1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 2995 KPdt2012
1
terdapat dugaan wanprestasi
breach of contract
yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Sellular
–selanjutnya Penulis singkat dengan PT. Telkomsel
saja — terhadap satu dari jutaan pelanggan perusahaan telekomunikasi tersebut.
Pelanggan tersebut adalah Prof. Dr. Farauk Muhhamad. Hampir dapat
dipastikan bahwa dugaan wanprestasi atau dugaan adanya
breach of contract
yang mungkin sudah dilakukan PT. Telkomsel terhadap Perjanjiannya dengan Prof. Dr. Farauk Muhhamad dimaksud muncul mengingat di mata si pihak
penggugat, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad itu sendiri atau bisa jadi
menurut kuasa hukumnya; tidak dilaksanakannya suatu hal tertentu di pihak
operator telekomunikasi PT. Telkomsel itu. Bisa jadi, ingkar janji
breach of contract
itu mungkin dituduhkan karena ada hubungan hukum perjanjian bernama
nominate contract
antara si pihak operator telepon PT. Telkomsel dan pelanggannya Prof. Dr. Farauk Muhhamad. Bukan kah di dalam hukum
1
Untuk selanjutnya dalam Skripsi ini Penulis singkat dengan PutusanMARI 2995.
2
itu tidak mungkin ada ingkar janji apabila tidak ada hubungan hukum perikatan? Perlu dikemukakan di sini bahwa hubungan hukum yang disebut di
dalam Ilmu Hukum sebagai perjanjian bernama
nominate contra ct
dimaksud adalah hubungan hukum keperdataan sewa-menyewa. Hubungan hukum yang
termasuk dalam kategori hubungan hukum atau perjanjian bernama sewa- menyewa itu dalam kategori klasifikasi menurut ilmu hukum; berdasarkan
kepentingan yang diatur disebut dengan hukum perdata hukum privat
2
Sebagai hubungan hukum perdata, maka kepentingan yang diurusi oleh hukum di sana,
di dalam hubungan hukum antara PT. Telkom dan pelanggannya tersebut
adalah kepentingan perseorangan. Hukum mengatur hak dan kewajiban perorangan, mengatur hak dan kewajiban kedua pihak itu saja. Dalam hal ini
kepentingan yang diatur adalah kepentingan pihak yang satu terhadap kepentingan pihak yang lainnya secara timbal-balik bilateral. Hubungan
hukum yang bertimbal-balik itu terjadi baik di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat dan Negara. Pelaksanaan atas hak-hak dan
kewajiban yang tercipta dalam hubungan hukum seperti itu diserahkan kepada kehendak
consent
masing-masing pihak atau merupakan urusan privat; alias hubungan hukum keperdataan; Negara tidak berkepentingan untuk masuk
mencampuri urusan itu, kecuali Negara juga merupakan pihak di dalam Perikatan tersebut.
2
Mengenai cara menentukan klasifikasi hukum, ada yang menempuh cara penentuan klasifikasi hukum berdasarkan kategori-kategori, mulai dari kategori sistem hukum, klasifikasi berdasarkan
kriteria fungsi, dan seterusnya. Profesor Dr. Sudikno Mertokusumo SH, Mengenal Hukum Suatu Pengantar
, Liberty, Yogyakarta, hal., 119 – 126.
3
Untuk lebih mempertajam pengertian hubungan hukum privat tersebut, ada kalanya orang yang mempelajari dan mendalami hukum; akan membedakan
antara hukum privat dengan hukum publik. Tujuan hukum publik adalah melindungi kepentingan umum sedangkan tujuan hukum perdata adalah
melindungi kepentingan perseorangan atau individu.
3
Dalam kategori klasifikasi hubungan hukum seperti itu, maka hubungan hukum yang bersifat bilateral yaitu
dalam konteks penulisan Skripsi ini hubungan hukum yang dilakukan antara
pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamadsebagaimana
dikemukakan di atas menjadi ―
trigger point
‖ di balik permasalahan hukum yang diangkat ke dalam karya tulis ini haruslah dipahami sebagai hubungan hukum
yang tunduk kepada kaedah-kaedah hukum privat. Tujuan yang dilindungi
hukum di dalam hubungan hukum antara pihak PT. Telkomseldengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad adalah tujuan-tujuan perseorangan. Maksud
tujuan perseorangan yang dilindungi itu adalah tujuan yang murni merupakan tujuan yang telah disepakati bersama
mutual consent
. Hal seperti itu dimungkinkan, sebab dalam hubungan hukum privat, segala sesuatu diserahkan
kepada kehendak antara kedua pihak tersebut
consensus in idem
; dalam hal ini segala sesuatu yang telah disepakati oleh pihak atau subyek hukum berbentuk
badan PT. Telkomseldengan pihak atau subyek hukum manusia biologis, dalam hal ini Prof. Dr. Farauk Muhhamad berlaku sebagai undang-undang yang
mengikat mereka itu
pacta sunt servanda
, sama seperti mengikatnya Undang-
3
Sudikno Mertokusumo, Ibid., hlm., 123.
4
undang yang dibuat oleh
Legislator
atau
Parliament
yang tidak boleh diganggu gugat.
Hanya saja, disamping
pacta sunt servanda
yang bersifat privat di atas, Hukum, dalam hal ini Undang-undang juga mengatur dan memberikan pedoman
yang dapat dirujuk dalam pembuatan kesepakatan di antara para pihak, pembatasan-pembatasan yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan
kesepakatan itu disertai dengan ancaman sanksi yang diberikan oleh hakim atas ketidakpatuhan pihak-pihak. Penulis mendalilkan bahwa di Indonesia, hubungan
hukum seperti yang terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr Farauk Muhhamad memedomani dan mematuhi batasan-batasan yang sudah
ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata, dan beberapa ketentuan khusus mengenai perjanjian bernama yang disebut dengan
sewa-menyewa telekomunikasi dapat ditransposisikan dengan hubungan hukum
Landlord and Tenant
. Berbagai macam ketentuan yang menjadi pedoman hubungan hukum swa-menyewa di Indonesia diatur di dalam Buku Ke-III Bab
Ketujuh, dimulai dari Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1600. Pengaturan di dalam undang-undang hasil Kodifikasi sebagaimana diatur dalam Buku III
KUHPerdatayang pernah berlaku di Kerajaan Belanda tempo duluitu meskipun sudah banyak perkembangan di negara asalnya namun masih menjadi rujukan di
Indonesia sebagai Buku Hukum. Bahkan ada masih banyak kalangan yang memandang Buku hukum
BW
itu sebagai Undang-undang dengan sistem terbuka.
5
Tidak terlalu berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, di Inggris, terutama di Skotlandia yang tidak pernah dijajah Roma, asas-asas dan kaedah
hukum yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa sebagaimana yang
terjadi antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad itu sudah jauh berkembang meskipun nama aslinya masih tetap
dipakai untuk menandai pola hubungan hukum seperti itu. Nama asli yang masih dipertahankan itu adalah nama
nomenclature
tradisional ketika institusi hukum itu dipakai dalam zaman feodal.Institusi
Landlord and Tenant
memang harus diakui sebagai pola hubungan hukum feodal tidak feodalistis namun tidak
tertinggal oleh tuntutan zaman. Sekali lagi perlu dikemukakan di sini bahwa hubungan hukum sewa-menyewa yang sudah mengalami perkembangan dan
yang menurut Penulis dapat dijadikan rujukan dalam memahami persoalan apakah ada wanprestasi yang murni bersifat keperdataan atau privat ataukah
justru hal dan sifat hukum yang lain di balik hubungan hukum para pihak yaitu
PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad dikenal dengan
hubungan hukum antara
Landlord
dan
Tenant.
4
Itulah sebabnya, atau itulah alasan mengapa, dalam Skripsi ini, pola hubungan hukum sewa-menyewa dalam bidang Telekomunikasi, semisal yang
kebetulan menjadi fokus analisis penelitian dan penulisan karya tulis ini yaitu
pola hubungan hukum antara pihak PT. Telkomsel dengan pihak Prof. Dr.
4
Studi yang mendetail mengenai hal ini dapat dilihat dalam suatu apa yang di Indonesia disebut dengan Disertasi Doktor, namun di Inggris dikenal dengan Thesis PhD, dengan judul: A
Comparative Study of the Indonesian Law of Leases with Reference to the Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its Indonesian Counterpart
, ditulis oleh Jeferson Kameo untuk the Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow, Scotland, Juni 2005. Thesis
dimaksud tidak dipublikasikan.
6
Farauk Muhhamad it
u dipotret dalam ―terang‖ perspektif pola hubungan hukum
Landlord
dan
Tenant
. Pola hubungan hukum seperti itu, terutama pertanggungjawabannya, seperti telah dikemukakan di atas, untuk hal-hal
tertentu harus tunduk kepada hukum positif Indonesia yaitu Buku III KUHPerdata Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun, dalam
perpektif Ilmu Hukum, tidak ada salahnya apabila metoda perbandingan hukum
comparative law
dipergunakan, dan pola hubungan hukum
Landlord
dan
Tenant
itu kemudian dipakai oleh Penulis sebagai model.Atas dasar bangunan argumentasi dan perspektif perbandingan hukum yang dikonstruksikan Penulis
di atas tersebut, tindakan yang dilakukan PT. Telkomseldapat dilihat atau
ditransposisikan sebagai tindakan
Landlord
.Tindakan atau perbuatan hukum itu bisa jaditelah menyebabkan pelanggaran atas hak-hak penyewa sebagai
tenant
.Sebagai penyewa
Tenant
,Prof. Dr. Farauk Muhhamad, merasa bahwa
dia mengalami kerugian sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si
Landlord
.
5
Perasaan seperti itu adalah suatu persoalan hukum wanprestasi karena dalam hubungan hukum antara para pihak tersebut telah terdapat hak dan
kewajiban atau prestasi masing-masing yang sudah disepakati masing-masing pihak dan telah diatur dan dilindungi oleh perjanjian sewa-menyewa. Dari sisi
atau pihak Prof. Dr. Farauk Muhhamad, seharusnya operator sellular
memperhatikan dan menghargai apa yang sudah menjadi hak dari dirinya sebagai pelanggan. Sebaliknya, dari sisi pihak
Landlord
PT. Telkomsel
5
Diskripsi yang mendetail mengenai kecurigaan atau dugaan Penggugat seperti itu dapat dilihat dalam Bab II Skripsi ini, ketika Penulis menggambarkan kasus-kasus yang telah diputus
Pengadilan.
7
seharusnya pihak pelanggan juga memperhatikan dan menghargai apa yang sudah menjadi hak pihaknya sebagai operator telekomunikasi.
Apabila suatu gambaran awal tentang persoalan di balik Putusan MARI 2995itu harus dikemukakan di sini, menurut pelanggan, dalam hubungan hukum
itu sepertinya tidak ada pertanggungjawaban atas hak-hak pelanggan yang harus
dilakukan oleh pihak operator sellular. Pelanggan Prof. Dr. Farauk Muhhamad merasa bahwa ada ketidak-terbukaan informasi mengenai biaya
roaming
internasional yang dikenakan PT. Telkomsel kepada dirinya oleh si
operator selluar tersebut. Pelanggan juga merasa bahwa tindakan pemblokiran kartu hallo milik pelanggan yang dilakukan secara sepihak oleh operator sellular
menyebabkan pelanggan menduga
Landlord
menyimpangi formulir layanan pelanggan yang menjadi perjanjian mengangsur
instalments
biaya
roaming
yang dikenakan kepada diri si pelanggan dan mengakibatkan kerugian harus dialami oleh pelanggan. Adapun kerugian tersebut, menurut pelanggan,
berbentuk kerugian materiil maupun kerugian immaterial
6
Padahal, menurut pihak
Tenant
, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan memberikan jaminan yang jelas atas hak-hak konsumen. Hanya saja, di pihak
lain,
Landlord,
dalam hal ini PT. Telkomsel tidak sependapat dengan apa yang
dikemukakan oleh si pihak
Tenant
tersebut. Terjadilah sengketa yang berujung kepada Putusan MARI 2995.
6
Loc. Cit., Putusan MARI 2995.
8
Perselisihan atau sengketa di antara kedua belah pihak sebagaimana mengenai aspek-aspek telah dikemukakan di atas adalah merupakan suatu bukti
bahwa ada perkembangan dalam hubungan hukum sewa-menyewa yang dalam Skripsi ini obyeknya adalah suatu kenikmatan atas benda atau hak untuk
menikmati layanan bernama jasa atas penyelenggaraan jaringan telekomunikasi. Dengan perkataan lain, di balik aspek-aspek perselisihan yang dapat dilihat di
dalam Putusan MARI 2995 di atas, ada perkembangan hubungan hukum sewa- menyewa. Perkembangan hubungan hukum dimaksud adalah mulai dimasukkan
ke dalam obyek sewa-menyewa makna baru atas suatu kenikmatan. Obyek yang bernama kenikmatan itu sudah mencakup pula jasa dalam bidang telekomunikasi
baca: bisa juga perkembangan dalam bidang teknologi informasi telah
berdampak besar bagi perekonomian nasional. Khusus perkembangan hubungan hukum dalam bidang penyelenggaraan
jasa telekomunikasi ini baca: perkembangan hubungan hukum sewa- menyewa dengan obyek telekomunikasi ini, jasa telekomunikasi selluler di
Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Orang tidak lagi melihat jasa telekomunikasi sebagai semata-mata kacang goreng atau kacang rebus yang
―dijual‖ di pasar tradisional, namun orang melihat jasa telekomunikasi sudah menjadi ibarat kacang dengan merek Garuda yang dipajang untuk ―dijual‖ di
etalase supermarket. Kenyataan normatif yang ada, dalam perspektif hubungan
hukum PT. Telkom dengan Pelanggan sebagaimana telah digambarkan selintas
di atas, jasa telekomunikasi atau kenikmatan terhadap manfaat telekomunikasi
9
yang semula memanifestasikan diri dalam perdagangan sehari-jari sebagai suatu jual-beli itu ternyata hakikatnya adalah sewa-menyewa.
Di Indonesia, pasar jasa telekomunikasi yang sangat besar dalam industri jasa telekomunikasi tentu wajib juga diikuti dengan sistem perlindungan hukum.
Tujuan perlindungan hukum itu adalah untuk melindungi jutaan warga masyarakat, dalam hal ini idividu per individu yang menggunakan jasa jaringan
telekomunikasi. Singkat kata perlindungan hukum wajib diberikan kepada individu-individu yang menggunakan atau yang mempunyai hak kenikmatan
atas jasa telekomunikasi. Seperti dikatakan Undang-undang, telekomunikasi Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, adil, merata, kepastian
hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
7
Undang- undang yang melingkupi hubungan hukum sewa-menyewa antara operator
telekomunikasi sebagai
Landlord
dengan pengguna atau pelanggan jasa telekomunikasi sebagai
Tenant
dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat.
8
Perlindungan hukum bagi pelanggan jasa telekomunikasi selluler diatur melalui pengaturan tentang kewajiban pelaku
usaha, hak dan kewajiban pelanggan, dan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, serta pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha.
7
Lihat Pasal 2 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
8
Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hal.,180.
10
Apabila dilihat dalam perspektif Undang-undang atau hukum perlindungan konsumen, maka dalam mengkonsumsi produk barangjasa, atau
di dalam menikmati manfaat jasa telekomunikasi yang diberikan oleh
Landlord
maka konsumen sebagai
Tenant
di satu sisi selalu menginginkan adanya
kepuasan terhadap produk baca: jasa telekomunikasi yang diberikan pihak
Landlord
dalam bentuk kenikmatan atas penggunaan telekomunikasi oleh si
Tenant
tersebut. Sedangkan pelaku usaha sebagai
Landlord
di sisi yang lain cenderung menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang
sebesar-besarnya dari hubungan tersebut. Kenyataan yang muncul adalah, dalam perspektif hubungan hukum antara produsen dan konsumen, seringkali
konsumen merasa bahwa mereka tidak mendapatkan apa yang mereka harapkanya secara maksimal, akibatnya para konsumen atau dalam konteks ini
yaitu para
tenants
dari hubungan hukum
Landlord-Tenant
Telekomunikasi merasa dirugikan.
9
Dalam penelitian ini, Penulis hendak menyampaikan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara penyelenggara operator telekomunikasi dan
pelanggan
10
nya merupakan hubungan hukum sewa-menyewa yang sama dengan
9
DikdikElisatris, Cyber Law “Aspek Hukum Teknologi Informasi”, PT Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal., 155.
10
Undang-undang Telekomunikasi Pasal 1 Angka 9 terdapat rumusan pengertian pelanggan
adalah perseorangan seperti Prof. Dr. Farauk Muhhamad, badan hukum seperti Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, instransi pemerintah seperti Pengadilan Negeri
Salatiga yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak. Sedangkan Angka 11 Pasal 1 UU yang sama menjelaskan bahwa pelanggan adalah
unsur dari pengguna telekomunikasi. Unsur lainnya adalah pemakai. Ayat 10 menjelaskan bahwa pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerinah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak. Itu berarti bahwa apabila diperhatikan dengan seksama, tikda ada di dalam bagian-bagian Undang-undang
itu apa yang disebut dengan penyewa telekomunikasi. Hanya saja, dalam hukum, obyek
11
hubungan hukum
Landlord
dan
Tenant.
Penyelenggara operator seluler sebagai
landlord
yang menyewakan jasa telekomunikasinya kepada pelangggan yang kemudian dalam hal ini sebagai penyewa
tenant
sehingga dalam hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Dalam KUHPerdata sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas telah dijelaskan dan diartikan bahwa sewa-menyewa adalah:
―
Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak tesebut belakangan itu disanggupi
pembayarannya
‖.
11
Dari pengertian perjanjian sewa-menyewa menurut KUHPerdata tersebut di atas, dapat ditarik empat 4 unsur dari perjanjian sewa
menyewa, yaitu:
pertama ,
sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian atau suatu kontrak
a contra ct
.
Kedua,
dalam sewa-menyewa ada unsur kenikmatan dari suatu barang sebagai obyek perjanjian sewa-menyewa tersebut.
Ketiga
,terdapat unsur jangka waktu sewa dan
keempat
,ada unsur harga sewa dalam perjanjian bernama sewa-menyewa.
12
perjanjian sewa-menyewa itu adalah kegunaan atau manfaat, yang oleh KUHPerdata disebut dengan kenikmatan. Itulah sebabnya Penulis berpendapatbahwa pelanggan dapat juga disebut
dengan penyewa. Selanjutnya, tidak ada dalam UU itu istilah tenant. Istilah tenant itu hanya dapat ditemukan apabila hubungan hukum sewa-menyewa itu ditransposisikan terhadap
hubungan hukum Landlord and Tenant.
11
Lihat Pasal 1548 KUHPerdata.
12
Caesar Fortunus Wauran SH, Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa Telekomunikas”, Fakultas Hukum,
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hal.,17.
12
Sementara itu, dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditentukan bahwa penyelenggara telekomunikasi
13
bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kelalaian dan kesalahannya yang menimbulkan
kerugian kepada pelanggannya.
14
Sebaliknya, apabila penyelenggara jasa telekomuniksai dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian yang terjadi itu
justru diakibatkan oleh kelalain pelanggan dan bukan karena kesalahan penyelenggara telekomunikasi maka penyelenggara telekomunikasi dapat
dikecualikan dari pertanggungjawaban yang langsung
strict liability
tersebut. Selain UU Telekomunikasi sebagaimana baru saja Penulis kemukakan di atas,
telah diatur pula dalam UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE mengenai tanggungjawab penyelenggara elektronik.
15
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 15 UU ITE yang dapat dibaca: ―setiap
penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem
Elektronik sebagaimana mestinya
16
dan bertanggung jawab terhadap
13
Dalam Pasal 1 huruf c, Jasa Telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunasi. Kemudian huruf d,
didefinisikan penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD, Badan Usaha Milik Negara BUMD, badan usaha swasta, instansi
pemerintah, dan instansi pertahanan dan keamanan negara.
14
Dalam Pasal 1 huruf e, Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak.
15
Dalam UU ITE, definisi dari Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, danatau masyarakat. Perbedaan
istilah yang digunakan dalam UU Telekonikasi dan UU ITE namun tetap memberikan pengertian yang sama antara Penyelenggara Telekomunikasi dan Penyelenggala Sistem Elektronik yakni
sama-sama merupakan pihak yang menyelenggarakan menyediakan sistem sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi.
16
Lihat Pasal 15 ayat 1 UU ITE.
13
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
17
Ketentuan sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, danatau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.
18
Menyusul UU Telekomunikasi dan UU ITE, ada pula pengaruran dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 bahwa pelaku
usaha memiliki kewajiban untuk bertindak secara beritikad baik
in good faith
dalam melakukan kegiatan usahanya.
19
Perincian iktikad baik itu adalah bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
20
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
21
Pelaku usaha, dalam hal ini
Landlord
, juga wajib menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku.
22
Selaku pelaku usaha, penyelenggara telekomunikasi sebagai
Landlord
juga wajib untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba barang danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau
garansi atas barang yang dibuat danatau yang diperdagangkan.
23
Pelaku usaha
17
Lihat pasal 15 ayat 2 UU ITE.
18
Lihat pasal 15 ayat 3 UU ITE.
19
Lihat pasal 7 huruf a UU Perlindungan Konsumen.
20
Lihat pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen.
21
Lihat pasal 7 huruf c UU Perlindungan Konsumen.
22
Lihat pasal 7 huruf d UU Perlindungan Konsumen.
23
Lihat Pasal 7 huruf e UU Perlindungan Konsumen.
14
wajib pula beriktikat baik dengan memanifestasikan hal itu melalui pemberian kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan.
24
Undang-undang mencantumkan penegasan yang dikehendaki hukum bahwa dalam beriktikad baik itu, pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi
danatau penggantian apabila barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
25
Selain mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha, UU Perlindungan
Konsumen juga mengatur mengenai tanggungjawab pelaku usaha dalam Pasal 19. Dikatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan,pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
26
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
24
Lihat Pasal 7 huruf e UU Perlindungan Konsumen.
25
Lihat Pasal 7huruf g UU Perlindungan Konsumen. Dalam Ketentuan sebagaimana dikemukakan di atas itu, orang kemudian menghadapi kesulitan dalam memahami perjanjian
sewa-menyewa konvensional yang dalam banyak hal membedakan secara tegas antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Dalam ketentuan di atas seolah-olah sudah tidak
dapat dibedakan lagi antara apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan perbuaan melawan hukum. Padahal, dalam sistem hukum acara di Indonesia, kesalahan untuk membedakan antara
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dapat berakibat fatal bagi suatu gugatan yang diajukan ke pengadilan. Hakim dapat mengatakan bahwa gugatan obscure libel. Inilah
nampaknya, satu soal yang menjadi isu dalam skripsi ini, yang dapat dilihat dari uraian-uraian awal yang diberikan oleh Penulis di atas, bahwa sepertinya pihak pelanggan merasa ada
wanprestasi tetapi pihak penyelenggara telekomunikasi justru memandang bukan wanprestasi tetapi perbuatan melawan hukum.
26
Lihat pasal 19 angka 1 UU Perlindungan Konsumen.
15
perundangundangan yang berlaku.
27
Pemberian ganti rugi tersebut dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi.
28
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
29
Dan ketentuan sebagaimana dimaksud mengenai ganti kerugian tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
terjadi bukan akibat kesalahannya.
30
Berkaitan dengan pasal-pasal yang telahdisampaikan di atas, Penulis hendak mengatakan bahwa perlindungan
terhadap hak-hak konsumen maupun tanggungjawab pelaku usaha dalam menjalankan usahanya menjadi hal-hal yang sangat substansi sehingga telah
diakomodir dan diatur secara jelas dalam ketentuan-ketentuan perundang- undangan yang berlaku.Hanya saja, bagaimana secara keilmuan hal itu
dikategorisasikan?Skripsi ini berusaha untuk menjelaskan mengenai hal itu dalam perspektif hubungan hukum
Landlord and Tenant
. Telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan
strategis dalam kehidupan nasional, maka pengawasannya dilakukan oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi
kepentingan dan kemakmuran rakyat.Hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU
27
Lihat pasal 19 angka 2 UU Perlindungan Konsumen.
28
Lihat pasal 19 angka 3 UU Perlindungan Konsumen.
29
Lihat pasal 19 angka 4 UU Perlindungan Konsumen.
30
Lihat pasal 19 angka 4 UU Perlindungan Konsumen.
16
Telekomunikasi yang menyatakan bahwa telekomunikasi dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
Salah satu bentuk perlindungan Negara yang dipersonifikasi oleh
Pemerintah melalui Menteri terhadap hak-hak konsumen adalah dengan merumuskan aturan-aturan hukum yang berlaku regulator dalam bentuk
Peraturan perundang-undangan.Di sinilah muncul lagi aspek lain dalam hubungan hukum sewa-menyewa yang konvensional, yaitu tidak semata-mata
urusan privat atau perseorangan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, namun justru menjadi urusan Negara dan Pemerintah pula atau berdimensi
hukum publik. Dalam hal ini, lahir undang-undang perlindungan konsumen sebagai bentuk campur tangan negara dalam melindungi hak-hak konsumen.
Dalam Pasal 1 Angka 1 UU Perlindungan Konsumen disebutkan: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Sementara itu
Az Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
barangjasa konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat”.
31
Selanjutnya Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen di dalamnya
mengandung perintah hukum bahwa apa yang disebut dengan hak-hak
31
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , Diadit Media, Jakarta, 2002, hal.,10.
17
konsumen itu diartikan sebagai hak konsumen, dalam hal ini harus dibaca dalam konteks Skripsi ini yaitu termasuk para
Tenants
dalam hubungan hukum Telekomunikasi dengan
Landlord-
nya untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keamanan mengkonsumsi barang danatau jasa.
32
Kemudian hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau
jasa.
33
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan
34
dan hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
35
Bahkan PBB dalam Resolusinya No. 39248 tahun 1985 memberikan rumusan tentang hak-
hak konsumen yang harus dilindungi oleh produsenpengusaha. Hak-hak tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1 Perlindungan konsumen dari bahaya-
bahaya kesehatan dan keamanan; 2 Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial, ekonomi konsumen; 3 Tersedianya informasi yang
memadai bagi konsumen; 4 Pendidikan Konsumen; 5 Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
36
Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia saat ini, tidak hanya pada soal cara memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks, yaitu mengenai
kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, maupun konsumen sendiri
32
Lihat pasal 4 angka 1 UU Perlindungan Konsumen.
33
Lihat pasal 4 angka 2 UU Perlindungan Konsumen.
34
Lihat pasal 4 angka 3 UU Perlindungan Konsumen.
35
Lihat Pasal 4 angka 4 UU Perlindungan Konsumen.
36
DikdikElisatris, Op.Cit.,hal.,156.
18
tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen dengan memproduksi barang
danatau jasa yang berkualitas, aman dimakandigunakan, mengikuti standar baku yang berlaku, serta harga yang sesuai
reasonable
. Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum termasuk perbuatan
melawan hukum tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dan perlanggaran hukum tersebut mungkin
saja dapat
dikategorikan sebagai
Perbuatan Melawan
Hukum
Onrechtmatigedaad
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: ―Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.‖
Berdasarkan definisi tersebut di atas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur yaitu:
37
1 Ada perbuatan melawan hukumnya; 2 Ada kesalahannya; 3 Ada kerugiannya; 4 Ada
hubungan sebab akibatkausalitas. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat
berupa kerugian materiil dan dapat berupa kerugian immaterial.
38
Kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata diderita keuntungan yang
37
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung, Bandung, 1967, hal.,16.
38
Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata , Alumni, Bandung, 2006, hal.,266.
19
diharapkan, sementara kerugian immaterial adalah kerugian berupa pengurangan kesenangan hidup.
39
Menurut Johanes Gunawan, perlindungan hukum terhadap konsumen
dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi
no conflictpre purchase
danatau pada saat setelah terjadinya transaksi
conflictpost purchase
.
40
Perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi
no conflictpre purchase
dapat dilakukan dengan cara antara lain:
legislation
yang dimaksud adalah perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum
terjadinya transaksi dengan memberikan perlindungan kepada konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat. Sehingga dengan adanya
peraturan perundang tersebut diharapkan konsumen memperoleh perlindungan sebelum terjadinya transaksi, karena telah ada batasan-batasan dan ketentuan
yang mengatur transaksi antara konsumen dan pelaku usaha.
Voluntary Self Regulation
, yaitu perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi, dimana dengan cara ini pelaku usaha
diharapkan secara sukarela membuat peraturan bagi dirinya sendiri agar lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan usahanya.
41
Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap konsumen pada saat setelah terjadinya transaksi
conflictpost purchase
dapat dilakukan melalui jalur Pengadilan Negeri PN
39
Ibid .,hal.,266-267.
40
Johanes Gunawan, Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1999, hal.,3.
41
Ibid., hal, 3.
20
atau di luar Pengadilan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, dan setelah itu menempuh
jalur pengadilan lagi manakala para pihak tidak mendapatkan kepuasan. Edmon Makarim dalam bukunya pengantar Hukum Telematika
mengemukakan beberapa prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum yang dibedakan sebagai berikut: Pertama adalah prinsip tanggung jawab
berdasarkan unsur kesalahan
fault liablityliability based on fault
. Prinsip ini
menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ini
tergambar dalam ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata mengharuskan adanya 4 empat unsur pokok untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu adanya perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan
kausalita antara kesalahan dan kerugian. Kedua, prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
presumptionof liability principle
. Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat
membuktikan ia tidak bersalah pembuktian terbalik. Pasal 22 UU Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian ada tidaknya kesalahan
berada pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 UU Perlindungan Konsumen. Dalam UU Telekomunikasi
maupun UU ITE juga menganut beban pembuktian yang sama, dimana pelaku usaha yang harus membuktikan jika terjadi kerugian. Ketiga, prinsip praduga
untuk tidak selalu bertanggung jawab.Prinsip ini merupakan kebalikan dari
21
prinsip kedua dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas yang secara
common sense
dapat dibenarkan.Misalnya seseorang yang minum air di kali tanpa dimasak terlebih dahulu, apabila sakit tidak dapat menuntut
pabrik yang terletak disekitar sungai tersebut. Seharusnya ia memasak air itu terlebih dahulu.
Keempat adalah prinsip tanggung jawab mutlak
strict liablity
.Prinsip ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku
berbahaya yang merugikan
harmful conduct
tanpa mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan
intention
atau kelalaian
negligence
.Prinsip ini negaskan hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahan
dibuatnya, dengan memperhatikan adanya
force majeur
sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.Prinsip tanggung jawab mutlak
dalam hukum perlidungan konsumen diterapkan pada produsen yang memasarkan produk cacat sehingga dapat merugikan konsumen
product liability
.Dan yang kelima adalah
prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.Prinsip ini sering dipakai pelaku usaha untuk membatasi beban
tanggung jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka, yang umumnya dikenal dengan pencantuman klausla ekonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya.
42
Dengan demikian, dapat disimpulkan bentuk-bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai
42
Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika , Badan Penerbit FH UI, Rajawali Pers, hal.,368.
22
berikut: Pertama,
contractual liability
yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen
akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Kedua
Product liability
yaitu tanggung jawab perdata secara langsung
strict liability
dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkannya. Pertanggung
jawaban ini diterapkan dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian
no privity of contract
antara pelaku usaha dan konsumen. Dan yang ketiga adalah
Professional liability
yang dimaksud dalam hal hubungan perjanjian merupakan prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab
pelaku usaha didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjiankontrak.
43
Mengenai aspek orisinalitas Skripsi ini, dapat dijelaskan dengan jalan memeriksa studi dan penelitian ini diperbadingkan dengan studi dan penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Berbeda dengan apa yang sebelumnya telah dilakukan
oleh Firmin Wijaya, SH dalam skripsinya yang berjudul
”Penyelesaian Sengketa Telekomunikasi Dalam Kasus Hilangnya Pulsa Telepon Seluler”.
Perbedaan dimaksud adalah bahw Firmin Wijaya lebih banyak menitikberatkan pada aspek penyelesaian sengketa sedangkan. Sedangkan Penulis dalam
penelitian ini, lebih fokus kepada mencari hakikat dari tanggungjawab dalam
43
Ibid., hal., 378.
23
hubungan hukum
Landlord-Tenant
operator seluler dengan pelanggannya.Di samping itu berbeda pula dengan penelitian Caesar Fortunus Wauran, SH dalam
skripsinya yang berjudul
“Hubungan Hukum Sewa Menyewa Antara
Penyelenggara Jaringan
Telekomunikasi dan
Penyelenggara Jasa
Telekomunikasi”.Caesar dalam skripsinya itu lebih banyak membahas
mengenai hubungan hukum yang lebih abstrak, sedangkan dalam penelitian ini, Penulis hendak melihat apakah abstraksi tersebut diuji oleh lembaga peradilan
melalui kasus-kasus yang menjadi satuan amatan penelitian ini.Berbeda pula dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Arinatasya Siahaan, SH dalam
skripsinya yang
berjudul
“Beban
Pembuktian Dalam
Sengketa
Telekomunikasi”.
Arinatasya lebih menitikberatkan pada aspek formal dari hubungan hukum sedangkan Penulis berfokus pada cara mempertahankan hak dan
kewajiban oleh operator seluler dengan lembaga peradilan. Selain itu berbeda juga dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Novita Putri, SH dalam
skripsinya yang
berjudul
“Unjust Enrich Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi Di Indonesia” Dalam skripsinya, Novita Putri lebih
memfokuskan pada dimensi unjust enrichment aspek unsur esensialia dalam hubungan
hukum operator
telpon dan
pelanggan, yakni
aspek sewaroyalty.Sedangkan dalam penelitian Penulis ini lebih fokus kepada aspek
tanggungjawab dalam hubungan hukum tersebut.
24
Berdasarkan latarbelakang yang telah penulis jelaskan di atas, penulis
tertarik untuk membuat penelitian dengan judul: TANGGUNGJAWAB OPERATOR
SELULER SEBAGAI
LANDLORD
TERHADAP KERUGIAN PELANGGAN SEBAGAI PENYEWA
TENANT
.
1.2. Rumusan Masalah