C. Kriminalitas di Yogyakarta
Q: And so if this is normal, an open secret, and everybody knows it, then the term criminal properly refers to whom?
A: They re all criminals [semuanya kriminal]. [laughs] They re all criminals, John. It s just up to whoever has power to say who s a criminal
and who s not.
122
Apabila setiap orang bisa dianggap kriminal tergantung pada kekuasaan yang mengucapkan, maka istilah kriminal sendiri merupakan
tanda tanpa marka yang siap dilekatkan pada siapapun. Demikian juga dengan istilah preman yang bisa melekat pada setiap orang, tergantung
mata dan kepentingan apa yang mendasari. Istilah kriminal dan preman sudah terlanjur akrab di kalangan masyarakat awam Yogyakarta sejak
peristiwa Petrus menandai bagaimana ketiganya berhubungan erat. Bahwa orang yang disebut gali-gali adalah mereka yang dibentuk
otoritas dan dihabisi sebagai seorang kriminal yang menganggu keamanan publik.
Petrus menunjukkan bahwa muncul kesulitan dalam memisahkan antara preman, kriminalitas, dan penguasa. Pada masa kekuasaan Golkar,
para pemilik bisnis perjudian di Yogyakarta berlindung di bawah penguasa, pentolan, atau satgas Golkar. Parpol, yang biasanya memiliki
ormas, dikenal dekat dengan aparat yang bisa menyelesaikan permasalahan internal dunia preman. Misalnya ormas PP yang tergabung
dalam partai Golkar menjadi bekking perjudian dadu di Yogyakarta pada tahun 1980-an. Golkar sendiri memiliki pendukung seperti Angkatan
122
John Pemberton, Open Secrets: Excerpts from Conversations with a Javanese Lawyer and a Comment , dalam Rafael,
, Op.Cit., hal. 199.
Muda Siliwangi AMS dan Angkatan Muda Diponegoro AMD. Pada masa Orde Baru, untuk mendapatkan pengaruh memiliki arti bahwa
kelompok tersebut menjadi underbow Golkar.
123
Setelah terjadinya OPK Petrus di Yogyakarta dan para gali yang berlindung di bawah Golkar
dibunuhi lewat kriminalitas oleh negara, munculah preman-preman baru yang kemudian bergabung ke dalam ormas di bawah PPP.
124
Masalahnya, tindakan kriminal yang dilakukan secara sistematis dalam Petrus ini,
tidak pernah disebut oleh negara sendiri sebagai sebuah bentuk kriminalitas.
Sementara itu, dikatakan DIY dalam Angka
125
bahwa kriminalitas menggambarkan adanya ketimpangan kehidupan sosial di masyarakat
dan kriminalitas ini, bukan ketimpangan-nya, memerlukan penanganan yang serius. Bisa juga dibaca; lebih penting untuk memberantas
kriminalitas dibanding mengatasi ketimpangan. Alih-alih adalah kekacauan, kriminalitas justru ditempatkan dalam masalah kelas beserta
ketimpangan yang mengikutinya.
126
Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 6.780 kasus kriminalitas terlapor ke Polda DIY, tahun 2013 laporan menurun menjadi 6513 kasus.
123
Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 144.
124
Lihat dalam Tedy Novan, Ada Parpol dan Golkar di Balik Bisnis Perjudian , diunduh dari http:www.mail-archive.comindonewsindo-news.commsg01345.html pada tanggal 3
Agustus 2016.
125
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik Eds., Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013 Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2013, hal. 107. Juga dalam
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2014, hal. 109.
126
Lihat misalnya dalam James T. Siegel, Thoughts on the Violence of May and , in Jakarta , dalam Anderson Ed. , 2001, Op.Cit., hal. 90-123.
Meskipun demikian, pada tahun 2014 jumlah tindak kriminalitas justru meningkat sebesar 193,98.
127
Selain jumlah kriminalitas yang bertambah, peningkatan tajam tersebut bisa juga disebabkan dengan
adanya sistem pencatatan yang lebih rinci. Laporan-laporan termaksud mendeskripsikan statistik perkara berupa penipuan, curat pencurian
dengan pemberatan, pencurian, curanmor pencurian kendaraan bermotor, penggelapan, penganiayaan ringan, dan narkotika. Dalam
laporan yang disusun oleh pemerintah DIY bekerja-sama dengan Bappeda tersebut, tidak ada jenis kriminalitas yang lazim ditemui dalam
keseharian media. Misalnya saja kasus berupa pembunuhan atau pemerkosaan yang tidak dihadirkan dalam laporan tersebut namun
justru jarang dimangkirkan dalam koran-koran lokal. Dalam perkembangannya, muncul isu-isu kriminalitas yang
terkesan berbeda. Misalnya isu mengenai pengendara motor Vario berwarna putih yang mengejar orang-orang yang melewati Ringroad
Utara Maguwo pada pertengahan 2010. Pada tahun 2014, muncul geng Raden Kian Santang RKS yang mengejar korban lalu mengeroyok
dengan senjata tajam dengan dalih membuktikan keberanian. Lalu, pada tahun 2016 penyerangan terhadap tiga orang perempuan salah satunya
anak SD di tempat berbeda dengan menggunakan senjata tajam. Model- model kriminalitas yang berkembang ini menjadi tampak ganjil ketika
127
Seksi Statistik Ketahanan Nasional Bidang Statistik Sosial Eds., Statistik Politik dan Ketahanan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 Yogyakarta: BPS Provinsi D.I.
