank issuer. The Consumer Act, Article 2 on legal protection for the consumers states that the consumer protection is the legal protection for the consumers. It is conducted by the joint efforts of each party of the member society, the agents and the government based on five principles : the benefit, the justice, the balance, the security and safety for consumers, and the legal certainty. The aims of the research are : first, to know the right and obligation of each party on agreement of using credit cards; secondly, to know the types of the misus of credit cards; thirdly, to know about the the responsibility of the bank issuer for the cause of financial loss of the credit card holders.

This research uses the normative-legal research method with the qualitative approach, reffering the values and legal norms in the legal provision. The materials of the primary law are Act No. 8, 1999 on Consumer Protection, Act No. 7, 1992 which has amended to Act No. 10, 1998 on Banking, PERMA RI (Supreme Court Regulation) No. 1, 2002 on the Procedures Of Class-action Suit, Keppres (Presidential Decree) No. 61, 1998 on Financial Institution, Kepmenkeu (Decree Of Ministry of Finance) No. 1251/KMK.013/1988 on The Provision and Procedures Of Implementing the Financial Institution.

Rights and obligations of each party on consumer protection are connecting each other, rights of the consumer will became obligations for the counterpart. Several kind of misuse of the credit cards will be, lost/stolen card, counterfeit card, re-embosed card, re-encode card, record of charge pumping, white plastic, split charge, non received card, solicited card. Responsibility of bank issuer for the misuse of credit cards which effects the loss of the consumer is applied strick liability or straight responsibility if they can proved the loss are because of bank issuer’s faults. And if there any problems between each party, the settlement can be by three method, first, pass through the court, secondly, with replacement of suffer financial loss, thirdly, by the means of consumer dispute institution.


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul ”Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit” ini. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa bimbingan para Dosen/pembimbing dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati yang tulus dan disertai dengan ucapan terimakasih yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&K, SpA(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sekaligus sebagai Komisi Pembimbing;

3. Ketua Program Studi Kenotariatan, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN;

4. Bapak Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH., selaku Ketua Komisi Pembimbing; 5. Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH., selaku Komisi Pembimbing;

6. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selama lebih kurang dua tahun telah mengajarkan ilmunya dan mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya;


(8)

7. Seluruh Staff/Pegawai Adminstrasi atas bantuannya telah memberikan kemudahan dalam segala urusan yang berkenaan dengan administrasi dan informasi di lingkungan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Seluruh teman-teman di Kampus Pascasarjana Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

9. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

Secara khusus, penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang tercinta Ayahanda Abu Bakar Siddik dan Ibunda Lidya Hanum yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan hingga ke Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara ini. Serta tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada adik-adik yang penulis sayangi yang selalu mendukung selama ini Abdi Halim, Abdul Majid dan Chairunnisa, semoga kita bisa mencapai semua cita-cita agar dapat membahagiakan kedua orangtua kita.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga kita semua diberikan rahmat dan hidayah dari-Nya.


(9)

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan sehingga dapat memperkaya wawasan dan ilmu pengetahuan pembaca serta khususnya kepada penulis.

Medan, Desember 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Muhammad Andi Hakim

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 3 Pebruari 1981

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Laksana No. 35 Medan

Nama Orangtua : Abu Bakar Siddiq dan Lidya Hanum

Pendidikan Formal :

1. Sekolah Dasar : SD Kemala Bhayangkari I Medan Tamat Tahun 1993;

2. SMP : SMP Negeri 1 Medan Tamat Tahun 1996;

3. SMU : SMU Negeri 2 Medan Tamat Tahun 1999;

4. Sarjana S-1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

Tamat Tahun 2004;

5. Pascasarjana : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian... 11

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori... 12

2. Kerangka Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

1. Spesifikasi Penelitian ... 20

2. Metode Pendekatan ... 21

3. Sumber Data... 22

4. Teknik Pengumpulan Data... 23

5. Alat Pengumpul Data ... 23


(12)

BAB II : HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT... 25 A. Hak dan Kewajiban Konsumen... 25 B. Hak dan Kewajiban Bank... 29 C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Nasabah Berdasarkan Perjanjian

Kredit... 31 D. Lembaga Perlindungan Konsumen ... 48 BAB III : BENTUK-BENTUK PRAKTEK PENYALAHGUNAAN DAN

KEJAHATAN TERHADAP KARTU KREDIT ... 54 A. Bentuk-Bentuk Perjanjian Dalam Penggunaan Kartu Kredit... 54 1. Antara penerbit dengan pemegang kartu kredit ... 61 2. Antara pemegang kartu kredit dengan penjual barang dan

jasa ... 68 3. Antara Penerbit kartu kredit dengan penjual barang dan jasa.. 72 B. Hubungan Hukum Antara Pihak-Pihak Dalam Kartu Kredit... 73 C. Penyalahgunaan Kartu Kredit ... 77

D. Kualifikasi Peristiwa Yang Menimbulkan Kerugian Pada

Konsumen ... 80 BAB IV : TANGGUNG JAWAB BANK PENERBIT TERHADAP

PERISTIWA PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT YANG MENIMBULKAN KERUGIAN BAGI KONSUMEN ... 89 A. Prinsip Pertanggungjawaban Bank Penerbit Kartu Kredit Atas


(13)

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemegang Kartu Kredit

Dengan Pihak Bank Penerbit ... 98

1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan ... 101

2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ... 103

C. Ganti Kerugian ... 108

D. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pemegang Kartu Kredit.... 111

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran... 119


(14)

ABSTRAK

Perjanjian penggunaan kartu kredit menggunakan bentuk klausula baku dimana segala ketentuan ditetapkan oleh bank penerbit, sehingga konsumen berada pada posisi yang lemah sedangkan pihak bank penerbit merupakan yang dominan. Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen yaitu, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama pihak yang terkait baik masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas: asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen, dan asas kepastian hukum. Tujuan dari penelitian ini adalah Pertama, untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penggunaan kartu kredit, Kedua, untuk mengetahui bentuk-bentuk praktek penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit, Ketiga, untuk mengetahui tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa yang menimbulkan kerugian bagi konsumen pemegang kartu kredit.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, PERMA RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Cara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Kepmenkeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Hak dan kewajiban para pihak dalam hal perlindungan konsumen saling terkait satu dengan yang lainnya, dimana hak dari konsumen otomatis akan menjadi kewajiban bagi pelaku usaha, dan begitu pula sebaliknya. Beberapa bentuk penyalahgunaan kartu kredit yang dapat terjadi antara lain, pencurian kartu kredit, pemalsuan kartu kredit, penggunaan kartu kredit yang telah habis masa berlakunya, pencatatan transaksi yang berulang-ulang oleh pihak merchant, kesalahan dalam pengiriman kartu kredit dan pembocoran informasi dan data-data rahasia kartu kredit. Bentuk tanggung jawab bank terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian terhadap nasabah atau konsumen yaitu dengan menerapkan bentuk pertanggungjawaban mutlak mutlak (strict laibility) atau pertanggungjawaban langsung apabila dapat dibuktikan bahwa kerugian konsumen pemegang kartu kredit adalah akibat kesalahan atau kelalaian bank penerbit. Namun apabila timbul sengketa maka penyelesaian dapat dilakukan dengan tiga cara penyelesaian yakni, Pertama, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, Kedua, melalui tuntutan ganti rugi seketika, dan ketiga, melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kata Kunci: Kartu Kredit, Perlindungan Konsumen


(15)

ABSTRACT

The agreement of using credit cards by standard contract in which all regulations are issued by the bank issuer has brought about the weak position of the consumers and the dominant position of bank issuer. The Consumer Act, Article 2 on legal protection for the consumers states that the consumer protection is the legal protection for the consumers. It is conducted by the joint efforts of each party of the member society, the agents and the government based on five principles : the benefit, the justice, the balance, the security and safety for consumers, and the legal certainty. The aims of the research are : first, to know the right and obligation of each party on agreement of using credit cards; secondly, to know the types of the misus of credit cards; thirdly, to know about the the responsibility of the bank issuer for the cause of financial loss of the credit card holders.

This research uses the normative-legal research method with the qualitative approach, reffering the values and legal norms in the legal provision. The materials of the primary law are Act No. 8, 1999 on Consumer Protection, Act No. 7, 1992 which has amended to Act No. 10, 1998 on Banking, PERMA RI (Supreme Court Regulation) No. 1, 2002 on the Procedures Of Class-action Suit, Keppres (Presidential Decree) No. 61, 1998 on Financial Institution, Kepmenkeu (Decree Of Ministry of Finance) No. 1251/KMK.013/1988 on The Provision and Procedures Of Implementing the Financial Institution.

Rights and obligations of each party on consumer protection are connecting each other, rights of the consumer will became obligations for the counterpart. Several kind of misuse of the credit cards will be, lost/stolen card, counterfeit card, re-embosed card, re-encode card, record of charge pumping, white plastic, split charge, non received card, solicited card. Responsibility of bank issuer for the misuse of credit cards which effects the loss of the consumer is applied strick liability or straight responsibility if they can proved the loss are because of bank issuer’s faults. And if there any problems between each party, the settlement can be by three method, first, pass through the court, secondly, with replacement of suffer financial loss, thirdly, by the means of consumer dispute institution.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran didalam transaksi keuangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat sekarang ini bukanlah suatu hal yang baru dan sulit ditemukan. Hampir sebagian besar masyarakat pada masa sekarang ini sudah memiliki kartu kredit atau paling tidak mengetahui tentang transaksi keuangan dengan kartu kredit. Bahkan penggunaan kartu kredit sudah dianggap sebagai suatu bagian dari gaya hidup masyarakat modern, sehingga apabila tidak diikuti sering dikatakan tertinggal dari cepatnya laju perkembangan kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya produk-produk yang ditawarkan perusahaan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya dengan syarat-syarat dan ketentuan yang semakin mudah dan fleksibel untuk dipenuhi.

Masyarakat sebagai konsumen kartu kredit dapat memanfaatkan fungsi dan kemudahan yang diberikan, namun hal ini dipandang sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisinya konsumen mendapatkan kemudahan dalam melakukan pembayaran atas transaksi yang dilakukan namun di sisi lainnya konsumen dapat dengan mudah menjadi korban tindak kejahatan terhadap kartu kredit yang semakin marak dan mudah dilakukan seiring dengan begitu pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi.

Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur, hak untuk mendapatkan


(17)

ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan, dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut dinegara masing-masing.1 ”Ketika suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan, tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.”2

”Sehingga ketika akan memasuki masa dan periode ini, negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup.”3 Pada saat ini, hukum hampir selalu tertinggal dalam mengikuti

gerak pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, dapat kita lihat bahwa hukum kelihatan seperti harus berlari mengejar cepat untuk mengimbangi arus pertumbuhan dan perkembangan yang begitu dinamis di sektor perdagangan, moneter, perbankan, dan berbagai sektor dibidang ekonomi lainnya. Oleh karena itu, saat ini sangat diperlukan adanya beberapa penyesuaian kebijakan dan regulasi dibidang ekonomi dan keuangan agar mampu memperbaiki dan membantu untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran yang diingin dicapai dalam pengembangan dan memperkokoh sistem perekonomian nasional.

Pada penghujung tahun 1998 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta, 2001, hal. VII.

2

Erman Radjagukguk, Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan, Memulihkan

Ekonomi dan Memperluas Sosial” Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2000, hal. 35.

3

Inosentius Samsul, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan


(18)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perbankan, di mana undang-undang tersebut mengubah atau mengganti atau menambah beberapa pasal dari Undang-Undang Perbankan yang lama Nomor 7 Tahun 1992, sehingga ketentuan-ketentuan pokok perbankan yang sekarang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, terhadap pasal-pasalnya yang belum dirubah oleh undang-undang yang baru.

Fungsi bank yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yaitu berfungsi mengumpulkan kelebihan dana dari masyarakat melalui media tabungan, deposito, giro, dan berbagai media lain yang diperkenankan undang-undang sebagai alat penghimpun dana masyarakat, untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Bank juga merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu negara. Begitu besarnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, sehingga apabila sebuah bank menderita “sakit” sedikit saja, maka pengaruhnya akan cukup terasa bagi perekonomian negara. Di sini diperlukan peranan otoritas moneter nasional dalam hal ini adalah Bank Indonesia, mutlak diperlukan yang salah satunya guna mengawasi tingkat kesehatan suatu bank. Manakala tingkat kesehatan suatu bank diragukan, hal ini akan membawa dampak kerugian tidak hanya kepada bank tersebut dan nasabahnya saja, akan tetapi dapat menimbulkan akibat kepada dunia perbankan pada umumnya.


(19)

Oleh karenanya, ”bank sebagai industri jasa yang melayani konsumen dalam arti seluas-luasnya, baik konsumen antara maupun konsumen akhir harus dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian (Prudential Principle).”4

Setelah dikeluarkannya berbagai paket peraturan dan regulasi itu, kemudian sejumlah bank-bank baru muncul dan cukup sukses dalam menghimpun dana dari nasabah deposan dan menyalurkannya kembali kepada nasabah debitur sebagai konsumen, baik untuk keperluan pengembangan usaha ataupun berbagai jenis keperluan lainnya. ”Bermunculannya sejumlah bank baru serta bangkitnya bank-bank yang sudah lama berdiri berdampingan dengan bank-bank milik pemerintah, mendorong persaingan antar bank dalam bentuk keanekaragaman produk perbankan serta berbagai bentuk pelayanannya.”5

Salah satu bentuk produk dan jasa penyaluran dana oleh bank kepada masyarakat adalah pembiayaan yang saat ini cukup berkembang pesat dan dominan perkembangannya untuk disalurkan kepada masyarakat sebagai debitur adalah kartu kredit yang pada saat ini cukup dikenal sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai. Dengan adanya kartu kredit yang telah dipromosikan oleh bank selaku penerbit kartu kredit tersebut disisi lain dapat memacu nasabah atau konsumen pemegang kartu kredit untuk berperilaku konsumtif, misalnya melalui penerapan pemberian sistem point yang dikombinasi dengan pemberian hadiah atas jumlah tertentu pembelanjaan produk barang atau jasa.

4

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 41-42.

5


(20)

Kartu kredit yang berfungsi sebagai alat pembayaran ini diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh bank penerbit (melalui kontrak baku), di mana setelah menandatangani perjanjian tersebut berarti pemegang kartu setuju untuk mengikatkan diri dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dan peraturan yang terdapat dalam perjanjian penerbitan kartu kredit dan tidak boleh dipindahtangankan.

Sebagai identitas pemegang kartu diberi hak untuk menandatangani tanda pelunasan harga barang atau jasa yang dibeli pada tempat-tempat tertentu yang telah ditunjuk oleh bank penerbit seperti pusat-pusat perbelanjaan, pasar swalayan, toko-toko, restaurant, hotel serta outlet-outlet dan tempat lainnya yang telah menjalin kerjasama dengan bank penerbit atau jaringan dari kartu kredit tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui beberapa ”pihak yang terlibat dalam perjanjian penerbitan kartu kredit yaitu pemegang kartu sebagai pembeli, penerbit kartu sebagai pembayar, dan perusahaan dagang sebagai penjual.”6

Selain itu fungsi dan manfaat yang didapat dalam penggunaan kartu kredit adanya keamanan, kepraktisan dan kemudahan yang didapat dalam transaksi non tunai yang diperoleh. Kelebihan lain yang didapatkan oleh pemegang kartu kredit adalah adanya manajemen keuangan yang efektif karena pemegang dapat mengalokasikan sejumlah anggaran tertentu pada tiap bulannya asalkan pemegang dapat mengontrol disiplin diri dalam mengelola anggaran.

6

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003, hal. 328.


(21)

Dengan begitu banyaknya manfaat dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada pengguna kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran mendapatkan sambutan yang cukup baik dari berbagai kalangan masyarakat baik pedagang maupun konsumen kartu kredit. Menjadikan jumlah pengguna kartu kredit semakin meningkat, tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan kartu kredit merupakan bagian dari gaya hidup dan kebutuhan masyarakat kalangan menengah ke atas di era modern ini dikarenakan kemudahan, keamanan, dan keleluasaan yang diberikan kepada konsumen dalam penggunaannya.

Kartu kredit merupakan salah satu produk dan jasa bank yang diberikan dengan dasar kepercayaan bank kepada nasabah, oleh karena itu perhatian terhadap perlindungan konsumen/pengguna kartu kredit dari tindakan-tindakan yang dapat merugikan seperti terjadinya penipuan dalam penggunaan kartu kredit yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau perusahaan penerbit, terjadinya pencurian kartu kredit atau dokumen lain yang ada hubungannya dengan kartu kredit yang secara langsung dapat merugikan pemegang kartu kredit.

Sepanjang tahun 2007 total transaksi kartu kredit yang disurvey oleh Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) tercatat sebanyak sebanyak 126 juta transaksi. Jika dikalkulasikan telah terjadi 246 transaksi dalam setiap hitungan menit. Sementara, total kredit yang telah dikucurkan oleh keseluruhan kartu kredit yang beredar sampai dengan Desember 2007 berkisar Rp.21 triliun. Contoh kasus yang sedang ramai diperbincangkan adalah pemalsuan kartu kredit yang berasal dari Citibank, Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, BNI, Bank Niaga dan American Express. Kerugian pemalsuan kartu kredit mencapai Rp.180 miliar yang berasal dari 9000 kartu. Rata-rata kartu kredit yang telah disalahgunakan berdasarkan pantauan AKKI memiliki nilai transaksi berkisar Rp.10 juta sampai dengan Rp.20 juta. Sampai saat ini belum dapat diketahui perincian bank yang mengalami kerugian akibat pemalsuan kartu kredit yang dilakukan oleh sindikat yang berasal dari Malaysia tersebut. Berdasarkan data Markas Besar Kepolisian


(22)

Republik Indonesia sindikat pemalsuan kartu kredit yang dilakukan oleh sindikat pemalsuan Malaysia berkisar 7000 kartu kredit palsu.7

Penyitaan berkisar 7.2 juta kartu kredit dimana 2.2 juta dari data tersebut dimiliki oleh warga Indonesia. Namun, permasalahan pemalsuan ini seharusnya tidak menjadi masalah karena pihak perbankan telah melakukan proteksi terhadap nasabah yang mengalami pemalsuan kartu kredit. Pertumbuhan bisnis kartu kredit diperkirakan mencapai 17% sampai dengan 25% pada tahun 2008. oleh karena itu, sudah saatnya pihak perbankan melakukan pembenahan sistem khususnya masalah keamanan bertransaksi menggunakan kartu kredit. Tindakan pengamanan ini pada akhirnya akan mampu mengurangi kejahatan dalam bertransaksi menggunakan kartu kredit. Selain hal tersebut akan melindungi konsumen dan juga pihak perbankan.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia 1999 Nomor 42, dan sesuai dengan Ketentuan Penutup pada Pasal 65 dinyatakan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku satu tahun sejak diundangkan, maka diharapkan upaya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia yang selama ini terabaikan dapat menjadi lebih diperhatikan.

Perlindungan konsumen khususnya kepada nasabah pada saat sekarang ini semakin terasa penting mengingat semakin cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai

7

http://vibiznews.com/search_result.php?id=84&kategori=wealth&key=, diakses terakhir tanggal 3 Desember 2009.


(23)

sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampak buruk dari produk atau barang dan jasa yang dihasilkan tersebut.

Dengan demikian, ”upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat demikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.”8

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen-konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

c. Meningkatkan kualitas barang dan jasa.

d. Memberikan perlindungan konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan dibidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.9

8

Sri Redjeki Hartono, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.33.

9


(24)

Seiring dengan semakin membudayanya penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran dikalangan masyarakat, maka pertumbuhan kejahatan terhadap konsumen pengguna kartu kredit pun berbanding lurus peningkatannya.

Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut diatas untuk mengkaji, membuat, dan menuangkan dalam bentuk tulisan dalam bentuk tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penggunaan kartu kredit ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk praktek penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit ?

3. Bagaimanakah tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian bagi konsumen ?


(25)

C. Tujuan Penelitian

Dengan bertitik tolak terhadap judul dan permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mendalami hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

penggunaan kartu kredit.

2. Untuk mengetahui dan mendalami mengenai bentuk-bentuk praktek

penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit.

3. Untuk mengetahui dan mendalami mengenai tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah literatur dalam aspek hukum perlindungan hukum bagi konsumen pemegang kartu kredit sebagai pihak yang menggunakan jasa kartu kredit terhadap penyalahgunaan kartu kredit.


(26)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, serta memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi bank penerbit, pihak kosumen selaku pemegang kartu kredit, pihak penjual barang/jasa, pihak perantara penagihan, pihak perantara pembayaran, serta masyarakat pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul : ”PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT” belum pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya. Dengan demikian sampai saat ini penulis yakin bahwa penelitian tesis ini benar-benar asli dan bukan hasil karya atau penulisan orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan ini, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat ilmiah ini.


(27)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk menganalisis data mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, penulis menggunakan 2 (dua) teori yakni teori tentang sistem hukum dan konsep hukum.

Menurut Lawrence Meir Friedmann, ”teori tentang sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu : elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).”10

Aspek struktur (structure) dirumuskan bahwa sistem hukum (legal system) bersifat dinamis dan terus berubah, namun kecepatan elemen-elemen sistem itu berubah berbeda-beda satu dengan yang lainnya, ada yang memiliki pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem hukum yang berada di sini kemarin atau bahkan pada abad yang lalu akan tetap berada disitu untuk jangka waktu yang panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, elemen yang tetap bertahan, elemen yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan sistem tersebut. Struktur dari keadaan sistem hukum itu terdiri dari beberapa unsur : ”jumlah dan ukuran pengadilan, yuridisnya, cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal (The Federal Trade

10

Lawrence M. Friedman., Editor: Wisnu Basuki., Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (American Law : An Introduction), Tatanusa, Jakarta, 2001, hal. 7.


(28)

Commission), apa yang boleh (secara sah) atau tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh Departemen Kepolisian, dan sebagainya.”11

Dari rumusan di atas, maka beberapa unsur yang telah diuraikan merupakan elemen dalam sistem hukum, yaitu sebagai berikut :

Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang struktur alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) baik pusat maupun daerah serta ketentuan tentang pelaksanaan tugas dari masing-masing institusi tersebut merupakan aspek struktur dari Sistem Hukum Perlindungan Konsumen.12

Selain itu, jika dikaitkan dengan judul dari tesis ini tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, maka yang menjadi elemen dari struktur dalam permasalahan ini adalah Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia, bank-bank umum sebagai lembaga keuangan yang diberikan izin dan kewenangan sebagai bank penerbit kartu kredit dan pengaturan tata laksananya serta lembaga-lembaga lain yang diberikan kewenangan seperti bank umum dalam penerbitan kartu kredit sebagai suatu lembaga keuangan selain Bank.

Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance), yang dimaksud Friedman dengan : ”substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai hukum. Itulah substansi hukum.”13

11

Ibid, hal. 8.

12

Innosentius Samsul, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 12-13.

13


(29)

Karena perkembangan kartu kredit masih terbilang relatif baru dibandingkan dengan alat bayar lainnya, seperti uang tunai, cek, bilyet giro dan sebagainya, maka tentang berlakunya kartu kredit tidak ditemukan dasar hukum yang tegas dalam Kitab Undang Hukum Perdata yang digunakan di Indonesia. ”Baik Kitab Undang-undang Hukum Dagang maupun Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata tidak ada menyebut-nyebut istilah Kartu Kredit ini.”14

Oleh karena itu, yang menjadi dasar hukum atas legalisasi pelaksanaan kegiatan kartu kredit di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian Antara Para Pihak Sebagai Dasar Hukum

Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum kita menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada Pasal 1338 ayat 1 ini, maka asal saja dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.

Pada kenyataannya memang ada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang berhubungan dengan penerbitan dan pengoperasian kartu kredit tersebut. Karena itu Pasal 1338 ayat 1 ini dapat digunakan sebagai salah satu landasan hukum berlakunya.

Dengan demikian, pasal-pasal tentang perikatan dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit, secara mutatis-mutandis.

2. Perundang-undangan Sebagai Dasar Hukum

Seperti telah disebutkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang tidak secara langsung dan tegas memberikan dasar hukum bagi keberadaan kartu kredit. Akan tetapi ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebutkan dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini, yaitu sebagai berikut :

14

Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Praktek), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Cetakan. I, hal. 180.


(30)

a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan. Pasal 2 ayat (1) dari Keputusan Presiden ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian barang dan jasa dengan mempergunakan kartu kredit. Selanjutnya menurut pasal 3 dari Keputusan Presiden tersebut, yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut, termasuk kegiatan kartu kredit adalah :

(1) Bank;

(2) Lembaga Keuangan Bukan Bank;

(3) Perusahaan Pembiayaan.

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988, tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Pasal 2 dari keputusan ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga Pembiayaan adalah udaha kredit. Selanjutnya dalam Pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa.

c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan

Selama berhubungan dengan dunia perbankan, maka yang berkenaan dengan kartu kredit mendapat legitimasi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah menyelenggarakan usaha kartu kredit. 15

Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan, bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab perlindungan konsumen akan selalu mengalami dinamika dan perkembangan yang berbanding lurus dengan dinamika dan perkembangan yang ada di masyarakat serta sampai pada terbentuknya sebuah undang-undang yang materinya dapat melindungi kepentingan konsumen secara keseluruhan.

15


(31)

Sedangkan mengenai budaya hukum (Legal Culture) yang merupakan elemen ketiga dari sistem hukum, Friedmann mengartikannya, ”sebagai sikap masyarakat terhadap hukum dari sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, pemikiran, serta harapan masyarakat tentang hukum.”16

Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedmann menggambarkan sistem hukum sebagai : ”suatu proses produksi, dengan menempatkan mesin sebagai struktur, kemudian produk yang dihasilkan sebagai substansi hukum, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen budaya hukum. Ketiga elemen ini dapat digunakan untuk mengurai apapun yang dijalankan oleh sistem hukum.”17

Teori tentang konsep hukum yang menggambarkan fungsi dari hukum menurut Gunarto Suhardi yang dikutip dari Antony Allot dalam The Limit of Law menguraikan berbagai arti fungsi dari hukum yaitu, ”hukum adalah ketentuan dan informasi yang bersifat abstrak tetapi berpengaruh, pengertian hukum berupa norma-norma hukum positif dan selanjutnya hukum sebagai proses atau akibat berlakunya hukum itu sendiri.”18

Batasan-batasan hukum adalah sebagai berikut :

Pertama, ada kekuatan-kekuatan sosial yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan. Hal ini sesudah membentuk hukum yang bersifat abstrak. Kedua, hukum positif yang berupa struktur dan aturan-aturan. Ketiga,

16

Lawrence M. Friedmann, Op. Cit, hal. 8.

17

Lawrence M. Friedmann. Op.Cit, hal. 14.

18

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002, hal. 4.


(32)

pengaruh dari hukum terhadap perilaku nyata. Teori tentang konsep hukum adalah untuk memahami kebiasaan-kebiasaan dalam dunia usaha yang disebut etika bisnis dan akhirnya berkembang menjadi hukum dalam berbagai transaksi bisnis yang dikemudian dipatuhi dan menjadi kekuatan sosial dalam masyarakat. Teori ini juga berguna untuk memahami pengaruh sosial dari suatu peraturan hukum sehingga akibat hukumnya dapat diprediksi (predictable) sebagai nuansa yang sangat penting dalam transaksi bisnis di mana para pelaku usaha dapat membuat perhitungan perbandingan biaya dan keuntungan dari suatu usaha. 19

Selanjutnya, substansi hukum sebagai obyek dari penelitian ini difokuskan pada beberapa teori tentang substansi hukum perlindungan konsumen, yaitu tentang eksistensi atau keberadaan, perubahan, dan karakteristik dari hukum perlindungan konsumen.

Bismar Nasution yang mengutip dari Adam Smith menyatakan bahwa :

Eksistensi substansi hukum perlindungan konsumen, sebenarnya berakar pada teori ekonomi tentang (hukum) pasar yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu, Pertama, Bahwa individu masing-masing yang didorong oleh kepentingan sendiri yang menentukan pekerjaan termasuk produk-produk yang diperlukan oleh masyarakat. Pemikiran ini merupakan inti dari paham individualisme, dimana Adam Smith adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu, Kedua, Adam Smith yakin bahwa harga ditentukan oleh pasar itu sendiri, sehingga tidak perlu ada peraturan yang menetapkan harga produk tertentu. Harga suatu barang akan terus bergerak ke level harga alamiah atau natural level, Ketiga, Produsen akan menghasilkan sejumlah barang sesuai dengan kebutuhan konsumen.20

Dengan demikian, agar memperoleh keuntungan maka produsen selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan konsumen. Ilustrasi terhadap ketentuan ini dicontohkan sebagai berikut : Seorang produsen menghasilkan dan menjual dua jenis baju yang dapat diganti satu sama lain (substansi), yaitu jenis A dan B. Katakanlah harga sebenarnya dari A adalah Rp. 20.000,- sedangkan B Rp. 15.000,-. Seandainya permintaan terhadap jenis A meningkat, maka akan

19

Ibid., hal. 3.

20

Bismar Nasution., Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Sabtu, 17 April 2004, hal. 2.


(33)

berdampak pada meningkatnya harga baju jenis A tersebut. Sebaliknya permintaan terhadap produk B akan menurun.21

Teori ekonomi yang dikembangkan oleh Adam Smith berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen, yang kemudian melahirkan teori besar, yaitu ”pertama, perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah (unregulated-market place)dan kedua, perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar (government regulated market place). Perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa ada aturan dan intervensi pemerintah/negara atau lembaga legislatif yang mengeluarkan peraturan dalam bentuk undang-undang dikenal dalam dua teori, yaitu teori pasar bebas (free market theory) dan teori kedaulatan konsumen (consumer sovereignty theory). 22

Unregulated market place dijiwai oleh prinsip laissez-faire yang menjunjung tinggi kebebasan berusaha dan kekuatan pasar atas peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk mengawasi kegiatan ekonomi. Dalam struktur pasar yang demikian, kedudukan dan peran konsumen sangatlah kuat atau berkuasa (sovereign), sehingga melahirkan teori kedaulatan konsumen (consumer sovereignty theory). Menurut teori ini, kedudukan dan peran konsumen di pasar sangatlah penting atau dominan, karena konsumenlah yang mengatur pasar. Dikatakan bahwa “the consumer’s role is to guide the economy to the production of goods and services that he wants”.23

Teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasinya kebebasan individu dan liberalisme. Kekuatan konsumen kemudian melahirkan teori dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan hubungan kontrak (privity of contract). Kebebasan kontrak berpandangan bahwa para pihaklah yang menentukan isi dari kontrak. Sedangkan hubungan kontrak menyatakan bahwa hanya para pihak dalam kontrak saja yang memiliki hak dan kewajiban.

21

Ibid, hal. 2.

22

Ibid, hal. 3.

23


(34)

Pengakuan pengadilan atas doktrin-doktrin tersebut berdampak negatif terhadap kepentingan konsumen. Pertama, berkaitan dengan doktrin kebebasan berkontrak, pihak produsen menggunakan kekuatannya untuk menerapkan kontrak-kontrak baku yang memuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihak produsen. Kedua, produsen menghindari tanggung jawab terhadap pihak ketiga yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan produsen berdasarkan doktrin privity of contract. Ketiga, penerapan prinsip caveat emptor, yang menekankan konsumen haruslah berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen yang kemudian berpengaruh besar terhadap penerapan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) dalam hukum perlindungan konsumen.24

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

1. Kartu Kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit dan pemakai kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati, baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran.

2. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada pemakai kartu kredit.

3. Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia sebagai bagian dari produk bank atau sebagai pemakai kartu kredit.

24


(35)

4. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang kartu kredit.

5. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh non-pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan bagi pemakai kartu kredit.

6. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pemegang kartu kredit.

7. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan pemakai kartu kredit. 8. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk

membantu upaya perlindungan bagi kepentingan konsumen pemakai kartu kredit.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

”Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dengan asal kata methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang


(36)

bersangkutan.”25 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya bahwa

penelitian ini merupakan ”penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.”26 Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan

deskriptif atau gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian tentang Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maupun hukum dalam bentuk putusan-putusan pengadilan. Dengan demikian, obyek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun yang sudah secara konkrit ditetapkan oleh hakim dalam kasus-kasus yang diputuskan di pengadilan. Selain itu dipergunakan juga dokumen-dokumen dan teori-teori berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.

25

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 16.

26


(37)

3. Sumber Data

Oleh karena penelitian ini penelitian normatif, maka data yang akan dikumpulkan berasal dari data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Namun, untuk melengkapi atau mendukung analisis data sekunder, tetap diperlukan wawancara dengan beberapa informan yang dinilai memahami beberapa konsep atau pemikiran mengenai data sekunder, sejauh masih dalam batas-batas metode penelitian yuridis normatif.

Data kepustakaan yang ada digolongkan dalam 2 (dua) bahan hukum yaitu bahan-bahan primer (primary sources) dan bahan-bahan sekunder (secondary sources). Bahan-bahan primer meliputi bahan hukum yang mengikat, yang dalam konteks penelitian ini, bahan yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan beberapa undang-undang lainnya yang mengatur substansi hukum perlindungan konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Cara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Bahan-bahan hukum primer lainnya yang sama dengan undang-undang adalah putusan-putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, salah satu data yang diperlukan adanya contoh kasus-kasus, sedangkan bahan sekunder dalam


(38)

penelitian ini berupa tulisan-tulisan, makalah dalam buku, jurnal, majalah ilmiah tentang Hukum dan Perlindungan Konsumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan di beberapa perpustakaan di Perguruan Tinggi dan Instansi Pemerintah. Penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik bahan hukum primer maupun bahan sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu sebagai berikut :

1. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari semua literatur yang berhubungan dengan topik dan materi penelitian yang dilakukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen dan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber (informan) yang dinilai memahami hukum perlindungan konsumen dan dianggap dapat membantu mendapatkan data yang benar untuk kepentingan penelitian ini.


(39)

6. Analisis Data

Semua data yang diproleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Artinya data kepustakaan dan hasil wawancara dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu pertama data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantitatifkan. Kedua, sifat dasar data yang dianalis adalah menyeluruh (comprehensif) dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal ini ditandai dengan keanekaragaman datanya serta memerlukan informasi yang mendalam. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.


(40)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PENGGUNAAN KARTU KREDIT

A. Hak dan Kewajiban Konsumen

”Pergerakan konsumen dikenal berawal dari Amerika Serikat sejak tahun 1900-an dalam kasus Upton Sinclair’s book, the Jungle.”27 Tonggak penting dalam

perkembangan awal sejarah pergerakan konsumen di Amerika Serikat ditandai dengan pidato Presiden John F. Kennedy pada tahun 1962 di depan Kongres Amerika Serikat tentang Hak Konsumen. Beliau mengatakan bahwa: ”konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap konsumen ekonomi publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”28

Dalam pesannya kepada Kongres pada tanggal 15 Maret 1962 dengan Judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen, yaitu sebagai berikut :

a. The right to safety (hak atas keamanan); b. The right to choose (hak untuk memilih);

c. The right to be Informed (hak untuk mendapatkan informasi); dan d. The right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya).29

Pada dasarnya, sejarah awal dari pergerakan konsumen di Amerika Serikat tersebut mencakup:

a. Hak konsumen atas keamanan dan keselamatan; b. Hak informasi;

c. Hak memilih di antara berbagai produk dan jasa dengan harga bersaing;

27

Tim Penerbit Perlindungan Konsumen, Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Perlindungan Konsumen dan Yayasan GERMAINTI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,

Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, Defit Prima Karya, Jakarta, 2001, hal. 2.

28

Ibid, hal. 2.

29


(41)

d. Hak untuk didengar secara adil oleh pemerintah dalam penyusunan kebijakan konsumen;

e. Hak untuk memperoleh ganti rugi; f. Hak pendidikan konsumen;

g. Hak mendapatkan kepuasan atas kebutuhan dasar; dan

h. Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat.30

Dalam Pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan sejak Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 pada tanggal 9 April 1985 (UN-Guidelines for Consumer Protection), merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi :

a. Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendaki dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; dan

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. 31

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia, baru mulai diperhatikan pada tahun 1970-an, ini ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 Mei 1973. Pada awalnya yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri yang menghasilkan berbagai jenis barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen serta didukung dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan Informatika, yang pada akhirnya konsumen dihadapkan pada barang atau jasa yang variatif.”32

Semakin variatifnya produk barang dan jasa yang dihasilkan produsen dengan berbagai kemudahannya, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa telah terpenuhi, tetapi disisi lain dapat

30

Ibid., hal. 2-3.

31

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Cetakan II, hal. 27.

32


(42)

mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang di mana konsumen berada pada posisi yang lemah, konsumen dijadikan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen.

Beranjak dari kondisi di atas beberapa elemen masyarakat mendesak untuk melakukan langkah-langkah pengawasan terhadap promosi-promosi yang dilakukan agar masyarakat tidak dirugikan dan kualitas produk yang dihasilkan dapat terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk memikirkan secara sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.

Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, dan tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dengan motto yang telah menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat konsumen dan membantu pemerintahan. Kemudian suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun tulisan di media massa.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun, kelihatannya


(43)

bahwa hak-hak yang diberikan kepada konsumen lebih banyak dibandingkan dengan hak pelaku usaha dan kewajiban pelaku usaha lebih banyak dari kewajiban konsumen.

Pada dasarnya, hak dari konsumen dapat dilihat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.

b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhanya atas barang atau jasa.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif.

h. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunaanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. ”Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk


(44)

didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.”33

Selain memperoleh hak konsumen juga mempunyai kewajiban yang diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa; c. Membayar dengan nilai yang sesuai dengan yang disepakati; dan

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut, hal ini dimaksudkan agar konsumen sendiri memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan kepastian hukum bagi dirinya.

Hak dan kewajiban konsumen ini harus menjadi perhatian dan dijelaskan dengan sebaik-baiknya oleh pelaku usaha atau produsen agar konsumen benar-benar mendapat informasi yang jelas. ”Penjelasan itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.”34

B. Hak dan Kewajiban Bank

Pada dasarnya, Bank merupakan suatu pelaku usaha dalam melaksanakan operasional penerbitan kartu kredit, di mana untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi bank sebagai pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, di mana bank sebagai pelaku usaha diberikan hak

33

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani., Op. cit, hal. 29-30.

34


(45)

yang diatur dalam Pasal 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;

b. Mendapatkan perlindungan hukum dari konsumen yang tidak beritikad baik; c. Melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa

konsumen;

d. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan-peraturan.

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang atau jasa tertentu, serta memberikan jaminan atau garansi atas barang yang dibuat dan diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang diperdagangkan; dan,

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Semua kewajiban pelaku usaha ini disisi lain dapat dipandang sebagai hak dari konsumen, begitu juga sebaliknya seluruh hak dari pelaku usaha dapat dipandang sebagai kewajiban dari konsumen. ”Jika diperhatikan baik-baik, jelas bahwa


(46)

kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab diri para pelaku usaha.”35

C. Bentuk Perlindungan Nasabah Berdasarkan Perjanjian Kredit

Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan unsur yang sangat berperan. ”Mati hidupnya dunia perbankan bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.”36

Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save deposite box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah (konsumen) mempunyai kedudukan yang berbeda pula. ”Tetapi dari semua kedudukan tersebut

35

Ibid., hal. 34.

36

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 282.


(47)

pada dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa disektor usaha perbankan”.37

Fokus persoalan perlindungan nasabah menurut Muhammad Djumhana :

Persoalan perlindungan nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilakukan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku.38

Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian kredit tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan berupa : perjanjian pokoknya yakni perjanjian kredit, dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan.39

Pelayanan jasa perbankan lainnya yang juga perlu mendapat perhatian dalam rangka perlindungan konsumen yang sekaligus menjadi objek dalam penulisan ini yaitu pelayanan jasa perbankan seperti kartu kredit, dimana pada dasarnya perjanjian kartu kredit ini termasuk ke dalam kategori perjanjian kredit.

Secara umum telah kita ketahui bersama, bahwa perjanjian kartu kredit pada dasarnya merupakan perjanjian kredit antara bank dengan nasabah yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yang sebelumnya telah ditentukan dan disiapkan oleh pihak bank dalam bentuk formulir yang diperbanyak, dengan demikian perjanjian kartu

37

Ibid, hal. 282

38

Ibid., hal. 283.

39


(48)

kredit merupakan perjanjian yang disusun sepihak oleh bank tanpa adanya negosiasi dengan nasabah.

Menurut Setiawan, pada perjanjian kredit antara bank dengan nasabah harus diberi dua catatan yaitu, Pertama, hubungan itu tidak hanya menciptakan perikatan atas dasar perbuatan melanggar hukum, serta dalam hal tertentu juga atas dasar perjanjian pemberian kuasa, Kedua, hubungan yang dinamakan kontraktual tersebut tidak menampakkan dirinya sebagai suatu kebulatan yang utuh, melainkan tampil dalam berbagai nuansanya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur secara khusus perihal hubungan kontraktual dalam perjanjian kredit antara bank dengan debitur.40

Selain pengaturan dalam asas-asas umum perikatan, pengertian kredit menurut Undang-undang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menerangkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan mengenai kartu kredit itu sendiri sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam memberikan dan melakukan kegiatan usaha dalam kartu kredit ini, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.

40

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 221.


(49)

Secara tradisional, dalam mempertimbangkan pemberian kartu kredit, dan agar pemberian kartu kredit itu akhirnya tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, atau dengan kata lain mencegah kartu kredit itu bermasalah, bank akan memperhatikan dua hal yaitu, kemauan debitur untuk membayar kembali kredit yang diberikan oleh bank dan kemampuan debitur untuk membayar kembali kredit itu, yang lazim dikenal dengan istilah faktor willingness to pay dan ability to pay dari nasabah itu.

Untuk mengukur kemauan dan kemampuan dari nasabah debitur tersebut, secara tradisional bank melakukan analisis terhadap lima faktor dari nasabah, yakni faktor character, capital, capacity, conditions dan collateral atau lebih dikenal dengan istilah The Five C’s of Credit atau dengan kata lain perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum antara bank dan nasabah. Hubungan tersebut dapat dilihat dalam hal membebankan kewajiban kepada pihak penerbit kartu kredit untuk melunasi harga barang atau jasa tersebut ketika ditagih oleh pihak penjual barang atau jasa. Kemudian kepada pihak penerbitnya diberikan hak untuk menagih kembali pelunasan harga tersebut dari pihak pemegang kartu kredit plus biaya-biaya lainnya, seperti bunga, biaya tahunan, uang pangkal, denda dan sebagainya.

Selain itu, terdapat juga suatu bentuk hubungan antara bank dengan nasabah yang lebih dikenal dengan hubungan hukum kontraktual menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan; semua persetujuan yang dibuat secara sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila kita


(50)

berpegang pada ketentuan pasal tersebut diatas, secara harfiah maka apabila nasabah telah menandatangani perjanjian kartu kredit secara hukum, nasabah telah terikat dengan isi perjanjian tersebut.

Namun apabila diperhatikan lebih mendalam, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian tersebut belum tentu suatu kesepakatan yang sebenarnya, karena hal-hal sebagai berikut:

a. Debitur berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan posisi kreditur, sehingga cenderung menerima klausul perjanjian kredit yang ditawarkan oleh kreditur; dan

b. Debitur belum tentu memahami klausula-klausula dalam perjanjian kredit yang ditandatanganinya, karena debitur mungkin belum tentu menerangkan secara jelas mengenai klausula-klausula tersebut berikut konsekuensinya.41

Dengan kata lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang adanya perjanjian baku, asalkan saja tidak bertentangan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, dan tidak pula bertentangan dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang asas kebebasan berkontrak, dengan demikian bukannya tanpa batas seperti yang terjadi pada praktek penggunaan perjanjian-perjanjian baku seperti perjanjian kartu kredit saat ini.

Akan tetapi, didalam pelaksanaan perjanjian kredit didalam perjanjian kartu kredit itu sendiri, tidak boleh menimbulkan ketidakseimbangan pada perjanjian baku dalam perjanjian kredit penggunaan kartu kredit. Klausula baku yang menimbulkan ketidakseimbangan pengaturan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen dalam perjanjian baku diatur di Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

41

Oey Hioey Tiong, Aspek Hukum Perjanjian Kredit Atas Pembatalan Pemberian Kredit, Majalah Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, 2000, hal. 34.


(51)

tentang Perlindungan Konsumen. Pasal ini berisi larangan pencantuman klausula baku di dalam perjanjian baku. Menurut penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, larangan pencantuman tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Menurut Innosentius Samsul, ”asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak menentukan sendiri isi dari perjanjian atau kesepakatan dalam kontrak.”42

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 18 menetapkan, bahwa dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila klausula baku tersebut :

1. Isinya :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (barang dan/atau jasa); b. Menyatakan bahwa pelaku usaha (barang) berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pemberian kuasa (barang dan/atau jasa) berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;

d. Menyatakan bahwa pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha (barang), baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha (jasa) untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha (jasa) dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

42


(1)

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pemasaran produk dan jasa perbankan agar senantiasa memperhatikan hak dan kewajiban konsumen maupun bank itu sendiri. Sehingga tidak menimbulkan kerugian, baik bagi pemegang kartu kredit selaku nasabah maupun bagi bank penerbit itu sendiri.

2. Prosedur dan persyaratan dalam penerbitan kartu kredit agar dilakukan lebih selektif dan diperketat, sehingga praktik penyalahgunaan kartu kredit baik bank penerbit maupun oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang berusaha memperoleh keuntungan dari penyalahgunaan kartu kredit tersebut dapat diminimalisir.

3. Bank Indonesia sebagai bank sentral agar lebih meningkatkan perannya sebagai lembaga pengawas produk perbankan khususnya terhadap kartu kredit, sehingga para pihak yang berkepentingan dapat memperoleh perlindungan dan menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adi, Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004.

Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali, Jakarta, 1990, Cetakan I.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank (Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-hambatannya Dalam Praktek di Medan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991 Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta,

2001.

___________________, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

___________________, Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Cetakan IV.

___________________, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Dunne, J.M. Van., Tanggung Jawab Khusus: Tanggung Jawab Produk, DKIH Belanda Indonesia, Yogyakarta, 1988.

Engels., Editor Suandy, Aspek-Aspek Hukum Kontrak, Gramedia, Jakarta, 2004. Friedman, Lawrence M., Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (American Law : An

Introduction), Tatanusa, Jakarta, 2001.

Fuady, Munir, Hukum tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Cetakan II.

______, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Praktek), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Cetakan I.

Gunawan, Johannes, Hukum Perlindungan Konsumen dan Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Editor Oleh Ida Susanti dan Bayu Seto, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.


(3)

Harahap, M. Yahya., Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Hardjosoemantri, Koesnadi., Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

Hartono, Sri Redjeki, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Ibrahim, Johanes., Bank sebagai Lembaga Intermedasi Dalam Hal Positif, CV. Utomo, Bandung, 2000.

_______________, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modren, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004.

_______________, Cross Default dan Cross Collateral Penyelesaian Kredit Macet, Refika Aditama, Bandung, 2004.

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo, Yogyakarta, 2004.

Muhammad, Abdul Kadir., Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003..

Muhammad, Abdul Kadir., dan Rilda Muniarti., Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1992.

Nasution, Az., Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta, 2001.

Radjagukguk, Erman, Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Sosial” Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2000.

Rothschild, Donald P. & David W. Carrol, Consumer Protection, Anderson Publishing.Co, Cincinnati Ohio, 1977.

Roszkowski, Mark E., Business Law: Principles, Cases, and Policy, Second Edition, Harper Collins Publisher, USA, 1989.


(4)

Samsul, Innosentius, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

____________, Pengantar Klausula Baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Disampaikan pada Lokakarya Advokasi Konsumen Melalui Prosedur Hukum, diselenggarakan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Centre), Jakarta, 10 Oktober 2001.

Sjahdeini, Sutan Remy., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993.

Sidabalok, Janius., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, Cetakan I.

Stern, Louis W., and Thomas L. Eovaldi., Legal Aspects of Marketing Strategy: Antitrust and Consumer Protection Issues, Prentice-Hall inc., Englewood Cliffs, New Jersey-USA, 1984.

Suhardi, Gunarto, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.

Subagyo, Sri Fatmawaty, Rudy Badrudin, Astuti Purnama Wati, dan Algifari, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, STIE YKPN, Yogyakarta, 2002, Cetakan I. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Internusa, Jakarta, 1987.

Syawali, Husni, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000. Tanri D.C dan Sulastri., Gerakan Organisasi Konsumen, YLKI dan The Asia

Foundation, Jakarta, 1995.

Tebbens, Harry Duintjer., International Product Liability, Sijthooff Noodhoff International Publisher, Netherland, 1988.


(5)

Usman, Rachmadi., Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, 2002.

Waluyo, Bernadette M., Hukum Perjanjian sebagai Ius Constituendum (Lege Ferenda) Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung, Citra Aditya Bakti, Editor Ida Susanti dan Bayu Seto, 2003.

Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Cetakan II.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

C. Jurnal dan Makalah

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, Direktorat Perlindungan Konsumen, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerjasama dengan Yayasan Gema Inti, Jakarta.

MacCormick, Neil, “Adam Smith On Law,” Valparaiso University Law Review, Vol. 15, 1981.

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.


(6)

137

Rancangan Akademik undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Indonesia-Depperdag RI, Jakarta.

Samsul, Innosentius, ”Asas Kebebasan Berkontrak dan Hak Konsumen Atas Fair Agreement”, Dalam Mata Kuliah Universitas Indonesia, Hukum Perlindungan Konsumen, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universias Indonesia, Jakarta, 2003.

________________, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Depok, 2003.

Sunarto., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003. Tim Penerbit Perlindungan Konsumen, Direktorat Perlindungan Konsumen,

Direktorat Perlindungan Konsumen dan Yayasan GERMAINTI, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, CV. Defit Prima Karya, Jakarta, 2001.

Tiong, Oey Hioey, Aspek Hukum Perjanjian Kredit Atas Pembatalan Pemberian Kredit, dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, 2000.

D. Surat Kabar

Kompas, edisi Rabu, Tanggal 13 April 2004.

E. Internet

http://hendrihartopo.info/cetak.php?id=59, Diakses terakhir tanggal 3 September 2009.

http://advokatku.blogspot.com/2008/03/biaya-dan-bunga-kartu-kredit.html, diakses terakhir tanggal 2 September 2009.

http://vibiznews.com/search_result.php?id=84&kategori=wealth&key=, diakses terakhir tanggal 3 Desember 2009.