C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta
Kematian empat tahanan preman diikuti dengan cerita-cerita yang beredar di kalangan masyarakat umum mengenai Diki dkk. yang
seringkali menganggu wong cilik. Namun, duduk permasalahan seperti apa yang terjadi, orang tidak begitu peduli. Cerita-cerita kesadisan
tersebut bukan untuk dicari tahu lebih jauh, melainkan untuk secara emosional ditanggapi fait divers.
240
Tanggapan secara emosional ini menghadirkan formasi fantasi mengenai preman yang merujuk kepada
para pendatang dari NTT. Di pihak lain, dari kolega dan keluarga Diki berpendapat lain. Diki
bukan seorang preman, melainkan bekerja pada sektor pengamanan. Artinya, ia dibayar untuk menjadi petugas keamanan. Sebenarnya tempat
hiburan mala m seperti Hugo s Café sudah ada petugas keamanan sendiri,
namun Diki dkk. bertugas sebagai petugas keamanan yang hanya dipanggil ketika ada kasus khusus, sebagaimana ketika Serka Heru
Santoso datang dan petugas keamanan merasa tidak mampu menghadapi. Penyebutan preman dinilai oleh keluarga Diki sebagai
sesuatu yang problematis, sebab di dalamnya mengandung kepentingan untuk melegitimasi pembantaian.
241
240
Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 9.
241
Lihat wawancara
dengan orang
tua Diki,
Max Felipus
Sahetapy, dalam
https:johanheru.wordpress.com20130724 diunduh pada 22 Juni 2016. Dituliskan demikian Ya kami kepingin mengetahui sebenarnya kasusnya bagaimana sehingga dia
sampai dieksekusi begitu. Kalo bisa secara terbuka lah semua. Supaya kita tahu anak kita salahnya sampai dmn. Ya kan pak. Kasihan kita orangtua terkatung2 dengan berita yg
simpang siur... Saya anggap itu [penyebutan premanisme] pelecehan. Krn mereka bukan
Sebenarnya kategori seperti apa yang dimaksud preman dalam bayangan orang-orang Yogyakarta, terkhusus dalam pembantaian ini?
Memperbincangkan preman dalam konteks ini berarti berbicara bagaimana konsep preman atau dengan kata lain berbicara dalam ranah
fantastik. Orang boleh saja ingat dengan Gun Jack yang terkenal dalam sejarah ke-preman-nan di Yogyakarta. Ia memiliki sejarah berkelahi dan
membunuh seorang TNI yang juga adalah seorang putra perwira tinggi. Alih-alih ia ganti dibunuh, justru ia direkrut dan dipersenjatai oleh pihak
militer. Pun dengan Diki dkk., mengapa ia tidak lalu direkrut oleh militer? Apakah pola premanisme di Yogyakarta sendiri mengalami perubahan?
Mengapa hanya Diki dkk. yang dibantai? Bagaimana dengan orang-orang yang selama ini dikenal sebagai preman seperti Cak Harno, Sotong, dan
Harun?
242
Sebagai sebuah figur kategoris, preman tidak mungkin menghilang. Mereka adalah kategori masyarakat yang muncul sebagai
efek dari beranjaknya daerah urban. Para pengusaha membutuhkan mereka untuk tenaga keamanan usahanya. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa aparat juga terlibat dalam bisnis-bisnis tersebut. Makanya, dalam dunia keamanan usaha dikenal adanya bisnis resmi yang merujuk
adanya ijin dari aparat, sekalipun itu sebuah tempat prostitusi.
preman. Mereka ini bekerja. Kan kasus hugos ini lahannya mereka. Bukan lahannya kopassus itu. Lahan mereka
, mereka mesti mengamankan lahan mereka.
242
Lihat sepak terjang preman-peman yang ditokohkan di Jogja seperti Gun Jack, Cak Harno, Sotong, dan Harun dalam Rudiana, 2013, Op.Cit.
Lihat juga dalam Wawancara dengan Michael dalam https:johanheru.wordpress.com20130724wawancara-dengan-
michael diunduh pada 21 November 2016.
Pertemuan yang tidak terhindarkan antara tenaga keamanan tidak resmi dengan aparat negara memungkinkan terciptanya kerjasama bahkan
konflik antara kedua belah pihak. Misalnya saja Gun Jack yang dekat dengan tentara dan Diki dkk. yang dikenal sebagai ATM atau sumber
pemasukkan bagi polisi namun juga menjadi musuh dari tentara.
243
Diki dkk. sendiri membentuk jaringan preman dengan model berbeda. Karena keberaniannya, mereka direpresentasikan sebagai
orang yang masuk dalam kategori preman namun tidak bisa diatur oleh aparat polisi maupun tentara. Boleh dikata, jaringannya merupakan
pengacau keamanan yang tidak bisa diajak bekerja-sama. Kendatipun demikian, bagi orang dari NTT ia dikenal sebagai orang yang suka
membantu apabila orang dari NTT mengalami masalah di Yogyakarta. Sekali waktu pernah John S. Keban, tetua NTT di Yogyakarta sekaligus
wakil ketua DPD Partai Golkar DIY, mengingatkan Diki namun justru diceritakan bahwa John S. Keban dimaki-maki oleh Diki.
244
Sebagaimana disebutkan sebelumnya isu keistimewaan yang berpadu dengan jiwa korsa Kopassus membuat kategori preman menjadi
semakin kabur. Tindakan kekejian yang ditegaskan dengan adanya gerakan memberikan sinyal bahwa preman dengan kebebasannya dari
aparat bahkan berani terhadap aparat dan berani terhadap orang lain yang dituakan semakin menunjukkan preman sebagai orang yang gagal
berkomunikasi dalam masyarakat, gagal bergaul, tidak bisa hidup di
243
Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra.
244
Wawancara dengan Julius Felicianus.
masyarakat. Mereka adalah orang bebal yang belum mengerti dan tidak mau menghargai etiket Jawa, atau dengan kata lain bukan Jawa.
245
Konsep melawan orang yang dituakan ini merupakan hal yang tidak masuk dalam nilai-nilai kejawaan seperti patuh dan hormat. Lantas, tidak
heran kemudian Diki dkk. dianggap sebagai anak nakal yang kualat oleh salah satu pengorganisir gerakan dukungan terhadap pelaku
pembantaian.
246
Penyebutan anak nakal yang kualat ini adalah cara untuk menunjukkan pada orang-orang di Yogyakarta bahwa mereka
yang tidak bisa menghargai etiket Jawa di Yogyakarta akan mendapatkan pelajaran.
Bicara soal preman, apabila menggunakan kategori sosial, bisa berarti memperbincangkan perkara sampah masyarakat atau tidak
memberi kontribusi yang produktif bagi masyarakat.
247
Namun, kategori tersebut berlaku hanya dalam kelas menengah di Yogyakarta.
Dalam kategori masyarakat kelas bawah atau yang tersingkirkan, preman layaknya seseorang yang memikat dan fantastik.
248
Preman layaknya subjek yang mampu menembus batas-batas dan aturan-aturan
yang tertulis maupun tidak tertulis. Kedekatan dan keberaniannya dengan aparat sebagai suara hukum menjadi privilese yang sukar
dibayangkan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini Hukum dilihat sebagai
sebuah ancaman
bagi seseorang,
kegagalan dalam
245
Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 10.
246
Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra.
247
Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra.
248
Bandingkan dengan Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 8.
mengidentifikasi diri dengan Hukum yang berlaku justru menunjukkan bahwa hukum tidak mampu menawarkan identitas yang menetap dan
tidak bisa menyokong hasrat yang dimiliki subjek dalam masyarakat.
249
Segera setelah pembantaian Cebongan terjadi, Sultan HB X mengundang tokoh-tokoh Yogyakarta untuk mengadakan makan siang
bersama dan sarasehan di Tamanan. Dalam pertemuan tersebut, seorang warga yang hadir mengatakan bahwa beliau menyampaikan orang-orang
itu Diki dkk. seharusnya sekolah baik-baik di Yogyakarta, bukan malah datang dan membawa senjata tajam, kalau seperti itu, ya keluar dari
Jogja saja. Hal serupa juga disampaikan oleh adik Sultan, Gusti Prabu. Banyak orang kemudian dianggap kurang ajar karena datang hanya
untuk mengacaukan ketentraman Yogyakarta. Bahkan sempat muncul istilah yang sentimentil dari seorang aktor gerakan pendukung
pembantaian, yakni mengotori . Penggunaan istilah mengotori ini membuat asosiasi yang tumpang tindih antara mana preman dan mana
pendatang. Keduanya menjadi gagasan yang maknanya saling tumpang tindih.
Dalam perbincangan tersebut, preman kemudian muncul sebagai sesuatu yang disematkan kepada orang yang datang dan mengotori
Yogyakarta. Mengotori tidak lain adalah untuk mengganti atau menyingkat keadaan yang tidak aman, nyaman, damai, dan tentram. Para
preman ini seakan-akan datang sebagai seorang pencuri yang
249
Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political London New York: Routledge, 1999, hal. 45.
mengacaukan tata nilai dan cara hidup orang Yogyakarta.
250
Mereka tidak pernah bisa menjadi orang sebagaimana orang Yogyakarta, namun
pada saat yang sama mereka mengancam identitas Yogyakarta. Masalah mengenai pendatang menjadi makin rumit dengan
hadirnya rangkaian penandaan free-floating dispersion of signifiers antara orang kulit hitam dan berambut keriting entah dari NTT, NTB,
Papua, atau Ambon, dengan preman. Orang-orang tersebut dikabarkan suka berkelahi dan rusuh, orang-orang tersebut suka mabuk dan tidak
terkontrol, orang-orang tersebut bisa seenaknya tidak pakai helm di jalanan, orang tersebut suka bicara keras walaupun malam hari, atau
kulturnya temperamental, yang adalah kebalikan dari apa yang didefinisikan sebagai orang Yogyakarta dalam gerakan mendukung
pembantaian Cebongan. Dengan demikian, para pendatang ini justru memperjelas ketidakjelasan identitas orang Yogyakarta bagi orang-orang
Yogyakarta sendiri, atau lewat para pendatang ini identitas Yogyakarta bisa terdefinisikan. Para pendatang ini berfungsi sebagai sebuah fiksi
yang membuat subjek Yogyakarta terus merepresi krisis Yogyakarta yang kini dianggap tidak lagi aman, nyaman, damai, dan tentram untuk
kemudian diarahkan ke figur pendatang. Cara-cara memasukkan figur pendatang
ini tampak
misalnya dalam
spanduk bertuliskan
PREMANISME: Bukan Sifat Asli Orang Yogya, Pergi atau Kita Usir atau
250
Slavoj Žižek, Eastern Europe s Republics of Gilead , dalam Chantal Mouffe, Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community London New York: Verso, 1995,
hal. 196.
dalam sebuah poster bertuliskan Pelajarmahasiswa merantau ke Yogya
tugasnya… a. Belajar; b. Ke Diskotik; c. Jadi Preman dengan memberi tanda silang pada huruf a.
251
Permasalahan sikap rasis terhadap para pendatang pun semakin naik ke permukaan. Muncul cerita-cerita berkaitan dengan penolakan
orang dari NTT, NTB, Ambon atau Papua. Dalam lingkup sosio-politik, penolakan aksi orang-orang Papua untuk memperjuangkan demokrasi
yang diorganisir Paksi Katon yang menyatakan bahwa OPM [Organisasi Papua Merdeka] bisa-bisanya menghina negara tapi dibiarkan. Atau
dalam ruang-ruang sosial yang lebih sempit, misalnya seorang mahasiswa yang mencari kos akan ditanyai asalnya dari mana, ada
ketakutan kalau-kalau mereka dari NTT, NTB, Ambon, atau Papua. Ada sembilan orang mahasiswa NTT dan Papua yang mengungkapkan telah
mengalami sikap rasisme saat di Yogyakarta. Misalnya saja berkaitan dengan saat ia mencari kos, ia mengatakan bahwa ketika mencari kos
ditanyai daerah asal, ketika ia bilang dari NTT si pemilik indekos mengatakan tidak ada kamar kosong. Kemudian, seorang temannya dari
Solo bertanya di hari berikutnya dan pemilik indekos mengatakan bahwa masih ada kamar kosong. Adapula cerita dari seorang lain dari NTT yang
ditanyai soal Diki dkk. ketika pada bulan Juni 2013, tiga bulan setelah pembantaian Cebongan, ia datang ke Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa
lebih lanjut ditanyai apakah kenal dengan Diki dkk., apakah rumahnya
251
Pada kenyataannya, keempat tahanan yang tewas tidak satupun mahasiswa. Deki, Adi dan Dedi adalah pekerja swasta, sementara Juan adalah desersi polisi.
dekat dengan mereka. Sejak tahun 2004, penolakan-penolakan kos yang mulai terjadi di Yogyakarta semakin diperkuat dengan adanya
pembantaian Cebongan. Bukan berarti bahwa hal tersebut tidak rasional, justru sikap
rasisme ini memiliki rasionalitasnya sendiri, yang mana kertersingkiran tersebut justru cara untuk memasukkan orang-orang yang disingkirkan
ke dalam komunitas Yogyakarta. Dengan menyingkirkan para pendatang ini, maka kita sebagai orang asli Yogyakarta bisa dibedakan dengan
mereka yang bukan orang asli Yogyakarta . Lewat penyingkiran ini, identitas Yogyakarta semakin terkategorikan, dan dengan demikian
terdefinisikan sementara bagi kalangan tertentu.
D. Pendukung Pembantai dan Pelindung Paugeran Kraton