mendasari dukungan amatlah rapuh dan rawan untuk dimanfaatkan pihak penguasa.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari
latar belakang
tersebut, ada
beberapa permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana premanisme berlangsung di Yogyakarta masa kini?
2. Mengapa dan bagaimana wacana pahlawan kontra preman muncul
dalam pembantaian Cebongan? 3.
Bagaimana fantasi yang mendasari wacana pahlawan kontra preman muncul dalam pembantaian Cebongan? Fantasi seperti apakah yang
mendasari wacana tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berupaya menjelaskan proses terbentuknya dukungan warga masyarakat Yogyakarta terhadap Kopassus dalam
pembantaian Cebongan. Dengan demikian, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menguraikan sebab dan proses penyingkiran yang muncul dalam
wacana pahlawan kontra preman.
seperti halnya saat orang melamun akan tetap disebut dengan fantasi yang disadari . Dalam bahasa Lacanian, fantasi disebutnya unconscious fantasy phantasm. Lihat dalam
James Ormrod, Fantasy and Social Movement New York: Palgrave Macmillan, 2014.
2. Menjelaskan fantasi gerakan pro-Kopassus yang hadir dalam wacana
pahlawan kontra preman. 3.
Mengeksplorasi bagaimana Yogyakarta menciptakan kategori sesama yang lain dan perlu disingkirkan.
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian mengenai fantasi terhadap preman dalam pembantaian Cebongan diharapkan:
1. Secara praktis memberikan pengetahuan sejarah mengenai proses
penyingkiran atas kelompok yang dikategorikan preman dan kekejian berkelanjutan di Yogyakarta.
2. Memberi penjelasan mengenai bagaimana fantasi terbentuk seturut
dengan konteks lokal dan proses kultural dari masyarakat Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Secara komparatif, bagian ini menguraikan bagaimana kriminal yang diposisikan sebagai sesama-yang-lain yang disingkirkan, terkhusus
dalam politik kekuasaan terkait dengan militerisme. Dalam historiografi bangsa Indonesia, pihak militer seringkali menciptakan penyingkiran
terhadap pihak yang menjadi sasaran operasi.
17
Penyingkiran termaksud
17
Penyingkiran ini dilakukan lewat propaganda dan strategi perang yang oleh Davidson Kammen 2002 dimulai sejak pembantaian 1965. Pola ini terus berulang pada masa
Orde Baru, Davidson Kammen 2002 menuliskan bahwa RPKAD menggunakan sistem drain the water so the fish can t swim. Lihat dalam Jamie S. Davidson Douglas
Kammen, Indonesia s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan ,
diikuti dengan penciptaan wacana tentang tindakan ksatria yang dilakukan militer dan ancaman sosial-politik yang mungkin ditimbulkan
dari pihak yang tengah digambarkan sebagai ancaman. Penyingkiran terhadap pihak yang disasar dilihat sebagai kriminal yang memang sudah
selayaknya dibantai. Kemudian, pada bagian selanjutnya akan ditinjau mengenai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tentang
pembantaian Cebongan. Konteks sosial-politik pembantaian Cebongan ini cukup unik, karena terjadi selepas rejim militer Orde Baru dan dilakukan
militer dengan menyerang institusi pemerintahan polisi yang mana keduanya sudah tidak menjadi satu lembaga dan tidak lagi menjadi alat
kekuasaan untuk mengontrol masyarakat sipil. Meskipun, isu yang dimainkan kemudian adalah sama, yakni didasarkan pada ancaman sosial
daripada sebagai sebuah agenda politik kekuasaan sebagaimana terjadi di masa otoritarianisme Orde Baru. Bagian pertama tinjauan menguraikan
mengenai kaitan antara premanisme dengan otoritas. Bagian kedua mendeskripsikan beberapa tipe kriminal yang sering dikait-kaitkan
dengan dunia preman. Terakhir, bagian ketiga menjelaskan bagaimana pembantaian Cebongan dibicarakan dalam dunia akademis.
dalam Indonesia, Volume 73 April 2002, hal. 53-87. Bandingkan dengan Benedict Anderson, Arief W. Djati, Douglas Kammen, Interview with Mário Carrascalão , dalam
Indonesia, Volume 76 October 2003, hal. 1-22 ; James T. Siegel, Jafar Siddiq Hamzah ,
dalam Indonesia 70 October 2000, hal. 167-170. Lihat juga dalam James T. Siegel, The Rope of God Berkeley: The University of Michigan Press, 2000, hal. 336-442.
Bandit, Preman, dan Otoritas Orang tidak perlu heran mengapa sosok-sosok seperti Robin Hood,
Nardong Putik, Don Pepe Oyson, si Pitung, Sakam, Gantang, atau Gagaklodra tidak henti-hentinya dinarasikan. Dalam The Godfather-nya
Mario Pusso
18
ada Don Corleone, dalam Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan
19
ada Margio, atau dalam sejarah Indonesia pasca Revolusi 1945-1949 ada sosok Kusni Kasdut
20
yang muncul sekitar 1960-an. Sosok-sosok ini dibutuhkan sebab mereka fantastis.
21
Orang butuh membayangkan bagaimana hukum yang mengungkung dengan batasan-
batasannya tetap bisa diterabas. Apabila dirunut secara historis, ada dua model umum yang
terdapat pada sosok fantastis tersebut. Pertama adalah sosok yang menerabas hukum namun tidak bertindak menjadi hukum itu sendiri.
Sosok ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang terjadi dalam kelas sosial. Sementara sosok kedua menerabas hukum dan menjadikan
dirinya sebagai hukum itu sendiri. Sosok kedua ini adalah sosok-sosok yang kini disebut sebagai seorang kriminal.
22
Sosok kedua merupakan sosok yang menarik. Pada masa kolonial, sosok ini seringkali disebut,
meminjam istilah Eric Hobsbawm, bandit sosial.
23
18
The Godfather, Paramount Pictures, 1972, DVD.
19
Eka Kurniawan, Lelaki Harimau Jakarta: Gramedia, 2004.
20
Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 36-51.
21
Ibid., hal. 8. Lihat juga dalam Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 13.
22
Marc de Kesel, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacans Seminar VII New York: SUNY Press, 2009, hal. 197.
23
Eric Hobsbawm, Bandits Middlesex: Penguin Books, 1972, hal. 17-18.
Bandit sosial dikenal dengan istilah lain seperti jagoan di Jawa. Dalam masa feodalisme, mereka adalah petani yang dianggap oleh tuan
tanah dan negara sebagai kriminal. Namun, mereka juga hidup dalam masyarakat petani dan menjadi sosok berpengaruh dalam masyarakat
termaksud. Tidak jarang mereka dianggap masyarakat sebagai pahlawan, jawara,
penuntut balas,
pejuang keadilan,
bahkan pemimpin
pembebasan.
24
Anggapan ini menunjukkan bahwa para bandit sosial ini dikagumi bahkan dibantu dan didukung oleh masyarakat. Para bandit ini
justru mengambil apa yang menjadi hak para petani sehingga mereka akan sukar dikategorikan lagi sebagai bandit sosial.
Bandit sosial merupakan fenomena universal yang terjadi dalam masyarakat petani seperti di China, Peru, Sicilia, Ukraina, dan Indonesia.
Secara geografis, fenomena bandit sosial muncul di Amerika, Eropa, Asia, dan Australia. Hobsbawm menuliskan bahwa bandit sosial ada dalam
semua tipe masyarakat yang tengah berada dalam fase evolusioner dari organisasi kesukuan dan kekerabatan, kekerabatan dengan kapitalisme
agraris, dan juga antara kapitalisme modern dengan masyarakat industri.
25
Kemunculan ini merupakan proyeksi dari kekacauan dalam masyarakat, munculnya kelas baru dan struktur sosial, resistensi dari
komunitas atau orang-orang dari kehancuran cara hidup akibat adanya relasi dominasi.
24
Ibid., hal. 17.
25
Ibid., hal. 18.
Sosok fantastis kedua yang kemudian menjadikan dirinya sebagai hukum, dan menjadi fokus dalam tulisan ini, muncul dalam kapitalisme
modern pada pemerintahan otoriter. Pada masa Orde Baru, orang-orang yang tergabung dalam gangster, seringkali disebut preman, dirangkul
untuk tujuan mengembalikan mereka pada kesadaran nasional. Misalnya saja pada tahun 1971 ketika Taman Mini Indonesia Indah TMII hendak
didirikan, Loren Ryter melaporkan bahwa Tien Soeharto mengeluarkan pernyataan yang ditujukan secara khusus kepada para mahasiswa yang
menentang pembangunan kompleks miniatur Indonesia tersebut. Ia mengatakan bahwa ia akan menantang mereka yang menolak paham
untuk mengerti pendirian TMII. Pernyataan ini disambut baik oleh geng Berlan yang beranggotakan anak muda dari orang tua mantan anggota
Koninklijk Nederlands-Indische Leger KNIL. Dalam demonstrasi tanggal 23 Desember 1971, sekelompok orang muda berambut gondrong
menyerang para demonstran dan menyebabkan dua orang demonstran tertikam dan satu orang lain tertembak di paha dengan pistol berkaliber
45.
26
Pada bulan Mei 1973, Badan Koordinasi Intelijen BAKIN, kemudian memberikan pekerjaan lain bagi para anggota gangster ini.
Mereka diberi
keahlian, secara
khusus perbengkelan,
dan menghubungkannya dengan tentara. Alhasil, pada tahun 1990-an, salah
26
Loren Ryter, Geng dan Negara Orde Baru : Preman dari Markas Tentara , dalam
Etnohistori, edisi Jago, Preman dan Negara , diunduh dari http:etnohistori.orggeng- dan-negara-orde-baru-1-preman-dari-markas-tentara.html pada tanggal 18 April 2016.
satu dealer motor yang didirikan Prabowo Subianto di Timor Timur dipekerjakan para anggota geng yang telah dilatih. Selain menjadi
pekerja di dealer tersebut, mereka sekaligus menjadi informan bagi tentara.
27
Istilah preman sendiri memiliki sejarah yang cukup menarik untuk ditelusuri. Sebelum tahun 1990, preman adalah sebutan untuk
polisi atau tentara yang sedang tidak bertugas atau sedang mengenakan pakaian sipil. Tidak heran apabila sampai saat ini masih sering terdengar
orang mengatakan polisi berpakaian preman . Setelah penusukan Letnan Satu Budi Prasetyo di Blok M, Kebayoran pada bulan Maret 1995,
istilah preman mulai dikait-kaitkan dengan kriminalitas. Setahun sebelumnya, sekelompok pemuda berandalan juga dikabarkan telah
menyerang dan membunuh Brigadir Jendral Tampubolon dari Badan Intelijen Strategis BAIS. Preman yang tadinya menyerang secara
langsung orang-orang dengan otoritas tersebut kemudian mengalami perubahan semantik dalam kosakata nasional lewat media: preman tidak
mengenal dan tentu saja tidak mematuhi hukum dan menyebabkan kerusuhan sosial.
28
27
Ibid. Douglas Kammen menjelaskan bahwa militia pro-integrasi Timor Timur direkrut dari lumpenproletariat seperti preman, penjudi, dan orang-orang penggangguran akibat
urbanisasi. Tidak hanya tahun 1999 saja, namun sejarah para militia ini perlu ditelusuri sejak tahun 1975, di mana Timor Timur mulai menjadi bagian dari Indonesia. Di akhir
1970, mereka menjadi anggota Fretilin, bahkan Falintil untuk kemudian dipaksa menjadi informan bagi militer Indonesia. Lihat dalam Douglas Kammen, Master-Slave, Traitor-
Nationalist, Opportunist-
Oppressed: Political Metaphors in East Timor , dalam Indonesia, Number 76, Oct. 2003, hal. 82.
28
Loren Ryter, Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto s Order? , dalam Anderson Ed., 2001, Op.Cit., hal. 127-128..
Preman yang digambarkan hidup dalam dunia-bawah sendiri kemudian dikait-kaitkan dengan kelas sosial bawah. Sesekali para
pengusaha didatangi preman dan menilai bahwa para preman mengintimidasi usaha mereka. Preman juga dipahami sebagai anggota
masyarakat yang dipaksa oleh keadaan pendidikan yang buruk dan berkembang di antara para penghuni kota sebagai akibat dari
pengangguran. Padahal, preman-preman yang tergabung dalam partai politik atau ikut bisnis dalam agen pemerintahan tidak bisa dikatakan
sebagai kelas sosial-bawah secara ekonomis.
29
Orang bisa saja menyebut Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, dan Hercules. Tidak
jarang juga kemudian mereka justru menjadi seorang politisi.
30
Preman, dengan demikian, bisa digunakan untuk menyebut siapa saja tanpa
terbatas pada kelas tertentu. Salah seorang preman yang diwawancarai oleh Loren Ryter
mengatakan bahwa Preman berarti seorang yang bebas, sungguh- sungguh orang yang bebas. Salah satunya adalah saya. Seorang preman
adalah orang yang bebas, tak terikat dengan apapun, bebas untuk menentukan hidup atau matinya, sepanjang dia memenuhi persyaratan
29
Benedict R. OG. Anderson, Indonesian Nationalism Today and in the Future , dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 6;
Douglas Kammen, Notes on the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications
for Indonesia , dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 75.
30
Lihat misalnya tulisan Hatib Abdul Kadir, GPK: Dari Hobi Bacok, Menuju Parlemen Lokal , dalam Etnohistori, edisi Jago, Preman dan Negara , Juli
, diunduh pada tanggal 18 April 2016 dari http:etnohistori.orggpk-dari-hobi-bacok-menuju-parlemen-
lokal.html
dan hukum negeri ini.
31
Ketidakterikatan dengan apapun ini mengisyaratkan bahwa preman merupakan orang asing yang bertindak
layaknya orang yang berkuasa. Dengan kepemilikan kuasa ini bisa mematuhi bahkan melanggar hukum sebagaimana kehendaknya yang
bebas. Meskipun demikian, kekerasan yang dilakukannya tetap terbatas pada otoritas lain yang lebih kuat, misalnya saja negara. Di Indonesia,
preman dikonstruksi oleh otoritas yang hidup pada masa Orde Baru dan setelahnya serta memiliki sejarah panjang tentang kekerasan di
Indonesia.
32
Sementara itu, menurut Geoffrey Robinson, pada masa kolonial preman menjadi orang yang menentukan hukum sekaligus pelaku
tindakan kriminal. Selanjutnya, istilah tersebut berangsur-angsur digunakan untuk menyebut kelompok geng anak muda yang dibentuk
oleh otoritas politik, secara khusus militer, serta elite-elite ekonomi untuk kepentingan politik maupun kriminal.
33
Pembentukan gangster oleh elite politik dapat dilihat sebagaimana PP yang terbentuk dari dalam
Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan PPP yang memiliki Gerakan Pemuda Ka bah GPK. Dengan kata lain, preman – sebagaimana
31
Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 130.
32
Tony Day , Introduction: Identifying with Freedom , dalam Social Analysis: The
International Journal of Social and Cultural Practice, Vol. 50, No. 1 Spring 2006, hal. 151- 152.
33
Geoffrey Robinson , Peoples war: militias in East Timor and Indonesia , dalam South East
Asia Research, Vol. 9, No. 3 November 2001, hal. 287.
juga jago, lasykar, dan militia – merupakan produk yang tak terpisahkan
dari kekuasaan negara.
34
Beberapa Tipe Kriminal Vincente L. Rafael menuliskan bahwa kemunculan gagasan
mengenai kriminalitas bersamaan dengan munculnya pengacau yang tak diketahui atau tak diharapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan
ini menganggap kejahatan menjadi lokus dari kecemasan kolektif, menyetir perhatian massa tak hanya karena kapasitasnya untuk
melibatkan hukum namun juga karena menafikan pengakuan hukum. Dalam prototipe kolonial atau artikulasi nasionalis, kriminal penjahat
dicitrakan sebagai figur sumber rasa takut dan figur yang memiliki kekuatan.
35
Para penjahat ini dianggap asing dan selalu mengulangi kehadirannya untuk membuat kekacauan dengan melampaui batas-batas
normatif. Efeknya, penggambaran individu yang berbeda oleh kelompok bersama untuk membuat respon serentak. Penggambaran individual
yang figuratif ini menjadi aspek fantastis kejahatan yang mampu merangsang perdebatan publik, dipolitisasikan oleh pihak-pihak yang
berkuasa, bahkan dalam beberapa hal menghibur dengan cerita-
34
Robinson, 2001, Op.Cit., hal. 288.
35
Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, Colonial Criminals in Java, -
, dalam Rafael Ed., 1999, Op.Cit., hal. 47-69.
ceritanya yang seringkali heroik bahkan di luar akal. Konstelasi ini membuat kejahatan menjadi sukar dipahami dan tak pasti.
36
Menurut Joshua Barker, apa yang disebut preman memiliki konsentrasi khas dalam perebutan lahan berkaitan dengan pemerasan
jatah.
37
Apabila penjahat Tagalog
38
mencari akses patronase dan ketergantungan satu sama lain yang menguntungkan, preman berfokus
pada bagaimana cara mengontrol teritori mereka dan memproyeksikan aura kemerdekaan dari pihak penguasa atau pengusaha. Sesekali mereka
bersandar pada bantuan militer, meskipun demikian, sifatnya hanya sementara.
Di Yogyakarta, sebagai sebuah bagian dari bangsa Indonesia, kriminal juga menjadi perhatian yang tak bisa dilewatkan.
39
Siegel, dalam A New Criminal Type in Jakarta, menguraikan bahwa pola kejahatan dan
kekejian di Indonesia pada masa Orde Baru adalah membunuh yang ada dalam citra diri atau sesama-yang-lain mengambil bentuk dalam orang
yang didaku warga negara-bangsa Indonesia. Bagi Siegel, para kriminal muncul untuk menggantikan mangkirnya gagasan tentang rakyat yang
pada masa Soekarno hadir. Kehadiran para kriminal ini bertentangan dengan nasionalisme yang muncul lewat lingua franca. Kriminalitas ini
36
Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 12-13. Sisi menghibur ini tampak misalnya dalam kasus Sakam 1886 dan Si Gantang 1903 yang menjadi bahan rumor dan menimbulkan sensasi
dalam masyarakat.
37
Barker, 2001, Op.Cit., hal. 20-53.
38
John T. Sidel, The Usual Suspects: Nardong Putik, Don Pepe Oyson, and Robin Hood ,
dalam Rafael Ed., 1999, Op.Cit., hal. 70-94.
39
Lihat dalam Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 104-105.
muncul untuk selanjutnya mengisi celah dalam rantai simbolik yang menghubungkan keluarga dengan bangsa. Menurut Siegel, pada masa-
masa sebelumnya keluarga pernah menjadi sumber legitimasi
40
namun negara kemudian menggantikan sumber legitimasi hukum termaksud.
Lantas, gagasan rakyat dijinakkan lewat legitimasi negara. Meskipun demikian, penjinakkan tidak sepenuhnya berhasil.
Nyatanya, para kriminal justru menghantui negara sebab mereka tidak menggantungkan diri pada otoritas negara. Misalnya saja tentang Petrus
yang sebelumnya diorganisir oleh tentara, namun pada akhirnya karena para kriminal dalam imajinasi Soeharto mengancam legitimasi, para
gali
41
bertato kemudian dibunuh sampai berkali-kali, setelah dilukai dan dibunuh kemudian dipertontonkan di depan khalayak. Dalam hal ini
para gali tersebut merupakan warga negara-bangsa Indonesia yang energinya menyeruak masuk dan mengacaukan hukum transgresi
kemudian oleh negara dibantai. Penelusuran tentang Petrus lebih lanjut dilakukan oleh Joshua
Barker. Pembantaian para gali bertato di Yogyakarta yang dimulai bulan Maret 1983 melalui komando Letkol M. Hasbi dan menyebar ke kota-
kota besar seperti Solo, Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Semarang. John Pemberton mengklaim bahwa sekitar 4.000 orang
40
Ibid., hal. 87.
41
Kata gali merupakan akronim dari gabungan anak liar yang seringkali juga merujuk pada keterlibatannya dalam perilaku kriminal. Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyetarakannya dengan pencoleng, penodong, dan perampok. Lihat dalam Anderson Ed., 2001, Op.Cit., hal. 245.
bertato mati dibantai.
42
Barker mengatakan bahwa setidaknya 5.000 orang dibantai dan sekitaran 10.000 orang dipenjara. Proses
pembantaian ini dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan surveillance dan tato.
43
Pengawasan tidak diperlukan lagi ketika dalil tato adalah kriminal sudah tertanam dalam struktur simbolik
masyarakat. Pembantaian yang diorganisir lewat tentara atas perintah Presiden ini memberikan contoh baru mengenai tipe kriminalitas di
mana negara melakukan mimikri
44
atas kekejian yang dilakukan oleh figur gali sebagaimana didefinisikan oleh negara.
45
Selanjutnya, dalam buku Naming The Witch 2005, Siegel menganalisis mengenai bagaimana pada Februari hingga September
1998 sebanyak 120 orang yang dianggap sebagai dukun santet dibantai oleh tetangga-tetangganya. Kebanyakan dari korban merupakan anggota
Nahdlatul Ulama NU yang kemudian mendorong NU membentuk tim investigasi dan melakukan penyelidikan mengenai siapa aktor utama di
balik pembantaian ini. Menurut Siegel sentimen terjadi, alih-alih karena
42
John Pemberton, On the Subject of Java Ithaca London: Cornell University Press,
1994, hal. 311-318.
43
Barker, 2001, Op.Cit., hal. 30.
44
Mimikri yang dimaksud di sini sekadar perkara bagaimana kriminal didefinisikan sebagai figur keji, namun di sisi lain negara justru melakukan hal yang sama kejinya sebagaimana
definisi negara terhadap kriminal itu sendiri. Berbeda dengan Homi Bhabha yang menyatakan bahwa mimikri bisa jadi sesuatu yang subversif, justru dalam konteks ini
mimikri dipakai untuk melegitimasi kekuasaan.
45
Tim Lindsey menyebut Indonesia sebagai negara preman preman state, lawless-state, the criminal state. Sebutan yang mengakrabkan isti
lah preman , di atas hukum , dan kriminal ini menggambarkan bahwa ada pemain tersembunyi dalam tubuh negara
bangsa Indonesia yang lewat tindakan kriminal dan kekerasan menegaskan otoritasnya. Lihat dalam Tim Lind
sey, From Soepomo to Prabowo: Law, Violence, and Corruption in the Preman
State , dalam C.A. Choppel Ed. , Violent Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution New York: Routledge, 2006, hal. 29-33.
rivalitas sektarian atau konspirasi tentara, jatuhnya struktur-lah yang menyebabkan memunculkan identitas dukun santet ini kemudian
menciptakan gelora yang tak terjinakkan.
46
Siegel melanjutkan bahwa struktur politik yang dibangun Soeharto gagal untuk mencapai ranah
kehidupan pedesaan.
47
Kegagalan ini, lagi-lagi, ditandai dengan adanya tenaga yang menyeruak dan merasuk pada dukun santet namun tak
bisa diketahui atau dikontrol oleh negara. Mereka dikategorikan sebagai kriminal yang harus disingkirkan.
Menyoal pembantaian di Jawa Timur termaksud, Fadjar I. Thufail menunjukkan bahwa kekejian tidak hanya dilakukan oleh negara. Bahasa
kekejian disebarkan massa yang bertindak sebagai agen kekejian. Keaktifan sebagai agen ini menunjukkan bahwa warga dari negara-
bangsa Indonesia hendak ambil bagian dalam perbincangan pada wilayah publik-nasional.
48
Hasrat untuk mengambil bagian pada perbincangan publik ini juga terjadi sebagaimana akan ditunjukkan
dalam dukungan terhadap pembantaian Cebongan.
Pembantaian Cebongan Preman yang dilekati dengan kriminalitas dan kekerasan menjadi
sebutan yang mendominasi dalam wacana pembantaian Cebongan. Di
46
James T. Siegel, Naming The Witch Stanford: Stanford University Press, 2005, hal 142.
47
Ibid., hal. 154.
48
Fadjar I. Thufail, Local and National Violence in Post-Soeharto Indonesia , dalam Mary S. Zurbuchen ed., Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present Singapore
Seattle: Singapore University Press University of Washington Press, 2005, hal. 150- 167;
Yogyakarta sendiri, setelah reformasi, model kekerasan dan kriminalitas juga terjadi dalam gangsterisme sekolah yang beberapa di antaranya
memiliki hubungan dengan ormas yang kemudian terafiliasikan dengan partai politik. Penelitian yang dilakukan Hatib Abdul Kadir menawarkan
adanya perubahan mengenai pola kekerasan yang pada masa Orde Baru dilakukan negara ke massa-rakyat menjadi kekerasan yang terjadi antar
anggota komunitas bangsa. Di samping itu, identitas keagamaan menjadi hal yang penting untuk membuat kategori mengenai siapa lawan dan
siapa kawan. Kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan gangster sekolah ini akan sangat berbeda dengan preman yang dalam
pembantaian Cebongan bukanlah sekumpulan preman yang dilekati identitas
keagamaan tertentu.
49
Tindakan kriminalitas
dalam pembantaian Cebongan bahkan melibatkan militer yang adalah institusi
negara. Dengan demikian, meskipun isu yang dihembuskan adalah kekerasan horisontal, namun pada kenyataannya kekerasan terjadi
secara vertikal.
50
49
Lihat dalam Hatib A. Kadir, School Gangs of Yogyakarta: Mass Fighting Strategies and
Masculine Charisma in the City of Students , dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:4, hal. 352-365; I M
ade Arsana Dwiputra, Religious Nuance in School Gang Rivalries in Yogyakarta , diunduh dari http:crcs.ugm.ac.idarticles509religious-
nuance-in-school-gang-rivalries-in-yogyakarta.html pada 25 Juli 2016.
50
Bandingkan dengan Robert Cribb, From Petrus to Ninja: Death Squads in Indonesia dalam Bruce B. Campbell, Arthur D. Brenner Ed., Death Squads in Global Perspective:
Murder with Deniability New York Hampshire: Palgrave Macmillan, 2002, hal. 193. Cribb menuliskan bahwa, setelah Petrus, fungsi pasukan kematian sebagai alat kontrol
sosio-politik telah menghilang, namun dengan adanya kasus Marsinah dan pembunuhan dukun Santet di Jawa Timur menunjukkan bahwa kalangan militer masih perlu hadir
untuk menengahi masalah di tengah massa-rakyat. Lihat juga dalam tulisan Siegel, 2005,
Op.Cit.
Beberapa studi mengenai pembantaian Cebongan membahas mengenai bagaimana media memberitakan pembantaian ini. Misalnya,
Latu Ispandriarno yang menemukan bahwa Tribun Jogja membingkai pemberitaan
dengan menekankan
kesalahan dan
cenderung menyudutkan Kopassus, sementara itu Kedaulatan Rakyat justru
mendukung pembantaian ini sebab ditempatkan dalam kerangka pemberantasan preman.
51
Masalahnya, penelitian-penelitian komunikasi model demikian tidak mampu menjelaskan mengapa pemberantasan
preman muncul dalam wacana dan dengan demikian kepentingan seperti apa yang mendasarinya.
Sementara itu, Made Supriatma menganalisis secara khusus berkaitan dengan bagaimana mobilisasi mungkin terjadi lewat gabungan
elemen-elemen masyarakat Yogyakarta dalam Sekber.
52
Analisis yang ia tawarkan adalah adanya kepentingan yang saling menguntungkan antara
Sekber dengan Kopassus. Sayangnya, dalam tulisan yang terbit dalam Inside Indonesia ini
tidak menganalisis lebih jauh berkaitan dengan proses pembentukan sesama yang lain dan disingkirkan dalam pembantaian Cebongan;
bagaimana karakter demografis elemen masyarakat pendukung Kopassus; perubahan-perubahan simbolik apa yang terjadi dalam
51
Mega Latu Lukas Ispandriarno, Pemberitaan Sidang Putusan Pembunuhan di Lapas Cebongan , dalam http:e-journal.uajy.ac.id64821JURNAL20MEGA20LATU.pdf
diunduh pada 21 Juli 2016.
52
Antonius Made Tony Supriatm a, Defending Murder , dalam Inside Indonesia 115: Jan-Mar
2014 diunduh dari http:www.insideindonesia.orgdefending-murder pada tanggal 6 November 2015.
pewacanaan pembantaian Cebongan ini; konteks sosio-kultural etnisitas seperti apa yang memungkinkan wacana pahlawan kontra
preman ini mungkin terjadi; dan bagaimana implikasinya dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta, terutama fantasi yang
mendasarinya.
F. Kerangka Teoritis