VARIASI SUHU SINTERING DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2212 DENGAN DOPING Pb (BPSCCO-2212) PADA KADAR Ca=1,10 (VARIATION OF SINTERING TEMPERATURE IN THE SYNTESIS OF Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-2212) ON THE CONTENT OF Ca=1,10)

(1)

iv Oleh

MELI RATNA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

i ABSTRAK

VARIASI SUHU SINTERING DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2212 DENGAN DOPING Pb (BPSCCO-2212)

PADA KADAR Ca=1,10

Oleh

MELI RATNA SARI

Bahan superkonduktor BPSCCO-2212 dengan kadar CaCO3 1,10 fraksi mol telah disintesis dengan metode reaksi padatan (solid state reaction method). Sintesis dilakukan selama 10 jam pada suhu kalsinasi (Tk) 800oC dan sintering selama 20 jam dengan variasi suhu (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi suhu sintering terhadap tingkat kemurnian fase superkonduktor Bi-2212 yang terbentuk (fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I)). Hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning

Electron Microscopy). Hasil analisis XRD menunjukkan variasi suhu

sintering cenderung meningkatkan fraksi volume (Fv). Fraksi volume (Fv) pada Ts=815°C diperoleh 72,39%, Ts=820°C diperoleh 74,56%, Ts=825°C diperoleh 87,34%, dan Ts=830°C diperoleh 90,10%. Sedangkan derajat orientasi (P) pada Ts=815°C diperoleh 53,13%, Ts=820°C diperoleh 55,97%, Ts=825°C diperoleh 59,31%, dan Ts=830°C diperoleh 42,43%. Fraksi volume (Fv) relatif baik pada sampel yang disintering dengan Ts= 830°C yaitu 90,10%. Sedangkan derajat orientasi (P) relatif baik pada sampel dengan Ts=825°C yaitu 59,31%.

Kata kunci: superkonduktor, BPSCCO-2212, suhu sintering, fraksi volume, derajat orientasi.


(3)

ii

Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-2212) ON THE CONTENT OF Ca=1,10

By

MELI RATNA SARI

Synthesis of BPSCCO-2212 superconducting materials with CaCO3 1,10 mole fraction has been done using solid reaction method. Synthesis conducted with calcination for 10 hours at temperature of 800oC and sintering for 20 hours with sintering temperature variations (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Sintering temperature variation was performed to determine the effect on the level of purity of the Bi-2212 superconducting phase is formed (volume fraction (Fv), the degree of orientation (P), and impurity (I)). The samples were characterized using XRD (X-Ray Diffraction) and SEM (Scanning Electron Microscopy). XRD analysis results showed variation of sintering temperature tended to increase the value of the volume fraction (Fv). Value of the volume fraction (Fv) on Ts=815°C obtained 72,39%, Ts=820° C obtained 74,56%, Ts=825°C obtained 87,34%, and Ts=830°C obtained 90.10%. While the value of the degree of orientation (P) at Ts=815°C obtained 53,13%, Ts=820°C obtained 55,97%, Ts=825°C obtained 59,31%, and Ts=830°C gained 42,43%. Volume fraction (Fv) is relatively well contained in sintering samples at temperatures 830°C is 90,10%. While the degree of orientation (P) is relatively well contained in the sample with Ts=825°C was 59,31%.

Key words: superconductors, BPSCCO-2212, sintering temperature, volume fraction, the degree of orientation.


(4)

2 ABSTRACT

VARIATION OF SINTERING TEMPERATURE IN THE SYNTESIS OF Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-Bi-2212) ON THE

CONTENT OF Ca=1,10

By

MELI RATNA SARI

Synthesis of BPSCCO-2212 superconducting materials with CaCO3 1,10 mole fraction has been done using solid reaction method. Synthesis conducted with calcination for 10 hours at temperature of 800oC and sintering for 20 hours with sintering temperature variations (Ts) 815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC. Sintering temperature variation was performed to determine the effect on the level of purity of the Bi-2212 superconducting phase is formed (volume fraction (Fv), the degree of orientation (P), and impurity (I)). The samples were characterized using XRD (X-Ray Diffraction) and SEM (Scanning Electron Microscopy). XRD analysis results showed variation of sintering temperature tended to increase the value of the volume fraction (Fv). Value of the volume fraction (Fv) on Ts=815°C obtained 72,39%, Ts=820° C obtained 74,56%, Ts=825°C obtained 87,34%, and Ts=830°C obtained 90.10%. While the value of the degree of orientation (P) at Ts=815°C obtained 53,13%, Ts=820°C obtained 55,97%, Ts=825°C obtained 59,31%, and Ts=830°C gained 42,43%. Volume fraction (Fv) is relatively well contained in sintering samples at temperatures 830°C is 90,10%. While the degree of orientation (P) is relatively well contained in the sample with Ts=825°C was 59,31%.

Key words: superconductors, BPSCCO-2212, sintering temperature, volume fraction, the degree of orientation.


(5)

(6)

(7)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

MOTTO ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWANCANA ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ...xvii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 5


(8)

xv II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Superkonduktor ... 6

B.Superkonduktor Sistem BSCCO ... 13

C.Kalsinasi ... 16

D.Sintering ... 17

E. Karakterisasi ... 21

F. Program Celref ... 25

III. METODE PENELITIAN A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

B.Alat dan Bahan ... 27

C.Komposisi bahan dasar ... 27

D.Preparasi Sampel ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Pengukuran Pola Difraksi ... 39

B.Hasil Analisis Pola Difraksi Sinar-X (XRD) ... 42

C.Hasil Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)... 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 47

B. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 LAMPIRAN


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena sifat resistivitas nol yang dimilikinya dan dapat melayang dalam medan magnet. Kedua sifat ini tampak pada saat bahan ini berada di bawah kondisi parameter kritisnya (Sukirman, dkk, 2010).

Sejak ditemukan gejala superkonduktivitas oleh fisikawan Belanda Heike Kammerlingh Onnes pada tahun 1911 (Kittel, 1986), penelitian mengenai superkonduktor semakin gencar dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penelitian dilakukan dalam skala besar untuk industri maupun skala kecil untuk laboratorium, baik dalam bentuk bulk maupun film tipis.

Awalnya sifat superkonduktivitas bahan hanya terjadi pada suhu yang amat rendah, jauh di bawah 0oC. Dengan demikian niat penghematan pemakaian daya listrik masih harus bersaing dengan biaya pendinginan yang harus dilakukan. Hal tersebut menjadi permasalahan utama dalam pemanfaatan superkonduktor. Pada saat ini ilmuwan masih melakukan penelitian untuk mendapatkan bahan superkonduktor yang berada dalam suhu kamar. Untuk merealisasikan rencana besar ini, ilmuwan masih mengalami banyak kendala, antara lain membuat bahan superkonduktor yang memiliki suhu kritis mendekati suhu ruang,


(10)

2

mempunyai fase murni, densitas tinggi, homogenitas tinggi, ukuran kristal yang besar, rapat arus kritis tinggi (Tc), dan medan magnetik kritis tinggi (Hc), sehingga pengaplikasiannya tidak memerlukan biaya yang mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bahan-bahan baru yang berpotensi menghasilkan superkonduktor suhu ruang (Cyrot and Pavuna, 1992).

Pada awal tahun 1988, ditemukan beberapa bahan superkonduktor oksida yaitu Bi-Sr-Ca-Cu-O dan Ti-Ba-Ca-Cu-O yang memiliki temperatur kritis (Tc) berturut-turut 110 K (-163ºC) dan 125 K (-148ºC) (Sukirman, dkk, 2003; Darminto, dkk, 1999). Sedangkan untuk superkonduktor berbasis bismuth (Bi), sampai saat ini telah dapat dibuat beberapa fase yaitu Bi-1212, Bi-2201(Tc=10 K), Bi-2212 (Tc=80 K), Bi-2223 (Tc=110 K) (Frank et al., 1996; Chu, et al., 1997; Maple, 1998; Yulianti, 2004).

Diantara superkonduktor berbasis bismuth, senyawa superkonduktor BSCCO berfase Bi2Sr2CaCu2O8+δ (Bi-2212) merupakan bahan superkonduktif yang mudah

membentuk fase senyawa dalam padatan polikristal dan tersedia metode yang tepat dalam menumbuhkan kristal tunggal. Oleh karena itu, senyawa Bi-2212 banyak dijadikan model studi untuk superkonduktor berbasis bismuth (Darminto, 2002).

Senyawa superkonduktor berbasis Bi (BSCCO), umumnya disintesis dari bahan awal berupa oksida Bi, Sr, Ca dan Cu (Zavaritsky, et al., 1990). Penelitian tentang superkonduktor BSCCO untuk memperoleh senyawa superkonduktor Tc tinggi dengan tingkat kemurnian tinggi telah banyak dilakukan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Harnova (2005) dengan membuat superkonduktor Bi-2212 tanpa


(11)

doping Pb yang dihasilkan melalui proses kalsinasi dan sintering yang terpisah. Kemudian penambahan doping Pb pada Bi-2212 yang meningkatkan derajat orientasi kristal yang terbentuk (Nurmalita, 2002; Ghofur, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian tentang variasi suhu kalsinasi dan sintering pada sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb, diperoleh kesimpulan bahwa fraksi volume (Fv) tertinggi diperoleh pada suhu sintering 820oC yaitu 82,9% (Ningrum, 2006). Penelitian lain juga dilakukan untuk melihat pengaruh dari variasi CaCO3 terhadap superkonduktor BPSCCO-2212 dan diperoleh Fv tertinggi saat kadar Ca=1,10 yaitu 87,26% dan secara umum kristal yang terbentuk sudah terorientasi (Larasati, 2013).

Sintesis superkonduktor sistem BSCCO banyak dilakukan dengan metode reaksi padatan (solid state reaction method). Metode ini memiliki keuntungan antara lain mudah dilakukan, sederhana serta tidak mahal dalam mensintesis bahan superkonduktor. Metode ini diharapkan akan mendapatkan homogenitas yang tinggi. Sedangkan, parameter penting pada proses reaksi padatan (solid state

reaction method) ini diantaranya proses pemanasan, pengontrolan suhu, dan

waktu (Santosa, dkk, 1996).

Pada penelitian ini dilakukan variasi suhu sintering pada sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO–2212) pada kadar Ca=1,10. Sintesis dilakukan dengan metode reaksi padatan dan hasilnya dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Analisis XRD dilakukan dengan program celref. Untuk mengetahui tingkat kemurnian fase bahan superkonduktor Bi2212 dengan doping Pb


(12)

4

(BPSCCO2212) yang terbentuk, dilakukan dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I).

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh variasi suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan superkonduktor BPSCCO–2212 pada kadar Ca=1,10.

2. Bagaimana tingkat kemurnian fase bahan superkonduktor BPSCCO2212 pada kadar Ca=1,10 dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I).

C. Batasan Masalah

Sedangkan batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO2212) dilakukan menggunakan metode reaksi padatan (solid state reaction method). 2. Kadar Ca yang digunakan 1,10.

3. Sampel dikalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam.

4. Sampel disintering selama 20 jam dengan variasi suhu sintering (Ts)=815oC, 820 oC, 825oC, dan 830oC.

5. Hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi menggunakan X–Ray

Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

6. Analisis kuantitatif pola difraksi sinar–X hasil sintesis dilakukan menggunakan program celref.


(13)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh variasi suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan superkonduktor Bi2212 dengan doping Pb (BPSCCO2212) pada kadar Ca=1,10.

2. Mengetahui tingkat kemurnian fase bahan superkonduktor Bi-2212 yang terbentuk dengan penambahan doping Pb dan kadar Ca=1,10 (menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P), dan impuritas (I)).

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain:

1. Meningkatkan penguasaan dalam bidang superkonduktor, terutama dalam proses sintesisnya.

2. Memperoleh informasi tentang pengaruh variasi suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan superkonduktor BPSCCO–2212 pada kadar Ca=1,10. 3. Menghasilkan referensi ilmiah yang dapat memberikan informasi yang lebih lengkap tentang superkonduktor sistem BPSCCO2212 pada kadar Ca=1,10 yang disintesis menggunakan metode reaksi padatan (solid state reaction


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Superkonduktor

Superkonduktor adalah suatu material yang tidak memiliki hambatan di bawah suatu nilai suhu tertentu yang disebut dengan suhu kritis (Cyrot dan Pavuna, 1992). Sehingga bahan superkonduktor dapat mengalirkan arus listrik tanpa kehilangan daya sedikitpun (Darminto, dkk, 1999) atau tanpa kehilangan energi. Superkonduktor dapat berupa unsur atau paduan logam (Aruku, 2009). Pada suhu ruang superkonduktor dapat berupa konduktor, semikonduktor maupun insulator (Ismunandar dan Cun, 2002).

1. Sejarah Superkonduktor

Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada tanggal 10 Juli 1908, Onnes mencairkan helium dengan cara mendinginkannya hingga suhu 4 K atau –269oC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada saat itu diketahui bahwa hambatan dari suatu logam akan menurun ketika didinginkan di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak.


(15)

Beberapa ilmuwan lainnya, William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak. Sedangkan ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada suhu mencapai nol mutlak. Untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi, kemudian Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat murni. Sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya. Ketika suhu mencapai 4,2 K, Onnes melihat hambatannya tiba-tiba hilang, tetapi arusnya mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus (Anwar, 2010).

Pada keadaan tidak ada hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi sedikitpun. Onnes melakukan percobaan dengan mengalirkan arus pada suatu kumparan superkonduktor dalam suatu rangkaian tertutup, kemudian sumber arusnya dicabut. Satu tahun kemudian, Onnes mengukur arusnya, ternyata arus masih tetap mengalir. Kemudian oleh Onnes fenomena ini diberi nama superkondutivitas. Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1913.

Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan bahwa bahan superkonduktor akan menolak medan magnet. Telah diketahui bahwa jika suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet, maka arus induksi akan mengalir dalam konduktor tersebut. Akan tetapi, arus dalam bahan superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan tersebut, sehingga material superkonduktor tidak dapat ditembus oleh medan tersebut. Dengan demikian magnet tersebut akan ditolak. Fenomena ini dikenal dengan


(16)

8

istilah Diamagnetisme dan efek ini kemudian dinamakan Efek Meissner (Ismunandar and Cun, 2002).

Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffer mengajukan teori tentang superkonduktor yaitu bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Teori BCS ini menjadikan ketiga ilmuwan tersebut memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972.

Pada tahun 1986 fisikawan dari Switzerland yaitu Alex Müller and George Bednorz, melakukan penelitian di Laboratorium Riset IBM di Rüschlikon. Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum, barium, tembaga, dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu kritis tertinggi 30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal sebagai isolator dan pada suhu ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama sekali. Setahun kemudian keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel (Aruku, 2009).

Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor pada suhu kritis 90 K. Dengan demikian dapat digunakan nitrogen cair sebagai pendinginnya. Karena suhu kritisnya cukup tinggi dibandingkan dengan material superkonduktor yang lain, maka material tersebut diberi nama superkonduktor suhu kritis tinggi. Menurut Ismunandar dan Cun (2002) suhu kritis tertinggi suatu bahan saat ini adalah 138 K, yaitu bahan Hg0.8Tl0. 2Ba2Ca2Cu3O8.33.


(17)

Perkembangan penemuan bahan superkonduktor dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan bahan superkonduktor (Pikatan, 1989).

Bahan Ditemukan

(tahun)

Tc (K)

Raksa (Hg) 1911 4,2

Timbal (Pb) 1913 7,2

Niobium nitride 1960-an 16,0

Niobium-3-timah 1960-an 18,1

Al0,8Ge0,2Nb3 1960-an 20,7

Niobium germanium 1973 23,2

Lanthanum barium tembaga 28 oksida

1985 28,0

Yitrium barium tembaga oksida (123 atau YBCO)

1987 93,0

Thalium barium kalsium tembaga oksida

1987 125,0

2. Karakteristik Superkonduktor

Suatu bahan dikatakan bersifat superkonduktor jika menunjukkan dua sifat khusus yaitu konduktivitas sempurna (perfect conductivity) tanpa adanya hambatan (ρ=0), pada temperatur T ≤ Tc dan diamagnetik sempurna (perfect diamagnetic) dengan B=0 pada temperatur T ≤ Tc yang lebih dikenal dengan gejala efek Meissner (Tinkham, 1996). Karakteristik ini (resistivitas nol dan efek Meissner) yang dapat diambil manfaatnya untuk kehidupan manusia. Sebagai contoh, jika kita akan mentransmisikan energi listrik dari satu tempat ke tempat lain, seperti dari pembangkit tenaga listrik ke rumah-rumah. Jika menggunakan konduktor biasa yang resistivitasnya tidak nol, maka kita akan mengalami kerugian karena adanya energi listrik yang hilang menjadi panas pada kabel konduktor. Sebaliknya, jika kita menggunakan kabel superkonduktor yang resistivitasnya nol, maka kita tidak


(18)

10

akan kehilangan energi listrik. Dengan demikian efisiensi transmisi menjadi sangat baik, dan bahkan secara teoritis dapat mencapai 100% (Rakhman, 2011). a. Konduktivitas Sempurna (perfect conductivity)

Pada suhu rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol

(ρ=0) (Pikatan, 1989; Zarkasi, 2006). Material yang didinginkan di dalam nitrogen cair atau helium cair, resistivitas material ini akan turun seiring dengan penurunan suhu. Pada suhu tertentu, resistivitas material akan turun secara drastis menjadi nol. Suhu dimana resistivitas material turun drastis menjadi nol disebut suhu kritis (Tc), yaitu terjadinya transisi dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor (Reitz, et al., 1993; Artinta dan Sianturi, 2002). Hubungan antara suhu dengan resistivitas terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas (Pikatan, 1989). Berdasarkan Gambar 1, saat suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, yang artinya bahan tersebut memiliki resistivitas listrik. Keadaan normal ini dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek dan bahkan menjadi isolator. Untuk suhu T ≤ Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor, yang artinya bahan akan menolak medan magnet yang datang, disebabkan karena medan


(19)

magnet luar yang diberikan selalu sama besar dengan magnetisasi bahan. Hal ini ditandai dengan resistivitasnya turun drastis menjadi nol.

b. Efek Meissner

Ketika superkonduktor ditempatkan di dalam medan magnet luar yang lemah, medan magnet akan menembus superkonduktor pada jarak yang sangat kecil dan dinamakan London Penetration Depth ( ). Pada bahan superkonduktor umumnya

London Penetration Depth ( )sekitar 100 nm. Setelah itu medan magnet bernilai

nol. Peristiwa ini dinamakan Efek Meissner (Shukor, 2009) dan merupakan karakteristik dari superkonduktor. Efek Meissner adalah efek dimana superkonduktor menghasilkan medan magnet dari dalam bahan superkonduktor. Efek Meissner ini sangat kuat sehingga sebuah magnet dapat melayang karena ditolak oleh superkonduktor. Medan magnet dari luar juga tidak boleh terlalu besar. Apabila medan magnetnya terlalu besar, maka efek Meissner ini akan hilang dan material akan kehilangan sifat superkonduktivitasnya.


(20)

12

Fenomena efek Meissner bahan superkonduktor ditunjukkan pada Gambar 2.

A. T < Tc B. T > Tc

Gambar 2. Efek Meissner. (A). suhu bahan masih di atas suhu kritis superkonduktor, (B). bahan sudah menjadi superkonduktor (T < Tc) sehingga medan magnet luar ditolak oleh superkonduktor (Salmah, 2001).

Pada keadaan ini, London mempostulatkan bahwa medan induksi magnetik di dalam bahan sama dengan nol (B=0) (Smith, 1990). Untuk pengujian efek meissner dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Efek Meissner pada superkonduktor yang memberikan gejala penolakan medan magnet luar (Wanibesak, 2011).

H H


(21)

B. Superkonduktor Sistem BSCCO

Superkonduktor sistem BSCCOmerupakan superkonduktor oksida keramik yang mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang koherensi yang pendek (Herlyn, 2008).

1. Struktur Kristal dan Diagram Fase Superkonduktor BSCCO

Superkonduktor sistem BSCCO memiliki beberapa keunggulan dan keistimewaan dibandingkan superkonduktor keramik yang lain, karena suhu kritisnya (Tc) relatif tinggi dan tidak mengandung unsur beracun. Dalam superkonduktor sistem BSCCO dikenal 3 fase superkonduktif yaitu fase 2201 dengan komposisi Bi2Sr2CuO memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 10 K, fase 2212 dengan komposisi Bi2Sr2CaCu2O memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 80 K dan fase 2223 dengan komposisi Bi2Sr2Ca2Cu3O memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 110 K (Siswanto, 1999; Yulianti, 2002). Senyawa impuritas superkonduktor sistem ini dapat terbentuk dalam keadaan setimbang sebagai campuran dua fase atau lebih (Suprihatin, 2002). Struktur kristal sistem BSCCO ditunjukkan pada Gambar 4.


(22)

14

Gambar 4. Struktur kristal sistem BSCCO (Bourdillon and Bourdillon, 1994; Lehndorff, 2001).

Selain itu, pembentukan senyawa bergantung pada komposisi nominal bahan penyusun dan suhu pemrosesannya yang dapat digambarkan oleh diagram fase sistem yang bersangkutan (Suprihatin, 2002). Diagram fase menjelaskan tentang fase yang mungkin terbentuk dan keeksistansiannya pada temperatur atau tekanan tertentu. Diagram fase untuk keperluan sintesis sistem BSCCO mengacu pada hasil yang diperoleh Strobel dan kawan-kawan yang umumnya terbagi dalam sejumlah daerah fase yang dapat dilihat pada Gambar 5.


(23)

Gambar 5. Diagram fase superkonduktor BSCCO (Strobel dkk, 1992). Diagram fase pada Gambar 5 menyatakan hubungan antara suhu dan komposisi pembentukan Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n dengan n berbeda. Dalam diagram fase tersebut terdapat daerah pembentukan fase Bi-2212, yaitu daerah fase Bi-2212 +2:1 + L1, dan daerah fase Bi-2212 + 2:1 + CuO +L1 (Strobel, 1992; Darminto, 1999).

2. Sintesis Superkoduktor Sistem BSCCO

Penelitian superkonduktor sistem BSCCO telah banyak dilakukan untuk memperoleh superkonduktor dengan suhu kritis (Tc) dan kemurnian yang tinggi,


(24)

16

diantaranya penggunaan doping Pb dan Ag, doping Pb dan Sb, penggunaan fluks (Bi2O3, KCI, dan NaCl). Selain itu, juga dengan mengubah beberapa parameter proses, seperti variasi komposisi awal. Namun semua penelitian tersebut belum mampu menghasilkan sampel sesuai yang diharapkan (Rachmawati, 2009).

Berbagai upaya untuk meningkatkan nilai Tc dan fraksi volume pada superkonduktor sistem BSCCO telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ningrum (2006) meneliti tentang variasi suhu kalsinasi dan sintering pada sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (BPSCCO2212) yang menyimpulkan bahwa fraksi volume tertinggi diperoleh ketika variasi suhu sintering 820oC (Fv=82,9%). Selain itu, Ghofur (2007) juga mensintesis superkonduktor Bi-2212 dengan variasi kadar Pb yang diperoleh derajat orientasi dan fraksi volume tertinggi pada variasi kadar doping Pb=0,2 serta Larasati (2013) yang melihat pengaruh variasi kadar Ca pada superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb yang diperoleh fraksi volume tertinggi pada kadar Ca=1,10 (Fv=87,26%).

C. Kalsinasi

Kalsinasi adalah proses pemanasan suatu material pada suhu tinggi, namun di bawah titik lelehnya. Tujuan kalsinasi untuk membuang komposisi yang tidak dibutuhkan, seperti H2O, air kristal (dalam bentuk OH) dan gas (CO2) sehingga menghasilkan bahan dalam bentuk oksida (Pujaatmaka dan Qadratillah, 1995).


(25)

Peristiwa yang terjadi selama proses kalsinasi antara lain:

a) Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung sekitar suhu 100oC hingga 300oC.

b) Pelepasan gas-gas seperti: CO2 berlangsung sekitar suhu 600oC dan pada tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup berarti.

c) Pada suhu lebih tinggi, sekitar 800oC struktur kristalnya sudah terbentuk, dimana pada kondisi ini ikatan diantara partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Pujaatmaka dan Qadratillah, 1995; Sembiring, 2012).

D. Sintering

Sintering merupakan proses pemanasan di bawah titik leleh dalam rangka membentuk fase kristal baru sesuai yang diinginkan dan bertujuan membantu mereaksikan bahan-bahan penyusun baik bahan keramik maupun bahan logam. Proses sintering akan berpengaruh cukup besar pada pembentukan fase kristal bahan. Fraksi fase yang terbentuk umumnya bergantung pada waktu dan suhu sintering. Semakin besar suhu sintering dimungkinkan semakin cepat proses pembentukan kristal tersebut, sedangkan sintering yang cukup akan menyebabkan partikel halus menjadi lebih padat. Tinggi rendahnya suhu juga berpengaruh pada bentuk serta ukuran celah dan juga berpengaruh pada struktur pertumbuhan kristal (Van Vlack, 1989; Setyowati, 2011).

Pada proses ini terjadi perubahan struktur mikro, seperti perubahan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas, dan penyusutan massa. Proses sintering dimulai dengan partikel halus yang beraglomerasi menjadi bubuk


(26)

18

yang dikehendaki, dilanjutkan dengan pembakaran yang dapat mengikat partikel. Sintering memerlukan suhu tinggi agar partikel halus dapat beraglomerasi menjadi bahan padat. Sintering menyebabkan butiran-butiran partikel saling mendekat sehingga menyebabkan transformasi padatan berpori menjadi padat (Ristic, 1989; Smith, 1990).

1. Tahapan Sintering

Sintering memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan awal, tahapan medium dan tahapan akhir.

a. Tahapan Awal

Selama tahap awal, kontak titik antar partikel terus meningkat sehingga membentuk pertumbuhan leher (neck growth). Pada tahapan ini, proses densifikasi sangat cepat, sehingga densitas bahan mencapai 60%.

b. Tahapan Medium (pertengahan)

Pada tahapan ini, penggabungan antar butir terus terjadi sehingga membentuk saluran pori yang berkesinambungan, rongga mulai hilang dari saluran silinder dan terbentuklah pori-pori yang berbentuk diskrit. Pada proses ini densitasnya mencapai 92%-95%.

c. Tahapan Akhir

Pada tahap akhir, saluran pori yang kontinu menghilang dan berubah bentuk menjadi pori-pori individu. Pada tahapan ini, proses densifikasi telah berakhir. Proses yang terjadi hanyalah perpaduan antara partikel-partikel yang lebih besar dan pori-pori sudah tertutup. Skema tahapan terbentuknya pertumbuhan leher


(27)

Gambar 6. Tahapan terbentuknya pertumbuhan leher (neck growth) dalam proses sintering (Sembiring, 2012).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sintering

Beberapa hal yang mempengaruhi proses sintering adalah: a. Ukuran Butir

Semakin kecil ukuran butir akan menghasilkan densifikasi yang semakin baik. Bentuk dan ukuran butir yang seragam akan memberikan densitas yang rendah. b. Suhu dan Waktu Pembakaran

Tingkat densifikasi optimal akan tercapai bila kecepatan pembakarannya konstan hingga mencapai suhu maksimal pembakaran. Kemudian ditahan pada suhu tersebut dalam waktu tertentu.

c. Tekanan

Metode penekanan yang efektif adalah dengan hot pressing. Sehingga dapat menghasilkan kepadatan produk yang tinggi (Van Vlack, 2001).


(28)

20

3. Klasifikasi Sintering

Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fase cair (liquid phase

sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan komposit yang diberi

tekanan diasumsikan sebagai fase tunggal, oleh karena tingkat pengotornya rendah. Sedangkan sintering pada fase cair adalah sintering untuk serbuk yang disertai terbentuknya fase liquid selama proses berlangsung. Proses terjadinya sintering dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. Proses sintering padat. (a) Sebelum sintering partikel mempunyai permukaan masing-masing. (b) Setelah sintering hanya mempunyai satu permukaan (Van Vlack, 1989).

Gambar 7 memperlihatkan proses sintering padat. Selama sintering penyusutan serbuk bertambah kuat, pori-pori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh sifat dasar serbuk, kondisi tekanan, aditif, waktu dan suhu sintering. Sintering memerlukan pemanasan agar partikel halus menjadi padat. Sintering tanpa cairan memerlukan difusi dalam bahan padat itu sendiri, sehingga diperlukan suhu tinggi.


(29)

E. Karakterisasi

1. XRD (X-Ray Diffraction)

Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895. Karena asalnya tidak diketahui, maka disebut sinar-X. Sinar-X digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak pada material maupun manusia. Disamping itu, sinar-X dapat menghasilkan pola difraksi tertentu analisis kualitatif dan kuantitatif material.

Pada waktu suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasenya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasenya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi (Ratnasari, dkk, 2009; Oktaviana, 2009).

Jika sinar-X adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang yang sama dengan jarak antar atom dalam kristal, maka sangat mungkin kristal akan mendifraksikan sinar-X. Berdasarkan hasil eksperimen, Van Laue dan dua ahli fisika Inggris, W.H. Bragg serta W.L. Bragg menyatakan bahwa perbedaan lintasan berkas difraksi sinar-X harus merupakan kelipatan panjang gelombang:

(1)

dimana adalah bilangan bulat 1, 2, 3,..., adalah panjang gelombang sinar-X, adalah jarak antar bidang, dan adalah sudut difraksi. Persamaan (1) biasa


(30)

22

dikenal sebagai Hukum Bragg yang merupakan syarat terjadinya difraksi. Skema difraksi sinar-X dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Skema difraksi sinar-X oleh atom dalam kristal (Cullity, 1978). Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material (Zakaria, 2003; Ratnasari, 2009; Suryanarayana, 1998).

Sinar-X dihasilkan dari tumbukan antara elektron kecepatan tinggi dengan logam target. Dari prinsip dasar ini, maka alat untuk menghasilkan sinar-X harus terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu:

a. Sumber elektron (katoda),

b. Tegangan tinggi untuk mempercepat elektron, dan c. Logam target (anoda).


(31)

Ketiga komponen tersebut merupakan komponen utama suatu tabung sinar-X. Skema tabung sinar-X dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Skema tabung sinar-X (Oktaviana, 2009).

2. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Morfologi butir sampel dapat dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM), meliputi ukuran, bentuk dan tekstur butir (Yulianti, 2004). Bila SEM digabungkan dengan EDAX, maka dapat digunakan untuk menganalisis komposisi kimia pada daerah yang sangat sempit dalam orde mikrometer dan pemetaan pada suatu sampel (Siswanto, 2002).

Teknik SEM pada dasarnya merupakan pemeriksaan dan analisis permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau lapisan setebal

20 m, yang merupakan gambar tofografi dari penangkapan elektron sekunder

(secondary electron/ SE) yang dipancarkan oleh spesimen. Ilustrasi prinsip kerja


(32)

24

Gambar 10. Desain prinsip kerja SEM (Anonim A, 2012).

Kata kunci dari prinsip kerja SEM adalah scanning yang berarti bahwa berkas elektron “menyapu” permukaan spesimen titik demi titik dengan sapuan membentuk garis demi garis, mirip seperti gerakan mata yang membaca. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkannya pun adalah titik pada permukaan, yang selanjutnya ditangkap oleh SE detector, kemudian diolah dan ditampilkan pada layar Cathode Ray Tube (CRT). SE adalah elektron yang dihamburkan dari atom logam target setelah ditumbuk oleh elektron pertama dari sinar elektron (Smith, 1990). Scanning coil bekerja secara sinkron mengarahkan berkas elektron pada tabung layar, sehingga didapatkan gambar permukaan spesimen pada layar. Sinyal lain yang penting adalah back scattered electron yang intensitasnya tergantung pada nomor atom unsur spesimen. Dengan cara ini akan diperoleh

Electron gun

Specimen

Beam deflector Lens


(33)

gambar yang menyatakan perbedaan unsur kimia (warna terang menunjukkan adanya unsur kimia yang lebih tinggi nomor atomnya) (Smith, 1990).

Daya pisah atau resolusi pada SEM dihasilkan oleh berkas elektron sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada panjang gelombang cahaya tampak. Hubungan daya pisah (d) dengan panjang

gelombang ( ) dirumuskan oleh Reyleigh:

(2)

Dengan β adalah celah efektif lensa objektif. Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa semakin besar panjang gelombang, maka daya pisahnya semakin baik (Gabriel, 1985).

F. Program Celref

Celref adalah perangkat lunak (soft ware) yang digunakan untuk memperbaiki

(menghaluskan) grafik sebuah data dengan puncak yang bertumpang-tindih (Anonim B, 1999). Celref dikembangkan di Laboratoire des Matériaux et du Génie Physique Ecole Nationale Supérieure de Physique de Grenoble (INPG) Domaine Universitaire oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu untuk proses

refinement data hasil analisis XRD (Laugier dan Bochu, 1999).

Refinement adalah proses pengukuran parameter sel. Tujuan dari proses

refinement atau penghalusan ini adalah untuk mencocokkan atau fitting suatu


(34)

26

Fungsi dari software celref yaitu untuk mengimpor data mentah atau data puncak hasil pengukuran XRD dengan cara memilih puncak yang sesuai berdasarkan

auto-select atau auto-match. Celref memiliki cara kerja yang mudah dalam

menetapkan puncak dari data mentah melalui pencarian parameter sel yang paling mungkin dari data standar internasional yang telah baku menurut program. Setelah proses pencarian parameter sel yang paling mungkin, maka akan diperoleh tampilan dari visual grafik yang paling tepat (Laugier dan Bochu, 1999).


(35)

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material dan Laboratorium Kimia Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Bandung.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: neraca sartorius digital, pipet, spatula, mortar pestle, cetakan sampel (die), tungku (furnace), alat pressing,

crucible, X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Microscopy(SEM).

Sedangkan bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan oksida dan karbonat dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu: Bi2O3 (99,9%) dari strem chemical, PbO (99%) dari aldrick, SrCO3 (99,9%) dari strem chemical, CaCO3 (99,95%) dari strem chemical, dan CuO (99,999%) dari merck.

C. Komposisi Bahan Dasar

Untuk membuat 3 gr sampel BPSCCO-2212 dengan kadar Pb=0,4 dan Ca=1,10 diperlukan bahan awal seperti ditunjukkan pada Tabel 2.


(36)

28

Tabel 2. Komposisi bahan BPSCCO-2212 pada kadar CaCO3=1,10. Bahan Fraksi Massa (gram)

Bi2O3 1,60 1,0894

PbO 0,40 0,2609

SrCO3 2,00 0,8629

CaCO3 1,10 0,3218

CuO 2,00 0,4650

Total 3,0000

D. Preparasi Sampel

Metode yang digunakan adalah metode reaksi padatan (solid state reaction

method) yang terdiri dari penggerusan, peletisasi (pressing) dan pemanasan

(kalsinasi dan sintering). Prosedur kerja dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram alir penelitian.

Penimbangan bahan awal dengan komposisi dasar (BiPb)2Sr2CaCu2O8

Penggerusan 15 jam; Peletisasi

Kalsinasi selama 10 jam pada suhu Tk=800oC

Penggerusan 20 jam; Peletisasi

Sintering selama 20 jam pada variasi suhu Ts=815oC, 820oC, 825oC, dan 830oC

Karakterisasi

1. XRD (X-Ray Diffracttion) 2. SEM (Scanning Electron Microscopy)


(37)

1. Penimbangan

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian terlebih dahulu ditimbang sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Semua bahan yang telah ditimbang ditempatkan pada wadah tersendiri.

2. Penggerusan

Setelah ditimbang, bahan dicampur dan digerus dengan mortar dan pestle secara manual sehingga bahan terasa halus selama 15 jam sebelum kalsinasi dan 20 jam sebelum sintering. Penggerusan bertujuan untuk meningkatkan homogenitas bahan dan memperluas permukaan kontak agar reaksi dapat berlangsung secara stoikiometrik. Dengan demikian, terjadi peningkatan efektivitas reaksi padatan yang membentuk benih-benih senyawa (prekursor).

3. Peletisasi

Metode reaksi padatan (solid state reaction method) bahan superkonduktor BPSCCO-2212 akan lebih mudah berlangsung jika bahan pembentuknya berukuran kecil (luas permukaan kontak besar) dan jaraknya relatif berdekatan satu dengan yang lain (padat). Dengan demikian agar reaksi padatan lebih optimal, maka dilakukan peletisasi yaitu proses pemadatan serbuk bahan yang telah digerus dengan alat pressing. Pada penelitian ini sampel dipelet dengan kekuatan 8 ton.


(38)

30

4. Kalsinasi dan sintering

Beberapa senyawa awal yang berbentuk karbonat perlu didekomposisi pada suhu di bawah titik lelehnya dengan tujuan membuang komposisi yang tidak diperlukan, misalnya:

CaCO3 CaO(s) + CO2 (3) SrCO3 SrO(s) + CO2 (4) Sampel dikalsinasi menggunakan furnace merk termolyne tipe 47900 pada suhu selama 10 jam. Setelah dikalsinasi pelet digerus dan dipelet lagi. Kemudian pelet disintering dengan variasi temperatur sintering (Ts) 815ºC, 820ºC, 825ºC, 830ºC selama 20 jam.

Tujuan kalsinasi adalah untuk menghilangkan senyawa-senyawa karbonat yang tidak diperlukan. Hasil proses kalsinasi biasanya masih belum sempurna karena adanya porositas akibat dekomposisi senyawa-senyawa karbonat. Sehingga perlu dilakukan proses sintering untuk membentuk senyawa tertentu. Diagram kalsinasi dan sintering secara terpisah ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13.

T(°C)

Furnace Cooling

5 15 t (jam) Gambar 12. Diagram proses kalsinasi.


(39)

T(°C)

Ts Furnace Cooling

5 25 t (jam) Gambar 13. Diagram proses sintering.

5. Karakterisasi

Sampel yang telah selesai disintesis kemudian dikarakterisasi menggunakan

X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

a. X-Ray Diffraction (XRD)

Karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X bertujuan untuk mengetahui fase yang terbentuk pada sampel, menganalisis kemurnian serta jenis impuritas yang

terdapat pada sampel berdasarkan intensitas penyerapan terhadap sudut 2θ yang

terbentuk. Pola difraksi sampel diperoleh dengan menembak sampel menggunakan sumber Cu-Kα yang mempunyai panjang gelombang 1,54 Å

menggunakan alat XRD merk PANanalytical tipe X’Pert PRO PW3040/x0. Data

difraksi diambil dalam rentang 2θ = 5° sampai 80°, dengan modus scanning

continue, dan step size sebesar 2θ = 0,05 serta waktu 2 detik per step. Spektrum

XRD memberi informasi mengenai puncakpuncak intensitas pada sudut 2θ tertentu. Dengan bantuan program celref, pola difraksi sampel yang diperoleh dibandingkan dengan pola difraksi serbuk BPSCCO/BSCCO fase 2212 yang dihasilkan Manabe (Manabe, 1988) (Gambar 14). Fase Bi-2212 yang terbentuk


(40)

32

dapat diamati dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P) dan impuritas (I) yang terkandung pada sampel menggunakan rumus sebagai berikut:

(5) (6) (7) Dengan:

Fv = Fraksi volume fase Bi-2212 P = Derajat orientasi

I = Impuritas = Intensitas total

I (2212) = Intensitas fase 2212

I (00l) = Intensitas fase h=0, k=0,dan l=bilangan genap.


(41)

b. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Struktur mikro dari sampel dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hal ini dilakukan untuk melihat ukuran dan bentuk grain sampel. Bahan superkonduktor mempunyai konduktivitas yang cukup besar, sehingga sampel tidak perlu di coating dengan Au atau C, tetapi cukup dengan menempelkan sampel pada holder menggunakan pasta perak.

6. Analisis (program Celref)

Analisis data XRD menggunakan program celref versi ke 3 (CELREF V3) yang disusun oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu. Langkah-langkah dalam analisis data XRD menggukan program ini sebagai berikut:

a. Mengubah data XRD hasil pengukuran yang diperoleh (dalam bentuk

excel) ke dalam bentuk .rd yang ditunjukkan pada Gambar 15.


(42)

34

b. Membuka program celref.

c. Membuka file yang telah dikonversi ke format .rd, dengan cara mengklik file, pilih open, profile file, pilih format Philip format (.rd) yang ditunjukkan pada Gambar16a dan 16b.

(a)

(b)


(43)

d. Memilih puncak-puncak yang terbentuk di program celref (Gambar 17) dan mencocokkan dengan spektrum Mannabe.

Gambar 17. Puncak-puncak yang akan dianalisis.

e. Mengubah “Initial Cell Parameter” dan melakukan proses calculate pada

celref yang ditunjukkan pada Gambar 18. Hal-hal yang diubah

diantaranya:

System : Orthorombic,

Nilai awal kisi kristal: a = 5.4217,

b = 5.3838, dan c = 30.8854.


(44)

36

Gambar 18. Proses penentuan inisial parameter sel dan calculate. f. Memilih “angular tolerance” (0.5 sampai 1) pada “Selecion of the

reflections” yang ditunjukkan pada Gambar 19.


(45)

g. Me-refine puncak yang telah dipilih sampai mendapat hasil yang sesuai antara inisial sebelum dan setelah di-refine sehingga diperoleh seperti Gambar 20.

Gambar 20. Hasil refine.

h. Meng-export data dari program celref ke ms-excel untuk menentukan intensitas yang ditunjukkan pada Gambar 21.


(46)

38

i. Menentukan intensitas puncak yang diperoleh dengan mencari nilai yang mendekati 2T(Obs) pada database excel terhadap data XRD hasil pengukuran, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22.


(47)

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Peningkatan suhu sintering cenderung meningkatkan nilai fraksi volume.

2. Fraksi volume (Fv) pada suhu sintering/Ts=815°C diperoleh 72,39%, Ts=820°C diperoleh 74,56%, Ts=825°C diperoleh 87,34%, dan Ts=830°C diperoleh 90,10%. Impuritas (I) pada suhu sintering/Ts=815°C diperoleh 27,61%, Ts=820°C diperoleh 25,43%, Ts=825°C diperoleh 12,65%, dan Ts=830°C diperoleh 9,90%. Sedangkan derajat orientasi (P) pada suhu sintering/Ts=815°C diperoleh 53,13%, Ts=820°C diperoleh 55,97%, Ts=825°C diperoleh 59,31%, dan Ts=830°C diperoleh 42,43%.

3. Fraksi volume (Fv) dan impuritas (I) relatif baik terdapat pada kode sampel BPSCCO-2212/Ts 830 dengan fraksi volume (Fv) paling tinggi 90,10% dan impuritas (I) paling rendah 9,90%. Sedangkan derajat orientasi (P) relatif baik terdapat pada kode sampel BPSCCO-2212/Ts 825 yaitu sebesar 59,31%.


(48)

48

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk meningkatkan fraksi volume BPSCCO–2212 perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan variasi terhadap waktu penahanan saat pemanasan (kalsinasi/sintering). Selain itu, untuk meningkatkan kualitas kristal perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode lain, misalnya dengan metode pelelehan (self-flux atau flux lainnya (KCl, Bi2O3, NaCl dan lain-lain)).


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim A. 2012. Scanning Electron Microscope. http://www.docstoc.com/docs/ 22448227/. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013 pukul 09.15 WIB. Anonim B. 1999. Using Celref to help Assign a Spacegroup after Powder

Indexing. http://www.ccp14.ac.uk/tutorial/lmgp/celref_sgdetermine. html.

Diakses pada tanggal 19 Maret 2013 pukul 05.03 WIB.

Anwar, F. 2010. Sejarah dan Pengertian Superkonduktor. http://fanwar.staff.uns.ac.id/2010/04/23/sejarah-dan-pengertian

superkonduktor/. Diakses pada tanggal 06 Desember 2012 pukul 07.41 WIB.

Artinta, G. T, dan N. Sianturi. 2002. Properties Superkonduktor. http://www.scribd.com/doc/47809772/2/properties-superkonduktor.

Diakses pada tanggal 6 Desember 2012 pukul 13.05 WIB.

Aruku. 2009. Superkonduktor. http://aruku.byethost7.com/blog/articles/super konduktor/. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.20 WIB. Bourdillon, A and T. N. X Bourdillon. 1994. High Temperature Superconductors

Processing and Science. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher

Academic Press, Inc. Pp. 422.

Chu, C. W, Y. Y. Xue, Z. L. Due, Y. Y. Sun, L. Gao, N. L. Wu, Y. Cao, I. Rusakova, and K. Ross. 1997. Superconductivity Up To 126 Kelvin in Interstitially Doped Ba2Can-1Cu02 [02(n-1)n-Ba. Journal of Science. Volume 277. Pp. 1081-1983.

Cullity, B.D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. USA: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Pp 188 – 196.

Cyrot, M and D. Pavuna. 1992. Introduction To Superconductivity and High-Tc

Material. London: World Scientific Publishing, Tottrridge. Hlm 112.

Darminto. 2002. Karakteristik Fase Gelas Vorteks dalam Kristal Tunggal Superkonduktor (Bi,Pb)

2Sr2CaCu2O8+δ. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3,


(50)

50

Darminto, Nugroho, Rusydi, Menovsky, dan Loeksmanto. 1999. Variasi Tekanan Oksigen dalam Penumbuhan Kristal Tunggal Superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8-δ dan Pengaruhnya. Prosiding ITB. Volume 31, No. 3. Hlm 12-14.

Diantoro, M. 1997. Studi Kinetika Pembentukan Superkonduktor Sistem Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ (2223) melalui Prekursor Fase (Bi,Pb)–2212 (tesis). KBK Fisika Material. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 56 hlm.

Frank, H, R. Stollman, J. Lethen, R. Muller, L. V. Gasparov, N. D. Zakharov, D. Hsse, and G. Guntherodt. 1996. Preparation and Magnetic Properties of (Bi, Pb)- 1212. Journal of Physica C. Volume 2, No. 68. Pp. 100-106. Gabriel, B.L. 1985. SEM: A User Manual Of Material Science. USA: American

Society For Metal. Pp. 37 – 44.

Ghofur, M. 2007. Pengaruh Doping Pb Terhadap Pertumbuhan Fase Bahan

Superkonduktor BPSCCO-22l2 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas

Lampung. 30 hlm.

Harnova, D. 2005. Pengaruh Sistem Sintesis dan Waktu Sintering Terhadap

Pembentukan Fase Bi-2212 Bahan Superkonduktor (skripsi). Bandar

Lampung: Universitas Lampung. 37 hlm.

Herlyn. 2008. Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Konduktivitas Normal Superkonduktor Overdoped Pb (Bi-Pb)2Sr2Ca2Cu3O10 Dengan Metode

Melt-Textured (skripsi). Universitas Negeri Malang. 62 hlm.

Ismunandar dan S. Cun. 2002. Mengenal Superkonduktor. http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1100396563. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 06.20 WIB.

Kittel, C. 1986. Introduction to Solid State Physics seventh edition. New York: John Willey and Sons Inc. Pp. 27 – 42.

Laugier, J. dan Bochu, B. 1999. Basic Demonstration of Celref Unit – Cell

Refinement Software on a Multiphase System. http://www.ccp14.ac.uk/

tutorial/lmgp/celref.htm. Diakses pada 19 Maret 2013 pukul 05.40 WIB. Larasati, A. 2013. Pengaruh Kadar CaCO3 Terhadap Pembentukan Fase Bahan

Superkonduktor BSCCO–2212 dengan Doping Pb (BPSCCO–2212)

(skripsi). Bandar Lampung: Universitas Lampung. 71 hlm.

Lehndorff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy


(51)

Manabe, C. 1988. Superstructure of the Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8 by High Resolution Electron Microscopy. Journal of Nature. Volume 333, No. 6168. Pp. 52–53.

Maple, M. B. 1998. High-Temperature Superconductivity. Journal of Magnetism

and Magnetic Materials. Volume 177, No. 181. Pp. 18-30.

Ningrum, A. S. 2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering pada Sintesis

Superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (skripsi). Bandar Lampung:

Universitas Lampung. 35 hlm.

Nurmalita. 2002. Sintesis Kristal Superkonduktor dengan Metode Melt Textured

Growth (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung. 51 hlm.

Oktaviana, A. 2009. Tugas Makalah Teknologi Penginderaan Mikroskopi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 14-18.

Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. http://geocities.com/dmipa/article/sp /konduktor.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.24 WIB.

Pujaatmaka, A. H dan M. T. Qadratillah. 1995. Glosarium Kimia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 65.

Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur Kristal dan Efek Meissner Dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O

Menggunakan Metode Padatan (skripsi). Solo: Fisika FMIPA Universitas

Negeri Solo. 65 hlm.

Rakhman, R. 2011. Aplikasi Superkonduktor Dalam Transmisi Daya Listrik. http://ryozrakhman.blogspot.com201110super-konduktor.html. Diakses pada tanggal 12 September 2012 pukul 22.42 WIB.

Ratnasari, D, S. Hermanihadi, W. Indriyanto, A. Fathony, F. Devi, P. Agung, Y. A. Rais. 2009. Tugas Kimia Fisika X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 1-7.

Reitz. J.R, J. Frederick, M. Robert, and W. Christy. 1993. Dasar teori Listrik

Magnet (Edisi Ketiga), alih bahasa oleh Suwarno Wiryosimin. Bandung:

ITB. Hlm. 395-397.

Ristic, M. M 1989. Ceramics Pressing and Sintering. Departement of Engineering University of Missoury: Rolla-Rolla Missoury. Pp. 214-219.

Salmah. 2001. Sintesis Superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Proses Pelelehan


(52)

52

Santosa, Usman dan S. Poertadji. 1996. Pembuatan Superkonduktor dengan Metode Sol-Gel. Prosiding Seminar Fisika Lingkungan. Yogyakarta. Hlm. 10 – 21.

Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Preparasi dan Karakterisasi Bahan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 29.

Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Sol-Gel dan Padatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 10-11.

Setyowati. 2011. Proses Sintering. http://www.artikelbagus.com/2011/08/ sintering.html. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 pukul 10.34 WIB. Shukor, R. 2009. High Temperature Superconductors: Materials, Mechanisme,

and Application. Journal of Academy of Science Malaysia. Volume 1, No. 2. Pp. 02-03.

Siswanto. 1999. Sintesis Superkonduktor Keramik BSCCO Fase Tc Tinggi (2223)

Melalui Route Sol-Gel Sitrat. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair

-gdl-res-1999-siswanto-320-synthesis&PHPSESSID= e99ecec43aeb91a7 3c0e368ce140cf5f. Diakses 24 November 2012 pukul 5.21 WIB.

Smith, J. F. 1990. Principles of Materials Science and Engineering. Second

Edition. Singapore: Mc-GrawHill Book Co. Pp. 892.

Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between 800o

C and 825o

C. Journal of Physica. Pp. 201.

Subagja, B. 2007. Pengaruh Variasi persen Berat Bi dan Pemberian Tekanan pada Parameter Kisi dan Ukuran Kristal Sistem Material Sn-Cu-Bi dan

Sn-Cu (skripsi). Depok: Universitas Indonesia. 73 hlm.

Sukirman, E, W. A. Adi, D. S. Winatapura, dan G. C. Sulungbudi. 2003. Review Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal

Sains Materi Indonesia. Volume 4, No. 2. Hlm. 30 – 39.

Sukirman, E. Y. Purwamargapratala, M. N. Indro, A. P. Purnomo. 2010. Sintesis Superkonduktor YBCO 123 dengan Metode Evaporasi. Prosiding

Seminar Nasional Fisika 2010. Hlm. 184 – 193.

Suprihatin. 2008. Pengaruh Variasi Suhu Sintering dalam Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Doping Pb (BPSCCO-2212) pada Suhu Kalsinasi 790oC.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Hlm. 67-73.

Suprihatin. 2002. Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Kehadiran KCl (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung. 34 hlm.


(53)

Suryanarayana. 1998. X-Ray Diffraction A Practical Approach. New York: Plenum Press. Pp. 321.

Tinkham, M. 1996. Introduction to Superconductivity (second edition). Singapore: McGraw-Hill, Inc. Pp. 2-3.

Van Vlack, L. H. 1989. Elements of Materials Science and Engineering (6th Ed.). London, England: Addison- Wesley Publishing Company, INC. Hlm 25-39.

Van Vlack, L. H. 2001.Elemen-Elemen Rekayasa Material. Alih bahasa Sriati. Jakarta: Erlangga. Hlm 30-33.

Wanibesak. 2011. Efek Meissner pada Superkonduktor. http://Wanibesakworckress.com. Diakses 10 November 2012 pukul 6.45 WIB.

Yulianti, N. 2002. Pengaruh Kadar Fluks CaCO3 dan CuO pada Pembentukan Kristal Superkonduktor Bi-2212. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3, No. 1. Hlm. 8 – 14.

Yulianti, N. 2004. Sintesis dan Struktur Mikro Kristal Superkonduktor Bi, Pb-2212 dengan Metode Self-Flux. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 5. Hlm. 8-14. Zakaria. 2003. Analisis Kandungan Mineral Magnetik pada Batuan Beku dari

Daerah Istimewe Yogyakarta dengan Metode X-Ray Diffraction (skripsi).

Universitas Haluoleo: FakultasKeguruan dan Ilmu Pendidikan. 67 hlm. Zarkasi. 2006. Variasi Kadar KCl dan Waktu Slow Cooling dalm Sintesis

Superkonduktor Bi-2212 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas

Lampung. 58 hlm.

Zavaritsky, N. V, A. V. Samoilov, and A. Yurgeus. 1990. Transport Properties of Bi2Sr2CaCu2Oδ Single Crystal With Tc = 95 K. Moscow: University of Kosygina Institute for Physical Problem. Hlm.73.


(1)

48

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk meningkatkan fraksi volume BPSCCO–2212 perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan variasi terhadap waktu penahanan saat pemanasan (kalsinasi/sintering). Selain itu, untuk meningkatkan kualitas kristal perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode lain, misalnya dengan metode pelelehan (self-flux atau flux lainnya (KCl, Bi2O3, NaCl dan lain-lain)).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim A. 2012. Scanning Electron Microscope. http://www.docstoc.com/docs/ 22448227/. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013 pukul 09.15 WIB. Anonim B. 1999. Using Celref to help Assign a Spacegroup after Powder

Indexing. http://www.ccp14.ac.uk/tutorial/lmgp/celref_sgdetermine. html.

Diakses pada tanggal 19 Maret 2013 pukul 05.03 WIB.

Anwar, F. 2010. Sejarah dan Pengertian Superkonduktor. http://fanwar.staff.uns.ac.id/2010/04/23/sejarah-dan-pengertian

superkonduktor/. Diakses pada tanggal 06 Desember 2012 pukul 07.41 WIB.

Artinta, G. T, dan N. Sianturi. 2002. Properties Superkonduktor. http://www.scribd.com/doc/47809772/2/properties-superkonduktor.

Diakses pada tanggal 6 Desember 2012 pukul 13.05 WIB.

Aruku. 2009. Superkonduktor. http://aruku.byethost7.com/blog/articles/super konduktor/. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.20 WIB. Bourdillon, A and T. N. X Bourdillon. 1994. High Temperature Superconductors

Processing and Science. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher

Academic Press, Inc. Pp. 422.

Chu, C. W, Y. Y. Xue, Z. L. Due, Y. Y. Sun, L. Gao, N. L. Wu, Y. Cao, I. Rusakova, and K. Ross. 1997. Superconductivity Up To 126 Kelvin in Interstitially Doped Ba2Can-1Cu02 [02(n-1)n-Ba. Journal of Science. Volume 277. Pp. 1081-1983.

Cullity, B.D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. USA: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Pp 188 – 196.

Cyrot, M and D. Pavuna. 1992. Introduction To Superconductivity and High-Tc

Material. London: World Scientific Publishing, Tottrridge. Hlm 112.

Darminto. 2002. Karakteristik Fase Gelas Vorteks dalam Kristal Tunggal Superkonduktor (Bi,Pb)

2Sr2CaCu2O8+δ. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3,


(3)

50

Darminto, Nugroho, Rusydi, Menovsky, dan Loeksmanto. 1999. Variasi Tekanan Oksigen dalam Penumbuhan Kristal Tunggal Superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8-δ dan Pengaruhnya. Prosiding ITB. Volume 31, No. 3. Hlm

12-14.

Diantoro, M. 1997. Studi Kinetika Pembentukan Superkonduktor Sistem

Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ (2223) melalui Prekursor Fase (Bi,Pb)–2212

(tesis). KBK Fisika Material. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 56 hlm.

Frank, H, R. Stollman, J. Lethen, R. Muller, L. V. Gasparov, N. D. Zakharov, D. Hsse, and G. Guntherodt. 1996. Preparation and Magnetic Properties of (Bi, Pb)- 1212. Journal of Physica C. Volume 2, No. 68. Pp. 100-106. Gabriel, B.L. 1985. SEM: A User Manual Of Material Science. USA: American

Society For Metal. Pp. 37 – 44.

Ghofur, M. 2007. Pengaruh Doping Pb Terhadap Pertumbuhan Fase Bahan

Superkonduktor BPSCCO-22l2 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas

Lampung. 30 hlm.

Harnova, D. 2005. Pengaruh Sistem Sintesis dan Waktu Sintering Terhadap

Pembentukan Fase Bi-2212 Bahan Superkonduktor (skripsi). Bandar

Lampung: Universitas Lampung. 37 hlm.

Herlyn. 2008. Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Konduktivitas Normal Superkonduktor Overdoped Pb (Bi-Pb)2Sr2Ca2Cu3O10 Dengan Metode

Melt-Textured (skripsi). Universitas Negeri Malang. 62 hlm.

Ismunandar dan S. Cun. 2002. Mengenal Superkonduktor. http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1100396563. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 06.20 WIB.

Kittel, C. 1986. Introduction to Solid State Physics seventh edition. New York: John Willey and Sons Inc. Pp. 27 – 42.

Laugier, J. dan Bochu, B. 1999. Basic Demonstration of Celref Unit – Cell

Refinement Software on a Multiphase System. http://www.ccp14.ac.uk/

tutorial/lmgp/celref.htm. Diakses pada 19 Maret 2013 pukul 05.40 WIB. Larasati, A. 2013. Pengaruh Kadar CaCO3 Terhadap Pembentukan Fase Bahan

Superkonduktor BSCCO–2212 dengan Doping Pb (BPSCCO–2212)

(skripsi). Bandar Lampung: Universitas Lampung. 71 hlm.

Lehndorff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy


(4)

Manabe, C. 1988. Superstructure of the Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8 by High Resolution Electron Microscopy. Journal of Nature. Volume 333, No. 6168. Pp. 52–53.

Maple, M. B. 1998. High-Temperature Superconductivity. Journal of Magnetism

and Magnetic Materials. Volume 177, No. 181. Pp. 18-30.

Ningrum, A. S. 2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering pada Sintesis

Superkonduktor Bi-2212 dengan doping Pb (skripsi). Bandar Lampung:

Universitas Lampung. 35 hlm.

Nurmalita. 2002. Sintesis Kristal Superkonduktor dengan Metode Melt Textured

Growth (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung. 51 hlm.

Oktaviana, A. 2009. Tugas Makalah Teknologi Penginderaan Mikroskopi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 14-18.

Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. http://geocities.com/dmipa/article/sp /konduktor.pdf. Diakses pada tanggal 25 September 2012 pukul 05.24 WIB.

Pujaatmaka, A. H dan M. T. Qadratillah. 1995. Glosarium Kimia. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 65.

Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur Kristal dan Efek Meissner Dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O

Menggunakan Metode Padatan (skripsi). Solo: Fisika FMIPA Universitas

Negeri Solo. 65 hlm.

Rakhman, R. 2011. Aplikasi Superkonduktor Dalam Transmisi Daya Listrik. http://ryozrakhman.blogspot.com201110super-konduktor.html. Diakses pada tanggal 12 September 2012 pukul 22.42 WIB.

Ratnasari, D, S. Hermanihadi, W. Indriyanto, A. Fathony, F. Devi, P. Agung, Y. A. Rais. 2009. Tugas Kimia Fisika X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hlm. 1-7.

Reitz. J.R, J. Frederick, M. Robert, and W. Christy. 1993. Dasar teori Listrik

Magnet (Edisi Ketiga), alih bahasa oleh Suwarno Wiryosimin. Bandung:

ITB. Hlm. 395-397.

Ristic, M. M 1989. Ceramics Pressing and Sintering. Departement of Engineering University of Missoury: Rolla-Rolla Missoury. Pp. 214-219.

Salmah. 2001. Sintesis Superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Proses Pelelehan


(5)

52

Santosa, Usman dan S. Poertadji. 1996. Pembuatan Superkonduktor dengan Metode Sol-Gel. Prosiding Seminar Fisika Lingkungan. Yogyakarta. Hlm. 10 – 21.

Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Preparasi dan Karakterisasi Bahan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 29.

Sembiring, S. 2012. Penuntun Praktikum Sol-Gel dan Padatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm. 10-11.

Setyowati. 2011. Proses Sintering. http://www.artikelbagus.com/2011/08/ sintering.html. Diakses pada tanggal 9 Desember 2012 pukul 10.34 WIB. Shukor, R. 2009. High Temperature Superconductors: Materials, Mechanisme,

and Application. Journal of Academy of Science Malaysia. Volume 1, No. 2. Pp. 02-03.

Siswanto. 1999. Sintesis Superkonduktor Keramik BSCCO Fase Tc Tinggi (2223)

Melalui Route Sol-Gel Sitrat. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair

-gdl-res-1999-siswanto-320-synthesis&PHPSESSID= e99ecec43aeb91a7 3c0e368ce140cf5f. Diakses 24 November 2012 pukul 5.21 WIB.

Smith, J. F. 1990. Principles of Materials Science and Engineering. Second

Edition. Singapore: Mc-GrawHill Book Co. Pp. 892.

Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between 800o

C and 825o

C. Journal of Physica. Pp. 201.

Subagja, B. 2007. Pengaruh Variasi persen Berat Bi dan Pemberian Tekanan pada Parameter Kisi dan Ukuran Kristal Sistem Material Sn-Cu-Bi dan

Sn-Cu (skripsi). Depok: Universitas Indonesia. 73 hlm.

Sukirman, E, W. A. Adi, D. S. Winatapura, dan G. C. Sulungbudi. 2003. Review Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal

Sains Materi Indonesia. Volume 4, No. 2. Hlm. 30 – 39.

Sukirman, E. Y. Purwamargapratala, M. N. Indro, A. P. Purnomo. 2010. Sintesis Superkonduktor YBCO 123 dengan Metode Evaporasi. Prosiding

Seminar Nasional Fisika 2010. Hlm. 184 – 193.

Suprihatin. 2008. Pengaruh Variasi Suhu Sintering dalam Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Doping Pb (BPSCCO-2212) pada Suhu Kalsinasi 790oC.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Hlm. 67-73.

Suprihatin. 2002. Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Kehadiran KCl (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung. 34 hlm.


(6)

Suryanarayana. 1998. X-Ray Diffraction A Practical Approach. New York: Plenum Press. Pp. 321.

Tinkham, M. 1996. Introduction to Superconductivity (second edition). Singapore: McGraw-Hill, Inc. Pp. 2-3.

Van Vlack, L. H. 1989. Elements of Materials Science and Engineering (6th Ed.). London, England: Addison- Wesley Publishing Company, INC. Hlm 25-39.

Van Vlack, L. H. 2001.Elemen-Elemen Rekayasa Material. Alih bahasa Sriati. Jakarta: Erlangga. Hlm 30-33.

Wanibesak. 2011. Efek Meissner pada Superkonduktor. http://Wanibesakworckress.com. Diakses 10 November 2012 pukul 6.45 WIB.

Yulianti, N. 2002. Pengaruh Kadar Fluks CaCO3 dan CuO pada Pembentukan Kristal Superkonduktor Bi-2212. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3, No. 1. Hlm. 8 – 14.

Yulianti, N. 2004. Sintesis dan Struktur Mikro Kristal Superkonduktor Bi, Pb-2212 dengan Metode Self-Flux. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 5. Hlm. 8-14. Zakaria. 2003. Analisis Kandungan Mineral Magnetik pada Batuan Beku dari

Daerah Istimewe Yogyakarta dengan Metode X-Ray Diffraction (skripsi).

Universitas Haluoleo: FakultasKeguruan dan Ilmu Pendidikan. 67 hlm. Zarkasi. 2006. Variasi Kadar KCl dan Waktu Slow Cooling dalm Sintesis

Superkonduktor Bi-2212 (skripsi). Bandar Lampung: Universitas

Lampung. 58 hlm.

Zavaritsky, N. V, A. V. Samoilov, and A. Yurgeus. 1990. Transport Properties of

Bi2Sr2CaCu2Oδ Single Crystal With Tc = 95 K. Moscow: University of