Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Sumatera Utara

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGANGGURAN

DI SUMATERA UTARA

DESY NATHALYA S. 080501039

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan 2012


(2)

ABSTRACT

Unemployment was be familiar in every countries. Because, the situations is unavoidable, for every countries. This study examines the "Analysis of Factors Affecting Unemployment In North Sumatra".

This research hope be expected to analyze, how much this research to influence inflation and education variables on the unemployment rate in province of North Sumatra, so hopefully will be used as a reference or basis for determining policy in addressing the problem of unemployment in the province of North Sumatra.

The data who used in this study is secondary data obtained from North Sumatra, Central Bureau of Statistics, various reference books, journals, and browsing website on the internet, collecting data with the model of Time Series, with a period of 20 years from 1991-2010. While the analytical method used was the Multiple Linear Analysis Method, and with the help of software Eviews 6.

The results of this study, such as: Y = 69.8592103289-1.327169671574X1-2,12937204626X2. Which shows that, inflation and education variables have negative correlations and significant impact on the unemployment rate in province of North Sumatra.


(3)

ABSTRAK

Pengangguran merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi di setiap negara. Karena, keadaan tersebut tidak dapat dihindarkan, baik itu di negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun.

Studi ini meneliti tentang “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Suamtera Utara”. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat mengalisis bagaimana dan seberapa besar pengaruh variabel inflasi dan pendidikan terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara, sehingga nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi atau dasar dalam penentuan kebijakan dalam mengatasi masalah pengangguran di Sumatera Utara.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, berbagai referensi buku, jurnal, serta browsing website di internet, pengumpulan data dengan model Time Series, dengan jangka waktu 20 tahun terhitung dari tahnu 1991-2010. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah Metode Analisis Linier Berganda, dengan bantuan software Eviews 6.

Hasil dari penelitian ini, antara lain : Y = 69,8592103289-1,327169671574X1-2,12937204626X2. Yang menunjukkan bahwa, variabel inflasi dan pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.


(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan perkuliahannya dan memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa baik isi maupun cara penulisan dan penyusunan yang berjudul: “ANALISIS FATOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGANGGURAN DI SUMATERA UTARA” masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca.

Pada kesempatan ini tak lupa penulils menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution M.Si selaku Sekertaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S-1


(5)

5. Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekertaris Program Studi S-1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 6. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya Hsb, M.Si selaku dosen pembimbing saya

yang telah bersedia meluangkan waktu dan dengan begitu sabar memberikan saran serta masukan serta bimbingan mulai dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.

7. Seluruh Dosen serta Staf Pegawai di Fakultas Ekonomi, khususnya di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

8. Para Staf Biro Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.

9. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda F. Situmeang (+) dan Ibunda Ida Mauli Hutagalung, serta saudara/i penulis Ester Situmeang, Immanuel Situmeang, Theresia Situmeang dan Gloria Situmeang yang selama ini begitu memberikan dukungan penuh kepada penulis.

10.Seluruh sahabat Ekonomi Pembangunan stambuk 2008.

Semoga kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.


(6)

Akhir kata, tidak ada yang dapat penulis lakukan untuk membalas setiap kebaikan dan kasih sayang yang sudah dicurahkan sampai pada saat ini. Biarlah kiranya kemurahan Tuhan yang selalu menyertai kita semua.

Medan, April 2012 Penulis,

(Desy Nathalya S.) NIM : 080501039


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ……….…. i

ABSTRAK ……….… ii

KATA PENGANTAR ……….…… iii

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL………. ix

DAFTAR GAMBAR……… x

DAFTAR LAMPIRAN………..……….. xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……….. 4

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian ……….... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengangguran 2.1.1 Definisi Pengangguran ………..… 6

2.1.2 Jenis-Jenis Pengangguran ………..…..… 8

2.1.3 Teori Ketenegakerjaan ………..…... 9

2.2 Inflasi 2.2.1 Definisi Inflasi ………...…… 15

2.2.2 Jenis-Jenis Inflasi ………...…… 16

2.2.3 Teori Inflasi ……….……….……… 21


(8)

2.3 Pendidikan

2.3.1 Definisi Pendidikan ………..…....……… 30

2.3.1 Kondisi Pendidikan ……….… 31

2.4 Kerangka Konseptual ………...….… 34

2.5 Hipotesis ……….. 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian………..… 36

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………...….. 37

3.3 Metode Pengumpulan Data………..…..… 37

3.3.1 Metode Dokumentasi ……… 37

3.3.2 Metode Studi Pustaka (Library Search)……….. 38

3.4 Pengolahan Data………..………….…… 38

3.5 Jenis dan Sumber Data……… 38

3.6 Model Analisis Data ……… 38

3.6.1 Model Analisis Linear Berganda …………....……… 39

3.7 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ………..…… 40

3.7.1 Uji Koefisien Determinasi (R-Squared) ……….… 40

3.7.2 Uji F-statstik ……….…… 41

3.7.3 Uji t-statistik ……….……… 43

3.8 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ………..……… 44

3.8.1 Multikolinearitas ………..…..……….. 44

3.8.2 Autokorelasi ………..………... 45


(9)

3.8.4 Normalitas ……….………….. 46 3.7 Definisi Operasional ……….….………… 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Geografis Sumatera Utara …..……….…… 48 4.2 Hasil Penelitian ………...……. 55 4.2.1 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ……...…....……… 57 4.2.2 Uji Asumsi Klasik ……….……… 61 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan dan Saran ……….……. 68 5.1.1 Kesimpulan ……….…………. 68 5.1.2 Saran ……….………...… 69 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL Tabel Judul

Halaman

Tabel 4.1 Dependent Variabel Y 53

Tabel 4.2 Estimation Command

54

Tabel 4.3 R2Auxiliary Regression Pengaruh Inflasi (X1) dan

Pendidikan (X2) terhadap Pengangguran (Y) Tahun 1991 – 2010 61

Tabel 4.4 Hasil Estimasi Regresi 63

Tabel 4.5 Uji LM test


(11)

DAFTAR GAMBAR Gambar Judul

Halaman

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation 18 Gambar 2.2 Cosh Push Inflation 19

Gambar 2.3 Kurva Philips 28

Gambar 4.1 Kurva Uji F-statistik Variabel X1 dan X2 56 Gambar 4.2 Kurva Uji t-statistik Variabel X1 58 Gambar 4.3 Kurva Uji t-statistik Variabel X2 59 Gambar 4.6 Hasil Uji Normalitas 60 Gambar 4.7 Kurva Durbin Watson 62


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1. Persentase Tingkat Pengangguran, Inflasi dan pendidikan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1991-2010.

2. Hasil Regresi Tingkat Pengangguran, Inflasi dan Pendidikan di Provinsi Sumatera Utara


(13)

ABSTRACT

Unemployment was be familiar in every countries. Because, the situations is unavoidable, for every countries. This study examines the "Analysis of Factors Affecting Unemployment In North Sumatra".

This research hope be expected to analyze, how much this research to influence inflation and education variables on the unemployment rate in province of North Sumatra, so hopefully will be used as a reference or basis for determining policy in addressing the problem of unemployment in the province of North Sumatra.

The data who used in this study is secondary data obtained from North Sumatra, Central Bureau of Statistics, various reference books, journals, and browsing website on the internet, collecting data with the model of Time Series, with a period of 20 years from 1991-2010. While the analytical method used was the Multiple Linear Analysis Method, and with the help of software Eviews 6.

The results of this study, such as: Y = 69.8592103289-1.327169671574X1-2,12937204626X2. Which shows that, inflation and education variables have negative correlations and significant impact on the unemployment rate in province of North Sumatra.


(14)

ABSTRAK

Pengangguran merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi di setiap negara. Karena, keadaan tersebut tidak dapat dihindarkan, baik itu di negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun.

Studi ini meneliti tentang “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Suamtera Utara”. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat mengalisis bagaimana dan seberapa besar pengaruh variabel inflasi dan pendidikan terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara, sehingga nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi atau dasar dalam penentuan kebijakan dalam mengatasi masalah pengangguran di Sumatera Utara.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, berbagai referensi buku, jurnal, serta browsing website di internet, pengumpulan data dengan model Time Series, dengan jangka waktu 20 tahun terhitung dari tahnu 1991-2010. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah Metode Analisis Linier Berganda, dengan bantuan software Eviews 6.

Hasil dari penelitian ini, antara lain : Y = 69,8592103289-1,327169671574X1-2,12937204626X2. Yang menunjukkan bahwa, variabel inflasi dan pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengangguran merupakan istilah yang tidak asing lagi di setiap negara. Karena, pada dasarnya pengangguran adalah suatu keadaaan yang tidak terelakkan keberadaannya, baik itu di negara berkembang maupun di negara maju sekalipun.

Tiap negara dapat memberikan definisi yang berbeda mengenai definisi pengangguran. Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif tidak sedang mencari pekerjaan. (Nanga, 2005: 249)

Tingginya tingkat pengangguran dalam suatu negara dapat membawa dampak negatif terhadap perekonomian negara tersebut. Dimana, pengangguran akan menjadi beban tersendiri, tidak hanya bagi pemerintah, namun juga berdampak terhadap keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya. Selain itu, tingginya tingkat pengangguran di suatu negara, dapat pula meningkatkan jumlah kriminilatias, menambah keresahan sosial, serta meningkatkan kemiskinan di dalam suatu negara.

Apabila ditelaah lebih lanjut, dari sisi ekonomi, pengangguran merupakan suatu produk dari kegagalan pasar dalam memberikan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan dari angkatan kerja, atau dengan kata lain jumlah lapangan pekerjaan jauh lebih sedikit dari jumlah angkatan kerja yang tersedia.


(16)

Selain itu juga, pengangguran dapat disebabkan karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), karena perusahaan harus menutup/mengurangi tenaga kerjanya, untuk meminimalisasi kerugian, ada juga karena keadaan suatu negara yang kurang kondusif, seperti situasi politik dalam negeri, yang berakibat pada, menurunnya tingkat investasi asing, hal ini kemudian dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Disamping itu juga, pengangguran juga disebabkan karena adanya inflasi, dimana sesuai dengan teori Philips, yang mengatakan adanya hubungan antara tingkat pengangguran dengan inflasi, dimana hubungan atau korelasinya bersifat negatif.

Hal yang tidak kalah penting adalah tingkat pendidikan. Faktor pendidikan kemudian memiliki peranan yang penting terhadap pengangguran. Dimana apabila pendidikan suatu masyarakat rendah dapat berakibat pada meningkatnya tingkat pengangguran di negara tersebut. Demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena kurangnya sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, skill dan keahlian.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka pemerintah Indonesia, menargetkan penurunan tingkat pengangguran secara dari tahun ke tahun. Pemerintah menargetkan angka pengangguran di Indonesia turun dari 10,1 % menjadi 5,1 % pada tahun 2009. Sementara kemiskinan akan ditekan hingga 8,2 % dari 17,4 % (BPS Indonesia, 2003).

Sementara itu, berdasarkan data badan pusat statistik (BPS) angka pengangguran di Sumatera Utara bila dibandingkan dengan periode Agustus 2010


(17)

mengalami penurunan. Pada Agustus 2010, tercatat angka pengangguran terbuka sebesar 7,43 %. Sedangkan per Agustus 2011, pengangguran tercatat sebesar 6,37 %. Agustus 2011, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Sumatera Utara (Sumut) tercatat sebesar 72,09 % atau meningkat sebesar 2,58 % bila dibandingkan dengan kondisi Agustus 2010 yang sebesar 69,51 %. Dimana, jumlah angkatan kerja sebanyak 6,31 juta orang, terdiri dari 5,91 juta orang bekerja, dan 0,40 juta orang penganggur. “Hal ini menunjukkan jumlah angkatan kerja dapat terserap pada lapangan pekerjaan yang tersedia”. (Drs Suharno MSc).

Permasalahan pengangguran memang sangat kompleks untuk dibahas dan merupakan hal yang tak kalah penting, karena dapat dikaitkan dengan beberapa indikator. Indikator-indikator ekonomi yang mempengaruhi tingkat pengangguran antara lain tingkat inflasi dan tingkat pendidikan di negara tersebut.

Angka pengangguran yang rendah dapat mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang baik, serta dapat mencerminkan adanya peningkatan kualitas taraf hidup penduduk dan peningkatan pemerataan pendapatan, Oleh karena itu kesejahteraan penduduk kemudian dapat meningkat. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Di Sumatera Utara”.


(18)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat di ambil sebagai dasar kajian dalam penelitian yang dilakukan, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaruh tingkat Inflasi terhadap Pengangguran di Sumatera Utara?

2. Bagaimanakah pengaruh Pendidikan terhadap Pengangguran di Sumatera Utara?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendidikan terhadap Pengangguran di Sumatera Utara.

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Sebagai penambah wawasan bagi penulis dan pembaca lainnya tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Pengangguran dan bagaimana pengaruh yang di timbulkan.

2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan yang berguna bagi pengambil keputusan di masa yang akan datang dan juga sebagai bahan referensi.


(19)

3. Dapat menjadi bahan informasi bagi peneliti lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengangguran

2.1.1 Definisi Pengangguran

Pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya. (Sukirno, 2004: 28)

Selanjutnya International Labor Organization (ILO) memberikan definisi pengangguran yaitu:

1. Pengangguran terbuka adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, dan bersedia menerima pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan.

2. Setengah pengangguran terpaksa adalah seseorang yang bekerja sebagai buruh karyawan dan pekerja mandiri (berusaha sendiri) yang selama periode tertentu secara terpaksa bekerja kurang dari jam kerja normal, yang masih mencari pekerjaan lain atau masih bersedia mencari pekerjaan lain/tambahan (BPS, 2001: 4).

Data pengangguran dikumpulkan BPS melalui survei rumah tangga, seperti Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Sensus Penduduk (SP), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Diantara sensus/survei tersebut Sakernas merupakan survei yang dirancang untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan secara periodik. Saat ini Sakernas diselenggarakan dua kali setahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus. (Badan Pusat Statistik Sumatera Utara)


(21)

Berdasarkan pengertiannya, pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain :

Pengangguran Terbuka (Open Unemployment)

Penganggguran terbuka adalah tenaga kerja yang betul-betul tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran ini terjadi ada yang karena belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal dan ada juga yang karena malas mencari pekerjaan atau malas bekerja.

Pengangguran Terselubung (Disguessed Unemployment)

Pengangguran terselubung yaitu pengangguran yang terjadi karena terlalu banyaknya tenaga kerja untuk satu unit pekerjaan padahal dengan mengurangi tenaga kerja tersebut sampai jumlah tertentu tetap tidak mengurangi jumlah produksi. Pengangguran terselubung bisa juga terjadi karena seseorang yang bekerja tidak sesuai dengan bakat dan kemampuannya, akhirnya bekerja tidak optimal.

Setengah Menganggur (Under Unemployment)

Setengah menganggur adalah tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak ada pekerjaan untuk sementara waktu. Ada yang mengatakan bahwa tenaga kerja setengah menganggur ini adalah tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu atau kurang dari 7 jam sehari. Misalnya seorang buruh bangunan yang telah menyelesaikan pekerjaan di suatu proyek, untuk sementara menganggur sambil menunggu proyek berikutnya.


(22)

Pengangguran terbuka (Open Unemployment) atau secara umum disebut dengan pengangguran, adalah penduduk usia kerja yang tidak mempunyai pekerjaan apapun, yang secara aktif mencari pekerjaan. Pengangguran di negara-negara berkembang bisa dipilah kedalam dua kelompok, yaitu pengangguran perkotaan dan pedesaan. (BPS, 2000:8)

2.1.2 Jenis-jenis Pengangguran Berdasarkan Penyebabnya

Menurut Sadono Sukrino (2000), jika dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut :

Pengangguran Friksional (Frictional unemployment)

Yaitu pengangguran yang timbul akibat perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain dan karena tahapan siklus hidup yang berbeda.

Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)

Pengangguran ini terjadi karena adanya perubahan dalam struktur perekonomian yang menyebabkan kelemahan di bidang keahlian lain.

Pengangguran Siklus (cyclical unemployment)

Pengangguran ini terjadi karena adanya gelombang konjungtur, yaitu adanya resesi atau kemunduran dalam kegiatan ekonomi.

Pengangguran teknologi

Pengangguran ini terjadi karena adanya penggunaan alat–alat teknologi yang semakin modern.


(23)

Pengangguran musiman terjadi karena adanya perubahan musim.

2.1.3 Konsep Angkatan Kerja a. Bekerja Penuh (Employed)

Yaitu orang – orang yang bekerja penuh atau jam kerjanya lebih dari 35 jam / minggu.

b. Setengah Menganggur (Underemployed)

Yaitu mereka yang bekerja, tetapi belum dimanfaat secara penuh. Jam kerjanya kurang dari 35 jam/minggu. Berdasarkan definisi ini, tingkat pengangguran di Indonesia termasuk tinggi, yaitu 35% per tahun.

c. Menganggur (Unemployed)

Yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini sering disebut Penganggur Terbuka. (Rahardja & Manurung, 2004:173)

2.1.4 Faktor Penyebab Pengangguran di negara-negara berkembang

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pengangguran di negara-negara berkembang, antara lain:

 Kebijakan Pemerintah yang Tidak Tepat

Perekonomian di negara berkembang pada umumnya dikategorikan ke dalam dua sektor, yaitu sektor subsisten yang diasumsikan dan dicirikan sebagai sektor yang lamban, tradisional, terbelakang, dan mempunyai pengangguran tidak kentara dan sektor modern berupa pertambangan, perkebunan, dan industri. Pada akhirnya pembangunan disusun dengan strategi perluasan sektor modern melalui akumulasi


(24)

kapital. Dimana pertumbuhan sektor modern akan menyerap angkatan kerja dari sektor tradisional sampai pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa. Namun, pada kenyataannya, tidak semua negara berkembang dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan industri. Yang berakibat kepada meningkatnya penggunaan teknologi yang padat kapital. Yang mendorong meningkatnya investasi. Selain itu juga, kepercayaan yang salah yang menganggap bahwasanya dengan tingginya investasi maka kesempatan kerja pun akan meningkat. Namun, pada kenyataannya, penggunaan teknologi yang kurang tepat, menyebabkan penyerapan kesempatan pun menjadi kecil. Di lain pihak, kurangnya upaya pelatihan tenaga kerja, menyebabkan langkanya angkatan kerja yang memliki skill. Yang pada akhirnya, memaksa para pengusaha untuk memilih proses mekanis.

 Distorsi Harga Faktor Produksi - Tingginya Upah di Sektor Modern

Upah yang berlaku untuk tenaga kerja tak berskill di sektor modern di negara-negara berkembang seringkali melebihi tingkat upah keseimbangan pasar karena adanya kebijakan upah minimum dari pemerintah, tekanan serikat pekerja, dan perusahaan asing yang beroperasi di negara tersebut yang biasanya menentukan upah lebih tinggi dari tingkat upah domestik. Pemerintah sering berinisiatif memberlakukan kebijakan upah minimum dengan argumentasi untuk membantu para pekerja miskin. Sering pula kebijakan pemerintah tersebut merupakan pengaruh dari tekanan serikat buruh. Sementara


(25)

itu, perusahaan asing yang berlokasi di negara tersebut biasanya memberikan upah yang meskipun di bawah standar negara mereka, tetapi lebih tinggi dari standar domestik untuk memastikan mendapatkan tenaga kerja berkualitas dan akhirnya mendorong tingkat upah domestik untuk ikut meningkat. Jika dihitung secara kasar di seluruh negara berkembang, Pendapatan per pekerja dari upah minimum resmi ternyata beberapa kali lebih tinggi daripada pendapatan per kapita negara tersebut. Hal ini akan menyebabkan pengangguran yang lebih tinggi karena beberapa studi menunjukkan tingkat upah yang tinggi akan mengurangi penyerapan tenaga kerja. - Rendahnya Biaya Kapital

Beberapa kebijakan pemerintah telah membuat biaya kapital di negara-negara berkembang menjadi rendah, misalnya kebijakan mendorong investasi dengan mengenakan subsidi tingkat bunga dan potongan pajak, atau kebijkan menjaga tingkat kurs lebih rendah dari keseimbangan pasar. Kurs yang rendah membuat harga barang impor, termasuk barang-barang kapital menjadi murah. Kebijakan ini ditunjang pula dengan kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang untuk memprioritaskan impor barang-barang kapital (supaya impornya tidak berupa barang konsumsi, tetapi barang-barang produktif), sehingga sempurna mendorong pengusaha untuk mengimpor barang-barang kapital bagi perusahaannya, dan akhirnya


(26)

mengadopsi teknologi padat kapital yang akan menyerap sedikit tenaga kerja.

- Pengangguran Penduduk Berpendidikan Tinggi

Pengangguran tenaga kerja berpendidikan di negara-negara berkembang tersebut disebabkan karena lapangan kerja tidak sesuai dengan kurikulum yang diajarkan di bangku sekolah. Salah satu sebabnya adalah karena kurikulum yang disusun di negara-negara berkembang tersebut lebih condong ke ilmu sosial yang lebih mudah diselenggarakan dari pada ilmu-ilmu alam dan teknik yang sebenarnya lebih dibutuhkan dibanyak perusahaan. Di sisi lain para lulusan tersebut lebih suka memilih untuk pekerjaan yang mereka rasakan lebih cocok dengan pendidikan mereka yang menolak untuk bekerja di bidang lain, terutama jika bayarannya di bawah standar yang mereka inginkan. Pengangguran jenis ini mempunyai kompleksitasnya sendiri.

2.1.5 Dampak Pengangguran

Adapun dampak-dampak pengangguran terhadap perekonomian, antara lain sebagai berikut:

a. Dampak Pengangguran terhadap perekonomian

1. Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Pengangguran menyebabkan pendapatan nasional yang sebenarnya (actual output) dicapai lebih rendah dari pada pendapatan nasional potensial (potential output). Keadaan ini


(27)

berarti tingkat kemakmuran masyarakat yang dicapai lebih rendah dari pada tingkat yang mungkin dicapainya.

2. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak (tax revenue) pemerintah berkurang. Pengangguran yang diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang rendah, pada gilirannya akan menyebabkan pendapatan yang diperoleh pemerintah akan semakin sedikit. Dengan demikian, pengangguran yang tinggi akan mengurangi kemampuan pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan pembangunan.

3. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran menimbulkan dua akibat buruk kepada sektor swasta. Pertama, pengangguran tenaga kerja biasanya akan diikuti pula dengan kelebihan kapasitas mesin-mesin perusahaan. Keadaan ini jelas tidak akan mendorong perusahaan untuk melakukan investasi di masa yang akan datang. Kedua, pengangguran yang diakibatkan kelesuan kegiatan perusahaan menyebabkan keuntungan berkurang. Keuntungan yang rendah mengurangi keinginan perusahaan untuk melakukan investasi. Kedua hal tersebut jelas tidak akan menggalakkan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.

b. Dampak Pengangguran terhadap Individu dan Masyarakat

1. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan pendapatan. Di negara-negara maju, para penganggur memperoleh tunjangan (bantuan keuangan) dari badan asuransi pengangguran, dan oleh sebab itu, mereka masih mempunyai pendapatan untuk membiayai


(28)

kehidupan dan keluarganya. Di negara sedang berkembang tidak terdapat program asuransi pembangunan, dan karenanya kehidupan penganggur harus dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman (bantuan keluarga dan teman-teman). Keadaan ini potensial bisa mengakibatkan pertengkaran dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis.

2. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Keterampilan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan hanya dapat dipertahankan apabila keterampilan tersebut digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam kurun waktu yang lama akan menyebabkan tingkat keterampilan pekerjaan menjadi semakin merosot.

3. Selain hal-hal tersebut pengangguran dapat pula menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik. Kegiatan ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada pemerintah yang berkuasa. Kegiatan-kegiatan kriminal seperti pencurian dan perampokan dan lain sebagainya pun akan semakin meningkat.

3.1 Inflasi

3.1.1 Definisi Inflasi

Inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan tingkat harga umum yang terjadi sekali waktu saja tidaklah dapat dikatakan sebagai inflasi. (Nanga, 2001: 237)


(29)

Sementara itu, menurut Rahardja (1997), inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, tetapi jika kenaikan meluas kepada sebagian besar harga barang-barang maka hal ini disebut inflasi.

Dari uraian diatas, setidaknya ada 3 hal penting yang ditekankan, yaitu:

1. Adanya kecenderungan harga yang tidak mengikat, yang berarti bisa saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumya, tetapi tetap menunjukkan tendensi yg meningkat.

2. Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus-menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi bisa beberapa waktu lamanya.

3. Bahwa tingkat harga yang dimaksud disni adalah tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga - harga secara umum.

3.1.2 Jenis-jenis Pengelompokan Inflasi

Berdasarkan laporan hasil Sosial Indonesia 2007 BPS, ada beberapa jenisi pengelompokan inflasi, yaitu :

- Inflasi IHK atau inflasi umum (headline inflation)

Inflasi seluruh barang/jasa yang dimonitor harganya secara periodic. Inflasi umum adalah komposit dari inflasi inti, inflasi administered prices, dan inflasi volatile goods.


(30)

- Inflasi inti (Core Inflation)

Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi secara umum (faktor-faktor fundamental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran agregat) yang akan berdampak pada perubhan harga-harga secara umum dan lebih bersifat permanen dan persistent. Berdasarkan SBH 2007 jumlah komoditasnya sebanyak 694 antara lain beras, kontrak rumah, upah buruh, mie, susu, mobil, sepeda motor, dan sebagainya.

- Inflasi Administered (Administered Price Inflation)

Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur pemerintah. Berdasarkan SBH 2007 jumlah komoditasnya sebanyak 19 antara lain bensin, tariff listrik, rokok dan sebagainya.

- Inflasi bergejolak (Volatile Goods Price Inflation)

Adalah inflasi barang atau jasa yang perkembangan harganya sangat bergejolak. Umumnya dipengaruhi oleh shocks yang bersifat temporer seperti musim panen, gangguan alam, gangguan penyakit, dan gangguan distribusi. Pada umumnya didominasi oleh bahan makan, sehingga sering disebut sebagai inflasi volatile foods. Jumlah komoditinya sebanyak 61 antara lain beras, minyak goring, cabe, daging ayam ras, dan sebagainya.

Sementara itu, berdasarkan bobotnya, inflasi dapat dibedakan menjadi :


(31)

1. Inflasi ringan (10% setahun), ditandai dengan kenaikan harga berjalan secara lamban dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relative lama.

2. Inflasi sedang (10-30% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang relative cepat atau perlu diwaspadai dampaknya terhadap perekonomian. 3. Inflasi berat (30-100%), ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar

dan terkadang berjalan dalam waktu yang relative pendek serta mempunyai sifat akselerasi, yang artinya harga minggu atau bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan sebelumnya.

4. Hiperinflasi (> 100%), dimana inflasi ini merupakan inflasi yang paling parah, akibatnya dimana masyakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang, nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ditukarkan dengan barang. Harga-harga barang naik 5 sampai 6 kali. Biasanya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja (misalnya: ditiimbulkan oleh adanya perang) yang dibelanjai atau ditutup dengan mencetak uang.

Sementara, menurut asalnya, inflasi dibedakan menjadi:

1. Domestic Inflation

Inflasi yang berasal dari dalam negeri sendiri seperti kenaikan konsumsi masyarakat, ekspansi moneter dan lain sebagainya.


(32)

Inflasi yang berasal dari luar negeri, seperti kenaikan harga – harga barang di Negara-negara langganan dagang kita, mekanismenya baik melalui impor ataupun ekspor. (Waluyo, 2007:176)

Berdasarkan penyebab awalnya, dapat dibedaan menjadi dua yaitu: 1. Demand Pull Inflation

Demand Pull Inflation yaitu inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat terhadap berbagai barang terlalu kuat. Demand Pull Inflation terjadi karena kenaikan permintaan agregat dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output (produksi) tetapi hanya mendorong kenaikan harga yang disebut inflasi murni.

Kenaikan permintaan yang melebihi Prosuk Domestik Bruto akan menyebabkan Inflationary Gap yang menyebabkan inflasi. Negara yang menganut sistem pasar bebas dapat mengalami demand pull inflation yang muncul dari sektor riil dan sektor moneter. (Khalwaty, 2000, P : 15 – 16).

AS

P1

P2 AD2

AD1 0 Q1 Q2


(33)

Karena permintaan akan barang-barang (agregat demand) bertambah misalnya karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang atau kenaikan permintaan barang luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah, maka kurva agregat demand bergeser dari AD1 ke AD2, akibatnya tingkat harga umum naik dari P1 ke P2.

2. Cost Push Inflastion

Cost Push Inflation yaitu inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Pada cosh push inflation tingkat penawaran lebih rendah dibandingkan tingkat permintaan. Karena adannya kenaikan harga faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran agregat terus menurun karena adanya kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka akan terjadi inflasi yang disertai resesi.

AS2 AS1

P2

P1 AD

0 Q2 Q1

Gambar 3.2 Cost Push Inflastion

Bila biaya produksi naik karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak maka kurva penawaran masyarakat bergeser dari S1 ke S2. Kedua jenis inflasi ini jarang sekali dijumpai secara murni dalam praktek, pada umumnya bentuk yang


(34)

sering terjadi adalah kombinasi dari kedua jenis inflasi tersebut, dan sering kali keduanya saling memperkuat satu sama lain. (Khalwaty, 2000, P : 20).

3.1.3 Teori Inflasi

Secara garis besar ada tiga kelompok teori mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi, dan masing-masing-masing-masing bukan teori inflasi yang lengkap yang mencakup semua aspek penting dari proses kenaikan harga ini. Untuk menerapkannya kita harus menentukan aspek-aspek mana yang dalam kenyataan penting dimana proses inflasi di suatu negara, dengan demikian teori mana atau kombinasi mana yang lebih cocok. (Budiono, 1990, P : 167-175).

Teori Kuantitas

Teori kuantitas merupakan teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar dan harapan masyarakat mengenai kenaikan-kenaikan harga (ekspektasi). Inti teori ini adalah:

• Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang beredar. Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti kegagalan panen hanya akan menaikkan harga – harga sementara saja. Bila uang tidak ditambah inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apapun sebab awal kenaikan harga tersebut.


(35)

• Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dalam harapan masyarakat megenai kenaikan harga-harga di masa yang akan datang.

Ada 3 kemungkinan keadaan:

- Bila masyarakat tidak mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan mendatang. Sebagian besar dari pernambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya. Ini berarti sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya tidak ada kenaikan permintaan yang berarti terhadap barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga. Kenaikan ini biasa dijumpai pada saat inflasi masih naru, masyarakat belum sadar bahwa inflasi sering berlangsung.

- Masyarakat mulai sadar bahwa ada inflasi. Penambahan jumlah uang beredar tidak lagi diterima masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi menambah pembelian barang-barang. Hal ini dilakukan karena orang-orang berusaha untuk menghindari kerugian yang ditimbulkan seandainya mereka memegang uang tunai. Orang secara perorangan. Melakukan penyesuaian dalam neracanya dengan membelanjakan kasnya untuk membeli barang-barang. Dari masyarakat secara keseluruhan ini berarti ada permintaan barang. Akibat selanjutnya kenaikan harga barang-barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan kenaikan harga-harga untuk naik dimasa mendatang sebesar laju inflasi di bulan bulan yang lalu, maka kenaikan jumlah uang beredar sepenuhnya diterjemahkan menjadi


(36)

kenaikan permintaan akan barang-barang. Keadan ini biasa di jumpai pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama dan orang-orang mempunyai cukup waktu untuk menyeseuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru. - Dalam tahap ketiga terjadi hiperinflasi. Orang-orang sudah kehilangan

kepercayaannya terhadap mata uang. Keadaan ini ditandai dengan makin cepatnya perderan uang. Hiperinflasi menyebabkan hancurnya sendi-sendi ekonomi moneter dan sosial politik masyarakat. Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan yang lama.

Teori Keynes

Dimana, inflasi didasarkan pada teori makro dan menyoroti aspek lain selain inflasi. Menurut teori ini inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup diluar batas ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini adalah proses perebutan rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang mengiginkan bagian yang lebih besar daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses ini akhirnya menimbulkan keadaan dimana permintaan masyarakat melebihi jumlah yang tersedia, yang pada akhirnya menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menerjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan efektif.

Bila jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat maka inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan


(37)

masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila jumlah permintaan efektif total melebihi jumlah output yang tersedia pada tingkat harga yang berlaku.

Teori Strukturalis

Yaitu teori dimana inflasi didasarkan pada pengalaman di negara-negara Amerika latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian, yang berubah secara gradual dalam jangka panjang maka teori ini dapat disebut sebagai teori inflasi jangka panjang. Menurut teori strukturalis ada dua ketegaran utama pada negara-negara berkembang yang menimbulkan inflasi, antara lain:

- Ketidakelastisan penerimaan ekspor

Yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara perlahan dibandingkan dengan pertambahan sektor lain. Hal ini disebabkan oleh :

a) Harga pasar dunia barang-barang ekspor semakin tidak menguntungkan dibandingkan dengan haraga impor yang disebut dengan memburuknya term of trade. Harga barang-barang hasil alam yamg merupakan ekspor negara berkembang tumbuh lebih lambat dibanding harga barang-barang industri yang merupakan impor negara sedang berkembang.

b) Produksi barang-barang ekspor tidak responsive terhadap kenaikan harga. Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Akibatnya negara


(38)

tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri untuk barang-barang sebelumnya di impor (impor substitution strategy), meskipun seringkali produksi dalam negeri mempunyai biaya produksi lebih tinggi dari pada barang sejenis yang di impor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini menyebabkan harga yang lebih tinggi. Bila proses substitusi impor ini terus berlangsung juga meluas maka kenaikan biaya produksi juga meluas ke berbagai barang yang tadinya diimpor sehingga makin banyak harga-harga yang naik, sehingga terjadi inflasi.

- Ketidakelastisan Supply atau Produksi Bahan Makanan dalam Negeri.

Pertambahan produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan pendapatan perkapita, sehingga bahan makanan dalam negeri cenderungnaik melebihi harga-harga barang lain. Kenaikan harga barang menyebabkan tuntunan kenaikan upah dan kenaikan upah diikuti oleh kenaikan harga lagi. Proses ini akan terhenti dengan sendirinya jika harga bahan makanan tidak terus naik.

Dalam teori strukturalis ada tiga hal yang perlu dicatat:

1. Teori ini menjelaskan proses inflasi jangka panjang di negara-negara yang sedang berkembang

2. Proses inflasi tersebut hanya berlangsung terus apabila jumlah uang yang beredar bertambah terus. Tanpa kenaikan jumlah uang yang beredar maka proses tersebut akan berhenti dengan sendirinya.


(39)

3. Sering dijumpai bahwa ketegaran structural tersebut disebabkan oleh kebijikan harga/moneter pemerintah sendiri. Sering pula dijumpai bahwa ketidakmampuan produksi barang ekspor untuk tumbuh disebabkan oleh kurs valuta asing yang ditekan terlalu rendah dengan maksud menekan inflasi. Sering pula ketidakelastisan ini disebabkan oleh adanya pungli sehingga harga yang diterima produsen benar-benar rendah, dan kurang cukup menggairahkan industri.

3.1.4 Pengukuran Tingkat Inflasi

1. Indeks Harga Konsumen

Salah satu cara untuk mengukur tingkat inflasi adalah dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK), IHK merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi termasuk di Indonesia yang dilakukan oleh badan pusat Statisk (BPS). IHK dapat digunakan untuk menghitung inflasi bulanan, triwulan, semester, dan tahunan. Untuk menghitung inflasi dapat digunakan rumus :

Keterangan:

I = Tingkat inflasi pada tahun atau periode t

IHKt = Indeks harga konsumen pada tahun atau periode t IHK t-1 = Indek harga konsumen pada tahun atau periode t-1

Perhitungan ini mempunyai kelemahan yaitu sangat peka terhadap fluktuasi barang-barang yang berpengaruh terhadap Indeks Biaya Hidup Konsumen (ISHK), terutama harga barang-barang kebutuhan pokok. Akibat tingkat inflasi relative tinggi mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah dan gaji mereka.


(40)

Kenaikan upah akan mendorong kenaikan biaya prosduksi. Disamping itu tingkat inflsi yang tinggi mendorong perintah untuk memberi subsidi pada masyarakat dan proteksi pada kalangan industri agar dapat hidup dan bersaing terutama industri yang berorientasi ekspor. Keadaan tersebut dalam jangka panjang akan semakin menigkatkan inflasi.

2. Indeks Biaya Hidup (IBH)

Angka indeks tersebut tidak mengikuti perkembangan nilai mata uang sehingga kebijaksanaan pemerintah dan pola konsumsi sudah berubah (banyak barang yang tercakup dalam IBH sudah tidak dijual lagi), dan hanya mencakup pengeluaran buruh kelas bawah dan jumlah sampel relaitf kecil, sehingga faktor penimbangnya menjadi tidak realistis. Pengangguran indikator inflasi di Indonesia berganti dengan IHK karena kelemahan-kelemahan IBH tersebut.

3. GDP Deflator (PDB deflator)

GDP deflator adalah rasio antara GDP nominal (PDB nominal) dengan GDP real (PDBriil) dari tahun tersebut, GDP Deflator yang mempunyai cakupan lebih luas disbanding kedua indeks terdahulu, sebenarnya mencerminkan perkembangan tingkat harga umum (general price index).

4. Indeks Harga Perdagangan Besar

IHPB (Indeks harga perdagangan bebas) mengukur inflasi berdasarkan harga-harga barang pada tingkat produsen, metode perhitungannya sama dengan IHK hanya berbeda jumlah dan jenis barang dalam keranjang. Barang yang termasuk kategori barang ini merupakan barang mentah dan barang setegah jadi. (Badan Pusat Statistik, 2010)


(41)

3.1.5 Hubungan Pengangguran dan Inflasi

Kurva Philiips pertama kali dikemukakan oleh A.W. Philips, pada tahun 1958. Philips menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan perubahan tingkat upah. Philips menggunakan perubahan tingkat upah karena upah akan mempengaruhi harga barang dan jasa dan pada akhirnya juga mempengaruhi inflasi. Pada perkembangannya, kurva Philips yang digunakan oleh para ekonom saat ini berbeda dalam penjelasan mengenai hubungan yang terdapat dalam kurva tersebut. Philips menyatakan bahwa perubahan tingkat upah dapat dijelaskan oleh tingkat pengangguran dan perubahan tingkat inflasi.

Kurva Philips % Tingkat Inflasi

0

Tingkat Pengangguran %

Sumber : Samuelson and Nordhaus, 2004 : 395

Gambar 3.3 Kurva Philips

Bentuk kurva Philips memiliki kemiringan menurun, yang menunjukkan hubungan negatif antara perubahan tingkat upah dan tingkat pengangguran, yaitu saat tingkat upah naik, pengangguran rendah, ataupun sebaliknya. Kurva Philips membuktikan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mugnkin terjadi secara bersamaan, yang berarti bahwa jika ingin mencapai kesempatan kerja yang tinggi / tingkat pengangguran rendah, sebagai konsekuensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi. Dengan


(42)

kata lain, kurva ini menunjukkan adanya trade-off (hubungan negative) antara inflasi dan tingkat pengangguran, yaitu tingkat pengangguran akan selalu dapat diturunkan dengan mendorong kenaikan laju inflasi, dan bahwa laju inflasi akan selalu dapat diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan tingkat pengangguran.

4.1 Pendidikan

4.1.1 Definisi Pendidikan

Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Adapun ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di negara maju (compulsory education) adalah sebagai berikut:

a) Ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah b) Diatur dengan undang-undang wajib belajar

c) Tolak ukur keberhasilan program adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah

d) Ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah.

Sedangkan ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di Indonesia (universal primary education) adalah sebagai berikut:


(43)

b) Tidak diatur dengan undang undang tersendiri

c) Keberhasilan diukur dari angka partisipasi dalam pendidikan dasar

d) Tidak ada sanksi hukum bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah. (Suwarso dan Suyoto, 1994)

4.1.2 Kondisi Pendidikan Di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan memeliki peranan vital dalam pembangunan masa depan suatu bangsa. Apabila pendidikan di suatu negara atau wilayah buruk maka pembangunan masa depan negara tersebut juga akan menurun, karena pendidikan menyangkut tentang berbagai aspek penting, seperti karakter sekaligus sebagai jati diri suatu bangsa. Sehingga apabila ingin memajukan suatu bangsa maka harus mempeerhatikan pendidikan dan menjadikannya sebagai prioritas yang paling utama.

Di Indonesia sendiri pendidikan masih berada di tingkat kesekian. Ini menjadi suatu kendala pembangunana masa depan suatu bangsa. Karena negara yang minim pendidikan dekat kemiskinan. Hal ini, dapat dilihat dari :

• Pertama, kepedulian pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis yaitu Politik. Bahkan, pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju kekuasaan agar bisa menarik simpati di mata rakyat. Jika melihat negara lain, ada kecemasan yang sangat mencolok dengan kondisi sumber daya manusia (SDM) ini. Misalnya, Amerika serikat. Menteri Perkotaan di era Bill Clinton, Henry Cisneros, pernah mengemukakan bahwa dia khawatir tentang masa depan Amerika Serikat dengan banyaknya penduduk


(44)

keturunan Hispanik dan kulit hitam yang buta huruf dan tidak produktif. Dimana, suatu bangsa tidak mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf internasional jika seperempat dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan pendidikan menengah. Kecemasan yang sederhana, namun penuh makna, karena masyarakat Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika Serikat. Dan di Indonesia, dapat dilihat adanya pengabaian sistematis terhadap kondisi pendidikan, bahkan ada kecenderungan untuk menganaktirikannya, dan harus kalah dari dimensi yang lain.

• Kedua, penjajahan terselubung. Di era globalisasi dan kapitalisme ini, ada sebuah penjajahan terselubung yang dilakukan negara-negara maju dari segi kapital dan politik yang telah mengadopsi berbagai dimensi kehidupan di negara-negara berkembang. Umumnya, penjajahan ini tentu tidak terlepas dari unsur ekonomi. Dengan hutang negara yang semakin meningkat, badan atau organisasi donor pun mengintervensi secara langsung maupun tidak terhadap kebijakan ekonomi suatu bangsa. Akibatnya, terjadilah privatisasi di segala bidang. Bahkan, pendidikan pun tidak luput dari usaha privatisasi ini. Dari sini pendidikan semakin mahal yang tentu tidak bisa di jangkau oleh rakyat. Akhirnya, rakyat tidak bisa lagi mengenyam pendidikan tinggi dan itu berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Sehingga, tidak heran jika tenaga kerja di Indonesia banyak yang berada di sektor informal akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan ini salah satunya karena biaya pendidikan yang memang mahal. Apa lagi ditengah iklim investasi global yang


(45)

menuntut pemerintah memberikan kerangka hukum yang dapat melindungi Investor dan juga buruh murah. Buruh murah ini merupakan hasil dari adanya privatisasi ( otonomi kampus ),yang membuat pendidikan tidak lagi bisa dijangkau rakyat. Akhirnya, terbentuklah link up

sistem pendidikan, dimana pendidikan hanya mampu menyediakan tenaga kuli dengan kemampuan minim.

• Ketiga, adalah kondisi masyarakat sendiri yang memang tidak bisa mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang ada. Tentu hal ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi sehingga harapan rakyat akan kehidupannya menjadi rendah. Bisa dikatakan, telah terjadi deprivasi relatif dalam diri masyarakat. Hal ini akan berdampak pada kekurangannya respek terhadap dunia pendidikan, karena mereka lebih mementingkan urusan perut daripada sekolah. Akibatnya, kebodohan akan menghantui, dan kemiskinan pun akan mengiringi. Sehingga, kemiskinan menjadi sebuah reproduksi sosial, dimana dari kemiskinan akan melahirkan generasi yang tidak terdidik akibat kurangnya pendidikan, dan kemudian menjadi bodoh serta kemiskinan pun kembali menjerat. (Tulus Tambunan, 1997)

5.1 Kerangka Konseptual

Ada banyak variable yang mempengaruhi Pengangguran di Sumatera Utara, namun dalam penelitian ini, variabel yang digunakan antara lain: inflasi dan pendidikan. Sedangkan variabel lainnya dianggap konstan.


(46)

Dalam bagan di atas dijelaskan, bahwa varibel Pengangguran (Y), dipengaruhi oleh variabel bebas, antara lain : Inflasi (X1) dan Pendidikan (X2). 7.1 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara yang diambil untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Berdasarkan permasalahan di atas maka sebagai jawaban sementara penulis membuat hipotesis sebagai berikut :

1. Inflasi mempunyai pengaruh negatif terhadap Pengangguran di Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap Pengangguran di Sumatera Utara, ceteris paribus.

Pengangguran (Y)


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

Merupakan suatu langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam mengumpulkan data dan atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Dalam mengumpulkan data yang diperlukan menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini menggunakan dua variabel bebas yang dianggap mempengaruhi tingkat pengangguran di SumateraUtara, yaitu:

- Inflasi yaitu proses kenaikan harga-harga barang secara umum yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat serta jatuhnya nilai riil mata uang.

- Pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Untuk waktu, penelitian ini dimulai sejak tanggal 07 Oktober 2012. Dikarenakan data yang dikumpulkan adalah data sekunder, maka penelitian ini tidak berlokasi namun dilakukan dengan memanfaatkan data-data dari publikasi BPS, buku-buku pendukung dari perpustakaan, artikel terkait dan sejumlah situs


(48)

internet yang menyajikan data yang dibutuhkan, serta sejumlah literature lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah: A. Metode Dokumentasi

Data penelitian ini diperoleh dengan teknik dokumentasi yaitu dengan mencatat data statistik yang berupa persentase dari pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, laju inflasi dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen, serta persentase tingkat pengangguran sebagai variabel dependen. Data tersebut beruppa angka statistik yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).

B. Metode Studi Pustaka (Library Search)

Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data yang relevan dengan penelitian. Dalam hal ini penulis memperoleh data dari buku-buku teori di perpustakaan.

3.4 Pengolahan Data

Dalam penelitian ini penulis melakukan pengolahan data dengan metode ekonometrika dengan menggunakan program computer E-Views 6 sebagai alat bantu dalam proses penelitian.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sedangkan sumber data yang


(49)

digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara pada kurun waktu 1991-2010. 3.6 Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dimulai dengan pembentukan model matematis, yaitu suatu pernyataan hubungan yang berlaku di antara pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, inflasi, dan pendidikan terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.

Dengan menganalisis besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, penelitian ini menggunakan alat analisa ekonometrika, yaitu meregresikan variabel-variabel yang ada dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan dianalisis secara kuantitaif dengan menggunakan analisa statistik, yaitu persamaan regresi linear berganda.

- Model Analisis Regresi Linier Berganda Adapun model persamaannya adalah sebagai berikut :

Y = f (X1,X2) ………(1)

Kemudian dispesifikasi dalam model distributed lag dengan persamaan regresi linear berganda, yaitu sebagai berikut :

Yt = α + β1X1t + β2X2t + µt ... (2) Keterangan :

Yt = Pengangguran (Jiwa) α = Intercept

X1t = Inflasi (%) X2t = Pendidikan (%)


(50)

β1 ,β2 = Koefisien Regresi µt = Error Term

Sehingga secara matematis dapat dibentuk hipotesisnya sebagai berikut: , Artinya apabalila X1 (Inflasi) mengalami kenaikan maka Y (pengangguran) akan mengalami penurunan.

, Artinya apabila X2 (Pendidikan) mengalami kenaikan maka Y (pengangguran) akan mengalami penurunan.

3.7 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian)

Penelitian ini menguji hipotesis-hipotesis dengan menggunakan Metode Analisis Regresi Berganda (Multiple Regretion). Metode Regresi Berganda menghubungkan satu variable dependen dengan beberapa variable independen dalam suatu model prediktif tunggal. Adapun untuk menguji signifikan tidaknya hipotesis tersebut digunakan Uji f, Uji t dan koefisien determinan.

1. Uji Koefisien Determinasi (R-Squared)

Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen member penjelasan terhadap variable dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0 < R2 < 1).


(51)

Nilai R2 dapat dihitung dengan cara (Gujarati, 2003) :

R2 =

Dimana :

R2 = koefisien Determinasi Yi = derivasi nilai dari rata-rata Y Xi = derivasi nilai dari rata-rata X

2. Uji F-Statistik (Uji Keseluruhan)

Uji F-Statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagi berikut;

H0 : β1 = β2 = 0

Ho diterima (F-hitung < F-tabel), artinya variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha : β1≠ β2≠ 0

Ha diterima (F-hitung > F-tabel), artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(52)

Ho diterima

Ha diterima

0

Gambar 3.1 Kurva Uji – F Statistik Nilai F-Hitung dapat diperoleh dengan rumus:

F-hitung =

Dimana :

R2 = koefisien determinasi

k = jumlah variabel independen ditambah intercept dari suatu model persamaan n = jumlah sampel

3. Uji t-statistik

Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : βi = β : H0 diterima (t-hitung < t-tabel) artinya variabel independen secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.


(53)

Ha : βi ≠β : Ha diterima (t-hitung > t-table) variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel independen.

Ha diterima Ha diterima

H0 diterima 0

Gambar 3.2 Kurva Uji t - statistik

Bila t-hitung > t-tabel, maka pada tingkat kepercayaan tertentu H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel independen yang di uji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen.

Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus : t-hitung =

Dimana;

bi = koefisien variabel ke-i b = nilai hipotesis nol

Sbi = simpangan baku dari variabel independen ke-i 4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

a. Multikolineritas

Multikolinieritas adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi, apakah terdapat korelasi variabel independen di antara satu sama lainnya. Untuk mengetahui ada tidaknya Multikolinieritas dapat dilihat dari nilai R-Square, F- hitung, t-hitung, serta standart eror.


(54)

Adanya Multikolinieritas ditandai dengan: a) Standart error tidak terhingga

b) Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 5%, α = 10%, α = 1%.

c) Terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori. d) R2 sangat tinggi.

b. Autokorelasi

Autokorelasi terjadi bila error term (µ) dari waktu yang berbeda berkorelasi. Dikatan bahwa error term berkorelasi atau mengalami korelasi serial apabila variabel (εi.εj) ≠ 0 ; untuk i ≠ j, dalam hal ini dikatakan memiliki masalah autokorelasi. Untuk mengetahui keberadaan autokorelasi dapat digunakan Lagrange Multiplier Test (LM Test).

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi digunakan untuk uji Durbin –Watson dimana hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : tidak ada autokorelasi (r = 0) Ha : ada autokorelasi (r ≠ 0)

Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien atau korelasi sama dengan nol, berarti tidak ada korelasi.

c. Lagrange Multiplier (LM)

Uji ini dikembangkan oleh Breusch-Godfrey, sehingga dikenal juga dengan sebutan The Breusch-Godfrey (BG) Test. LM merupakan teknik regresi yang mengandung atau memasukkan variabel lag.


(55)

Pada uji ini diasumsikan bahwa µt mengikuti model otoregresif ordo p(AR(p)), dengan bentuk sebagai berikut:

µt = ρ1 µt-1 + ρ2 µt-2 + . . . + ρρ µt-ρ +

ε

t ………(4) Adapun hipotesis yang digunakan:

H0: ρ1= ρ2= . . . = ρρ = 0 Ha : tidak demikian

Dengan demikian bila kita tidak mempunyai cukup bukti untuk menolak hipotesis, maka µt =

ε

t, berarti tidak ada serial korelasi.

d. Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah faktor pengganggu (µi) berdistribusi normal atau tidak. Untuk melakukan uji normalitas digunakan Jarcue-Bera Test (JB-Test).

Untuk melihat apakah data telah berdistribusi normal dengan cara JB- Test ini dengan membandingkan Jarcue Bera normality test statistic dengan X2 tabel, jika Jarcue Bera normality test statistic lebih kecil dari X2 maka µi adalah berdistribusi normal. Sebaliknya jika Jarcue Bera Bera normality test statistic lebih besar dari X2 maka µi adalah tidak berdistribusi normal.

Cara lain untuk melihat apakah data berdistribusi normal dengan menggunakan JB-Test adalah dengan melihat angka probability. Apabila angka Probability > 0,05 maka data berdistribusi normal, sebaliknya apabila angka Probability < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal. (Wahyu Ario Pratomo dan Paidi Hidayat, 2007 : 92)


(56)

3.8 Definisi Variabel Operasional

• Pengangguran adalah jumlah tenaga kerja dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum memperolehnya.

• Inflasi adalah suatu gejala di mana tingkat harga umum mengalami kenaikan secara terus-menerus.

• Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.


(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geografis Sumatera Utara

4.1.1 Luas Wilayah

Provinsi Sumatera Utara terletak diantara 10 - 40 Lintang Utara dan 980 - 1000 Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Sumatera Utara mencapai 71.680,68 km2 atau 3,72% dari luas Wilayah Republik Indonesia, dengan posisi geografis antara 10 - 40 LU dan 980 - 1000 BT. Provinsi Sumatera Utara memiliki 162 pulau, yaitu 6 pulau di Pantai Timur dan 156 pulau di Pantai Barat. Batas wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di sebelah Utara, Provinsi Riau dan Sumatera Barat di sebelah Selatan, Samudera Hindia di sebelah Barat, serta Selat Malaka di sebelah Timur.Letak geografis Provinsi Sumatera Utara berada pada jalur strategis pelayaran Internasional Selat Malaka yang dekat dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. (BPS Sumatera Utara, 2010)

4.1.2 Topografi

Wilayah Sumatera Utara terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan dataran

tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur ditengah-tengah dari Utara ke Selatan.


(58)

Kemiringan tanah antara 0 - 12 % seluas 65,51% seluas 8,64 % dan diatas 40% seluas 24,28 %, sedangkan luas Wilayah Danau Toba 112.920 Ha atau1,57%.

Berdasarkan Topografi Daerah Sumatera Utara dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu bagian Timur dengan keadaan relatif datar, bagian tengah bergelombang sampai berbukit dan bagian Barat merupakan dataran bergelombang.Wilayah Pantai Timur yang merupakan dataran rendah seluas 24.921,99 Km2 atau 34,77 persen dari luas wilayah Sumatera Utara adalah Daerah yang subur, kelembaban tinggi dengan curah hujan relatif tinggi pula. Wilayah ini memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga cenderung semakin padat karena arus migrasi dari wilayah Pantai Barat dan dataran tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang kritis.

Wilayah dataran tinggi dan wilayah Pantai Barat seluas 46.758,69 Km2 atau 65,23 persen dari luas wilayah Sumatera Utara, yang sebagian besar merupakan pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau, sungai, air terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik. (BPS Sumtera Utara, 2010)


(59)

4.1.3 Iklim

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Kelembaban udara rata-rata 78% - 91%, Curah hujan (800-4000) mm / Tahun dan penyinaran matahari 43%.

4.1.4 Batas Administrasi

Wilayah Sumatera Utara berada pada jalur perdagangan Internasional, dekat dengan dua Negara Asean, yaitu Malaysia dan Singapura serta diapit oleh 3 (tiga) Provinsi, dengan batas sebagai berikut :

• Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam • Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka.

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat.

• Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia

4.1.5 Demografis

Penduduk Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku, yaitu Melayu, Batak, Nias, Aceh, Minangkabau, Jawa dan telah beragama. Walaupun berbeda Agama dan adat istiadat, kehidupan bersama berlangsung rukun dan damai dengan Pancasila sebagai pedoman hidup.


(60)

4.1.6 Distribusi Penduduk berdasarkan Suku Bangsa dan Agama

Provinsi Sumatera Utara memiliki 7 etnis serta 5 etnis pendatang yang tersebar pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Adapun distribusi penduduk berdasarkan suku bangsa dan agama di daerah Sumatera Utara, berdasarkan Badan Pusat Statistik (2010), adalah sebagai berikut:

• Suku Bangsa

Jumlah dan persentase menurut suku/etnis asli daerah Sumatera Utara sebanyak 7 (tujuh) suku/etnis yaitu meliputi :

- Melayu sebanyak 674.122 orang atau 5,86 % - Karo sebanyak 585.173 orang atau 5,09 %

- Simalungun sebanyak 234.515 orang atau 2,04 % - Tapanuli/Toba sebanyak 2.948.264 orang atau 25,62 % - Mandailing sebanyak 1.296.518 orang atau 11,27 % - Pakpak sebanyak 83.866 orang atau 0,73 %

- Nias sebanyak 731.620 orang atau 6,36 % Sedangkan suku/etnis pendatang meliputi : - Jawa sebanyak 3.843.602 orang atau 33,40 % - Minang sebanyak 306.550 orang atau 2,66 % - Cina sebanyak 311.779 orang atau 2,71 % - Aceh sebanyak 111.686 orang atau 0,97 %

- Lainnya (warga negara asing) sebanyak 379.113 orang atau 3,29 %. • Agama


(61)

Jumlah dan persentase menurut agama di daerah Sumatera Utara yang dianut yaitu meliputi :

- Islam sebanyak 7.530.839 jiwa atau 65,45% - Khatolik sebanyak 550.456 jiwa atau 4,78% - Protestan sebanyak 3.062.965 jiwa atau 26,62% - Hindu sebanyak 21.329 jiwa atau 0,19%

- Budha sebanyak 324.864 jiwa atau 2,82% - Lainnya sebanyak 16.355 jiwa atau 0,14%.

4.1.7 Potensi Unggulan Daerah

Potensi sumber daya alam Sumatera Utara cukup berlimpah, diantaranya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan dan pariwisata. Potensi Pertanian Provinsi Sumatera Utara diantaranya adalah sayuran, jeruk dan buah-buahan yang sebagian besar telah dipasarkan dengan baik dan sudah di ekspor keluar negeri maupun provinsi lain. Luas areal perkebunan adalah 1.634.772 ha atau 22,73% dari luas Sumatera Utara dengan produksi sebesar ± 3.738.516 ton untuk 23 komoditi diantaranya sawit, karet, kopi, kakao, tembakau dan kelapa.

Rata-rata pertambahan luas lahan perkebunan 0,72% pertahun dan pertumbuhan produksi sebesar 2,74% pertahun. Potensi perikanan laut Selat Malaka (Pantai timur) sebesar 276.030 ton pertahun dan sudah dimanfaatkan sekitar 90,75%, sedangkan potensi Samudera Hindia atau Pantai Barat sebesar 1.076.960 ton per Tahun dan baru dimanfaatkan 8,79%. Potensi Pantai Barat ini perlu dikembangkan mengingat tingkat pemanfaatannya masih rendah.


(62)

Sumatera Utara juga merupakan salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) mempunyai 399 objek wisata yang tersebar di seluruh daerah. Dari 120 objek wisata yang dipasarkan meliputi potensi alam, seperti Danau Toba, Wisata Bahari terutama di Nias, Agro Wisata, Seni dan Budaya etnis yang masing-masing mempunyai nilai sendiri-sendiri.

Komoditi Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara, seperti jagung, kentang, kopi, ikan mas, sapi, bawang merah dan sebagainya, juga berpotensi untuk dikembangkan.

Pengembangan Kawasan Agromarinepolitan Wilayah Pesisir, Pulau-pulau kecil dan Pulau terluar, dengan luas laut Sumatera Utara 110.000 km², panjang pantai 1.300 km (Pantai Timur 545 km dan Pantai Barat 375 km serta Pulau Nias 380 km), Jumlah Pulau sebanyak 419 buah (bernama 237 buah dan tidak bernama 182 buah) sangat berpotensi untuk dikembangkan. Hal ini seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia dan dunia sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap kelautan dan perikanan, ditambah dengan menurunnya kemampuan produksi perikanan tangkap dunia.

Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) di kawasan Pantai Barat mencapai 1.076.960 ton/Tahun dengan potensi jenis ikan unggulan di laut pesisir seperti Tuna, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Kembung, Tenggiri, Teri dan Ikan Hias (tingkat pemanfaatan baru sekitar 8,79%).Potensi SDI di Kawasan Pantai Timur mencapai 276.030 ton/Tahun dengan potensi jenis ikan unggulan di laut pesisir seperti, Tuna, Tongkol, Cakalang, Kerapu, Kakap, Kembung, Tenggiri, Baronang, Teri dan Pari (tingkat pemanfaatan baru sekitar 90,75%). Potensi


(63)

Kepariwisataan Bahari, banyak memiliki pantai yang indah seperti, Pantai Lagundri, Sorake, Pulau Pandan dan lainlain yang amat diminati oleh wisata Mancanegara untuk berselancar, diving dan lain - lain.

Potensi Bahan Tambang dan Galian yang cukup besar seperti Energi Panas Bumi, Timah Putih, Pasir Kuarsa, Kaolin dan Bauksit. Disamping itu, letak geografis Sumatera utara merupakan Kawasan Jalur Perdagangan Internasional sebab dekat dengan Selat Malaka (Malaysia) dan Singapura. (BPS Sumatera Utara, 2010)


(64)

4.2 Hasil Penelitian

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan diolah dengan menggunakan program Eviews 6, maka diperoleh data sebagai berikut:

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 04/13/12 Time: 13:07 Sample: 1991 2010

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 60.85921 8.324123 7.311186 0.0000

X1 -0.327170 0.139429 -2.346492 0.0313 X2 -2.129372 0.550843 -3.865659 0.0012 R-squared 0.516605 Mean dependent var 27.57973 Adjusted R-squared 0.459735 S.D. dependent var 13.00907 S.E. of regression 9.562024 Akaike info criterion 7.490957 Sum squared resid 1554.349 Schwarz criterion 7.640317 Log likelihood -71.90957 Hannan-Quinn criter. 7.520114 F-statistic 9.083953 Durbin-Watson stat 0.766250 Prob(F-statistic) 0.002073

Sumber : Hasil Regresi Eviews 6


(65)

Model Regresi Estimation Command:

========================= LS Y C X1 X2

Estimation Equation:

========================= Y = C(1) + C(2)*X1 + C(3)*X2

Substituted Coefficients:

=========================

Y = 60.8592103289 - 0.327169671574*X1 - 2.12937204626*X2

Sumber : Hasil Regresi Eviews 6

Tabel 4.2 Estimation Command 4.2.1 Interprestasi Model

Berdasarkan hasil regresi, maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut : 1. Nilai Koefisien Determinasi (R2) adalah sebesar 0,516605. Artinya

variabel X1 dan X2 dapat menjelaskan variabel Y sebesar 51,66%. Sedangkan 48,34% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya.

2. Koefiesien X1 adalah negatif, artinya ada pengaruh negatif antara X1 dan Y. Semakin tinggi nilai X1, maka akan menurunkan nilai Y. Setiap kenaikan 1% X1 akan menurunkan variabel Y sebesar 0,327170%. Nilai prob (probability) sebesar 0,0313 menunjukkan bahwa variable X1 secara signifikan mempengaruhi variabel Y pada tingkat signifikansi 5%.


(66)

3. Koefisien X2 adalah negatif, artinya ada pengaruh negatif antara X2 dan Y. Semakin tinggi nilai X2, maka akan menurunkan nilai Y. Dimana, setiap kenaikan 1% X2 akan menurunkan Y sebesar 2,129372%. Nilai prob (probability) sebesar 0,0012 menunjukkan bahwa variabel X2 secara signifikan mempengaruhi variabel Y pada tingkat signifikansi 1%.

4.2.2 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness Of Fit) 4.2.2.1 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien Determinasi (R2) dari hasil regresi di atas adalah sebesar 0,516605 atau 51,66 %. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas X1 dan X2 dapat menjelaskan variabel terikat Y sebesar 51,66 %. Sedangkan 48,34% dapat di jelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.

4.2.2.2 Uji F-Statistik

Uji F-Statistik dilakukan untuk mengetahui apakah variabel X1 dan X2 mampu secara bersama-sama mempengaruhi Y.

a. Hipotesis: H0: β1= β2= β3= β4 Ha : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 b. Kriteria pengambilan keputusan : - H0 diterima bila F-hitung < F-tabel - Ha diterima bila F-hitung > F-tabel c. F-hitung = 9,083953 (Hasil Regresi) d. n = 20 k = 2 α = 5%


(67)

df1 = k = 2

df2 = n - k – 1 = 20 – 2 - 1 = 17 maka F-tabel = 2,64464

e. Keputusan :

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa F-hitung > F-tabel ( 9,083953 > 2,64464), artinya Ha diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel X1 dan X2 secara bersama-sama berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Y pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 5%).

2,64 9,08 Gambar 4.1

Kurva Uji F Statistik X1 dan X2 4.2.2.3 Uji t-statistik

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian secara parsial yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak signifikan terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.

1. Variabel X1

a. Hipotesis: H0: βi = β Ha: βi≠ β

b. Kriteria pengambilan Keputusan: H0 diterima

Ha diterima


(68)

 Jika nilai uji t-statistik bernilai positif

- H0 diterima bila t-hitung < t-tabel (α = 5%) - Ha diterima bila t-hitung > t-tabel (α = 5%)

 Jika nilai uji t-statistik bernilai negatif

- H0 diterima bila t-hitung > t-tabel (α = 5%) - Ha diterima bila t-hitung < t-tabel (α = 5%) c. t-hitung = -2,346492 (Hasil Regresi)

d. n = 20 k = 2 (α = 5%) df = n – k – 1 = 20 – 2 – 1

maka t-tabel = 2,110 e. Keputusan :

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa thitung < ttabel ( -2,346492 < 2,110), artinya Ha diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel X1 berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Y pada tingkat kepercayaan 95% (α=5%).

0 2,110 -2,346 Gambar 4.2

Kurva Uji t-statistik Variable X1 Ha

H0 diterima


(69)

2. Variabel X2

a. Hipotesis: H0: βi =β

Ha: βi ≠ β

b. Kriteria pengambilan keputusan :

 Jika nilai uji t-statistik bernilai positif

- H0 diterima bila t-hitung < t-tabel (α = 1%) - Ha diterima bila t-hitung > t-tabel (α = 1%)

 Jika nilai uji t-statistik bernilai negatif

- H0 diterima bila t-hitung > t-tabel (α = 1%) - Ha diterima bila t-hitung < t-tabel (α = 1%) c. t-hitung = -3,865659 (Hasil Regresi)

d. n = 20 k = 2 (α = 1%) df = n – k – 1 = 20 – 2 – 1 = 17 maka t-tabel = 2,898

e. Keputusan:

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa t-hitung < t- table (-3,865 < 2,898), artinya Ha diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel X2 berpengaruh nyata (signifikan) terhadap Y pada tingkat kepercayaan 99% (α = 1%).

Ha

H0 diterima


(70)

0 2,898 -3,865 Gambar 4.3

Kurva Uji t-statistik Variabel X2 4.2.3 Uji Asumsi Klasik

4.2.3.1 Uji Normalitas

Untuk melihat apakah data telah berdistribusi normal dengan menggunakan JB-test ini adalah dengan melihat angka Probability. Apabila angka probability > 0,05 maka data berdistribusi normal, sebaliknya apabila angka probability < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

Sumber: Hasil Regresi Eviews 6

Gambar 4.6 Hasil Uji Normalitas

Dari tampilan di atas ditemukan bahwa angka probability adalah 0,514996. Dengan demikian data telah berdistribusi normal karena angka probability 0,514996 > 0,05.

0 1 2 3 4 5 6 7

-15 -10 -5 0 5 10 15 20

Series: Residuals Sample 1991 2010 Observations 20

Mean 2.22e-15

Median -2.548542

Maximum 18.00623

Minimum -14.61057

Std. Dev. 9.044769

Skewness 0.505431

Kurtosis 2.244492

Jarque-Bera 1.327193


(71)

4.2.3.2 Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan keadaan dimana terdapat hubungan linear atau terdapat korelasi antar variabel independen. Dalam penelitian ini untuk menguji ada tidaknya multikolinearitas dilihat dari perbandingan antara nilai R2 regresi parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama. Apabila nilai R2 regresi parsial (auxiliary regression) lebih besar dibandingkan nilai R2 regresi utama, maka dapat disimpulkan bahwa dalam persamaan tersebut terjadi multikolinearitas. Tabel 4.7 menunjukkan perbandingan antara nilai R2 regresi parsial (auxiliary regression) dengan nilai R2 regresi utama.

Tabel 4.7

R2 Auxiliary Regression Pengaruh Inflasi (X1) dan Pendidikan (X2) Terhadap Pengangguran (Y) Tahun 1991 – 2010

No. Persamaan R2* R2

1. X1 0,021776 0,516605

2. X2 0,021776 0,516605

Sumber: Hasil Regresi Eviews 6

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa model persamaan pengaruh Inflasi (X1) dan Pendidikan (X2) terhadap Pengangguran (Y) di Sumatera Utara tahun 1991-2010 tidak mengandung multikolinearitas karena tidak ada nilai R2 regresi parsial (auxiliary regression) yang lebih besar dibandingkan nilai R2 regresi utama.

4.2.3.3 Autokorelasi


(1)

Tabel 4.5

Hasil Regresi Uji LM-Test Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.028210 Prob. F(2,13) 0.9722 Obs*R-squared 0.082103 Prob. Chi-Square(2) 0.9598

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 04/13/12 Time: 19:58 Sample: 1992 2010

Included observations: 19

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2.945280 25.50993 -0.115456 0.9098

X1 -0.003912 0.117220 -0.033377 0.9739

X2 0.192509 1.605230 0.119926 0.9064

AR(1) -0.102090 0.576184 -0.177182 0.8621

RESID(-1) 0.146845 0.654712 0.224289 0.8260 RESID(-2) 0.022660 0.438979 0.051619 0.9596 R-squared 0.004321 Mean dependent var 3.86E-09 Adjusted R-squared -0.378632 S.D. dependent var 7.241889 S.E. of regression 8.503076 Akaike info criterion 7.370822 Sum squared resid 939.9299 Schwarz criterion 7.669066 Log likelihood -64.02281 Hannan-Quinn criter. 7.421297 F-statistic 0.011284 Durbin-Watson stat 1.825999 Prob(F-statistic) 0.999949

Sumber: Hasil Regresi Eviews 6

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa nilai Obs*R-squared bernilai 0,082103 dengan nila Prob. Chi-Square(2) adalah 0,9598. Hasil menunjukkan bahwa nilai probabilitasnya yang cukup besar (di atas 0,05), sehingga tidak menolak hipotesa nol, yaitu tidak ada autokorelasi.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengolahan data dari bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat Pengangguran (Y) di Sumatera Utara, dimana dalam penelitian ini variable independent anatra lain Inflasi (X1) dan Pendidikann (X2) adalah berdistribusi normal dan telah diuji dengan menggunakan Uji Normalitas.

b. Berdasarkan hasil regresi, maka dapat diinterpretasikan sebagai berikut : • Nilai Koefisien Determinasi (R2) adalah sebesar 0,516605. Artinya

variabel X1 dan X2 dapat menjelaskan variabel Y sebesar 51,66%. Sedangkan 48,34% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya.

• Koefiesien X1 adalah negatif, artinya ada pengaruh negatif antara X1 dan Y. Semakin tinggi nilai X1, maka akan menurunkan nilai Y. Setiap kenaikan 1% X1 akan menurunkan variabel Y sebesar 0,327170 %. Nilai prob (probability) sebesar 0,0313 menunjukkan bahwa variable X1 secara signifikan mempengaruhi variabel Y pada tingkat signifikansi 5%.

• Koefisien X2 adalah negatif, artinya ada pengaruh negatif antara X2 dan Y. Semakin tinggi nilai X2, maka akan menurunkan nilai Y. Dimana, setiap kenaikan 1% X2 akan menurunkan Y sebesar 2,129372%. Nilai prob (probability) sebesar 0,0012 menunjukkan


(3)

bahwa variabel X2 secara signifikan mempengaruhi variabel Y pada tingkat signifikansi 99%.

c. Hasil yang diperoleh dalam menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat Pengangguran di Sumatera Utara ini berdistribusi normal.

5.2 Saran

1. Diharapkan kepada pemerintah provinsi Sumatera Utara untuk dapat memaksimalkan segala potensi baik itu Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia yang ada di provinsi Sumatera Utara.

2. Pemerintah harus berupaya lebih keras untuk mendorong peningkatan tingkat pendidikan secara merata, guna menekan tingkat pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

3. Untuk menekan laju inflasi, maka pemerintah povinsi Sumatera Utara harus dapat menyediakan barang dan jasa secara memadai untuk kebutuhan masyarakat yang pada dasarnya selalu meningkat dari waktu ke waktu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alghofari, Farid, Analisis Tingkat Pengangguran Di Indonesia. http://eprints.undip.

/26483/2/Jurnal_Skripsi.pdf (22 Feb.2012).

Algifari, 2000, Analisis Regresi (Teori, Kasus, dan Solusi), Edisi II, BPFE, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, 2000, Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000, Buku

I,BPS, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2008. Analisis Perkembangan Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta.

Gujarati, Damodar, 2003. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.

Jalaluddin, 2002, Teologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi, Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Kedua,

PT. Raja Grafika Persada, Jakarta.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007, Pedoman Praktis Penggunaan Eviews Dalam Ekononometrika, USU Press, Medan.

Silalahi, Purnama, 2006. Hubungan antara Perubahan Tingkat Upah dan Tingkat Pengangguran di Indonesia, {SKRIPSI}, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta.

Siregar, Nathalin, 2006. Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat Inflasi dan

Tingkat Pengangguran Indonesia, {SKRIPSI}, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Supranto, J, 2009, Statistik Teori dan Aplikasi, Edisi VII, Erlangga, Jakarta. Sukirno, Sadono, 2004. Makro Ekonomi, Edisi Tiga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Todaro, M.P, 2004, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 1, Edisi Delapan,

Erlangga, Jakarta.

Widarjono, Agus, 2007, Ekonometrika: Teori dan Aplikasi Untuk Ekonomi dan Bisnis, Edisi II, Ekonisia, Yogyakarta.


(5)

Lampiran 1

Perkembangan Tingkat Pengangguran, Inflasi, serta Pendidikan Di Sumatera Utara

Tahun 1991 s/d 2010

Tahun Pengangguran (%) Inflasi % Pendidikan (%)

1991 40,21 9,52 6,28

1992 29,45 4,94 7,13

1993 38,47 9,77 8,41

1994 41,04 9,24 7,56

1995 39,6 8,64 11,64

1996 35 6,47 12,9

1997 41,37 11,05 13,38

1998 5,5 77,63 12,28

1999 24,65 2,01 14,1

2000 39,49 9,35 13,87

2001 45,8 12,55 13,6

2002 39,2 10 15,7

2003 29,43 5,1 16,68

2004 22,43 5,7 18,14

2005 15,67 5,9 18,11

2006 11,47 5,8 19,11

2007 13,26 6,59 17,51

2008 13,23 11,5 16,2

2009 13,2 2,7 17,75

2010 13,15 8 18,11


(6)

Lampiran 2 Hasil Regresi

Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 04/13/12 Time: 13:07 Sample: 1991 2010

Included observations: 20

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 60.85921 8.324123 7.311186 0.0000

X1 -0.327170 0.139429 -2.346492 0.0313

X2 -2.129372 0.550843 -3.865659 0.0012

R-squared 0.516605 Mean dependent var 27.57973 Adjusted R-squared 0.459735 S.D. dependent var 13.00907 S.E. of regression 9.562024 Akaike info criterion 7.490957 Sum squared resid 1554.349 Schwarz criterion 7.640317 Log likelihood -71.90957 Hannan-Quinn criter. 7.520114 F-statistic 9.083953 Durbin-Watson stat 0.766250 Prob(F-statistic) 0.002073