biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas. Semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi”.
10
Dengan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kota padang telah melanggar ketentuan peraturan nasional maupun internasional yang berlaku
seperti telah dijelaskan diatas oleh karena itu maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “ IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN PENYU DI KOTA
PADANG BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL”
B. Rumusan Masalah
10
Selain UU No. 5 Tahun 1990 dan peraturan pelaksanaannya, ternyata penyu juga dilindungi oleh UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok permasalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi perlindungan penyu di kota padang berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku.?
2. Bagaimanakah efektifitas perlindungan penyu di kota padang berdasar hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui implementasi perlindungan penyu di kota padang
berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku 2. Untuk mengetahui efektifitas perlindungan penyu di kota padang berdasar
hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku
D. MANFAAT PENELITIAN
Di dalam melakukan penelitian ini, penulis dapat mengharapkan manfaat baik manfaat teoritis maupun secara praktis, diantaranya adalah :
1. Manfaat Teoritis Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
untuk keperluan dan mengembangkan pengetahuan ilmu hukum khususnya yang mengkaji tentang perlindungan penyu yang semakin hari semakin
berkurang populasinya sehingga menyebabkan kepunahan. 2. Manfaat Praktis
a Bagi penulis dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori-teori yang telah dipelajari dengan melihat fakta dan kasus yang
ada di lapangan mengenai fenomena yang ada pada saat ini tentang perlindungan satwa langka, khususnya penyu.
b Untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ada hukum yang mengatur tentang pelanggaran terhadap perlindungan satwa
langka khususnya penyu. c Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu tambahan referensi yang
telah ada mengenai beberapa pelanggaran pengekploitasian satwa langka.
E. Tinjauan Pustaka
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Lingkungan Internasional
Hukum internasional adalah bagian hukum
yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional . Pada awalnya, Hukum Internasional hanya
diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian
ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa
dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa
atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau
negara .
11
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional public adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
personal yang melintasi batas negara-negara hubungan internasional yang bukan bersifat perdata.
12
Dari pengertian yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahawa hubungan internasional tidak hanyak meliputi antar
negara saja tetapi juga non-negara atau subjek non-negara lainnya sehingga pengrtiannya lebih luas lagi.
11 id.wikipedia.orgwikiHukum_internasional 12
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku 1 Bagian Umum, Jakarta: Binacipta, 1982, cetakan keempat, hlm.1.
Mengenai CITES
CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela,
dan negara-negara yang terikat dengan konvensi dis ebut para pihak parties. Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti
hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan rangka kerja yang harus dijunjung para pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi
CITES di tingkat nasional. Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar di tingkat nasional masih belum ada khususnya para pihak yang
belum meratifikasi CITES, hukuman yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar.
Pada tahun 2002 hanya terdapat 50 para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: 1 keberadaan
otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, 2 hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, 3 sanksi
hukum bagi pelaku perdagangan, dan 4 hukum untuk penyitaan barang bukti. Naskah konvensi disepakati
3 Maret 1973
pada pertemuan para wakil 80 negara di
Washington, D.C. . Negara peserta diberi waktu hingga
31 Desember 1974
untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1
Juli 1975
. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi,
negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak parties. Pada tahun 2003, semua negara penanda tangan CITES telah menjadi para
pihak. Negara yang belum mena ndatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169
negara telah menjadi para pihak dalam CITES. Sekretariat CITES berkantor di
Jenewa ,
Swiss dan menyediakan dokumen-
dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Pendanaan kegiatan sekretariat dan
Konferensi Para Pihak COP berasal dari dana perwalian yang
merupakan sumbangan para pihak. Dana perwalian tidak bisa digunakan para pihak untuk meningkatkan taraf implementasi atau pelaksanaan CITES. Dana
perwalian hanya untuk kegiatan sekretariat, sedangkan para pihak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan CITES harus mencari pendanaan
eksternal dilakukan NGO
dan dana bilateral
.
13
Pengaturan Perdagangan Satwa Langka dalam Kerangka Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
CITES
Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme penggolongan perlindungan
berdasarkan appendiks. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan ke dalam tiga jenis appendiks:
13
https:id.wikipedia.orgwikiCITES
1. Apendiks I CITES Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan
satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila
perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya
diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I,
namun merupakan hasil penangkaran budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara
pengekspor harus melaporkan non detriment finding23 berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.
Setiap Non detriment finding adalah dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi. Perdagangan spesies dalam
Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan
memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.
Tumbuhan dan Satwa Liar yang masuk dalam Appendix I CITES di Indonesia, mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis
satwa dan 23 jenis tumbuhan. Jenis itu misalnya semua jenis penyu Chelonia mydaspenyu hijau, Dermochelys coreaceapenyu belimbing, Lepidochelys
olivaceapenyu lekang, Eretmochelys imbricatapenyu sisik, Carreta carretapenyu tempayan, Natator depressapenyu pipih, jalak bali Leucopsar
rothschildi, komodo Varanus komodoensis, orang utan Pongo pygmaeus, babirusa Babyrousa babyrussa, harimau Panthera tigris, beruang madu
Helarctos malayanus, badak jawa Rhinoceros sondaicus, tuntong Batagur
baska, arwana kalimantan Scleropages formosus dan beberapa jenis yang lain.
Ada beberapa spesies yang masuk dalam Appendix I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu menjadi Appendix II, Appendix III atau
bahkan Non Appendix misalnya buaya muara Crocodylus porosus masuk dalam Appendix I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan Papua New
Guinea termasuk dalam Appendix II. 2. Apendiks II CITES
Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang
didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan
populasi di alam bebas. Spesies di Indonesia yang termasuk dalam Appendix II yaitu mamalia 96 jenis,
Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan dan beberapa jenis yang
masuk dalam CoP 13. Satwa yang masuk dalam Appendix II misalnya trenggiling Manis javanica, serigala Cuon alpinus, merak hijau Pavo
muticus, gelatik Padda oryzifora, beo Gracula religiosa, beberapa jenis kura-kura Coura spp, Clemys insclupta, Callagur borneoensis, Heosemys
depressa, H. grandis, H. leytensis, H. spinosa, Hieremys annandalii, Amyda cartileginea, ular pitas Pytas mucosus, beberapa ular kobra Naja atra, N.
Kaouthia, N. Naja, N. Sputatrix, Ophiophagus Hannah, ular sanca batik Python reticulatus, kerang raksasa Tridacnidae spp, beberapa jenis koral,
beberapa jenis anggrek Orchidae dan banyak lainnya. Dalam daftar kuota
ekspor TSL alam tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, jenis satwa yang masuk dalam Appendix II Cites dan tidak dilindungi undang-undang yang
diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Beberapa jenis, walaupun tidak dilindungi namun tidak ada kuota tangkap dari alam untuk ekspor karena
sedang diusulkan untuk dilindungi maupun karena populasinya sudah semakin menurun. Dari 104 spesies tersebut, yang paling banyak adalah dari jenis
anthozoa koralkarang yaitu 60 spesies. 3. Apendiks III CITES
Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan
memberikan pilihan option bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke
Appendix I. Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke
dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam
punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal SKA atau
Certificate of Origin COO. Di Indonesia saat ini tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.
14
14 Pdf. Bab II CITES Sebagai Instrumen Hukum Internasional Mengenai Perdagangan Spesies Langka untuk Spesies dan Tumbuhan diakses dari
http:www.google.comurl? sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=1cad=rjaved=0C
CgQFjAAurl=http3A2F2Frepository.usu.ac.id2Fbitstream 2F1234567892F30 8072F32FChapter
2520II.pdfei=w3GJUuyfIYe0rAfv0YA4usg=AFQjCNGpbn5r6Tf fAB0gbl9hFkvtq9OPRAsig2=25hNhwGc98lPEdjl3D5PFAbvm=bv.5664333
6,d.bmk
Mengenai IUCN
IUCN berawal dari gagasan dan keinginan pimpinan UNESCO, Sir Julian Huxley di bidang sains ilmu pengetahuan untuk mendirikan suatu institusi
lingkungan. Gagasan tersebut muncul setelah melihat begitu banyaknya laporan-laporan ilmiah mengenai lingkungan hidup yang tidak terorganisir. Jika
tidak terorganisir, laporan ilmiah tersebut akan sulit untuk dibuatkan rekomendasi atas tindakan kongkrit. Pada tanggal 5 Oktober 1948, berlakokasi
di Fontainbleau, Perancis, sebanyak 18 negara, 7 organisasi internasional, dan sebanyak 107 organisasi konservasi nasional menyepakati dibentuknya institusi
dan ditandatanganiconstitutive act untuk mendirikan IUCN. Prinsip yang melandasi IUCN dalah melakukan reorganisasi secara global terhadap kawasan-
kawasan yang menjadi habitat alami dari flora maupun fauna liar. Mereka memfokuskan pada jenis flora dan fauna yang diidentifiasikan memiliki
kerentanan atau ancaman atas kelangsungan hidup. Hingga tahun 2008 lalu, telah terdapat sebanyak lebih dari 6.600 pimpoinan yang berasal dari negara,
organisasi non pemerintahan, asosiasi bisnis, dan keagenan di United Nation yang telah menandatangani kesepakatan konservasi di bawah naungan IUCN di
Barcelona, Spanyol.
A. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian