Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan kejaksaan

Keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2010 yang terdapat dalam pasal 5, susunan organisasi Kejaksaan 122 , terdiri dari: Gambar 1. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia

B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dan kejaksaan

dalam penuntutan tindak pidana korupsi Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan mengenai Kejaksaan sebagaimana hendak dijelaskan dibawah ini. 123 1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang berkait dengan kekuasaan kehakiman vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo.Pasal 41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominuslitis, pengendali 122 Ibid. 123 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I., Studi tetang Implementasi Kekuasaan Penuntutan Di Negara Hukum Indonesia , 2008 www.kejaksaan.go.idunit_kejaksaan diakses Tanggal 16 Maret 2015 pada Pukul 18.50 WIB proses perakara yang menetukan dapat tidaknya seorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksaan penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. 2. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan. 124 3. Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sitem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakam kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. 4. Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap 125 , melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat 126 , putusan 124 Ibid ., h.126, Dalam penjelasan pasal 30 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidik yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjukguna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 125 Penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga tugas dan wewenang untuk mengedalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 126 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf c bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan „keputusan lepas bersyarat‟ adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan. pidana pengawasan dan keputusan pidana bersyarat, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang, dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik 5. Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. 127 Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk malakukan penuntutan terhadap tindak pidan korupsi muncul setelah dikeluarkannya Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi 128 . Pasal 26 Undang-undang ini menyebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak 127 Penjelasan Pasal 33 menyatakan: adalah menjadi kewajiban bagi setiap abdan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui kordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama anatara Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 128 Loebby Loqman, Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonessia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, h.5, Loebby Loqman mengemukakan bahwa sejak dirancangnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disadari bahwa undang-dang tersebut merupakan undang-undang pidana khusus, yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana diluar KUHP dan KUHAP. pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang ini. 129 Secara gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia secara umum. Hal tersebut berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penuntutan menurut pasal 137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum yaitu jaksa 130 . Bahwa selanjutnya terjadi tumpang tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan disebabkan karena beberapa faktor yaitu: 1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan 129 Evi Harianti, op.cit., h.71-72, Kalimat “kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini” di dalam Pasal 26 , dasar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: a Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. b Jika dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur seuatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi. c JIka di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sesuai dengan kompetensi absolutnya. Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, telah dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 130 Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi Dalam Presspektif Sistem Peradilan Pidana, http:www.google.co.idurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=8cad=rjauact=8ved =0CFYQFjAHurl=http3A2F2Fonlinejournal.unja.ac.id2Findex.php2Fjimih2Farticle 2Fdownload2F2002F177ei=FiQHVbOdB9DbuQTu2oKgBAusg=AFQjCNGOLIYifbdw tWqLuXp9t6B2gN8DdAsig2=cizYIEdPj4VXjX1ZGFTXJwbvm=bv.88198703,d.c2E, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 02.15 WIB. h.36 Kejaksaan dan sub-sistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan. 2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang-undangNo.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen. 3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No.266M2003 sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 huruf c yaitu KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal ini jelas bahwa KPK mempunyai kewenangan melakukan tindakan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Namun, Undang-undang KPK tersebut memberikan kualifikasi terhadap tindak pidana korupsi mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam melaksanakan tugasnya , KPK berwewenang untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi: 1. Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah. 131 Kualifikasi mengandung arti bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi masuk dalam rumusan dari pasal tersebut, maka KPK yang berwenang untuk melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam hal beberapa kasus korupsi di Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsir diatas satu miliyar rupiah serta melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintahan sesuai dengan kualifikasi pasal 11 Undang-Undang KPK, penuntutan dalam perkara korupsi tersebut malah ditangani Kejaksaan, bukan KPK. Contohnya kasus yang melibatkan Elly Lasut, Bupati Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, dalam kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas SPPD fiktif senilai 7,7 Milyar rupiah 132 serta kasus Gerakan Daerah Orang Tua Asuh GDOTA senilai 1,5 Milyar rupiah. 133 Perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara tersebut tindakan penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan bukan oleh KPK. Hal seperti ini yang menimbulkan suatu ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam hal siapa sebenarnya yang berwenangn untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 131 Evi Hertati, op.cit.,h.70 132 Korupsi Dana Bencana Alam: Dua Pejabat Talaud Ditahan Kejaksaan, http:infokorupsi.comidkorupsi.php?ac=5689l=korupsi-dana-bencana-alam-duapejabat- talaud-ditahan-kejaksaan, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.30 WIB 133 Dugaan Korupsi Beasiswa GDOTA Kabupaten Talaud ke Penyidikan, http:infokorupsi.comidkorupsi.php?ac=5114l=dugaan-korupsi-beasiswa-gdota-kabupaten- talaud-ke-penyidikan, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.40 WIB Bersadarkan contoh kasus tersebut seharusnya ada pemisahan yang jelas antara tugas dan wewenang KPK dan Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi, secara khusus dalam hal penuntutan 134 . Jangan sampai terkesan bahwa lembaga yang satu mengambil kewenangan lembaga lainnya. Hal tersebut dimaksud agar adanya penjernihan fungsi yang bertujuan untuk menghilangkan kekacauan dan tumpang tindih fungsi dan wewenang penunututan. Selain itu dengan adanya spesifikasi yang jelas dalam wewenang untuk melakukan penuntutan akan memberikan dan menjamin terwujudnya suatu kepastian hukum, sehingga hasil yang didapat akan lebih efektif dan maksimal. Kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi lebih diperluas dari dengan wewenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan pada tugas KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang KPK, yang berbunyi KPK mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 135 . Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas supervisi tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang mejalankan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan pemberatasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. 136 134 Sahuri Lasmadi, op.cit.,h.37, Mengapa masalah kewenangan yang perlu diperjelas, mengingat penegakan hukum pidana perkara tindak korupsi sangat berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, jadi jika suatu lembagamempunyai kewenangan dalam hal penegakan hukumnya harus diatur secara limitatif, hal ini disebabkan bahwa dalam hukum pidana menganut Azas Legalitas. 135 Ibid. 136 Lihat pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 KPK dalam melaksanakan wewenangnya, berwenang untuk mengambil alih penuntutan 137 terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak Kejaksaan dengan alasan bahwa proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dipertanggungjawabkan, penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif, atau keadaan lain yang menurut pertimbangan Kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 138 Undang-Undang KPK tidak memberikan defenisi tentang penuntutan, dengan demikian maka pengertian penuntutan mengacu kepada KUHAP sebagai hukum acara pidana yang bersifat umum. Undang-undang KPK tersebut hanya mengatur kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan yang mana dilakukan 137 Romli Atmasasmita, Memahami Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, http:www.hukumonline.comberitabacalt4b0a444f23252UU20KPK, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.15 WIB, Ketentuan Pasal 6 huruf b, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 8 yang menegaskan di dalam menjalankan wewenang supervisi tersebut, KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan Pasal 8 ayat 2. Konsep “unwilling” atau “unable” usulan pemerintah kemudian disepakati dan dirinci secara limitatif menjadi 6 enam alasan sebagai tercantum di dalam Pasal 9 UU KPK. Perlu digarisbawahi oleh para penegak hukum bahwa, ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan, dengan pertimbangan bahwa, ketika kepolisian atau kejaksaan sedang melakukan langkah penyelidikan atau penyidikan, KPK telah dibentuk, dan telah melaksanakan koordinasi dan supervisi dengan kedua instansi penegak hukum tersebut sehingga KPK terus mengikuti perkembangan penanganannya. Ketika KPK mengambil alih penanganan perkara korupsi tersebut, maka KPK cukup dapat mengambil sejak tahap penyidikan saja, tidak diperlukan melakukan pengambilalihan sejak penyelidikan. Namun demikian terhadap perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK, di mana KPK belum dapat melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian atau Kejaksaan, maka sangat tepat jika KPK harus mengambil alih penanganan korupsi tersebut sejak tahap penyelidikan, dengan pertimbangan untuk memelihara kesinambungan penanganan perkara korupsi, memelihara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan kepentingan antara pelaku dan korban kejahatan 138 Lihat pasal 8 ayat 2 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 oleh Penunutut Umum pada KPK. Penunutut Umum yang dimaksud adalah Jaksa Penuntut Umum yang melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi. 139 Apabila ditinjau kembali maka pada kenyataanya berdasarkan rumusan dalam Undang-undang timbul permasalahan dalam hal dualisme kewenangan penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi. Kewenangan Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penuntutan dalam tindak pidana korupsi diberikan berdasarkan perintah Undang-undang sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bedanya kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi diatur lagi dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila dilihat dalam rumusan KUHAP, maka yang berwenang untuk melakukan penuntutan adalah jaksa yang bertindak sebagai penunutut umum. KPK dan Kejaksaan sama-sama mempunyai jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Kejaksaan dan Undang-undang KPK sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa dalam KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit tentang jaksa di institusi mana yang berwenang melakukan penuntutan. Hal itu yang kemudian muncul pendapat 140 , menginginkan agar kewenangan penuntutan sepenuhnya diberikan kepada Kejaksaan, dan 139 Lihat pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 kewenangan penuntutan yang ada di KPK dikembalikan kepada Kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan kewenangan penunututan yang ada dalam diri KPK telah menerobos dan mengesampingkan asas dominus litis, dimana Kejaksaan sebagai pengendalian proses perkara, dan prinsip een on deelbaar 141 yaitu kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisahkan. Undang-undang KPK dinilai didorong oleh semangat memberantas korupsi yang terlalu menggebu-gebu. Semangat itu berakibat ditabraknya beberapa asas hukum dan sistem hukum. Salah satunya Penuntut Umum tidak tunduk pada Jaksa Agung. Namun, sebenarnya perlu diketahui bahwa jaksa yang bertugas di KPK adalah jaksa yang diambil dari Lembaga Kejaksaan yang dinonaktifkan sementara dari tugasnya di lembaga Kejaksaana. Sehingga Jaksa yang berada di KPK itu kemudian melakukan tugas penuntutan sama sekali tidak menyalahi ketentuan yang diatur dalam KUHAP yang mengatur bahwa yang dapat bertindak sebagai penuntut umum adalah Jaksa, dengan tidak menyebutkan nama lembaga yang berwenang. Sehingga jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum yang ada di lembaga Kejaksaan dan KPK tetap berwenang melakukan penuntutan. 142 140 Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan Dipegang Satu Lembaga http:sp.beritasatu.comhomejaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satu- lembaga5205, diakses tanggal 16 Maret 2015 pada pukul 01.40 WIB, Jaksa Agung Basrief Arief berpendapat bahwa kewenangan penuntutan perkara korupsi dikembalikan lagi kelembaga Kejaksaan sebagai Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan KUHAP. Secara universal di dunia, yang berwenang malakukan penuntutan adalah Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karena itu jika semua penuntutan dari KPK nantinya diserahkan kepada kejaksaan tidak ada masalah. 141 Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan, Kejaksaan adalah ”satu dan tidak terpisahkan”. Bagian penjelasan atas pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini dikenal dengan prinsip een on deelbaar. 142 Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan Selanjutnya, pendapat yang mengatakan bahwa jaksa yang ada di KPK telah melanggar prinsip een on dellbaar sebagaimana yang juga diatur dalam Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Kejaksaan yang mengatakan bahwa Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan adalah keliru. Karena sesungguhnya maksud dari pasal ini sebagaimana yang ada dalam penjelasan pasal tersebut ialah apabila dalam melakukan penuntutan perkara korupsi di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan terhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Karena tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung dan dilakukan oleh Jaksa pengganti. Jaksa yang berada di KPK sebagai bentuk kerja sama yang terjalin antara Kejaksaan dan KPK, hal itu dapat dilihat dalam Pasal 33 Undang-undang Kejaksaan yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya, dalam hal ini adalah KPK. Sebagian pihak beranggapan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh KPK untuk melakukan penuntutan adalah tidak sah karena menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yang kemudian diusulkan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang KPK khususnya pasal 6 huruf c. Kepasitian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum lex cetra yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuaanya. Dikatakan bahwa pemberlakuan Pasal 6 Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia , Lex Crimen Vol.II, No.1 Edisi Januari-Maret 2013 Manado: Universitas Sam Ratulangi, h.30 huruf c Undang-Undang KPK menyebabkan munculnya pertentangan antara dua undang-undang atau lebih yang berlaku atau mengikat pada saat yang sama , yaitu Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang KPK. Ketika ternyata lembaga legislatif memberikan kewenangan kepada KPK untuk dapat melakukan penuntutan, isi Undang-undang itu sah dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang lain, sebab hubungan yang terjadi dengan Undang-undang lain sebenarnya hanya lah pengkhususan karena situasi dan tujuan khususnya. Bukan bertentangan karena hak itu memang harus diberikan oleh Undang-undang. Akan menjadi tidak sah kalau itu tidak diberikan oleh lembaga lain, bukan kepada KPK. 143 Kalaupun itu dianggap bertentangan dengan Undang-undang Kejaksaan maka masalahnya adalah legislative review bukan judicial review. 144 Pendapat yang beranggapan bahwa ketentuan itu dirasakan tidak menjamin kepastian hukum, justru sebaiknya dapat dikatakan pula bahwa disana ada kepastian hukum, karena secara khusus KPK diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk melakukan itu. Harus diingat bahwa kedaulatan rakyat yang harus dilakukan menurut UUD di sini sudah dipenuhi, yakni menurut UUD hal seperti itu diatur oleh lembaga legislatif. Lembaga legislatif dapat menentukan mana yang umum dan mana yang khusus. Harus diingat pual bahwa hak-hak asasi yang dituangkan dalam semua isi Pasal 28 UUD 1945 dapat dilangkahi hanya dengan ketentuan Undang-undang kalau ada alasan-alasan untuk menegakkan 143 Ni‟matul Huda, Sengketa Lembaga Negara MK dan KY, artikel dalam majalah keadilan, ed 1XXII2007. Sengketa yang trjadi ditubuh lembaga-lembaga negara menurutnya berasal diantaranya adalah dari keruwetan yuridis yang terdapat dalam kewenangan-kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut. 144 Rangga Trianggara Paonganan, op.cit. h.31 hukum dan melindungi hak asasi orang lain. lihat Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, dan ketentuan itu telah dipenuhi oleh Undang-undang KPK. 145 Tabel 1. Perbedaan Keweanangan yang dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan dalam memberantas Korupsi di Indonesia No KPK Kejaksaan 1. Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tidak hanya terkait dengan KUHAP dan Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga dapat melakukan terobosan diluar KUHAP sesuai dengan ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut dikarenakan bahwa Komisi Pemberantasan Menyangkut masalah penyidikan, Berdasarkan pasal 184 ayat 4 KUHAP, Jaksa tetap diberi wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilengkapi dengan hukum acara pidana khusus yang merupakan pengecualian daripada yang diatur pada KUHAP. Kewenangan Kejaksaan didasarkan pada Pasal 17 Undang-Undang 145 Ibid. Korupsi KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya besifat independen dan bebes dari pengaruh kekuasaan manapun, sehingga pembetukan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK bertujuan meningkatkan upaya pemberantasan perkara tindak pidana korupsi. Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , sebagai berikut: “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP dilaksanakn oleh penyidik, jaksa dan pejabat Penyidik yang berwenang berdasarkan peraturan perundangan” Kewenangan jaksa sebagai penyidik berdasarkan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , sebagai berikut : Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang” 2. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, memberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi KPK mengatasi perkara tindak pidana korupsi yang seperti berikut: Tidak diatur secara limitatif di dalam Undang-undang sebagaimana halnya kewenangan yang dimiliki oleh KPK yang yang diberikan oleh Undang- undang. 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggaranegara 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat danatau 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.00 satu milyar rupiah 3 Korupsi KPK melakukan pemeriksaan terdapat Pasal 46 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi : “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Jaksa melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara dapat ditarik dari Pasal 36 ayat 1 dan 2 Undang- Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan : Pemberatasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapkan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang- udangan lain, tidak berlaku dalam berdasarkan undang- undang ini”. KPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tanpa harus meminta izin pemeriksaan terlebih dahulu. “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dan apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam waktu 60 enam puluh hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.” 4 KPK dalam melaksanakan wewenangnya, berwenang untuk mengambil alih penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002: “Dalam melaksanankan wewanag sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap palaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan” Sementara Kejaksaan, Undang- undang hanya memberikan kewenangan untuk menajalin kerja sama dengan badan pebegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instamsi lain. Sebagaimana diatur dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

C. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Komisi

Dokumen yang terkait

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Evaluasi Program Pencegahan Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Studi Tentang Rencana Strategis KPK Tahun 2008-2011)

2 54 232

PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 4 13

PENDAHULUAN PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 12

PENUTUP PERANAN KEJAKSAAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 2 4

PERANAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

0 0 9

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

b. Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagian - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 55

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12