Yogyakarta, 2015, hal. 10.
dihadapkan pada motif konsumsi sebagaimana terjadi sebelum- sebelumnya. Meskipun demikian, teror yang dihasilkan jauh lebih besar
dibandingkan dengan kasus penjambretan maupun pencurian sebab mengancam siapa saja, baik yang memiliki atau tidak memiliki barang
bawaan. Namun, dari akumulasi kasus tersebut, jalanan menjadi tempat di mana kriminalitas diberikan ruangnya, Dengan kata lain, isu
keamanan menjadi perkara penting yang menjadi sorotan publik. Representasi kriminalitas yang terjadi akibat adanya ketimpangan
dan memerlukan penanganan serius berimplikasi pada dinafikannya kriminalitas yang dilakukan aparat pemerintahan. Setiap bentuk
kriminalitas terjadi secara horisontal dan masuk ke dalam kategori kriminalitas ketika dilegitimasi oleh pemerintah. Aparat-pemerintahan-
lah yang kemudian berhak untuk membuat penanganan serius atas ketimpangan tersebut. Tak heran apabila bentuk kekekejian yang
melibatkan pemerintah tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
128
Dalam istilah bahasa Inggris, crime mengandung unsur
kejahatan yang melanggar hukum, namun pada penerapannya tak bisa dipungkiri adanya impunitas terhadap para pembuat hukum atau aparat
hukum yang terlanjur melanggar hukum yang ia buat sendiri. Di Yogyakarta, setidaknya ada tiga bentuk kejahatan yang dilakukan aparat
128
Lihat dalam Lindsey, Op.Cit., 2006, hal. 21-25.
dan secara teoritis melanggar hukum HAM, yakni: pembantaian 1965
129
, Petrus
130
, dan pembantaian Cebongan. Dalam pembantaian Cebongan
131
, yang dibarengi dengan isu keamanan di Yogyakarta, sebanyak sembilan orang anggota Grup 2
Kandang Menjangan, yang terletak sekitaran 50 kilometer dari Yogyakarta, menyerbu dan menembaki empat orang tahanan. Berbeda
dengan pembantaian 1965 dan Petrus, pembantaian Cebongan tidak menghadirkan negara yang melegitimasi pembantaian ini sebagaimana
terjadi sebelumnya. Hanya saja, pihak-pihak yang menjadi aparatur negara turut berkomentar dalam pembantaian Cebongan, yang mana
menunjukkan bahwa peristiwa ini menjadi bukan melulu isu lokal. Dalam konteks pembantaian ini, Kopassus juga tidak menjadi perwujudan alat
kekuasaan negara sebagaimana pembantaian 1965 dan Petrus. Apakah pembantaian ini merupakan aksi militer? Ataukah kasus kriminalitas?
Apabila kriminalitas, mengapa kemudian pengadilan dilakukan di Dilmil? Yang jelas, wacana pembantaian Cebongan ini menyedot istilah-istilah
seperti preman dan kriminalitas. Lantas, mengenai bagaimana pembantaian termaksud terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, serta
129
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto Jakarta: ISSI Hasta Mitra, 2008, hal. 77-78. Woodward
130
Lihat dalam tulisan Kroef, 1985, Op.Cit., hal. 745-759; Siegel, 1998, Op.Cit.; Joshua Barker, State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Soeharto s New Order , dalam
Anderson Ed., 2001, Op.Cit., hal. 20-53; Yustina Devi- Ardhiani, Potret Relasi Gali-Militer
di Indonesia: Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus , dalam Retorik, Vol. 3
1, Desember 2012, hal. 37-58.
131
Sultan Hamengku Buwono X bersikap ambigu dalam menanggapi pembantaian Cebongan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan HB IX dalam menanggapi pembantaian 1965
dan Petrus. Lihat dalam Monfries, 2015, Op.Cit., hal 244-245.
bagaimana para kriminal yang dibantai ini direpresentasikan, diuraikan pada bagian selanjutnya.
68
BAB III PUJI-PUJIAN TERHADAP KEKEJIAN: