3.75 13.1 18 19.4 13.9 15.4 Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan

menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin dan sitokinin eksogen mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian menjadi faktor pemicu untuk proses-proses morfogenesis. Pembuktian hal ini terjadi pada percobaan ini yang menunjukkan bahwa media MS tanpa IAA menghasilkan jumlah akar terbanyak Gambar 13. 0 0.5 1 IAA ppm Gambar 13. Jumlah akar pada berbagai konsentrasi IAA umur kultur kultur 5 MST. 4.07 Jumlah Akar Jumlah Plantlet

3.5 3.75

0.5 0.75

0.81 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0.5 1 Konsentrasi IAA ppm Gambar 14. Pengaruh konsentrasi IAA terhadap jumlah akar dan jumlah plantlet daun dewa in vitro Hasil penelitian Al Juboory et al. 1998 pada tanaman Gardenia Gardenia jasminoides Ellis menunjukan bahwa pemberian BAP hanya memacu pertumbuhan tunas, sedangkan pemberian IAA dapat menginduksi perakaran. Pemberian IAA hingga 10 µM meningkatkan jumlah akar dan persentase kultur berakar mencapai 100 tetapi panjang akar mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi IAA. Tanpa pemberian IAA tanaman tidak dapat membentuk akar. Diameter Kalus dan Jumlah Plantlet Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAP berpengaruh nyata terhadap peningkatan diameter kalus dan penurunan jumlah plantlet. Pemberian IAA dan interaksi antara BAP dan IAA tidak nyata pengaruhnya pada peningkatan diameter kalus dan jumlah plantlet. Pada media tanpa BAP tetapi ditambahkan IAA 0-1 ppm tidak terbentuk kalus, sedangkan media yang mengandung konsentrasi BAP 0-3 ppm dan IAA 0-1 ppm rata-rata menghasilkan kultur berkalus hingga mencapai 100 pada 5 MST. Diameter kalus tertinggi dihasilkan pada konsentrasi BAP 2 ppm yaitu 1.5 cm dan tidak berbeda nyata dengan kalus yang dihasilkan pada konsentrasi BAP 3 ppm yang mencapai 1.5 cm Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh BAP terhadap diameter kalus cm dan jumlah plantlet pada akhir percobaan BAP ppm Diameter Kalus Jumlah Plantlet 0.00.7c 2.2 a 1 0.91.2b 0.6 b 2 1.51.4a 0.0 b 3 1.51.4a 0.0 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 .Angka dalam tanda kurung merupakan hasil transformasi √ x+0.5

0.91 1.48

1.45 2.2

0.6 15.09

0.92 2

4 6 8 10 12 14 16 1 2 3 Konsentrasi BAP ppm Diam eter Kalus cm Jum lah Plantlet Jum lah Akar Gambar 15. Diameter kalus, jumlah akar dan jumlah plantlet pada konsentrasi BAP 0- 3 ppm akhir percobaan. Pada percobaan ini dihasilkan diameter kalus yang semakin meningkat, sedangkan jumlah plantlet menurun dengan penambahan BAP Gambar 15. Peningkatan pembentukan kalus pada percobaan ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi BAP. BAP sebagai salah satu jenis sitokinin berperan dalam proses sitokinase atau pembelahan sel dan morfogenesis tanaman melalui pengaktifan aktivitas enzim α-amilase menghasilkan energi dalam proses pembelahan sel Taiz dan Zeiger 1991, Smith 2000, Buchanan et al. 2000. Apabila nisbah sitokinin dan auksin diperkecil, maka akan terjadi perkembangan akar dan sebaliknya apabila nisbah sitokinin dan auksin tinggi, maka sistem tajuk yang berkembang dan pada saat terjadi keseimbangan yang tepat antara sitokinin dan auksin, maka akan tumbuh sel meristem pada kalus Salisbury dan Ross 1992. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh sitokinin pada pembentukan kalus telah dilaporkan. Pada tanaman anggur kultivar Sheridan dihasilkan persentase pembentukan kalus mencapai 100 pada konsentrasi BAP 1 mgL, sedangkan pada konsentrasi rendah 0.1 mgL persentase pembentukan kalus di bawah 10 Kim dan Kim 2002. Pada tanaman Saccarum officinarum cv. CPF-237 dan SPF-231, konsentrasi BA 2.0 mgl tidak dapat meregenerasi kalus pada kedua kultivar tersebut Niaz dan Quraishi 2002. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi BA, maka terjadi peningkatan perbanyakan sel-sel pembentuk kalus, tetapi kalus tersebut tidak dapat diregenerasikan menjadi plantlet. SIMPULAN Pemberian BAP dan IAA pada media MS berpengaruh pada multiplikasi dan perubahan warna daun tunas daun dewa pada kultur in vitro sampai umur kultur 5 MST. Konsentrasi optimum yang menghasilkan jumlah tunas 34.8 dan jumlah daun 57.5 terbanyak umur kultur 5 MST diperoleh pada BAP 3 ppm tanpa IAA, sedangkan tinggi tunas tertinggi 4.75 cm diperoleh pada media MS tanpa BAP dan IAA. Peningkatan konsentrasi BAP secara nyata menurunkan skor warna daun, jumlah akar dan jumlah plantlet, tetapi meningkatkan diameter kalus. Skor warna daun tertinggi 2.0 dengan warna daun hijau keunguan dan jumlah plantlet terbanyak 2.2 umur kultur 5 MST diperoleh pada media MS tanpa BAP, sedangkan jumlah akar terbanyak 15.1 dihasilkan pada media MS tanpa BAP dan IAA. Diameter kalus tertinggi 1.5 cm diperoleh pada media MS dengan penambahan BAP 3 ppm. INDUKSI AKAR DAN ANTOSIANIN DAUN DEWA Gynura pseudochina L. DC SECARA IN VITRO ABSTRAK Pembentukan tunas berakar plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi memerlukan IAA dan sukrosa pada media kultur. Penelitian ini bertujuan untuk membentuk plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi menggunakan kombinasi antara IAA dan sukrosa. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor. Faktor pertama adalah IAA dengan konsentrasi 0, 0.5 dan 1 ppm, sedangkan faktor kedua adalah sukrosa masing-masing 30, 40, 50 dan 60 gl. Komponen yang diamati terdiri dari jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, diameter kalus, jumlah plantlet dan kandungan antosianin pada total biomassa plantlet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plantlet dengan kandungan antosianin tertinggi dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi sukrosa 30gl. Jumlah plantlet dan kandungan antosianin yang diperoleh masing-masing 2.7 dan 0.071. Jumlah tunas terbanyak 15.6 dihasilkan pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40gl, sedangkan jumlah daun terbanyak 32.4 pada konsentrasi sukrosa 40gl tanpa IAA. Tunas dan daun yang dihasilkan pada perlakuan tersebut berukuran kecil, batang dan akar tidak berkembang sempurna. Jumlah akar terbanyak 35.4 dan akar terpanjang 22.3 cm dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30gl. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa induksi akar terhambat dan terbentuk kalus. Kalus dengan diameter tertinggi 2.5 cm diperoleh pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 50gl. Kata kunci : Induksi akar, antosianin, Gynura pseudochina, in vitro ROOTS AND ANTHOCYANINS INDUCTION OF Gynura pseudhocina L. DC IN VITRO ABSTRACT Plantlets formation with maximum anthocyanins content were used IAA and sucrose at culture medium. The research objective was producing plantlets with maximum anthocyanins content using MS medium with IAA and sucrose addition. The research used randomized block design with two factors. The first factor were IAA concentration 0, 0.5 and 1 ppm, while second factor was sucrose concentration 30, 40, 50 and 60 gl respectively. Growth and bioactive compound were measured consist of shoots number, shoot heights, leaves number, roots number, roots length, plantlets number and anthocyanins content at the total biomass. The results of research showed that plantlets with maximum anthocyanins content was produced at MS medium with sucrose 30 gl. Plantlets number and anthocyanins content were 2.7 and 0.071, respectively. The maximum shoots number 15.6 was produced at IAA concentration 1 ppm and sucrose 40 gl, while maximum leaves number 32.4 at sucrose 40 gl without IAA. Shoots and leaves were small, there was no stem and roots. The maximum roots number 35.4 and roots length 22.3 cm were produced at IAA concentration 0.5 ppm and sucrose 30 gl. The heigher of sucrose concentration, roots induction was disturbed and callus formed. The maximum of callus diametres 2.5 cm was produced at IAA concentration 1 ppm and sucrose 50 gl. Keyword : Roots induction, anthocyanins, Gynura pseudochina, in vitro. PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi bahan tanam secara in vitro dilakukan melalui induksi tunas yang menghasilkan akar plantlet. Hasil penelitian pada tahap multiplikasi tunas telah ditemukan konsentrasi BAP dan IAA yang dapat menginduksi perbanyakan tunas dan terbentuknya akar. Pada perkembangan tunas yang menghasilkan daun, ditemukan indikasi perubahan warna daun menjadi hijau keunguan sampai merah keunguan. Indikasi perubahan warna daun diduga karena pigmentasi antosianin pada kultur in vitro percobaan tahap pertama. Dari seluruh senyawa golongan flavonoid, antosianin sangat memungkinkan untuk diketahui sebagai respon terhadap perubahan warna biru, lembayung muda dan merah pada bunga, buah dan daun Vickery dan Vickery 1981. Hiratsuka et al. 2001 melaporkan penggunaan ABA 1 gl dan gula fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa 2.5 dan 10 dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA 3 1 mgl dan sukrosa 30 gl pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang Hosokawa et al. 1996. Plantlet yang akan dihasilkan pada penelitian tahap kedua ini adalah plantlet yang memiliki kualitas pertumbuhan yang baik sebagai bibit dan memiliki kandungan antosianin yang tinggi. Untuk menghasilkan kualitas bibit yang baik dan kandungan antosianin yang tinggi diperlukan komposisi media yang tepat. Media MS adalah media yang memiliki komposisi unsur yang lengkap terdiri dari unsur hara makro, mikro, vitamin dan asam amino sehingga merupakan media yang baik untuk kultur in vitro Gamborg dan Philips 1995. Penambahan IAA dan sukrosa dalam komposisi media bertujuan untuk mengarahkan proses organogenesis menghasilkan tunas berakar plantlet dan meningkatkan pigmentasi antosianin. Pemberian IAA memacu induksi perakaran Al Juboory et al. 1998, sedangkan penggunaan sukrosa dapat meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa heksosa selama proses translokasi dan akan menstimulasi biosintesis antosianin Hiratsuka et al. 2001. Plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi sebagai hasil dari penelitian ini akan menjadi sumber bahan tanam pada tahap penelitian selanjutnya. Tujuan Penelitian ini bertujuan menghasilkan plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi. Plantlet tersebut akan digunakan sebagai sumber bahan tanam bibit pada percobaan lapang. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, berlangsung sejak bulan April sampai dengan bulan Agustus 2005. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini terdiri dari : eksplan yang diambil dari tanaman induk yang ditumbuhkan di lingkungan laboratorium, zat pengatur tumbuh ZPT yang terdiri dari 6-benzyl amino purine BAP dan indole acetic acid IAA, sukrosa, alkohol 70, sodium hipoklorit, bahan-bahan pembuatan media MS-0, spirtus, betadin, tween, agar, sukrosa, aquadestilata, plastik, karet gelang dan alat tulis menulis. Peralatan yang digunakan terdiri dari : autoklaf gas, laminar air flow, alat tanam pinset, scalpel, gunting, lampu bunsen, pipet, pH meterkertas lakmus, botol kultur, rak kultur dan timbangan analitik. Metodologi Penelitian Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok RAK faktorial yang terdiri dua faktor. Faktor pertama adalah penggunaan berbagai konsentrasi IAA yang terdiri dari : 0, 0.5, dan 1 ppm, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi sukrosa yang terdiri dari : tanpa sukrosa, 30, 40, 50 dan 60 gl. Setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan dan 120 satuan percobaan. Tabel 10. Kombinasi perlakuan berbagai konsentrasi IAA dan Sukrosa pada pembentukan plantlet daun dewa. IAA ppm Sukrosa gl 0.0 I 0.5 I 1 1.0 I 2 30 S 1 I S 1 I 1 S 1 I 2 S 1 40 S 2 I S 2 I 1 S 2 I 2 S 2 50 S 3 I S 3 I 1 S 3 I 2 S 3 60 S 4 I S 4 I 1 S 4 I 2 S 4 Model linier rancangan yang digunakan adalah : Yijk = μ + αi + βj + αβij + εijk. Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh IAA ke-i atau sukrosa ke-j pada kelompok ke-k. μ = nilai rata-rata hasil pengamatan untuk setiap satuan percobaan. αi = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan IAA ke-i. βj = nilai pengamatan karena pengaruh perlakuan sukrosa ke-j. αβij = nilai pengamatan karena pengaruh interaksi IAA ke-i dan sukrosa pada konsentrasi ke-j. εijk. = pengaruh galat pada perlakuan IAA ke-i, sukrosa konsentrasi ke-j dan kelompok ke-k. i = 1, 2, 3 untuk perlakuan IAA j = 1, 2, 3,4 untuk perlakuan sukrosa k = pengaruh ulangankelompok Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test DMRT pada taraf kesalahan 5 Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan Sumertajaya 2002. Pelaksanaan perbanyakan tanaman secara in vitro untuk tahap induksi perakaran dan antosianin, urutan kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut : Persiapan bahan tanam Tunas hasil multiplikasi tunas disubkultur untuk menginduksi akar. Potongan satu buku tanpa daun dari tunas disterilkan pada larutan sodium hipoklorit 1 dalam petridis, kemudian diberi 5 tetes betadin dan siap untuk ditanam pada botol kultur yang telah berisi media perlakuan. Sterilisasi air aquades dan peralatan Kegiatan sterilisasi dilakukan terhadap air aquades dan sejumlah peralatan tanam yang akan digunakan. Air aquades disterilkan dalam autoklaf gas selama 1 jam sejumlah 100 ml setiap botol yang ditutup dengan plastik sebagai bahan untuk kegiatan sterilisisasi eksplan di dalam laminar. Sterilisasi peralatan yang terdiri dari pinset, gunting, scalpel, petridish juga dilakukan dalam autoklaf gas selama 1 jam bersama-sama dengan sterilisasi air aquades. Sterilisasi dilakukan pada temperatur 121 C dengan tekanan 17.5-20 psi selama 1 jam. Untuk laminar air flow disterilkan dengan menghidupkan laminar kipas angin dan lampu UV selama 30-60 menit sebelum digunakan. Selanjutnya laminar disemprot dengan alkohol 70 dan dibiarkan sampai mengering. Pembuatan media pengakaran Media MS ditambahkan IAA dan sukrosa masing-masing konsentrasi perlakuan. Konsentrasi IAA masing-masing 0, 0.5 dan 1 ppm, sedangkan konsentrasi sukrosa masing-masing 30, 40,50 dan 60 gl. Sterilisasi eksplan Eksplan diperoleh dari perlakuan terbaik pada multiplikasi tunas, setelah dilakukan perbanyakan. Eksplan dari botol kultur multiplikasi tunas, sebelum dipindahkan ke media pengakaran disterilkan dalam larutan sodium hipoklorit 1 dalam cawan petri kemudian ditanam. Penanaman eksplan pada media perlakuan Tunas yang telah bermultiplikasi pada media terbaik pada percobaan multiplikasi tunas dipindahkan ke media perlakuan kombinasi beberapa konsentrasi IAA dan Sukrosa masing-masing 1 tunas per botol kultur. Eksplan dalam botol perlakuan diamati selama 10 minggu. Aklimatisasi dilakukan pada minggu ke-11 sampai minggu ke-12 selama 2 minggu dengan cara mengeluarkan tanaman dari media perlakuan kemudian di tanam di media arang sekam dan dijaga kelembabannya. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap perkembangan plantlet, dilakukan pengamatan dan pengukuran terhadap beberapa parameter pertumbuhan vegetatif yang terdiri dari : a jumlah tunas dihitung untuk setiap botol kultur,setiap minggu b tinggi tunas diamati di akhir pengamatan, c jumlah daun total per botol kultur diamati setiap minggu, d jumlah akar diamati setiap minggu, e panjang akar diamati di akhir pengamatan, f diameter kalus, total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan kandungan antosianin menggunakan metode Lees dan Francis 1982, diamati pada akhir percobaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Tunas dan Jumlah Daun Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA dan sukrosa serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan jumlah daun sejak umur 1 MST sampai umur 8 MST Tabel Lampiran 12. Pada umur 8 MST tunas terbanyak 15.6 tunas dihasilkan pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40 gl Tabel 11, sedangkan daun terbanyak 32.4 dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 40 gl tanpa IAA Tabel 12. Tabel 11. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas daun dewa umur kultur 1-8 MST Minggu Setelah Tanam IAA ppm Sukrosa gl 1 2 3 4 5 6 7 8 0.5 1 30 40 50 60 30 40 50 60 30 40 50 60 1.6 a 1.3 ab 1.2 ab 1.1 b 1.3 ab 1.4 ab 1.1 b 1.2 ab 1.0 b 1.1 b 1.0 b 1.4 ab 1.7 d 2.6 abc 2.4 bc 2.6 abc 2.2 cd 2.8 ab 2.5 abc 2.4 bc 1.7 d 2.9 ab 3.0 a 2.9 ab 2.2 c 3.8 ab 3.7 b 3.6 b 2.4 c 4.1 ab 3.7 b 3.7 b 1.8 c 4.1 ab 4.2 ab 4.4 a 2.3 d 5.7 b 5.6 b 4.9 c 2.4 d 5.4 bc 6.8 a 7.1 a 2.2 d 5.4 bc 5.3 bc 5.8 b 2.7 e 6.9 cd 6.8 cd 6.5 d 2.7 e 7.8 b 9.3 a 9.3 a 2.4 e 8.2 b 7.5 bc 7.9 b 2.7 f 8.8 cd 8.2 de 7.8 e 2.7 f 9.0 c 10.6 a 10.4 a 2.4 f 10.0ab 9.6 bc 9.5 bc 2.8 d 10.1bc 9.5 c 9.6 c 2.7 d 10.8 b 12.5 a 12.0 a 2.4 d 12.2 a 10.8 b 10.9 b 2.8 f 12.3 d 11.1 e 11.7de 2.7 f 12.1 d 14.3 b 15.1ab 2.4 f 15.6 a 13.3 c 15.4 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . Jumlah tunas dan jumlah daun mengalami peningkatan sejak umur kultur 1 sampai 8 MST. Peningkatan jumlah tunas tetinggi sampai pada umur kultur 8 MST terjadi pada kombinasi IAA 1 ppm dan sukrosa 40gl tetapi tidak berbeda nyata dengan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 60gl. Pada umur kultur 4, 5 dan 6 MST jumlah tunas tertinggi terjadi pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 40 dan 50gl, tetapi terjadi penurunan jumlah tunas pada umur kultur 8 MST. Untuk peningkatan jumlah daun tertinggi terjadi pada media MS tanpa IAA dengan konsentrasi sukrosa 40 dan 50gl sampai umur kultur 8 MST. Perbedaan konsentrasi IAA dan sukrosa dalam menghasilkan jumlah tunas dan jumlah daun tertinggi disebabkan oleh peningkatan jumlah tunas pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 60gl tidak disertai dengan pembentukan daun yang sempurna. Jumlah tunas dan jumlah daun pada umur 8 MST mengalami peningkatan yang pesat dengan peningkatan konsentrasi sukrosa sampai optimum 40-50 gl meskipun ukuran tunas dan daun semakin kecil. Pada konsentrasi 60 gl jumlah tunas mengalami penurunan, kecuali dengan penambahan IAA 1 ppm jumlah tunas mengalami peningkatan Gambar 16, tetapi ukuran tunas semakin kecil dan daun tidak terbentuk sempurna Gambar 21. Tabel 12. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah daun daun dewa umur kultur 1-8 MST Minggu Setelah Tanam IAA ppm Sukrosa gl 1 2 3 4 5 6 7 8 0.5 1 30 40 50 60 30 40 50 60 30 40 50 60 3.7 a 2.6 bc 2.4 bc 2.3 bc 2.8 bc 3.0abc 2.3 bc 2.6 bc 2.1 c 2.3 bc 2.2 bc 3.1 ab 6.9 cd 9.8 a 8.7 ab 7.5 bc 7.6 bc 7.4bcd 7.4bcd 8.7 cd 5.3 e 6.5cde 6.0 de 9.7 a 10.1 d 15.7 b 17.2 a 10.6cd 11.2 c 10.3cd 10.3cd 9.6 d 8.1 e 10.0 d 8.2 e 15.1 b 12.5de 18.6 b 19.7 a 12.9de 13.5cd 14.1 c 14.2 c 12.6de 10.4 f 12.1 e 10.1 f 18.4 b 14.9 d 22.1 a 22.4 a 15.9cd 15.9cd 17.9 b 17.0bc 15.5 d 12.2 e 16.8bc 15.3 d 21.3 a 17.8 e 25.4a 24.9ab 18.4 e 18.3 e 20.1 d 21.3 c 18.6 e 14.7 f 20.3cd 18.7 e 24.2 b 21.8de 29.2 a 28.7 a 22.6cd 21.2 e 23.7 c 25.1 b 21.5de 16.9 f 23.4 c 21.4de 28.1 a 24.2de 32.4 a 31.6 a 25.1 d 23.8 e 26.9 c 28.4 b 24.4de 19.2 f 27.3bc 24.4de 31.4 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . 5 10 15 20 25 30 35 40 I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4 Konsentrasi IAA dan Sukrosa Jumlah Tunas Jumlah Daun Jumlah Akar Gambar 16. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas, jumlah akar dan jumlah daun pada umur kultur 8 MST. Untuk menghasilkan tunas yang memiliki daun yang terbentuk sempurna dan menghasilkan akar, pada percobaan ini diperoleh dengan penggunaan konsentrasi IAA 0-1 ppm dan sukrosa 30 gl. Konsentrasi sukrosa yang lebih tinggi dari 30 gl, meskipun menghasilkan tunas dan daun yang banyak, tetapi tidak menghasilkan plantlet. IAA dalam kultur in vitro berperan dalam proses pembesaran sel melalui sekresi ion H + keluar sel melalui dinding sel yang menyababkan dinding sel merenggang dan sel membesar. Pembesaran sel-sel tersebut akan mendorong proses morfogenesis Gunawan 1992, Salisbury dan Ross 1992, sehingga terjadi pertumbuhan tunas dan pertambahan jumlah daun. Penggunaan sukrosa dimaksudkan untuk menyediakan energi pada proses morfogenesis untuk proses regenerasi dalam kultur in vitro Gunawan 1992. Jumlah Akar Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian IAA dan sukrosa serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap jumlah akar sampai umur 8 MST, kecuali pada umur 1-2 MST tidak terdapat pengaruh nyata dari IAA Tabel Lampiran 12. Jumlah akar terbanyak 35.4 dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 gl. Tabel 13. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah akar daun dewa umur kultur 1-8 MST Minggu Setelah Tanam IAA ppm Sukrosa gl 1 2 3 4 5 6 7 8 0.5 1 30 40 50 60 30 40 50 60 30 40 50 60 0.2 a 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 b 5.0 a 0.0 b 0.1 b 0.2 b 5.2 a 0.2 b 0.1 b 0.0 b 5.4 a 0.1 b 0.0 b 0.1 b 8.6 b 0.0 c 0.3 c 0.6 c 9.5 a 0.4 c 0.2 c 0.1 c 7.9 b 0.2 c 0.1 c 0.1 c 13.8a 0.0 c 0.6 c 0.6 c 14.0a 0.5 c 0.2 c 0.3 c 12.4b 0.2 c 0.2 c 0.1 c 18.6b 0.0 c 0.6 c 0.6 c 20.5a 0.5 c 0.2 c 0.3 c 17.9b 0.2 c 0.2 c 0.1 c 23.8b 0.0 d 0.9 d 0.7 d 26.4a 0.7 d 0.6 d 0.3 d 22.1c 0.4 d 0.4 d 0.2 d 27.8b 0.0 d 1.0 d 0.8 d 31.1a 1.1 d 0.7 d 0.3 d 26.5c 0.5 d 0.5 d 0.6 d 29.7b 0.1 c 1.0 c 0.8 c 35.4a 1.1 c 0.7 c 0.3 c 29.3b 0.5 c 0.8 c 0.8 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 40-60 gl menekan pembentukan perakaran, kecuali pada konsentrasi sukrosa 30 gl pada masing-masing konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dapat menginduksi terbentuknya perakaran Tabel 13 dan Gambar 17. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa hanya dapat menginduksi pembentukan kalus. Pada percobaan ini penggunaan IAA ditujukan untuk menginduksi perakaran tunas mikro membentuk plantlet. Auksin IAA, NAA, 2,4-D, atau IBA diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses pembelahan dan inisiasi akar, tetapi pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan proses morfogenesis Smith 2000. 30 40 50 60gl 0 0.5 1 ppm a b Gambar 17. Akar yang terbentuk pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 gl a, dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm b umur kultur 8 MST. Tinggi Tunas dan Diameter Kalus Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa IAA berpengaruh nyata terhadap diameter kalus, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Pemberian sukrosa dan interaksi antara IAA dan sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas dan diameter kalus umur kultur 8 MST Tabel Lampiran 12. Tabel 14. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas dan diameter kalus daun dewa umur kultur 8 MST Tinggi Tunas cm Diameter Kalus cm IAA ppm Sukrosa gl 0.5 1 30 40 50 60 30 40 50 60 30 40 50 60 7.35 b 3.05 c 3.00 c 1.77 d 10.03 a 2.05 d 1.96 d 2.27 cd 9.65 a 2.00 d 1.92 d 2.48 cd 0.00 e 2.16 b 1.93 bc 1.97 bc 0.00 e 1.57 d 1.96 bc 1.75 cd 0.00 e 1.93 bc 2.50 a 1.88 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . Berdasarkan data pada Tabel 14, konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 gl menghasilkan tunas tertinggi 10.03 cm, tetapi tidak terbentuk kalus. Pembentukan kalus yang menghasilkan diameter kalus tertinggi 2.5 cm terjadi pada konsentrasi IAA 1 ppm dan sukrosa 50 gl. Kombinasi antara IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dengan sukrosa 30 gl rata-rata dapat menghasilkan tunas berakar dan tidak dapat membentuk kalus. Kalus dapat terbentuk apabila konsentrasi sukrosa meningkat dari 40-60 gl Gambar 18. Konsentrasi sukrosa yang tinggi pada media kultur akan berpengaruh pada potensial osmotik Gunawan 1992. Potensial osmotik yang semakin rendah akibat konsentrasi sukrosa yang semakin tinggi akan menghambat regenerasi plantlet dan lebih mendorong terbentuknya kalus pada kultur daun dewa. 2 4 6 8 10 12 I0S1 I0S2 I0S3 I0S4 I1S1 I1S2 I1S3 I1S4 I2S1 I2S2 I2S3 I2S4 Konsentrasi IAA dan Sukrosa Tinggi Tunas cm Diam eter Kalus cm Gambar 18. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas cm dan diameter kalus cm pada umur kultur 8 MST. y = 0.0162x 2 - 0.4629x + 2.9038 R 2 = 0.89 0.5 1 1.5 2 2.5 3 2 4 6 8 10 12 Tinggi Tunas cm D iam et e r K a lu s c m Gambar 19. Grafik korelasi antara tinggi tunas dan diameter kalus pada interaksi antara IAA dan sukrosa pada akhir percobaan. Berdasarkan grafik hubungan antara tinggi tunas dengan diameter kalus Gambar 19, diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tunas, maka diameter kalus semakin rendah bahkan tidak dapat terbentuk kalus, kecuali akar. Melalui persamaan Y = 0.0162X 2 – 0.4629X + 2.9038 R 2 = 0.89, tinggi tunas yang mencapai 14.29 cm tidak dapat membentuk kalus. Hubungan ini memberikan gambaran bahwa apabila terjadi peningkatan pembentukan kalus pada konsentrasi sukrosa dan IAA yang semakin tinggi, maka proses regenerasi menghasilkan tunas berakar plantlet menjadi terhambat. Panjang Akar Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa IAA, sukrosa dan interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap panjang akar Tabel Lampiran 12. Data pada tabel 15 memperlihatkan bahwa akar terpanjang 22.3 cm pada umur kultur 8 MST dihasilkan pada konsentrasi IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 gl. Tabel 15. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar cm plantlet daun dewa umur kultur 8 MST Sukrosa gl IAA ppm 30 40 50 60 16.25 b 1.75 d 0.05 d 0.35 d 0.5 22.3 a 0.31 d 0.13 d 0.0 d 1 10.9 c 0.65 d 0.3 d 0.4 d y = -0.546x + 29.57 R 2 = 0.6 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 30 40 50 60 Konsentrasi Sukrosa gl P an jan g A kar cm Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . y = -8.6x 2 + 5.9x + 5.5 R 2 = 0.8 1 2 3 4 5 6 7 0.5 1 1 Konsentrasi IAA ppm P an jan g A kar cm .5 Gambar 20. Hubungan antara konsentrasi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar plantlet daun dewa umur kultur 8 MST. Penggunaan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 gl menghasilkan akar terpanjang 22.3 cm dan berbeda nyata dengan penggunaan IAA 0 dan 1 ppm serta sukrosa 30 gl yang menghasilkan panjang akar masing-masing 16.25 cm dan 10.9 cm. Semakin tinggi konsentrasi IAA, panjang akar akan cenderung lebih rendah dan konsentrasi optimum adalah 0.5 ppm IAA. Demikian halnya dengan semakin meningkatnya konsentrasi sukrosa di atas 30 gl 40-60 gl, akar yang terbentuk semakin pendek bahkan hampir tidak membentuk akar Gambar 20. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa IAA dan sukrosa mempengaruhi proses pemanjangan akar. IAA berperan dalam proses pembesaran dan pemanjangan sel-sel akar, sedangkan sukrosa adalah penyedia energi melalui aktivitas enzim invertase untuk kebutuhan pembesaran dan pemanjangan sel Taiz dan Zeiger 1991. Total Biomasa Plantlet, Jumlah Plantlet dan Total Antosianin Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh IAA dan pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa tidak nyata terhadap total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan kadar antosianin daun dewa umur kultur 8 MST. Total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan kadar antosianin yang dihasilkan lebih dipengaruhi oleh konsentrasi sukrosa Tabel Lampiran 12. Tabel 16. Total biomasa plantlet, jumlah plantlet dan total antosianin daun dewa pada umur kultur 8 MST . Sukrosa gl Total Biomasa Plantlet Jumlah Plantlet Total Antosianin g 30 1.82 b 2.7 a 0.071 a 40 4.16 a 0.6 b 0.015 b 50 4.33 a 0.8 b 0.016 b 60 4.70 a 0.6 b 0.012 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 . 30 40 50 60 0 0.5 1 Sukrosa gl IAA ppm Gambar 21. Plantlet yang dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 gl, dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sukrosa, terjadi peningkatan total biomassa plantlet karena terjadi peningkatan bobot kalus yang terbentuk, tetapi jumlah plantlet dan kadar antosianin semakin menurun. Berdasarkan persamaan Y = 0.0047X 2 – 0.4787X + 12.661 R 2 = 0.86, penambahan sukrosa 51.4 gl menghasilkan jumlah plantlet 0.17 Gambar 22A, sedangkan melalui persamaan Y = 0.0001X 2 – 0.0132X + 0.3578 R 2 = 0.87, penambahan sukrosa 67.5 gl tidak dapat menghasilkan kadar antosianin Gambar 22 B. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, total antosianin akan semakin rendah dan jumlah plantlet juga akan semakin berkurang. y = 0.0001x 2 - 0.0132x + 0.3578 R 2 = 0.8662 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 30 40 50 60 Konsentrasi Sukrosa gl Ka d a r An to s ia n in y = 0. 3 0047x 2 - 0.4787x + 12.661 R 2 = 0.8643 1 1.5 2 2.5 3.5 30 40 50 60 Konsentrasi Sukrosa gl h P lan tl et A m la 0.5 Ju B Gambar 22. Grafik hubungan antara konsentrasi sukrosa terhadap jumlah plantlet A dan kadar antosianin B umur kultur 8 MST. Berdasarkan data visual yang disajikan pada Gambar 16, dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi sukrosa, maka perkembangan tunas menjadi plantlet menjadi terhambat. Tunas dan daun yang terbentuk berukuran kecil, meskipun jumlahnya banyak dan akar tidak terbentuk. Pada konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm dengan konsentrasi sukrosa 30 gl, perkembangan tunas berakar plantlet dapat terjadi dan menghasilkan kandungan antosianin yang lebih tinggi. IAA berpengaruh pada pembentukan akar sehingga terbentuk plantlet, sedangkan sukrosa di samping sebagai penyedia energi bagi perkembangan plantlet, juga menginduksi proses pigmentasi antosianin. Sukrosa dapat meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa heksosa selama proses translokasi dan akan menstimulasi biosintesis antosianin Hiratsuka et al. 2001. Pigmentasi antosianin secara in vitro juga telah dilakukan pada jenis tanaman yang lain. Hiratsuka et al. 2001 melaporkan penggunaan ABA 1 gl dan gula fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa 2.5 dan 10 dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA 3 1 mgl dan sukrosa 30 gl pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang Hosokawa et al. 1996. SIMPULAN Pemberian IAA dan sukrosa pada media MS berpengaruh pada induksi akar dan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro daun dewa sampai umur kultur 8 MST. Konsentrasi optimum IAA dan sukrosa yang menghasilkan jumlah akar terbanyak 35.4 dan panjang akar terpanjang 22.3 cm diperoleh pada IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 gl. Pada penelitian ini dihasilkan media yang menghasilkan plantlet yang mengandung antosianin yang tinggi. Jumlah plantlet terbanyak 2.7 dengan kandungan antosianin tertinggi 0.071 dihasilkan pada penggunaan sukrosa 30 gl pada media MS. PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN SUMBER BAHAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN BIOAKTIF DAUN DEWA Gynura pseudochina L. DC ABSTRAK Cahaya berpengaruh pada peningkatan kandungan bioaktif tanaman, sedangkan plantlet yang dihasilkan pada percobaan in vitro yang digunakan sebagai bahan tanam memiliki kandungan antosianin yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap peningkatan kandungan bioaktif, khususnya flavonoid melalui kajian pertumbuhan, anatomi daun dan fisiologis tanaman. Percobaan lapangan menggunakan rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah periode pencahayaan dan anak petak adalah sumber bahan tanam yang terdiri dari bahan tanam asal in vitro dan setek pucuk in vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa naungan 50 menghasilkan pertumbuhan tanaman, anatomi daun jumlah stomata, jumlah trichoma dan tebal daun, kandungan SOD, klorofil daun, kandungan antosianin dan total flavonoid yang berbeda nyata dengan naungan 25 dan cahaya 100. Periode pencahayaan yang menghasilkan bobot biomasa tertinggi 90.92 g adalah naungan 50 selama 1 bulan dan cahaya 100 selama 3 bulan, sedangkan bahan tanam terbaik yang menghasilkan kandungan antosianin 0.064 dan total flavonoid 12.71 tertinggi pada periode pencahayaan tersebut adalah bahan tanam asal in vitro. Kata kunci : Periode pencahayaan, bahan tanam asal in vitro, setek pucuk, flavonoid, Gynura pseudochina. EFFECT OF LIGHTING PERIODS AND SEEDLINGS TO GROWTH AND BIOACTIVES CONTENT OF Gynura pseudochina L. DC ABSTRACT Lights are influential to increase plant bioactives content. Field experiment using the in vitro plantlets with the heighest anthocyanins content and in vivo shoot cuttings through lighting periods. The research objectives were knowed differed effect to find the lighting periods in the field experiment that increase plantlets and shoot cuttings growth and bioactive content, especially the flavonoids. The growth, morfo-anatomycal, plant physiological and bioactives content were measured. The experiment used split plot design with lighting periods as the main plots and the sub plots were plantlets and shoot cuttings. The results showed that 50 shading produced plant growth, leaves anatomycal stomata number, trichomes number and thick of leaves, SOD enzymes content, chlorophill content, anthocyanins content and total flavonoids significantly differed with 25 shading and full light. The heigher of total biomass 90.92g produced in shading 50 up to 1 month and three month full light, while the heighest of anthocyanins content 0.064 and total flavonoids content 12.71 produced from in vitro plantlets. Keyword : Lighting periods, plantlets, shoot cuttings, flavonoids, Gynura pseudochina PENDAHULUAN Latar Belakang Pada penelitian in vitro telah diperoleh bahan tanam asal in vitro sebagai bahan tanam di lapang yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi dengan kadar 0.071. Peningkatan kandungan antosianin tersebut disebabkan karena pengaruh penggunaan sukrosa pada media kultur. Hiratsuka et al. 2001 melaporkan penggunaan ABA 1 gl dan gula fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa 2.5 dan 10 dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA 3 1 mgl dan sukrosa 30 gl pada kultur in vitro Hyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang Hosokawa et al. 1996. Pemacuan produksi bioaktif bahan tanam asal in vitro pada kondisi lapang dapat dilakukan dengan meningkatkan biomasa tanaman melalui naungan dan periode pencahayaan. Beberapa penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa pemberian naungan dapat mempengaruhi kandungan bioaktif tanaman, tetapi informasi tentang pengaruh periode pencahayaan belum dilaporkan. Pada tanaman kedelai, pigmentasi antosianin meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi Lamuhuria et al. 2006, sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100 cahaya menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata Ghulamahdi et al. 2006. Tanaman daun jinten Urnemi et al. 2002, kadar kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75. Taraf naungan 50 dan 75 meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Daun dewa telah dilaporkan dapat tumbuh baik pada kondisi ternaungi dan idealnya memperoleh cahaya 50-75 Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan Maryani 2003. Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan tanaman yang lebih tinggi, daun yang lebih lebar dan renyah serta warna daun yang lebih cerah dan halus. Pada intensitas cahaya yang tinggi menghasilkan daun yang keras Suharmiati dan Maryani 2003. Pertumbuhan tanaman dalam naungan berdasarkan anatomi daun, kandungan pigmen fotosintetik dan enzim SOD berbeda dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi cahaya penuh. Semakin tinggi persentase naungan, jumlah stomata dan trichoma semakin berkurang dan daun semakin tipis. Liakoura 1997 melaporkan bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada intensitas cahaya rendah, tanaman akan meningkatkan luas permukaan daun sehingga luas bidang tangkapan terhadap cahaya semakin tinggi Levitt 1980, Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a, sehingga terjadi penipisan daun. Pada kondisi intensitas cahaya rendah juga terjadi peningkatan kandungan klorofil daun sebagai pigmen fotosintetik Sopandie 2006. Respon tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan kemudian dipindahkan pada cahaya 100, diduga akan terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif disebabkan oleh peningkatan radikal bebas dalam kloroplas dan merusak pusat reaksi. Penghambatan peningkatan radikal bebas dilakukan oleh tanaman melalui peningkatan aktivitas enzim SOD sebagai enzim kunci yang menghambat produksi 0 2 - dalam penghambatan fotosintesis Hideg 1997. Ismail et al. 2001 melaporkan bahwa pada tanaman Crassocephalum crepidioides yang resisten terhadap 0 2 - akan menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka. Pertumbuhan tanaman yang sebelumnya pada kondisi naungan kemudian dipindahkan pada cahaya 100 juga meningkatkan kandungan bioaktif khususnya flavonoid. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim Flavonon 3-hidroksilase F3H yang menstimulasi pembentukan flavonoid, termasuk antosianin Jaakola 2003. Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya. Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin Salisbury dan Ross 1992, Vickery dan Vickery 1981. Awad et al. 2001 juga melaporkan bahwa pada buah apel “ Jonagold “ ditemukan kandungan total flavonoid yang berbeda karena pengaruh cahaya. Buah apel yang terletak di bagian luar tajuk menghasilkan kandungan total flavonoid 13.5 mgg, sedangkan buah yang berada di bagian dalam tajuk yang tidak terkena cahaya langsung menghasilkan total flavonoid lebih rendah 7.2 mgg. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon pertumbuhan dan peningkatan kandungan flavonoid daun dewa asal in vitro pada kondisi lapang melalui periode pencahayaan yang berbeda. Respon pertumbuhan dan peningkatan kandungan flavonoid akan dipelajari melalui parameter pertumbuhan, perubahan anatomi dan fisiologis tanaman. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Produksi bahan tanam dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sedangkan percobaan lapangan dilaksanakan di Instalasi Biofarmaka, Pusat Studi Biofarmaka IPB di Cikabayan dengan ketinggian tempat + 250 m dpl. Waktu pelaksanaan percobaan dimulai pada bulan September 2005 sampai dengan bulan April 2006, yang terdiri dari produksi bahan tanam sejak bulan September sampai bulan November 2005, aklimatisasi pada bulan Desember 2005 serta penanaman di lapang sejak bulan Januari sampai dengan bulan April 2006. Analisis di laboratorium dilakukan terhadap beberapa komponen pengamatan yang terdiri dari : a analisis kandungan klorofil a, b dan kandungan antosianin dilakukan di laboratorium RGCI Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, b pengamatan stomata dan trichoma dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, c pengamatan tebal daun dilakukan di laboratorium tumbuhan Seameo Biotrop Bogor, d analisis enzim SOD dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Pasca Panen Cimanggu Bogor, serta e analisis kandungan bioaktif tanaman dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Waktu pelaksanaan analisis berlangsung sejak bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2006. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan lapangan untuk tahap-III terdiri dari : paranet naungan 25 dan 50, bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro, pupuk urea, SP-36, KCl, insektisida biologi Pentacarb dan Florbec, polybag hitam ukuran 35 cm x 35 cm 5 kg tanah dan label perlakuan. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis klorofil, antosianin, uji fitokimia, analisis total flavonoid, total SOD, histologi dan anatomi daun disajikan pada Lampiran 17 – 23. Peralatan yang digunakan terdiri dari : peralatan tanam, lux meter, leaf area meter, FJK Chlorophyll Tester CT-102, Spektrofotometer UV-VIS, mikroskop pembesaran 10 x 10 dan 10 x 40, timbangan analitik, cuvvet, meteran, timbangan biasa dan sprayer. Metode Penelitian Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Petak Terpisah Split plot Design, dengan 3 kali ulangan. Petak utama adalah periode pencahayaan N, sedangkan anak petak adalah sumber bahan tanam V. Kombinasi perlakuan secara lengkap disajikan pada Tabel 17. Secara keseluruhan terdapat 18 kombinasi perlakuan dan diulang 3 kali, serta setiap perlakuan terdapat 10 satuan percobaan sehingga terdapat 540 satuan percobaan. Tabel 17. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro V 1 Setek Pucuk V 2 Cahaya 100 4 bulan N N V 1 N V 2 Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 N 1 N 1 V 1 N 1 V 2 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 N 2 N 2 V 1 N 2 V 2 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 N 3 N 3 V 1 N 3 V 2 Naungan 25 4 bulan N 4 N 4 V 1 N 4 V 2 Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 N 5 N 5 V 1 N 5 V 2 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 N 6 N 6 V 1 N 6 V 2 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 N 7 N 7 V 1 N 7 V 2 Naungan 50 4 bulan N 8 N 8 V 1 N 8 V 2 Cahaya 100 4 bulan N Naungan 25 1 bulan 3 bulan cahaya 100 N 1 Naungan 25 2 bulan 2 bulan cahaya 100 N 2 Naungan 25 3 bulan 1 bulan cahaya 100 N 3 Naungan 25 4 bulan N 4 Naungan 50 1 bulan 3 bulan cahaya 100 N 5 Naungan 50 2 bulan 2 bulan cahaya 100 N 6 Naungan 50 3 bulan Naungan 50 4 bulan N 8 1 bulan cahaya 100 N 7 Bahan Tanam Setek Pucuk V 2 Bahan Tanam in Vitro V 1 Gambar 23. Perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam. Model linier rancangan yang digunakan adalah : Yijk = μ + Ki + Nj+ εij + Vk + NVij + δijk Yijk = nilai pengamatan karena adanya pengaruh kelompok ke-i, periode pencahayaan ke-j, dan sumber bahan tanam ke-k. μ = nilai rata-rata umum. Ki = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i. Nj = nilai pengamatan karena pengaruh periode pencahayaan ke-j. εij = galat akibat pengaruh kelompok ke-i dan periode pencahayaan ke-j. Vk = nilai pengamatan akibat pengaruh sumber bahan tanam ke-k. NVij = nilai interaksi faktor periode pencahayaan ke-i dan sumber bahan tanam ke-j. δijk = galat akibat pengaruh kelompok ke-i, periode pencahayaan ke-j, dan sumber bahan tanam ke-k. Data pengamatan diuji menggunakan sidik ragam, jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan`s Multiple Range Test DMRT dan Uji Kontras Ortogonal pada taraf kesalahan 5 Gomez dan Gomez 1995, Mattjik dan Sumertajaya 2002. Pelaksanaan percobaan tahap-III dimulai dari penanaman di lapangan sampai pada tahap analisis di laboratorium. Langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Persiapan bahan tanam Bahan tanam yang digunakan berasal dari plantlet hasil perbanyakan secara in vitro dan setek pucuk. Setek pucuk daun dewa ditanam di polibag sejumlah kebutuhan percobaan dan dilakukan di lapang. Sedangkan bahan tanam dari kultur in vitro digunakan dilapang setelah aklimatisasi. Waktu penanaman setek pucuk dengan waktu aklimatisasi bahan tanam in vitro dilakukan secara bersamaan. Penataan tempat percobaan Lokasi percobaan dibuat naungan paranet sesuai dengan perlakuan, kemudian media tanam yang berisi tanah sebanyak 5 kgpolybag disiapkan sesuai dengan tata letak hasil pengacakan berdasarkan rancangan percobaan yang digunakan Lampiran 3. Penanaman Setelah bahan tanam dari perbanyakan in vitro diaklimatisasi selama 2 minggu, dipindahkan ke polibag dan ditempatkan di lingkungan percobaan bersama-sama dengan bahan tanam dari setek pucuk. Pada umur 1 bulan dilapangan siap untuk ditanam pada polibag perlakuan. Penanaman dilakukan dengan memindahkan bahan tanam dari polibag pembibitan ke polibag perlakuan secara berurutan dari ulangan 1 sampai 3. Pemeliharaan tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari sesuai kapasitas lapang pot perlakuan. Penyiangan dilakukan setiap saat sehingga pot perlakuan bebas dari gulma. Pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk dasar Urea, SP-36 dan KCl masing-masing 5 gpolibag. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala serangan. Penyiangan dilakukan secara manual sedangkan pencegahan hama dan penyakit dilakukan secara kimia. Pencegahan hama ulat jengkal dan kumbang disemprot dengan insektisida biologis Florbec dan Pentacarb. Komponen pengamatan pada percobaan tahap-III ini adalah sebagai berikut : Komponen pertumbuhan tanaman : 1. Tinggi tanaman cm diukur dari pangkal batang sampai dengan ujung pucuk, diamati pada akhir percobaan. 2. Jumlah daun helai, diamati pada daun yang telah terbentuk sempurna, diamati pada akhir percobaan. 3. Panjang daun terpanjang cm dan lebar daun terlebar cm, diamati pada akhir percobaan. 4. Luas daun cm 2 diamati setiap bulan, menggunakan Leaf Area Meter. 5. Indeks luas daun ILD diamati setiap bulan. Persamaan untuk menentukan nilai ILD adalah : ILD = LDA, dimana LD luas daun total dan A adalah luas permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman Sitompul dan Guritno, 1995. 6. Indeks kehijauan daun diamati setiap 2 minggu menggunakan alat FJK Chlorophyll Tester CT-102. 7. Jumlah anakan dan jumlah cabang diamati pada akhir percobaan. 8. Bobot brangkasan tanaman g diamati pada akhir percobaan. 9. Bobot basah umbi g, dan bobot basah tajuk g diamati pada akhir percobaan. Komponen fisiologis tanaman : Komponen fisiologis tanaman yang akan diukur dan diamati terdiri dari : 1. Analisis pertumbuhan tanaman menggunakan metode Masarovicova 1997. Komponen yang diamati terdiri dari : laju tumbuh relatif relative growth rate, rasio luas daun leave area ratio dan laju asimilasi bersih net assimilation rate. a. RGR = ln W 2 - lnW 1 gghari , dimana : t 2 - t 1 RGR = Laju Tumbuh Relatif, W 2 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-2 W 1 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-1 t 1 , t 2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2 b. LAR = LW cm 2 g , dimana : LAR = rasio luas daun L = luas daun W = bobot kering tanaman c. NAR = W 2 - W 1 x ln L 2 – ln L 1 gcm 2 hari , dimana : L 2 - L 1 t 2 - t 1 W 2 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-2 W 1 = bobot kering tanaman pada pengamatan ke-1 L 2 , L 1 = Luas daun pada pengamatan ke 1 dan ke-2 t 1 , t 2 = waktu pengamatan ke-1 dan ke-2

2. Analisis kadar klorofil a, b dan total klorofil dilakukan di laboratorium RGCI

Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB dengan menggunakan metode Arnon 1949, dilakukan pada akhir percobaan. Cara kerja dilampirkan pada lampiran 17. Sampel daun yang dianalisis adalah daun yang telah terbentuk sempurna pada posisi daun ke 3-5 dari pucuk dan belum mengalami penuaan.

3. Analisis Enzim Superoxide Dismutase SOD dilakukan di laboratorium Balai

Penelitian Pasca Panen Cimanggu pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Knight 1998. Metode analisis terdapat pada lampiran 18. Sampel daun yang dianalisis adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari arah pucuk. Komponen anatomi tanaman : Komponen anatomi tanaman yang akan diamati terdiri dari: jumlah stomata, jumlah trichoma serta ketebalan daun Sass 1951. Pengamatan jumlah stomata dan jumlah trichoma dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sedangkan preparasi dan pengukuran ketebalan daun dilakukan di laboratorium histologi Seameo Biotrop pada akhir percobaan dengan menggunakan mikroskop pembesaran 40x dan 100x. Sampel daun yang digunakan adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari arah pucuk. Jumlah sampel yang digunakan adalah 3 sampel setiap daun sehingga untuk 3 helai daun terdapat 9 sampel untuk setiap perlakuan, sehingga total sampel untuk 3 ulangan adalah 27 sampel. Metode pengukuran dan penghitungan jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun terdapat pada lampiran 19 dan 20. Komponen Bioaktif Tanaman : 1. Uji Fitokimia dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Harborn 1996. Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk sempurna per tanaman. Jumlah sampel yang dianalisis adalah 2 tanaman dalam 1 perlakuan, kemudian sampel dari 2 tanaman tersebut dikompositkan menjadi 1 sampel. Jumlah sampel untuk 3 ulangan setiap perlakuan adalah 6 sampel, kemudian dikompositkan menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 21. 2. Analisis kandungan antosianin dilakukan di laboratorium RGCI Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Lees dan Francis 1982. Sampel daun yang digunakan adalah daun yang terkena langsung cahaya matahari pada posisi daun ke 3-5 dari arah pucuk. Jumlah sampel yang digunakan adalah 2 tanaman setiap perlakuan dan setiap tanaman diambil 3 daun, kemudian dikompositkan menjadi 1 sampel setiap perlakuan. Dalam 3 ulangan digunakan 6 tanaman dan dikompositkan menjadi 3 sampel. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 22. 3. Analisis kandungan total flavonoid dilakukan di laboratorium kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB pada akhir percobaan dengan menggunakan metode Badan POM 2004. Sampel yang digunakan adalah seluruh daun yang telah terbentuk sempurna dan setiap perlakuan digunakan 2 tanaman sampel. Sampel yang dianalisis sebanyak 2 ulangan. Metode kerja dapat dilihat pada lampiran 23. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam meningkatkan pertumbuhan tanaman yang diamati melalui peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah anakan dan jumlah cabang umur 16 MST. Periode pencahayaan yang berbeda menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk. Rata-rata pertumbuhan bahan tanam in vitro pada berbagai periode pencahayaan lebih baik dibanding bahan tanam setek pucuk Gambar 24. Gambar 24. Perbedaan pertumbuhan tanaman antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk. TT = tinggi tanaman cm, JD = jumlah daun, IKD = indeks kehijauan daun, PD = panjang daun cm, LD = lebar daun cm, JA = jumlah anakan, JC = jumlah cabang. 19 98.4

1.7 13.1

6.7 18

6.8 19.4

85.8

1.66 13.9

6.7 15.4

4.6 Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 18, 19 dan 20 menunjukkan bahwa pertumbuhan bahan tanam in vitro lebih baik dibanding bahan tanam setek pucuk. Pertumbuhan bahan tanam in vitro maksimum diperoleh pada naungan 50 selama 4 bulan. Tinggi tanaman 24.2 cm, panjang daun terpanjang 17.6 cm dan lebar daun terlebar 9.0 cm maksimum dihasilkan pada naungan 50 selama 4 bulan, sedangkan jumlah daun terbanyak 131.3 pada naungan 50 selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100. Jumlah anakan 21.0 dan jumlah cabang terbanyak 8.5 pada bahan tanam asal in vitro masing-masing diperoleh pada naungan 50 selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100, dan naungan 50 selama 4 bulan. Pertumbuhan tanaman berbeda sangat nyata antara yang tumbuh pada cahaya 100 dengan yang diberi naungan, dan antara naungan 25 dengan naungan 50. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun terpanjang, lebar daun terlebar, 20 40 60 80 100 120 TT JD IKD PD LD JA JC Peubah Pertumbuhan Tanaman In Vitro Setek Pucuk jumlah anakan dan jumlah cabang pada umur 16 MST, lebih tinggi pada perlakuan naungan dibanding yang tumbuh pada cahaya 100 selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan tanaman pada naungan 50 juga lebih tinggi dari naungan 25, kecuali lebar daun terlebar, jumlah anakan dan jumlah cabang Tabel 18, 19 dan 20. Pertumbuhan yang lebih pesat pada tanaman yang diberi naungan disebabkan karena morfogenesis tanaman yang lebih cepat karena peningkatan zat pengatur tumbuh tanaman endogen terutama auksin dan giberelin. Menurut Devlin dan Witham 1983 bahwa tanaman dalam naungan memiliki kandungan giberelin dan auksin yang tinggi dan berpengaruh pada plastisitas dinding sel sehingga morfogenesis tanaman mengalami peningkatan. Kemampuan pertumbuhan bahan tanam asal in vitro disebabkan karena plantlet yang dihasilkan memiliki kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Pada kultur in vitro penggunaan media MS yang mengandung sejumlah unsur hara makro dan mikro esensial, vitamin dan asam-asam amino komposisi media MS-Lampiran 5 serta penggunaan IAA dan BAP sebagai zat pengatur tumbuh eksogen dari golongan auksin dan sitokinin memungkinkan pertumbuhan plantlet di lapang lebih baik dibandingkan dengan bahan tanam in vivo. Indeks Kehijauan Daun Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam secara terpisah berpengaruh nyata terhadap indeks kehijauan daun selama pertumbuhan tanaman, kecuali pada umur 4 MST terjadi interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap indeks kehijauan daun. Data yang disajikan pada Tabel 21 menunjukkan peningkatan indeks kehijauan daun sejak tanaman berumur 2 MST sampai dengan umur 16 MST. Peningkatan tertinggi diperoleh pada naungan 50 selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100 tetapi tidak berbeda nyata dengan naungan 50 selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100 dan naungan 50 selama 4 bulan. Berdasarkan sumber bahan tanam, indeks kehijauan daun tertinggi dihasilkan pada bahan tanam asal in vitro. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap indeks kehijauan daun terjadi pada umur 4 MST. Data pada Tabel 22 menunjukkan bahwa indeks kehijauan daun tertinggi pada bahan tanam asal in vitro 1.39 dihasilkan pada naungan 50 selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100, sedangkan pada setek pucuk 1.39 pada naungan 50 selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100. Indeks kehijauan daun terendah untuk kedua bahan tanam tersebut diperoleh pada perlakuan cahaya 100 selama 4 bulan. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya dan terkonsentrasi pada permukaan daun sehingga warna daun lebih hijau Salisbury dan Ross 1992. Tabel 22. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap indeks kehijauan daun umur 4 MST Sumber Bahan Tanam Rata-rata Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.72 e 1.05 d 1.20 bcd 1.30 abc 1.02 d 1.35 ab 1.36 ab 1.39 a 1.35 ab 0.77 e 1.10 d 1.08 d 1.07 d 1.11 d 1.12 cd 1.39 a 1.15 cd 1.14 cd 0.75 1.08 1.14 1.19 1.07 1.24 1.37 1.27 1.25 Rata-rata 1.19 1.10 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.751.20 1.121.28 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. = sangat nyata. Indeks Luas Daun ILD Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap ILD pada umur 0, 4, 12 dan 16 MST, sedangkan interaksi terjadi pada umur 8 MST Lampiran 13. Peningkatan ILD terjadi sejak tanaman berumur 4-16 MST dan ILD maksimum 2.72 pada umur 16 MST dihasilkan pada naungan 50 selama 4 bulan, sedangkan terendah 1.19 pada perlakuan cahaya 100 selama 4 bulan. Antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk juga menghasilkan ILD yang berbeda nyata. Bahan tanam in vitro menghasilkan ILD yang lebih tinggi 2.18 dibanding bahan tanam setek pucuk 2.12 Tabel 23. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap ILD terjadi pada umur 8 MST. Data yang disajikan pada Tabel 24 menunjukkan bahwa peningkatan ILD antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk berbeda nyata pada periode pencahayaan yang berbeda. Indeks luas daun bahan tanam in vitro maksimum dicapai pada naungan 50 selama 4 bulan dan lebih tinggi dibanding bahan tanam setek pucuk dengan ILD masing-masing 1.65 dan 1.15. Indeks luas daun terendah dihasilkan pada perlakuan cahaya 100 selama 4 bulan yang mencapai 0.29 dan 0.30, masing-masing untuk bahan tanam in vitro dan setek pucuk. Tabel 24. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap ILD umur 8 MST Sumber Bahan Tanam Rata-rata Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.29 h 0.84 g 1.34 bcde 1.33 bcde 1.34 bcde 1.49 abc 1.50 ab 1.61 a 1.65 a 0.30 h 1.25 de 1.31 cde 1.30 de 1.03 f 1.31 cde 1.42 bcd 1.04 f 1.15 ef 0.29 1.05 1.32 1.32 1.19 1.40 1.74 1.33 1.41 Rata-rata 1.27 1.13 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.291.35 1.221.47 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. = sangat nyata. Peningkatan ILD lebih tinggi pada tanaman yang diberi naungan dibanding yang tumbuh pada cahaya 100. Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal yang tertera pada Tabel 23 dan 24, perbedaan yang sangat nyata terjadi antara ILD cahaya 100 VS naungan dan naungan 25 VS naungan 50. Pencapaian ILD maksimum pada naungan 50, disebabkan karena meningkatnya jumlah dan luas daun pada perlakuan tersebut. Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan Bobot Basah Tajuk Peningkatan bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada umur 16 MST secara nyata dipengaruhi oleh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam Lampiran 13. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 25, peningkatan bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk tertinggi diperoleh pada naungan 50, disusul naungan 25 dan cahaya 100. Bahan tanam setek pucuk menghasilkan bobot panen tertinggi dibanding bahan tanam in vitro. Bobot brangkasan 90.92g, bobot basah umbi 33.00g dan bobot basah tajuk 57.92g tertinggi untuk perlakuan periode pencahayaan diperoleh pada naungan 50 selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100, sedangkan untuk masing-masing bahan tanam, hasil tertinggi diperoleh pada bahan tanam setek pucuk yang menghasilkan bobot brangkasan 79.43g, bobot basah umbi 28.78g dan bobot basah tajuk 50.65g. Tabel 25. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk pada saat panen 16 MST. Perlakuan Bobot Brangkasan g Bobot Basah Umbi g Bobot Basah Tajuk g Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 65.08 bc 84.42 ab 67.08 abc 70.00 abc 66.42 bc 90.92 a 47.75 c 75.25 ab 61.83 bc 25.58 ab 32.52 a 19.00 ab 25.67 ab 20.75 ab 33.00 a 13.42 b 28.33 a 24.92 ab 39.5 bc 51.92 ab 40.08 abc 44.33 abc 45.67 abc 57.92 a 34.33 c 46.92 abc 36.92 bc Bahan Tanam in Vitro Bahan Tanam Setek pucuk 60.30 b 79.43 a 20.82 b 28.78 a 39.48 b 50.65 a Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 65.0870.46tn 71.9868.94tn 25.5824.7tn 24.4924.92tn 39.544.76tn 45.544.02tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT. tn = tidak berbeda nyata Berdasarkan hasil uji kontras ortogonal, meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bobot basah tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan dan cahaya 100, tetapi bobot brangkasan dan bobot tajuk lebih tinggi pada tanaman naungan. Pertambahan bobot segar tanaman tersebut disebabkan karena pertumbuhan tanaman pada kondisi naungan lebih pesat. Daun dewa telah dilaporkan dapat tumbuh baik pada kondisi ternaungi Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan Maryani 2003. Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dan daun yang lebih lebar Suharmiati dan Maryani 2003. Jumlah Stomata, Jumlah Trichoma dan Tebal Daun Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata dan tebal daun, sedangkan jumlah trichoma secara nyata hanya dipengaruhi oleh periode pencahayaan. Terdapat interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap tebal daun Lampiran 13. Periode pencahayaan menghasilkan jumlah stomata dan trichoma yang berbeda nyata Tabel 26 dan Gambar 25, 26. Jumlah stomata bahan tanam in vitro dan setek pucuk juga berbeda nyata, sedangkan jumlah trichoma tidak berbeda nyata. Jumlah stomata terbanyak 8.4 ditemukan pada naungan 25 selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100 dan tidak berbeda nyata dengan cahaya 100 selama 4 bulan dengan jumlah stomata 7.9. Untuk jumlah trichoma, jumlah terbanyak 6.4 ditemukan pada cahaya 100 selama 4 bulan, sedangkan jumlah yang paling sedikit 4.0 pada naungan 50 selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100. Jumlah stomata dan trichoma bahan tanam setek pucuk lebih banyak dari bahan tanam in vitro. Tabel 26. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap jumlah stomata, jumlah trichoma pada saat panen 16 MST. Perlakuan Jumlah stomata Jumlah trichoma Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 7.9 a 8.4 a 6.7 b 7.0 b 6.2 bc 6.8 b 6.7 b 5.9 cd 5.4 d 6.4 a 4.6 bc 4.2 bc 4.8 bc 4.8 b 4.3 bc 4.8 b 4.0 c 4.6 bc Bahan Tanam in Vitro Bahan Tanam Setek pucuk 6.6 b 7.0 a 4.8 4.7 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 7.96.6 7.16.2 6.44.5 4.64.4tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT. tn = tidak berbeda nyata, = sangat nyata. Tabel 27. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap tebal daun µm umur 16 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 27.54 bcdef 31.69 ab 24.38 fg 28.12 bcdef 23.64 fg 25.98 def 25.13 efg 24.31 fg 21.09 gh 31.14 abc 33.39 a 31.66 ab 25.61 ef 26.84 cdef 24.18 fg 30.13 abcd 29.03 abcde 19.36 h 29.34 32.54 28.02 26.87 25.24 25.08 27.63 26.67 20.22 Rata-rata 25.76 27.93 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 29.3426.52 28.1724.9 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. = sangat nyata. Jumlah stomata dan trichoma pada daun tanaman yang tumbuh pada cahaya 100 lebih banyak dibanding dengan daun tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan. Pada naungan 25, jumlah stomata dan trichoma masih lebih banyak dari naungan 50. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin rendah intensitas cahaya, maka jumlah stomata dan trichoma akan semakin berkurang. Liakoura 1997 melaporkan bahwa kerapatan trichoma dan stomata Olea europaea lebih rendah pada daun yang dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Pada tanaman kedelai juga terjadi penurunan jumlah stomata dan trichoma pada intensitas cahaya 50 Lamuhuria 2007. S Jumlah stomata pada cahaya 100 selama 4 bulan S Jumlah stomata pada naungan 25 selama 4 bulan Jumlah stomata pada naungan 50 selama 4 bulan S Gambar 25. Stomata pembesaran 40x pada berbagai periode pencahayaan umur 16 MST. S = stomata. T Jumlah trichoma pada cahaya 100 selama 4 bulan T Jumlah trichoma pada naungan 25 selama 4 bulan T Jumlah trichoma pada naungan 50 selama 4 bulan Gambar 26. Trichoma pembesaran 40x pada berbagai periode pencahayaan umur 16 MST. T = trichoma. Tebal Daun Ketebalan daun pada cahaya 100 selama 4 bulan Tebal Daun Ketebalan daun pada naungan 25 selama 4 bulan Tebal Daun Ketebalan daun pada naungan 50 selama 4 bulan Gambar 27. Ketebalan daun pembesaran 100x pada berbagai periode pencahayaan umur 16 MST. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam secara nyata menghasilkan perbedaan tebal daun. Data hasil pengukuran tebal daun yang disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 27 menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase naungan, menghasilkan ukuran daun yang semakin tipis pada kedua bahan tanam. Tebal daun tertinggi 33.39 µm diperoleh pada bahan tanam setek pucuk yang tumbuh pada naungan 25 selama 1 bulan dan 3 bulan cahaya 100, sedangkan tebal daun terendah 19.36 µm dihasilkan pada bahan tanam setek pucuk yang tumbuh pada naungan 50 4 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama periode tumbuh tanaman pada cahaya 100 menghasilkan daun yang lebih tebal, sedangkan semakin lama pertumbuhan tanaman pada naungan 50 menghasilkan daun yang lebih tipis. Penipisan daun pada intensitas cahaya yang rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil Taiz dan Zeiger 1991. Laju Tumbuh Relatif RGR, Nisbah Luas Daun LAR dan Laju Asimilasi Bersih NAR Periode pencahayaan berpengaruh nyata terhadap RGR, LAR dan NAR umur 0-16 MST, sedangkan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap RGR umur 4- 16 MST, LAR umur 4-12 MST dan NAR umur 0-16 MST. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terjadi terhadap RGR, LAR dan NAR sampai umur 12 MST lampiran 13. Tabel 28. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap RGR gghari pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 12-16 MST. Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 12-16 MST Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.013 d 0.044 abc 0.045 abc 0.038 c 0.041 bc 0.043 bc 0.050 a 0.050 a 0.048 ab 0.041 cd 0.040 d 0.055 a 0.054 a 0.051 ab 0.052 ab 0.052 ab 0.053 a 0.046 bc 0.062 a 0.052 ab 0.030 bc 0.042 ab 0.040 ab 0.042 ab 0.014 c 0.037 abc 0.031 bc Bahan Tanam in Vitro Bahan Tanam Setek pucuk 0.042 0.040 0.057 0.041 0.031 b 0.047 a Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.0130.045 0.0420.048 0.0410.05 0.050.051tn 0.0620.036 0.0410.031tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT. tn = tidak berbeda nyata, = sangat nyata. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 28, 30 dan 32, RGR dan NAR pada tanaman yang tumbuh dalam naungan 50 cenderung mengalami penurunan sejak umur 12-16 MST, dibanding pada naungan 25 dan cahaya 100, sedangkan LAR mengalami penurunan sejak umur 8-16 MST. Penurunan LAR pada naungan 25 dan cahaya 100 lebih tinggi dibanding naungan 50. Periode pencahayaan yang menghasilkan RGR maksimum diperoleh pada naungan 50 selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100 untuk RGR 0-8 MST dan cahaya 100 4 bulan untuk RGR umur 8-16 MST. Untuk LAR maksimum diperoleh pada naungan 50 selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100, sedangkan NAR maksimum pada cahaya 100 selama 4 bulan umur 16 MST. Untuk perlakuan sumber bahan tanam, RGR dan NAR setek pucuk lebih tinggi dari bahan tanam in vitro, kecuali LAR. Tabel 29. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap RGR gghari umur 8-12 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.017 bc 0.009 de 0.008 de 0.009 de 0.007 de 0.005 e 0.007 de 0.005 e 0.009 de 0.033 a 0.010 de 0.008 de 0.014 cd 0.010 de 0.007 de 0.007 de 0.005 e 0.022 b 0.025 0.009 0.008 0.012 0.009 0.006 0.007 0.005 0.016 Rata-rata 0.008 0.013 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.0250.009 0.00950.0085tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. tn = tidak nyata, = sangat nyata. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap RGR dan NAR umur 8-12 MST dan LAR umur 12 MST. Data yang disajikan pada Tabel 29, 31 dan 33 menunjukkan perbedaan RGR, LAR dan NAR yang nyata antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk pada berbagai periode pencahayaan. Laju tumbuh relatif maksimum 0.033 gghari, LAR maksimum 211.63 cm 2 g dan NAR maksimum 0.00016 gcm 2 hari pada umur 8-12 MST dihasilkan pada bahan tanam setek pucuk dan periode pencahayaan 100. Tabel 31. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap LAR cm 2 g umur 12 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 157.01 bc 156.93 bc 167.51 bc 159.31 bc 184.39 b 174.72 bc 153.09 c 175.06 bc 162.31 bc 211.63 a 164.95 bc 168.16 bc 161.87 bc 178.35 bc 169.09 bc 177.80 bc 163.75 bc 173.95 bc 184.32 160.94 167.84 160.59 181.37 171.91 165.45 169.40 168.13 Rata-rata 165.59 174.40 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 184.32168.2 167.69168.72tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. tn = tidak nyata, = nyata. Tabel 32. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap NAR gcm 2 hari pada umur tanaman 0-4, 4-8 dan 12-16 MST. Perlakuan 0-4 MST 4-8 MST 12-16 MST Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.00020 c 0.00033 a 0.00032 ab 0.00023 c 0.00023 c 0.00022 c 0.00025 bc 0.00025 bc 0.00026 bc 0.00048 a 0.00027 c 0.00034 b 0.00032 bc 0.00032 bc 0.00031 bc 0.00030 bc 0.00032 b 0.00026 c 0.00093 a 0.00071 ab 0.00033 bc 0.00058 abc 0.00044 abc 0.00050 abc 0.00012 c 0.00035 bc 0.00027 bc Bahan Tanam in Vitro Bahan Tanam Setek pucuk 0.00024 b 0.00027 a 0.00039 a 0.00026 b 0.00031 b 0.00063 a Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.00020.00026 0.000280.00025 0.000480.00031 0.000310.0003tn 0.000930.00041 0.000520.00031tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 DMRT. tn = tidak berbeda nyata, = nyata, = sangat nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara RGR, LAR dan NAR dalam pertumbuhan tanaman. Penurunan nilai LAR, meningkatkan RGR dan NAR karena efisiensi setiap satuan luas daun untuk menghasilkan bahan kering tanaman lebih tinggi. Sebaliknya apabila LAR meningkat, maka efisiensi daun dalam berfotosintesis rendah yang ditunjukkan oleh peningkatan rasio luas daun dalam menghasilkan bahan kering tanaman. Semakin luas permukaan daun untuk menghasilkan bahan kering tanaman, dinyatakan sebagai daun yang memiliki efisiensi yang rendah dalam menghasilkan bahan kering tanaman Sitompul dan Guritno 1995. Tabel 33. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap NAR gcm 2 hari umur 8-12 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.00014 ab 0.00006 cd 0.00005 cde 0.00006 cd 0.00004 de 0.00004 de 0.00005 cde 0.00003 e 0.00006 cd 0.00016 a 0.00006 cd 0.00005 cde 0.00008 c 0.00006 cd 0.00005 cde 0.00004 de 0.00004 de 0.00013 b 0.00015 0.00006 0.00005 0.00007 0.00005 0.00004 0.00005 0.00003 0.00010 Rata-rata 0.000059 0.000073 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.000150.00006 0.000060.00005tn Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. tn = tidak nyata, = sangat nyata. Peningkatan luas daun yang cukup pesat pada naungan 50 akan terjadi saling menaungi antara daun yang satu dengan lainnya, sehingga daun yang ternaungi tidak efektif dalam melakukan fotosintesis. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan antara peningkatan luas daun dan bobot kering tanaman yang ditunjukkan dengan nilai RGR dan NAR. Tanaman yang tumbuh pada kondisi ternaungi, luas daun lebih tinggi dari tanaman yang tumbuh pada cahaya 100 tetapi RGR dan NAR lebih rendah. Fichtner et al. 1995 menyebutkan bahwa laju pertumbuhan tanaman meningkat secara linier dengan meningkatnya fotosintesis, tetapi akan terjadi penurunan produksi bahan kering per satuan luas daun apabila terjadi pembatasan fotosintesis yang disebabkan oleh efisiensi daun yang rendah. Apabila tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, maka cahaya yang jatuh pada bagian permukaan tajuk bagian bawah akan semakin sedikit jika letak daun dalam bidang vertikal mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis daun-daun lapisan tajuk bawah akan semakin rendah Gent 1995. Kandungan Enzim Superoxide Dismutase dan Klorofil Daun Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan enzim superoxide dismutase SOD, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil ab dan total klorofil Lampiran 13. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh nyata terhadap kandungan enzim SOD umur 16 MST. Data yang disajikan pada Tabel 34 menunjukkan bahwa periode pencahayaan yang berbeda menghasilkan kandungan SOD yang berbeda antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk. Semakin tinggi persentase naungan, kandungan SOD kedua bahan tanam juga semakin meningkat. Kandungan SOD terendah 0.020 µmolg dihasilkan bahan tanam in vitro pada periode pencahayaan 100 selama 4 bulan, sedangkan SOD tertinggi 0.051 µmolg terdapat pada bahan tanam setek pucuk dengan naungan 50 selama 4 bulan. Rata-rata kandungan SOD tertinggi dihasilkan pada bahan tanam setek pucuk Gambar 28. Tabel 34. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap kandungan total enzim SOD µmolg umur 16 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.020 h 0.023 h 0.023 h 0.036 c 0.029 fg 0.030 efg 0.034 cd 0.033 cd 0.036 c 0.025 g 0.033 cd 0.030 efg 0.047 b 0.032 def 0.028 fg 0.046 b 0.047 b 0.051 a 0.023 0.028 0.027 0.041 0.031 0.029 0.040 0.040 0.043 Rata-rata 0.029 0.038 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.0230.035 0.0320.038 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. = sangat nyata. 0.029 0.07 0.038 0.07 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 SOD Total Klorofil In Vitro Setek Pucuk Gambar 28. Kandungan enzim SOD µmolg dan total klorofil mgg bahan tanam daun dewa asal in vitro dan setek pucuk umur 16 MST. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama tanaman daun dewa tumbuh pada naungan 50, kandungan SOD semakin meningkat. Enzim SOD adalah enzim yang berfungsi mencegah peningkatan O 2 - dalam kloroplas yang menyebabkan kerusakan membran tilakoid Hideg 1997. Peningkatan total enzim SOD pada daun dewa dalam kondisi naungan mengindikasikan peningkatan penghambatan terhadap aktivitas O 2 - , sehingga kloroplas tidak terdegradasi. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas O 2 - menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka Ismail et al. 2001. Hasil analisis kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil ab dan total klorofil tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada semua perlakuan yang dicobakan Tabel 35. Kandungan klorofil a pada cahaya 100 selama 4 bulan adalah 0. 045 mgg, sedangkan pada naungan 50 selama 4 bulan 0.043 mgg. Klorofil a terendah dihasilkan pada naungan 25 selama 3 dan 4 bulan 0.039 mgg. Klorofil b cahaya 100 memiliki kandungan yang sama dengan naungan 50 selama 4 bulan yaitu 0.031 mgg dan lebih rendah dari klorofil a, sedangkan rasio klorofil ab pada cahaya 100 lebih tinggi 1.452 dibanding dengan naungan 50 selama 4 bulan 1.387. Penurunan rasio klorofil ab pada naungan 50 selama 4 bulan dibanding dengan cahaya 100 4 bulan disebabkan karena kandunan klorofil a lebih rendah dari cahaya 100, sedangkan klorofil b memiliki kandungan yang sama. Total klorofil pada naungan 50 selama 4 bulan lebih rendah dari cahaya 100, sedangkan total klorofil antara bahan tanam in vitro dan setek pucuk tidak berbeda nyata Gambar 28. Hidema et al. 1992 melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan rasio klorofil ab karena terjadi peningkatan protein klorofil ab pada LHC II. Proporsi klorofil b lebih besar dibanding dengan klorofil a pada tanaman naungan serta ukuran kloroplas lebih besar Lee et al. 1985. Kandungan Total Flavonoid dan Antosianin Periode pencahayaan dan sumber bahan tanam berpengaruh pada peningkatan kandungan total flavonoid dan antosianin umur 16 MST. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 36 dan 37, total flavonoid 12.71 dan antosianin 0.064 tertinggi dihasilkan pada bahan tanam in vitro yang ditumbuhkan pada naungan 50 selama 1 bulan, kemudian diekspos ke cahaya 100 selama 3 bulan. Tabel 36. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa terhadap kandungan total flavonoid daun umur 16 MST. Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 5.75 8.76 7.91 10.71 9.93 12.71 9.78 12.21 11.41 6.13 8.85 8.44 12.43 10.38 10.12 12.31 11.62 9.75 5.94 8.81 8.18 11.57 10.16 11.42 10.05 11.92 10.58 Rata-rata 9.91 10.00 Tabel 37. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap kandungan antosianin daun umur 16 MST Sumber Bahan Tanam Periode Pencahayaan in Vitro Setek Pucuk Rata-rata Cahaya 100 4 bulan Naungan 25 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 25 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 25 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 25 4 bulan Naungan 50 1 bulan, 3 bulan cahaya 100 Naungan 50 2 bulan, 2 bulan cahaya 100 Naungan 50 3 bulan, 1 bulan cahaya 100 Naungan 50 4 bulan 0.031 def 0.036 d 0.048 bc 0.044 c 0.044 c 0.064 a 0.035 de 0.046 bc 0.052 b 0.015 h 0.026 fg 0.023 g 0.025 fg 0.026 fg 0.035 de 0.036 d 0.028 efg 0.031 def 0.023 0.031 0.035 0.035 0.035 0.050 0.036 0.037 0.042 Rata-rata 0.045 0.027 Uji Kontras Ortogonal Cahaya 100 VS Naungan Naungan 25 VS Naungan 50 0.0230.038 0.0340.041 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata uji DMRT 5. = sangat nyata. Hasil rata-rata kandungan antosianin dari kedua bahan tanam pada periode pencahayaan yang berbeda-beda juga tertinggi dihasilkan pada bahan tanam in vitro, meskipun rata-rata total flavonoid sedikit lebih tinggi pada setek pucuk Gambar 29. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin dan total flavonoid disebabkan karena bahan tanam, pengaruh naungan dan pengaruh stres cahaya. Kandungan antosianin dan total flavonoid tertinggi yang diperoleh pada bahan tanam in vitro disebabkan karena plantlet yang digunakan adalah plantlet berkandungan antosianin tinggi. Pada studi in vitro melalui penggunaan komposisi media MS yang mengandung IAA dan sukrosa memacu peningkatan antosianin pada plantlet. Pada kondisi lapang, pengaruh naungan dan stres cahaya melalui perlakuan periode pencahayaan lebih memacu peningkatan kandungan antosianin dan total flavonoid daun dewa. 0.045 0.027 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 In Vitro Setek Pucuk Ka da r Ant o s ia n in a b

9.91 10