HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL

(1)

Judul: “IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN PENYU DI KOTA PADANG BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL” A. Latar belakang

Berkembangnya kesadaran akan pentingnya keberlangsungan lingkungan hidup yang baik dan memadai untuk kehidupan yang layak bagi manusia, satwa bahkan tumbuhan. masyarakat internasional harus peduli dengan lingkungan disekitarnya, mulai dari kebersihan tempat tinggal, tata ruang tempat tinggal, tata ruang perkantoran sampai perlindungan habitat satwa tertentu yang sangat dijaga ketat demi melindungi habitat asli, satwa, dan tumbuhan tersebut. Regulasi-regulasi telah diciptakan oleh negara-negara yang merasa memiliki kepentingan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.

Kepedulian terhadap lingkungan secara internasional oleh masyarakat telah muncul sejak tahun 1900, dimana Hukum lingkungan internasional mulai berkembang sejak tahun 1972, yaitu adanya deklarasi Stockholm yang menjadi pilar hukum lingkungan internasional dan pada saat itu hukum lingkungan dari bersifat use-oriented menjadi environment oriented. Hukum lingkungan yang yang bersifat use-oriented adalah produk hukum yang membebaskan hak pada masyarakat internasional untuk mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk melindungi dan melestarikannya.


(2)

Sedangkan environment orientation adalah produk hukum yang tidak hanyak memberikan hak kepada manusia untuk memakai lingkungan tetapi juga membebani manusia untuk menjaga, melindungi dan melesarikannya.1

Sehingga kini masyarakat internasional harus dapat menjaga, melindungi dan melestarikan lingkungannya untuk kehidupan yang layak dimasa akan datang. Lingkungan hidup bukan hanya untuk generasi sekarang saja tetapi untuk generasi yang akan datang, supaya kehidupan di bumi tetap berjalan tanpa adanya kekurangan sumber daya alam yang menjadi sumber utama untuk kehidupan itu sendiri baik itu untuk manusia, binatang dan tumbuhan.

Setiap penggunaan sumber daya alam yang dikelola haruslah memerhatikan dan menggunakan konsep environment oriented, walaupun digunakan dan akan habis nantinya tetapi kita masih dapat menyimpan cadangannya ataupun mengadakannya kembali dengan pengembangbiakkannya untuk genrasi akan mendatang sehingga kehidupan yang akan datang masih terjaga keberlangsungannya. Dalam mengekspolitasi setiap sumberdaya alam memang akan mengakibatkan kerusakan bagi habitat dan satwa tersebut tetapi hal tersebut harus dapat diminimalisirkan.

Tetapi, walaupun pentingnya lingkungan hidup bagi masyarakat internasional masih tetap saja banyak oknum merusak lingkungan hidup tanpa memikirkan kelangsungan kehidupan yang ada di habitat tersebut. Sehingga 1 Sukanda, Husin, Hukum Lingkungan Internasional (2009) hlm. 3


(3)

hewan ataupun tumbuhan yang berada di habitatnya terganggu bahkan mati karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab.

Seperti pengekspoitasian terhadap penyu di Indonesia, penyu di Indonesia digunakan untuk bahan obat, kosmetik dan cangkangnya digunakan untuk pajangan aksesoris selain itu laut yang kotor, pembangunan di pesisir yang mengakibatkan kepunahan untuk penyu. Penyu adalah kura-kura laut yang ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145 - 208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Pada masa itu Archelon, yang berukuran panjang badan enam meter, dan Cimochelys telah berenang di laut purba seperti penyu masa kini.

Penyu memiliki sepasang tungkai depan yang berupa kaki pendayung yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur hidupnya berkelana di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata, kelas reptilia itu tetap harus sesekali naik ke permukaan air untuk mengambil napas. Itu karena penyu bernapas dengan paru-paru. Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000kilometer dapat ditempuh 58 - 73 hari. 2

Di Indonesia sendiri penyu dapat ditemukan di sekitar perairan Sumatra, bali, jawa, Kalimantan, Sulawesi dan sebagian perairan Indonesia bagian timur.


(4)

Indonesia adalah rumah bagi enam dari tujuh spesies penyu di dunia, karena memberikan tempat yang penting untuk bersarang dan mencari makan, disamping merupakan rute perpindahan yang penting di persimpangan Samudera Pasifik dan Hindia. Namun, populasi enam spesies penyu laut tercantum sebagai yang rentan, terancam, atau sangat terancam menurut IUCN Red List of Threatened Species [Daftar Merah Spesies Yang Terancam Menurut IUCN].3 Ancaman utama yang dihadapi oleh penyu laut mencakup

hancurnya habitat dan tempat bersarang, penangkapan, perdagangan ilegal dan eksploitasi yang membahayakan lingkungan. Indonesia telah menandatangani Biodiversity Convention dengan meratifikasinya melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman hayati.

Indonesia termasuk negara yang telah menandatangani CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/ Konvensi Internasional yang Mengatur Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah). Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 43 Tahun 1978 tentang CITES. Menurut CITES, seluruh penyu termasuk Appendiks I CITES, yang berarti, satwa tersebut dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan karena kondisinya terancam punah.


(5)

Secara regional, pada tanggal 12 September 1997 bertempat di Thailand, Pemerintah Indonesia bersama-sama negara ASEAN lainnya telah menandatangani kesepakatan bersama mengenai Konservasi dan Perlindungan Penyu. Serta tahun 2001 menandatangani nota kesepahaman di bawah Konvensi Konservasi Species Migratori Satwa Liar, perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Nota Kesepahaman Penyu Laut Kawasan Samudra Hindia dan Asia Tenggara 4

Adanya regulasi-regulasi yang telah diciptakan oleh negara-negara yang sadar kepentingan akan satwa-satwa terlindungi khususnya penyu masyarakat internasional seharusnya sadar akan pentingnya kehidupan penyu dengan cara menjaga dan melestarikan habitat penyu.

Akan tetapi hal tersebut sangat bertentangan dengan kasus yang ada di sepanjang pantai wisata Padang. Disana mulai dari sore hingga malam banyak yang menjajakan jualan telur penyu dengan berbagai macam kisaran harga perbutirnya. Biasanya telur penyu diperdagangkan untuk obat

“Tidak kurang 22.000 butir telur penyu bisa diperjual belikan hanya dalam waktu 11 pekan. Seperti warung-warung di


(6)

kawasan wisata Pantai Padang, menjadi lokasi perdagangan yang aman dari jamahan hukum.

Sekalipun penyu termasuk hewan terancam yang dilindungi berdasarkan Convention and International Trade In Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) appendix I , perdagangannya terus dilakukan terang-terangan, bahkan masuk dalam salah satu program unggulan pariwisata”5

Padahal dalam pengaturan dalam negeri penyu telah diundangkan dengan undang-undang. Penyu di Indonesia dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya j.o Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yakni “Bahwa penyu berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh negara”.6 Peluang

pemanfaatannya melalui penangkaran yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.7

Khusus untuk Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) bila mengalami populasi berlebihan, (itupun bila terdapat diluar 5 http://sains.kompas.com/read/2011/05/19/08543865/Telur.Terlarang.di.Kota.Padang

6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya j.o Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

7 Peluang pemanfaatannya melalui penangkaran yang diatur dalam PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.


(7)

kawasan konservasi), telurnya dapat dimanfaatkan sesuai SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 751/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Berburu Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).8 Mengenai

perburuan telur penyu tersebut diatur pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.9

. Dalam pasal 7 ayat 5 yang berbunyi, “Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.” Dalam penjelasan pasal 7 ayat 5, berbunyi, “Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah : a. pisces (ikan bersirip); b. crustacea (udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya); c. mollusca (kerang hita, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya); d. coelentrerata (ubur-ubur dan sebangsanya); echinodermata (tripang, bulu babi dan sebangsanya); f. amphibia (kodok dan sebangsanya); g. reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya); h. mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya); i. Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air) dan j.

8 SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 751/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Berburu Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)


(8)

biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas. Semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi”.10

Dengan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kota padang telah melanggar ketentuan peraturan nasional maupun internasional yang berlaku seperti telah dijelaskan diatas oleh karena itu maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “ IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN PENYU DI KOTA PADANG BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL”

B. Rumusan Masalah

10 Selain UU No. 5 Tahun 1990 dan peraturan pelaksanaannya, ternyata penyu juga dilindungi oleh UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.


(9)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan pokok permasalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah implementasi perlindungan penyu di kota padang berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku.?

2. Bagaimanakah efektifitas perlindungan penyu di kota padang berdasar hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi perlindungan penyu di kota padang berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku

2. Untuk mengetahui efektifitas perlindungan penyu di kota padang berdasar hukum nasional dan hukum internasional yang berlaku

D. MANFAAT PENELITIAN

Di dalam melakukan penelitian ini, penulis dapat mengharapkan manfaat baik manfaat teoritis maupun secara praktis, diantaranya adalah :


(10)

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk keperluan dan mengembangkan pengetahuan ilmu hukum khususnya yang mengkaji tentang perlindungan penyu yang semakin hari semakin berkurang populasinya sehingga menyebabkan kepunahan.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi penulis dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam teori-teori yang telah dipelajari dengan melihat fakta dan kasus yang ada di lapangan mengenai fenomena yang ada pada saat ini tentang perlindungan satwa langka, khususnya penyu.

b) Untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ada hukum yang mengatur tentang pelanggaran terhadap perlindungan satwa langka khususnya penyu.

c) Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu tambahan referensi yang telah ada mengenai beberapa pelanggaran pengekploitasian satwa langka.

E. Tinjauan Pustaka


(11)

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. 11

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional (public) adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau personal yang melintasi batas negara-negara ( hubungan internasional ) yang bukan bersifat perdata.12 Dari pengertian yang diberikan oleh Mochtar

Kusumaatmadja bahawa hubungan internasional tidak hanyak meliputi antar negara saja tetapi juga non-negara atau subjek non-negara lainnya sehingga pengrtiannya lebih luas lagi.

11 id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional

12 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku 1 Bagian Umum, (Jakarta: Binacipta, 1982), cetakan keempat, hlm.1.


(12)

Mengenai CITES

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela, dan negara-negara yang terikat dengan konvensi dis ebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan rangka kerja yang harus dijunjung para pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional. Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar di tingkat nasional masih belum ada (khususnya para pihak yang belum meratifikasi CITES), hukuman yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti. Naskah konvensi disepakati 3 Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C.. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi,


(13)

negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak (parties). Pada tahun 2003, semua negara penanda tangan CITES telah menjadi para pihak. Negara yang belum mena ndatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169 negara telah menjadi para pihak dalam CITES.

Sekretariat CITES berkantor di Jenewa, Swiss dan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Pendanaan kegiatan sekretariat dan Konferensi Para Pihak (COP) berasal dari dana perwalian yang merupakan sumbangan para pihak. Dana perwalian tidak bisa digunakan para pihak untuk meningkatkan taraf implementasi atau pelaksanaan CITES. Dana perwalian hanya untuk kegiatan sekretariat, sedangkan para pihak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan CITES harus mencari pendanaan eksternal (dilakukan NGO dan dana bilateral).13

Pengaturan Perdagangan Satwa Langka dalam Kerangka Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme penggolongan perlindungan berdasarkan appendiks. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan ke dalam tiga jenis appendiks:


(14)

1. Apendiks I CITES

Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non detriment finding23 berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap Non detriment finding adalah dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi. Perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.

Tumbuhan dan Satwa Liar yang masuk dalam Appendix I CITES di Indonesia, mamalia 37 jenis, Aves 15 jenis, Reptil 9 jenis, Pisces 2 jenis, total 63 jenis satwa dan 23 jenis tumbuhan. Jenis itu misalnya semua jenis penyu (Chelonia mydas/penyu hijau, Dermochelys coreacea/penyu belimbing, Lepidochelys olivacea/penyu lekang, Eretmochelys imbricata/penyu sisik, Carreta carreta/penyu tempayan, Natator depressa/penyu pipih), jalak bali (Leucopsar rothschildi), komodo (Varanus komodoensis), orang utan (Pongo pygmaeus), babirusa (Babyrousa babyrussa), harimau (Panthera tigris), beruang madu (Helarctos malayanus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), tuntong (Batagur


(15)

baska), arwana kalimantan (Scleropages formosus) dan beberapa jenis yang lain.

Ada beberapa spesies yang masuk dalam Appendix I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu menjadi Appendix II, Appendix III atau bahkan Non Appendix misalnya buaya muara (Crocodylus porosus) masuk dalam Appendix I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan Papua New Guinea termasuk dalam Appendix II.

2. Apendiks II CITES

Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.

Spesies di Indonesia yang termasuk dalam Appendix II yaitu mamalia 96 jenis, Aves 239 jenis, Reptil 27 jenis, Insekta 26 jenis, Bivalvia 7 jenis, Anthozoa 152 jenis, total 546 jenis satwa dan 1002 jenis tumbuhan (dan beberapa jenis yang masuk dalam CoP 13). Satwa yang masuk dalam Appendix II misalnya trenggiling (Manis javanica), serigala (Cuon alpinus), merak hijau (Pavo muticus), gelatik (Padda oryzifora), beo (Gracula religiosa), beberapa jenis kura-kura (Coura spp, Clemys insclupta, Callagur borneoensis, Heosemys depressa, H. grandis, H. leytensis, H. spinosa, Hieremys annandalii, Amyda cartileginea), ular pitas (Pytas mucosus), beberapa ular kobra (Naja atra, N. Kaouthia, N. Naja, N. Sputatrix, Ophiophagus Hannah), ular sanca batik (Python reticulatus), kerang raksasa (Tridacnidae spp), beberapa jenis koral, beberapa jenis anggrek (Orchidae) dan banyak lainnya. Dalam daftar kuota


(16)

ekspor TSL alam tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, jenis satwa yang masuk dalam Appendix II Cites dan tidak dilindungi undang-undang yang diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Beberapa jenis, walaupun tidak dilindungi namun tidak ada kuota tangkap dari alam untuk ekspor karena sedang diusulkan untuk dilindungi maupun karena populasinya sudah semakin menurun. Dari 104 spesies tersebut, yang paling banyak adalah dari jenis anthozoa (koral/karang) yaitu 60 spesies.

3. Apendiks III CITES

Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Di Indonesia saat ini tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.14

14 Pdf. Bab II CITES Sebagai Instrumen Hukum Internasional Mengenai Perdagangan Spesies Langka untuk Spesies dan Tumbuhan diakses dari http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0C CgQFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream %2F123456789%2F30 807%2F3%2FChapter %2520II.pdf&ei=w3GJUuyfIYe0rAfv0YA4&usg=AFQjCNGpbn5r6Tf fAB0gbl9hFkvtq9OPRA&sig2=25hNhwGc98lPEdjl3D5PFA&bvm=bv.5664333 6,d.bmk


(17)

Mengenai IUCN

IUCN berawal dari gagasan dan keinginan pimpinan UNESCO, (Sir) Julian Huxley di bidang sains (ilmu pengetahuan) untuk mendirikan suatu institusi lingkungan. Gagasan tersebut muncul setelah melihat begitu banyaknya laporan-laporan ilmiah mengenai lingkungan hidup yang tidak terorganisir. Jika tidak terorganisir, laporan ilmiah tersebut akan sulit untuk dibuatkan rekomendasi atas tindakan kongkrit. Pada tanggal 5 Oktober 1948, berlakokasi di Fontainbleau, Perancis, sebanyak 18 negara, 7 organisasi internasional, dan sebanyak 107 organisasi konservasi nasional menyepakati dibentuknya institusi dan ditandatanganiconstitutive act untuk mendirikan IUCN. Prinsip yang melandasi IUCN dalah melakukan reorganisasi secara global terhadap kawasan-kawasan yang menjadi habitat alami dari flora maupun fauna liar. Mereka memfokuskan pada jenis flora dan fauna yang diidentifiasikan memiliki kerentanan atau ancaman atas kelangsungan hidup. Hingga tahun 2008 lalu, telah terdapat sebanyak lebih dari 6.600 pimpoinan yang berasal dari negara, organisasi non pemerintahan, asosiasi bisnis, dan keagenan di United Nation yang telah menandatangani kesepakatan konservasi di bawah naungan IUCN di Barcelona, Spanyol.


(18)

A. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka15 atau penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang berupa : konvensi Internasional ataupun perundang-undangan nasional Indonesia.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:

15 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.


(19)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang termasuk dalam sumber-sumber hukum internasional, misalnya yang terdapt di dalam, seperti:

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: Rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup:

 Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Contohnya: Kamus, Ensiklopedia, dan seterusnya.

 Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang: Sosiologi, Filsafat, Ekologi, Teknik, dan lain sebagainya, yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika dalam penulisan penelitian yang akan penulis buat ini disusun atas 4 (empat) bab, dengan rincian sebagai berikut:


(20)

Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan dan dijelaskan kerangka-kerangka teoritis serta tinjauan umum mengenai (tinjauan pustaka gue)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan mengenai pengaturan hukum internasional dan hukum nasional perlindungan satwa langka khususnya penyu dan implementasinya di Indonesia.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan terhadap semua permasalahan yang telah dibahas dan saran yang perlu untuk perbaikan mengenai permasalahan yang diteliti.


(21)

Daftar Pustaka

Husin, Sukanda, 2009, Hukum Lingkungan Internasional, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Riau

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta.


(1)

ekspor TSL alam tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, jenis satwa yang masuk dalam Appendix II Cites dan tidak dilindungi undang-undang yang diperbolehkan untuk diekspor sebanyak 104 spesies. Beberapa jenis, walaupun tidak dilindungi namun tidak ada kuota tangkap dari alam untuk ekspor karena sedang diusulkan untuk dilindungi maupun karena populasinya sudah semakin menurun. Dari 104 spesies tersebut, yang paling banyak adalah dari jenis anthozoa (koral/karang) yaitu 60 spesies.

3. Apendiks III CITES

Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Di Indonesia saat ini tidak ada spesies yang masuk dalam Appendix III.14

14 Pdf. Bab II CITES Sebagai Instrumen Hukum Internasional Mengenai Perdagangan Spesies Langka untuk Spesies dan Tumbuhan diakses dari http://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0C CgQFjAA&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream %2F123456789%2F30 807%2F3%2FChapter %2520II.pdf&ei=w3GJUuyfIYe0rAfv0YA4&usg=AFQjCNGpbn5r6Tf fAB0gbl9hFkvtq9OPRA&sig2=25hNhwGc98lPEdjl3D5PFA&bvm=bv.5664333 6,d.bmk


(2)

Mengenai IUCN

IUCN berawal dari gagasan dan keinginan pimpinan UNESCO, (Sir) Julian Huxley di bidang sains (ilmu pengetahuan) untuk mendirikan suatu institusi lingkungan. Gagasan tersebut muncul setelah melihat begitu banyaknya laporan-laporan ilmiah mengenai lingkungan hidup yang tidak terorganisir. Jika tidak terorganisir, laporan ilmiah tersebut akan sulit untuk dibuatkan rekomendasi atas tindakan kongkrit. Pada tanggal 5 Oktober 1948, berlakokasi di Fontainbleau, Perancis, sebanyak 18 negara, 7 organisasi internasional, dan sebanyak 107 organisasi konservasi nasional menyepakati dibentuknya institusi dan ditandatanganiconstitutive act untuk mendirikan IUCN. Prinsip yang melandasi IUCN dalah melakukan reorganisasi secara global terhadap kawasan-kawasan yang menjadi habitat alami dari flora maupun fauna liar. Mereka memfokuskan pada jenis flora dan fauna yang diidentifiasikan memiliki kerentanan atau ancaman atas kelangsungan hidup. Hingga tahun 2008 lalu, telah terdapat sebanyak lebih dari 6.600 pimpoinan yang berasal dari negara, organisasi non pemerintahan, asosiasi bisnis, dan keagenan di United Nation yang telah menandatangani kesepakatan konservasi di bawah naungan IUCN di Barcelona, Spanyol.


(3)

A. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka15 atau penelitian yang mengacu

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang berupa : konvensi Internasional ataupun perundang-undangan nasional Indonesia.

2. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:

15 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011.


(4)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang termasuk dalam sumber-sumber hukum internasional, misalnya yang terdapt di dalam, seperti:

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: Rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup:

 Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Contohnya: Kamus, Ensiklopedia, dan seterusnya.

 Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang: Sosiologi, Filsafat, Ekologi, Teknik, dan lain sebagainya, yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

SISTEMATIKA PENELITIAN

Sistematika dalam penulisan penelitian yang akan penulis buat ini disusun atas 4 (empat) bab, dengan rincian sebagai berikut:


(5)

Pada bab ini diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan dan dijelaskan kerangka-kerangka teoritis serta tinjauan umum mengenai (tinjauan pustaka gue)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan mengenai pengaturan hukum internasional dan hukum nasional perlindungan satwa langka khususnya penyu dan implementasinya di Indonesia.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan terhadap semua permasalahan yang telah dibahas dan saran yang perlu untuk perbaikan mengenai permasalahan yang diteliti.


(6)

Daftar Pustaka

Husin, Sukanda, 2009, Hukum Lingkungan Internasional, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Riau, Riau

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta.