Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan

(1)

PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)

ASAL KULTUR IN VITRO PADA KONDISI NAUNGAN

DAN PEMUPUKAN

NIRWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “ Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan “ adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007 Nirwan


(3)

NIRWAN. Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Latifah K. Darusman, Sandra A. Aziz dan Munif Ghulamahdi.

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) adalah tumbuhan obat yang menghasilkan senyawa bioaktif berupa golongan senyawa flavonoid yang telah digunakan sebagai bahan obat tradisional alami untuk mengobati beberapa jenis penyakit khususnya tumor atau kanker pada manusia. Upaya untuk meningkatkan kadar senyawa bioaktif dalam tanaman dilakukan melalui perbaikan kualitas bahan tanam, optimalisasi pemanfaatan cahaya dan pemupukan. Untuk memenuhi hal tersebut, dilakukan percobaan dalam empat tahap masing-masing mempelajari : (1) multiplikasi tunas secara in vitro, (2) induksi akar dan antosianin secara in vitro, (3) pertumbuhan dan kandungan bioaktif bahan tanam asal in vitro dan setek pucuk pada berbagai periode pencahayaan dan (4) produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro

pada berbagai periode pencahayaan dan pemupukan. Pada hasil studi in vitro

diperoleh komposisi media kultur terbaik yang menghasilkan plantlet dengan kandungan antosianin yang tinggi. Komposisi media MS dengan penambahan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l menghasilkan plantlet terbanyak (2.7) dan kandungan antosianin tertinggi (0.07%). Pada proses pertumbuhan di lapang yang menggunakan berbagai periode pencahayaan, bahan tanam asal kultur in vitro adalah bahan tanam terbaik yang menghasilkan pertumbuhan dan kandungan antosianin lebih tinggi (0.05%) dibanding setek pucuk (0.03%). Pada penelitian ini juga ditemukan periode pencahayaan yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi flavonoid tertinggi, serta aspek mekanisme adaptasi fisiologi dan morfo-anatomi tanaman. Pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, dihasilkan produksi total flavonoid (1.61g/tanaman) dan kuersetin (0.02g/tanaman) tertinggi, sedangkan produksi antosianin tertinggi (0.17%) diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%. Adaptasi tanaman pada kondisi naungan juga menyebabkan peningkatan kandungan klorofil, aktivitas enzim SOD, tumpukan grana dan ukuran butir pati dari kloroplas serta penurunan jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun di akhir percobaan. Pada percobaan pemupukan diperoleh komposisi media tanam terbaik yang menghasilkan produksi flavonoid tertinggi. Perbaikan media tanam dengan pemupukan semakin meningkatkan pertumbuhan dan produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro. Penggunaan dosis maksimum dari pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid per tanaman

(1.61g/tanaman) dan antosianin per tanaman (0.17g/tanaman) tertinggi, sedangkan produksi kuersetin per tanaman tertinggi (0.02g/tanaman) dihasilkan pada dosis pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman. Dari seluruh hasil penelitian yang diperoleh,

bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro menghasilkan pertumbuhan, produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin lebih tinggi pada kondisi naungan dan pemupukan dibanding cahaya 100% dan tanpa pemupukan.

Kata kunci : Gynura pseudochina, in vitro, naungan, pemupukan, produksi flavonoid, antosianin, kuersetin.


(4)

NIRWAN. Flavonoids Production of in Vitro Gynura pseudochina (L.) DC in Shading Condition and Fertilizing. Under supervision of Didy Sopandie, Latifah K. Darusman, Sandra A. Aziz and Munif Ghulamahdi.

Gynura pseudochina (L.) DC is a medicinal plant that produce bioactives

compound, such as flavonoids that are used for tumor or cancer medication for human. The content of bioactive compound can be increased through improving seedling quality, lighting periods and fertilizing. Four experiments have been carried out, they were : (1) in vitro shoot multiplications, (2) in vitro root and anthocyanins induction, (3) increasing growth and bioactives content of in vitro seedlings and shoot cuttings in different lighting periods, and (4) flavonoids production of in vitro

seedlings in different lighting periods and fertilizer. Results of in vitro studies, produced the best medium composition to produce plantlets with high anthocyanins content. Addition of IAA 0.5 ppm, sucrose 30g/l to MS medium produced higher number of plantlets (2.7) and anthocyanins content (0.07%). The field experiment using lighting periods showed that in vitro plantlets was better than shoot cuttings in the growth rate and anthocyanins content e.g: 0.05 and 0.03% respectively. From this research also found that lighting periods are produced the growth and highest flavonoids production, along with physiology and morpho-anatomycal adaptation mechanism. At the treatment of 50% shading up to three months and one month of full light, produced highest of total flavonoids (1.61g/plant) and quercetin content (0.02g/plant), while the highest of anthocyanins content (0.17g/plant) produced at the treatment of 25% shading up to two months and two months of full light. Plant adaptation to shading condition the increased total chlorophyll content, SOD enzymes activity, chloroplast size (stack granum and starch grain), while the number of stomata, trichome and the thickness of leaves were decreased at the end of the experiment. At the fertilizing experiment found that the best medium composition produced the highest flavonoids production. In vitro seedlings growth and flavonoids production were improved by the treatment of fertilizer. Maximum dosage of fertilizer was chicken manure 100g + SO4 0.8g/plant, which gave the highest of total

flavonoids per plant (1.61g/plant) and anthocyanins per plant (0.17g/plant). While the quercetin productions per plant (0.02g/plant) produced at dosage of manure 50g + SO4 0.4g/plant. All results of experiments showed that the in vitro seedlings produced

higher growth, total flavonoids production, anthocyanins and quercetin at shading condition and fertilizing compared to full light and without fertilizing.

Keyword : Gynura pseudochina, in vitro, shading, fertilizing, flavonoid production, anthocyanin, quercetin.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

DAN PEMUPUKAN

NIRWAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan

Nama Mahasiswa : Nirwan Nomor Pokok : A 361030081

Disetujui Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S. Ketua Anggota

Dr. Ir. Sandra A. Aziz, M.S. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(8)

Penulis lahir di Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 20 Oktober 1966, merupakan putra kelima dari enam bersaudara dari Ayah Sahiri Rituntina (almarhum) dan Ibu Hj. Sohomi Lariua (almarhumah). Penulis menikah dengan Dra. Kusnaeni Ramadhani dan telah dikaruniai tiga orang anak.

Pada Juli 1985, diterima di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu jurusan Budidaya Pertanian program studi Agronomi dan menyelesaikan studi pada bulan Desember 1991. Bulan Juli 1996 mengikuti Program Pascasarjana S2 di

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Agronomi dan menyelesaikan studi pada Maret 1999. Selanjutnya sejak Agustus 2003 mengikuti pendidikan S3 di

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Agronomi. Sejak bulan Maret 1993 menjadi staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu Sulawesi Tengah.

Sebagian dari disertasi ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Perbenihan pada tanggal 14 Agustus 2005 di Universitas Tadulako, serta dipublikasikan dalam Prosiding Seminar, Buletin Agronomi Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan Jurnal Agrokultur. Dua makalah telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Hasil Penelitian yang dibiayai Hibah Kompetitif pada tanggal 1-2 Agustus 2007 di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan dipublikasikan dalam Prosiding Seminar.


(9)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas hidayah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “ Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan “.

Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S., Dr. Ir. Sandra A. Aziz, M.S., dan Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang tulus atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan membimbing penulis.

Penelitian dan penyelesaian disertasi ini sebagian didanai oleh Program Penelitian Payung yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor dan Hibah Bersaing XIV tahun 2006, karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.S. selaku Kepala Pusat Studi Biofarmaka IPB, Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S., Dr. Ir. Sandra A. Aziz dan Irmanida Batubara, S.Si. M.Si., sebagai Ketua dan Anggota Tim Peneliti Hibah Bersaing XIV.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan juga kepada:

1. Dirjen DIKTI yang telah memberikan Beasiswa BPPS.

2. Rektor Universitas Tadulako Palu yang telah memberikan izin tugas belajar dan sebagian bantuan dana penelitian.

3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah mengizinkan penulis untuk melanjutkan studi.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Agronomi yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor.

5. Prof. Dr. Ir. Mappiratu, M.S., Prof. Dr. Ir. Fathurrahman, M.P. dan Prof. Dr. Ir. Abdul Main Labaso, M.S. yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Dr. Ir. Wahyu Q. Mugnisjah, M.Agr selaku Pembimbing Akademik saat penulis


(10)

perbaikan usulan penelitian dan pelaksanaan penelitian.

8. Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S selaku penguji luar komisi saat pelaksanaan ujian tertutup yang telah memberikan saran-saran dan koreksi untuk perbaikan disertasi. 9. Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, M.S selaku penguji luar komisi saat

pelaksanaan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan koreksi untuk penyempurnaan tulisan ini. .

10.Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr. selaku penguji luar komisi saat pelaksanaan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan koreksi untuk penyempurnaan tulisan ini.

11.Kepala dan Staf Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fak. Pertanian IPB atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya. 12.Kepala dan Staf Instalasi Biofarmaka Cikabayan Pusat Studi Biofarmaka IPB atas

kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

13.Kepala beserta Staf Laboratorium Ekofisiologi Tanaman dan Laboratorium RGCI Fak. Pertanian IPB atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

14.Kepala dan Staf Laboratorium Histologi Seameo Biotrop Bogor atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

15.Kepala dan Staf Laboratorium Kimia Pusat Studi Biofarmaka IPB, Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB dan PT. Biofarindo atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

16.Kepala dan Staf Laboratorium Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

17.Kepala dan Staf Laboratorium Biologi Molekuler Institut Eijkman Jakarta atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

18.Kepala dan Staf Laboratorium Pasca Panen Cimanggu atas kerjasama, kebersamaan dan bantuannya.

19.Kepala dan Staf Stasion Klimatologi Darmaga atas bantuannya.

20.Dr. Ir. La Muhuria, M.P., Dr. Ir. Kisman, M.Sc., Dr. Ir. Desta Wirnas, M.Si., Ir. Imam Widodo, M.S, Tri Lestari, SP. M.Si., Kartika Ning Tyas, SP. M.Si., Ardianto Mufa’adi, SP. MSi, Wenny, SP. M.Si, Haerana, SP. M.Si., Khairul Asri, SP. M.Si., Ade Nena, SP. M.Si, Ir. Susiyanti, M.Si, Mustika Tripatmasari, SP.,


(11)

21.Ayahanda Sahiri Rituntina (alm) dan Ibunda Hj. Sohomi Lariua (alm) yang telah mendidik dan membesarkan serta selalu berpesan untuk menjadi orang yang taat beragama dan berbuat baik kepada sesama.

22.Ibu mertua M.N. Minten dan seluruh keluarga di Palu, Umi Mintarsih beserta seluruh keluarga di Bogor, Paman Yoli Lariua dan Paman Mayor (Pol) Asmu Rituntina atas do’a, dorongan dan bantuannya.

23.Kakak, adik dan ponakan sekeluarga: Hj. Erni Sahiri, H. Awaluddin Runggo, Udin Sahiri, Rosmina Sahiri, Suwarni Sahiri, Marwan Karim, SE. M.Si., Mohammad Rizal Sahiri, Linda, SE. dan Hermawan, SE., atas iringan do’a dan motivasinya.

24.Istri tercinta Dra. Kusnaeni Ramadhani dan anak-anakku tersayang: Agrian Rizki Kuswanto, Ahmad Dwi Prasetya dan Ade Triyanto Hidayat atas do’a, dorongan, kesabaran, pengertian dan pengorbanannya.

25.Rekan-rekan di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Tengah di Bogor, Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Agronomi SPs. IPB dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Pascasarjana IPB (Forum Wacana), serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan.

Semoga karya ini bermanfaat bagi pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian. Amin.

Bogor, Agustus 2007


(12)

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Rumusan Masalah... 3

Tujuan Penelitian... 4

Kerangka Pemikiran... 4

Hipotesis... 5

Ruang Lingkup Penelitian... 5

TINJAUAN PUSTAKA... 7

Botani, Penyebaran dan Manfaat Daun Dewa... 7

Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid... 9

Kultur In Vitro Tanaman Daun Dewa... 12

Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tanaman... 14

Pupuk Organik dan An organik... 22

MULTIPLIKASI TUNAS DAUN DEWA(Gynura pseudochina (L.) DC) SECARA IN VITRO... 27

ABSTRAK... 27

ABSTRACT... 27

PENDAHULUAN... 28

Latar Belakang... 28

Tujuan... 29

BAHAN DAN METODE... 29

Waktu dan Tempat... 29

Bahan dan Alat... 29

Metode Penelitian... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN... 33

Warna Daun... 33

Jumlah Tunas... 34

Jumlah Daun... 36

Tinggi Tunas... 37

Jumlah Akar... 39

Diameter Kalus dan Jumlah Plantlet... 41

SIMPULAN... 42

INDUKSI AKAR DAN ANTOSIANIN DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC) SECARA IN VITRO... 43

ABSTRAK... 43

ABSTRACT... 43

PENDAHULUAN... 44

Latar Belakang... 44

Tujuan... 45

BAHAN DAN METODE... 45

Waktu dan Tempat... 45

Bahan dan Alat... 45


(13)

Jumlah Akar... 50

Tinggi Tunas dan Diameter Kalus... 51

Panjang Akar ... 53

Total Biomasa Plantlet, Jumlah Plantlet dan Total Antosianin 54 SIMPULAN... 56

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN SUMBER BAHAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN BIOAKTIF DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)... 57

ABSTRAK... 57

ABSTRACT... 57

PENDAHULUAN... 58

Latar Belakang... 58

Tujuan... 59

BAHAN DAN METODE... 60

Waktu dan Tempat... 60

Bahan dan Alat... 60

Metode Penelitian... 61

HASIL DAN PEMBAHASAN... 66

Pertumbuhan Tanaman... 66

Indeks Kehijauan Daun... 70

Indeks Luas Daun (ILD)... 72

Bobot Brangkasan, Bobot Basah Umbi dan Bobot Basah Tajuk... 74

Jumlah Stomata, Jumlah Trichoma dan Tebal Daun... 75

Laju Tumbuh Relatif (LTR), Nisbah Luas Daun (LAR) dan Laju Asimilasi Bersih (NAR)... 80

Kandungan Enzim Superoxide Dismutase (SOD) dan Klorofil Daun... 84

Kandungan Total Flavonoid dan Antosianin... 87

Analisis Korelasi Antara Peubah Pertumbuhan dan Anatomi Daun dengan Kandungan Antosianin... 90

SIMPULAN... 95

PENGARUH PERIODE PENCAHAYAAN DAN PEMUPUKAN TERHADAP PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC) ASAL KULTUR IN VITRO... 96

ABSTRAK... 96

ABSTRACT... 96

PENDAHULUAN... 97

Latar Belakang... 97

Tujuan... 98

BAHAN DAN METODE... 99

Waktu dan Tempat... 99

Bahan dan Alat... 99

Metode Penelitian... 99

HASIL DAN PEMBAHASAN... 105


(14)

Bobot Basah Tajuk... 110

Laju Tumbuh Relatif (RGR), Nisbah Luas Daun (LAR) dan Laju Asimilasi Bersih (NAR)... 111

Indeks Kehijauan Daun dan Kandungan Klorofil Daun... 115

Struktur Kloroplas... 118

Kandungan N, P, K dan SO4 pada Jaringan Tanaman... 121

Kandungan Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin... 123

Produksi Total Flavonoid, Antosianin dan Kuersetin Per Tanaman... 127

Analisis Korelasi Antara Peubah Pertumbuhan dengan Kandungan Antosianin... 130

SIMPULAN... 134

PEMBAHASAN UMUM... 135

SIMPULAN DAN SARAN... 143

Simpulan... 143

Saran... 144

DAFTAR PUSTAKA... 145

LAMPIRAN... 156


(15)

Nomor Halaman Teks

1. Kandungan flavonoid (mg/g) pada kulit apel ‘Jonagold’ yang

dipengaruhi posisi buah pada pohon... 21

2. Komposisi unsur hara kotoran ayam dan kotoran hewan lain... 22

3. Kombinasi perlakuan pemberian BAP dan IAA pada multiplikasi tunas daun dewa……….. 30

4. Pengaruh BAP terhadap warna daun tanaman daun dewa umur kultur 1-5 minggu setelah tanam (MST)……… 33

5. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas 1-5 MST……… 35

6. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah daun 3-5 MST……… 36

7. Interaksi BAP dan IAA terhadap tinggi tunas 1-5 MST………. 38

8. Pengaruh BAP dan IAA terhadap jumlah akar 1-5 MST……… 39

9. Pengaruh BAP terhadap diameter kalus dan jumlah plantlet pada akhir percobaan... 41

10. Kombinasi perlakuan berbagai konsentrasi IAA dan sukrosa pada pembentukan plantlet daun dewa... 46

11. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah tunas daun dewa umur kultur 1-8 MST... 48

12. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah daun daun dewa umur kultur 1-8 MST... 49

13. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap jumlah akar daun dewa umur kultur 1-8 MST... 50

14. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas dan diameter kalus daun dewa pada akhir percobaan... 51

15. Interaksi IAA dan sukrosa terhadap panjang akar plantlet daun dewa pada akhir percobaan... 53

16. Total Biomasa Plantlet, Jumlah plantlet dan total antosianin daun dewa pada akhir percobaan... 54


(16)

19. Panjang daun dan lebar daun pada berbagai periode pencahayaan

dan sumber bahan tanam daun dewa umur 16 MST... 68 20. Jumlah anakan dan jumlah cabang pada berbagai periode pencahayaan

dan sumber bahan tanam daun dewa umur 16 MST... 69 21. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap

indeks kehijauan daun pada umur 2-16 MST... 71 22. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap indeks kehijauan daun umur 4 MST... 72

23. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa

terhadap indeks luas daun (ILD) pada umur 0, 4, 12, dan 16 MST... 73 24. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap ILD umur 8 MST...74

25. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk

pada saat panen (16 MST)... 75

26. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa terhadap jumlah stomata, jumlah trichoma dan tebal daun

pada saat panen (16 MST)... 76 27. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap tebal daun (µm) umur 16 MST... 76 28. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa

terhadap RGR (g/g/hari) pada umur tanaman 0-4, 4-8, 12-16 MST ... 80 29. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap RGR (g/g/hari) umur 8-12 MST... 81 30. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap LAR (cm2/g) umur 12 MST... 82 31. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa

terhadap LAR (cm2/g) pada umur tanaman 0, 4, 8 dan 16 MST... 83 32. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam daun dewa

terhadap NAR (g/cm2/hari) pada umur 0-4, 4-8 dan 12-16 MST... 83 33. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam


(17)

35. Pengaruh periode pencahayaan dan sumber bahan tanam terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b dan total klorofil

umur 16 MST... 86 36. Interaksi antara periode pencahayaan dan sumber bahan tanam

terhadap kandungan antosianin (%) umur 16 MST... 88 37. Pengaruh periode pencahayaan dan bahan tanam daun dewa

terhadap kandungan total flavonoid umur 16 MST... 88 38. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, morfo-

anatomi daun, kandungan enzim SOD, klorofil daun dan kandungan

antosianin... 91 39. Kombinasi perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan...……... 100 40. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap tinggi

tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, jumlah anakan dan

jumlah cabang daun dewa umur 16 MST ... 107

41. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa

terhadap indeks luas daun (ILD) pada umur 0, 4, 8 dan12 MST ... 109 42. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap

ILD umur 16 MST... 109 43. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa

terhadap bobot brangkasan, bobot basah umbi dan bobot basah tajuk

pada saat panen (16 MST) ... 110 44. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa.

terhadap laju tumbuh relatif (RGR) (g/g/hari) pada umur tanaman

0-4, 4-8 dan 8-12 MST... 112 45. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap

RGR (g/g/hari) umur 12-16 MST... 112

46. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap nisbah luas daun (LAR) (cm2/g) pada umur tanaman

0, 4, 8 dan 16 MST ... 113 47. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap

LAR (cm2/g) umur 12 MST... 114 48. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap NAR


(18)

0-4, 8-12 dan 12-16 MST... 115 50. Interaksi antara periode pencahayaan dan pemupukan terhadap

indeks kehijauan daun umur 8 MST... 116 51. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan terhadap indeks

kehijauan daun tanaman daun dewa umur 2-16 MST... 117

52. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap kandungan klorofil a, klorofil b, rasio klorofil a/b

dan total klorofil pada umur tanaman 16 MST... 118

53. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa

terhadap kandungan N, P, K dan SO4 pada jaringan tanaman... 122

54. Pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan daun dewa terhadap

kadar antosianin umur 16 MST... 124 55. Koefisien korelasi antar peubah pertumbuhan, produksi, klorofil


(19)

Nomor Halaman Teks

1. Alur kegiatan penelitian... 6 2. Tanaman daun dewa : (a) tajuk tanaman, (b) tangkai dan mahkota

bunga, (c) akar tanaman dan (d) umbi akar... 7 3. Ring sistem dari senyawa flavonoid (a), struktur kimia kuersetin (b),

struktur kimia antosianin (c) (Vickery dan Vickery 1981)... 9 4. Biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981) : a, b. pembentukan

p-asam kumarat dari jalur asam sikimat, c. pembentukan malonil

CoA pada jalur asetat malonat... 10 5. Jalur reaksi pembentukan kalkon dan golongan flavonoid lainnya

(Jaakola 2003)... 11 6. Adaptasi tanaman melalui mekanisme penghindaran (avoidance)

pada intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)... 15 7. Adaptasi tanaman melalui mekanisme toleran (tolerance) pada

intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)... 17 8. Jalur biosintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000)... 18 9. Struktur kimia klorofil a dan b (Salisbury dan Ross 1992)... 19 10. Warna daun plantlet daun dewa untuk penentuan skor warna daun.

(1) = hijau, (2) = hijau keunguan, (3) = merah keunguan... 34 11. Tunas mikro daun dewa pada konsentrasi BAP dan IAA... 35 12. Interaksi BAP dan IAA terhadap jumlah tunas dan jumlah daun pada

akhir percobaan... 37 13.Jumlah akar pada berbagai konsentrasi IAA umur kultur kultur 5 MST. 40

14. Pengaruh konsentrasi IAA terhadap jumlah akar dan jumlah plantlet

daun dewa in vitro... 40 15. Diameter kalus, jumlah akar dan jumlah plantlet pada konsentrasi

BAP 0-3 ppm akhir percobaan... 41 16. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap jumlah


(20)

dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm (b)... 51 18. Grafik pengaruh interaksi antara IAA dan sukrosa terhadap tinggi tunas

dan diameter kalus pada akhir percobaan... 52 19. Grafik korelasi antara tinggi tunas dan diameter kalus pada

interaksi antara IAA dan sukrosa pada akhir percobaan... 52 20. Hubungan antara konsentrasi IAA dan sukrosa terhadap panjang

akar plantlet daun dewa umur kultur 8 MST... 53 21. Plantlet yang dihasilkan pada konsentrasi sukrosa 30, 40, 50 dan 60 g/l

(a) dan konsentrasi IAA 0, 0.5 dan 1 ppm (b)... 54 22. Grafik hubungan antara konsentrasi sukrosa terhadap jumlah

plantlet (A) dan kadar antosianin (B) umur kultur 8 MST... 55 23. Perlakuan periode pencahayaan dan sumber bahan tanam... 61 24. Perbedaan pertumbuhan tanaman antara bahan tanam in vitro dan

setek pucuk... 66 25. Stomata (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan... 77 26. Trichoma (pembesaran 40x) pada berbagai periode pencahayaan... 78 27. Ketebalan daun (pembesaran 100x) pada berbagai periode

pencahayaan... 79 28. Kandungan enzim SOD (µmol/g) dan total klorofil (mg/g) daun

bahan tanam daun dewa asal in vitro dan setek pucuk umur 16 MST... 85 29. Kandungan antosianin (a) dan total flavonoid (b) antara bahan tanam

in vitro dan setek pucuk umur 16 MST... 89 30. Perlakuan periode pencahayaan dan pemupukan... 100 31. Bahan tanam in vitro yang digunakan pada percobaan... 105 32. Tanaman daun dewa umur 16 MST perlakuan cahaya 100% (N0)

dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2(a), naungan 25% 4 bulan

(N4) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2(b), naungan 50% 4 bulan

(N8) dengan dosis pupuk P0, P1 dan P2(c). P0 = tanpa pemupukan,

P1 = pupuk kandang ayam 50g +SO4 0.4g/tanaman, P2 = pupuk

kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman... 105


(21)

35. Struktur kloroplas daun dewa (TEM 10.000x) pada naungan 25% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100% (D), naungan 50% 1 bulan, 3 bulan cahaya 100% (E) dan naungan 50% 3 bulan, 1 bulan cahaya 100%

(F) pada umur daun 16 MST... 120 36. Kandungan total flavonoid dan kuersetin pada berbagai periode

pencahayaan (a dan b), dan kandungan total flavonoid, kadar SO4,

antosianin dan kuersetin pada berbagai dosis pemupukan (c dan d)

umur 16 MST... 125 37. Produksi total flavonoid dan antosianin pada berbagai periode

pencahayaan (a dan b), dan produksi total flavonoid dan antosianin

pada berbagai dosis pemupukan (c dan d) umur 16 MST... 128 38. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai periode pencahayaan

umur 16 MST... 129 39. Produksi kuersetin per tanaman pada berbagai dosis pemupukan


(22)

Nomor Halaman Teks

1. Denah percobaan “ multiplikasi tunas secara in vitro” ... 156 2. Denah percobaan “ induksi akar dan antosianin secara in vitro” ... 157 3. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan sumber

bahan tanam terhadap pertumbuhan dan kandungan flavonoid” ... 158

4. Denah percobaan “ pengaruh periode pencahayaan dan pemupukan

terhadap produksi flavonoid” ... 159

5. Komposisi media MS yang digunakan pada kultur in vitro... 160 6. Hasil analisis kesuburan tanah pada lokasi penelitian tahap IV... 160 7. Hasil analisis kandungan hara pada pupuk kandang ayam untuk

penelitian tahap IV... 161 8. Hasil uji fitokimia daun dewa umur 16 MST... 161 9. Rata-rata intensitas cahaya dan persen naungan pada penelitian

tahap III dan IV... 162 10. Data iklim periode penelitian lapangan tahap III dan IV... 166 11. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap I... 168 12. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian Tahap II... 169 13. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian tahap III... 170 14. Rekapitulasi hasil sidik ragam penelitian Tahap IV... 172 15. Skema kerja pada multiplikasi tunas di laboratorium bioteknologi

tanaman... 174 16. Skema kerja pada induksi perakaran dan antosianin di laboratorium

bioteknologi tanaman... 175 17. Metode analisis klorofil a dan b... 176 18. Metode analisis enzim superoxide dismutase (SOD)... 177 19. Metode preparasi dan pengamatan jumlah stomata dan trichoma... 178 20. Metode preparasi dan pengamatan struktur dan tebal daun... 179


(23)

22. Metode analisis antosianin... 183 23. Metode analisis total crude flavonoid... 184 24. Metode analisis kadar kuersetin... 185 25. Metode preparasi dan pengamatan struktur kloroplas... 186 26. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar pospor (P),

kalium (K), dan sulfur (SO4)... 187


(24)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai daerah tropis merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi terutama tumbuhan berkhasiat obat. Terdapat 1000 jenis dari 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia telah diketahui dapat dimanfaatkan untuk pengobatan (Badan POM 2004), diantaranya adalah daun dewa. Daun dewa telah digunakan untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit, menyembuhkan migraine, hepatitis B, anti tumor atau anti kanker, penurun panas, menghilangkan bengkak-bengkak, membersihkan racun dan mengatasi peradangan pada jaringan tubuh (Gati dan Purnamaningsih 1996, Suharmiati dan Maryani 2003, Lemmens 2003).

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) memiliki bahan aktif berupa

flavonoid serta beberapa zat kimia lain seperti alkaloid, tanin, saponin, polifenol,

minyak atsiri serta delapan asam fenolat (Ratnaningsih et al. 1985, Soetarno 2000). Senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida kuersetin (Soetarno et al. 2000). Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai aktivitas antibakterial, anti inflamatori, anti alergik, anti mutagenik, anti viral, anti neoplastik, anti trombotik dan anti vasodilatori (Miller 1996), mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada manusia (Yochum et al. 1999, Polagruto et al.

2003) dan sebagai peluruh lemak melalui aktivitas enzim lipase (Darusman et al. 2001). Antosianin dan kuersetin sebagai bagian dari golongan senyawa flavonoid telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker pada manusia (Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al. 2005).

Stimulasi produksi bioaktif pada tanaman dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas bahan tanam pada studi in vitro (mikropropagasi) dan manipulasi faktor lingkungan (cahaya dan pemupukan). Kualitas bahan tanam dapat ditingkatkan melalui kultur in vitro (Gunawan 1992, Smith 2000). Penggunaan sukrosa pada media kultur dapat meningkatkan pigmentasi antosianin dari bahan tanam asal in vitro. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitroVitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA3


(25)

glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).

Pada kondisi lapang, stimulasi bioaktif dapat ditingkatkan melalui naungan dengan periode pencahayaan yang berbeda. Pada tanaman kedelai, pigmentasi antosianin meningkat pada persen naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi cahaya 100% menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al.

2006). Tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), kadar kumarat dan fanilat tertinggi terdapat pada naungan 75%. Taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pemupukan. Pemberian pupuk fosfor 75 kg/ha tanpa pupuk herbal menghasilkan kadar kumarat dan vanilat tertinggi. Penggunaan sulfur diduga dapat menstimulasi peningkatan senyawa flavonoid dalam tanaman. Peran SO4

sangat penting pada biosintesis senyawa-senyawa golongan flavonoid (Hornok 1992). Sumber hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dapat berasal dari pemberian pupuk organik yang bersumber dari bahan organik, dan pupuk anorganik yang bersumber dari bahan-bahan anorganik, di samping kandungan hara asli tanah. Pupuk organik yang telah digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang. Pupuk kandang dapat meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, Mg, S, dan meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah (Pujiyanto 2004). Di samping itu pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah dapat mendorong agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi akibat aplikasi pupuk kandang (pupuk organik) dapat terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar tanaman (Oades 1984).

Kotoran ayam memiliki kelebihan kandungan hara dibandingkan dengan jenis kotoran hewan lainnya. Persentase kandungan N, P, dan Mg dalam kotoran ayam lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kotoran hewan yang lain, sedangkan persentase K pada kotoran ayam masih lebih rendah dibandingkan dengan kotoran domba. Kandungan N mencapai 5-8 % dan lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran sapi 2-8 %, kotoran babi 3-5 % dan kotoran domba 3-5 %. Kandungan P dan Mg rata-rata lebih tinggi dari jenis kotoran sapi, domba dan babi (Donanhue et al. 1997, Kirchman dan Witter 1992).


(26)

Rumusan Masalah

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) memiliki kandungan bioaktif diantaranya adalah antosianin dan kuersetin sebagai golongan senyawa flavonoid yang telah digunakan sebagai anti kanker pada manusia. Untuk meningkatkan kandungan antosianin dan kuersetin pada daun dibutuhkan kualitas bahan tanam yang tinggi yang dapat dilakukan melalui studi in vitro dan optimalisasi pemanfaatan intensitas cahaya dan pemupukan di lapang.

Penyediaan bahan tanam daun dewa yang memiliki kemampuan pertumbuhan yang lebih baik, dapat tersedia dalam jumlah banyak dengan waktu relatif cepat dan pertumbuhannya seragam serta memiliki kandungan antosianin yang tinggi dapat dilakukan melalui teknik in vitro untuk pembentukan bahan tanam asal in vitro. Penggunaan sitokinin (BAP), auksin (IAA), sukrosa dan media MS yang mengandung unsur hara makro, mikro, vitamin dan asam amino mendukung pembentukan bahan tanam asal in vitro yang berkualitas tinggi.

Peningkatan kandungan antosianin dan kuersetin daun dapat ditingkatkan melalui penanaman bahan tanam asal in vitro pada kondisi lapang dengan menggunakan periode pencahayaan dan optimalisasi pemupukan. Pada kondisi lapang, bahan tanam asal in vitro akan mengalami peningkatan biomasa serta produksi antosianin dan kuersetin juga diharapkan akan mengalami peningkatan. Melalui periode pencahayaan yang berbeda akan mempengaruhi peningkatan biomasa, kandungan antosianin dan kuersetin daun. Periode pencahayaan berpengaruh terhadap perubahan morfo-anatomi daun, struktur kloroplas, kandungan klorofil daun, akumulasi radikal bebas dalam daun dan hasil fotosintesis berupa bobot biomasa. Peningkatan bobot biomasa tanaman akan mempengaruhi peningkatan produksi bioaktif.

Peningkatan biomasa tanaman juga ditentukan oleh faktor pemupukan. Penambahan pupuk kandang ayam dan SO4 ke dalam media tumbuh akan

meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui suplai unsur hara. Unsur hara SO4

digunakan secara khusus untuk memacu peningkatan kandungan antosianin dan kuersetin daun.


(27)

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

1. Menghasilkan bahan tanam asal in vitro yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi melalui kultur in vitro yang menggunakan media MS, sukrosa, BAP dan IAA.

2. Meningkatkan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin daun dari bahan tanam asal in vitro yang ditumbuhkan di lapang melalui periode pencahayaan dan pemberian pupuk kandang ayam + SO4.

Kerangka Pemikiran

Peningkatan kandungan bioaktif dalam tanaman ditentukan oleh beberapa aspek diantaranya adalah kualitas bahan tanam, faktor cahaya dan pemberian unsur hara melalui pemupukan. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan kontribusi dari ketiga aspek tersebut dalam rangkaian percobaan yang dimulai dari peningkatan kualitas bahan tanam melalui studi in vitro, penggunaan periode pencahayaan yang berbeda dan aplikasi pemupukan yang dilakukan pada kondisi lapang.

Studi in vitro daun dewa untuk menghasilkan plantlet dan studi pada tanaman lainnya untuk pigmentasi antosianin telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Gati dan Purnamaningsih 1994, Mufa’adi et al. 2004, Hiratsuka et al. 2001, Hosokawa et al. 1996). Studi in vitro untuk pembentukan plantlet daun dewa berkandungan antosianin yang tinggi belum dilaporkan. Upaya peningkatan pigmentasi antosianin plantlet daun dewa dapat dilakukan melalui : (1) multiplikasi tunas mikro menggunakan komposisi media MS, BAP dan IAA, (2) pembentukan plantlet dan pigmentasi antosianin menggunakan komposisi media MS, IAA dan sukrosa.

Pada kondisi lapang, bahan tanam asal in vitro dapat ditingkatkan biomasanya untuk menghasilkan produksi bioaktif yang lebih tinggi melalui periode pencahayaan dan pemupukan. Peningkatan kandungan bioaktif melalui penggunaan naungan buatan pada tanaman daun jinten, pegagan dan kedelai telah dilaporkan sebelumnya (Urnemi et al. 2002, Rachmawaty 2004, Lamuhuria et al. 2006). Mekanisme adaptasi fisiologi dan anatomi daun pada kondisi naungan juga telah dilakukan (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003a, Tyas 2006, Lamuhuria et al. 2006). Pertumbuhan daun dewa yang lebih baik pada kondisi naungan telah dilaporkan (Hidayat 2000, Januwati 1996, Suharmiati dan Maryani 2003), sedangkan pemberian


(28)

pupuk kandang ayam pada daun dewa hasil kultur in vitro telah dilakukan oleh Rohmaliah (2003). Peningkatan pertumbuhan, adaptasi morfo-anatomi, fisiologis, kandungan bioaktif (antosianin dan kuersetin) serta serapan hara daun dewa pada berbagai periode pencahayaan dan komposisi pupuk kandang ayam + SO4 belum

dilaporkan.

Hubungan antara pertumbuhan, morfo-anatomi dan fisiologis tanaman dalam proses peningkatan kandungan bioaktif penting untuk diketahui dalam rangkaian penelitian ini.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pemberian BAP dan IAA yang optimum dapat meningkatkan jumlah tunas daun dewa pada kultur in vitro.

2. Pemberian IAA dan sukrosa yang optimum dapat menginduksi perakaran, pigmentasi antosianin dan pembentukan plantlet daun dewa pada kultur in vitro.

3. Periode pencahayaan dapat meningkatkan kandungan senyawa flavonoid daun dewa asal kultur in vitro.

4. Pemberian pupuk kandang ayam + SO4 dan periode pencahayaan dapat

meningkatkan produksi senyawa flavonoid daun dewa asal kultur in vitro.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirumuskan ke dalam tiga aspek: (1) studi in vitro untuk pembentukan plantlet berkandungan antosianin yang tinggi sebagai bahan tanam, (2) peningkatan senyawa flavonoid bahan tanam asal in vitro

pada berbagai periode pencahayaan di lapang, dan (3) produksi senyawa flavonoid (antosianin dan kuersetin) bahan tanam asal in vitro melalui aplikasi pupuk kandang ayam + SO4. Ketiga aspek tersebut dikelompokkan menjadi empat subjudul

penelitian yang terdiri dari: (1) multiplikasi tunas secara in vitro, (2) induksi akar dan antosianin secara in vitro, (3) peningkatan pertumbuhan dan kandungan bioaktif bahan tanam asal in vitro pada berbagai periode pencahayaan, dan (4) produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro pada berbagai periode pencahayaan dan pemupukan.

Peningkatan jumlah tunas mikro dan indikasi adanya pigmentasi antosianin akan dipelajari dalam subjudul penelitian pertama, sedangkan induksi akar, terbentuknya


(29)

plantlet dan kandungan antosianin dipelajari dalam subjudul penelitian kedua. Peningkatan pertumbuhan, adaptasi morfo-anatomi, kandungan pigmen fotosintetik (klorofil a dan b), enzim penghambat radikal bebas (SOD) dan kandungan bioaktif daun dipelajari pada subjudul penelitian ketiga. Subjudul penelitian keempat akan mempelajari pertumbuhan, serapan hara jaringan tanaman, kandungan pigmen dan organ fotosintetik (klorofil a, klorofil b, struktur kloroplas), serta produksi flavonoid (antosianin dan kuersetin). Garis besar seluruh kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Penelitian Tahap II Penelitian Tahap I

Studi in Vitro

Multiplikasi Tunas Bahan

Tanam

Induksi Akar dan Pigmentasi Antosianin

Bahan Tanam Asal in Vitro

Penelitian Tahap-III

Periode Pencahayaan dan Sumber Bahan Tanam

Penelitian Tahap-IV

Periode Pencahayaan dan Pemupukan

Produksi Total Flavonoid Antosianin dan

Kuersetin


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani, Penyebaran dan Manfaat Daun Dewa

Daun dewa disebut Gynura procumbens (Back.) mempunyai nama sinonim

Gynura pseudochina (L.) DC, merupakan tanaman asli Birma dan Cina, yang tumbuh

menahun berupa terna dan termasuk ke dalam famili Asteraceae (Heyne 1987).

Daun dewa memiliki perakaran tunggang, umbi akar berwarna keabuan dengan panjang 3-6 cm dan luas penampang sekitar 3 cm. Batang berbentuk bulat berdaging, tumbuh tegak atau berbaring, tinggi mencapai 1,5 m (Ratnaningsih et al. 1985). Menurut Wanohadi dan Palupi (2000), daun dewa memiliki daun tunggal tersebar mengelilingi batang, helaian daun berwarna hijau keunguan, bentuk bulat telur, berdaging, berbulu lebat, ujung tumpul, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan menyirip dan tangkai daun pendek. Bunga daun dewa merupakan bunga majemuk berbentuk bonggol, berbulu, tangkai bunga memiliki panjang 20-30 cm, kelopak berbentuk cawan dan benang sari berwarna kuning serta ukuran buah kecil berbentuk garis dan berwarna coklat (Siregar dan Utami 2002, Dalimartha 2001). Bagian-bagian tanaman secara lengkap disajikan pada Gambar 2 (Foto hasil penelitian).

(a) (b)

(c) (d) Gambar 2.

Tanaman daun dewa : (a) tajuk tanaman, (b) tangkai dan mahkota bunga, (c) akar tanaman, dan (d) umbi akar. (Sumber: Foto penelitian).


(31)

Daerah pertumbuhan daun dewa tersebar mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi yang mencapai ketinggian 1-1200 meter di atas permukaan laut (dpl), namun paling banyak ditemui pada ketinggian 500 m dpl. Daun dewa menghendaki iklim pertumbuhan berupa curah hujan dengan kisaran 1500-3500 mm/tahun (iklim sedang sampai basah), tanah agak lembab sampai lembab serta subur (Syukur dan Hermani 2001).

Menurut Heyne (1987) daun dewa merupakan tanaman asli dari Birma dan Cina, dan di Indonesia dikenal dengan nama beluntas cina (nama lokal). Di pulau Jawa (Burkill 1935) tanaman ini banyak digunakan sebagai tanaman berkhasiat obat. Hasil pengamatan habitat daun dewa oleh Hidayat (2000) di daerah Aceh, tanaman ini tumbuh secara liar pada daerah dengan kisaran suhu 22-260C, kelembaban 67-90 %, pH tanah 6.6-7 dan cahaya yang masuk 75-90 %, sedangkan di daerah Sulawesi Tengah daun dewa tumbuh di ketinggian 840-1250 m dpl, suhu 25-300C, kelembaban 75-85 % dan cahaya yang masuk 50-75 %. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung, karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah.

Daun dewa merupakan tanaman obat yang banyak dimanfaatkan karena banyak khasiatnya antara lain untuk menurunkan kadar gula dalam darah, obat kulit, menyembuhkan migraine, hepatitis B dan anti tumor atau anti kanker. Di samping itu air perasan daun dewa dapat digunakan sebagai penurun panas dan menghilangkan bengkak-bengkak (Gati dan Purnamaningsih 1996).

Secara tradisional daun dewa telah banyak digunakan sebagai obat anti kanker. Pembuktian pada penelitian skala laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak daun dewa mampu menghambat perumbuhan tumor pada mencit (tikus) (Suharmiati dan Maryani 2003). Pada habitat asalnya, tanaman ini digunakan sebagai sumber sayuran sehat, sedangkan di pulau Jawa digunakan sebagai obat khususnya untuk penyakit ginjal (Heyne 1987). Daun dan umbi tanaman ini mengandung bahan aktif seperti flavonoid, terpenoid, saponin, tanin, alkaloid dan minyak atsiri (Ratnaningsih et al. 1985, Syamsuhidayat dan Hutapea 1991, Windono 2000, Nugroho et al. 2000, Siregar dan Utami 2000). Hasil penelitian Soetarno et al. (2000) menunjukkan bahwa senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida

kuersetin. Pada penelitian ini juga ditemukan delapan asam fenolat diantaranya asam

klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat, sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Hasil penelitian Agusta et


(32)

al. (1998) menunjukkan bahwa daun dewa mengandung 0,05 % minyak atsiri dari bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen senyawa yang didominasi oleh Seskuiterpena.

Senyawa Bioaktif Golongan Flavonoid

Menurut perkiraan terdapat sekitar 2% (1 x 109 ton/tahun) dari seluruh karbon yang difotosintesis diubah menjadi flavonoid yang merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar (Markham 1988). Flavonoid merupakan salah satu senyawa aromatik dalam tanaman yang disintesis melalui biosintesis gabungan membentuk dua ring sistem (Gambar 3a). Ring A berasal dari tiga unit asetat, sedangkan ring B dan tiga karbon pada bagian tengah ring berasal dari asam sinamat. Dua lintasan biosintesis yaitu lintasan asetat-malonat dan asam sikimat adalah lintasan yang penting dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981). Antosianin dan kuersetin adalah dua senyawa yang tergolong senyawa flavonoid (Gambar 3b dan 3c). Antosianin berasal dari glikosida antosianidin yang tidak stabil, sedangkan kuersetin berasal dari turunan senyawa-senyawa flavonol.

O

O A

B

(a) Sistem cincin flavonoid

O

O HO

OH OH

OH OH

(c) Kuersetin

O

OH

O

OH

OH

(b) Antosianin

asal siklus asetat asal siklus asam sinamat

Gambar 3. Sistem cincin dari senyawa flavonoid (a), struktur kimia kuersetin (b), struktur kimia antosianin (c) (Vickery dan Vickery 1981).

Proses biosintesis flavonoid merupakan biosintesis gabungan dari jalur asam sikimat dan jalur asetat malonat. Vickery dan Vickery (1981) menuliskan bahwa


(33)

pada jalur asam sikimat akan terbentuk fenilalanin yang merupakan salah satu senyawa asam amino aromatik yang selanjutnya akan menghasilkan p-asam kumarat, sedangkan pada jalur asetat malonat akan terbentuk asetil CoA yang akan menghasilkan malonil CoA, setelah mengikat satu molekul CO2 (Gambar 4).

a. Eritrosa-4-Fosfat + PEP Asam sikimat

Fenilalanin (asam amino aromatik)

FAL

b. Fenilalanin Asam sinamat

p-Asam kumarat

+ CO2

c. G-6-P Asetil CoA Malonil CoA

Gambar 4. Biosintesis Flavonoid (Vickery dan Vickery 1981): a, b pembentukan p-asam kumarat dari jalur asam sikimat, c. pembentukan malonil CoA pada jalur asetat malonat.

Hasil penelitian Jaakola (2003) tentang biosintesis flavonoid pada Bilberry

(Vaccinium mirtryllus L.), ditemukan enzim-enzim yang berperan pada biosintesis

senyawa-senyawa flavonoid. Proses reaksi dimulai dari sintesis kalkon (derivasi pertama flavonoid) yang berasal dari p-asam kumarat yang menghasilkan cincin A dan malonil CoA yang menghasilkan cincin B. Fenilalanin amonia liase (FAL) mengkatalisis perubahan fenilalanin menjadi sinamat. FAL juga berperan pada perubahan tirosin ke p-kumarat, meskipun pada efisiensi yang rendah.

Sinamat 4-hidroksilase (S4H) mengkatilisis sintesis p-hidroksisinamat dari sinamat dan 4-kumarat:CoA ligase (4KL), mengubah p-kumarat menjadi CoA ester, mengaktifkan reaksi dengan malonil CoA. Jalur biosintesis flavonoid dimulai dengan kondensasi satu molekul dari 4-kumaroksil-CoA dan tiga molekul dari malonil CoA, menghasilkan naringenin kalkon. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim kalkon sintase (KS). Kalkon diisomerisasi menjadi flavonon oleh enzim kalkon flavonon isomerase (KI). Dari pusat intermediet ini terjadi perbedaan jalur ke beberapa cabang jalur, yang menghasilkan perbedaan kelas flavonoid. Flavonon 3-hidroksilase (F3H)


(34)

mengkatalisis stereospesifik 3β-hidroksilasi dari (2S)-flavonon menjadi dihidroflavonol. Untuk biosintesis antosianin, dihidroflavonol reduktase (DFR) mengkatalisis proses reduksi dari dihidroflavonol menjadi flavan-3,4-diol (leukoantosianin), dan selanjutnya diubah menjadi antosianidin oleh antosianidin sintase (ANS). Pembentukan glukosida dikatalisis oleh UDP glukosa-flavonoid 3-0 glukosil transferase (UFGT) (Gambar 5).

Fenilalanin

FAL

S4H, 4KL Asam hidroksisinamat konjugasi

4-kumaroksil-CoA Jalur Fenilpropanoid

Malonil CoA KS Jalur Flavonoid

Kalkon

Auron KI Flavanon

Flavon, F3H

Isoflavonoid

Dihidroflavonol

Flavonol DFR

Leukoantosianin

Proantosianidin ANS

Antosianidin UFGT Antosianin

Gambar 5. Jalur reaksi pembentukan kalkon dan golongan senyawa flavonoid lainnya (Jaakola 2003).

Dari keseluruhan aglikon flavonoid, antosianin dapat diidentifikasi dengan baik dan pada pengamatan visual tanaman menghasilkan warna biru, lembayung muda dan warna merah pada bunga, buah dan daun Pigmen-pigmen ini adalah glikosida dari


(35)

antosianidin yang tidak stabil, senyawa-senyawa basa pada ion flavilium (Vickery dan Vickery 1981). Pada Blueberries dimana terdapat sumber antosianin, diketahui sangat menguntungkan bagi kesehatan (Kalt dan Dufour 1997, Smith et al. 2000). Diketahui pula bahwa antosianin sebagai salah satu golongan senyawa flavonoid dapat berfungsi sebagai obat anti kanker (Katsube et al. 2003).

Flavonoid merupakan salah satu senyawa antioksidan yang mempunyai aktivitas antibakterial, anti-inflamatori, antialergi, antimutagenik, antiviral, antineoplastik, anti-trombotik dan aktivitas vasodilatori (Miller 1996). Di samping itu, flavonoid juga dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada manusia (Yochum et al. 1999, Polagruto et al. 2003). Antosianin dan kuersetin sebagai bagian dari golongan senyawa flavonoid telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker pada manusia (Lamson et al. 2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al. 2005). Isolasi flavonoid dari tumbuhan telah banyak dilakukan diantaranya dari daun teh hijau kering (Miller 1996), tanaman Bangle (Zingiber cassumunar) (Darusman et al. 2001), dan bunga dari tanaman Vaccinium myrtillus L. (Jaakola 2003). Pada daun dewa, flavonoid juga telah berhasil diisolasi (Ratnaningsih et al. 1985, Simanjuntak 1998, Nugroho et al. 2000, Zaini 2006).

Kultur in vitro Tanaman Daun Dewa

Kultur in vitro menurut Gunawan (1992) adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Berawal dari teori totipotensi sel, teknik kultur jaringan kemudian berkembang menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia, dan selanjutnya teknik ini telah dipergunakan dalam industri tanaman.

Menurut Djuwita (2003) penggunaan teknik kultur in vitro memiliki beberapa keuntungan diantaranya faktor fisiko-kimiawi lingkungan dapat dikontrol, karakterisasi dan homogenitas sampel dan ekonomis (sampel dapat diuji dalam jumlah sedikit). Perbedaan perbanyakan vegetatif secara in vitro dengan metode konvensional yang lain adalah : a) dalam teknik in vitro, bahan tanaman yang dipergunakan lebih kecil, sehingga tidak merusak pohon induk, b) lingkungan tumbuh kultur in vitro harus aseptik dan terkendali, c) kecepatan perbanyakan yang tinggi, d) dapat menghasilkan bibit bebas penyakit dari induk yang sudah mengandung patogen


(36)

internal, dan e) membutuhkan tempat yang relatif kecil untuk menghasilkan jumlah bibit yang besar (Gunawan 1992).

Dalam pelaksanaan teknik kultur in vitro dengan tujuan untuk perbanyakan vegetatif tanaman diperlukan beberapa langkah-langkah umum seperti penyiapan

eksplan, sterilisasi baik alat-alat yang digunakan maupun eksplan, pembuatan media,

penanaman dan regenerasi tanaman menjadi plantlet (Gunawan 1992, Gamborg dan

Phillips 1995, Smith, 2000). Seluruh langkah-langkah dalam teknik kultur jaringan harus dilakukan dalam kondisi aseptis, karena kontaminasi oleh mikroorganisme merupakan permasalahan sangat penting yang harus dihindari dalam kultur jaringan (Boediono 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa metode aseptis pada penanganan kultur jaringan adalah upaya untuk memberikan batas antara mikroorganisme yang banyak terdapat dalam lingkungan bebas dan lingkungan kultur yang tidak terkontaminasi. Oleh karena itu semua bahan atau alat yang akan berkontak langsung dengan lingkungan kultur harus dalam kondisi steril.

Di samping beberapa aspek penting dalam kultur jaringan, media tanam merupakan salah satu aspek yang menarik dalam menentukan keberhasilan tujuan penggunaan teknik kultur jaringan. Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan 1992). Di samping garam-garam inorganik, penggunaan zat pengatur tumbuh, vitamin, asam-asam amino dan antibiotik juga sangat penting dalam komposisi media (Smith 2000).

Diantara beberapa komponen media pada teknik kultur jaringan, peranan zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam proses regenerasi tanaman cukup penting. Zat pengatur tumbuh digunakan untuk mendukung pertumbuhan awal, dan sangat penting untuk mengarahkan respon pertumbuhan propagul (Hartman dan Kester 1983). Auksin (IAA, NAA, 2,4-D, atau IBA) diserap oleh sel-sel tanaman untuk proses pembelahan dan inisiasi akar. Pada konsentrasi yang tinggi, auksin dapat menekan proses morfogenesis, sedangkan sitokinin (kinetin, BA, zeatin dan 2iP) berperan dalam pembelahan sel, proliferasi pucuk dan morfogenesis pucuk (Smith 2000). Secara fisiologis peranan auksin dalam tanaman adalah untuk mendukung proses pemanjangan sel dan menghambat pertumbuhan pucuk lateral, sedangkan sitokinin


(37)

berperan penting pada proses pembelahan sel dan mendukung proses morfogenesis (Taiz dan Zeiger 1991).

Penggunaan sukrosa pada media kultur dapat meningkatkan pigmentasi antosianin dari plantlet. Hiratsuka et al. (2001) melaporkan penggunaan ABA 1 g/l dan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) 2.5 dan 10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin pada kultur in vitro Vitis labruscana Bailey cv. Olympia. Penggunaan GA3 1 mg/l dan sukrosa 30 g/l pada kultur in vitroHyacinthus orientalis menghasilkan glikosida antosianin yang berbeda dengan tanaman yang sama yang ditumbuhkan di lapang (Hosokawa et al. 1996).

Kultur jaringan daun dewa sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Gati dan Purnamaningsih (1996) menggunakan komposisi media yang terdiri dari BA dan IAA untuk menginisiasi pertumbuhan tunas dan akar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemakaian BA 2 mg/l dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas tertinggi yaitu 20.1 dan pemakaian IAA 0.5 mg/l menghasilkan rata-rata jumlah akar tertinggi yaitu 12.8. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mufa`adi et al. (2003) menunjukkan bahwa interaksi antara BAP 3 ppm dan IAA 0.5 ppm menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu 85.4 tunas per botol. Pada perlakuan pengakaran yang dilakukan Anggirasti (2002), menunjukkan bahwa media MS-0 + IAA 0.5 mg/l menghasilkan jumlah akar yang terbanyak.

Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan Tanaman

Tanaman daun dewa dalam proses pertumbuhannya di lapang membutuhkan intensitas cahaya tertentu dan tergolong tanaman toleran naungan. Di daerah Aceh ditemukan bahwa daun dewa dapat tumbuh baik pada cahaya yang masuk berkisar 75-90 %, dan di Sulawesi Tengah 50-75 % (Hidayat 2000). Menurut Januwati (1996) pertumbuhan daun dewa akan lebih baik pada naungan 25 %. Daun dewa tergolong tumbuhan lindung, karena dapat tumbuh dan tahan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah, dan idealnya memperoleh 60 % sinar matahari (Suharmiati dan Maryani 2003).

Daun dewa yang tumbuh di daerah ternaungi menghasilkan daun yang lebih lebar, renyah, warna lebih cerah dan halus sehingga rasanya lebih enak bila dimakan segar, sedangkan daun dewa yang ditanam pada intensitas cahaya yang tinggi (tanpa naungan) menghasilkan daun yang keras. Penipisan daun pada intensitas cahaya yang rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan


(38)

Zeiger 1991). Tanaman daun dewa memiliki 1 lapis sel mesofil dan 1 lapis sel lapisan palisade (Suharmiati dan Maryani 2003).

Mekanisme Adaptasi pada Intensitas Cahaya Rendah

Adaptasi tanaman terhadap naungan menurut Levitt (1980) dilakukan melalui : 1) mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap kekurangan cahaya, dan 2) mekanisme toleran (tolerance) terhadap kekurangan cahaya Gambar 6 dan 7).

Meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya (1)

Meningkatkan area penangkapan cahaya (2)

Meningkatkan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik

(3) Meningkatkan proporsi fotosintetik area (4) Menghindari cahaya yang direfleksikan (5) Menghindari cahaya yang ditransmisikan (6) Menghindari pemborosan cahaya yang diabsorpsi (7) Hilangnya kutikula, lilin

dan rambut pada permukaan daun

(8)

Hilangnya pigmen non kloroplas (misalnya antosianin) (9) Meningkatnya kandungan kloroplas (10) Meningkatnya kandungan pigmen per kloroplas (11) Meningkatnya kandungan

kloroplas per sel mesofil (12)

Meningkatnya kandungan kloroplas dalam sel

epidermis (13)

Gambar 6. Adaptasi tanaman melalui mekanisme penghindaran (avoidance) pada intensitas cahaya rendah (Levitt 1980).

Pada mekanisme penghindaran, tanaman akan meningkatkan luas area penangkapan cahaya dan meningkatkan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik, melalui pengurangan cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Beberapa hasil penelitian yang dapat membuktikan hipotesis Levitt (1980) tersebut telah dilaporkan. Peningkatan area penangkapan cahaya melalui peningkatan luas daun kedelai dan padi gogo pada intensitas cahaya rendah telah dilaporkan (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan Sopandie at al. 2003b). Peningkatan penangkapan cahaya per unit luas area fotosintetik melalui peningkatan pigmen fotosintesis dan volume kloroplas pada kedelai dan padi gogo serta menurunkan jumlah trichoma pada kedelai juga telah dilaporkan (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a dan Sopandie at al. 2003b, Handayani 2003, Tyas 2006, Lamuhuria 2007).


(39)

Pada kondisi naungan, tanaman akan mengalami perubahan adaptasi yang ditunjukkan oleh perbedaan kandungan pigmen fotosintetik dan peningkatan luas daun. Hasil penelitian Sopandie et al. (2003a) pada tanaman padi gogo menyebutkan bahwa morfologi daun tanaman dan kandungan klorofil a, b serta nisbah klorofil a/b berbeda antara tanaman toleran dan peka terhadap naungan. Luas daun genotipe padi gogo toleran naungan lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe yang peka, tetapi ketebalan daun, ketebalan mesofil dan kerapatan stomata lebih rendah. Nisbah klorofil a/b pada genotipe toleran dan peka terjadi penurunan pada naungan 50 % dibandingkan dengan kontrol, namun penurunan yang tajam terjadi pada genotipe peka.

Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, yang disebabkan oleh peningkatan klorofil b pada tanaman yang ternaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. Efisiensi respirasi juga lebih tinggi pada tanaman toleran naungan. Menurut Sopandie et al. (2003b) Pada tanaman padi gogo toleran naungan yang ditumbuhkan pada kondisi gelap memiliki efisiensi respirasi yang tinggi dengan kandungan pati dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang peka kondisi gelap.

Pengurangan jumlah cahaya yang sampai kepermukaan daun tanaman juga dapat mempengaruhi struktur kloroplas. Ukuran kloroplas tanaman naungan pada cahaya rendah umumnya lebih besar (Lee et al. 1985). Intensitas cahaya rendah juga meningkatkan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa genotipe kedelai toleran naungan Pangrango dan B613 mengalami peningkatan volume grana dan butir pati lebih banyak pada kondisi naungan 50%. Peningkatan ukuran kloroplas dan tumpukan grana akan meningkatkan penangkapan dan penyerapan cahaya (Chitchley 1997).

Pada mekanisme toleran, tanaman akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan mengurangi laju respirasi di bawah titik kompensasi cahaya. Tanaman naungan beradaptasi dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi di bawah titik kompensasi cahaya dimaksudkan untuk meningkatkan produk fotosintesis pada intensitas cahaya yang rendah. Peningkatan ukuran butir pati kloroplas pada intensitas cahaya rendah dapat menunjukkan rendahnya laju respirasi. Khumaida


(40)

(2002) dan Tyas (2006) melaporkan bahwa ukuran butir pati kloroplas kedelai pada intensitas cahaya rendah lebih banyak dibanding pada kloroplas cahaya penuh. Meningkatnya deposit pati tersebut disebabkan karena penguraian pati menjadi gula berlangsung pada intensitas yang rendah. Pada intensitas cahaya rendah kandungan gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah dari Genotipe peka Godek (Lestari 2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi perlakuan gelap 5 hari masih terdapat butir pati. Rendahnya kandungan gula dan masih adanya butir pati pada kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi yang rendah (Tyas 2006).

Toleransi defisit cahaya (1)

Menurunkan LCP (2) Menurunkan kecepatan

respirasi di bawah LCP (3)

Menurunkan kecepatan respirasi mendekati LCP

(5)

Menghindari kerusakan sistem fotosintetik

(4)

Menghindari penurunan aktivitas

enzim (6)

Menghindari kerusakan pigmen

(7)

Menurunkan sistem respiratory (mitokondria dan enzim) (9) Menurunkan substrat

respirasi (8)

Gambar 7. Adaptasi tanaman melalui mekanisme toleran (tolerance) pada intensitas cahaya rendah (Levitt 1980).

Kloroplas dan Klorofil sebagai Komponen Utama Fotosintesis

Kloroplas berasal dari proplastid kecil (plastid yang belum dewasa, kecil dan hampir tidak berwarna dengan sedikit atau tanpa membran dalam). Proplastid membelah pada saat embrio berkembang dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan batang terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila organ yang mengandung kloroplas terpajan pada cahaya dan setiap sel daun dewasa mengandung beberapa ratus kloroplas. Setiap kloroplas dikelilingi oleh sistem atau selimut membran ganda yang mengatur lalulintas molekul keluar masuk kloroplas (Salisbury dan Ross 1992).


(41)

Sel-sel tumbuhan mengandung berlimpah plastid dengan masing-masing tipe dan setiap plastid dibatasi oleh membran ganda. Plastid yang mengandung pigmen klorofil dan karotenoid disebut kloroplas yang merupakan tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Kloroplas terdiri dari stroma yang kaya enzim dan di dalam stroma terdapat tilakoid yang mengandung pigmen. Disinilah energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H2O membentuk ATP dan NADPH yang kaya energi, yang diperlukan stroma untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Pada bagian tertentu terdapat tumpukan tilakoid yang disebut grana (satu tumpukan disebut granum). Daerah tempat satu tilakoid grana berhubungan dengan tilakoid grana lainnya dinamakan daerah pinggir. Tilakoid stroma adalah tilakoid yang lebih panjang yang menghubungkan satu grana dengan grana lainnya. Pada membran tilakoid mengandung pigmen yang terdiri dari klorofil a dan b (Salisbury dan Ross 1992, Voet et al 1999, Dashek dan Harrison 2006).

Glutamat α-ketoglutarat

d-oksovalerat

Porfobilinogen Asam aminolaevulinik

Susinat + Glisin

Glutamat 1-

fosfat Glutamik semialdehid

Koporfirinogen

Protoporfirinogen Anporfirinogen

Protoporfirin Mg-protoporfirin

monometilester Protokloro

filid Protoklorofil

Klorofil a

Geranil-geranil pirofosfat

Klorofil b

-2H2O

-NH3

-4CO2

-6H Mg2+ - adenosilmetionin

H2O

-4H

Cahaya

-6H

Gambar 8. Jalur biosintesis klorofil a dan b (Malkin dan Niyogi 2000).

Prekursor utama dalam proses pembentukan klorofil adalah glutamat yang merupakan senyawa organik intermediet (bagan lintasan disajikan pada Gambar 8).


(42)

Glutamat mengalami proses deaminasi membentuk α-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi γ,δ-dioksovalerat dan mengalami transaminasi menjadi δ -amino-laevulinik yang memerlukan ATP dan NADPH.

Pelepasan air dari dua molekul asam amino-laevulinik menghasilkan porfobilinogen yang mengandung struktur cincin pirol. Reaksi selanjutnya adalah pelepasan NH3 dan CO2 yang kemudian membentuk protoporfirinogen. Penambahan Mg2+ dan adenosilmetionin pada protoporfirin menghasilkan Mg-protoporfirin monometilester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur absorpsi spektrum. Mg-protoporfirin monometilester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protoklorofilid. Penambahan proton H+ akan menghasilkan klorofilid a. Adanya cahaya yang diabsorpsi oleh protoklorofilid akan mereduksi klorofilid a menjadi klorofil a (Malkin dan Niyogi 2000). Pembentukan klorofil a sangat dipengaruhi oleh adanya cahaya (Lawlor 1987), dan perubahan klorofil a menjadi klorofil b disebabkan karena substitusi pada gugus metil atau aldehida. Apabila gugus metil (CH3) digantikan oleh gugus aldehida (CHO), maka akan terbentuk klorofil b (Gambar 9) (Salisbury dan Ross 1992).

H3C

H3C

N N

N N Mg

H H

CH2CH3 CH3

H =CH H2C

H

H

H

HC C=O

H-C=O (jika aldehida yang menempel, bukannya CH3, maka molekul adalah klorofil b)

O=CCH2CH2

O=C-OCH3

O-CH2-C=C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-CH2-CH2-CH2-C-H H

CH3

H

CH3

H

CH3

CH3

CH3 ekor fitol (C20 H39)


(43)

Enzim SOD Sebagai Penghambat Stres Oksidatif

Cahaya sangat penting untuk fotosintesis, tetapi terdapat kemungkinan terjadinya stres oksidatif pada intensitas cahaya yang tinggi. Pada intensitas cahaya yang tinggi, proses fotosintesis akan mengalami penurunan karena penghambatan oleh cahaya yang tinggi (photoinhibition) yang memproduksi radikal bebas dalam bentuk superoksida (02-) pada fotosistem II (FS II). Produksi radikal bebas yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran tilakoid pada kloroplas, kerusakan pada pusat reaksi dan penghambatan transpor elektron pada FS II (Hideg 1997).

Studi tentang photoinhibition telah banyak dilakukan, diantaranya mengetahui aktivitas beberapa enzim yang berperan seperti enzim superoxide dismutase (SOD) dan peroxidase (PER). Enzim SOD adalah salah satu enzim kunci yang menghambat produksi 02- dalam penghambatan fotosintesis (Hideg 1997). Ketahanan tanaman terhadap gangguan 02- pada kloroplas dipengaruhi oleh peningkatan kandungan enzim SOD. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas 02 -menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka (Ismail et al. 2001).

Pada percobaan pengujian Paraquat pada Crassocephalum crepidioides, untuk tanaman resisten menghasilkan enzim SOD 138 U/mg protein dan lebih tinggi dari tanaman peka yang menghasilkan 114 U/mg protein (Ismail et al. 2001). Pada tanaman tembakau transgenik, kadar SOD yang tinggi lebih toleran pada intensitas cahaya yang tinggi dibandingkan dengan tanaman kontrol. Aktivitas SOD pada tanaman non transgenik rata-rata 50 unit/g bobot basah tergantung intensitas cahaya, sedangkan pada tanaman transgenik terjadi peningkatan aktivitas SOD 40-60% lebih tinggi (Slooten 1995).

Superoxide dismutase (SOD) dalam tanaman terdapat dalam beberapa bentuk masing-masing MnSOD, FeSOD, CuSOD dan ZnSOD. Pada tembakau transgenik yang toleran pada defisiensi Mn, luas daun tidak mengalami penurunan pada kekurangan Mn, karena total MnSOD mengalami peningkatan. Pada tanaman non transgenik terjadi penurunan terhadap luas daun (Yu et al. 1999).

Peningkatan Kandungan Flavonoid karena Pengaruh Cahaya

Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya juga berperan penting. Awad et al. (2001) melaporkan bahwa intensitas


(44)

cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar ‘ Jonagold’. Buah apel yang berada pada bagian atas dari tajuk, bagian dalam tajuk, bagian sebelah timur dan sebelah barat tajuk menghasilkan kandungan flavonoid yang berbeda (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan flavonoid (mg/g) pada kulit apel ‘Jonagold’ yang dipengaruhi posisi buah pada pohon.

Posisi Buah pada Pohon

Cianidin 3-galaktoside

Phloridzin Catechin Quercetin 3-glycosides Total Flavonoid Atas Dalam Tajuk Timur Tajuk Barat Tajuk 0.55 0.02 0.23 0.25 1.2 1.1 1.2 1.2 3.0 3.6 3.7 3.5 8.8 2.5 7.0 6.8 13.5 7.2 12.2 11.8 Sumber: Awad et al. (2001).

Pada tanaman pegagan (Centella asiatica L. (Urban)) jenis besar menghasilkan kandungan triterpenoid, steroid dan flavonoid yang cukup banyak pada naungan 25 %, sedangkan pada naungan 55-75 % kandungan tiga golongan metabolit sekunder tersebut mengalami penurunan (Rachmawaty 2004). Pada tanaman kedelai, pigmentasi antosianin meningkat pada persen naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi cahaya 100% menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006). Konsentrasi antosianin pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari penuh (Jackson 1980, Barritt 1997). Antosianin pada daun tanaman yang ternaungi terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000). Pada tanaman daun jinten (Urnemi et al. 2002), juga terjadi peningkatan kadar kumarat dan fanilat pada naungan 75%.

Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin (Vickery dan Vickery 1981). Di samping itu peningkatan senyawa flavonoid daun tanaman yang diekspos pada cahaya langsung (direct sun exposure) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim flavonon 3-hidroksilase (F3H) yang mengkatalisis hidroksilasi flavonon menjadi dihidroflavonol dan selanjutnya berpengaruh pada biosintesis flavonol, proantosianidin dan antosianin (Bohm 1998).


(45)

Pada tanaman Bilberry (Vaccinium myrtillus L.) terjadi peningkatan aktivitas enzim F3H pada daun tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan kemudian diekspos pada cahaya langsung. Peningkatan aktivitas enzim F3H tersebut mengindikasikan peningkatan produksi senyawa flavonol (Jaakola 2003).

Pupuk Organik dan Anorganik

Sumber hara dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dapat berasal dari pemberian pupuk organik yang bersumber dari bahan organik, dan pupuk anorganik yang bersumber dari bahan-bahan anorganik, di samping kandungan hara asli tanah. Pupuk organik yang telah digunakan pada budidaya tanaman adalah pupuk kandang. Pupuk kandang dapat meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, Mg, S, dan meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dalam tanah (Pujianto 2004). Di samping itu pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah dapat mendorong agregasi atau dispersi agregat. Peningkatan agregasi akibat aplikasi pupuk kandang (pupuk organik) dapat terjadi melalui pengikatan oleh polisakarida dan mucilage yang dihasilkan oleh bakteri, hifa jamur maupun melalui akar tanaman (Oades 1984).

Kotoran ayam memiliki kelebihan kandungan hara dibandingkan dengan jenis kotoran hewan lainnya (Tabel 2). Persentase kandungan N, P, dan Mg dalam kotoran ayam lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kotoran hewan yang lain. Sedangkan persentase K pada kotoran ayam masih lebih rendah dibandingkan dengan kotoran domba. Kandungan N mencapai 5-8 % dan lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran sapi 2-8 %, kotoran babi 3-5 % dan kotoran domba 3-5 %. Kandungan P dan Mg rata-rata lebih tinggi dari jenis kotoran hewan lainnya .

Tabel 2. Komposisi unsur hara kotoran ayam dan kotoran hewan lain

Jenis Hewan N (%) P (%) K (%) Mg (%)

Sapi Ayam Domba

2-8 5-8 3-5

0.2-1 1-2 0.4-0.8

0.7-3* 1-2 2-3

0.6-1.5* 0.6-3 0.2

Sumber : Donanhue RL, Miller RW, Shickluna JC. 1997. An Introduction to Soil and Plant Growth. *) Kirchman H, Witter E. 1992. Composition of Fresh Aerobic and Anaerobic Farm Animal Dungs.

Beberapa hasil penelitian pada daun dewa yang menggunakan kotoran ayam sebagai pupuk organik dapat mengurangi gejala defisiensi unsur hara. Pemberian kotoran ayam tanpa pupuk anorganik dengan perbandingan 1:1 (v/v) tidak menunjukkan adanya defisiensi hara pada tanaman, meskipun tanaman terlihat kurus (Siregar dan Utami 2002). Hasil penelitian Sulianti (1999) yang menggunakan


(1)

190

Lampiran 27. Prosedur analisis jaringan tanaman untuk penetapan kadar Nitrogen (N)

Metode : Kjeldahl

Cara Kerja :

1. Timbang 200 mg contoh tanaman kering giling lolos saringan 40 mesh, dan masukkan ke dalam labu kjeldahl

2. Tambahkan satu canting kecil campuran SeCuSO4 dan Na2SO4

3. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat ke dalam labu kemudian goyangkan perlahan-lahan agar semua sampel terbasahi oleh H2SO4

4. Tambahkan 5 tetes parafin cair

5. Panasi labu di dalam kamar asap dengan api kecil, kemudian perlahan-lahan api diperbesar hingga diperoleh suatu cairan yang berwarna terang (hijau-biru), pemanasan masih dilakukan 15 menit lagi

6. Tambahkan + 50 ml aquades, goyangkan sebentar kemudian pindahkan isi labu kjeldahl ke dalam labu destilasi

7. Ke dalam labu destilasi tambahkan 5 ml NaOH 50%

8. Destilasi dimulai, tampung destilasi dengan erlenmeyer 125 ml yang telah diisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indikator Conway isi destilat kira-kira 100 ml

9. Titrasi destilat dengan HCl yang telah dibakukan titik titrasi dicapai apabila terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda

10. Lakukan juga penetapan blanko seperti cara kerja di atas, tetapi tanpa menggunakan sampel tanaman

Perhitungan :

N (%) = (ml titrasi contoh – ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 100%)

200 mg contoh

Keterangan :

N = Normalitas 14 = Molekul N


(2)

PRODUKSI FLAVONOID DAUN DEWA (Gynura pseudochina (L.) DC)

ASAL KULTUR IN VITRO PADA KONDISI NAUNGAN

DAN PEMUPUKAN

NIRWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “ Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan “ adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

Nirwan NIM A361030081


(4)

ABSTRAK

NIRWAN. Produksi Flavonoid Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Asal Kultur in Vitro pada Kondisi Naungan dan Pemupukan. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Latifah K. Darusman, Sandra A. Aziz dan Munif Ghulamahdi.

Daun dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) adalah tumbuhan obat yang menghasilkan senyawa bioaktif berupa golongan senyawa flavonoid yang telah digunakan sebagai bahan obat tradisional alami untuk mengobati beberapa jenis penyakit khususnya tumor atau kanker pada manusia. Upaya untuk meningkatkan kadar senyawa bioaktif dalam tanaman dilakukan melalui perbaikan kualitas bahan tanam, optimalisasi pemanfaatan cahaya dan pemupukan. Untuk memenuhi hal tersebut, dilakukan percobaan dalam empat tahap masing-masing mempelajari : (1) multiplikasi tunas secara in vitro, (2) induksi akar dan antosianin secara in vitro, (3) pertumbuhan dan kandungan bioaktif bahan tanam asal in vitro dan setek pucuk pada berbagai periode pencahayaan dan (4) produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro

pada berbagai periode pencahayaan dan pemupukan. Pada hasil studi in vitro

diperoleh komposisi media kultur terbaik yang menghasilkan plantlet dengan kandungan antosianin yang tinggi. Komposisi media MS dengan penambahan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l menghasilkan plantlet terbanyak (2.7) dan kandungan antosianin tertinggi (0.07%). Pada proses pertumbuhan di lapang yang menggunakan berbagai periode pencahayaan, bahan tanam asal kultur in vitro adalah bahan tanam terbaik yang menghasilkan pertumbuhan dan kandungan antosianin lebih tinggi (0.05%) dibanding setek pucuk (0.03%). Pada penelitian ini juga ditemukan periode pencahayaan yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi flavonoid tertinggi, serta aspek mekanisme adaptasi fisiologi dan morfo-anatomi tanaman. Pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100%, dihasilkan produksi total flavonoid (1.61g/tanaman) dan kuersetin (0.02g/tanaman) tertinggi, sedangkan produksi antosianin tertinggi (0.17%) diperoleh pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100%. Adaptasi tanaman pada kondisi naungan juga menyebabkan peningkatan kandungan klorofil, aktivitas enzim SOD, tumpukan grana dan ukuran butir pati dari kloroplas serta penurunan jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun di akhir percobaan. Pada percobaan pemupukan diperoleh komposisi media tanam terbaik yang menghasilkan produksi flavonoid tertinggi. Perbaikan media tanam dengan pemupukan semakin meningkatkan pertumbuhan dan produksi flavonoid bahan tanam asal in vitro. Penggunaan dosis maksimum dari pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid per tanaman (1.61g/tanaman) dan antosianin per tanaman (0.17g/tanaman) tertinggi, sedangkan produksi kuersetin per tanaman tertinggi (0.02g/tanaman) dihasilkan pada dosis pupuk kandang ayam 50g + SO4 0.4g/tanaman. Dari seluruh hasil penelitian yang diperoleh, bahan tanam daun dewa asal kultur in vitro menghasilkan pertumbuhan, produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin lebih tinggi pada kondisi naungan dan pemupukan dibanding cahaya 100% dan tanpa pemupukan.

Kata kunci : Gynura pseudochina, in vitro, naungan, pemupukan, produksi flavonoid, antosianin, kuersetin.


(5)

ABSTRACT

NIRWAN. Flavonoids Production of in Vitro Gynura pseudochina (L.) DC in Shading Condition and Fertilizing. Under supervision of Didy Sopandie, Latifah K. Darusman, Sandra A. Aziz and Munif Ghulamahdi.

Gynura pseudochina (L.) DC is a medicinal plant that produce bioactives compound, such as flavonoids that are used for tumor or cancer medication for human. The content of bioactive compound can be increased through improving seedling quality, lighting periods and fertilizing. Four experiments have been carried out, they were : (1) in vitro shoot multiplications, (2) in vitro root and anthocyanins induction, (3) increasing growth and bioactives content of in vitro seedlings and shoot cuttings in different lighting periods, and (4) flavonoids production of in vitro

seedlings in different lighting periods and fertilizer. Results of in vitro studies, produced the best medium composition to produce plantlets with high anthocyanins content. Addition of IAA 0.5 ppm, sucrose 30g/l to MS medium produced higher number of plantlets (2.7) and anthocyanins content (0.07%). The field experiment using lighting periods showed that in vitro plantlets was better than shoot cuttings in the growth rate and anthocyanins content e.g: 0.05 and 0.03% respectively. From this research also found that lighting periods are produced the growth and highest flavonoids production, along with physiology and morpho-anatomycal adaptation mechanism. At the treatment of 50% shading up to three months and one month of full light, produced highest of total flavonoids (1.61g/plant) and quercetin content (0.02g/plant), while the highest of anthocyanins content (0.17g/plant) produced at the treatment of 25% shading up to two months and two months of full light. Plant adaptation to shading condition the increased total chlorophyll content, SOD enzymes activity, chloroplast size (stack granum and starch grain), while the number of stomata, trichome and the thickness of leaves were decreased at the end of the experiment. At the fertilizing experiment found that the best medium composition produced the highest flavonoids production. In vitro seedlings growth and flavonoids production were improved by the treatment of fertilizer. Maximum dosage of fertilizer was chicken manure 100g + SO4 0.8g/plant, which gave the highest of total flavonoids per plant (1.61g/plant) and anthocyanins per plant (0.17g/plant). While the quercetin productions per plant (0.02g/plant) produced at dosage of manure 50g + SO4 0.4g/plant. All results of experiments showed that the in vitro seedlings produced higher growth, total flavonoids production, anthocyanins and quercetin at shading condition and fertilizing compared to full light and without fertilizing.

Keyword : Gynura pseudochina, in vitro, shading, fertilizing, flavonoid production, anthocyanin, quercetin.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya