SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2223 TANPA DOPING Pb (BSCCO-2223) DENGAN KADAR Ca = 2,10 PADA BERBAGAI SUHU SINTERING (SYNTHESIS OF Bi-2223 SUPERCONDUCTOR WITHOUT DOPING Pb (BSCCO-2223) WITH LEVELS OF Ca = 2,10 AT VARIOUS TEMPERATURE OF SINTERING)

(1)

iii Oleh

YUNITA SUBARWANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

i ABSTRAK

SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2223 TANPA DOPING Pb (BSCCO-2223) DENGAN KADAR Ca = 2,10 PADA BERBAGAI SUHU

SINTERING

Oleh

YUNITA SUBARWANTI

Sintesis superkonduktor BSCCO-2223 tanpa doping Pb (BSCCO-2223) pada kadar Ca = 2,10 telah dilakukan dengan metode padatan. Sintesis dilakukan selama 10 jam pada suhu kalsinasi 800oC dan selama 20 jam pada suhu sintering yang bervariasi yaitu 840oC, 845oC, 850oC, dan 855oC. Variasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu sintering terhadap pembentukan fase bahan superkonduktor yang dilihat berdasarkan fraksi volume, impuritas, dan derajat orientasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu sintering dapat meningkatkan fraksi volume dan menurunkan impuritas. Fraksi volume BSCCO-2223 yang relatif tinggi adalah 80,43% pada suhu sintering 855oC. Sedangkan fraksi volume terendah adalah 73,22% pada suhu sintering 840oC. Derajat orientasi tertinggi adalah 67,80% pada suhu 855oC. Sedangkan derajat orientasi terendah adalah 56,69% pada suhu 850oC. Berdasarkan hasil SEM diinformasikan bahwa semua sampel telah menunjukkan lapisan-lapisan yang tersusun searah (terorientasi) dengan ruang kosong antara lempengan (void) relatif kecil.

Kata kunci: Superkonduktor, BSCCO-2223, suhu sintering, fraksi volume, derajat orientasi, impuritas.


(3)

ii

TEMPERATURE OF SINTERING

By

YUNITA SUBARWANTI

The synthesis of BSCCO-2223 superconductor without doping Pb (BSCCO-2223) at levels of Ca = 2,10 has been carried out with solid method. The synthesis carried out 10 hours at temperature of calcination 800oC and 20 hours at temperature of sintering that varied is 840oC, 845oC, 850oC, and 855oC. Variation was carried out to determine the effect of temperature sintering on phase formation superconducting material that views based on volume fraction, impurities and the degree of orientation. Result of the research shows the increase temperature of sintering could increase the volume fraction and decrease impurity. Volume fraction of BSCCO-2223 that is relatively high is 80,43% at temperature of sintering 855oC. While the lowest volume fraction is 73,22% at temperature of sintering 840oC. The degree of orientation high is 67,80% at temperature of sintering 855oC. While the lowest degree of orientation is 56,69% at temperature 850oC. Based on the results of SEM informed that all samples have shown the layers are arranged in the same direction and the empty spaces between plate (void) is relatively small.

Keywords: Superconductor, BSCCO-2223, temperature of sintering, volume fraction, degree of orientation, impurity.


(4)

(5)

(6)

xv DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

MOTTO ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWACANA ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 3

D. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Superkonduktor ... 5


(7)

xvi

C. Efek Meissner ... 9

D. Superkonduktor Sistem BSCCO ... 11

E. Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223 ... 12

F. Kalsinasi ... 14

G. Sintering ... 15

H. X-Ray Diffraction (XRD) ... 16

I. Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 17

J. Celref (Cell Refinement) ... 20

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

B. Alat dan Bahan ... 21

C. Komposisi Bahan ... 22

D. Preparasi Sampel 1. Penimbangan ... 24

2. Penggerusan ... 24

3. Peletisasi ... 24

4. Kalsinasi dan Sintering ... 24

E. Karakterisasi 1. X-Ray Diffraction (XRD) ... 26

2. Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Pengukuran Pola Difraksi X-Ray Diffraction (XRD) ... 28

B. Hasil Analisis X-Ray Diffraction (XRD) ... 31

C.Hasil Perekaman Foto Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 34

B. Saran ... 34 DAFTAR PUSTAKA


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Superkonduktor merupakan suatu material yang dapat menghantarkan arus listrik tanpa kehilangan energi, karena memiliki resistivitas bernilai nol pada suhu rendah (ρ = 0). Selain itu, medan magnet superkonduktor juga bernilai nol (B = 0) pada suhu rendah. Bahan superkonduktor akan berubah menjadi konduktor, insulator dan semikonduktor pada suhu ruang. Suhu terjadinya perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktivitas disebut suhu kritis (Tc) (Ismunandar & Cun, 2002).

Fenomena superkonduktivitas pertama kali ditemukan oleh Heike Kamerlingh Onnes pada tahun 1911 di Leiden Belanda. Berdasarkan penelitiannya, Onnes menyatakan bahwa hambatan listrik kawat merkuri (Hg) mendadak menuju nol ketika suhunya diturunkan sampai mendekati 4 K atau -269ºC. Kendala yang dihadapi pada aplikasi bahan superkonduktor adalah sifat superkonduktivitas bahan akan muncul pada suhu yang sangat rendah. Kendala tersebut dapat teratasi setelah ditemukan superkonduktor suhu kritis tinggi (Darminto dkk, 1999).

Superkonduktor suhu tinggi ditemukan pada awal tahun 1988, yaitu superkonduktor oksida Bi-Sr-Ca-Cu-O dan Ti-Ba-Ca-Cu-O dengan suhu kritis


(9)

(Tc) berturut-turut 110 K dan 125 K (Sukirman dkk, 2003). Khusus untuk superkonduktor Bi-Sr-Ca-Cu-O (BSCCO) dikenal tiga fase yang berbeda, yaitu fase 2201 (Tc~10 K), fase 2212 (Tc~80 K) dan fase BSCCO-2223 (Tc~110 K) (Yulianti, 2004). Kelebihan dari superkonduktor sistem BSCCO adalah suhu kritisnya tinggi, mudah dibentuk, tidak mudah patah, tidak beracun, dan dapat dikembangkan sebagai lapisan tipis (Darminto, 2002).

Banyak studi yang telah dilakukan untuk mendapatkan superkonduktor dengan suhu kritis tinggi, misalnya Purwamargapratala (2005) melakukan penelitian yang hasilnya dengan penambahan Ag pada superkonduktor BSCCO-2223 maka rapat arus kritis bahan menjadi lebih baik. Marhaendrajaya (2005) mengkaji pembentukan kristal BPSCCO-2223 dengan metode self-flux yang hasilnya menunjukkan bahwa waktu lelehan 5 menit setelah sintering 120 jam memiliki fraksi volume fase 2223 yang paling besar.

Penelitian-penelitian yang lainnya juga terus dilakukan untuk memperoleh superkonduktor suhu kritis tinggi, yaitu dengan atau tanpa doping dan memvariasikan suhu kalsinasi atau sintering. Suhu kalsinasi dan sintering merupakan salah satu faktor penting dalam sintesis superkonduktor yang dapat mempengaruhi keadaan struktur mikro dan sifat bahan superkonduktor.

Hasil penelitian variasi suhu kalsinasi dan sintering yang dilakukan oleh Santoso (2006) menunjukkan bahwa kalsinasi pada suhu 800ºC dan sintering pada suhu 850ºC diperoleh bahan superkonduktor BSCCO-2223 (Bi2-Sr2-Ca2-Cu3-O) dengan fraksi volume relatif tinggi. Khafifah (2010) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kalsinasi pada suhu 800ºC dan sintering pada suhu 860ºC


(10)

3

diperoleh ukuran kristal superkonduktor BSCCO-2223 semakin besar dengan fraksi volume yang besar. Handayani (2012) pada penelitiannya menunjukkan bahwa kadar Ca = 2,10 merupakan persentase terbaik dalam sintesis superkonduktor BSCCO-2223 yang ditandai fraksi volume dan derajat orientasi yang tinggi serta impuritas yang rendah.

Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis superkonduktor BSCCO-2223 tanpa doping Pb (BSCCO-2223) pada kadar Ca = 2,10 dengan variasi suhu sintering: 840ºC, 845ºC, 850ºC, dan 855ºC. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Berapa suhu sintering yang relatif paling baik dalam pembentukan fase BSCCO-2223?

2. Bagaimana tingkat kemurnian fase BSCCO-2223 yang terbentuk dengan menganalisis data XRD untuk menghitung nilai fraksi volume, impuritas dan derajat orientasi?

C. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Sintesis bahan superkonduktor BSCCO-2223 dilakukan dengan metode reaksi padatan (solid state reaction methode).


(11)

2. Kalsinasi dilakukan pada suhu 800ºC selama 10 jam.

3. Variasi suhu sintering yang dilakukan: 840ºC, 845ºC, 850ºC, dan 855ºC selama 20 jam dengan kadar Ca = 2,10.

4. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan XRD dan SEM.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan suhu sintering yang relatif paling baik dalam pembentukan fase bahan superkonduktor BSCCO-2223.

2. Mengetahui tingkat kemurnian fase BSCCO-2223 yang terbentuk dengan menganalisis data XRD untuk menghitung nilai fraksi volume, impuritas dan derajat orientasi.

E. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai:

1. Bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya BSCCO-2223.

2. Dapat menjadi tambahan referensi di Jurusan Fisika khususnya bidang Material, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Superkonduktor

Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada tanggal 10 Juli 1908, Onnes mencairkan helium dengan cara mendinginkan hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada saat itu diketahui bahwa hambatan dari suatu logam akan menurun ketika didinginkan di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika suhu logam mendekati 0 K atau nol mutlak (Widodo, 2010).

Beberapa ilmuwan lainnya, William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak. Sedangkan ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada suhu mencapai nol mutlak. Untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi, kemudian Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat murni. Sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya. Ketika pada suhu 4,2 K, Onnes melihat hambatannya tiba-tiba menjadi hilang tetapi arusnya mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus.


(13)

Pada keadaan tidak adanya hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi sedikitpun. Onnes mengalirkan arus pada suatu kumparan superkonduktor dalam rangkaian tertutup, kemudian sumber arusnya dicabut. Satu tahun kemudian, Onnes mengukur arusnya dan ternyata arus masih tetap mengalir. Kemudian oleh Onnes fenomena ini diberi nama superkonduktivitas. Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1913 (Yuliati, 2010).

Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan bahwa bahan superkonduktor menolak medan magnet. Telah diketahui bahwa, jika suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet maka arus induksi akan mengalir dalam konduktor tersebut. Akan tetapi, arus dalam bahan superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan magnet tersebut, sehingga material superkonduktor tidak dapat ditembus oleh medan magnet. Fenomena ini dikenal dengan istilah diamagnetisme dan efek ini kemudian dinamakan Efek Meissner (Ismunandar & Chun, 2002).

Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffer mengajukan teori tentang superkonduktor yaitu bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Teori BCS menjadikan ketiga ilmuwan tersebut memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972 (Pikatan, 1989). Pada tahun 1986 fisikawan dari Switzerland yaitu Alex Müller and George Bednorz, melakukan penelitian di Laboratorium Riset IBM di Rüschlikon.


(14)

7

Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum, barium, tembaga, dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu tertinggi 30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal sebagai isolator dan pada suhu ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama sekali. Setahun kemudian keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel (Aruku, 2009).

Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor pada suhu 90 K. Sehingga dapat didinginkan menggunakan nitrogen cair. Karena suhunya cukup tinggi dibandingkan material superkonduktor yang lain, maka material-material tersebut diberi nama superkonduktor suhu tinggi. Suhu tertinggi superkonduktor saat ini adalah 138 K, yaitu untuk bahan Hg0.8Ti1.2Ba2Ca2Cu3O8.33 (Ismunandar & Chun, 2002).

B. Karakteristik Superkonduktor

Suatu bahan dapat dibedakan berdasarkan sifat konduktivitas elektrik atau resistivitasnya. Ada empat kelompok bahan berdasarkan resistivitasnya, yaitu: isolator (106-1020 Ωm), semikonduktor (10-4-106 Ωm), konduktor (10-8-10-4 Ωm), dan superkonduktor (nilai resistivitasnya nol) (Juhari, 2005).

1. Tanpa resistivitas (ρ = 0) pada T < Tc

Pada suhu rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol (ρ = 0). Material yang didinginkan di dalam nitrogen cair atau helium cair, resistivitasnya akan turun seiring dengan penurunan suhu. Pada suhu tertentu, resistivitas material akan turun secara drastis menjadi nol. Suhu dimana resistivitas material turun drastis menjadi nol ini disebut suhu kritis (Tc), yaitu


(15)

terjadinya transisi dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor (Pikatan, 1989). Hubungan antara suhu dengan resistivitas terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas listrik (Pikatan, 1989). Dari Gambar 1, pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, artinya bahan tersebut memiliki resistivitas listrik. Dalam keadaan normal bahan ini dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek atau isolator. Untuk suhu T ≤ Tcbahan berada dalam keadaan superkonduktor, artinya bahan akan menolak medan yang datang, disebabkan karena medan luar yang diberikan selalu sama besar dengan magnetisasi bahan. Hal ini ditandai dengan resistivitasnya turun drastis menjadi nol (Pikatan, 1989).

2. Medan magnetik superkonduktor nol (B = 0)

Suatu bahan dikatakan sebagai superkonduktor jika menampilkan sifat diamagnetik, yaitu medan magnet (B) sama dengan nol jika bahan didinginkan hingga di bawah Tc dan medan magnet yang diberikan tidak terlalu tinggi (Sukirman dkk, 2003). Hal ini terjadi karena superkonduktor menolak fluks magnet yang mencoba memasuki bahan superkonduktor (Cyrot & Pavuna, 1992).

ρ


(16)

9

C. Efek Meissner

Pada tahun 1933, Meissner dan Ochsenfeld mengamati sifat kemagnetan superkonduktor. Ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetik sempurna (menolak medan magnet), sehingga apabila sebuah magnet tetap diletakkan di atas bahan superkonduktor, maka magnet tersebut akan melayang. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Fenomena ini dikenal dengan nama efek Meissner. Jika bahan superkonduktor yang berada di atas suhu kritisnya (T > Tc) diletakkan di atas suatu medan magnet, maka medan magnet akan menerobos ke dalam bahan, sehingga terjadi induksi magnet di dalam bahan. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor yang berada di bawah suhu kritisnya (T < Tc) dikenai medan magnet, maka superkonduktor akan menolak medan magnet yang mengenainya (Pikatan, 1989). Efek Meissner bahan superkonduktor ditunjukkan seperti Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Efek Meissner (Windartun, 2010).

Gambar 3. Bahan superkonduktor dapat melayangkan magnet di atasnya (Ismunandar, 2002).

H


(17)

Bc Bc1 Bc Bc2

Pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh parameter λ yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalamannya. Sedangkan λ membesar dengan naiknya suhu. Pada T = Tc harga λ tak berhingga besarnya, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut, atau dengan kata lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya. Teori London juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan superkonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal, superkonduktor tipe I dan tipe II adalah seperti pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I dan (b) tipe II (Pikatan, 1989).

Berdasarkan Gambar 4, superkonduktor tipe I memiliki satu nilai medan magnet kritis (Bc), sedangkan superkonduktor tipe II memiliki dua nilai medan magnet


(18)

11

kritis (Bc1 dan Bc2) (Salmah, 2001). Superkonduktor tipe I membutuhkan suhu yang sangat dingin agar menjadi bahan superkonduktor, yaitu ketika medan magnet luar (H) lebih kecil dari medan magnet kritis (Bc). Sehingga medan magnet luar akan ditolak sepenuhnya oleh bahan superkonduktor. Contoh superkonduktor tipe I adalah Hg, Pb dan La.

Sedangkan superkonduktor tipe II, pada daerah medan magnet B < Bc1 bahan superkonduktor bersifat seperti superkonduktor tipe I dan pada daerah Bc1 < B < Bc2 medan magnet luar dapat menembus bahan. Pada kondisi ini superkonduktor dalam keadaan tercampur. Contoh superkonduktor tipe II adalah V3Si dan Nb3Sn (Smitth, 1990).

D. Superkonduktor Sistem BSCCO

Superkonduktor sistem BSCCOmerupakan superkonduktor oksida keramik yang mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang koherensi yang pendek (Herlyn, 2008).

Superkonduktor sistem BSCCO memiliki keunggulan dibandingkan superkonduktor keramik yang lainnya karena suhu kritisnya (Tc) relatif tinggi dan tidak mengandung unsur beracun. Dalam superkonduktor sistem BSCCO dikenal 3 fase superkonduktif yaitu fase 2201 (Bi2Sr2CuO) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 10 K, fase 2212 ( Bi2Sr2CaCu2O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 80 K


(19)

dan fase 2223 (Bi2Sr2Ca2Cu3O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 110 K (Siswanto, 1999). Struktur kristal sistem BSCCO ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur kristal sistem BSCCO (Lehndroff, 2001).

E. Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223

Untuk memperoleh fase tunggal atau kristal tunggal superkonduktor fase 2223 ada beberapa upaya yang telah dilakukan, seperti menggunakan doping Pb dan Ag, doping Pb dan Sb, menggunakan fluks (Bi2O3, KCI, dan NaCl). Selain itu juga dilakukan dengan mengubah beberapa parameter pemrosesan seperti variasi komposisi awal (Rachmawati, 2009).

Superkonduktor fase 2223 adalah superkonduktor yang memiliki Tc paling tinggi daripada fase 2201 dan 2212, sehingga banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan fase 2223 murni. Menurut Strobel (1992) walaupun pada proses sintesis senyawa yang diinginkan merupakan fase dengan komposisi dan struktur


(20)

13

tertentu, namun hasil akhir biasanya akan menghadirkan beberapa fase lain. Diagram fase superkonduktor dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram fase superkonduktor BSCCO.

Berdasarkan Gambar 6, terdapat lima daerah yang terjadi pembentukan fase 2223, yaitu daerah fase BSCCO-2212+BSCCO-2223+L1, daerah c (BSCCO-2223+(Sr, Ca)2CuO3+L1), daerah d (BSCCO-2223+(Sr, Ca)2CuO3+CuO+L1), daerah fase BSCCO-2223+(Sr, Ca)2CuO3+CuO, dan daerah fase BSCCO-2212+BSCCO-2223. Terdapat dua daerah fase yang berupa padatan, yaitu daerah yang tidak mengandung cairan (L1). Untuk menghindari fase impuritas seperti CuO, (Sr, Ca)2CuO3 dan fase lainnya, maka daerah fase BSCCO-2212 dan BSCCO-2223 merupakan daerah yang paling efektif dalam menumbuhkan fase 2223, karena hanya mengandung fase 2212 dan fase 2223 (Marhaendrajaya, 2001). Sedangkan


(21)

fase 2223 terbentuk dari proses pengintian dan penumbuhan fase 2212 yang terjadi pada suhu 840 C sampai 880 C (Sukirman, 2003).

F. Kalsinasi

Kalsinasi merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang tidak diperlukan di bawah titik leleh. Pada proses ini terjadi reaksi dekomposisi secara endotermik, dimana garam seperti karbonat/ hidroksida akan menguap sehingga menghasilkan produk padatan yang berupa oksida (Irfan, 2012). Contoh reaksi yang terjadi pada kalsinasi adalah:

CaCo3 CaO(s) + CO2(g) (1)

BaCO3 BaO(s) + CO2(g) (2)

(Ningrum, 2006).

Peristiwa yang terjadi selama kalsinasi antara lain:

1. Pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH), berlangsung sekitar suhu 100 C sampai 300 C.

2. Pelepasan gas-gas, seperti CO2 berlangsung sekitar suhu 600 C dan pada tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup drastis.

3. Pada suhu lebih tinggi sekitar 800 C struktur kristal sudah terbentuk, pada kondisi ini ikatan antar partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Mukti, 2012).

Selain menghilangkan zat-zat yang tidak diperlukan, kalsinasi juga mempengaruhi fraksi volume dalam sintesis bahan superkonduktor BSCCO. Fraksi volume akan semakin besar dengan kenaikan suhu dan waktu tahan kalsinasi serta sintering


(22)

15

(Khafifah, 2010). Kalsinasi yang tidak sempurna mengakibatkan permukaan sampel menggelembung. Beberapa faktor yang mempengaruhi kalsinasi, yaitu suhu pemanasan, waktu penahanan suhu dan kecepatan pendinginan (Suryawan, 2008).

G. Sintering

Sintering merupakan proses pembakaran (pemanasan pada temperatur tinggi) yang secara global menurunkan energi bebas disertai perubahan dimensional. Menurut Van Vlack (1991) sintering merupakan proses pengikatan secara termal yang bertujuan untuk merubah bentuk partikel-partikel kecil atau kelompok-kelompok kecil yang seragam sehingga membentuk ikatan yang kuat dan keras. Prinsip-prinsip yang melandasi proses sintering ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Prinsip sintering (a) sebelum sintering, (b) setelah sintering (Van Vlack, 1991).

Terdapat tiga tahapan dalam sintering, antara lain: 1. Tahap Awal

Secara mikrostruktural pada keadaan awal terdapat pemuaian, belum terjadi proses sintering dan susunan patikel tidak berubah. Selama sintering tahap


(23)

awal terjadi penyusunan kembali (rearrangement), yaitu sedikit gerakan atau rotasi partikel untuk mempertinggi jumlah kontak antarpartikel dan pembentukan kaitan antar butir (neck).

2. Tahap Intermedier (kedua)

Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan.

3. Tahap Akhir

Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat, ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara dkk, 2007).

H. X-Ray Diffraction (XRD)

Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncak-puncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak-puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-X yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-X berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal. Ketajaman sinar-X yang didifraksikan merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal.


(24)

17

Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-X karena panjang gelombang sinar-X berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-X dengan kisi pada bidang Kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncak-puncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991).

(3) dengan: n = 1, 2, 3…. (orde difraksi), λ = panjang gelombang, d (hkl) = jarak antar bidang, θ = sudut difraksi, dan hkl = indeks miller. Terjadinya difraksi sinar-X oleh atom ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Skema difraksi sinar-X oleh atom dalam kristal (Cullity, 1978).

I. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Menurut Gabriel (1985) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat untuk menganalisis struktur mikro dan morfologi pada bidang material sains,


(25)

kedokteran dan biologi. SEM dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara mikroskopik. Kemampuan analisis SEM melebihi mikroskop optik (Sutiani, 2009).

Teori SEM didiskripsikan oleh fisikawan Jerman Dr. Max Knoll pada 1935. Tetapi fisikawan Jerman lainnya Dr. Manvred von Ardenne mengklaim telah melakukan penelitian prinsip-prinsip SEM dan interaksinya terhadap sampel pada tahun 1937. Pada 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr. Vladimir Kosma Zworykin, Dr. James Hillier dan Dr. Snijder, benar-benar membangun sebuah mikroskop elektron pemindaian SEM dengan resolusi hingga 50 nm atau magnifikasi 8.000 kali. Sebagai perbandingan, SEM modern sekarang ini mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali (Hadiyanti, 2012).

Menurut Gabriel (1985) SEM mempunyai kemampuan daya pisah atau resolusi yang sangat tinggi, hingga orde 100 Å. Daya pisah SEM dihasilkan oleh berkas elektron sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek daripada panjang gelombang cahaya tampak. Hubungan daya pisah (d) dengan panjang gelombang (λ) dirumuskan oleh Reyleigh:

(4) dengan β adalah celah efektif lensa objektif. Makin besar panjang gelombang, maka daya pisahnya semakin baik. Selain daya pisah yang baik, SEM mampu memperlihatkan bayangan relief yang ditimbulkan oleh kontras elektron sekunder dan kedalaman fokus (depth of field) sehingga menampilkan gambar dengan pola dua dimensi. Secara lengkap prinsip kerja SEM dapat dilihat pada Gambar 9.


(26)

19

Backscattered electron detector

Specimen

Secondary electron detector

Gambar 9. Prinsip Kerja Scanning Electron Microscopy (SEM).

Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan sampel dengan berkas elektron berenergi tinggi yang dihasilkan electron gun. Elektron ditembakkan ke arah sampel yang melalui anoda dan magnetic lens, kemudian dipantulkan kembali oleh permukaan sampel. Berkas elektron (elektron sekunder) yang dipantulkan oleh sampel akan diterima oleh detektor. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam pola gelap terang pada layar monitor Cathode Ray Tube (CRT). Pada layar CRT ini gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011).

Electron gun

Electron beam

Magnetic lens

Anode


(27)

J. Celref (Cell Refinement)

Celref adalah perangkat lunak yang digunakan untuk memperbaiki parameter kisi dengan metode least-square yang dibuat oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu di Laboratorium des Materiaux et du Genie Physique Ecole Nationale Superieure de Physique de Grenoble. Celref dapat digunakan untuk membantu menetapkan space group dari data XRD hasil pengukuran. Perangkat lunak ini sangat berguna untuk menyelesaikan data yang memiliki puncak overlap karena banyak puncak kecil yang muncul dari hasil XRD. Berdasarkan data tersebut dipilih kurang dari 20 puncak tertinggi dan terorientasi (Janghorban, 2009).

Jika proses refine menggunakan puncak tertinggi tidak sesuai dengan jumlah puncak yang berlaku dalam program, maka akan dicari model yang tepat sehingga sesuai dengan data awal yang diukur. Misalnya mengukur data XRD hanya dalam satu puncak, yaitu puncak maksimum sudut theta daripada menggunakan banyak puncak. Apabila menggunakan banyak puncak akan menghasilkan koreksi kesalahan yang lebih banyak (Laugier dan Bochu, 1999).


(28)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Universitas Lampung dan Laboratorium Kimia Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung. Sedangkan untuk karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning Electron Microscopy) dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL).

B. Alat dan Bahan

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan oksida dan karbonat dengan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu: Bi2O3 (99,9%), SrCO3 (99,9%), CaCO3 (99,95%), dan CuO (99,999%).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: neraca sartorius digital, pipet, spatula, mortar, pastle keramik, cetakan sampel (die), tungku (furnace), alat pressing, crucible, X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Microscopy (SEM).


(29)

C. Komposisi Bahan

Komposisi bahan awal yang dibutuhkan untuk membuat 3 gram sampel superkonduktor BSCCO-2223 tanpa doping Pb, dengan kadar CaCO3 = 2,10 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi bahan Bi-2223 dengan CaCO3 = 2,10

Bahan Awal Fraksi Massa hitung untuk setiap

3 gram sampel

Bi2O3 2 1,1553

SrCO3 2 0,7320

CaCO3 2,10 0,5211

CuO 3 0,5916

Total 3,0000

D. Preparasi Sampel

Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode reaksi padatan (solid state reaction method) yang terdiri dari penggerusan, peletisasi (pressing) dan pemanasan (kalsinasi dan sintering). Prosedur penelitian secara garis besar dijelaskan pada Gambar 10.


(30)

23

Penimbangan bahan awal BSCCO-2223 dengan kadar

CaCO3 2,10

Penggerusan dan pencetakan

Kalsinasi selama 10 jam

pada suhu (Tk) 800oC

Penggerusan dan pencetakan

Sintering selama 20 jam

pada suhu (Ts) 840oC,

845oC, 850oC, dan 855oC

Karakterisasi

SEM (Scanning Electron Microscopy)

XRD (X-Ray

Diffraction)


(31)

1. Penimbangan

Bahan dasar yang akan digunakan terlebih dahulu ditimbang sesuai dengan perhitungan yang telah ditentukan. Kemudian semua bahan ditempatkan pada wadah tersendiri.

2. Penggerusan

Setelah proses penimbangan, bahan dicampur dan digerus dengan mortar dan pastle secara manual sampai bahan terasa halus selama ± 15 jam. Penggerusan bertujuan untuk meningkatkan homogenitas bahan dan dapat memperluas permukaan kontak agar reaksi dapat berlangsung secara stoikiometrik. Dengan demikian, terjadi peningkatan efektivitas reaksi padatan yang membentuk benih-benih senyawa (prekusor).

3. Peletisasi

Reaksi padatan bahan superkonduktor dapat ditingkatkan dengan peletisasi, yaitu memadatkan serbuk bahan yang telah digerus sehingga tercetak dalam bentuk lingkaran dengan ukuran tertentu menggunakan alat pressing. Reaksi padatan menjadi dipermudah karena jarak yang diperdekat akibat padatan tersebut. Peletisasi menggunakan alat pressing dengan kekuatan 8 ton.

4. Kalsinasi dan Sintering

Sampel dikalsinasi pada suhu 800ºC selama 10 jam. Tujuan kalsinasi adalah membentuk senyawa prekusor. Diagram proses kalsinasi ditunjukkan pada Gambar 11.


(32)

25

Gambar 11. Diagram kalsinasi.

Setelah dikalsinasi sampel digerus dan dipelet kembali, kemudian disintering. Tujuan sintering adalah untuk membentuk senyawa dengan fase tertentu. Faktor fisika yang paling mempengaruhi sintering adalah temperatur. Secara khusus, proses yang terjadi selama sintering adalah necking antara butiran-butiran dan selanjutnya terjadi perubahan porositas (Bourdillon, 1994). Sampel disintering pada suhu (Ts) = 840oC, 845oC, 850oC, 855oC selama 20 jam, seperti ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Diagram sintering.

E. Karakterisasi

Superkonduktor hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning Electron Microscopy).

T (ºC)

t (jam) 25

5

Ts Furnace Cooling

T (ºC)

t (jam) 15

5


(33)

1. XRD (X-Ray Diffraction)

Karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X bertujuan untuk melihat dan mempelajari fase-fase yang terbentuk, serta menganalisis tingkat kemurnian fase (fraksi volume, derajat orientasi dan impuritas). Pola difraksi sinar-X/spektrum XRD diperoleh dengan menembak sampel menggunakan sumber Cu-Kα dengan panjang gelombang 1,54 Å. Data difraksi diambil dalam rentang 2θ = 5° sampai 80°, dengan modus scanning continu dan step size sebesar 2θ = 0,05 serta waktu 2 detik per step. Dari spektrum XRD terlihat adanya puncak-puncak intensitas yang terdeteksi tiap sudut difraksi 2θ. Fase BSCCO-2223 yang terbentuk dapat ditentukan dengan menghitung fraksi volume (Fv), derajat orientasi (P) dan impuritas (I) menggunakan rumus sebagai berikut:

(5)

(6)

(7)

Dengan:

Fv = Fraksi volume fase BSCCO-2223 P = Derajat orientasi

I = Impuritas Itotal = Intensitas total

I(2223) = Intensitas fase 2223


(34)

27

Untuk menentukan fase yang terbentuk, spektrum XRD hasil pengukuran dibandingkan dengan spektrum XRD serbuk BPSCCO/BSCCO fase 2223 yang dihasilkan oleh Mannabe, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Spektrum ini merupakan rujukan untuk menentukan kemurnian fase (Budi, 2002). Analisis XRD dilakukan dengan program celref.

Gambar 13. Spektrum XRD Superkonduktor BPSCCO/BSCCO fase 2223.

2. SEM (Scanning Electron Microscopy)

Struktur mikro dari sampel dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Hal ini dilakukan untuk melihat ukuran dan bentuk grain sampel. Oleh karena konduktivitas yang cukup besar, maka sampel tidak perlu dicoating dengan Au atau C, tetapi dengan menempelkan sampel pada holder menggunakan pasta perak.


(35)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:

1. Suhu sintering yang relatif paling baik dalam sintesis superkonduktor BSCCO-2223 adalah 855oC yang ditunjukkan dengan fraksi volume tinggi (80,43%), derajat orientasi tinggi (67,80%) dan impuritas yang rendah (19,57%).

2. Tingkat kemurnian fase BSCCO-2223 yang terbentuk dengan fraksi volume pada suhu sintering 840oC adalah 73,22%, 845oC adalah 76,45%, 850oC adalah 79,55%, dan 855oC adalah 80,43%. Impuritas yang diperoleh pada suhu sintering 840oC adalah 26,78%, 845oC adalah 23,55%, 850oC adalah 20,55%, dan 855oC adalah 19,57%. Sedangkan derajat orientasi pada suhu sintering 840oC adalah 57,01%, 845oC adalah 57,83%, 850oC adalah 56,69%, dan 855oC adalah 67,80%.

B. Saran

Untuk meningkatkan kemurnian fase (fraksi volume dan derajat orientasi) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara memvariasikan suhu sintering lebih banyak dengan rentang yang relatif kecil, dan bisa juga dilakukan variasi lamanya waktu sintering. Penambahan doping pada sintesis superkonduktor BSCCO-2223


(36)

35

juga dapat meningkatkan fraksi volume. Selain itu, dapat dilakukan dengan metode pelelehan menggunakan self-flux atau flux lain.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Aruku. 2009. Superkonduktor. http://aruku.byethost7.com. Diakses 10 Maret 2010.

Budi, E. 2002. Fabrikasi dan Karakterisasi Pita Komposit Superkonduktor BPSCCO-2223/Ag dengan Metode PIT (tesis). ITB. Bandung.

Bourdillon, A., and Tan, B. 1994. High Temperature Superconductor: Processing and Science. Academic Press Inc., Harcourt Brace Jovanovich

Publisher. San Diego. P422.

Cullity, B. D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. USA.

Cyrot, M and Pavuna, D. 1992. Introduction to Superconductivity and High-Tc Materials. Word Scientific Publishing, Inc. Singapore.

Darminto, Nugroho, Rusydi, Menovsky, dan Loeksmanto. 1999. Variasi Tekanan Oksigen dalam Penumbuhan Kristal Tunggal Superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8-δ dan Pengaruhnya. Prosiding ITB. Vol. 31 No. 3. hlm

12-14.

Darminto. 2002. Karakterisasi Fase Gelas Vorteks dalam Kristal Tunggal Superkonduktor (Bi, Pb)2Sr2CaCu2O8+δ. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 3.

Gabriel, B. L. 1985. SEM: A User’s Manual for Material Science. The American Society for Metal. USA.

Hadiyanti, M. R. Mikroskop Elektron. http://meilinarisky.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2012 pukul 11.47 WIB

Handayani, H. 2012. Sintesis Bahan Superkonduktor Bi-2223 Tanpa Doping Pb dengan Berbagai Kadar CaCO3 (skripsi). Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Herlyn. 2008. Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Konduktivitas Normal Superkonduktor Overdoped Pb (Bi-Pb)2Sr2Ca2Cu3O10 Dengan Metode


(38)

37

Hikmah, U. 2011. Nanokristalisasi Superkonduktor (B, Pb)2Sr2CaCu2O8+δ dengan

Metode Pencampuran Basah dengan Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering (skripsi). Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Irfan. 2012. Perbedaan Kalsinasi dan Sintering. http://repository.upi.edu. Diunduh pada tanggal 21 Februari 2013 pukul 16.49 WIB.

Ismunandar dan Sen Cun. 2002. Mengenal Superkonduktor. http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2012 pukul 10.37 WIB.

Janghorban, A. 2009. Celref. http://amin.janghorban.perso.sfr.fr. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 09.41 WIB.

Juhari, S. 2005. Variasi Suhu kalsinasi dan Sintering dalam Sintesis Bahan Superkonduktor Bi-2212 (skripsi). Universitas lampung. Bandar lampung. Khafifah, Baqiya dan Darminto. 2010. Nanokristalisasi Superkonduktor

Bi2Sr2Ca2Cu3O10+δ dengan Variasi Kalsinasi dan Sinter Melalui Metode

Pencampuran Basah (skripsi). Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Laugier, J. dan Bochu, B. 1999. Basic Demonstration of Celref Unit-Cell Refinement Software on a Multiphase System. http://www.ccp14.ac.uk/tutorial/Imgp/celref.htm. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 22.40 WIB.

Lehndroff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy Technology Fundamental Aspects. Spinger-Verlag. Berlin.

Mannabe, C. 1988. Superstructure of the Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8 by High Resolution Electron Microscopy. Journal of Nature. Volume 333, No. 6168. Pp. 52-53.

Marhaendrajaya, I. 2001. Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metode Lelehan. Jurnal Berkala Fisika. Vol. 4, No. 2. 7 hlm.

Marhaendrajaya, I. 2005. Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metode Self-Fluks. Jurnal Berkala Fisika. Vol. 8, No. 2. 8 hlm. Mukti, K. 2012. Perlakuan Panas, Annealing, Hidrolisis, Pirolisis, Kalsinasi.

http://kusnantomukti.blog.uns.ac.id. Diunduh pada tanggal 21 Februari 2013 pukul 15.15 WIB.

Ningrum, A. S. 2006. Variasi Suhu kalsinasi dan Sintering pada Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Doping Pb (skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(39)

Oktara, T. T., Maschur, A., Laili, A. N., Irwan., Umaroh., Rohadiana. 2007. Uji Vickers pada Komposit SiC-Al. ITS. Surabaya.

Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. http://geocities.com. Diunduh pada tanggal 31 Maret 2012 pukul 17.35 WIB.

Purwamargapratala, Y., Sukirman, E., Winatapura, D. S., Adi, W. A. 2005. Peningkatan Rapat Arus Kritis Superkonduktor BSCCo-2223 dengan Penambahan Ag. Jurnal Sains Material Indonesia. Vol. 6, No. 3.

Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur Kristal dan Efek Meissner dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O Menggunakan Metode Padatan (skripsi). UNS. Semarang.

Rahmat, N. M. 2011. Scanning Electron Microscope (SEM) & Energy Dispersive X-Ray (EDX). http://teenagers-moslem.blogsot.com. Diunduh pada tanggal 6 April 2012 pukul 9.44 WIB.

Salmah. 2001. Sintesis Superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Proses Pelelehan

dan Karakterisasinya (skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso, H. 2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering pada Sintesis Superkonduktor Bi-2223 Tanpa Doping Pb (skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Siswanto. 1999. Sintesis Superkonduktor Keramik BSCCO Fase Tc Tinggi (2223) Melalui Route Sol-Gel Sitrat. Universitas Airlangga. Surabaya.

Smitth, W. F. 1990. Principles of Materials Science and Enginering. Mc Graw-Hill Book Co. Singapore.

Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between

800⁰C and 825⁰C. Physica. 201 pp.

Sukirman, E., Adi, W. A., Winatapura, D. S., Sulungbudi, G. C. 2003. Review Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol. 4.

Suryawan, I. 2008. Pengaruh Tebal Umpan Butiran Bola (NH4)2U2O7.(C2H4O)2 dan Waktu Kalsinasi Terhadap Densitas U3O8. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengolahan Perangkat Nuklir.

Sutiani, A. 2009. Metode Karakterisasi Bahan Polimer. Jurnal Kultura. Vol. 10, No. 1.

Van Vlack, L. H. 1991. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam). Edisi ke-5. Terjemahan Sriati. Erlangga. Jakarta.


(40)

39

Widodo, H. 2010. Nanokristal Superkonduktor Bi2SrCa2Cu3O10+x dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+6 dengan Metode Kopresipitasi dan Pencampuran Basah. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Telaah. Vol. 28.

Windartun. 2008. Superkonduktor. http://file.upi.edu/Direktori. Diunduh 31 Maret 2012 pukul 17.48 WIB.

Yulianti, N. 2004. Sintesis Kristal Superkonduktor Bi-2212 dengan Metode Self Fluks. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 5.

Yuliati, T. 2010. Sintesis Superkonduktor BPSCCO/Ag Menggunakan Metode Padatan (skripsi). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:

1. Suhu sintering yang relatif paling baik dalam sintesis superkonduktor BSCCO-2223 adalah 855oC yang ditunjukkan dengan fraksi volume tinggi (80,43%), derajat orientasi tinggi (67,80%) dan impuritas yang rendah (19,57%).

2. Tingkat kemurnian fase BSCCO-2223 yang terbentuk dengan fraksi volume pada suhu sintering 840oC adalah 73,22%, 845oC adalah 76,45%, 850oC adalah 79,55%, dan 855oC adalah 80,43%. Impuritas yang diperoleh pada suhu sintering 840oC adalah 26,78%, 845oC adalah 23,55%, 850oC adalah 20,55%, dan 855oC adalah 19,57%. Sedangkan derajat orientasi pada suhu sintering 840oC adalah 57,01%, 845oC adalah 57,83%, 850oC adalah 56,69%, dan 855oC adalah 67,80%.

B. Saran

Untuk meningkatkan kemurnian fase (fraksi volume dan derajat orientasi) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara memvariasikan suhu sintering lebih banyak dengan rentang yang relatif kecil, dan bisa juga dilakukan variasi lamanya waktu sintering. Penambahan doping pada sintesis superkonduktor BSCCO-2223


(2)

35

juga dapat meningkatkan fraksi volume. Selain itu, dapat dilakukan dengan metode pelelehan menggunakan self-flux atau flux lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aruku. 2009. Superkonduktor. http://aruku.byethost7.com. Diakses 10 Maret 2010.

Budi, E. 2002. Fabrikasi dan Karakterisasi Pita Komposit Superkonduktor BPSCCO-2223/Ag dengan Metode PIT (tesis). ITB. Bandung.

Bourdillon, A., and Tan, B. 1994. High Temperature Superconductor: Processing and Science. Academic Press Inc., Harcourt Brace Jovanovich

Publisher. San Diego. P422.

Cullity, B. D. 1978. Element of X-Ray Diffraction. Addison-Wesley Publishing Company, Inc. USA.

Cyrot, M and Pavuna, D. 1992. Introduction to Superconductivity and High-Tc Materials. Word Scientific Publishing, Inc. Singapore.

Darminto, Nugroho, Rusydi, Menovsky, dan Loeksmanto. 1999. Variasi Tekanan Oksigen dalam Penumbuhan Kristal Tunggal Superkonduktor Bi2Sr2CaCu2O8-δ dan Pengaruhnya. Prosiding ITB. Vol. 31 No. 3. hlm

12-14.

Darminto. 2002. Karakterisasi Fase Gelas Vorteks dalam Kristal Tunggal Superkonduktor (Bi, Pb)2Sr2CaCu2O8+δ. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 3.

Gabriel, B. L. 1985. SEM: A User’s Manual for Material Science. The American Society for Metal. USA.

Hadiyanti, M. R. Mikroskop Elektron. http://meilinarisky.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2012 pukul 11.47 WIB

Handayani, H. 2012. Sintesis Bahan Superkonduktor Bi-2223 Tanpa Doping Pb dengan Berbagai Kadar CaCO3 (skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Herlyn. 2008. Pengaruh Lama Pemanasan Terhadap Konduktivitas Normal Superkonduktor Overdoped Pb (Bi-Pb)2Sr2Ca2Cu3O10 Dengan Metode Melt-Textured (skripsi). Universitas Negeri Malang. Malang.


(4)

37

Hikmah, U. 2011. Nanokristalisasi Superkonduktor (B, Pb)2Sr2CaCu2O8+δ dengan Metode Pencampuran Basah dengan Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering (skripsi). Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Irfan. 2012. Perbedaan Kalsinasi dan Sintering. http://repository.upi.edu. Diunduh pada tanggal 21 Februari 2013 pukul 16.49 WIB.

Ismunandar dan Sen Cun. 2002. Mengenal Superkonduktor. http://www.fisikanet.lipi.go.id. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2012 pukul 10.37 WIB.

Janghorban, A. 2009. Celref. http://amin.janghorban.perso.sfr.fr. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 09.41 WIB.

Juhari, S. 2005. Variasi Suhu kalsinasi dan Sintering dalam Sintesis Bahan Superkonduktor Bi-2212 (skripsi). Universitas lampung. Bandar lampung. Khafifah, Baqiya dan Darminto. 2010. Nanokristalisasi Superkonduktor

Bi2Sr2Ca2Cu3O10+δ dengan Variasi Kalsinasi dan Sinter Melalui Metode Pencampuran Basah (skripsi). Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Laugier, J. dan Bochu, B. 1999. Basic Demonstration of Celref Unit-Cell Refinement Software on a Multiphase System. http://www.ccp14.ac.uk/tutorial/Imgp/celref.htm. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 22.40 WIB.

Lehndroff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy Technology Fundamental Aspects. Spinger-Verlag. Berlin.

Mannabe, C. 1988. Superstructure of the Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8 by High Resolution Electron Microscopy. Journal of Nature. Volume 333, No. 6168. Pp. 52-53.

Marhaendrajaya, I. 2001. Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metode Lelehan. Jurnal Berkala Fisika. Vol. 4, No. 2. 7 hlm.

Marhaendrajaya, I. 2005. Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metode Self-Fluks. Jurnal Berkala Fisika. Vol. 8, No. 2. 8 hlm. Mukti, K. 2012. Perlakuan Panas, Annealing, Hidrolisis, Pirolisis, Kalsinasi.

http://kusnantomukti.blog.uns.ac.id. Diunduh pada tanggal 21 Februari 2013 pukul 15.15 WIB.

Ningrum, A. S. 2006. Variasi Suhu kalsinasi dan Sintering pada Sintesis Superkonduktor Bi-2212 dengan Doping Pb (skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(5)

Oktara, T. T., Maschur, A., Laili, A. N., Irwan., Umaroh., Rohadiana. 2007. Uji Vickers pada Komposit SiC-Al. ITS. Surabaya.

Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. http://geocities.com. Diunduh pada tanggal 31 Maret 2012 pukul 17.35 WIB.

Purwamargapratala, Y., Sukirman, E., Winatapura, D. S., Adi, W. A. 2005. Peningkatan Rapat Arus Kritis Superkonduktor BSCCo-2223 dengan Penambahan Ag. Jurnal Sains Material Indonesia. Vol. 6, No. 3.

Rachmawati, A. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur Kristal dan Efek Meissner dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O Menggunakan Metode Padatan (skripsi). UNS. Semarang.

Rahmat, N. M. 2011. Scanning Electron Microscope (SEM) & Energy Dispersive X-Ray (EDX). http://teenagers-moslem.blogsot.com. Diunduh pada tanggal 6 April 2012 pukul 9.44 WIB.

Salmah. 2001. Sintesis Superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Proses Pelelehan dan Karakterisasinya (skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso, H. 2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering pada Sintesis Superkonduktor Bi-2223 Tanpa Doping Pb (skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Siswanto. 1999. Sintesis Superkonduktor Keramik BSCCO Fase Tc Tinggi (2223) Melalui Route Sol-Gel Sitrat. Universitas Airlangga. Surabaya.

Smitth, W. F. 1990. Principles of Materials Science and Enginering. Mc Graw-Hill Book Co. Singapore.

Strobel. 1992. Phase Diagram of System Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+2n Between 800⁰C and 825⁰C. Physica. 201 pp.

Sukirman, E., Adi, W. A., Winatapura, D. S., Sulungbudi, G. C. 2003. Review Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol. 4.

Suryawan, I. 2008. Pengaruh Tebal Umpan Butiran Bola (NH4)2U2O7.(C2H4O)2 dan Waktu Kalsinasi Terhadap Densitas U3O8. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengolahan Perangkat Nuklir.

Sutiani, A. 2009. Metode Karakterisasi Bahan Polimer. Jurnal Kultura. Vol. 10, No. 1.

Van Vlack, L. H. 1991. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam). Edisi ke-5. Terjemahan Sriati. Erlangga. Jakarta.


(6)

39

Widodo, H. 2010. Nanokristal Superkonduktor Bi2SrCa2Cu3O10+x dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+6 dengan Metode Kopresipitasi dan Pencampuran Basah. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Telaah. Vol. 28.

Windartun. 2008. Superkonduktor. http://file.upi.edu/Direktori. Diunduh 31 Maret 2012 pukul 17.48 WIB.

Yulianti, N. 2004. Sintesis Kristal Superkonduktor Bi-2212 dengan Metode Self Fluks. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 5.

Yuliati, T. 2010. Sintesis Superkonduktor BPSCCO/Ag Menggunakan Metode Padatan (skripsi). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.


Dokumen yang terkait

ANALISIS PELONGGARAN KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP ABNORMAL RETURN DAN TRADING VOLUME ACTIVITY DI BURSA EFEK INDONESIA: PENDEKATAN EVENT STUDY (Analysis of Policy Easing of Loan To Value (LTV) Against Abnormal Return and Trading Volume Activity I

0 24 7

SINTESIS BAHAN SUPERKONDUKTOR BSCCO-2223 TANPA DOPING Pb PADA BERBAGAI KADAR CaCO3

2 13 51

Variasi Kadar CaCO3 dalam Pembentukan Fase Bahan Superkonduktor BSCCO-2223 dengan Doping Pb (BPSCCO-2223)

0 23 44

VARIASI SUHU SINTERING DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR Bi-2212 DENGAN DOPING Pb (BPSCCO-2212) PADA KADAR Ca=1,10 (VARIATION OF SINTERING TEMPERATURE IN THE SYNTESIS OF Bi-2212 SUPERCONDUCTOR WITH Pb DOPANT (BPSCCO-2212) ON THE CONTENT OF Ca=1,10)

7 68 53

PEMBENTUKAN FASE BAHAN SUPERKONDUKTOR Bi-2223 DENGAN DOPING Pb (BPSCCO-2223) PADA KADAR Ca = 2,10 DENGAN VARIASI SUHU SINTERING (PHASE FORMATION OF BSCCO-2223 SUPERCONDUCTING MATERIALS WITH Pb DOPING (BPSCCO-2223) ON THE LEVEL OF Ca = 2,10 WITH VARIATION

5 37 47

SINTESIS DAN KARAKTERISASI MICROSUPER KONDUKTOR BSCCO FASA 2223 DENGAN DOPING SN DAN PB.

2 13 16

EFEK DOPING Pb RENDAH PADA SUPERKONDUKTOR SISTEM BSCCO–2223 | Santosa | Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika 7717 16531 2 PB

0 0 4

KARAKTERISASI SUPERKONDUKTOR BSCCO-2223 YANG DISINTESIS DENGAN METODE REAKSI PADATAN

0 0 15

PENGARUH VARIASI PERLAKUAN DOPING Pb PADA Bi DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO TERHADAP EFEK MEISSNER DAN SUHU KRITIS

0 0 37

Analisa Pengaruh Pengumuman Right Issue Terhadap Capital Gain dan Trading Volume Activity Pada Perusahaan Non Manufaktur Di Bursa Efek Jakarta.

0 0 13